Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang disebabkan oleh


mikroorganisme Leptospira interogans tanpa memandang bentuk spesifik
serotipenya, bermanifestasi sebagai demam akut. Infeksi pada manusia pada
umumnya disebabkan oleh roden (misalnya tikus), kadang-kadang babi dan
anjing. Organisme ini hidup di air sehingga air merupakan sarana penular pada
munasia.1,2
Distribusi Leptospirosis tersebar di seluruh dunia, terutama pada wilayah
dengan iklim tropis dan subtropis. Daerah risiko tinggi adalah kepulauan Karibia,
Amerika Tengah dan Amerika Selatan, Asia Tenggara, dan Kepulauan Pasifik.
Angka kejadian leptospirosis di seluruh dunia belum diketahui secara pasti.
Insidens di Amerika berkisar antara 0,02-0,04 kasus per 100.000 penduduk. Di
daerah tropis dengan kelembaban tinggi angka kejadian leptospirosis berkisar
antara 10-100 per 100.000 penduduk pertahun sedangkan di daerah subtropis
angka kejadian berkisar antara 0,1-1 per 100.000 penduduk per tahun. 2,3
Leptospirosis adalah salah satu the emerging infectious disease di
Indonesia dengan angka kematian leptospirosis di Indonesia termasuk tinggi yang
mencapai 2,5-16,45%.4 International Leptospirosis Society menyatakan Indonesia
sebagai negara insiden leptospirosis tinggi dan peringkat tiga di dunia untuk
mortalitas.5
Penularan di Indonesia paling sering terjadi melalui tikus pada kondisi
banjir. Keadaan banjir menyebabkan adanya perubahan lingkungan seperti
banyaknya genangan air, lingkungan menjadi becek, berlumpur, serta banyak
timbunan sampah yang menyebabkan mudahnya bakteri leptospira berkembang
biak. Air kencing tikus terbawa banjir kemudian masuk ke tubuh manusia melalui
permukaan kulit yang terluka, selaput lendir mata dan hidung. Sejauh ini tikus
merupakan reservoir dan sekaligus penyebar utama leptospirosis karena bertindak
sebagai inang alami dan memiliki daya reproduksi tinggi. Beberapa hewan lain
seperti sapi, kambing, domba, kuda, babi, anjing dapat terserang leptospirosis,
tetapi potensi menularkan ke manusia tidak sebesar tikus.4,5

1
Sekitar 90% kasus leptospirosis bermanifestasi sebagai penyakit demam
akut dan mempunyai prognosis baik, sedangkan 10% kasus lainnya mempunyai
gambaran klinis lebih berat sehingga menyebabkan kematian pada 10% kasus.
Manifestasi leptospira yang berat dan seringkali fatal dikenal sebagai penyakit
Weil atau leptospirosis ikterik, dengan gambaran klasik berupa demam, ikterus,
gagal ginjal, dan perdarahan. Organ lain yang dapat pula terkena adalah jantung,
paru, dan susunan syaraf pusat.2,8,9
Sebagian besar kasus leptospirosis akan sembuh sempurna, walaupun
sekitar sepuluh persen diantaranya dapat bersifat fatal. Mortalitas meningkat
apabila didapatkan gejala ikterus, gagal ginjal, dan perdarahan. Leptospirosis
acapkali luput didiagnosa karena gejala klinis tidak spesifik, dan sulit dilakukan
konfirmasi diagnosa tanpa uji laboratorium. Adanya gejala dan tanda leptospirosis
yang tidak khas seperti demam, nyeri kepala, mual, dan muntah sering dianggap
sebagai penyakit infeksi virus. 2

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang disebabkan oleh
mikroorganisme Leptospira interogans tanpa memandang bentuk spesifik
serotipenya. Penyakit ini pertama kali dikemukakan oleh Weil pada tahun
1886 yang membedakan penyakit yang disertai dengan ikterus ini dengan
penyakit lain yang juga menyebabkan ikterus. Bentuk yang beratnya
dikenal sebagai Weil's disease. Penyakit ini dikenal dengan berbagai nama
seperti mud fever, slime fever, swamp fever, autumnal fever, infectious
jaundice, field fever, cane cutter fever dan lain-lain.1
Leptospirosis adalah penyakit infeksi yang dapat menyerang
manusia dan binatang. Penyakit menular ini adalah penyakit hewan yang
dapat menjangkiti manusia. Termasuk penyakit zoonosis yang paling
sering terjadi di dunia. Leptospirosis juga dikenal dengan nama flood fever
atau demam banjir karena memang muncul dikarenakan banjir.6

2.2 Etiologi

Gambar2.1 Leptospira interogans


Leptospirosis disebabkan oleh genus leptospira, famili
treponemataceae, suatu mikroorganisme spirochaeta. Ciri khas organisme
ini yakni berbelit, tipis, fleksibel, panjangnya 5-15 mikrometer, dengan
spiral yang sangat halus, lebarnya 0,1-0,2 mikrometer. Salah satu ujung
organisme sering membengkak, membentuk suatu kait. Terdapat rotasi

3
aktif tetapi tidak ditemukan adanya flagella. Spirochaeta ini demikian
halus sehingga dalam mikroskop lapangan gelap hanya dapat terlihat
sebagai rantai kokus kecil-kecil. Leptospira membutuhkan media dan
kondisi yang khusus untuk tumbuh dan mungkin membutuhkan waktu
berminggu-minggu untuk membuat kultur yang positif. Dengan medium
Fletcher's dapat tumbuh dengan baik sebagai obligat aerob.
Menurut beberapa peneliti, yang tersering menginfeksi manusia
ialah L.icterohaemorrhagica dengan reservoir tikus, L.canicola dengan
reservoir anjing dan L.pomona dengan reservoir sapi dan babi.1

2.3 Epidemiologi
Leptospirosis tersebar di seluruh dunia, di semua benua kecuali
benua Antartika, namun terbanyak didapati daerah tropis. Penyakit ini
bersifat musiman, di daerah beriklim sedang masa puncak insidens
dijumpai pada musim panas dan musim gugur karena temperatur adalah
faktor yang mempengaruhi kelangsungan hidup leptospira sedangkan di
daerah tropis insidens tertinggi terjadi selama musim hujan
Distribusi leptospirosis tersebar di seluruh dunia, terutama pada
wilayah dengan iklim tropis dan subtropis. Daerah risiko tinggi adalah
Kepulauan Karibia, Amerika Tengah dan Selatan, Asia Tenggara, dan
Kepulauan Pasifik. Angka kejadian leptospirosis di seluruh dunia belum
diketahui secara pasti. Insidens di Amerika berkisar antara 0,02-0,04 kasus
per 100.000 penduduk. Di daerah tropis dengan kelembaban tinggi angka
kejadian leptospirosis berkisar antara 10-100 per 100.000 sedangkan di
daerah subtropis angka kejadian berkisar antara 0,1-1 per 100.000 per
tahun.
Leptospirosis adalah salah satu the emerging infectious disease di
Indonesia dengan angka kematian leptospirosis di Indonesia termasuk
tinggi yang mencapai 2,5-16,45%. International Leptospirosis Society
menyatakan Indonesia sebagai negara insiden leptospirosis.
Di Indonesia Leptospirosis ditemukan di DKI Jakarta, Jawa Barat,
Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Lampung, Sumatera Selatan,

4
Bengkulu, Riau, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Bali, NTB, Sulawesi
Selatan, Sulawesi Utara, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Barat. Pada
kejadian banjir besar di Jakarta tahun 2002 dilaporkan lebih dari seratus
kasus leptospirosis dengan 20 kematian.1,2,3,4

2.4 Penularan
Hewan terpenting dalam penularan leptospirosis adalah jenis
binatang pengerat, terutama tikus. Bakteri leptospira khususnya spesies L.
Ichterro haemorrhagiae banyak menyerang tikus besar seperti tikus wirok
(Rattus norvegicus) dan tikus rumah (Rattus diardii). Sebagai hospes
perantara dalam penularan leptospirosis biasanya adalah hewan peliharaan
seperti;
 Anjing
 Babi
 Kenlici
 Lembu
 Kerbau
 Kuda,
 Kucing,
Di dalam tubuh binatang tersebut, leptospira hidup di dalam ginjal
atau air kemihnya. Tikus merupakan vektor yang utama dari
L.icterohaemorrhagica penyebab leptospirosis pada manusia. Dalam
tubuh tikus, leptospira akan menetap dan membentuk koloni serta
berkembang biak di dalam epitel tubulus ginjal tikus dan terus menerus
serta ikut mengalir dalam filtrat urin.

5
Gambar 2.2 siklus penularan leptospirosis

Manusia dapat terinfeksi melalui kontak dengan air, atau tanah,


lumpur yang telah terkontaminasi oleh urine binatang yang telah terinfeksi
leptospira. Kuman leptospira masuk kedalam tubuh pejamu melalui luka
iris atau luka abrasi pada kulit, konjungtiva atau mukosa mulut, faring,
esofagus, bronkus, alveolus dan dapat masuk melalui inhalasi droplet
infeksius dan minum air yang terkontaminasi. Meski jarang, pernah
dilaporkan penetrasi kuman leptospira melalui kulit utuh yang lama
terendam air saat banjir. Infeksi melalui selaput lendir lambung jarang
terjadi, karena ada asam lambung yang mematikan kuman leptospira.
Penularan dari manusia ke manusia meskipun jarang, dapat terjadi
melalui hubungan seksual pada masa konvalesen atau dari ibu penderita
leptospirosis ke janin melalui sawar plasenta dan air susu ibu.
Air tergenang atau mengalir lambat yang terkontaminasi urine
binatang infeksius memainkan peranan dalam penularan penyakit ini,
bahkan air yang deraspun dapat berperan.
Kadang-kadang penyakit ini terjadi akibat gigitan binatang yang
sebelumnya terinfeksi leptospira, atau kontak dengan kultur leptospira di

6
laboratorium. Ekspos yang lama pada genangan air yang terkontaminasi
terhadap kulit yang utuh juga dapat menularkan leprospira.
Orang-orang yang mempunyai resiko tinggi mendapat penyakit ini
adalah 1,3,14
Tabel 2.1. resiko penularan leptospirosis

Kelompok pekerjaan Kelompok aktivitas Kelompok lingkungan


Pekerja-pekerja di Berenang di sungai Anjing piaraan
sawah Bersampan Ternak
Petani, peternak Kemping Genangan air hujan
Penangkap/penjerat Berburu Lingkungan tikus
hewan Kegiatan di hutan Banjir
Peternakan
Pekerja tambang
Pekerja di rumah
potong hewan
Pekerja selokan
Penebang kayu
Dokter/mantri
hewan

2.5 Patogenesis
Ketika seorang kontak dengan air atau tanah yang terkontaminasi
leptospira, maka leptospira akan masuk ke aliran darah melalui lesi kulit
atau secara aktif menembus mukosa dan menuju ke organ-organ seperti
ginjal dan hati. Sementara itu sistem kekebalan tubuh menebabkan lisis
bakteri dan melepaskan banyak antigen, seperti GLP (glicoprotein) lan
LPS (lipopolysacharida) seperti endotoksin. Terjadinya Weil syndrom
tidak tergantung pada virulensi dan toksin yang dilepaskan oleh serovar,
tetapi juga intensitas dan kecepatan respon imun inang. Produksi antibodi
spesifik untuk melindungi dari infeksi leptospira, karena makrofag hanya
efisien memfagositosis leptospira setelah terbentuk antibodi spesifik. GLP
yang dirilis oleh lisis bakteri juga mengaktifkan sel-sel inflamasi, seperti
Peripheral Blood Mononuclear Cells (PBMC), yang memproduksi TNF α,
IL-6, CD69, prostaglandin E2, leukotrien B4 dan NO.
Acute Lung Injury (ALI)/Acute Respiratory Distress Syndrom
(ARDS) ditandai dengan pelepasan sitokin dan hilangnya integritas
epitel/endotelium. Peningkatan permeabilitas menyebabkan ekstravasasi

7
protein dan edema yang merupakan tanda ALI/ARDS. Dijumpainya
leptospira dan antigen leptospira di sel-sel endotel paru membuktikan
bahwa lesi dipicu oleh bakteri dan produk-produk toksiknya. Pada kasus
yang fatal, terjadi perdarahan paru yang luas dan berkaitan dengan
deposisi imunoglobulin septum alveolar. Perdarahan paru adalah kondisi
serius dan merupakan penyebab utama kematian akibat leptospirosis.
Enzim adenosine triposfatase di paru diaktifkan oleh Na +, K+ dan Mg++
(Na/K-ATPase) dan memindahkan natrium dan cairan alveolar, untuk
mencegah edema dan bertindak sebagai mekanisme homeostatis untuk
mempertahankan integritas jaringan paru. Penghambat pompa Na/K
berkontribusi terhadap kegagalan paru pada kasus yang berat.
Pada ginjal, penghambat pompa Na/K menyebabkana hilangnya
kalium dan hipokalemia yang merupakan tanda AKI. GLP yang terdeteksi
di sel fagosit ginjal menunjukan fungsi Na/K-ATPase inhibitor yang
spesifik.
Hati adalah organ lain yang terkena dampak infeksi leptospirosis.
Inhibisis Na/K-ATPase di hati menimbulkan gangguan fungsional hati,
penurunan albumin, peningkatan asam lemak nonesterified (NEFA) dan
bilirubin dalam plasma. Inhibisi ini mungkin disebabkan oleh nonesterified
monounsaturated fatty acid (NUEFA) seperti asam oleat dan linoleat,
dengan komponen GLP secara substansi bertambah dan plasma pasien
leptospirosis berat. Kadar NEFA yang tinggi, khas pada leptospirosis berat
dan infeksi lainnya. Peningkatan NEFA dalam sirkulasi juga terjadi pada
beberapa penyakit paru dan kadar NEFA yang tinggi diketahui sebagai
immune-stimulatory agents, dan peningkatan ini secara langsung
menimbulkan inflamasi sistemik dan merangsang produksi mediator
inflamasi sehingga penyakit menjadi lebih berat. Kadar NEFA yang tinggi
dapat menghambat atau mengaktifkan TLR4 sebagai pemicu respon
inflamasi. Seperti LPS, asam lemak jenuh dapat menginduksi respon
inflamasi di sel dendritik, meskipun asam lemak tak jenuh sebagai respon
modulasi negatif TLR4. Asam lemak seperti laurat, palmitat dan asam
oleat mengaktifkan TLR4 di sel adiposit dan makrofag, menyebabkan

8
peningkatan IL-6 dan TNF α. Selanjutnya, NEFA terikat pada reseptor
asam lemak bebas dan merangsang respon intraseluler, akan menambah
pembentukan mediator inflamasi melalui aktivasi NF-kB dan AP-1 pada
sel endotel.
Peran baru dari enzim Na/K-ATPase adalah sebagai reseptor sinyal
memicu kaskade intraselular pada konsentrasi nanomolar uobain dan
cardiac glycoside lainnya tanpa mengubah konsentrasi Na+ dan K+
intraselular. Interaksi protein dengan Na/K-ATPase punya peran penting
pada susunan membran yang terkait dengan sinyal kalsium, dan dapat
dilepaskan dari ikatan pada reseptor IP3. Adanya uobain, osilasi, kalsium
menyebabkan aktifasi NF-kB dan ERK/MAPK, yang mungkin
menyebabkan aktifasi faktor transkripsi AP-1. Efek uobain pada transduksi
sinyal terjadi melalui Na/K-ATPase tanpa mengganggu aktifitas pompa.
Dalam hal ini, menunjukan bahwa uobain bekerja pada limfosit tanpa
depolarisasi membran yang diduga mekanisme ini tidak tergantung pada
inhibisi pompa.
Na/K-ATPase memicu jalur intraselular yang menyebabkan
produksi mediator proinflamasi. Pengikatan uobain terhadap Na/K-
ATPase menginduksi sel mononuklear untuk melepaskan TNF-α dan IL-
1. Dalam konteks inflamasi, monosit yang distimulasi oleh leptospira dan
komponennya merespon dengan mengaktikan jalur intraselular, fosfolirasi
p38, mengaktifkan p38, mengaktifkan NF kB, melepaskan sitokin dan NO.
Mediator inflamasi yang relevan merupakan patofisiologi yang
telah diketahui secara ekspiremental dan klinis. Hamster yang diinfeksi
dengan L.interrogan serovar icterohemorragiae dengan ALI menunjukan
peningkatan kadar mRNA dari TNF dan IL-6. Komponen leptospira
mampu menginduksi pelepasan TNF. GLP L.interogans sebagai fraksi
bakteri menghambat Na/K-ATPase mampu mengaktivasi sel inflamasi dan
meningkatkan TNF α dan IL-6. Peningkatan produksi TNF adalah
prediktor perburukan klinis pasien leptospirosis.
Selanjutnya uveitis yang ditemukan pada leptospirosis
berhubungan dengan peningkatan IL-6, IL-8, TNF-α dan produksi IL-10.

9
Peningkatan produksi sitokin dikaitkan dengan mortalitas pasien selama
perjalanan penyakit. IL-1β dan IL-18 diproduksi melalui aktivasi
inflammasome. Inflammasome terdiri dari beberapa protein seperti NLRP3
terlibat pada RNA bakteri, ATP, asam urat dan konsentrasi kalium
intraselular yang rendah. Penelitian terbaru menunjukan bahwa leptospira
menginduksi produksi sitokin IL-1β melalui sinergi antara sinyal LPS
melalui TLRs dan GLP leptospira, yang menghambat Na/K-ATPase,
memicu penurunan kadar kalium intraselular dan mengaktivasi NLRP3
inflammasome. Dengan demikian, kemungkinan bahwa peningkatan
produksi mediator inflamasi pada leptopirosis berhubungan dengan
mekanisme yang melibatkan TLR4 dan reseptor asam lemak dan
mekanisme tergantung pada sinyal Na/K-ATPase. Dalam hal ini, GLP dan
uobain keduanya menghambat Na/K-ATPase dan menginduksi produksi
mediator inflamasi langsung terlibat dalam leptopirosis.1

10
Gambar 2.3 patogenesis leptospirosis

11
Ginjal
Keterlibatan ginjal menyebabkan nekrosis tubuler dan nefritis intersisialis,
sehingga terjadi gagal ginjal akut yang memerlukan dialisis. Terjadinya
gagal ginjal akut pada penderita leptospirosis terjadi akibat invasi leptospira
sehingga menyebabkan kerusakan tubulus dan glomerulus sebagai efek
langsung dari migrasi leptospira yang menyebar hematogen menuju
kapiler peritubuler kemudian menuju jaringan interstitium, tubulus, dan
lumen tubulus. Kerusakan jaringan tidak jelas apakah hanya efek migrasi
atau efek endotoksin leptospira. Leptospira dapat dijumpai dalam air
kemih sekitar 8 hari sampai beberapa minggu setelah infeksi dan sampai
berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun kemudian.
Hati
Di hati terjadi nekrosis sentrilobuler fokal dengan proliferasi sel Kupfer
disertai kolestasis. Gangguan fungsi ginjal akan menurunkan ekskresi
bilirubin sehingga meningkatkan kadar bilirubin darah, terjadinya
perdarahan pada jaringan dan hemolisis intravaskuler akan meningkatkan
kadar bilirubin, proliferasi sel Kupfer sehingga terjadi kolestatik intra
hepatikKerusakan hati yang terjadi akan mengakibatkan timbulnya ikterus,
meskipun ada beberapa ahli mengemukakan ikterus antara lain disebabkan
oleh hemolisis dan obstruksi bilier.
Jantung
Pada jantung epikardium, endokardium dan miokardium dapat terlibat.
Kelainan miokardium dapat fokal atau difus berupa intersitital edema
dengan infiltrasi sel mononuklear dan plasma. Nekrosis berhubungan
dengan infiltrasineutrofil. Dapat terjadi perdarahn fokal pada miokardium
dan endokardium.
Otot rangka
Nyeri otot terjadi akibat adanya invasi langsung leptospira sehingga dapat
ditemukan antigen leptospira pada otot. Pada otot rangka terjadi perubahan
berupa lokal nekrosis, vakuolisasi dan kehilangan striata.

12
Mata
Terjadinya uveitis akibat leptospira yang masuk ke dalam ruang anterior
mata pada saat fase leptospiremia.
Pembuluh darah
Perdarahan/pateki pada mukosa, permukaan erosa dan alat-alat viscera dan
perdarahan di bawah kulit terjadi karena vaskulitis akibat perubahan pada
pembuluh darah.
Susunan saraf pusat
Meningitis yang terjadi adalah meningitis aseptik, biasanya diebabkan
oleh L.canicola. Invasi leptospira ke dalam cairan serebrospinal (CSS) dan
dikaitkan dengan terjadinya meningitis. Meningitis terjadi sewaktu
terbentuknya respon antibodi, bukan pada saat memasuki CSS. Diduga
bahwa terjadinya meningitis diperantarai oleh mekanisme imunologis.

2.6 Gambaran Klinis


Masa inkubasi 2-26 hari, biasanya 7-13 hari dan rata-rata 10 hari.
Leptospirosis mempunyai 2 fase penyakit yang khas yaitu fase
leptospiremia dan fase imun.

Gambar 2.4 fase leptospirosis

13
Fase Leptospiraemia
Fase ini ditandai dengan adanya leptospira di dalam darah dan
cairan serebrospinal, berlangsung secara tiba-tiba dengan gejala
awal
 sakit kepala biasanya di daerah frontal
 rasa sakit pada otot yang hebat terutama pada paha, betis
dan pinggang disertai nyeri tekan
 mialgia dapat diikuti dengan hiperestesi kulit
 demam tinggi yang disertai menggigil
 mual dengan atau tanpa muntah
 mencret
 fotofobia
 penurunan kesadaran sekitar 25% kasus
Pada pemeriksaan pasien keadaan sakit beratdan ditemukan pula;
 bradikardi relatif
 ikterus sekitar 50% kasus
 conjungtival suffusion pada hari ke 3-4
 rash pada kulit berupa makular, makulopapular atau
urtikaria.
 kadamg-kadang dijumpai splenomegali, hepatomegali,
serta limfadenopati.
Fase ini berlangsung 4-7 hari. Jika cepat ditangani pasien
akan membaik, suhu akan kembali normal. Penyembuhan organ-
organ yang terlibat dan fungsinya kembali normal 3-6 minggu
setelah onset. Pada keadaan sakit yang lebih berat demam turun
setelah 7 hari diikuti oleh bebas demam selama 1-3 hari, setelah itu
terjadi demam kembali. Keadaan ini disebut fase kedua atau fase
imun.
Fase imun
Fase ini ditandai dengan peningkatan titer antibodi, dapat timbul
gejala diantaranya:
 demam yang mencapai suhu 40oc disertai menggigil

14
 kelemahan umum.
 rasa sakit yang menyeluruh pada leher, perut dan otot-
otot kaki terutama otot betis.
 perdarahan berupa epistaksis, purpura, petekie,
perdarahan gusi.

Gambar 2.5 patekie pada leptospirosis


 gejala kerusakan pada ginjal dan hati berupa uremia, dan
ikterik.
 conjungtiva injection

Gambar 2.6 conjungtiva injection

 conjungtival suffusion

Gambar 2.7 conjungtival suffusion

15
 ikterus merupakan tanda patognomosis untuk
leptospirosis.
Terjadinya meningitis merupakan tanda pada fase ini,
walaupun hanya 50% gejala dan tanda meningitis, tetapi pleositosis
pada CSS dijumpai pada 50-90% pasien. Tanda-tanda meningeal
dapat menetap dalam beberapa minggu, tetapi biasanya
menghilang setelah 1-2 hari. Pada fase ini leptospira dapat
dijumpai dalam urin.1,8,9
Menurut berat ringannya, leptospirosis dibagi menjadi ringan (non-
ikterik) dan berat (ikterik). Ikterik merupakan indikator utama dari
leptospirosis berat.
Leptospirosis ringan (non-ikterik)
Sebagian besar manifestasi klinik leptospirosis adalah anikterik,
dan ini diperkirakan mencapai 90% dari seluruh kasus leptospirosis
di masyarakat. Gejala leptospirosis timbul mendadak ditandai
dengan viral-like illness, yaitu demam, nyeri kepala, dan mialgia.
Nyeri kepala bisa berat, mirip yang terjadi pada infeksi dengue,
disertai nyeri retro orbital dan fotofobia. Nyeri otot diduga terjadi
karena adanya kerusakan otot sehingga kreatinin fosfokinase
(CPK) pada sebagian besar kasus meningkat, dan pemeriksaan
CPK ini dapat membantu penegakan diagnosis klinik
leptospirosis.8,9
Dapat juga ditemukan nyeri perut, diare, anoreksia,
limfadenopati, splenomegali, rash makulopapular, kelainan mata
(uveitis, iridosiklitis), meningitis aseptik dan conjunctival
suffusion.8
Pemeriksaan fisik yang khas adalah conjunctival suffusion
dan nyeri tekan di daerah betis. Gambaran klinik terpenting
leptospirosis non-nikterik adalah meningitis aseptik yang tidak
spesifik sehingga sering terlewatkan diagnosisnya. Sebanyak 80-
90% penderita leptospirosis anikterik akan mengalami pleositosis
pada cairan serebrospinal selama minggu ke-2 penyakit dan 50%

16
diantaranya akan menunjukkan tanda klinis meningitis. Karena
penderita memperlihatkan penyakit yang bersifat bifasik atau
memberikan riwayat paparan dengan hewan, meningitis tersebut
kadang salah didiagnosis sebagai kelainan akibat virus.8,10
Pasien dengan leptospirosis non-ikterik pada umumnya
tidak berobat karena keluhan bisa sangat ringan.11 Pada sebagian
pasien, penyakit ini bisa sembuh sendiri (self-limited) dan biasanya
gejala kliniknya menghilang dalam waktu 2 sampai 3 minggu.
Karena gambaran kliniknya mirip dengan penyakit demam akut
yang lain, maka pada setiap kasus dengan keluhan demam akut,
leptospirosis anikterik harus dipikirkansebagai salah satu diagnosis
banding, terutama di daerah endemik leptospirosis seperti
Indonesia.8,12
Weil Disease atau leptospirosis berat (ikterik)
Bentuk leptospirosis yang berat ini pada mulanya disebabkan oleh
serotipe Leptospira ichterohaemorrhagiae, tetapi ternyata dapat
terlihat pada setiap serotipe leptospira yang lain seperti serotipe
copenhageni dan bataviae. Weil Disease ini biasanya terjadi pada
1-6% kasus leptospirosis. Angka mortalitas sebesar 5-15%.12
Ikterik umumnya dianggap sebagai indikator utama
leptospirosis berat. Leptospirosis ikterik disebut juga dengan nama
Weil Disease. Tanda khas dari Weil Disease yaitu :
 jaundice atau ikterik
 perdarahan
 anemia
 azotemia
 gangguan kesadaran
 demam tipe kontinua
Perdarahan yang timbul dalam waktu 4-6 hari setelah onset
gejala dan dapat mengalami perburukan dalam minggu ke-2.
Gambaran klinis dapat bervariasi berupa gangguan renal, hepatik
atau disfungsi vaskular. Pada leptospirosis ikterik, demam dapat

17
persisten sehingga fase imun menjadi tidak jelas atau nampak
overlapping dengan fase leptospiremia.1,12

2.7 Diagnosis
Pada anamnesis identitas pasien, keluhan yang dirasakan dan data
epidemiologis penderita harus jelas karena berhubungan dengan
lingkungan pasien. Identitas pasien perlu ditanyakan mengenai tempat
tinggal, jenis pekerjaan dan jangan lupa menanyakan hewan peliharaan
maupun hewan liar di lingkungannya, karena berhubungan dengan
leptospirosis.
Keluhan-keluahan khas yang dapat ditemukan yaitu: demam
mendadak, keadaan umum lemah tidak berdaya, sakit kepala terutama di
bagian frontal, mata merah/fotofobia, mual atau muntah, nafsu makan
menurun dan merasa mata semakin lama semakin bertambah kuning dan
sakit otot hebat terutama daerah betis dan paha. Pada pemeriksaan fisik
dijumpai:
 Demam
 Bradikardia
 Nyeri tekan otot
 Hepatomegali
 Splenomegali
 Perdarahan berupa epistaksis, purpura, petekie, perdarahan
gusi
 Ikterik
 Conjungtiva injection, dan conjungtival suffusion
Pertumbuhan leptospira lambat di media kultur sehingga
dibutuhkan beberapa minggu sebelum dinyatakan hasil kultur negatif.
Hasil positif pada kultur sangat rendah, terutama pada fasilitas
laboratorium mikrobiologi yang biasa, sehingga untuk penunjang
diagnotik menunggu hasil kultur sering menjadi kendala dalam
penanganan pasien.

18
Laboratorium umum
Tabel 2.2 pemeriksaan dan hasil pemeriksaan
Pemeriksaan Hasil pemeriksaan
Complete blood count Leukositosis dengan neutrofilia
(CBC) Trombositopenia, jika trombosit < 100.000/cu mm
Hitung trombosit beresiko terjadinya resiko perdarahan dan perdarahan
paru.

Berat : leukositosis (WBC>12.000 mm3) dengan


neutrofilia dan trombositopenia (<100.000 mm3)

Urinalisis Proteinuria, pyuria, dan hematuria. Hialin dan granular


biasanya muncul pada minggu pertama sehingga pasien
terkesan UTI

Serum creatinine Pada awalnya dapat normal dan meningkat seiring


dengan perjalanan penyakit. Peningkatan serum
creatinin mengindikasikan adanya AKI
Berat: >3 mg/dL (atau CrCl<20 ml/min) dan BUN >
23 mg/dL
Serum creatine Meningkat pada pasien dengan mialgia yang berat.
phosphokinase
(CPK‐MM)
Tes fungsi hati Bilirubin, ALT, AST, dan alkaline phosphatase dapat
meningkat.
Berat: rasio AST/ALT > 4x, Bilirubin > 190 umol/L

Bleeding parameter Dapat memanjang


(Prothrombin time, Berat: memanjangnya prothrombin time (PT) < 85%
partial thromboplastin
time)
Serum potassium Berat: > 4 mmol/L

Analisis gas darah Berat: asidosis metabolik berat (ph< 7.2, HCO3 < 10)
dan hipoksemia (PaO2 < 60 mmHg, SaO2 < 90%, PF
rasio <250)

Laboratorium khusus
Leptospira dapat diisolasi dari sampel darah dan cairan serebrospinal pada
hari ketujuh hingga kesepuluh sakit, dan dari urin selama minggu kedua
dan ketiga. Kultur dan isolasi masih menjadi baku emas, dapat
mengidentifikasi serovar, tetapi membutuhkan media khusus dengan

19
waktu inkubasi beberapa minggu, dan membutuhkan mikroskop lapangan
gelap, sehingga tidak sesuai untuk perawatan individual.
- Kultur
Kultur dengan mengambil spesimen dari darah atau CCS segera pada
awal gejala. Dianjurkan untuk melakukan kultur ganda dan
mengambil spesimen pada fase leptospiremia serta belum diberi
antibiotik. Kultur urin diambil setelah 2-4 minggu onset penyakit.
Pada spesimen yang terkontaminasi, inokulasi hewan dapat
digunakan.
Tabel 2.3 . Jenis uji serologi pada leptospirosis
Microscopic agglutination test Macroscopic slide agglutination
(MAT) test (MSAT)
Uji carik celup: Enzyme linked immunosorbant
- Lepto Dipstic assay (ELISA)
- leptoTek Lateral Flow Microcapsule agglutination test
Aglutinasi lateks kering Patoc-slide agglutination test
(LeptoTek Dry-Dot) (PSAT)
Indirect Fluorescent antibody test Sensitized erythrocyte lysis test
(IFAT) (SEL)
Indirect haemagglutination test Counter immune electrophoresis
(IHA) (CIE)
Uji aglutinasi lateks
Complement fixation test (CFT)

- Pemeriksaan mikroskop lapangan gelap atau Dark-ground


Microscope (DGM)
DGM merupakan metode pilihan untuk menunjukan adanya
organisme leptospira pada media biakan. Namun pemeriksaan ini
memiliki beberapa kelemahan sebagai alat diagnostik, seperti
kemungkinan hail negatif palsu karena artefak dan adanya fibrin
yang mirip leptospira. Berdasarkan penelitian, pemeriksaan dengan
DGM secara statistikbermakna untuk diagnosis leptospirosis.

20
Gambar 2.8 leptospira pada mikroskop lapangan gelap
- Metode MAT (Microscopic Aglutination Test)
MAT menggunakan panel antigen leptospira hidup, menjadi standar
diagnosis serologi leptospirosis. Kenaikan titer antibodi pada sampel
berpasangan diambil sekitar 10-15 hari terpisah dianggap bukti
infeksi leptospira. Namun tes ini memiliki beberapa kelemahan
sebagai tes rutin untuk diagnosis leptospirosis. Prosedur yang rumit
dan memakan waktu, banyaknya strain leptospira dalam media
kultur untuk digunakan sebagai antigen, sehingga pemilihan panel
antigen sangat penting dan membutuhkan pengetahuan yang akurat
tentang serovars yang beredar secara lokal. Selain itu titer yang
signifikan untuk MAT tunggal bervariasi dari satu wilayah geografis
dengan yang lain dan ada kemungkinan variasi antar-laboratorium
pada pembacaan hasil. Dugaan diagnosis leptospirosis didapatkan
jika titer antibodi > 1:100 dengan gejala klinis yang mendukung.
Keuntungan dari metode ini adalah dapat menetukan serovar
Leptospira.
- IgM ELISA
IgM ELISA merupakan tes yang berguna untuk mendiagnosis secara
dini, tes akan positif pada hari ke-2 sakit ketika manifestasi klinis
mungkin tidak khas. Tes penyaring yang sering dilakukan di
Indonesia adalah Lepto Dipstik asay, Lepto Tek Dri Dot dan

21
LeptoTek Lateral Flow merupakan rapid test yang dapat memberikan
hasil dalam waktu 10-15 menit. Prinsip metode ini adalah reaksi
antara antibodi IgM atau IgG dari spesimen serum dengan antigen
spesies Leptospira interogans. Keuntungan metode ini sensitif, tetapi
tidak bisa menentukan jenis serovar. Pengembangan dari metode ini
adalah metode Dipstick Assay yang mempunyai sesitifitas 88% dan
specifitas 95%. Metode ini digunakan secara luas karena mudah
dilakukan dan tidak menggunakan peralatan khusus. Reagen juga
tidak mudah rusak meskipun disimpan pada temperatur daerah
tropis.

Gambar 2.9 Rapid test leptospirosis


- Metode PCR (Polymerase Chain Reaction)
PCR adalah suatu teknik enzimatik in vitro yang digunakan untuk
menghasilkan gugus DNA spesifik dalam jumlah besar dan dalam
waktu singkat melalui langkah denaturation, annealing dan
extension pada temperatur yang berbeda. Proses PCR merupakan
proses amplifikasi asam nukleat suatu DNA . Untuk medeteksi DNA
leptospira membutuhkan sepasang primer dengan sasaran gen
spesifik seperti gen rRNA 16S dan 23S, disamping itu dapat juga
disusun dari pustaka genom. Metode ini sangat berguna untuk
mengdiagnosis leptospirosis terutama pada fase dini sebelum titer
antibodi terbentuk. Spesimen dapat berupa urin maupun darah.
Keterbatasan metode ini adalah tidak mampu mendeteksi jenis

22
serovar. Kelemahan metode ini adalah memerlukan peralatan dan
tenaga ahli yang khusus.1,13,14,15
Terdapat tiga kreteria yang ditetapkan dalam mendefinisikan kasus
leptopirosis, yaitu:1). Kasus suspect, 2). Kasus probable, dan 3). Kasus
conform
1) Kasus suspect
Demam akut dengan atau tanpa sakit kepala, disertai nyeri otot,
lemah (malaise), conjungtival hiperemis, ciliary suffusion, dan
riwayat terpapar atau aktivita yang merupakan faktor resiko
leptospirosis dalam kurun waktu 2 minggu. Faktor resiko terebut
antara lain:
 Kontak dengan air yang terkontaminasi kuman leptospira atau
urin tikus saat terjadi banjir
 Kontak dengan sungai atau danau dalam aktivitas mandi, mencuci
atau bekerja di tempat terebut.
 Kontak dengan persawahan ataupun perkebunan yang tidak
mengguanakan alas kaki
 Kontak erat dengan binatang perti babi, sapi, kambing, anjing
yang dinyatakan terinfeksi leptospira
 Terpapar atau bersentuhan dengan bangkai hewan, cairan
infeksius hewan seperti cairan kemih, plasenta, cairan amnion
 Memegang atau menangani spesimen hewan/manusia yang
diduga terinfeksi leptopirosis dalam suatu laboratorium atau
tempat lainnya.
 Pekerjaan atau melakukan kegiatan yang beresiko kontak dengan
sumber infeksi, seperti dokter, dokter hewan, perawat, tim
penyelamat atau SAR, tentara, pemburu dan para pekerja di
rumah potong hewan, toko peliharaan, perkebunan, pertanian,
tambang, serta pendaki gunung.
2) Kasus probable
Dinyatakan probable bila pada kasu suspect ditemukan dua dari
gejala dan tanda klinis berikut:

23
 Nyeri beti
 Ikterus
 Manifestasi perdarahan
 Sesak napas
 Oligouria atau anuria
 Aritmia jantung
 Batuk dengan atau tanpa hemoptisis
 Ruam kulit
Selain itu memiliki gambaran laboratorium:
 Trombositopenia < 100.000sel/mm
 Leukositosis dengan neutropilia >80%
 Kenaikan kadar biliribin total > 2gr% atau peningkatan SGPT,
amilase, lipase dan kreatinin fosfokinase (CPK)
 Pengguanaan rapid diagnostic test (RDT) untuk mendeteksi IgM
anti leptospira
3) Kasus conform
Dinyatakan sebagai kasus konfirmasi di saat kasus probable disertai
salah satu dari hasil berikut:
 Isolasi bakteri leptospira dari spesimen klinik
 Hasil PCR positif
 Sero konversi MAT dari negatif ke positif

2.8 Diagnosis Banding


- Malaria
- Demam tifoid
- Demam berdarah dengue
- Hepatitis viral atau sepsis karena infeksi lainnya.

2.9 Penatalaksanaan
Pengobatan terhadap penderita leptospirosis dapat dilakukan dengan
pemberian antibiotik, namun antibiotik bermanfaat pada fase
leptospiraemia. Aspek terapi suportif adalah dengan pemantauan ketat

24
untuk mendeteksi dan mengatasi dehidrasi, hipotensi, perdarahan dan
gagal ginjal. Pada leptospirosis berat terapi suportif pada keseimbangan
cairan dan elektrolit serta fungsi paru dan jantung sangat penting, pada
umumnya leptospirosis berat memerlukan rawat inap bahakan kadang
perlu perawatan di ruang ICU.
- Leptospirosis dapat diterapi dengan beberapa jenis antibiotik yang
masih sensitif seperti doksisiklin, tetrasiklin, penisilin, dan eritromisin
atau azitromisin. Sefaloporin generasi ke tiga dan quinolone juga
efektif. Pemberian antibiotik intravena dibutuhkan pada kasus berat
seperti dosis tinggi penisilin intravena.
Pemberian antibiotik memberikan respon yang baik bila
diberikan pada fase awal penyakit yaitu sebelum hari ke-4. Oleh
karena itu diagnosis klinis sangat penting meskipun pemeriksaan
penunjang belum dapat dikonfirmasi. Lama pemberian 7-10 hari.
Tabel 2.4 pengobatan leptospirosis19
Indikasi Regimen Dosis
Leptospirosis
1. Doksisiklin 5. 2x100 mg
ringan 2. Ampisilin 6. 4x500-750 mg
3. Amoksisilin 7. 4x500 mg
4. Azitromisin dihidrat8. Inisial 1g, dilanjutkan
1x500 mg untuk 2 hari
berikutnya
9.
Leptospirosis Penisilin G 1,5 juta unit/6jam (i.v)
Sedang/berat Ceftriakson 1 gram/24jam (i.v)
Cefotaksim 1 gram/6jam (i.v)
Eritromisin 500 mg/6 jam (i.v)
Ampisilin 1 gram/6jam (i.v)
Azitromisin dihidrat 1x500 mg selama 5
hari

Kemoprofilaksis Doksisiklin 200mg/minggu

- Pasien yang menderita gagal ginjal diterapi dengan hemodialisis atau


hemodiafiltrasi jika tersedia. Dialisis perlu dipertimbangkan jika
ditemukan salah satu dari :
 Hiperkalemia intractable ( K > 6,5 mmol/L)
 Asidosis yang sulit dikoreksi

25
 Edema paru
 Ensefalopati uremik
 Oliguria ( urine < 200mL / 12 jam dan BUN > 100 mg/dL)
- Transfusi darah dan produk darah mungkin diperlukan pada
perdarahan berat. Transfusi trombosit dini dianjurkan jika trombosit
kurang dari 50 ribu/mm3 atau pada turun bermakna dalam waktu
singkat.
- Perdarahan paru sering membutuhkan intubasi dan ventilasi mekanik
segera. Dukungan pernapasan untuk mempertahankan oksigenasi
jaringan yang adekuat sangat penting karena pada kasus tidak fatal
fungsi paru dapat sembuh sempurna. Penggunaan kortikosteroid pada
ARDS masih diperdebatkan, beberapa studi menunjukkan manfaat
jika diberikan pada awal ARDS. Metilprednisolon diberikan dalam 12
jam pertama awitan keterlibatan paru dengan dosis 1 g iv/hari selama
3 hari dilanjutkan prednisolon oral 1 mg/kgBB/hari selama 7 hari.
Plasmaferesis dosis rendah (25 mL/kg) juga bermanfaat pada
perdarahan paru ringan. Dua siklus plasmaferesis berjarak 24 jam
disertai siklofosfamid 20 mg/ kg setelah siklus pertama plasmaferesis
dapat meningkatkan ketahanan hidup.1,16,17

2.10 Kemoprofilaksis terbagi menjadi 2 golongan yakni:


Pre-exposure
Antibiotik profilaksis pre-exposure tidak rutin dianjurkan. Individu yang
akan mengunjungi daerah endemik mereka yang akan segera terpapar
(tentara, wisatawan, dan pekerja) maka profilaksis dapat diberikan.
Pemberian doksisiklin 200 mg 1 sampai 2 hari sebelum terpapar.

26
Post exposure

Gambar 2.10 Profilaksis post exposure leptospira

2.11 Komplikasi
Terdapat beberapa komplikasi dari leptospirosis, diantaranya adalah;
 Gangguan ginjal akut pada 95% dari kasus
 Gagal hepar akut pada 72% dari kasus
 Gangguan respirasi dan perdarahan paru pada 38% dari kasus
 Gangguan kardiovaskuler pada 33% dari kasus
 Pankreatitis akut pada 25% dari kasus

2.12 Prognosis
Jika tidak ada ikterus, penyakit jarang fatal. Pada kasus dengan ikterus,
angka kematian 5% pada usia di bawah 30 tahun dan pada usia lanjut
mencapai 30-40 tahun. Kematian paling sering disebabkan karena gagal
ginjal, perdarahan masif atau acute respiratory distress syndrome
(ARDS). Fungsi hati dan ginjal akan kembali normal, meskipun terjadi
disfungsi berat, bahkan pada pasien yang menjalani dialisis. Sekitar
sepertiga kasus yang menderita meningitis aseptik dapat mengalami nyeri
kepala secara periodik. Beberapa pasien dengan riwayat uveitis

27
leptospirosis mengalami kehilangan ketajaman penglihatan dan
pandangan yang kabur.1,2

2.13 Pencegahan
Pencegahan leptospirosis khususnya didaerah tropis sangat sulit.
Banyaknya hospes perantara dan jenis serotipe sulit untuk dihapuskan.
Bagi mereka yang mempunyai risiko tinggi untuk tertular leptospirosis
harus diberikan perlindungan berupa pakaian khusus yang dapat
melindunginya dari kontak dengan bahan-bahan yang telah
terkontaminasi dengan kemih binatang reservoir.
Vaksinasi terhadap hewan-hewan tersangka reservoir sudah lama
direkomendasikan, tetapi vaksinasi terhadap manusia belum berhasil
dilakukan, masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Sementara itu,
cara-cara yang dapat dilakukan agar terhindar dari leptospirosis
diantaranya:
- Menyimpan makanan dan minuman dengan baik agar terhindar dari
tikus.
- Mencuci tangan dengan sabun sebelum makan.
- Mencuci tangan, kaki serta bagian tubuh lainnya dengan sabun setelah
bekerja di sawah/ kebun/ sampah/ tanah/ selokan dan tempat tempat
yang tercemar lainnya
- Melindungi pekerja yang beresiko tinggi terhadap Leptospirosis
(petugas kebersihan, petani, petugas pemotong hewan dan lain lain)
dengan menggunakan sepatu bot dan sarung tangan.
- Menjaga kebersihan lingkungan.
- Menyediakan dan menutup rapat tempat sampah.
- Membersihkan tempat tempat air dan kolam kolam renang.
- Menghindari adanya tikus didalam rumah atau gedung.
- Melakukan desinfeksi terhadap tempat tempat tertentu yang tercemar
oleh tikus.
- Meningkatkan penangkapan tikus.5

28
BAB III
KESIMPULAN

Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang disebabkan leptospira.


Manusia dapat terinfeksi melalui kontak dengan leptospira secara insidental.
Leptospirosis tersebar di seluruh dunia, di semua benua kecuali benua Antartika,
namun terbanyak didapati daerah tropis. Leptospira bisa terdapat pada binatang
piaraan seperti anjing, babi, lembu, kuda, kucing, marmut atau binatang pengerat
lainnya seperti tupai, musang, kelelawar, dan lain sebagainya.
Masa inkubasi 2-26 hari, biasanya 7-13 hari dan rata-rata 10 hari.
Leptospirosis mempunyai 2 fase penyakit yang khas yaitu fase leptospiremia dan
fase imun. Menurut berat ringannya, leptospirosis dibagi menjadi ringan (non-ikterik)
dan berat (ikterik). Ikterik merupakan indikator utama dari leptospirosis berat.
Pada anamnesis penting diketahui tentang riwayat pekerjaan pasien,
apakah termasuk kelompok resiko tinggi. Pada pemeriksaan fisik dijumpai
demam, bradikardia, nyeri tekan otot, hepatomegali dan lain-lain. Pada
pemeriksaan laboratorium darah rutin bisa dijumpai leukositosis, normal atau
sedikit menurun disertai gambaran neutrofilia dan laju endap darah yang
meninggi. Pada urin dijumpai proteinuria, leukosituria dan silinder. Pengobatan
terhadap penderita leptospirosis dapat dilakukan dengan pemberian antibiotik dan
terapi suportif.

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Zein U (2001). Leptospirosis. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,


Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid 1. Edisi 6.
Jakarta : Balai Penerbit FKUI. h. 633-37
2. Gasem MH (2001). Murine Typhus and Leptospirosis as causes of Acute
Undifferentiated Fever, Indonesia [internet]. Available from:
http://www.cdc.gov/eid/article/15/6/08-1404_article.htm
3. World Health Organization (Regional Office for South-East Asia).
Informal Expert Consultation on Surveillance, Diagnosis, and Risk
Reduction of Leptospirosis [internet]. (2009). Available from:
http://www.searo.who.int/entity/emerging_diseases/topics/Communicable
_Diseases_Surveillance_and_response_SEA-CD-217.pdf
4. Depkes RI (2007). Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta : Depkes RI.
http:// www.depkes.go.id/downloads/profil-data-kesehatan-indonesia-
tahun-2011.pdf.
5. Depkes RI (2003). Kewaspadaan Terhadap Penyakit Leptospirosis.
Jakarta: Depkes RI Ditjen P2M dan PLP.
6. Saroso S (2003). Pedoman Tatalaksana Kasus dan Pemeriksaan
Laboratorium Leptospirosis di Rumah Sakit. Jakarta: Departemen
Kesehatan R.I.
7. Speck WT (2000) Leptospirosis. In: Behrman RE, Kliecman RM, Nelson
WE, penyunting, Nelson Textbook of Pediatric. Edisi ke-16. Philadelphia,
Tokyo: WB.Saunders
8. Gassem M (2002). Simposium leptospirosis: gambaran klinik dan
diagnosis leptospirosis pada manusia. Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro
9. Garna H (2012). Buku Ajar Divisi Infeksi Dan Penyakit Tropis. Bandung:
Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran, RSUP Dr.Hasan Sadikin
Bandung
10. Muliawan (2008). Bakteri Spiral Patogen (Treponema, Leptospira, dan
Borrelia). Jakarta: Penerbit Erlangga

30
11. Levett PN (2001). Leptospirosis Clinical Microbiology Review 14
12. Fauci dkk (2001). Harrison Manual Kedokteran. Tangerang Selatan:
Karisma Publishing Group
13. Levett, P., N. 2001. Leptospirosis. Clin. Microbiol. Rev. 14 (2) : 296-326.
Doi: 10.1128/CMR.14.2.296
14. World Health Organization. 2003. Human Leptospirosis : Guidance for
Diagnosis, Surveilance, and Control. Available from:
http://whqlibdoc.who.int/hq/2003/WHO_CDS_CSR_EPH_2002.23.pdf
15. Setiawan, I. M. 2008. Clinical and Laboratory Aspect of Leptospirosis in
Humans. Universa Medicina. 27(28)
16. Day NPJ, Edwards CN. Leptospirosis. In: Cohen J, Opal SM, Powderly
WG, editors. Infectious diseases. 3rd ed. London: Mosby Elsevier; 2010.
p. 1241-2.
17. Gulati S, Gulati A. Pulmonary manifestations of leptospirosis. Lung India
2012;29:347-53.
18. Leptospirosis clinical practice guidelines 2010 [Internet]. [cited 2013 Dec
20]. Available from: http://www.psmid.org.ph/
contents/Leptospirosis_GUIDELINES _(contents).pdf.

31

Anda mungkin juga menyukai