Anda di halaman 1dari 17

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia sebagai negara kesatuan pada dasarnya dapat mengandung potensi


kerawanan akibat keanekaragaman suku bangsa, bahasa, agama, ras dan etnis
golongan. Hal tersebut merupakan faktor yang berpengaruh terhadap potensi
timbulnya konflik sosial. Dengan semakin marak dan meluasnya konflik akhir-akhir
ini, merupakan suatu pertanda menurunnya rasa nasionalisme di dalam masyarakat.

Kondisi seperti ini dapat terlihat dengan meningkatnya konflik yang bernuansa
SARA, serta munculya gerakan-gerakan yang ingin memisahkan diri dari
NKRI akibat dari ketidak puasan dan perbedaan kepentingan, apabila kondisi ini
tidak segera ditangani dengan baik akhirnya akan berdampak pada disintegrasi
bangsa.

Masalah disintegrasi bangsa merupakan masalah yang sangat mengkhawatirkan


kelangsungan hidup bangsa ini. Dimanakah nilai-nilai Pancasila yang dulu dicita-
citakan oleh bapak pendiri bangsa? Sudahkah nilai-nilai Pancasila luntur dari bangsa
ini? Untuk itu inilah PR bagi bangsa ini, bukan hanya pemerintah, bukan hanya TNI
dan POLRI tetapi juga kita seluruh warga Indonesia. Perlunya ditegakkan kembali
nilai-nilai Pancasila tidak bisa ditunda-tunda lagi, bangsa ini sudah krisis dalam segala
aspek kehidupan khususnya krisis moral. Nilai-nilai Pancasila harus dihidupkan
kembali dalam setiap aspek kehidupan, bukan hanya terkristalisasi sebagi ideologi
Negara. Permasalahan disintegrasi ini sangat kompleks sebagai akibat akumulasi
permasalahan Ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan keamanan yang saling
tumpang tindih, apabila tidak cepat dilakukan tindakan-tindakan bijaksana untuk
menanggulangi sampai pada akar permasalahannya maka akan menjadi problem yang
berkepanjangan.

Untuk itulah, makalah ini disusun dalam rangka menyadarkan kembali akan
pentingnya nilai-nilai Pancasila ditegakkan kembali.

1
B. Rumusan Masalah

1. Definisi Disintegrasi Secara Umum


2. Definisi Disintegrasi Bangsa
3. Faktor Pemicu Terjadinya Disintegrasi Bangsa
4. Sejarah Disintegrasi Bangsa
5. Pemberontakan Tokoh Disintegrasi kalimantan
6. Akhir dari Disintegrasi Kalimantan

C. Tujuan

1. Mengetahui Definisi Disintegrasi Secara Umum


2. Mengetahui Definisi Disintegrasi Bangsa
3. Mengetahui Apa Faktor Pemicu Disintegrasi Bangsa
4. Mengetahui Sejarah Disintegrasi Bangsa
5. Mengetahui Pemberontakan Tokoh Disintegrasi Kalimantan
6. Mengetahui Akhir dari Disintegrasi Kalimantan

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Disintegrasi Secara Umum

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Integrasi berarti penyatuan supaya menjadi
suatu kebulatan atau menjadi utuh. Disintegrasi berarti kebalikan dari kata integrasi,
yaitu pemisahan. Ancaman Disintegrasi Bangsa berarti ancaman akan cerai berainya
suatu bangsa. Di Indonesia sendiri, pada awal-awal kemerdekaanya, masih banyak
ancaman-ancaman disintegrasi bangsa
Kita tahu saat ini yang namanya persoalan integrasi bangsa mengancam dimana-mana
mulai dari Sabang sampai Marauke. Hal itu terlihat dari munculnya gerakan-gerakan
separatis diberbagai wilayah serta banyaknya konflik baik itu antara agama maupun
budaya.
Banyak diantaranya yang merasa tak percaya dengan kepemimpinan negaranya
sendiri, kebanyakan mereka ingin membebaskan diri dari belengu ketidak adilan dari
pemerintah saat ini.
Sejumlah elit politik hanya berdiam diri mementingkan kelompoknya sendiri.
Bahkan, tak jarang mereka juga mementingkan pribadinya sendiri.
Jadi dapat disimpulkan Disintegrasi merupakan suatu keadaan yang terpecah belah
dari kesatuan yang utuh menjadi terpisah-pisah.

B. Definisi Disintegrasi Bangsa

Disintegrasi secara harfiah dipahami sebagai perpecahan suatu bangsa menjadi


bagian-bagian yang saling terpisah (Webster’s New Encyclopedic Dictionary 1996).

Bila dicermati adanya gerakan pemisahan diri sebenarnya sering tidak berangkat dari
idealisme untuk berdiri sendiri akibat dari ketidak puasan yang mendasar dari
perlakuan pemerintah terhadap wilayah atau kelompok minoritas seperti masalah
otonomi daerah, keadilan sosial, keseimbangan pembangunan, pemerataan dan hal-hal
yang sejenis.

Kekhawatiran tentang perpecahan (disintegrasi) bangsa di tanah air dewasa ini yang
dapat digambarkan sebagai penuh konflik dan pertikaian, gelombang reformasi yang
tengah berjalan menimbulkan berbagai kecenderungan dan realitas baru. Segala hal
yang terkait dengan Orde Baru termasuk format politik dan paradigmanya dihujat dan
dibongkar. Bermunculan pula aliansi ideologi dan politik yang ditandai dengan
menjamurnya partai-partai politik baru. Seiring dengan itu lahir sejumlah tuntutan
daerah-daerah diluar Jawa agar mendapatkan otonomi yang lebih luas atau merdeka
yang dengan sendirinya makin menambah problem, manakala diwarnai terjadinya
konflik dan benturan antar etnik dengan segala permasalahannya.

3
Penyebab timbulnya disintegrasi bangsa juga dapat terjadi karena perlakuan yang
tidak adil dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah khususnya pada daerah-
daerah yang memiliki potensi sumber daya/kekayaan alamnya berlimpah/ berlebih,
sehingga daerah tersebut mampu menyelenggarakan pemerintahan sendiri dengan
tingkat kesejahteraan masyarakat yang tinggi.

Selain itu disintegrasi bangsa juga dipengaruhi oleh perkembangan politik dewasa
ini. Dalam kehidupan politik sangat terasa adanya pengaruh dari statemen politik
para elit maupun pimpinan nasional, yang sering mempengaruhi sendi-sendi
kehidupan bangsa, sebagai akibat masih kentalnya bentuk-bentuk primodialisme
sempit dari kelompok, golongan, kedaerahan bahkan agama. Hal ini menunjukkan
bahwa para elit politik secara sadar maupun tidak sadar telah memprovokasi
masyarakat. Keterbatasan tingkat intelektual sebagian besar masyarakat Indonesia
sangat mudah terpengaruh oleh ucapan-ucapan para elitnya sehingga dengan mudah
terpicu untuk bertindak yang menjurus kearah terjadinya kerusuhan maupun konflik
antar kelompok atau golongan.

C. Faktor Pemicu Terjadinya Disintegrasi Bangsa

1. Geografi
Indonesia yang terletak pada posisi silang dunia merupakan letak yang sangat
strategis untuk kepentingan lalu lintas perekonomian dunia selain itu juga memiliki
berbagai permasalahan yang sangat rawan terhadap timbulnya disintegrasi bangsa.
Dari ribuan pulau yang dihubungkan oleh laut memiliki karakteristik yang berbeda-
beda dengan kondisi alamnya yang juga sangat berbeda-beda pula menyebabkan
munculnya kerawanan sosial yang disebabkan oleh perbedaan daerah misalnya daerah
yang kaya akan sumber kekayaan alamnya dengan daerah yang kering tidak memiliki
kekayaan alam dimana sumber kehidupan sehari-hari hanya disubsidi dari pemerintah
dan daerah lain atau tergantung dari daerah lain.
2. Demografi
Jumlah penduduk yang besar, penyebaran yang tidak merata, sempitnya lahan
pertanian, kualitas SDM yang rendah berkurangnya lapangan pekerjaan, telah
mengakibatkan semakin tingginya tingkat kemiskinankarena rendahnya tingkat
pendapatan, ditambah lagi mutu pendidikan yang masih rendah yang menyebabkan
sulitnya kemampuan bersaing dan mudah dipengaruhi oleh tokoh elit
politik/intelektual untuk mendukung kepentingan pribadi atau golongan.
3. Kekayaan Alam
Kekayaan alam Indonesia yang melimpah baik hayati maupun non hayati akan tetap
menjadi daya tarik tersendiri bagi negara Industri, walaupun belum secara
keseluruhan dapat digali dan di kembangkan secara optimal namun potensi ini perlu
didayagunakan dan dipelihara sebaik-baiknya untuk kepentingan pemberdayaan
masyarakat dalam peran sertanya secara berkeadilan guna mendukung kepentingan
perekonomian nasional.
4. Ideologi
Pancasila merupakan alat pemersatu bangsa Indonesia dalam penghayatan dan
pengamalannya masih belum sepenuhnya sesuai dengan nilai-nilai dasar Pancasila,

4
bahkan saat ini sering diperdebatkan. Ideologi pancasila cenderung tergugah dengan
adanya kelompok-kelompok tertentu yang mengedepankan faham liberal atau
kebebasan tanpa batas, demikian pula faham keagamaan yang bersifat ekstrim baik
kiri maupun kanan.
5. Politik
Berbagai masalah politik yang masih harus dipecahkan bersama oleh bangsa
Indonesia saat ini seperti diberlakukannya Otonomi daerah, sistem multi partai,
pemisahan TNI dengan Polri serta penghapusan dwi fungsi BRI, sampai saat ini
masih menjadi permasalahan yang belum dapat diselesaikan secara tuntas karena
berbagai masalah pokok inilah yang paling rawan dengan konflik sosial
berkepanjangan yang akhirnya dapat menyebabkan timbulnya disintegrasi bangsa.
6. Ekonomi
Sistem perekonomian Indonesia yang masih mencari bentuk, yang dapat
pemberdayakan sebagian besar potensi sumber daya nasional, serta bentuk-bentuk
kemitraan dan kesejajaran yang diiringi dengan pemberantasan terhadap KKN. Hal
ini dihadapkan dengan krisis moneter yang berkepanjangan, rendahnya tingkat
pendapatan masyarakat dan meningkatnya tingkat pengangguran serta terbatasnya
lahan mata pencaharian yang layak.
7. Sosial Budaya
Kemajemukan bangsa Indonesia memiliki tingkat kepekaan yang tinggi dan dapat
menimbulkan konflik etnis kultural. Arus globalisasi yang mengandung berbagai
nilai dan budaya dapat melahirkan sikap pro dan kontra warga masyarakat yang
terjadi adalah konflik tata nilai. Konflik tata nilai akan membesar bila masing-masing
mempertahankan tata nilainya sendiri tanpa memperhatikan yang lain.
8. Pertahanan dan Keamanan
Bentuk ancaman terhadap kedaulatan negara yang terjadi saat ini menjadi bersifat
multi dimensional yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri, hal ini
seiring dengan perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi,
informasi dan komunikasi. Serta sarana dan prasarana pendukung didalam
pengamanan bentuk ancaman yang bersifat multi dimensional yang bersumber dari
permasalahan ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya.

D. Sejarah Disintegrasi Bangsa

Pemberontakan DI/TII di Indonesia, Latar Belakang, Penyebab, Tujuan - Negara


Islam Indonesia (NII), Tentara Islam Indonesia (TII) atau biasa disebut dengan DI
(Darul Islam) adalah sebuah gerakan politik yang didirikan pada tanggal 7 Agustus
1949 (12 syawal 1368 Hijriah) oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo di sebuah
desa yang berada di kota Tasikmalaya, Jawa Barat. NII tersebut diproklamasikan pada
saat Negara Pasundan yang dibuat oleh Belanda mengangkat seorang Raden yang
bernama Raden Aria Adipati Wiranatakoesoema sebagai pemimpin/presiden di
Negara Pasundan tersebut.

5
1) Latar Belakang dan Tujuan Pemberontakan DI/TII

Gerakan NII ini bertujuan untuk menjadikan Republik Indonesia sebagai sebuah
Negara yang menerapkan dasar Agama Islam sebagai dasar Negara. Dalam
proklamasinya tertulis bahwa “Hukum yang berlaku di Negara Islam Indonesia adalah
Hukum Islam” atau lebih jelasnya lagi, di dalam undang-undang tertulis bahwa
“Negara Berdasarkan Islam” dan “Hukum tertinggi adalah Al Qur’an dan Hadist”.
Proklamasi Negara Islam Indonesia (NII) menyatakan dengan tegas bahwa kewajiban
Negara untuk membuat undang-undang berdasarkan syari’at Islam, dan menolak
keras terhadap ideologi selain Al Qur’an dan Hadist, atau yang sering mereka sebut
dengan hukum kafir.

Bendera NII

Bendera NII. (Wikimedia Commons) [1]

Dalam perkembangannya, Negara Islam Indonesia ini menyebar sampai ke beberapa


wilayah yang berada di Negara Indonesia terutama Jawa Barat, Jawa Tengah,
Kalimantan Selatan, Aceh, dan Sulawesi Selatan. Setelah Sekarmadji ditangkap oleh
Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan dieksekusi pada tahun 1962, gerakan Darul
Islam tersebut menjadi terpecah. Akan tetapi, meskipun dianggap sebagai gerakan
ilegal oleh Negara Indonesia, pemberontakan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam
Indonesia) ini masih berjalan meskipun dengan secara diam-diam di Jawa Barat,
Indonesia.

Pada Tanggal 7 Agustus 1949, di sebuah desa yang terletak di kabupaten


Tasikmalaya, Jawa Barat. Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo mengumumkan bahwa
Negara Islam Indonesia telah berdiri di Negara Indonesia, dengan gerakannya yang
disebut dengan DI (Darul Islam) dan para tentaranya diberi julukan dengan sebutan
TII (Tentara Islam Indonesia). Gerakan DI/NII ini dibentuk pada saat provinsi Jawa
Barat ditinggalkan oleh Pasukan Siliwangi yang sedang berhijrah ke Jawa Tengah dan
Yogyakarta dalam rangka melaksanakan perundingan Renville.

Saat pasukan Siliwangi tersebut berhijrah, kelompok DI/TII ini dengan leluasa
melakukan gerakannya dengan merusak dan membakar rumah penduduk,
membongkar jalan kereta api, serta menyiksa dan merampas harta benda yang
dimiliki oleh penduduk di daerah tersebut. Namun, setelah pasukan Siliwangi
menjadwalkan untuk kembali ke Jawa Barat, kelompok DI/TII tersebut harus
berhadapan dengan pasukan Siliwangi.

2) Upaya Penumpasan Pemberontakan DI/TII

Usaha untuk meruntuhkan organisasi DI/TII ini memakan waktu cukup lama di
karenakan oleh beberapa faktor, yaitu:

Tempat tinggal pasukan DI/TII ini berada di daerah pegunungan yang sangat
mendukung organisasi DI/TII untuk bergerilya.

6
Pasukan Sekarmadji dapat bergerak dengan leluasa di lingkungan penduduk.

Pasukan DI/TII mendapat bantuan dari orang Belanda yang di antaranya pemilik
perkebunan, dan para pendukung Negara pasundan.

Suasana Politik yang tidak konsisten, serta prilaku beberapa golongan partai politik
yang telah mempersulit usaha untuk pemulihan keamanan.

Selanjutnya, untuk menghadapi pasukan DI/TII, pemerintah mengerahkan Tentara


Nasional Indonesia (TNI) untuk meringkus kelompok ini. Pada tahun 1960 para
pasukan Siliwangi bekerjasama dengan rakyat untuk melakukan operasi “Bratayudha”
dan “Pagar Betis” untuk menumpas kelompok DI/TII tersebut. Pada Tanggal 4 Juni
1962 Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo dan para pengawalnya di tangkap oleh
pasukan Siliwangi dalam operasi Bratayudha yang berlangsung di Gunung Geber,
Majalaya, Jawa Barat. Setelah Sekarmadji ditangkap oleh pasukan TNI, Mahkamah
Angkatan Darat menyatakan bahwa Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo dijatuhi
hukuman mati, dan dan setelah Sekarmadji meninggal, pemberontakan DI/TII di Jawa
Barat dapat dimusnahkan.

3) Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat

Pada tanggal 7 Agustus 1949 Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo secara resmi


menyatakan bahwa organisasi Negara Islam Indonesia (NII) berdiri berlandaskan
kanun azasi, dan pada tanggal 25 Januari 1949, ketika pasukan Siliwangi sedang
melaksanakan hijrah dari Jawa Barat ke Jawa Tengah, saat itulah terjadi kontak
senjata yang pertama kali antara pasukan TNI dengan pasukan DI/TII. Selama
peperangan pasukan DI/TII ini di bantu oleh tentara Belanda sehingga peperangan
antara DI/TII dan TNI menjadi sangat sengit. Hadirnya DI/TII ini mengakibatkan
penderitaan penduduk Jawa Barat, karena penduduk tersebut sering menerima terror
dari pasukan DI/TII. Selain mengancam para warga, para pasukan DI/TII juga
merampas harta benda milik warga untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka.

4) Pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah

Selain di Jawa Barat, pasukan DI/TII ini juga muncul di Jawa Tengah semenjak
adanya Majelis Islam yang di pimpin oleh seseorang bernama Amir Fatah. Amir
Fatah adalah seorang komandan Laskar Hizbullah yang berdiri pada tahun 1946,
menggabungkan diri dengan pasukan TNI Battalion 52, dan bertempat tinggal di
Berebes, Tegal. Amir ini mempunyai pengikut yang jumlahnya cukup banyak, dan
cara Amir mendapatkan para pasukan tersebut, yaitu. Dengan cara menggabungkan
para laskar untuk masuk ke dalam anggota TNI. Setelah Amir Fatah mendapatkan
pengikut yang banyak, maka pada tangal 23 Agustus 1949 ia memproklamasikan
bahwa organisasi Darul Islam (DI) berdiri di desa pesangrahan, Tegal. Dan setelah
proklamasi tersebut di laksanakan, Amir Fatah pun menyatakan bahwa gerakan DI

7
yang di pimpinnya bergabung dengan organisasi DI/TII Jawa Barat yang di pimpin
oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo.

Di Kebumen juga terdapat sebuah organisasi bernama Angkatan Umat Islam (AUI)
yang di dirikan oleh seorang kyai bernama Mohammad Mahfud Abdurrahman.
Organisasi tersebut juga bermaksud untuk membentuk Negara Islam Indonesia (NII)
dan bersekutu dengan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. Sebenarnya, gerakan ini
sudah di desak oleh pasukan TNI. Akan tetapi, pada tahun 1952, organisasi ini
bangkit kembali dan menjadi lebih kuat setelah terjadinya pemberontakan Battalion
423 dan 426 di Magelang dan Kudus. Upaya untuk menumpas pemberontakan
tersebut, pemerintah membentuk sebuah pasukan baru yang di beri nama Banteng
Raiders dengan organisasinya yang di sebut Gerakan Banteng Negara (GBN). Pada
tahun 1954 di lakukan sebuah operasi yang di sebut Operasi Guntur untuk
menghancurkan kelompok DI/TII tersebut.

5) Pemberontakan DI/TII di Kalimantan Selatan

Pada bulan Oktober 1950 terjadi sebuah pemberontakan Kesatuan Rakyat yang
Tertindas (KRyT) yang di pimpin oleh seorang mantan letnan dua TNI bernama Ibnu
Hajar. Dia bersama kelompok KRyT menyatakan bahwa dirinya adalah bagian dari
organisasi DI/TII yang berada di Jawa Barat. Sasaran utama yang di serang oleh
kelompok ini adalah pos-pos TNI yang berada di wilayah tersebut. Setelah pemerintah
memberi kesempatan untuk menghentikan pemberontakan secara baik-baik, akhirnya
seorang mantan letnan Ibnu Hajar menyerahkan diri. Akan tetapi, penyerahan dirinya
tersebut hanyalah sebuah topeng untuk merampas peralatan TNI, dan setelah
peralatan tersebut di rampas olehnya, maka Ibnu Hajar pun melarikan diri dan
kembali bersekutu dengan kelompok DI/TII. Setelah itu, akhirnya pemerintahan RI
mengadakan Gerakan Operasi Militer (GOM) yang di kirim ke Kalimantan selatan
untuk menumpas pemberontakan yang terjadi di Kalimantan Selatan tersebut, dan
pada tahun 1959, Ibnu Hajar berhasil di ringkus dan di jatuhi hukuman mati pada
tanggal 22 Maret 1965.

6) Pemberontakan DI/TII di Aceh

Sesaat setelah Kemerdekaan Republik Indonesia di proklamasikan, di Aceh (Serambi


Mekah) terjadi sebuah konflik antara kelompok alim ulama yang tergabung dalam
sebuah organisasi bernama PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) yang di pimpin
oleh Tengku Daud Beureuh dengan kepala adat (Uleebalang). Konflik tersebut
mengakibatkan perang saudara antara kedua kelompok tersebut yang berlangsung
sejak Desember 1945 sampai Februari 1946. Untuk menanggulangi masalah tersebut,
pemerintah RI memberikan status Daerah Istimewa tingkat provinsi kepada Aceh, dan
mengangkat Tengku Daud Beureuh sebagai pemimpin/gubernur.

Setelah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indoneisa (NKRI) yang terbentuk


pada bulan Agustus 1950. Pemerintahan Republik Indonesia mengadakan sebuah
sistem penyederhanaan administrasi pemerintahaan yang mengakibatkan beberapa

8
daerah di Indonesia mengalami penurunan status. Salah satu dari semua daerah yang
statusnya turun yaitu Aceh, yang tadinya menjabat sebagai Daerah Istimewa, setelah
operasi penyederhanaan tersebut di mulai, status Aceh pun berubah menjadi daerah
keresidenan yang di kuasai oleh provinsi Sumatera Utara. Kejadiaan ini sangat
mengecewakan seorang Daud Beureuh, dan akhirnya Daud Beureuh membuat sebuah
keputusan yang bulat untuk bergabung dengan organisasi Negara Islam Indonesia
(NII) yang di pimpin oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. Peristiwa tersebut
terjadi pada tanggal 20 Spetember 1953. Setelah Daud Beureuh bergabung dengan
NII, mereka melakukan sebuah operasi untuk menguasai kota-kota yang berada di
Aceh, selain itu mereka juga melakukan propaganda untuk memperkeruh citra
pemerintahan Republik Indonesia.

Pemberontakan yang di lakukan Daud Beureuh bersama angota NII yang di pimpin
oleh Sekarmadji akhirnya di atasi oleh pemerintah dengan cara menggunakan
kekuatan senjata dan operasi militer dari TNI. Setelah pemerintahan RI melakukan
operasi tersebut, maka kelompok DI/TII tersebut mulai terkikis dari kota-kota yang di
tempatinya. Tentara Nasional Indonesia-pun memberikan pencerahan kepada
penduduk setempat untuk menghindari kesalah pahaman dan mengembalikan
kepercayaan kepada pemerintahan Republik Indoneisa. Tanggal 17 sampai 28
Desember 1962, atas nama Prakasa Panglima Kodami Iskandar Muda, kolonel
M.Jasin mengadakan Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh, yang musyawarah
tersebut mendapat dukungan dari para tokoh masyarakat Aceh dan musyawarah yang
di lakukan tersebut berhasil memulihkan kemanana di Aceh.

7) Pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan

Selain pemberontakan DI/TII di Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Kalimantan
Selatan. Pemberontakan DI/TII ini juga terjadi di Sulawesi Selatan yang di pimpin
oleh Kahar Muzakar, organisasi yang sudah di dirikan sejak tahun 1951 tersebut baru
bisa di runtuhkan oleh pemerintah pada Tahun 1965. Untuk menumpas organisasi
tersebut di butuhkan banyak biaya, tenaga, dan waktu karena kondisi medan yang
sangat sulit. Meski demikian, para pemberontak DI/TII sangat menguasai area
tersebut. Selain itu, para pemberontak memanfaatkan rasa kesukuan yang berkembang
di kalangan masyarakat untuk melawan pemerintah dalam menumpas organisasi
DI/TII tersebut. Setelah pemerintahan Republik Indonesia mengadakan operasi
penumpasan DI/TII bersama anggota Tentara Republik Indonesia. Barulah seorang
Kahar Muzakar tertangkap dan di tembak oleh pasukan TNI pada tanggal 3 Februari
1965.

Pada akhirnya TNI mampu menghalau seluruh pemberontakan yang terjadi pada saat
itu. Karena seperti yang kita ketahui Indonesia terbentuk dari berbagai suku dengan
beragam kebudayaannya dan UUD 45 yang melindungi beberapa kepercayaan
sehingga tidak mungkin untuk menjadikan salah satu hukum agama di jadikan hukum
negara

9
E. Pemberontakan Tokoh Disintegrasi Kalimantan

Pada awal tahun 1950-an, yakni sesudah selesainya Perang Kemerdekaan Indonesia,
Pemerintah Pusat mengeluarkan kebijakan mendemobilisasi mantan pejuang gerilya
dan merasionalisasi anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang menimbulkan
berbagai benturan, persoalan, ketidakpuasan, gerakan politik dan bersenjata di
sejumlah daerah, seperti Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Aceh, dan Kalimantan Selatan.

Persoalan yang berkaitan dengan konteks nasional itu, tidak terlepas dari Konferensi
Meja Bundar (KMB) yang menghasilkan “Pengakuan Kedaulatan” (transfer of
sovereignty) 27 Desember 1949, berupa serah terima pemerintahan antara Pemerintah
Kerajaan Belanda dengan Pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS). Di samping
itu, serah terima di bidang kemiliteran yang meliputi bidang personil, material dan
aparat pendidikan.

Sesuai dengan keputusan KMB, tanggungjawab keamanan seluruhnya harus


diserahkan kepada Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) yang
berintikan TNI dan meliputi orang Indonesia anggota KNIL serta kesatuan-kesatuan
NICA (Netherlands Indies Civil Administration) lainnya yang berkeinginan masuk.
Sehubungan dengan itu, dalam rangka peleburan anggota KNIL ke dalam APRIS,
pemerintah RIS mengeluarkan be¬berapa peraturan dengan tujuan agar peleburan itu
dapat berjalan setertib mungkin. Oleh sebab itu, berdasarkan Undang-Undang Darurat
No. 4/1950 (Lembaran Negara No. 5/1950), maka yang dapat diterima menjadi
anggota APRIS adalah warga negara RIS bekas anggota Angkatan Perang RI (TNI)
dan warga negara RIS bekas anggota angkatan perang yang disusun oleh atau di
bawah kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda atau NICA, Menurut Nugroho
Notosusanto (1985) usaha peleburan tersebut, didasarkan kepada kebijaksanaan
Perdana Menteri Mohammad Hatta yang berkeinginan menstransformasikan TNI
yang lahir sebagai tantara nasional, tentara rakyat, tentara revolusi, menjadi suatu
tentara profesional menurut model Barat. Untuk itu dipekerjakan suatu Nederlands
Militaire Missie (NMM) atau Misi Militer Belanda sebagai pelatih prajurit-prajurit
TNI. Kebijaksanaan tersebut sudah barang tentu tidak populer di kalangan TNI dan
menimbulkan masalah psikologis.

Ditinjau dari segi politik militer peleburan itu merupakan suatu kemenangan, tetapi
akibat psikologis bagi TNI adalah berat. TNI dipaksa menerima sebagai kawan orang-
orang yang selama pe¬rang kemerdekaan menjadi lawan mereka. Sementara itu di
kalangan TNI sendiri banyak anggota-anggotanya yang harus dikembalikan ke
masyarakat, sebab dianggap tidak memenuhi syarat-syarat untuk tetap menjadi
anggota angkatan perang.

Di Kalimantan Selatan, benturan-benturan juga terjadi ketika diadakannya usaha-


usaha pembentukan TNI dan peleburannya ke dalam APRIS. Sebagai realisasi diri
pelaksanaan Undang-Undang Darurat No. 4/1950, maka pada tanggal 28 Januari 1950

10
Komandan Teritorium VI, yaitu Letnan Kolonel Sukanda Bratamenggala menerima
bekas KNIL sebanyak 125 orang. Dalam tulisan Dhany Justian (1972) disebutkan,
Letnan Kolonel Sukanda Bratamenggala telah menerima bekas KNIL berupa 1 kompi
infantri dari bawah pimpinan Letnan Satu Sualang dan 1 kompi bantuan dari bawah
pimpinan Letnan Kotton.

Sebagian anggota KNIL yang masuk dalam APRIS itu dijadikan pelatih dan
komandan pasukan, dan mereka rata-rata dinaikan pangkatnya, sedangkan sebagian
besar mantan pejuang gerilya yang masuk APRIS hanya berpangkat rendah dan
prajurit biasa. Selain itu, utusan militer dari Pusat yang didatangkan ke Kalimantan
Selatan dengan tujuan untuk menyempurnakan Divisi Lambung Mangkurat menjadi
kesatuan yang modern telah menimbulkan ketegangan-ketegangan pada anggota
divisi yang nota bene mantan anggota gerilya. Mereka harus menjalani pemeriksaan
kesehatan untuk dilihat siapa-siapa yang tetap menjadi tentara republik dan siapa yang
harus dikembalikan atau didemobilisasikan ke masyarakat. Sebagaimana dinyatakan
Hassan Basry (2003) bagi mereka yang dikembalikan ke masyarakat atau yang tidak
memenuhi syarat sebagai anggota APRIS, kepadanya diberikan pesangon berupa uang
sebesar Rp 50,- dan selembar kain sepanjang 1,3 meter.

Persoalannya tidak hanya itu, setelah menjalani penyaringan mereka harus


melaksanakan aturan-aturan militer yang ketat yang diberikan oleh pejabat-pejabat
militer mantan anggota KNIL dari Jawa yang mereka pandang telah meremehkan dan
merendahkan martabat mereka.

Dan lebih celaka lagi, menurut mereka, jabatan militer dan sipil yang terpenting terus
diduduki oleh orang yang mereka pandang pernah bekerjasama dengan Belanda
(NICA) atau diberikan kepada orang-orang dari luar daerah. Sementara itu, ada usaha-
usaha untuk memisahkan mantan pimpinan gerilyawan dengan anak buahnya,
misalnya dengan mengirim Kolonel H. Hassan Basry ke Kairo, Mesir dengan tugas
belajar di Universitas Al-Azhar dan tinggallah bekas-bekas anak buah sebagai anak
ayam kehilangan induknya. Masuknya bekas KNIL ke dalam APRIS, menimbulkan
beberapa masalah besar bagi intern APRIS pada umumnya, dan bagi pasukan TNI
yang nota bene mantan pejuang kemerdekaan, seperti mantan pasukan MN
1001/MTKI dan ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan, atau mantan pejuang gerilya
lainnya. Mereka dipaksa untuk menerima KNIL sebagai mitra atau teman sekerja,
sedangkan pada masa perang kemerdekaan KNIL adalah musuh mereka. Masalah
tersebut di atas juga terungkap dalam tulisan Kodam X/Lam (1970) dan tulisan Dhany
Justian (1972) sebagai berikut:

Pasukan MTK/Tengkorak Putih dan MTKI/MN 1001 yang ketika didrop ke


Kalimantan adalah TRI berpendapat bahwa mere¬ka sudah menjadi Tentara
Republik Indonesia yang resmi sehingga merasa tidak perlu lagi masuk ke dalam
TNI. Badan -badan Perjuangan tersebut di atas bekerja sama dengan tokoh-tokoh
ALRI Divisi IV/PK, dan di samping itu banyak tokoh-tokoh tidak dapat menerima

11
penggabungan KNIL ke da¬lam TNI tersebut, disebabkan mereka masih
beranggapan bahwa bekerjasama dengan KNIL sama dengan bekerjasama dengan
musuh yang dulu membunuhi rakyat.

Adanya demobilisasi seperti dikemukakan sebelumnya, tidaklah mengecewakan, jika


tidak dibarengi dengan laku lajak (over acting) Tentara Republik yang dahulunya
bekas KNIL (Ideham dkk, ed., 2003) dan sikapnya meremehkan prestasi daerah dalan
perjuangan kemerdekaan (Dijk, 1983). Di samping itu, kekecewaan muncul karena
per¬soalan pribadi dari beberapa tokoh menyangkut perbedaan kedudukan, fasilitas,
prioritas dan sebagainya.

Tidak mengherankan memang dalam masa peralihan tersebut ada sebagian anggota
Divisi Lambung Mangkurat maupun para demobilisan tidak sanggup menghadapi
kenyataan dan ingin meneruskan hidup yang avonturis. Akibatnya timbul berbagai
ekses dan konflik, seperti konflik mental, batin dan fisik yang dimanifestasikan dalam
berbagai bentuk, misalnya meneruskan cara hidup serobotan, penggedoran,
penculikan, pemerasan, dan perbuatan-perbuatan lainnya yang dipandang
mengganggu ketenteraman umum. Aksi-aksi mereka terus berlanjut sampai
munculnya Gerombolan Suriansyah (Tan Malaka) dan Kesatuan Rakyat Indonesia
yang Tertindas (KRIyT, KRJTT) yang dipimpin oleh Ibnu Hadjar (Ibnu Hajar),
seorang mantan pejuang gerilya, yang karena tindakannya itu maka ia diberi stigma
(noda, cacat) oleh Pemerintah Pusat sebagai “pemberontak”.

“Ibnu Hadjar alias Haderi bin Umar alias Angli adalah seorang bekas Letnan Dua
TNI yang kemudian memberontak dan menyatakan gerakannya sebagai bagianDI/TII
Kartosuwiryo. Dengan pasukan yang dinamakannya Kesatuan Rakyat Yang
Tertindas, Ibnu Hadjar menyerang pos-pos kesatuan tentara di Kalimantan Selatan
dan melakukan tindakan-tindakan pengacauan pada bulan Oktober 1950.

Untuk menumpas pemberontakan Ibnu Hadjar ini pemerintah menempuh upaya


damai melalui berbagai musyawarah dan operasi militer. Pada saat itu
pemerintahRepublik Indonesia masih memberikan kesempatan kepada Ibnu Hadjar
untuk menghentikan petualangannya secara baik-baik, sehingga ia menyerahkan diri
dengan kekuatan pasukan beberapa peleton dan diterima kembali ke dalam Angkatan
Perang Republik Indonesia. Tetapi setelah menerima perlengkapan Ibnu Hadjar
melarikan diri lagi dan melanjutkan pemberontakannya.

Pada akhir tahun 1954, Ibnu Hajar membulatkan tekadnya untuk masuk Negara
Islam. Ibnu Hajar diangkat menjadi panglima TII wilayah Kalimantan.

Perbuatan ini dilakukan lebih dari satu kali sehingga akhirnya Pemerintah
memutuskan untuk mengambil tindakan tegas menggempur gerombolan Ibnu Hadjar.
Pada akhir tahun 1959 pasukan gerombolan Ibnu Hadjar dapat dimusnahkan dan
lbnu Hadjar sendiri dapat ditangkap. Gerakan perlawanan baru berakhir pada bulan

12
Juli 1963. Ibnu Hadjar dan anak buahnya menyerahkan diri secara resmi dan pada
bulan Maret 1965 Pengadilan Militer menjatuhkan hukuman mati kepada Ibnu
Hajar”.

F. Akhir dari Disintegrasi Kalimantan

Peristiwa Pemberontakan DI/TII Jawa barat, Jawa tengah, Aceh, Sulawesi Selatan,
Kalimatan Selatan. Berbagai Pemberontakan DI/TII, peristiwa-peristiwa Sejarah
Indonesia tentang Pemberontakan DI/TII, peristiwa-peristiwa tersebut terjadi
diberbagai wilayah yaitu Pemberontakan DI/TII dijawa barat, Pemberontakan DI/TII
di Jawa Tengah, Pemberontakan DI/TII Aceh, Pemberontakan DI/TII di Sulawesi
selatan, Pemberontakan DI/TII di Kalimantan Selatan, semua pemberontakan-
pemberontakan tersebut berhasil dimusnahkan Indonesia, peristiwa-peristiwa itu
terjadi karena adanya akibat atau penyebabnya sehingga Pemberontakan DI/TII dapat
terjadi, dan cara-cara yang dilakukan pemerintah dalam Penanggulangan
pemberontakan DI/TII karna Pemberontakan DI/TII terjadi diberbagai wilayah
Indonesia sehingga diperlukan peran pemerintah dalam menanggulangi
pemberontakan tersebut. Oleh karenanya itu akan dibahas secara lengkap yang
mencakup seluruh Peristiwa DI/TII diberbagai wilayah serta cara apa yang dilakukan
pemerintah dalam menanggulangi pemberontakan DI/TII jadi tema yang dapat kita
petik yang mencakup keseluruhannya adalah Peristiwa DI/TII dan Cara yang
dilakukan Pemerintah Dalam Penanggulangannya

1. Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat


Pada tanggal 7 Agustus 1949 di suatu desa di Kabupaten Tasikmalaya (Jawa Barat),
Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo memproklamirkan berdirinya Negara Islam
Indonesia. Gerakannya dinamakan Darul Islam (DI) sedang tentaranya dinamakan
Tentara Islam Indonesia (TIl). Gerakan ini dibentuk pada saat Jawa Barat ditinggal
oleh pasukan Siliwangi yang berhijrah ke Yogyakarta dan Jawa Tengah dalam rangka
melaksanakan ketentuan dalam Perundingan Renville.

Ketika pasukan Siliwangi berhijrah, gerombolan DI/TII ini dapat leluasa melakukan
gerakannya dengan membakar rumah-rumah rakyat, mernbongkar rel kereta api,
menyiksa dan merampok harta benda penduduk. Akan tetapi setelah pasukan
Siliwangi mengadakan long march kembali ke Jawa Barat, gerombolan DI/Tll ini
harus berhadapan dengan pasukan Siliwangi.

Usaha untuk menumpas pemberontakan DI/TIl ini memerlukan waktu yang lama
disebabkan oleh beberapa faktor, yakni:
a. medannya berupa daerah pegunungan-pegunungan sehingga sangat
mendukung pasukan DI/Til untuk bergerilya,
b. pasukan Kartosuwiryo dapat bergerak dengan leluasa di kalangan rakyat,
c. pasukan DI /TII mendapat bantuan dari beberapa orang Belanda, antara lain
pemilik-pemilik perkebunan dan para pendukung negara Pasundan,

13
d. suasana politik yang tidak stabil dan sikap beberapa kalangan partai politik
telah mempersulit usaha-usaha pemulihan keamanan.

Selanjutnya dalam menghadapi aksi DI/TII pemerintah mengarahkanpasukan TNI


untuk menumpas gerombolan ini. Pada tahun 1960 pasukan Siliwangi bersama rakyat
melakukan operasi “Pagar Betis” dan operasi“Bratayudha.” Pada tanggal 4 Juni
1962 S.M. Kartosuwiryo beserta para pengawalnya dapat ditangkap oleh pasukan
Siliwangi dalam operasi “Bratayudha” di Gunung Geber, daerah

Majalaya, Jawa Barat. Kemudian S.M. Kartosuwiryo oleh Mahkamah Angkatan Darat
dijatuhi hukuman mati sehingga pemberontakan DI/TII di Jawa Barat dapat
dipadamkan.

2. Pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah


Gerombolan DI/TII ini tidak hanya di Jawa Barat akan tetapi di Jawa Tengah juga
muncul pemberontakan yang didalangi oleh DI/ TII. Pemberontakan DI/TII di Jawa
Tengah di bawah pimpinan Amir Fatah yang bergerak di daerah Brebes, Tegal, dan
Pekalongan. dan Moh. Mahfudh Abdul Rachman (Kiai Sumolangu).

Untuk menumpas pemberontakan ini pada bulan Januari 1950 pemerintah melakukan
operasi kilat yang disebut “Gerakan Banteng Negara” (GBN) dibawah Letnan
Kolonel Sarbini (selanjut-nya diganti Letnan Kolonel M. Bachrun dan kemudian oleh
Letnan Kolonel A. Yani). Gerakan operasi ini dengan pasukan “Banteng Raiders.”

Sementara itu di daerah Kebumen muncul pemberontakan yang merupakan bagian


dan DI/TIl, yakni dilakukan oleh “Angkatan Umat Islam (AUI)” yang dipimpin
oleh Kyai Moh. Mahudz Abdurachman yang dikenal sebagai “Romo Pusat’’ atau
Kyai Somalangu. Untuk menumpas pemberontakan ini memerlukan waktu kurang
lebih tiga bulan.

Pemberontakan DI/TII juga terjadi di daerah Kudus dan Magelang yang dilakukan
oleh Batalyon 426 yang bergabung dengan DI/TIl pada bulan Desember 1951. Untuk
menumpas pemberontakan ini pemerintah melakukan “Operasi Merdeka
Timur” yang dipimpm oleh Lethan Kolonel Soeharto, Komandan Brigade Pragolo.
Pada awal tahun 1952 kekuatan Batalyon pemberontak terrsebut dapat dihancurkan
dan sisa- sisanya melarikan diri ke Jawa Barat dan ke daerah GBN.

3. Pemberontakan DI/TII di Aceh


Gerombolan DI/TIl juga melakukan pemberontakan di Aceh yang dipimpin oleh
Teuku Daud Beureuh. Adapun penyebab timbulnya pemberontakan DI/TIl di Aceh
adalah kekecewaan Daud Beureuh karena status Aceh pada tahun 1950 diturunkan
dan daerah istimewa menjadi karesidenan di bawah Provinsi Sumatera Utara. Pada
tanggal 21 September 1953 Daud Beureuh yang waktu itu menjabat sebagai gubernur
militer menyatakan bahwa Aceh merupakan bagian dan Negara Islam Indonesia di
bawah pimpinan SM. Kartosuwiryo.

14
Dalam menghadapi pemberontakan DI/TII di Aceh ini semula pemerintah
menggunakan kekuatan senjata. Selanjutnya atas prakarsa Kolonel M. Yasin,
Panglima Daerah Militer Iskandar Muda, pada tanggal 17-21 Desember 1962
diselenggarakan “Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh” yang mendapat
dukungan tokoh-tokoh masyarakat Aceh sehingga pemberontakan DI/TIl di Aceh
dapat dipadamkan.

4. Pemberontakan DI/TIl di Sulawesi Selatan


Di Sulawesi Selatan juga timbul pemberontakan DI/TIl yang dipimpin oleh Kahar
Muzakar. Pada tanggal 30 April 1950 Kahar Muzakar menuntut kepada pemerintah
agar pasukannya yang tergabung dalam Komando Gerilya Sulawesi Selatan
dimasukkan ke dalam Angkatan Perang RIS (APRIS). Tuntutan ini ditolak karena
harus melalui penyaringan.

Pemerintah melakukan pendekatan kepada Kahár Muzakar dengan memberi pangkat


Letnan Kolonel. Akan tetapi pada tanggal 17 Agustus 1951 Kahar Muzakar beserta
anak buahnya melarikan diri ke hutan dan melakukan aksi dengan melakukan teror
terhadap rakyat. Untuk menghadapi pemberontakan DI/TIT di Sulawesi Selatan ini
pemerintah melakukan operasi militer. Baru pada bulan Februari 1965 Kahar
Muzakar berhasil ditangkap dan ditembak mati sehingga pemberontakan DI/TII di
Sulawesi dapat dipadamkan.

5. Pemberontakan DI ITII di Kalimantan Selatan


Pada bulan Oktober 1950 DI/TII juga melakukan pemberontakan di Kalimantan
Selatan yang dipimpin oleh Ibnu Hajar. Para pemberontak melakukan pengacauan
dengan menyerang pos-pos kesatuan TNI. Dalam menghadapi gerombolan DI/TII
tersebut pemerintah pada mulanya melakukan pendekatan kepada Ibnu Hajar dengan
diberi kesempatan untuk menyerah, dan akan diterima menjadi anggota TNI. Ibnu
Hajar pun menyerah, akan tetapi setelah menyerah melarikan diri dan melakukan
pemberontakan lagi. Selanjutnya pemerintah mengerahkan pasukan TNI
sehingga pada akhir tahun 1959 Ibnu Hajar beserta seluruh anggota gerombolannya
tertangkap dan dimusnahkan.

15
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dengan munculnya gerakan-gerakan separatis diberbagai wilayah serta banyaknya
konflik antara agama maupun budaya. Integrasi bangsa yang mengancam diberbagai
wilayah dapat menimbulkan disintegrasi bangsa. Adanya gerakan pemisahan diri
sebenarnya tidak idealisme untuk berdiri sendiri. Hal ini diakibatkan dari ketidakpuasan
yang mendasar dari perlakuan pemerintah terhadap wilayah atau kelompok minoritas.

Dalam kehidupan politik sangat terasa adanya pengaruh dari statemen politik para elit
maupun pimpinan nasional, yang mempengaruhi kehidupan bangsa, sebagai akibat
masih kentalnya bentuk-bentuk primodialisme sempit dari kelompok, golongan,
kedaerahan bahkan agama. Hal ini menunjukkan bahwa para elit politik secara sadar
maupun tidak sadar telah memprovokasi masyarakat.

Segala faktor yang beresiko terjadinya disintegrasi bangsa dapat memungkinkan agar
tidak terjadi disintegrasi bangsa, yakni dengan berupaya untuk meningkatkan rasa
nasionalisme terhadap tanah air, menghargai wilayah-wilayah yang memiliki kekayaan
nya tersendiri, mempersatukan ideologi dengan mengemban nilai-nilai pancasila,
meluruskan berbagai masalah politik, menyeimbangkan sistem perekonomian,
mempersatukan sosial dan budaya masyarakat, serta bekerja sama dalam membentuk
Pertahanan dan Keamanan bersama demi tercapainya integrasi bangsa.

B. Saran
Perlu banyak pembelajaran tentang disintegrasi bangsa di Indonesia karena dengan
adanya sejarah tentang disintegrasi bangsa, masyarakat maupun pemerintah dan
pejabat-pejabat tinggi di Indonesia bisa mengambil pelajaran dan hikmah agar bisa
mengembangkan negara yang peduli terhadap wilayah-wilayah yang berpotensi
terjadinya disintegrasi kembali.

16
DAFTAR PUSTAKA

Sumber internet diakses pada 25 april 2016:

http://bintangborneo.blogdetik.com/2010/04/09/sekilas-tentang-sosok-ibnu-hajar/ diakses
pada 26 maret 2016

http://www.ayobukasaja.com/2011/08/pendidikan-kewarganegaraan.html diakses pada26


maret 2016

http://perpustakaancyber.blogspot.co.id/2014/03/pemberontakan-ditii-di-indonesia.html
diakses pada 26 m,aret 2016

http://www.artikelsiana.com/2014/09/Pemberontakan-DITII-Cara-Pemerintah-
Penanggulangannya.html# diakses pada 27 maret 2016

(http://id.wikipedia.org/wiki/Ibnu_Hadjar)

17

Anda mungkin juga menyukai