Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN KASUS

ANEMIA PADA ANAK

PEMBIMBING:

dr. Andi Mulyawan

PENYUSUN :

dr. Sashia Laras

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PASAR REBO

06 November 2017 – 05 Maret 2018


STATUS PASIEN KASUS

IDENTITAS PASIEN
Nama : An. K Jenis Kelamin : Laki-laki
Suku Bangsa : Betawi
Tempat / tanggal lahir : Jakarta, 22 April 2013 Agama : Islam
Alamat : Jl. Cipinang Besar Selatan No. RM : 01057477
Jakarta Timur

ORANG TUA / WALI


Ayah: Ibu :
Nama : Tn. B Nama : Ny. M
Umur : 35 tahun Umur : 31 tahun
Alamat : Jl. Cipinang Besar Alamat : Jl. Cipinang Besar Selatan,
Selatan, Jakarta Timur Jakarta Timur
Pekerjaan : Karyawan Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Pendidikan : D3 Pendidikan : SMA
Suku Bangsa : Jawa Suku Bangsa : Jawa
Agama : Islam Agama : Islam

Hubungan dengan orang tua : pasien merupakan anak kandung

I. ANAMNESIS
Dilakukan secara alloanamnesis dengan Ny. M (ibu kandung pasien)
Keluhan utama : Demam sejak 5 hari SMRS
Keluhan tambahan : Pilek, lemas dan nafsu makan berkurang

a. Riwayat Penyakit Sekarang :


Anamnesis dilakukan secara allo-anamnesis terhadap ibu pasien.
Pasien datang ke IGD dengan keluhan demam sejak 5 hari SMRS. Demam
hari pertama diukur hingga 39C, lalu menurun berangsur-angsur di hari
berikutnya. Ibu pasien mengaku hanya memberikan obat penurun panas saja,
belum berobat kemana pun. Riwayat kejang disangkal. Ibu pasien juga
mengeluhkan bahwa pasien telah pilek sejak 5 hari SMRS. Ingus berwarna
putih bening kental, namun tidak banyak. Pusing, nyeri kepala atau bagian
wajah di sangkal. Batuk, mual, muntah, sesak disangkal. BAK BAB normal
seperti biasa, tidak terdapat keluhan. Ibu pasien mengatakan pasien menjadi
terlihat lemas selama sakit, padahal biasanya pasien sangat aktif dalam
beraktivitas dalam kesehariannya, sering berlarian, bermain, menyanyi dan
berteriak-teriak. Nafsu makan pun juga berkurang dalam 5 hari terakhir.
Pasien menjadi malas-malasan untuk makan. Minum mau. Pada dasarnya,

2
pasien memang tidak suka makan sayur-sayuran. Pasien lebih sering makan
nasi dengan ayam atau telur. Daging di konsumsi hanya sesekali dan tidak
terlalu doyan karena sering di lepeh oleh pasien. Buah-buahan sering di
konsumsi.

b. Riwayat Penyakit yang pernah diderita

Penyakit Umur Penyakit Umur Penyakit Umur


Alergi (-) Difteria (-) Penyakit ginjal (-)
Penyakit
Cacingan (-) Diare (-) (-)
jantung
DBD (-) Kejang (-) Radang paru (-)
Otitis (-) Morbili (-) TBC (-)
Parotitis (-) Operasi (-) Lain-lain (-)
Kesimpulan riwayat penyakit yang pernah diderita: Pasien tidak ada
riwayat sakit sebelumnya.
c. Riwayat Kehamilan / Kelahiran
Morbiditas kehamilan Hipertensi (-), diabetes mellitus (-), anemia
(-), penyakit jantung (-), penyakit paru (-),
KEHAMILAN infeksi pada kehamilan (-), asma (-).
Perawatan antenatal Rutin kontrol ke Puskesmas (selalu datang
sesuai anjuran bidan)
Tempat persalinan Rumah Bersalin
Penolong persalinan Bidan
Spontan pervaginam
Cara persalinan

Masa gestasi 39 minggu


Berat lahir : 3600 gram
Panjang lahir : 53 cm
KELAHIRAN
Lingkar kepala : tidak tahu
Langsung menangis (+)
Merah (+)
Keadaan bayi
Pucat (-)
Biru (-)
Kuning (-)
Nilai APGAR : tidak tahu
Kelainan bawaan : tidak ada
Kesimpulan riwayat kehamilan/kelahiran: pasien lahir spontan pervaginam,
neonatus cukup bulan dengan berat badan lahir sesuai masa kehamilan.

d. Riwayat Perkembangan
Pertumbuhan gigi I : 6 bulan (Normal: 5-9 bulan)

3
Gangguan perkembangan mental : Tidak ada
Psikomotor
Tengkurap : Umur 3 bulan (Normal: 3-4 bulan)
Duduk : Umur 7 bulan (Normal: 6-9 bulan)
Berdiri : Umur 10 bulan (Normal: 9-12 bulan)
Berjalan : Umur 12 bulan (Normal: 13 bulan)
Bicara : Umur 12 bulan (Normal: 9-12 bulan)

Kesimpulan riwayat pertumbuhan dan perkembangan : sesuai dengan usia, tidak


didapatkan keterlambatan dalam perkembangan.

e. Riwayat Makanan

Umur
ASI/PASI Buah / Biskuit Bubur Susu Nasi Tim
(bulan)
0–2 ASI - - -
2–4 ASI - - -
4–6 ASI - - -
6–8 PASI + + +
8 – 10 PASI + + +
10 -12 PASI + + +

Pada anak usia > 1 tahun

Jenis Makanan Frekuensi dan Jumlah


Nasi / Pengganti 3x sehari, 1 porsi piring kecil
Sayur Sangat jarang,  1-2 x seminggu, ¼
mangkok
Daging 1x/minggu, ½ setengah potong dicincang
Telur 3-5x seminggu, 1 butir
Ikan 1-2x seminggu, 1 potong
Tahu 1–2 x sehari, 1 potong
Tempe 1–2 x sehari, 1 potong

Kesulitan makan : Orang tua OS mengaku bahwa OS suka makan nasi dengan
ayam atau telur. OS sangat tidak suka sayur dan kurang suka daging. Selama OS
sakit ini, nafsu makannya lumayan berkurang.

4
Kesimpulan riwayat makanan : OS tidak mengalami kesulitan makan
sebelum sakit. Namun selama sakit mengalami kesullitan makan.

f. Riwayat Imunisasi
Vaksin Dasar ( umur ) Ulangan ( umur )
BCG 1 bulan X X
DPT / PT 2 bulan 4 bulan 6 bulan
Polio 0 bulan 2 bulan 4 bulan
Campak 9 bulan X X
Hepatitis B 0 bulan 1 bulan 6 bulan
Kesimpulan riwayat imunisasi : Imunisasi dasar lengkap sesuai jadwal

g. Riwayat Keluarga
Corak Reproduksi
Tanggal lahir Jenis Lahir Mati Keterangan
No Hidup Abortus
(umur) kelamin mati (sebab) kesehatan
1. 2-11-2015 Laki - laki + - - - Sehat

Riwayat Pernikahan
Ayah / Wali Ibu / Wali
Nama Tn. B Ny. M
Perkawinan ke- 1 1
Umur saat menikah 30 27
Pendidikan terakhir SMA SMA
Agama Islam Islam
Suku bangsa Jawa, Indonesia Jawa, Indonesia
Keadaan kesehatan Sehat Sehat
Kosanguinitas Tidak ada Tidak ada
Penyakit, bila ada Tidak ada Tidak ada

Riwayat Penyakit Keluarga


Pasien merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Adik OS seorang anak
laki-laki dengan usia 10 bulan dan tidak pernah memiliki riwayat sakit
sebelumnya.

Riwayat Kebiasaan:
OS memiliki kebiasaan mengemut tangan dan benda disekitarnya. Keluarga
pasien yang tinggal serumah tidak ada yang merokok, suka meminum alkohol
atau mengkonsumsi obat-obatan terlarang.

5
Kesimpulan riwayat keluarga: Tidak ada kelainan pada riwayat penyakit
keluarga.

II. PEMERIKSAAN FISIK

A. Status Generalis
Keadaan Umum
Kesan Sakit : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Kesan Gizi : Gizi Kurang
Keadaan lain : Anemis (+), ikterik (-), sianosis (-), dyspnoe (-)
Data Antropometri
Berat Badan sekarang : 10,1 kg
Panjang Badan : 110 cm
Lingkar kepala : 46 cm (normocephali menurut Kurva Nellhaus)
Lingkar lengan atas : 11 cm
Status Gizi
- BB / U = 10,1/14 x 100 % = 72 % (Kurang)
- TB / U = 110/94 x 100 % = 117 % (Normal)
- BB / TB = 10,1/19 x 100 % = 53 % (kesan Gizi Kurang)
- LK = 46 cm (-2 SD menurut Kurva Nellhaus, normochepali)
Kesimpulan status gizi : Menurut parameter BB/TB, gizi pasien termasuk
dalam kategori gizi kurang.
Tanda Vital

Tekanan Darah : Sulit dilakukan


Nadi : 96x / menit, kuat, isi cukup, equal kanan dan kiri, regular
Nafas : 24x / menit, tipe abdomino-torakal
Suhu : 36,3°C, axilla (diukur dengan thermometer digital di axilla)

KEPALA : Normocephali, deformitas (-), hematome (-), UUB sudah menetup,


cekung (-)
RAMBUT : Rambut cokelat kehitaman, distribusi merata dan tidak mudah
dicabut, tebal
WAJAH : Wajah simetris, tidak ada luka atau jaringan parut
MATA: Alis mata merata, madarosis (-), Bulu mata hitam, merata, trikiasis (-)

Visus : kesan baik Ptosis : -/-


Sklera ikterik : -/- Lagofthalmus : -/-
Konjungtiva anemis : +/+ Cekung : -/-
Exophthalmus : -/- Kornea jernih : +/+

6
Endophtalmus : -/- Lensa jernih : +/+
Strabismus : -/- Pupil : bulat,isokor
Nistagmus : -/-
Refleks cahaya: langsung +/+ , tidak langsung +/+
TELINGA :
Bentuk : normotia Tuli : -/-
Nyeri tarik aurikula : -/- Nyeri tekan tragus : -/-
Liang telinga : lapang +/+ Membran timpani : sulit
dinilai
Serumen : +/+ Refleks cahaya : sulit
dinilai
Cairan : -/-
HIDUNG :
Bentuk : simetris Napas cuping hidung: -/-
Sekret : -/- Deviasi septum :-
Mukosa hiperemis : -/- Konka eutrofi :+/+
BIBIR : Simetris, Mukosa pucat, kering (+), sianosis (-)
MULUT : Trismus (-), oral hygiene baik, mukosa gusi dan pipi berwarna
merah muda
LIDAH : Normoglosia, atrofi papil (-), tremor (-), coated tongue (-),
hiperemis (-),
TENGGOROKAN : Arkus faring simetris, hiperemis (-), uvula ditengah,
tonsil T1-T1 tidak hiperemis, kripta tidak melebar, detritus (-),
PND (-)
LEHER : Bentuk tidak tampak kelainan, tidak tampak pembesaran
tiroid maupun KGB, tidak tampak deviasi trakea, tidak teraba
pembesaran tiroid maupun KGB, trakea teraba di tengah
THORAKS : Simetris saat inspirasi dan ekspirasi, deformitas (-),retraksi
suprasternal (-), retraksi intercostal (-), retraksi subcostal (-)

JANTUNG
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak.
Palpasi : Ictus cordis teraba pada ICS V linea midklavikularis sinistra.
Perkusi : Batas kiri jantung : ICS V linea midklavikularis sinistra.
Batas kanan jantung : ICS III – V linea sternalis dextra.
Batas atas jantung : ICS III linea parasternalis sinistra.
Auskultasi : BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-).

PARU
Inspeksi
-
Bentuk thoraks simetris pada saat statis dan dinamis, tidak ada pernapasan
yang tertinggal, tipe pernapasan abdomino-torakal, retraksi (-), tidak
ditemukan efloresensi pada kulit dinding dada.
Palpasi

7
-
Nyeri tekan (-), benjolan (-), gerak napas simetris kanan dan kiri, vocal
fremitus sama kuat kanan dan kiri.
-
Angulus costae 75o.
Perkusi
-
Sonor di kedua lapang paru.
-
Batas paru dan hepar di ICS VI linea midklavikularis dextra.
Auskultasi
-
Suara napas vesikuler, reguler, ronkhi -/-, wheezing -/-.

ABDOMEN :
 Inspeksi : Perut datar, tidak dijumpai adanya efloresensi pada kulit perut
maupun benjolan, roseola spot (-), kulit keriput (-), gerakan peristaltik (-)
 Auskultasi : Bising usus (+) 4 kali / menit
 Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), turgor kulit baik. Hepar 1/3-1/3, kenyal, licin,
rata, tajam, NT(-) dan lien tidak teraba membesar, ballotement -/-, nyeri ketok
CVA -/-.
 Perkusi : Timpani pada seluruh regio abdomen

ANOGENITALIA : Jenis kelamin perempuan, labia mayor dan minor oedem (-)
darah mengalir dari anus (-)
KGB :
Preaurikuler : tidak teraba membesar
Postaurikuler : tidak teraba membesar
Submandibula : tidak teraba membesar
Supraclavicula : tidak teraba membesar
Axilla : tidak teraba membesar
Inguinal : tidak teraba membesar

ANGGOTA GERAK :

Ekstremitas : akral hangat pada keempat ekstremitas, tidak ada edema, CRT < 2 detik.
Tangan Kanan Kiri
Tonus otot Normotonus Normotonus
Sendi Aktif Aktif
Refleks fisiologis + +
Refleks patologis - -
Edema - -

Kaki Kanan Kiri


Tonus otot Normotonus Normotonus
Sendi Aktif Aktif
Refleks fisiologis + +
Refleks patologis - -
Edema - -

8
Tanda rangsang meningeal : (-)
Nervus Kranialis : Tidak diperiksa
KULIT : Warna sawo matang merata, pucat (+), ikterik (-), sianosis (-), turgor kulit
baik, lembab
TULANG BELAKANG : Bentuk normal, tidak terdapat deviasi, benjolan (-), ruam
(-)
NEUROLOGIS
Refleks Fisiologis Kanan Kiri

Biseps + +

Triceps + +

Patella + +

Achiles + +

Refleks Patologis Kanan Kiri


Babinski - -
Chaddock - -
Oppenheim - -
Gordon - -
Schaeffer - -

Rangsang meningeal
Kaku kuduk -
Kanan Kiri
Kerniq - -
Laseq - -
Bruzinski I - -
Bruzinski II - -

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Hematologi Hasil Nilai Normal

Leukosit 15.200/ μL 5.500 – 15.500


Eritrosit 5.7 juta/ uL 3,6 – 5,2
Hemoglobin 7.6 g/ dL 10,8 – 12,8
Hematokrit 29% 35– 43
Trombosit 518.000/ μL 229.000 – 553.000
Hitung Jenis
Basofil 1% 0–1

9
Eosinofil 1% 1–5
Netrofil Batang 0% 3–6
Netrofil Segmen 44 % 25 – 60
Limfosit 47 % 25 – 50
Monosit 7% 1–6

IV. RESUME
Pasien An. K, perempuan, usia 3 tahun 4 bulan datang ke IGD dengan
keluhan demam sejak 5 hari SMRS. Ibu pasien juga mengeluhkan bahwa pasien
telah pilek sejak 5 hari SMRS. Ibu pasien mengatakan pasien menjadi terlihat
lemas selama sakit, padahal biasanya pasien sangat aktif dalam beraktivitas dalam
kesehariannya, nafsu makan pun juga berkurang dalam 5 hari terakhir. Pasien tidak
suka makan sayur-sayuran. Pasien lebih sering makan nasi dengan ayam atau telur.
Daging di konsumsi hanya sesekali dan tidak terlalu doyan karena sering di lepeh.
Buah-buahan sering di konsumsi.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum kesan kulit pucat anemis,
konjungtiva anemis +/+. Pada pemeriksaan penunjang menunjukkan hasil
laboratorium hemoglobin 7.6 g/ dL. Dari penemuan yang didapatkan melalui
anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, pasien dapat di diagnosa
mengalami anemia. Namun, jenis dan penyebab dari anemia ini sendiri masih
belum dapat dipastikan. Sehingga diperlukan pemeriksaan gambaran darah tepi,
kadar TIBC dan SI, dan pemeriksaan faeces rutin. Pemeriksaan anjuran ini didasari
oleh kemungkinan dan kejadian terbanyak pada anemia usia di bawah 5 tahun
dengan penyebab infeksi cacing ataupun defisiensi besi.

V. DIAGNOSIS KERJA
- Anemia e.c suspek defisiensi besi
- Gizi kurang
- Rhinitis

VI. DIAGNOSIS BANDING


-
Anemia defisiensi besi
-
Anemia e.c. infeksi cacing
-
Thalassemia

10
VII. PEMERIKSAAN ANJURAN
- Pemeriksaan darah rutin ulang
- Pemeriksaan gambaran darah tepi
- Pemeriksaan TIBC, SI, Ferritin serum
- Pemeriksaan faeces rutin

VIII. PENATALAKSANAAN
Non-medikamentosa:
Non-medikamentosa
1. Komunikasi, informasi, edukasi kepada orang tua pasien mengenai
keadaan pasien.
2. Observasi tanda vital dan keadaan umum.
3. Edukasi untuk memberikan anaknya makanan bergizi dan mengandung zat
besi seperti sayur-sayuran bayam, daging merah, ati dan juga minum yang
cukup.
4. Memperhatikan kebersihan seperti mencuci tangan, menyaring dan
memasak air terlebih dahulu sebelum digunakan.
5. Menyiapkan makan dengan bersih seperti mencuci semua bahan makanan
dengan air bersih dan dimasak sampai matang.

Medikamentosa
- Paracetamol 150 mg jika suhu > 38 oC
- Transfusi PRC 2x100 cc
- Ferriz syr 1 x 1 (setelah demam teratasi / bebas demam)
- Vit C 1 x 1

IX PROGNOSIS
- Ad Vitam : ad bonam
- Ad Sanationam : ad bonam
- Ad Fungsionam : ad bonam

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

11
ANEMIA DEFISIENSI BESI

DEFINISI
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang terjadi karena kekurangan zat besi
(Fe) yang diperlukan untuk pembentukan sel darah merah. Defisiensi besi merupakan
penyebab terbanyak dari anemia di seluruh dunia. Diperkirakan 30 % dari populasi
dunia mengalami anemia akibat defisiensi besi.
Buruknya kondisi ibu hamil yang mengalami anemia juga bisa mempengaruhi
kesehatan bayinya. Bayi mereka biasanya sangat kecil (berat badan lahirnya rendah,
yakni kurang dari 2,5 kg). Dan bayi kecil biasanya rentan mengalami hambatan dalam
tumbuh kembang fisik dan intelegensia. Hasil penelitian juga menunjukkan, ada
defisit pada indeks perkembangan mental dan indeks perkembangan psikomotor pada
bayi yang kekurangan zat besi. Bahkan secara klinis tampak bayi kekurangan zat besi
irritable, apatis, dan kurang perhatian terhadap lingkungan sekitarnya.
Kekurangan zat besi juga berpengaruh pada kecerdasan ( IQ ). Kekurangan zat
besi dapat mengurangi produksi sel darah merah. Remaja perempuan yang kurang
mengkonsumsi zat besi cenderung mempunyai IQ rendah, demikian hasil riset terbaru
yang dilakukan oleh peneliti dari King’s College, London. Politt melakukan penelitian
terhadap 46 anak berusia 3 - 5 tahun. Hasilnya menunjukkan, anak dengan defisiensi
zat besi ternyata memiliki kemampuan mengingat dan memusatkan perhatian lebih
rendah. Penelitian Sulzer dkk juga menunjukkan anak menderita anemia akibat
defisiensi zat besi mempunyai nilai lebih rendah dalam uji IQ dan kemampuan
belajar. Kurangnya zat besi akan mengurangi jumlah hemoglobin. Otomatis hal ini
membuat suplai oksigen terhambat ke otak dan membuat otak tidak bisa bekerja
secara optimal. Bagaimanapun juga jumlah enzim yang mengatur sinyal transmisi ke
otak juga tergantung pada zat besi.7,8,9

12
EPIDEMIOLOGI
Prevalens ADB tinggi pada bayi, hal yang sama juga dijumpai pada anak usia
sekolah dan anak praremaja. Angka kejadian ADB pada anak usia sekolah (5-8 tahun)
di kota sekitar 5,5%, anak praremaja 2,6% dan gadis remaja yang hamil 26%. Di
Amerika Serikat sekitar 6% anak berusia I-2 tahun diketahui kekurangan besi, 3%
menderita anemia. Lebih kurang 9% gadis remaja di Amerika Serikat kekurangan besi
dan 2% menderia anmeia, sedangkan pada anak laki-laki sekitar 50% cadangan
besinya berkurang saat pubertas.
Prevalensi ADB lebih tinggi pada anak kulit hitam dibanding kulit putih.
Keadaan ini mungkin berhubungan dengan status sosial ekonomi anak kulit hitam
yang lebih rendah. Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan di Indonesia
prevalens ADB pada anak balita sekitar 25-35%. Dari hasil SKRT tahun 1992
prevalens ADB pada anak balita di Indonesia adalah 55,5%. 6,7,8

ETIOLOGI
Terjadinya ADB sangat ditentukan oleh kemampuan absorpsi besi, diit yang
mengandung besi, kebutuhan besi yang meningkat dan jumlah yang hilang.

Kekurangan besi dapat disebabkan:


1. Kebutuhan yang meningkat secara fisiologis
• Pertumbuhan
Pada periode pertumbuhan cepat yaitu pada umur 1 tahun pertama dan masa
remaja kebutuhan besi akan meningkat, sehingga pada periocle ini insiden

13
ADB meningkat. Pada bayi umur 1 tahun, berat badannya meningliat 3 kali
dan massa hemoglobin dalam sirkulasi mencapai 2 kali lipat dibanding saat
lahir. Bayi prematur dengan pertumbuhan sangat cepat, pada umur 1 tahun
berat badannya dapat mencapai 6 kali dan massa hemoglobin dalam sirkulasi
mencapai 3 kali dibanding saat lahir.
• Menstruasi
Penyebab kurang besi yang sering terjadi pada anak perempuan adalah
kehilangan darah lewat menstruasi.
2. Kurangnya besi yang diserap
• Masukan besi dari makanan yang tidak adekuat
Seorang bayi pada 1 tahun pertama kehidupannya membutuhkan makanan
yang banyak mengandung besi. Bayi cukup bulan akan menyerap Iebih kurang
200 mg besi selama 1 tahun pertama (0,5 mg/hari) yang terutama digunakan
untuk pertumbuhannya. Bayi yang mendapat ASI eksklusif jarang menderita
kekurangan besi pada 6 bulan pertama. Hal ini disebabkan besi yang
terkandung di dalam ASI lebih mudah diserap dibandingkan susu yang
terkandung susu formula. Diperkirakan sekitar 40% besi dalam ASI diabsorpsi
bayi, sedangkan clari PASI hanya 10% besi yang clapat cliabsorpsi.
• Malabsorpsi besi
Keadaan ini sering dijumpai pada anak kurang gizi yang mulkosa ususnya
mengalami perubahan secara histologis dan fungsional. Pada orang yang telah
mengalami gastrektomi parsial atau total sering disertai ADB walaupun
penderita mendapat makanan yang cukup besi. Hal ini disebabkan
berkurangnya jumlah asam lambung dan makanan lebih cepat melalui bagian
atas usus halus, tempat utama penyerapan besi heme dan non heme.
3. Perdarahan
Kehilangan darah akibat perdarahan merupakan penyebab penting terjadinya
ADB. Kehilangan darah akan mempengaruhi keseimbangan status besi. Kehilangan
darah 1ml akan mengakibatkan kehilangan besi 0,5 mg, sehingga kehilangan darah 3-
4 ml/hari (1,5-2 mg besi) dapat mengakibatkan keseimbangan negatif besi.

Perdarabhan dapat berupa perdaraban saluran cerna, milk induced enteropathy,


ulkus peptikum, karena obat-obatan (asam asetil salisilat, kortikosteroid, indometasin,
obat anti inflamasi non steroid) dan nfestasi cacing (Ancylostoma duodenale dan

14
Necator americanus) yang menyerang usus balus bagian proksimal dan menghisap
darah dari pembuluh darah submukosa usus.
4. Transfusi feto-maternal
Kebocoran darah yang kronis kedalam sirkulasi ibu akan menyebabkan ADB
pada akhir masa fetus dan pada awal masa neonatus.
5. Hemoglobinuria
Keadaan ini biasanya dijumpai pada anak yang memakai katup jantung
buatan. Pada Paroxismal Nocturnal Hemoglobinuria (PNH) kehilangan besi melalui
urin rata-rata 1,8-7,8 mg/hari
6. latrogenic blood loss
Pada anak yang banyak diambil darah vena untuk pemeriksaan laboratorium
berisiko untuk menderita ADB.
7. ldiopathic pulmonary hemosiderosis
Penyakit ini jarang terjadi. Penyakit ini ditandai dengan perdaraban paru yang
bebat dan berulang serta adanya infiltrat pada paru yang bilang timbul. Keadaan ini
dapat ` menyebabkan kadar Hb menurun rastis hingga 1,5-3 g/dl dalam 24 jam.
8. Latihan yang berlebihan
Pada atlit yang berolahraga berat seperti olah raga lintas alam, sekitar 40%
remaja perempuan dan 17% remaja laki-laki kadar feritin serumnya < 10 ug/dl.
Perdarahan saluran cerna yang tidak tampak sebagai akibat iskemia yang bilang
timbul pada usus selama latiban berat terjadi pada 50% pelari.

PATOFISIOLOGI
Anemia defisiensi besi merupakan hasil akhir keseimbangan negatif besi yang
berlangsung lama. Bila kemudian keseimbangan besi yang negatif ini menetap akan
menyebabkan cadangan besi terus berkurang. 3 tahap defisiensi besi, yaitu:
• Tahap pertama
Tahap ini disebut iron depletion atau storage iron depciency, ditandai dengan
berkurangnya cadangan besi atau tidak adanya cadangan besi. Hemoglobin dan
fungsi. protein besi lainnya masih normal. Pada keadaan ini terjadi, peningkatan
absorpsi besi non heme. Feritin serum menurun sedagkan pemeriksaan lain untuk
mengetahui adanya kekuranganbesi masih normal.
• Tahap kedua
Pada tingkat ini yang dikenal dengan istilah iron deficient erythropoietin atau

15
iron limited erythropoiesis didapatkan suplai besi yang tidak cukup untuk menunjang
eritropoisis. Dari basil pemeriksaan laboratorium diperoleh nilai besi serum menurun
dan saturasi transferin menurun sedangkan total iron binding capacity (TIBC)
meningkat dan free erythrocyte porphyrin (FEP) meningkat.
 Tahap ketiga

Tahap inilah yang disebut sebagai iron deficiency anemia. Keadaan ini terjadi
bila besi yang menuju eritroid sumsum tulang tidak cukup sehingga menyebabkan
penurunan kadar Hb. Dari gambaran darah tepi dihaparkan mikrositosis dan
hipokromik yang progresif. Pada tahap ini telah terjadi perubahan epitel terutama
pacla ADB yang lebih lanjut.
Anemia merupakan manifestasi lanjut dari defisiensi besi dalam jangka waktu
yang sangat lama. Dr. Victor Herbert mengemukakan tahapan dari defisiensi zat besi.
Berikut tingkatannya:
a. Stage I dan II: keseimbangan negatif Fe (negative iron balance); ditandai dengan
penurunan (deplesi) dari Fe.
Stage I merupakan awal dari gangguan keseimbangan negatif Fe, terjadi penurunan
absorpsi dan juga berkurangnya cadangan zat besi tapi masih dalam tahap yang
sedang.

Stage I : Fe sumsum tulang menurun


Serum feritin menurun
Saturasi transferin normal
Free Erythrocyte Protoporphyrin (FEP) normal
Hemoglobin normal
Mean Corpuscular Volume (MCV) normal
Stage II, terjadi penurunan cadangan zat besi yang sangat berat.
Stage II : Fe sumsum tulang tidak ada
Serum feritin <12
Saturasi transferin <16%
Free Erythrocyte Protoporphyrin (FEP) naik
Hemoglobin normal
Mean Corpuscular Volume (MCV) normal
Tapi jika seseorang baru berada pada stage I dan II ini, jika diobati dengan pemberian

16
zat besi mereka bisa disembuhkan dan anemianya tidak akan berlanjut pada tahap
yang lebih serius.
b. Stage III dan IV: keseimbangan negatif Fe (negative iron balance); ditandai
dengan kekurangan zat besi (Fe). Tahap ini ditandai dengan kadar besi yang tidak
cukup di dalam tubuh dan dapat mendatangkan penyakit.
Stage III, terjadi kekurangan zat besi tanpa disertai anemia.
Stage III : Fe sumsum tulang tidak ada
Serum feritin <12
Saturasi transferin <16%
Free Erythrocyte Protoporphyrin (FEP) sangat naik
Hemoglobin 8-14 g/dl
Mean Corpuscular Volume (MCV) normal/turun
Stage IV, kekurangan zat besi yang telah disertai anemia.
Stage IV : Fe sumsum tulang tidak ada
Serum feritin <12
Saturasi transferin <16%
Free Erythrocyte Protoporphyrin sangat naik
Hemoglobin <8 g/dl
Mean Corpuscular Volume (MCV) turun
c. Stadium I dan II : keseimbangan positif Fe (Positive iron balance). Stadium I
dengan keseimbangan besi positif biasanya tidak ditemukan adanya disfungsi dalam
beberapa tahun. Suplementasi besi dan/ atau vitamin C akan menyebabkan
progresifitas penyakit dan disfungsi sedangkan pengeluaran zat besi akan mencegah
progresifitas penyakit. Penyakit kelebihan zat besi berkembang pada stadium II
keseimbangan besi positif, setelah beberapa tahun kelebihan asupan besi
menyebabkan terjadinya kerusakan jaringan dan organ. Dan pengeluaran zat besi akan
menghentikan progresifitas penyakit.9,10,14

MANIFESTASI KLINIS
Geala klinis ADB sering terjadi perubahan dan tidak begitu diperhatikan oleh
penderita dan keluarganya. Pada yang ringan diagnosis ditegakkan hanya dari temuan
laboratorium saja. Gejala yang umum terjadi adalah pucat. Pada ADB dengan kadar
Hb 6-1O g/dl terjadi mekanisme kompensasi yang efektif sehingga gejala anemia
hanya ringan saja. Bila kadar Hb turun < 5 g/dl gejala iritabel dan anoreksia akan

17
mulai tampak lebih jelas. Bila anemia terus berlanjut dapat terjadi takikardi, dilatasi
jantung dan murmur sistolik. Narnun kadang-kaclang pada kadar Hb < 3-4 g/dl
pasien tidak mengeluh karena tubh sudah mengadakan kompensasi, sehingga beratnya
gejala ADB sering ridak sesuai dengan kadar Hb.

Gejala lain yang rerjadi adalah kelainan non hematologi akibar kekurangan besi
seperti:
• Perubahan sejumlah epitel yang menimbulkan gejala koilonikia (bentuk kuku
konkaf atau spoowshaped nail), atrofi papila lidah, posrcricoid oesophageeal webs
dan perubahan mukosa lambung dan usus lialus.
• lntoleransi terhadap latihan: penurunan aktivitas kerja dan daya taban tubuh
• Termogenesis yang tidak normal: terjadi ketidakmampuan untuk mempertahankan
suhu tubuh normal pada saat udara dingin
• Daya tahan rubuh terhadap infeksi menurun,hal ini terjadi karena fungsi leukosit
yang tidak normal. Pada penderita ADB neutrofil mempunyai kemampuan untuk
fagositosis tetapi kemampuan untuk membunuh E.coli dan S. aureus menurun.
Limpa hanya teraba pada 10-15% pasien dan pada kasus kronis bisa terjadi
pelebaran diploe tengkorak. Perubahan ini dapat diperbaiki dengan terapi yang
adekuat.

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Seseorang dikatakan mengalami anemia defisiensi zat besi bila hasil
pemeriksam laboratoriumnya menunjukan data sebagai berikut:

1. Apus darah tepi:


Eritrosit : hipokrom mikrositer, terdapat sel pensil
Leukosit : jumlahnya normal, granulositopenia ringan dan terdapat mielosit
Trombosit : biasanya meningkat sampai dua kali trombosit normal

2. Apus sumsum tulang :


hyperplasia eritropoiesis dengan kelompok-kelompok normoblas basofil. Bentuk
pronormoblas, normoblas kecil-kecil dengan sitoplasma ireguler, sideroblas
negatif.
3. Nilai absolute menurun

18
4. Retikulosit menurun
5. Fe serum rendah
6. TIBC (Total Iron Binding Capasity) meningkat
7. Feritin menurun

Morfologi Hopokrom Mikrositer

Untuk menegakkan diagnosis ADB diperlukan pemeriksaan laboratorium yang


meliputi pemeriksaan darah rutin seperti Hb, PCM leukosit, trombosit ditambah
pemeriksaan indeks eritrosit, retikulosit, morfologi darah tepi dan pemeriksaan status
besi (Fe serum, Total iron binding capacity (TIBC), saturasi transferin, FEB feritin),
dan apus sumsum tulang.
Menentukan adanya anemia dengan memeriksa kadar Hb dan atau PCV
merupakan hal pertama yang penting untuk memutuskan pemeriksaan lebih lanjut
dalam menegakkan diagnosis ADB. Pada ADB nilai indeks eritrosit MCM, MCH dan
MCHC menurun sejajar dengan penurunan kadar Hb. jumlah retikulosit biasanya
normal, pada keadaan berat karena perdarahan jumlahnya meningkat. Gambaran
morfologi darah tepi ditemukan keadaan hipokromik, mikrositik, anisositosis dan
poikilositosis (dapat ditemukan sel pensil, sel target, ovalosit, mikrosit dan sel
fragmen).
Jumlah leukosit biasanya normal, tetapi pada ADB yang berlangsung lama
dapat terjadi ranulositopenia. Pada keadaan yang disebabkan infestasi cacing sering
ditemukan eosinofilia. Jumlah trombosit meningkat 2·4 kali dari nilai normal.
Trombositosis hanya terjadi pada penderita dengan perdarahan yang masif. Kejadian
trombositopenia dihubungkan dengan anemia yang sangat berat. Namun demikian
kejadian trombositosis dan trombositopenia pada bayi dan anak hampir sama, yaitu

19
trombositosis sekitar 35% dan trombositopenia 28%.
Pada pemeriksaan status besi didapatkan kadar Fe serum menurun dan TIBC
meningkat. Pemeriksan Fe serum untuk menentukan jumlah besi yang terikat pada
transferin, sedangkan TIBC untuk mengetabui jumlah transferin yang berada dalam
sirkulasi darah. Perbandingan antara Fe serum dan TIBC (saturasi transferin) yang
dapat diperoleh dengan cara menghitung Fe serum/TIBC x 100% merupakan suatu
nilai yang menggambarkan suplai besi ke eritroid sumsum tulang dan sebagai
penilaian terbaik untuk mengetahui pertukaran besi antara plasma dan cadangan besi
dalam tubuh. Bila saturasi transferin (ST) < 16% menunjukkan suplai besi yang tidak
adekuat untuk mendukung eritropoisis. ST < 7% diagnosis ADB dapat ditegakkan,
sedangkan pada kadar ST 7-16% dapat dipakai untuk rnendiagnosis ADB bila
didukung oleh nilai MCV yang rendah atau pemeriksaan lainnya.
Untuk mengetahui kecukupan penyediaan besi ke eritroid sumnum tulang
dapat diketahui dengan memeriksa kadar Free Erythrocyte Protoporphyrin (FEP).
Pada penibentukan eritrosit akan dibentuk cincin porfirin sebelum besi terikat untuk
membentuk heme. Bila penyediaan besi tidak adekuat menyebabkan terjadinya
penumpukan porfirin didalam sel. Nilai FEP > 100 ug/dl eritrosit menunjukkan
adanya ADB. Pemeriksaan ini dapat mendeteksi adanya ADB lebih dini.
Meningkatnya FEP disertai ST yang menurun merupakan tanda ADB yang progresif.
JumIah cadangan besi tubuh dapat diketahui dengan memeriksa kadar feritin serum.
Bila kadar feritin < lO-12 ug/I menunjukkan telah terjadi penurunan cadangan besi
dalam tubuh.
Pada pemeriksaan apus sumsum tulang dapat ditemukan gambaran yang khas
ADB yaitu hiperplasia sistem eritropoitik dan berkurangnya hemosiderin. Untuk
mengetahui ada atau tidaknya besi dapat diketahui dengan pewarnaan Prussiann
blue.3,6,14

DIAGNOSIS KLINIS
Diagnosis ADB ditegakkan berdasarkan hasil temuan dan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan iaboratorium yang dapat mendukung sehubungan dengan gejala
klinis yang searing tidak khas.
Cara Iain untuk mcnentukan adanya ADB adalah dengan trial pemberian
preparat besi. Penentuan ini penting untuk mengetiahui adanya ADB subklinis dengan
melihat respons hemoglobin terhadap pemberian preparat besi. Prosedur ini sangat

20
mudah, praktis, sensitive dan ekonomis terutama pada anak yang berisiko ringgi
menderira ADB. Bila dengan pemberian preparat besi dosis 6 mg/kgBB/hari selama
3-4 minggu terjadi peningkatan kadar Hb l-2 g/dl maka dapat dipastikan bahwa yang
ersangkutan menderita ADB.
Stadium perkembangan defisiensi Fe dapat diukur dengan 4 pengukuran yang
berbeda:
 Serum feritin, untuk mengukur cadangan Fe
 Saturasi transferin, mengukur suplai Fe ke jaringan.
 Pengukuran hemoglobin dan hematokrit, pengukuran ini mengindikasikan
anemia.
 Rasio dari mineral Zn protoporphyrin (erythrocyte protoporphyrin) dengan Fe.
Pengukuran ini merupakan indikator yang sensitive untuk mengetahui suplai
zat besi dalam pembentukan sel darah merah. Ketika suplai besi tidak
mencukupi untuk berikatan dengan porphyrin, maka ikatan besi akan
disubstitusi dengan zinc. Meskipun ikatan porphyrin-zinc dapat berkombinasi
dengan globin dan masuk ke sirkulasi, molekul ini tidak dapat mengikat
oksigen.
Selain pemeriksaan di atas, untuk menegakkan diagnosa klinik juga bisa
berdasarkan pada hasil pemeriksaan laboratorium yaitu: eritrosit hipokrom mikrositer,
Fe serum rendah, TIBC tinggi, nilai absolut menurun serta pada sediaan apus darah
tepi terdapat pencil cell dan juga target cell. 3,7,11

DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding ADB adalah semua keadaan yang memberikan gambaran
anemia hipokrom mikrositik lain. Keadaan yang sering memberi gambaran klinis dan
laboratorium yang hampir sama dengan ADB adalah talasemia minor dan karena
penyakit kronis. Keadaan lainnya adalah lead poisoning/ keracunan timbal dan
anemia sideroblastik. Untuk membedakannya diperlukan anamnesis, pemeriksaan
fisik dan ditunjang oleh pemeriksaan laboratorium.
Pada talasemia minor morfologi darah tepi sama dengan ADB. Salah saru cara
sederhana untuk membedakan kedua penyakit tersebut adalah dengan melihat jumlah
sel darah merah yang meningkat meski sudah anemia ringan dan mikrositosis,
sebaliknya pada ADB jumlah sel darah merah menurun sejajar dengan penurunan

21
kadar Hb dan MCV. Cara mudah dapat diperoleh dengan cara membagi nilai MCV
dengan jumlah eritrosit, bila nilainya < 13 menunjukkan talasemia minor sedangkan
bila > 13 merupakan ADB. Pada talasemia minor didapatkan basophilic stippling,
peningkatan kadar bilirubin plasma dan peningkatan kadar HbA2.
Gambaran morfologi darah repi anemia karena penyakit kronis biasanya
normokrom normositik, tetapi bisa juga ditemukan hipokrom mikrositik. Terjadinya
anemia pada penyakit kronis disebabkan erganggunya mobilisasi besi dan makrofag
oleh transferin. Kadar Fe serum dan TIBC menurun meskipun cadangan besi normal
atau meningkat sehingga nilai saturasi transferin normal atau sedikit menurun, kadar
FEP meningkat. Pemeriksaan kadar resepror transferin/transferrin receptor (TfR)
sangat berguna dalam membedalkan ADB dengan anemia karena penyakit kronis.
Pada anemia karena penyakit kronis kadar TfR normal karena pada inflamasi
kadarnya tidak terpengaruh, sedangkan pada ADB kadarnya menurun. Peningkaran
rasio TfR/{eritin sensitif dalam mendeteksi ADB.
Lead poisoning mernberikan gambaran darah tepi yang serupa dengan ADB
tetapi didapatkan basophilic stippling kasar yang sangat jelas. Pada keduanya kadar
FEP meningkat. Diagnosis ditegakkan dengan memeriksa kadar lead dalam darah.
Anemia sideroblastik merupakan kelainan yang disebabkan oleh gangguan
sintesis heme, bisa didapat atau herediter. Pada keadaan ini didapatkan gamharan
hipokrom mikrositik dengan peningkatan kadar RDW yang disebabkan populasi sel
darah merah yang dimorfik, Kadar Fe serum dan ST biasanya meningkat, pada
pemeriksaan apus sumsum tulang sidapatkan sel darh merah berinti yang mengandung
granula besi (agregat besi dalam mitokondria) yang disebut ringed sideroblast.
Anemia ini umumnya erjadi pada dewasa.3

PENATALAKSANAAN
Prinsip penatalaksnaan ADB adalah mengetahui faktor penyebab dan
mengatasinya serta rnemberikan terapi penggantian dengan preparat besi. Sekitar 80-
85% penyebab ADB dapat diketahui sehingga penanganannya dapat dilakukan
dengan tepat. Pemberian preparat Fe dapat secara peroral atau parenteral. Pemberian
peroral lebih aman, murah dan sama efektiinya dengan pemberian secara parenteral.
Pemberian secara parenteral dilakukan pada penderita yang tidak dapat memakan obat
peroral atau kebutuhan besinya tidak dapat terpenuhi secara peroral karena ada
gangguan pencernaan.

22
Pemberian preparat besi peroral
Garam ferous diabsorpsi sekitar 3 kali lebih balk dibandingkari garam feri.
Preparat yang tersedia berupa ferous glukonat, fumarat dan suksinant. Yang sering
dipakai adalah ferrous sulfat karena harganya yang lebih murah, Ferous glukonat,
ferous fumarat dan ferous suksinat diabsorpsi sama baiknya. Untuk bayi tersedia
preparat besi berupa tetes (drop).
Untuk mendapatkan respons pengobatan dosis besi yang dipakai 4-6 mg hesi
elemental/kgBB/hari. Dosis obat dihitung berdasarkan kandungan besi elemental yang
ada dalam garam ferous. Garam ferous sulfat mengandung besi elemental sebanyak
20%. Dosis obat yang terlalu besar akan menimhulkan efek samping pada saluran
pencernaan dan tidak memberikan efek penyembuhan yang lebih cepat. Absorpsi besi
yang terbaik adalah pada saat lambung kosong, diantara dua waktu makan, alkan
tetapi dapat menimbulkan efek samping pada saluran cerna. Untuk mengatasi hal
tersebut pemberian besi dapat dilakukan pada saat makan atau segera setelah makan
meskipun akan mengurangi absorpsi obat sekitar 40-50%. Obat diberikan dalam 2-3
dosis sehari. Tindakan tersebut lebih penting karena dapat diterima tubuh dan akan
meningkatkan kepatuhan penclerita. Preparat besi ini harus terus diberikan selama 2
bulan setelah anemia pada penderita teratasi.
Pemberian dosis besi sesuai usia yg dianjurkan pada anak
Usia Dosis Besi Elemental Lama Pemberian
BBLR (<2500gram) 3mg/kgBB/hari Usia 1 bulan – 2 tahun
Cukup bulan 2mg/kgBB/hari Usia 4 bulan – 2 tahun
2 – 5 tahun 1mg/kgBB/hari 2x/minggu selama 3 bulan
berturut – turut setiap
tahun
>5 – 12 tahun (usia 1mg/kgBB/hari 2x/minggu selama 3 bulan
sekolah) berturut – turut setiap
tahun
12 – 18 (remaja) 60mg/hari 2x/minggu selama 3 bulan
berturut – turut setiap
tahun

Respons terapi dari pemberian preparat besi dapat dilihat secara klinis dan dari
pemeriksaan laboratorium.
Efek samping pemberian preparat besi peroral Iebih sering terjadi pada orang

23
dewasa dibandingkan bayi dan anak. Pewarnaan gigi yang bersifat sementara dapat
dihindari dengan meletakkan Iarutan tersebut ke bagian belakang Iidah dengan cara
tetesan.

Pemberian preparat besi parenteral


Pemberian besi secara intramuskuiar menimbulkan rasa sakit dan harganya
mahal. Dapat menyebabkan limfadenopati regional dan reaksi alergi. Kemampuan
untuk menaikkan kadar Hb tidak Iebih baik ibanding perorai.
Preparat yang sering dipakai adalah dekstran besi. Larutan ini mengandung 5O mg
besi/ml.
Dosis dihirung berdasarkan:
Dosis besi (mg) = BB(kg) x kadar Hb yangdiinginkan (g/dl) x 2,5

Transfusi darah
Transfusi darah jarang diperlukan. Transfusi darah hanya diberikan pada
keadaan anemia yang sangat erat atau yang disertai infeksi yang dapat mempengaruhi
respons terapi. Koreksi anemia berat dengan transfusi tidak perlu secepatnya, malah
akan membahayakan karena dapat menyebabkan hipervolemia dan dilatasi jantung.
Pemberian PRC dilakukan secara perlahan dalam jumlah yang cukup untuk
menaikkan kadar Hb sampai tingkat aman sambil menunggu respon terapi besi.
Secara umum, untuk penderira anemia berat dengan kadar Hb < 4 g/dl hanya diberi
PRC dengan dosis 2-3 ml/kgBB persatu kali pemberian disertai pemberian diuretik
seperti furosemid. Jika terdapat gagal jantung nyata dapat dipertimbangkan
pemberian transfusi tukar menggunakan PRC yang segar.

24
25
PENCEGAHAN3,12
Tindakan penting yang dapat diiakukan untuk mencegah kekurangan besi pada
masa awal kebidupan:
• Meningkatkan penggunaan ASI eksklusif
• Menunda pemakaian susu sapi sampai usia 1 tahun sehubungan dengan risiko
terjadinya perdarahan saluran cerna yang tersamar pada beberapa bayi
• Memberikan makanan bayi yang mengandung besi serta makanan yang kaya dengan
asam askorbat (jus buah) pada saat memperkenalkan makanan padat (usia 4-6 bulan).
• Memberikan suplementasi Fe kepada bayi kurang bulan.
• Pemakaian PASl (susu formula) yang mengandung besi.

Upaya umum untuk pencegahan kekurangan besi adalah dengan cara:


1. Meningkatkan konsumsi Fe
Meningkatkan konsumsi besi dari sumber alami terutama sumber hewani yang
mudah diserap. ]uga perlu peningkatan penggunaan makanan yang mengandung
vitamin C dan A.

26
2. Fortifikasi bahan makanan
Dengan cara menambah masukan besi dengan mencampurkan senyawa besi
kedalam makanan sehari-hari.
3. Suplementasi
Tindakan ini merupakan cara yang paling tepat untuk menanggulangi ADB di
daerah yang prevalensinya tinggi.

PROGNOSIS3
Prognosis baik bila penyebab anemianya hanya karena kekurangan besi saja
dan diketahui penyebabnya serta kemudian dilakukan penanganan yang adekuat.
Gejala anemia dan manifestasi klinis lainnya akan membaik dengan pemberian
preparat besi.
Jika terjadi kegagalan dalam pengobatan, perlu dipertimbangkan beberapa
kemuingkinan sebagai berikut:
• Diagnosis salah
• Dosis obat tidak adekuat
• Preparat Fe yang tidalk tepat dan kadaluwarsa
• Perdarahan yang tidak teratasi atau perdarahan yang tidak tampak berlangsung
menetap
• Disertai penyakit yang mempengaruhi absorpsi dan pemakaian besi (seperti: infeksi,
keganasan, penyakit hati, penyakit ginjal, penyakit tiroid, penyakit karena defisiensi
vitamin B12, asam folat)
• Gangguan absorpsi saluran cerna (seperti pemberian antasid yang berlebihan pada
ulkus peptikum dapat menyebabkan pengikatan terhadap besi)

27
BAB V
KESIMPULAN

Anemia defisiensi besi (Anemia Gizi) adalah suatu keadaan kadar hemoglobin
di dalam darah leih rendah daripada nilai normal. Untuk balita kadar Hb Normal
adalah 12 g/dl. Adapun kebutuhan zat besi pada anak adalah sekitar 5 – 9 mmg/hari.
Menurut SKRT 1995 prevalensi Anemia Gizi pada Balita yaitu 40,1% hal ini
tergolong tingkat yang perlu mendapat perhatian lebih dari pemerintah dan
masyarakat.
Penyebab anemia Gizi pada balita sangat banyak diantaranya: Pengadaan zat
besi yang tidak cukup seperti cadangan besi yang tidak cukup. Selain itu absorbsi
yang kurang karena diare ataupun infestasi cacing yang memperberat anemia. Faktor-
faktor lain turut pula mempengaruhi seperti faktor sosial ekonomi, pendidikan, pola
makan, fasilitas kesehatan dan faktor budaya. Pengaruh Anemia pada balita
diantaranya adalah penurunan kekebalan tubuh dimana terjadi penurunan kemampuan
sel humural dan seluler di dalam tubuh. Hal ini mengakibatkan balita mudah terkena
infeksi. Terhadap fungsi kognitif terjadi pula penurunan sehingga kecerdasan anak
berkurang, kurang atensi (perhatian) dan prestasi belajar terganggu. Hal ini akan
melemahkan keadaan anak sebagai generasi penerus.
Strategi penanggulangan anemia gizi meliputi strategi operasional KIE,
strategi operasional Suplementasi, Strategi penanggulangan anemia gizi secara tuntas
hanya mungkin kalau intervensi dilakukan terhadap sebab langsung maupun sebab
mendasar.Mengingat balita adalah penentu dari tinggi rendahnya kualitas pemuda dan
bangsa kelak maka penanganan sedini mungkin sangatlah berarti bagi kelangsungan
pembangunan.7,8,14

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Goddard AF, James MW, Mclntrye AS, Scott BB. Guidelines for the
management of iron deficiency anaemia. Gut 2011;60 (10): 1309-16.
Accessed 04 October 2016.
http://reference.medscape.com/medline/abstract/21561874
2. Killip S, Bennett JM, Chambers MD. Iron Deficiency Anemia. Am Fam
Physician. 2007 Mar 1;75(5):671-678.
3. Grogan K. Vifor gets FDA approval for Injectafer. PharmaTimes. Available at
http://www.pharmatimes.com/Article/13-07-
26/Vifor_gets_FDA_approval_for_Injectafer.aspx. Accessed: September 12,
2016.
4. De-Regil LM, Jefferds ME, Sylvetsky AC, Dowswell T. Intermittent iron
supplementation for improving nutrition and development in children under
12 years of age. Cochrane Database Syst Rev. 2011 Dec 7. 12:CD009085.
http://reference.medscape.com/medline/abstract/22161444
5. Brooks M. FDA Approves Injectafer for Iron Deficiency Anemia. Medscape
Medical News. Available at http://www.medscape.com/viewarticle/808800.
Accessed: September 12, 2016.
6. Depkes RI (1996) Direktur Jenderal Pembinaan Kesehatan masyarakat,
Pedoman Operasional Penangguklangan Anemia Gizi di Indonesia, Jakarta
7. DeLoughery TG. Microcytic Anemia. N Engl J Med. 2014. 371 (14):1324-31.
Accessed: 22 September 2016.
http://reference.medscape.com/medline/abstract/25271605
8. WHO. Iron Deficiency Anemia. Assessment, Prevention, and Control. A
Guide For Programme Managers. 2001.
9. Hoffmann JJ, Urrechaga E, Aguirre U. Discriminant indices for distinguishing
thalassemia and iron deficiency in patients with microcytic anemia: a meta-
analysis. Clin Chem Lab Med. 2015 Nov 1. 53 (12):1883-94.
http://reference.medscape.com/medline/abstract/26536581
10. Baker RD, Greer FR. Clinical Report Diagnosis and Prevention of lrriii
Deficiency and 1ron—DeficiencyAnernia in Infants and Young Children (05
3 Years of Age).Pediatrics Nov 2010. l26(`5) publikasi online September 12,
2016.;DOI: 10.1542/peds.20l0-576
11.Conrad ME, Umbreit JN. Iron absorption and transport-an update. Am J
Hematol. 2000 Aug. 64(4):287-98.
http://reference.medscape.com/medline/abstract/10911382

29
12. Andrews NC. Iron Deficiency and Related Disorders. Pada: GreerlP,et al,
editor. Wintrobe’s Clinical Hematology. I2"` ed. Philadephia Lippincott
Williams & Wilkins; 2009.

30

Anda mungkin juga menyukai