Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN KASUS

SEORANG WANITA 53 TAHUN DATANG DENGAN ASMA


EKSASERBASI AKUT

PEMBIMBING:
dr. Syafrizal Sp.P
dr. Andi Mulyawan

PENYUSUN :
dr. Sashia Laras

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PASAR REBO
06 November 2017 – 05 Maret 2018
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama lengkap : Ny. A
Usia : 53 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Kel. Ratu Jaya
Tanggal masuk RS : 22 Desember 2017
Ruangan : IGD
NO RM : 2017/779999
Tanggal dikasuskan : 12 Januari 2018

II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan pada tanggal 22 Desember 2017, autoanamnesis dan
alloanamnesis kepada pasien dan suami pasien.

Keluhan Utama : Sesak napas


Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke IGD RSUD Pasar Rebo pada tanggal 22 Desember 2017
dengan keluhan sesak napas sejak 2 jam SMRS. Sesak napas dirasakan
muncul tiba-tiba dan dirasakan semakin memberat diikuti dada terasa sakit.
Nyeri dada menjalar ke lengan , leher maupun menembus ke punggung
disangkal. Pasien semakin sesak bila posisi berbaring, dan lebih nyaman
dengan posisi duduk. Sesak napas tidak disertai adanya nyeri dada. Pasien juga
mengeluh adanya batuk berdahak yang dirasakan selama 2 hari terakhir.
Demam, keringat dingin, batuk darah, mual muntah dan nyeri ulu hati
disangkal. Pasien mengaku memiliki riwayat asma namun tidak memiliki obat
asma di rumah dan belum pernah kontrol kembali ke poliklinik paru. Pasien
juga mengatakan sudah cukup lama tidak kambuh atau mengalami keluhan
yang serupa.

Riwayat Penyakit Dahulu :


 Riwayat Asma (+)
 Riwayat Jantung (-)
 Riwayat Hipertensi (-)
 Riwayat Diabetes mellitus (-)
 Riwayat merokok (-)

Riwayat Penyakit Keluarga :


 Keluarga pasien menyangkal ada yang sakit seperti ini.
III. PEMERIKSAAN FISIK
dilakukan pada tanggal 22 Desember 2017 pukul 00.40 WIB.
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis, GCS E4 M6 V5
Tanda Vital : Tekanan darah : 130/80 mmHg
Nadi : 116 x/menit, regular, isi dan tegangan cukup,
equal
Pernafasan : 28 x/menit, irama teratur.
Suhu : 36,8C
SpO2 : 93%

Kepala: Normosefali. Rambut berwarna hitam, distribusi merata,


tidak mudah dicabut, alopesia (-), benjolan (-), nyeri
tekan (-)
Mata: Alis simetris, tidak mudah dicabut, warna hitam,
palpebra superior dan inferior oedem (-), benjolan (-),
bulu mata tidak rontok, trichiasis (-), CA (-/-), hiperemis
(-/-), SI (-/-), pupil bulat, isokor, diameter 3mm/3mm,
refleks cahaya langsung dan tidak langsung (+/+),
fotosensitivitas (-/-), sekret (-/-), hordeolum (-/-)
Hidung: Bentuk normal, deformitas septum nasi (-/-), nafas
cuping hidung (-/-), mukosa hiperemis (-/-), konka
eutrofi (+/+), sekret (-/-), benjolan (-/-), nyeri tekan (-/-)
Telinga: Normotia, bentuk dan ukuran dalam batas normal,
benjolan (-/-), nyeri tarik (-/-), nyeri tekan (-/-), serumen
(+/-), deafness (-/-)
Mulut: Bibir berwarna coklat, kering (-/-), pucat (-/-), sianosis
(-/-), mukosa mulut berwarna merah muda (+), sariawan
(-), gusi bengkak (-), lidah dalam batas normal, warna
merah, lidah kotor (-), papil atrofi (-), tremor (-), karies
gigi (-), faring hiperemis (-), tonsil T1/T1, arkus faring
simetris.
Leher: Trakea teraba terletak ditengah, deviasai (-), kelenjar
tiroid dalam batas normal, pembesaran KGB (-)
Thorax:
Inspeksi: Bentuk rongga dada normal, simetris, dinding dada
berwarna sawo matang,ikterik (-), pucat (-), kemerahan
(-), retraksi suprasternal (+), atrofi m pectoralis (-/-)
sela iga dalam batas normal, tidak melebar dan tidak
menyempit.
PARU :
Anterior Kanan Kiri
Inspeksi Gerak dinding dada saat Gerak dinding dada saat
statis maupun dinamis statis maupun dinamis
simetris simetris
Palpasi Vocal fremitus teraba Vocal fremitus teraba
normal, tidak ada normal, tidak ada
hemitorax yang tertinggal hemitorax yang tertinggal
Perkusi Sonor pada seluruh lapang Sonor pada seluruh lapang
paru kanan paru kiri
Auskultasi Suara nafas vesikular (+) Suara nafas vesikular (+)
Suara tambahan : Rh (-) Suara tambahan : Rh (-)
Wh (+) Wh (-)

Posterior Kanan Kiri


Inspeksi Gerak dinding dada saat Gerak dinding dada saat
statis maupun dinamis statis maupun dinamis
simetris simetris
Palpasi Vocal fremitus teraba Vocal fremitus teraba
normal, tidak ada normal, tidak ada
hemitorax yang tertinggal hemitorax yang tertinggal
Perkusi Sonor pada seluruh lapang Sonor pada seluruh lapang
paru kanan paru kiri
Auskultasi Suara nafas vesikular (+) Suara nafas vesikular (+)
Suara tambahan : Rh (-) Suara tambahan : Rh (-)
Wh (-) Wh (-)

JANTUNG :
Inspeksi: Ictus cordis tidak tampak
Palpasi: Ictus cordis teraba di ICS V 1 cm di medial linea midclavicularis
sinistra, thrill (-)
Perkusi: Batas jantung kanan : ICS V linea parasternalis dextra
Batas jantung kiri : ICS V 1 cm medial linea midklavikularis sinistra
Batas atas jantung : ICS II linea sternalis sinistra
Pinggang jantung : ICS II parasternalis sinistra
Auskultasi: Suara dasar : SI S2 regular
Suara tambahan: Murmur (-) , Gallop (-)

ABDOMEN :
Inspeksi: Abdomen datar, distensi (-), ikterik (-), smiling umbilikus (-), sikatriks
(-).
Auskultasi: Bising usus normal ± 2 x/menit
Palpasi: Supel, nyeri tekan epigastrium (-), nyeri lepas (-), massa (-),
hepatomegali (-), splenomegali (-), murphy sign (-), Turgor < 2 detik
Perkusi: Timpani di seluruh kuadran, hepar tidak teraba.
Inguinal: Tidak dilakukan pemeriksaan
Genitalia: Tidak dilakukan pemeriksaan
Ekstremitas: Simetris, akral hangat (+/+), oedem (-/-), hiperpigmentasi (-),
deformitas(-)

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Hematologi
22 Desember 2017
CBC + Diff count
Hemoglobin
14,4 g/dl
Leukosit
9,11 10^3/uL
Hematokrit
40 %
Trombosit
213.000/uL
Eritrosit
4,4 jt/uL
Diff
Neutrofil Batang
0%
Neutrofil Segmen
Limfosit 95 %
Monosit
3%
Eosinofil
2%
Basofil
0%
0%

Kimia Klinik
Glukosa Sewaktu 333 mg/dl
SGOT 23 U/L
SGPT 13 U/L
Ureum 20 mg/dl
Creatinine 0,86 mg/dl
eGFR 73,4 mL/min/1.73 m2
Gas Darah
pH 7.420
pCO2 28.2 mmHg
pO2 200.0 mmHg
HCO3- 18.0 mmol/L
HCO3 standard 20.4
TCO2 19
BE ecf -5.7
BE (B) -4.90 mmol/L
Saturasi O2 99.2 %
Elektrolit
Natrium (Na) 136 mmol/L
Kalium (K) 2,7 mmol/L
Klorida (Cl) 94 mmol/L

Elektrokardiografi
V. DIAGNOSIS
 Asma eksaserbasi akut
 Hiperglikemia
 Hipokalemia

VI. PENATALAKSANAAN
 O2 nasal canule 4L/Menit
 Inhalasi combivent (I) --- observasi ulang: takipneu, wheezing +
 Inhalasi combivent (II)
 Injeksi Dexamethasone 5mg/mL (2 ampul)
 Injeksi Ranitidin 25mg/mL (1 ampul)
 Pukul 02.30 pasien kembali sesak, wheezing (-) – inhalasi combivent,
injeksi Aminofilin dalam IVFD RA/8jam
TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi Asma
Asma adalah kondisi inflamasi kronik pada saluran pernapasan yang
menyebabkan obstruksi jalan napas. Inflamasi kronik tersebut menimbulkan
penyempitan jalan napas atau hiperresponsif jalan napas karena sebuah pencetus.1
Menurut GINA, Asma menyebabkan gejala seperti wheezing, napas pendek,
rasa berat pada dada, dan batuk yang bervariasi kemunculannya, frekuensi, dan berat
tidaknya. Gejala tersebut berhubungan dengan aliran udara pada saluran pernapasan,
yaitu sulitnya udara keluar dari paru-paru karena bronkokonstriksi (penyempitan
saluran napas), penebalan dinding saluran pernapasan, dan peningkatan produksi
mucus.2
Eksaserbasi asma adalah episode yang ditandai dengan peningkatan progresif
dari gejala napas pendek, batuk, wheezing atau rasa berat pada dada dan penurunan
progresif fungsi paru. Istilah eksaserbasi biasa dikenal dalam literature klinis,
sedangkan pada klinisi di rumah sakit, eksaserbasi dapat disebut ‘asma berat akut’
atau ‘flare-up’. Sedangkan pasien lebih mengenal kata ‘serangan’. Eksaserbasi dapat
muncul pada pasien yang sudah didiagnosis dengan asma atau, dalam beberapa kasus,
merupakan serangan asma yang pertama terlihat. Eksaserbasi biasanya muncul karena
respon terhadap paparan eksternal (seperti infeksi virus pada ISPA atas, pollen, polusi)
dan/atau kurang patuhnya pasien pada pengobatan controller. Eksaserbasi berat juga
dapat muncul pada pasien dengan asma ringan atau asma terkontrol.2

2. Epidemiologi
Asma dapat ditemukan pada laki – laki dan perempuan di segala usia,
terutama pada usia dini. Perbandingan laki – laki dan perempuan pada usia dini adalah
2:1 dan pada usia remaja menjadi 1:1. Prevalensi asma lebih besar pada wanita usia
dewasa. Laki-laki lebih memungkinkan mengalami penurunan gejala di akhir usia
remaja dibandingkan dengan perempuan.3
Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), hingga saat ini jumlah
penderita asma di dunia diperkirakan mencapai 300 juta orang dan diperkirakan angka
ini akan terus meningkat hingga 400 juta penderita pada tahun 2025.4
Hasil penelitian International Study on Asthma and Allergies in Childhood
(ISAAC) pada tahun 2005 menunjukkan bahwa di Indonesia prevalensi penyakit asma
meningkat dari 4,2% menjadi 5,4%. Diperkirakan prevalensi asma di Indonesia 5%
dari seluruh penduduk Indonesia, artinya saat ini ada 12,5 juta pasien asma di
Indonesia.

3. Etiologi dan Faktor Resiko


Walaupun penyebab asma pada anak belum dapat ditentukan, hasil penelitian
terbaru menunjukkan adanya kombinasi antara pajanan lingkungan dan faktor
keturunan dan kecenderungan genetik. Pajanan dari lingkungan yang dimaksud
diantaranya, allergen, infeksi saluran pernapasan oleh virus, dan polusi kimia dan
biologis seperti asap rokok.1
Pada host yang memiliki predisposisi, respon imun pada pajanan tersebut
dapat menimbulkan inflamasi dan perbaikan yang tidak sempurna pada jaringan
saluran pernapasan yang rusak. Kemudian disfungsi paru terjadi. Proses patogenik
yang terjadi pada pertumbuhan paru pada saat muda dapat mempengaruhi
pertumbuhan saluran pernapasan dan diferensiasi, berujung ke pertumbuhan yang
menyimpang saat di masa tua. Saat asma sudah berkembang, pajanan yang terus-
menerus akan menambah parah perjalanan penyakit asma, membuat penyakit menjadi
presisten, dan meningkatkan resiko eksaserbasi yang berat.1
Berikut ini adalah faktor resiko asma yang dapat dimodifikasi (GINA, 2016):
1. Pasien dengan minimal 1 faktor risiko eksaserbasi
2. Minimal 1 periode eksaserbasi berat di tahun terakhir
3. Paparan tembakau dan rokok
4. Penurunan FEV1, terutama kurang dari <60% prediksi
5. Permasalahan psikologis berat
6. Permasalahan sosioekonomik berat
7. Alergi makanan yang telah terkonfirmasi
8. Paparan allergen jika tersensitisasi
9. Eosinofilia pada sputum

4. Patofisiologi
Obstruksi jalan napas pada asma adalah suatu akibat dari banyak proses
patologis. Pada jalan napas yang sempit, aliran udara diregulasi oleh otot halus yang
melingkari lumen saluran pernapasan; bronkokonstriksi pada otot bronchiolar ini
menyebabkan penyempitan jalan napas dan mengganggu aliran udara. Infiltrat dari
inflamasi selular dan eksudatnya mengandung eosinophil yang juga mengandung sel
inflamasi lainnya (neutrophil, monosit, limfosit, sel mast, basophil), hal ini dapat
memenuhi lumen dan menghalangi aliran udara, juga menginduksi kerusakan epitel.
Limfosit T helper dan sel imun lain yang memproduksi proallergic, sitokin
proinflamatory (IL-4, IL-5, IL-13), dan kemokin (eotaxin) memediasi proses
inflamasi tersebut.1
Hipersensitivitas terhadap pajanan tertentu atau pencetus dapat menimbulkan
inflamasi saluran napas, edema, penebalan membrane basal, deposisi kolagen
subepitelia;, hipertrofi otot polos dan kelenjar mucus, dan hipersekresi mucus—semua
hal tersebut dapat berperan dalam obstruksi jalan napas.1
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor, antara lain
alergen, virus, dan iritan yang dapat menginduksi respon inflamasi akut. Asma dapat
terjadi melalui 2 jalur, yaitu jalur imunologis dan syaraf otonom. Jalur imunologis
didominasi oleh antibodi IgE, merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I (tipe alergi),
terdiri dari fase cepat dan fase lambat. Reaksi alergi timbul pada orang dengan
kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibodi IgE abnormal dalam jumlah
besar, golongan ini disebut atopi. Pada asma alergi, antibodi IgE terutama melekat
pada permukaan sel mast pada interstisial paru, yang berhubungan erat dengan
bronkiolus dan bronkus kecil. Bila sesorang menghirup alergen, terjadi fase
sensitisasi, antibodi IgE orang tersebut meningkat. Alergen kemudian berikatan
dengan antibodi IgE yang melekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini
berdegranulasi mengeluarkan berbagai macam mediator. Beberapa mediator yang
dikeluarkan adalah histamin, leukotrien, faktor kemotaktik, eosinofil dan bradikinin.
Hal itu akan menimbulkan efek edema lokal pada dinding bronkiolus kecil, sekresi
mukus yang kental dalam lumen bronkiolus, dan spasme otot polos bronkiolus,
sehingga menyebabkan inflamasi saluran nafas.4
Pada reaksi alergi fase cepat, obstruksi saluran nafas terjadi segera yaitu 10-15
menit setelah pajanan alergen. Spasme bronkus yang terjadi merupakan respons
terhadap mediator sel mast terutama histamin yang bekerja langsung pada otot polos
bronkus. Pada fase lambat, reaksi terjadi setelah 6-8 jam, bahkan kadang-kadang
sampai beberapa minggu. Sel-sel inflamasi seperti eosinofil, sel T, sel mast dan
antigen precenting cell (APC) merupakan sel-sel kunci fdalam patogenesis asma.4
Pada jalur syaraf otonom, inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast
intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus, dan mungkin juga epitel saluran napas.
Peregangan vagal menyebabkan reflek bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang
dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan menbuat epitel saluran napas lebih
permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa, sehingga
meningkatkan reaksi yang terjadi. Kerusakan epitel bronkus oleh mediator yang
dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi asma dapat terjadi tanpa melibatkan sel
mast, misalnya pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap, kabut, dan SO2. Pada
keadaan tersebut, reaksi asma terjadi melalui reflek syaraf. Ujung syaraf eferen vagal
mukosa yang terangsang menyebabkan dilepasnya neuropeptid sensorik senyawa P,
neurokinin A, dan Calcitonin Gen-Related Peptid (CGRP). Neuropeptida itulah yang
menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema bronkus, eksudasi plasma,
hipersekresi lendir, dan aktifasi sel-sel inflamasi.4
5. Manifestasi Klinis
Batuk kering yang hilang timbul, sesak, wheezing merupakan gejala kronis
dari asma. Anak yang lebih tua dan orang dewasa dapat mengeluhkan napas yang
terasa pendek dan rasa berat di dada; pada anak yang lebih muda, lebih banyak
mengeluhkan sakit pada dada yang hilang timbul. Gejala respiratorius dapat
memburuk saat malam hari, terutama pada eksaserbasi prolong yang dipicu oleh
infeksi saluran napas atau adanya allergen.

6. Klasifikasi
GINA (2016) membagi asma menjadi terkontrol, terkontrol sebagian, dan
tidak terkontrol.
7. Diagnosis
1. Anamnesis
Diagnosis asma didasarkan pada karakteristik gejala pernapasan seperti
wheezing, dispnea, dada terasa berat dan batuk, serta hambatan udara ekspirasi
yang bervariasi. Berikut ini adalah penjelasan tentang diagnosis asma (GINA,
2016):
a. Lebih dari satu gejala berikut ini (wheezing, dispnea, batuk, dada terasa
berat), terutama pada dewasa
b. Gejala memburuk pada malam hari atau pada awal pagi hari
c. Gejala bervariasi dalam hal waktu dan internsitas
d. Gejala dipicu oleh infeksi virus (flu), olahraga, paparan alergen,
perubahan musim, atau iritan seperti asap, atau bau yang menyengat.

Kriteria Diagnosis Asma (GINA, 2016)


Fitur diagnosa Kriteria untuk membuat diagnosa
Riwayat gejala asma yang bervariasi
Mengi, sesak napas, dada • Umumnya lebih dari 1 gejala
terasa berat, dan batuk • Gejala bervariasi dari waktu ke
waktu dan juga intensitasnya
• Gejala seringkali memburuk pada
malam hari atau saat bangun
• Gejala sering dipicu oleh latihan
fisik, tertawa, alergen, udara dingin
• Gejala sering muncul atau
memburuk pada infeksi virus
Keterbatasan aliran udara ekspirasi yang bervariasi
Variabilitas fungsi paru Makin besar variasi/ makin sering, makin
yang besar (1 atau lebih uji) besar kemungkinan.
DAN keterbatasan aliran Penurunan FEV1/FVC >1 kali, saat
udara FEV1 rendah (normal >0.75 – 0.80 pada
dewasa sehat dan >0.90 pada anak)
Uji reversibilitas bronkus Dewasa : peningkatan FEV1 >12% dan
positif >200mL dari nilai awal, 10-15 menit
setelah pemberian 200-400 mcg albuterol
atau setara; anak: peningkatan >12%
prediksi)
Variabilitas pengukuran Dewasa: rata-rata variabilitas harian PEF
PEF 2x/hari selama 2 diurnal > 10%
minggu Anak: > 13%
Kenaikan fungsi paru Dewasa: peningkatan FEV1 > 12% dan
setelah terapi anti-inflamasi 200 mgl (atau PEF > 200 ml)
selama 4 minggu

Uji ‘excersice challenge” Dewasa: tidak mencapai FEV1>10% dan


200 ml
Anak : tidak mencapai FEV1>12%
predicted/ PEF >15%
Uji ‘bronchial challenge’ Tidak mencapai FEV1 >20%
(umumnya hanya dilakukan (methacholine, histamine); 15%
pada dewasa) (mannitol atau lainnya)
Variasi fungsi paru di antara Dewasa: variasi FEV1 >12% dan > 200
kunjungan-kunjungan ke ml
dokter (kurang reliable) Anak: variasi FEV1 >12%

2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan pada pasien asma seringkali normal. Abnormalitas yang
paling sering adalah wheezing ekspiratorik (ronkhi) pada auskultasi, tapi
kadang tidak terdengar atau hanya terdengar pada ekspirasi kuat yang dipaksa.
Wheezing juga bisa tidak ditemukan pada asma eksaserbasi berat, karena
penurunan aluran udara yang sangat hebat (silent chest), akan tetapi biasanya
tanda-tanda patologis lain muncul. Wheezing juga bisa ditemukan pada
disfungsi jalan nafas atas, misalnya pada PPOK, infeksi saluran nafas,
trakeomalasia, atau corpus alienum. Crackles atau wheezing inspiratorik bukan
karakteristik asma. Perlu juga dilakukan pemeriksaan hidung untuk
menemukan adanya rinitis alergi atau polip nasal (GINA, 2016).
Pada asma eksaserbasi, wheezing ekspirasi dan ekspirasi memanjang
dapat ditemukan pada auskultasi. Penurunan suara napas pada lapang paru,
paling sering pada lobus kanan bawah bagian posterior, menunjukkan adanya
hipoventilasi karena obstruksi jalan napas. Crackles dan ronkhi dapat
terdengar, disebabkan oleh banyaknya lendir dan eksudat inflamasi pada jalan
napas. Kombinasi adanya crackle segmental dan penurunan suara napas dapat
menunjukkan adanya atelectasis segmental yang sulit dibedakan dengan
pneumonia dan dapat mempersulit manajemen asma.1
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Spirometri
Fungsi normal paru diukur dengan spirometri. Forced expiratory
volume in on 1 second (FEV1) lebih dipercaya daripada peak expiratory
flow (PEF). Jika PEF dilakukan, maka alat yang sama harus digunakan
tiap saat pemeriksaan, karena perbedaan sebesar 20% bisa terjadi jika
dilakukan perubahan ukuran atau alat (GINA, 2016).
Penurunan FEV1 dapat juga ditemukan pada penyakit paru lain, atau
pengguaan spirometri yang tidak tepat, akan tetapi penurunan rasio
FEV1/FVC menandakan adanya hambatan aliran jalan nafas. Rasio
FEV1/FVC normal adalah 0.75-0.80 dan kadang 0.90 pada anak-anak,
dan nilai di bawah batas normal tersebut menandakan hambatan aliran
udara (GINA, 2016).
Variabilitas adalah perbaikan atau perbukurukan gejala dan fugnsi
paru. Variabilitas berlebihan dapat ditemukan dari waktu ke waktu dalam
satu hari (variasi diurnal), dari hari ke hari, musiman, atau dari sebuah tes
reversibilitas. Reversibilitas adalah perbaikan FEV1 atau PEF secara cepat
setelah penggunaan bronkodilator kerja cepat seperti 200-400 mikrogram
salbutamol, atau peningkatan yang konsisten hari ke hari sampai minggu
ke minggu setelah diberikan terapi kendali asma misanya dengan
intranasal corticosteroid (ICS). Peningkatan atau penurunan FEV1 >12%
dan >200 mL dari batas dasar, atau jika spirometri tidak ada, perubahan
PEF minimal sebesar 20% dapat diterima sebagai asma. Akan tetapi, jika
FEV1 tetap dalam batas normal saat pasien sedang mengalami gejala
asma, maka kemungkinannya kecil bahwa kemungkinan penyakitnya
adalah asma. Pengukuran FEV dan PEF dilakukan sebelum terapi dengan
bronkodilator (GINA, 2016).
b. Tes provokasi bronkus
Pemeriksaan ini dilakukan untuk memeriksa hiperesponsivitas jalan
nafas. Pemeriksaan ini dilakukan dengan latihan inhalasi metakolin dan
histamin, hiperventilasi eukapnik volunter atau manitol inhalasi. Tes ini
cukup sensitif untuk diagnosis asma tapi kurang spesifik, karena bisa
terjadi karena penyakit lain, misalnya rinitis alergika, fibrosis kistik,
displasia bronkopulmoner, dan PPOK. Jadi, hasil negatif pada pasien yang
tidak mengonsumsi ICS dapat mengeksklusi asma, akan tetapi hasil positif
tidak selalu menandakan bahwa penyakit tersebut adalah asma, sehingga
anamnesis perlu diperhatikan (GINA, 2016).
c. Tes alergi
Riwayat atopi meningkatkan probabilitas pasien dengan gejala
pernapasan menderita asma alergika tapi hal ini tidak spesifik. Riwayat
atopik dapat diperiksa dengan skin prick test dan pengukuran serum IgE.
Skin prick test dengan bahan yang mudah ditemui di lingkungan sekitar
adalah tes yang cepat, murah, dan sensitif jika dikerjakan secara standar.
Pengukuran sIgE tidak lebih sensitif dari skin prick test tapi lebih mahal
dan digunakan untuk pasien dengan pasien tidak kooperatif. Akan tetapi,
jika skin prick test dan pengukuran sIgE positif, hal ini tidak selalu
menghasilkan gejala, karena itu perlu anamnesis yang cermat (GINA,
2016).
d. Ekshalasi Nitrit Oksida
Fractional concentration of Exhaled Nitric Oxide (FENO) dapat
diperiksa di beberapa tempat. FENO dapat meningkat pada asma
eosinofilik dan pada keadaan non asma misalnya rinits alergi, dan belum
dipastikan bermanfaat untuk diagnosis asma. FENO menurun pada
perokok dan saat terjadi bronkokonstriksi, dan meningkata jika terjadi
infeksi pernafasan viral. Kadar FENO > 50 ppb terkait dengan respons
jangka waktu singkat terhadap ICS. Saat ini pemeriksaan FENO belum
bisa direkomendasikan (GINA, 2016).
8. Tatalaksana dan Pencegahan
Ada 3 kategori utama jenis pengobatan pada asma, yaitu2:
 Controller: pengobatan sehari-hari pada asma. Obat ini berfungsi untuk
mengurangi inflamasi pada saluran napas, mengontrol gejala, dan
menurunkan resiko eksaserbasi.
 Reliever: pengobatan untuk pasien yang membutuhkan penanganan
langsung pada saat serangan atau eksaserbasi. Pengobatan ini juga
dianjurkan untuk pencegahan jangka pendek untuk bronkokonstriksi yang
dicetuskan oleh aktivitas fisik. Mengurangi dan idealnya menghilangkan
penggunaan pengobatan reliever adalah tujuan utama pada manajemen
asma dan sebagai tolak ukur keberhasilan pengobatan asma.
 Terapi tambahan untuk asma berat: obat-obatan yang diberikan pada
pasien dengan gejala persisten dan/atau eksaserbasi yang sudah diberikan
controller dosis tinggi (high dose ICS dan LABA) dan penanganan pada
faktor resiko yang dapat diubah.

Management of asthma exacerbations in acute care facility, e.g. emergency department


Oksigen:
Pada serangan asma segera berikan oksigen untuk mencapai kadar saturasi
oksigen ≥ 90% dan dipantau dengan oksimetri.

Agonis beta-2:
Dianjurkan pemberian inhalasi dengan nebuliser atau dengan IDT dan spacer
yang menghasilkan efek bronkodilatasi yang sama dengan cara nebulisasi, onset yang
cepat, efek samping lebih sedikit dan membutuhkan waktu lebih singkat dan mudah di
darurat gawat . Pemberian inhalasi ipratropium bromide kombinasi dengan agonis
beta-2 kerja singkat inhalasi meningkatkan respons bronkodilatasi dan sebaiknya
diberikan sebelum pemberian aminofilin. Kombinasi tersebut menurunkan risiko
perawatan di rumah sakit dan perbaikan faal paru (APE dan VEP1).
Alternatif pemberian adalah pemberian injeksi (subkutan atau intravena), pada
pemberian intravena harus dilakukan pemantauan ketat (bedside monitoring).
Alternatif agonis beta-2 kerja singkat injeksi adalah epinefrin (adrenalin) subkutan
atau intramuskular. Bila dibutuhkan dapat ditambahkan bronkodilator aminofilin
intravena dengan dosis 5-6 mg/ kg BB/ bolus yang diberikan dengan dilarutkan dalam
larutan NaCL fisiologis 0,9% atau dekstrosa 5% dengan perbandingan 1:1. Pada
penderita yang sedang menggunakan aminofilin 6 jam sebelumnya maka dosis
diturunkan setengahnya; untuk mempertahankan kadar aminofilin dalam darah,
pemberian dilanjutkan secara drip dosis 0,5-0,9 mg/ kgBB/ jam.

Kortikosteroid sistemik
Kortikosteroid sistemik diberikan untuk mempercepat resolusi pada serangan
asma derajat manapun kecuali serangan ringan, terutama jika:
• Pemberian agonis beta-2 kerja singkat inhalasi pada pengobatan awal tidak
memberikan respons
• Serangan terjadi walau penderita sedang dalam pengobatan
• Memiliki riwayat serangan asma berat sebelumnya
Kortikosteroid sistemik dapat diberikan oral atau intravena, pemberian oral
lebih disukai karena tidak invasif dan tidak mahal. Pada penderita yang tidak dapat
diberikan oral karena gangguan absorpsi gastrointestinal, pada usia anak atau lainnya,
maka dianjurkan pemberian intravena.
Kortikosteroid sistemik membutuhkan paling tidak 4 jam untuk tercapai
perbaikan klinis. Analisis meta menunjukkan kortikosteroid sistemik prednisolon 50
mg single morning dose atau 200 mg hidrokortison terbagi dua dosis atau
ekivalennya, adekuat untuk penderita dalam perawatan. Kortikosteroid oral
(prednison) dapat dilanjutkan sampai 10-14 hari. Penelitian juga menunjukkan tidak
ada manfaat menurunkan dosis dalam waktu terlalu singkat ataupun terlalu lama
sampai beberapa minggu.

Lain-lain
Mukolitik seperti intravena aminofilin dan teofilin tidak menunjukkan manfaat
yang berarti pada asma eksaserbasi, bahkan memperburuk batuk dan obstruksi jalan
napas pada serangan asma berat.
Antibiotik tidak rutin diberikan kecuali pada keadaan disertai infeksi bakteri
(pneumonia, bronkitis akut, sinusitis) yang ditandai dengan gejala sputum purulen dan
demam. Infeksi bakteri yang sering menyertai serangan asma adalah bakteri gram
positif, dan bakteri atipik kecuali pada keadaan dicurigai ada infeksi bakteri gram
negatif (penyakit/ gangguan pernapasan kronik) dan bahkan anaerob seperti sinusitis,
bronkiektasis atau penyakit paru obstruksi kronik (PPOK).
Sedasi sebaiknya dihindarkan karena berpotensi menimbulkan depresi napas.
Antihistamin dan terapi fisis dada (fisioterapi) tidak berperan banyak pada serangan
asma.

Controller (Jangka panjang)


 Inhaled corticosteroid (kortikosteroid inhalasi)
ICS dapat diberikan dengan metered-dose inhaler (MDIs). Dry powder inhaler
(DPIs), atau dengan nebulizer. Flutikason propionate, mometason furoat,
siklesonid, dan budesonide, memiliki efek anti inflamasi yang lebih kuat.
Penggunaan dosis ICS tergantung tingkat beratnya penyakit. Efek samping
yang paling sering muncul adalah kandidiasis oral (thrush) dan disfonia.1
 Kortikosteroid sistemik
Biasa digunakan pada asma eksaserbasi. Kortikosteroid oral yang biasa
digunakan adalah prednisone, prednisolone, dan metilprednisolon, yang
diserap sempurna dalam 1-2 jam. Efek samping yang dapat muncul pada
penggunaan kortikosteroid oral jangka panjang adalah gangguan metabolism,
gangguan pertumbuhan, osteoporosis, dan katarak.1
 Long-acting inhaled beta agonist (LABA)
Obat controller sehari-hari pada asma. Dan tidak digunakan pada saat asma
akut. Obat yang biasa digunakan adalah salmeterol dan formeterol. Kombinasi
ICS dan LABA (flutikason/salmeterol, budesonide/formoterol) sudah tersedia
dan direkomendasikan. Salmeterol bekerja maksimalkan dilatasi bronkus
dalam 1 jam setelah pemakaian, sedangkan formoterol bekerja setelah 5-10
menit. Kedua obat tersebut bekerja selama 12 jam.1
 Leukotriene-modifying agents
Leukotrin adalah mediator proinflamator poten yang menginduksi
bronkospasma, sekresi mucus, dan edema saluran pernapasan. Ada 2 jenis
leukotriene-modifiers yang sudah dikembangkan: leukotrin sintesis inhibitor
dan leukotriene receptor antagonist (LTRA). Zileuton (leukotrin sintesis
inhibitor) tidak boleh digunakan pada anak <12 tahun, karena pemberiannya 4
kali sehari, dapat menyebabkan peningkatan enzim liver pada 2-4% pasien.
LTRA (montelukast dan zafirlukast) direkomendasikan pada asma persisten
ringan dan obat tambahan ICS untuk asma persisten sedang.1
 Anti-inflamasi nonsteroid
Cromolyn dan Nedocromil adalah anti-inflamasi nonsteroid yang dapat
menginhibisi respon asmatik yang terinduksi oleh allergen dan menurunkan
bronkospasma yang disebabkan oleh aktivitas. Kurang efektif dibandingkan
dengan ICS dan LTRA.1
 Teofilin
Bronkodilator dan anti-inflamasi. Tidak lagi digunakan sebagai lini pertama
pengobatan bagi anak-anak. Over dosis teofilin dapat menyebabkan nyeri
kepala, vomitus, aritmia, kejang, dan kematian.1

Reliever
 Short-acting inhaled beta agonist (SABA)
SABA (albuterol, levalbuterol, terbutalin, pirbuterol) bereaksi cepat, dan
berdurasi 4-6 jam. Obat yang digunakan pada asma akut. Beta agonis
menyebabkan bonkodilatasi dengan merelaksasikan otot polos pada jalan
napas, menurunkan permeabilitas vascular dan edema saluran pernapasan.1
 Antikolinergik
Ipatropium bromide bersifat kurang poten dalam fungsinya sebagai
bronkodilator, bila dibandingkan dengan beta agonis. Bila dikombinasikan
dengan albuterol, ipratropium dapat meningkatkan fungsi paru dan
menurunkan angka rawat pada anak yang datang ke unit gawat darurat.
Digunakan pada anak semua umur dengan asma eksaserbasi.1

Gejala Controller
- Gejala asma atau membutuhkan Tidak membutuhkan controller
pengobatan SABA < 2x/bulan
- Terbangun tengah malam karena
asma dalam sebulan terakhir (-)
- Tidak ada faktor resiko untuk
eksaserbasi
- Tidak ada eksaserbasi dalam 1 tahun
terakhir
- Gejala asma yang muncul tidak ICS dosis rendah
menentu
- ≥1 faktor resiko eksaserbasi asma
(fungsi paru lemah, eksaserbasi
yang membutuhkan kortikosteroid
oral 1 tahun terakhir, pernah dirawat
di ICU karena asma)
- Gejala asma yang membutuhkan ICS dosis rendah
SABA 2x/bulan sampai 2x/minggu
- Pasien terbangun karena asma
≥1x/bulan
- Muncul gejala asma/penggunaan ICS dosis rendah atau yang kurang
SABA >2x/minggu efektif: LTRA atau teofilin
- Gejala asma yang mengganggu ICS dosis sedang/tinggi atau ICS
aktivitas sehari-hari, atau terbangun dosis rendah ICS/LABA
karena asma ≥1x/minggu terutama
bila ada faktor resiko
- Gejala asma berat yang Kortikosteroid oral dan pengobatan
menunjukkan asma tidak terkontrol controller (ICS dosis tinggi atau
atau dengan eksaserbasi akut ICS/LABA dosis sedang

9. Prognosis
Mortalitas akibat asma sedikit nilainya. Gambaran yang paling akhir
menunjukkan kurang dari 5000 kematian setiap tahun dari populasi beresiko yang
berjumlah kira-kira 10 juta. Sebelum dipakai kortikosteroid, secara umum angka
kematian penderita asma wanita dua kali lipat penderita asma pria. Juga kenyataan
bahwa angka kematian pada serangan asma dengan usia tua lebih banyak, kalau
serangan asma diketahui dan dimulai sejak kanak – kanak dan mendapat
pengawasan yang cukup kira-kira setelah 20 tahun, hanya 1% yang tidak sembuh
dan di dalam pengawasan tersebut kalau sering mengalami serangan common cold
29% akan mengalami serangan ulang.
Pada penderita yang mengalami serangan intermitten angka kematiannya 2%,
sedangkan angka kematian pada penderita yang dengan serangan terus menerus
angka kematiannya 9%.

DAFTAR PUSTAKA

1. National Institute of Health. National Heart, Lung and Blood Institute.


Global Initiative for Asthma. Global Strategy for Asthma Management and
Prevention. NIH Publication, 2006.
2. Rengganis, I. 2008. Diagnosis Dan Tatalaksana Asma Bronkhiale.
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI: Jakarta, Majalah Kedokteran
Indonesia, Volume: 58; No.11, November 2008.
3. GINA Team. Pocket Guide for Asthma Management and Prevention.
Updated Desember 2011. Available at: http://www.ginasthma.org.
Accessed on January 9th 2018
4. Lazarus SC. Airway Remodeling in Asthma. American Academi of Allergy,
Asthma and Immunology 56th Annual Meeting, 2000. Available from
http//www.medscape.com.

Anda mungkin juga menyukai