Anda di halaman 1dari 10

Latar Belakang :

- Permasalahan energi di Indonesia


- Penumpukan sampah
- Kondisi minyak bumi Indonesia

Saat ini Indonesia tengah mengalami krisis energi, bahkan diperkirakan 11 tahun ke depan cadangan
sumur minyak bumi di Indonesia akan habis dengan perhitungan bahwa konsumsi bahan bakar minyak
secara nasional mencapai 1,6 juta barel per hari, sedangkan produksi hanya mampu mencapai angka
834.000 barel per hari. Untuk mensiasati hal tersebut, pemerintah mengajak masyarakat untuk berhemat
dalam penggunaan Bahan Bakar Minyak (BBM). Selain upaya mengurangi penggunaan BBM, pemerintah
juga menghimbau masyarakat untuk memanfaatkan energi baru terbarukan (EBT). Cara ini merupakan
salah satu alternatif untuk menggantikan BBM sebagai bahan bakar utama. Bioetanol merupakan salah
satu contoh dari produk energi alternatif yang cocok untuk menggantikan bahan bakar minyak yang kini
kian menipis. Etanol sendiri memiliki kandungan oksigen yang tinggi sehingga mudah terbakar dan
menghasilkan emisi gas yang lebih rendah dibandingkan dengan bahan bakar berbahan fosil, maka etanol
merupakan produk yang ramah lingkungan dengan greenhouse effect yang lebih rendah. Bioetanol ini
diharapkan mampu untuk menggantikan bahan bakar minyak bagi kendaraan bermotor, atau sebagai
bahan bakar untuk mesin bahkan untuk memasak sehingga dapat mengurangi polusi udara yang
disebabkan oleh penggunaan bahan bakar fosil.

Pembuatan bioethanol telah banyak diteliti menggunakan bahan baku tetes molase atau ampas tebu
yang mengandung gula ataupun karbohidrat secara langsung. Pembuatan bioethanol dapat dilakukan
dengan bahan baku yang memiliki sukrosa, pati, dan biomassa yang mengandung selulosa. Pasalnya
pembuatan bioethanol dengan menggunakan biomassa yang mengandung lignoselulosa membutuhkan
proses yang lebih panjang. Pembuatan bioethanol dengan menggunakan sumber biomassa dipilih karena
Indonesia memiliki potensi biomassa yang berlimpah. Sumber selulosa mudah didapat seperti dari kayu,
jerami bahkan limbah tanaman. Pengolahan bioethanol dari selulosa merupakan generasi kedua karena
bahan baku tidak dapat langsung difermentasi menjadi etanol. Bahan baku harus melalui proses
pretreatment terlebih dahulu untuk memisahkan selulosa dari lignoselulosa. Salah satu sumber selulosa
yang juga menjadi permasalahan di Indonesia adalah limbah tanaman. Proses ini merupakan proses
tambahan sebelum bahan dihidrolisis dan difermentasi sehingga menghasilkan alcohol. Pembuatan
bioethanol generasi kedua masih terhambat di aspek biaya karena memerlukan teknologi dan proses yang
lebih banyak dibanding dengan bioethanol generasi pertama yang dapat langsung difermentasi dan
menghasilkan etanol.

Melihat dari banyaknya sampah daun kering yang berserakan di sekitar kampus UPN Veteran
Yogyakarta, solusi yang biasanya dilakukan yakni pembersihan sampah daun kering dengan cara dibakar
atau dibiarkan menumpuk di tempat pembuangan. Selain menimbulkan masalah baru yakni polusi akibat
pembakaran sampah daun kering, sampah daun kering yang dibiarkan menumpuk akan mengurangi
keasrian dan keindahan lingkungan kampus. Maka dari itu, penelitian ini dilakukan untuk menjadikan
sesuatu yang biasanya dibuang menjadi bermanfaat dan bernilai. maka dari itu, penelitian ini
menggunakan bahan dari sampah daun kering selain dengan permasalahan yang dihadapi, pemilihan
sampah daun kering sebagai bahan baku juga untuk meminimalisir biaya karena bahan baku mudah
didapatkan dalam jumlah banyak dan tidak dimanfaatkan. Penumpukan sampah-sampah organic juga
melanda Indonesia saat ini, sehingga dengan memanfaatkan sampah-sampah organic menjadi suatu
sumber energi baru terbarukan merupakan salah satu langkah yang tepat untuk mengurangi fenomena
ini. Daun kering merupakan limbah atau sampah organic yang dapat dijadikan bahan baku pembuatan
etanol karena mengandung selulosa. Sampah daun kering masih menjadi keresahan karena jika tidak
dihilangkan maka akan membawa dampak buruk baik bagi kesehatan secara langsung maupun kepada
lingkungan. maka dari itu penelitian ini mencoba untuk memanfaatkan sampah daun kering yang tidak
terpakai menjadi sumber energi baru terbarukan.

Permasalahan-permasalahan yang sedang dihadapi Indonesia saat ini diharapkan menurun dengan
dilakukannya penlitian ini dimana penelitian ini memanfaatkan sampah organic dari daun kering yang
tidak terpakai menjadi bioethanol sebagai energi baru terbarukan yang dapat dimanfaatkan sebagai
campuran bahan bakar sehingga dapat menaikkan nilai oktan dan dapat menggantikan konsumsi gas LPG.
Penelitian ini dilakukan melalui tahap pretreatment dimana pada tahap ini merupakan proses delignifikasi
dan mengambil selulosa untuk dihidrolisis sehingga menghasilkan glukosa yang dapat difermentasi
menjadi etanol dengan kadar yang tinggi setelah dilakukan pemurnian.
Rumusan masalah :

1. Perbandingan NaOH dengan bahan baku untuk mendapatkan etanol yang maksimal
2. Konsentrasi NaOH optimum pada proses delignifikasi
3. Perbandingan jumlah Saccharomyces cerevisiae dengan glukosa

Tujuan Penelitian :

1.

Batasan Penelitian :

1. Bahan baku yang digunakan adalah sampah daun kering lingkungan kampus UPN Veteran
Yogyakarta
2. .
3. .

Hipotesa :

1. Semakin tinggi konsentrasi NaOH semakin banyak selulosa yang terpisah


2. Semakin banyak jumlah S.cerevisiae yang dipakai, semakin tinggi kadar etanol yang dihasilkan
(Bawa,N. 2008. “Improvement of Bioethanol Production using Saccharomyces cerevisiae”,
Saskatoon: University of Saskatchewan.)

1.1 Bioethanol sebagai bahan bakar yang berkelanjutan

Produksi etanol merupakan salah satu metode yang efisien untuk mengonversi biomass
menjadi bahan bakar karena etanol cukup ekonomis dan juga ramah lingkungan jika digunakan
sebagai bahan bakar. Etanol memiliki keuntungan yaitu dapat diperbaharui atau diproduksi terus
menerus, hasil pembakaran lebih bersih dan tidak memproduksi gas rumah kaca (Altıntaş et al.,
2002). Ragi (Saccharomyces cerevisiae) dapat memfermentasi glukosa menjadi etanol dalam
keaadan anaerobic. S.cerevisiae adalah ragi yang ideal untuk menghasilkan etanol karena
sifatnya, laju pertumbuhan cepat, efisien dalam represi glukosa, tahan pada lingkungan ……,
seperti konsentrasi etanol yang tinggi dan kadar oksigen rendah. Glukosa dipecah menjadi bentuk
piruvat yang dapat menghasilkan etanol pada kondisi anaerobic. Energi untuk pertumbuhan sel
selama proses produksi etanol didapatkan dari proses glikolisis pada fermentasi (Pisˇkur et al.,
2006).
Biofuels tidak hanya menjanjikan sumber energi ramah lingkungan, tetapi juga meningkatkan
nilai ekonomis pada industrial. Bioetanol memiliki potensi sebagai bahan bakar alternative yang
dapat diproduksi secara terus menerus untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar
fosil.

1.1 Produksi Etanol dengan Fermentasi

Fermentasi merupakan salah satu cara tertua proses biokimia. Proses ini digunakan untuk
memproduksi berbagai jenis produk termasuk makanan, minuman, farmasi, dan bahan kimia
bernilai tinggi seperti etanol. Produksi etanol perlu memperhatikan tiga strategi besar. Pertama,
kemampuan untuk eksploitasi mikroorganisme yang mampu meningkatkan fermentasi produksi
etanol. Kedua, dapat menggunakan berbagai macam substrat seperti glukosa, karbohidrat, atau
selulosa dari berbagai sumber bahan baku. Ketiga, karbohidrat dan selulosa membutuhkan enzim,
maka dari itu produksi bioethanol dari kedua substrat ini butuh pengembangan dan penelitian
agar mendapatkan enzim yang tidak terlalu mahal sehingga biaya yang diperlukan tidak terlalu
tinggi.

2.1 Mikroorganisme

Dalam proses fermentasi digunakan mikroorganisme, bakteri ataupun ragi dapat mengubah
gula menjadi etanol dengan efisien. Dalam jumlah besar, bakteri mampu memproduksi etanol.
Namun, banyak dari bakteri memproduksi produk akhir yang lain seperti butanol, isopropyl
alcohol, asam karboksilat, asam formiat, arabitol, gliserol, aseton, metana, dll, sama baiknya
dengan produksi etanol.
Mikroorganisme yang biasa digunakan untuk produksi etanol adalah ragi. Ragi yang paling
umum dan banyak digunakan dalam penelitian adalah ragi yang berasal dari genus
Saccharomyces.
2.1.2 Substrat

Bahan baku yang digunakan dalam produksi bioethanol dapat diklasifikasikan menjadi 3
yaitu glukosa, karbohidrat, dan selulosa. Glukosa didapatkan dari nira tebu, molase, dan lain-lain,
dapat langsung diubah menjadi etanol. Karbohidrat berasal dari kentang, jerami, tongkol jagung,
dan lain-lain harus terlebih dulu dihidrolisis baru dapat difermentasi. Hidrolisis dapat dilakukan
dengan cara biologis dengan menggunakan enzim α-amylase and glucoamylase. Sama hal nya
dengan karbohidrat, selulosa harus melalui tahap pre-treatment sebelum dilakukan fermentasi
dengan menggunakan asam atau basa atau enzim selulosa untuk menghasilkan gula.

(El Bassam, N. 2010. “Handbook of Bioenergy Corps”. United Kingdom: MPG Books.)

Automotives Biofuels

Bioenergy menghasilkan gas emisi yang sangat sedikit dibandingkan dengan bahan bakar
fosil bahkan gas rumah kaca yang dihasilkan dapat dihilangkan jika metode produksi biofuels
dikembangkan lebih lanjut lagi. Teknologi untuk memproduksi biofuel generasi pertama seperti
etanol dari gula dan karbohidrat sudah dikomersilkan. Generasi kedua biofuels menggunakan
bahan baku biomassa yang melimpah seperti limbah pertanian. Teknologi untuk mengubah
biomassa berlignoselulosa menjadi bahan bakar sudah tersedia, namun belum dapat diterapkan
dalam skala industry.

Etanol

Etanol dapat dibuat dari fermentasi glukosa langsung, atau hidrolisis pati, mapun degradasi
selulosa yang diikuti dengan fermentasi glukosa lalu dilakukan proses pemurnian dengan distilasi.
Tujuan utama menggunakan selulosa yang terkandung dalam biomassa untuk produksi etanol
masih belom dipraktekkan dalam sekala industry. Teknologi yang mampu memproduksi etanol
dari lignoselulosa sudah tersedia (Ingram et al, 1995). Tantangan yang dialami adalah untuk dapat
mengkomersilkan produksi etanol menggunakan bahan baku biomassa lignoselulosa karena
banyak sekali bahan baku yang tersedia seperti limbah pertanian.
Bioethanol dapat digunakan sebagai bahan bakar dengan cara yang berbeda. Bioethanol
dapat digunakan dengan cara langsung digunakan sebagai bahan bakar dengan mesin yang sudah
dimodifikasi, seperti yang dilakukan di Brazil atau Swedia. Selain itu, etanol juga dapat dijadikan
campuran bahan bakar untuk meningkatkan nilai oktan, atau juga bioethanol dapat dibuat
menjadi etil tertiary butyl ether (ETBE).

(Jurnal Tesis Nancy Bawa, University of Saskatchewan, “Improvement of Bioethanol


Production using Saccharomyces cerevisiae”)

1.2 Bioethanol as a Sustainable Fuel


An efficient method for conversion of biomass into fuel is by ethanol production because
ethanol is an economical as well as environmentally friendly fuel. Ethanol has the advantages
of being renewable, cleaner burning and produces no greenhouse gases (Altıntaş et al., 2002).
Yeast cells (Saccharomyces cerevisiae) are facultative anaerobes and under anaerobic
conditions can ferment glucose to ethanol. S. cerevisiae is ideal for ethanol production due
to several properties including fast growth rates, efficient glucose repression, efficient
ethanol production and a tolerance for environmental stresses, such as high ethanol
concentration and low oxygen levels. Glucose is broken down to form pyruvate in most
organisms via the glycolytic pathway and this pyruvate can result in the production of ethanol
under anaerobic conditions. The energy for growth of cells during ethanol production is
provided by the glycolytic and fermentation pathways (Pisˇkur et al., 2006).
Biofuels are not only promising sources of environment-friendly energy, but also provide
an economic opportunity for the agriculture industry worldwide. In 2005 the world ethanol
production was approximately 46 billion litres per year, which is
expected to reach 76 billion litres per year by 2010 (Olfert and Weseen, 2007). Table 1.1
shows world ethanol production country-wise.
Bioethanol, in particular has great potential as a renewable, non-toxic and clean
alternative fuel, thereby reducing dependence on fossil energy. Fermentation of sugars
derived from energy crops and grains like sugarcane, corn, wheat and maize is an economical
and efficient method for bioethanol production. The use of these sugars for producing
bioethanol leads to opportunities for farmers by increasing demand for their products,
resulting in a boost in rural economies (Olfert et al., 2007).

2.2 Ethanol Production by Fermentation


Fermentation is one of the oldest biochemical processes known. It is used to produce a
variety of products, including foods, flavorings, beverages, pharmaceuticals, and value-added
chemicals like ethanol. The future of the fermentation industry with respect to bioethanol
production depends on three major strategies. First, its ability to exploit a variety of
microorganisms that are capable of efficient ethanol production by fermentation; second, to
utilize various substrates such as sugars, starches or celluloses derived from a variety of
different sources; and third, since utilizing starches and celluloses requires enzymes, to locate,
develop and investigate relatively inexpensive sources of enzymes.

2.1.1 Microorganisms
Both yeast and bacteria are capable of efficiently converting sugars to ethanol by
fermentation processes. A large number of bacteria are capable of ethanol production. But
most of them produce other end products like butanol, isopropylalcohol, acetic acid, formic
acid, arabitol, glycerol, acetone, methane, etc., as well as ethanol.
Yeast is the most commonly used microorganism for ethanol production by fermentation.
The most widely used and popular biological agents of wine and beer fermentations are
yeasts of the genus Saccharomyces. As mentioned earlier in chapter 1, there are certain
unique properties of this genus that make it not only capable, but outstanding for ethanol
production. Some of these properties are: fast growth rates, efficient glucose repression,
efficient ethanol production and a tolerance for environmental stresses, such as high ethanol
concentration and low oxygen levels (Piškur et al., 2006).

2.1.2 Substrates
The raw materials used in ethanol production via fermentation are classified under three
groups: sugars, starches, and cellulose materials. The sugars present in sugar cane, sugar
beets, molasses, fruits, etc. can directly be converted to ethanol. Starches from potatoes,
root crops and grains like wheat, corn, etc., need to be hydrolyzed to simple fermentable
sugars by the enzymes α-amylase and glucoamylase, before they can be converted to ethanol.
Similarly, cellulose from wood and other agricultural residues must be converted to simple
sugars by the action of mineral acids or cellulases. Mixed substrates such as glucose-xylose
mixtures, glucose-fructose mixtures, and glucose-galactose mixtures have also been
investigated (Lee et al., 1995).
(Handbook of Bioenergy crops)

Automotive biofuels
Liquid and gaseous transportation fuels derived from biomass reduce the dependence on
crude oil imports and therefore increase the stability of national fuel markets. Most bioenergy
systems generate significantly less greenhouse gas emissions than do fossil fuels and can even
be greenhouse gas neutral if efficient methods for biofuels production are developed.
Technologies to produce the first-generation liquid and gaseous fuels,
such as ethanol from starch and sugar, and biodiesel from vegetable oils, are
commercially installed. However, fossil fuel replacement is limited due to feedstock
availability. Second-generation liquid transportation fuel utilizes more abundant biomass
such as agricultural and forestry residues. Technologies to convert lignocellulosic biomass into
liquid fuels are available, but have not yet been applied to large-scale production.
Ethanol
Ethanol (ethyl alcohol) is obtained by sugar fermentation (sugar cane), or by starch
hydrolysis or cellulose degradation followed by sugar fermentation, and then by subsequent
distillation. Obtaining alcohol from vegetable raw materials has a long tradition in agriculture.
The fermentation of sugar derived from agricultural crops using yeast to give alcohol, followed
by distillation, is a well established commercial technology. Alcohol can also be produced
efficiently from starch crops (wheat, maize, potato, cassava, etc.). The glucose produced by
the hydrolysis of starch can also be fermented to alcohol. The goal-directed use of cellulose-
containing biomass from agriculturally utilized species for producing alcohol has not yet been
practised on a large-scale engineering level. Technologies that can produce fuel ethanol from
lignocellulose are already available (Ingram et al, 1995). The challenge today is to assemble
these technologies into a commercial demonstration plant. Many wood wastes and residues
are available as feed materials, while high-yielding woody crops will also provide
lignocellulose at lower prices than agriculture crops.
Bioethanol can be used as a fuel in different ways: directly in special or modified engines
as in Brazil or in Sweden, blended with gasoline at various percentages, or after
transformation into ethyl tertiary butyl ether (ETBE). Bioethanol can be used in an undiluted
form or mixed with motor gasoline. ‘Gasohol’ is the term used in the USA to describe a maize-
based mixture of gasoline (90 per cent) and ethyl alcohol (10 per cent); it should not be
confused with gasoil, an oil product used to fuel diesel engines. Although engines need to be
adapted to use bioethanol at 100 per cent, unadapted engines can run the mixed fuels.
Bioethanol can be used to substitute for MTBE and is added to unleaded fuel to increase
octane ratings. In Europe, the preferred percentage – as recommended by the Association of
European Automotive Manufacturers (AEAM) – is a 5 per cent ethanol or 15 per cent ETBE
mix with gasoline.
(Biomass Assesment Handbook)
Ethanol

Ethanol can be produced from any sugar-containing material and is currently produced
from more than 30 feedstocks. However, in practice only a handful of raw materials are
economically viable or close to being so. The principal feedstocks are sugar cane (Brazil) or
molasses, and starch crops such as corn as in the United States. In the future one of the most
promising feedstocks is cellulose-containing material, if production costs can be significantly
reduced.

Anda mungkin juga menyukai