Anda di halaman 1dari 16

Referat

Abses Leher Dalam

Nadia Syahirah binti Abdul Aziz


112016386

Pembimbing
Dr Arroyan, Sp THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT THT-KL


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
PERIODE 22 JANUARI S/D 24 FEBRUARI 2018
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOJA
Bab 1

Pendahuluan

Abses leher dalam adalah abses atau pus yang terjadi di dalam ruang potensial di antara
fascia leher dalam sebagai akibat penjalaran infeksi dari berbagai sumber seperti gigi, mulut
tenggorokan, sinus paranasal, telinga tengah dan leher tergantung ruang mana yang terlibat. 1

Abses leher dalam ini merupakan suatu kondisi yang mengancam jiwa akibat komplikasi-
komplikasinya yang serius seperti obstruksi jalan napas, kelumpuhan saraf kranial, mediastinitis,
dan kompresi hingga ruptur arteri karotis interna. Lokasinya terletak di dasar mulut dan dapat
menjadi ancaman yang sangat serius. Kecurigaan terhadap adanya abses leher dakam ditandai
dengan nyeri tenggorokan dan demam yng disertai terbatasnya gerakan membuka mulut dan leher.

Berbagai penyebab yang mengakibatkan adanya infeksi di daerah leher. Kuman penyebab
abses leher dalam biasanya terdiri dari campuran kuman aerob, anaerob maupun fakultatif anaerob.
Infeksi kepala dan leher yang mengancam jiwa ini sudah jarang terjadi sejak diperkenalkannya
antibiotik dan angka kematiannya menjadi lebih rendah. Disamping itu higiene mulut yang
meningkat juga berperan dalam hal ini. Disamping drainase abses yang optimal, pemberian
antibiotik diperlukan untuk terapi yang adekuat. Untuk mendapatkan antibiotik yang efektif
terhadap pasien, diperlukan pemeriksaan kultur kuman dan uji kepekaan antibiotik terhadap
kuman. Namun ini memerlukan waktu yang cukup lama, sehingga diperlukan pemberian antibiotik
secara empiris. Berbagai kepustakaan melaporkan pemberian terapi antibiotik spektrum luas
secara kombinasi.

Pengetahuan anatomi fasia dan ruang-ruang potensial leher secara baik, serta penyebab
abses leher dalam mutlak diperlukan untuk dapat memperkirakan perjalanan penyebaran infeksi
dan penatalaksanaan yang adekuat.
Bab 2

Tinjauan Pustaka

Anatomi leher

Pada daerah leher terdapat beberapa ruang potensial yang dibatasi oleh fasia servikal. Fasia
servikal dibagi menjadi dua yaitu fasia superfisial dan fasia profunda. Kedua fasia ini dipisahkan
oleh otot platisma (otot ekspresi wajah) yang tipis dan meluas ke anterior leher. Otot platisma
sebelah inferior berasal dari fasia servikal profunda dan klavikula serta meluas ke superior untuk
berinsersi di bagian inferior mandibula. Fasia superfisial terletak dibawah dermis. Ini termasuk
sistem muskuloapenouretik, yang meluas mulai dari epikranium sampai ke aksila dan dada, dan
tidak termasuk bagian dari daerah leher dalam.1 Fasia yang kedua mengelilingi leher adalah fasia
servikalis profunda yang dibagi menjadi tiga lapisan yaitu:

 Investing : mengelilingi leher dan menginvestasikan trapezius dan otot


Sternocleidomastoideus
 Pretracheal (viseral): terbatas pada anterior leher; menginvestasikan otot infrahyoid,
Kelenjar tiroid, trakea, dan kerongkongan; pada posterior disebut fasia
buccopharyngeal,karena mengelilingi buccinator dan otot konstriktor faring.
 Prevertebral: selubung tubular yang menginvestasikan otot prevertebral dan kolomnar
vertebral; anterior fasia alar.2,3,4

Selubung karotid menyatu dengan tiga fasia ini lapisan tapi berbeda dan mengandung karotid yang
umum arteri, vena jugularis internal, dan saraf vagus
Gambar 1.Fasia leher3

Abses leher dalam merupakan abses yang terbentuk di ruang potensial leher dalam. Ruang
potensial leher dalam adalah ruang yang terbentuk oleh sekat-sekat fasia leher dalam yang terdiri
atas :

 Lapisan Superficial dari Deep Cervical Fascia (Investing Layer)


 Lapisan tengah dari Deep Cervical Fascia yang terdiri atas:
 Lapisan Muscular
 Lapisan Visceral
 Lapisan dalam dari Deep Cervical Fascia yang terderi atas :
 Alar fascia
 Prevertebral fascia

Ruang leher dalam dapat dikelompokan menjadi (modifikasi Hollingshead):

- Ruang yang melibatkan sepanjang leher terdiri dari:


 Ruang retropharyngeal (posterior visceral, retroviseral, retroesophageal)
 Danger space
 Ruang prevertebral
 Ruang viseral vaskular
- Ruang yang terbatas di atas tulang hioid
 Ruang paraparing (faringomaxilla, lateral faring, perifaring)
 Ruang Submandibula and submental
 Ruang Parotis
 Ruang Mastikator
 Ruang Peritonsil
 Ruang Temporal
- Ruang yang terbatas di bawah tulang hioid
 Ruang Pretrakea
 Ruang Suprasternal

Diantara ruang-ruang ini terdapat hubungan yang memungkinkan infeksi pada satu ruang dapat
meluas ke ruang-ruang potesial lainnya.5

Abses Peritonsil

Abses Peritonsil atau quinsy, merupakan terkumpulnya material purulen yang terbentuk di
luar kapsul tonsil dekat kutub atas tonsil. Ia adalah infeksi leher dalam yang paling sering terjadi.
Sebagian besar terjadi pada orang dewasa muda, peningkatan risiko juga terjadi pada keadaan
imunokompromised dan pasien diabetes.5

Kebanyakan abses timbul sebagai komplikasi tonsilitis atau faringitis, tetapi juga dapat
merupakan penyebaran odontogenik (penyebaran infeksi dari gigi) atau trauma mukosa lokal.
Abses biasanya unilateral yang merupakan kumpulan abses/pus antara kapsul tonsil, otot
konstriktor faring superior dan otot palatofaringeus. Abses ini diyakini muncul dari penyebaran
infeksi dari tonsil atau infeksi yang bersumber dari kelenjar mukus Weber di kutub atas tonsil.
Biasanya kuman penyebab sama dengan penyebab tonsilitis, dapat ditemukan kuman aerob dan
anaerob.1
Abses ini paling sering dimulai dari pole atas tonsil, namun, dapat juga menyebar dari pole
tengah atau bawah. Daerah superior dan lateral fossa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar,
oleh karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial pritonsil tersering menempati daerah ini,
sehingga tampak palatum mole membengkak. Patogen penyebab sama dengan kuman penyebab
tonsilitis, terutama streptokokus, namun tidak jarang infeksi polimikroba dan melibatkan bakteri
anaerob. Pasien dengan abses peritonsillar biasanya datang dengan nyeri tenggorok, odinofagi,
demam ringan dan dengan berbagai derajat trismus. Trismus muncul sekunder akibat iritasi otot
pterigoideus. Pasien mungkin juga mengeluhkan otalgia ipsilateral.

Pada stadium permulaan (stadium infiltrat), selain pembengkakan tampak permukaannya


hiperemis. Bila proses berlanjut, terjadi supurasi sehingga daerah tersebut lebih lunak.
Pembengkakan peritonsil akan mendorong tonsil dan uvula ke arah kontralateral. Bila proses
berlanjut terus, peradangan jaringan di sekitarnya akan menyebabkan iritasi pada M. Pterygoideus
interna, sehingga timbul trismus. Abses dapat pecah spontan, mungkin dapat terjadi aspirasi ke
paru.1

Ketika abses meluas, pasien mungkin mengalami disfagia bahkan kesulitan menelan air
liur. Pasien sering mengalami dehidrasi sekunder akibat asupan oral yang kurang. Perubahan suara
sering terjadi (suara kentang panas/ hot potato voice) yang disebabkan oleh insufisiensi
velopharyngeal sementara dan resonansi mulut yang tertahan. Mungkin terdapat muntah
(regurgitasi), mulut berbau (foetor ex ore) dan kadang-kadang sukar membuka mulut (trismus).
Limfadenopati servikal anterior ipsilateral sering muncul. Apabila demam lebih dari 39,4 ° C harus
dicurigai adanya perluasan ke parafaring dan sepsis. Rasa nyeri di telinga bisa terjadi karena nyeri
alih melalui saraf N. Glossopharyngeus (N.IX). Pada tahap awal akan tampak tonsil dan pilar
anterior yang eritematosa, dan dapat bergeser ke medial. Kemudian, palatum mole dan uvula akan
terdorong ke sisi kontralateral, terdapat fluktuasi di sepanjang pilar anterior dan peritonsil. 1,6

Pada pemeriksaan fisik didapatkan palatum mole tampak membengkak dan menonjol ke
depan, dapat teraba fluktuasi, arkus faring tidak simetris, pembengkakan di daerah peritonsil, uvula
terdorong ke sisi yang sehat, dan trismus. Tonsil bengkak, hiperemis, mungkin banyak detritus dan
terdorong ke sisi kontra lateral. Kadang-kadang sukar memeriksa seluruh faring karena trismus.
Abses ini dapat meluas ke daerah parafaring. Untuk memastikan diagnosis dapat dilakukan pungsi
aspirasi dari tempat yang paling fluktuatif.1,5,6

Pemeriksaan orofaring mungkin sulit karena terdapat trismus. Pemeriksaan dilakukan pada
posisi pasien duduk. Minta pasien untuk membuka mulut selebar mungkin, dan tekan lidah untuk
mempermudah evaluasi orofaring. Gunakan lampu kepala atau sumber cahaya untuk memudahkan
pemeriksaan. Palpasi digital untuk menentukan lokasi yang fluktuatif kadang dapat dilakukan, dan
mungkin cara terbaik untuk membedakan abses dari selulitis/infiltrat. Dengan gambaran klinis
umumnya sudah dapat menegakkan disgnosis abses peritonsil, namun sekitar 20% kasus diagnosis
masih diragukan sampai dilakukan aspirasi. Aspirasi negatif belum menyingkirkan diagnosis
abses. 6

Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis tinggi dan obat simtomatik. Juga perlu
kumur-kumur dengan air hangat dan kompres dingin pada leher. Bila telah terbentuk
abses, memerlukan pembedahan drainase, baik dengan teknik aspirasi jarum atau dengan teknik
insisi dan drainase. Tempat insisi ialah di daerah yang paling menonjol dan lunak, atau pada
pertengahan garis yang menghubungkan dasar uvula dengan geraham atas terakhir. Intraoral
incision dan drainase dilakukan dengan mengiris mukosa overlying abses, biasanya diletakkan di
lipatan supratonsillar. Drainase atau aspirate yang sukses menyebabkan perbaikan segera gejala-
gejala pasien. Pasien yang diobati dengan aspirasi saja memiliki tingkat keberhasilan berkisar 85-
100%, kekambuhan paling jarang pada pasien yang dilakukan insisi dan drainase. Sebagian besar
dapat ditatalaksana sebagai pasien rawat jalan dengan antibiotik oral setelah drainase dengan
anesthesia lokal. Sedangkan pada pasien yang mengalami immunocompromised, dengan
sumbatan jalan napas, tidak dapat mentoleransi pemberian antibiotik oral, pasien dehidrasi dan
pasien anak perlu dilakukan rawat inap. Bila terdapat trismus, pembedahan drainase dilakukan
setelah pemberian cairn kokain 4% pada daerah insisi dan daerah ganglion sfenopalatina pada fosa
nasalis.

Setelah aspirasi atau insisi dan drainase, antibiotik dianjurkan untuk membasmi kuman
penyebab. Penisilin, klindamisin, atau sefalosporin adalah pilihan pertama yang rasional.
Alternatif termasuk ampisilin/amoksisilin dengan sulbaktam/ asam klavulanat. Banyak dokter
secara empiris juga memberikan dosis parenteral tunggal deksametason (10 mg) yang secara klinis
dapat memperbaiki gejala. Reevaluasi dari semua pasien yang diobati dengan aspirasi jarum harus
dilakukan dalam 24 jam untuk menilai perlunya dilakukan aspirasi berulang atau insisi dan
drainase. Pasien harus segera kembali apabila terdapat kembali muncul gejala, atau pendarahan
terus-menerus dari luka insisi.

Dalam penatalaksanaan abses peritonsil, pemahaman anatomi sangat diperlukan, terutama


hubungan tonsil dan peritonsil terhadap struktur disekitarnya seperti arteri fasialis dan arteri karotis
yang berjarak 2,5 cm postero-lateral dari tonsil. Pada saat melakukan tindakan harus sangat hati-
hati jangan menembus terlalu dalam yang berakibat trauma terhadap arteri ini. Untuk tujuan ini
dapat dilakukan dengan model “penjaga jarum” dengan memotong 1 cm distal dari penutup jarum
plastik, kemudian tutup kembali pada jarum, pastikan bahwa jarum menonjol hanya 1 cm di luar
penutup. Prosedur ini akan membatasi kedalaman penetrasi jarum dan mengurangi risiko
memasuki struktur pembuluh darah besar. Jika nanah tidak diperoleh pada kedalaman 1 cm,
penetrasi lebih dalam tidak dianjurkan. Aspirasi jarum relatif sederhana, dapat dilakukan oleh
dokter umum, tidak memerlukan peralatan khusus, dan relatif murah. Kekurangan aspirasi jarum
kadang-kadang gagal mendeteksi adanya abses peritonsil dan oleh karena itu memungkinkan
misdiagnosis sebagai peritonsillar selulitis.5

Kemudian pasien dinjurkan untuk operasi tonsilektomi “a” chaud. Bila tonsilektomi
dilakukan 3-4 hari setelah drainase abses disebut tonsilektomi “a” tiede, dan bila tonsilektomi 4-6
minggu sesudah drainase abses disebut tonsilektomi “a” froid. Pada umumnya tonsilektomi
dilakukan sesudah infeksi tenang, yaitu 4-6 minggu sesudah drainase abses.

Tonsilektomi merupakan indikasi absolut pada orang yang menderita abses peritonsilaris
berulang atau abses yang meluas pada ruang jaringan sekitarnya. Abses peritonsil mempunyai
kecenderungan besar untuk kambuh. Sampai saat ini belum ada kesepakatan kapan tonsilektomi
dilakukan pada abses peritonsil. Sebagian penulis menganjurkan tonsilektomi 6–8 minggu
kemudian mengingat kemungkinan terjadi perdarahan atau sepsis, sedangkan sebagian lagi
menganjurkan tonsilektomi segera.1

Abses dapat pecah spontan dapat mengakibatkan perdarahan, aspirasi paru atau piemia.
Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring sehingga terjadi abses parafaring. Pada
penjalaran selanjutnya, masuk ke mediastinum sehingga terjadi mediastinitis. Bila terjadi
penjalaran ke daerah intrakrnial, dapat mengakibatkan trombus sinus kavernosus, meningitis dan
abses otak.6

Abses Retrofaring

Abses retropharyngeal adalah kumpulan nanah ruang retrofaring. Merupakan abses leher
dalam yang jarang terjadi, terutama terjadi pada bayi atau anak di bawah dua tahun dan merupakan
abses leher dalam yang terbanyak pada anak. Hal ini terjadi dalam dua bentuk yaitu abses
retrofaring akut primer yang biasa terjadi pada bayi dan anak (usia kurang dari 5 tahun). Pada anak
biasanya abses terjadi mengikuti infeksi saluran nafas atas dengan supurasi pada kelenjar getah
bening yang terdapat pada daerah retrofaring. Abses dapat timbul mengikuti penyakit yang
menurunkan daya tahan tubuh anak seperti demam scarlet, campak dll, disamping itu infeksi tonsil,
adenoid dan nasofaring juga dapat menyebabkan pembentukan abses retrofaring. Dan abses
retrofaring kronis yang umum terjadi pada dewasa. Pada orang dewasa abses retrofaring sering
terjadi akibat adanya trauma tumpul pada mukosa faring, perluasan abses dari struktur yang
berdekatan.1,5

Abses terbentuk akibat limfadenitis supuratif dari kelenjar retropharyngeal Henle, yang
terletak di kedua sisi retrofiring. Kelenjar ini menerima limfatik dari rongga hidung , faring, tuba
eustachius dan telinga tengah. Kelenjar ini akan mengalami atrofi antara usia 3 dan 5 tahun,
sehingga abses retrofaring akut jarang terjadi pada anak di atas usia 5 tahun. kelenjar Henle ketika
terinfeksi awalnya akan mengalami adenitis, kemudian periadenitis dan pembentukan abses
terjadi. Nanah biasanya satu sisi. Gejala dapat berupa nyeri menelan (odinofagia), pada bayi muda
akan menyebabkan rewel, menolak makan, hipersalivasi, demam dan leher kaku (tortikolis). Abses
ini juga dapat menyebabkan kesulitan bernafas akibat sumbatan jalan nafas.

Pada pemeriksaan akan tampak tonjolan lunak pada bagian posterior faring pada satu sisi.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik serta pemeriksaan rontgen
soft tissue cervical lateral yang akan menampakkan adanya pelebaran ruang retrofaring.6

Terapi dengan medikamentosa, yakni antibiotika dosis tinggi untuk kuman aerob dan
anaerob, dan tindakan bedah. Pungsi dan insisi abses dilakukan melalui laringoskop langsung
dalam posisi pasien Trendelenburg. Pus yang keluar segera diisap agar tidak terjadi aspirasi.
Tindakan dapat dilakukan dalam analgesia lokal atau umum.7

Komplikasi yang mungkin terjadi ialah penjalaran ke ruang parafaring, ruang vaskuler
visera, mediastinitis, obstruksi jalan nafas sampai asfiksia, bila pecah spontan dapat menyebabkan
penummonia aspirasi dan abses paru.6

Abses submandibular

Abses submandibula adalah terkumpulnya pus pada ruang submandibula. Ruang


submandibula terdiri dari sublingual yang berada di atas otot milohioid dan submaksila. Nanah
mengumpul di bawah lidah, yang akan mendorongnya ke atas dan ke arah belakang tenggorok,
yang dapat menyebabkan masalah pernapasan dan gangguan menelan menelan. Penyakit ini jarang
pada anak umumnya pada remaja dan dewasa yang dihubungkan dengan infeksi. Infeksi dapat
bersumber dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar liur atau kelenjar limfe submandibula. Mungkin
juga sebagian kelanjutan infeksi infeksi ruang leher dalam lain.1,5

Pembengkakan daerah dagu/ submandibula dan nyeri leher merupakan keluahan yang
sering membuat pasien mencari pertolongan. Keluhan ini sering disertai trismus. Pasien biasanya
akan mengeluh nyeri di rongga mulut dan leher, air liur banyak. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan pembengkakan di daerah submandibula, fluktuatif, lidah terangkat ke atas dan
terdorong ke belakang, angulus mandibula dapat diraba. Pada aspirasi didapatkan pus.

Pengobatan berupa evakuasi abses dan pemberian antibiotika spectrum luas dosis tinggi
secara parenteral. Insisi dan drainase abses dapat dilakukan dengan anestesi lokal apabila
terlokalisir dan dangkal, sedangkan abses yang luas dan dalam insisi dan drainase dilakukan
dengan bius umum.7

Abses Parafaring

Abses parafaring dapat terjadi setelah infeksi faring, tonsil, adenoid, gigi, parotis, atau
kelenjar limfatik. Pada banyak kasus abses parafaring merupakan perluasan dari abses leher dalam
yang berdekatan seperti; abses peritonsil, abses submandibula, abses retrofaring maupun
mastikator.
Ruang ini berhubungan dengan setiap ruang leher dalam lainnya dan juga berhubungan
dengan ruang karotid. Akibatnya infeksi berasal dari ruang mastikator, parotis, ruang
submandibula, sublingual, ruang retrofaring dan peritonsil semua dapat menyebar ke ruang ini,
dan karena itu, ketika pasien datang dengan abses parafaring, harus dilakukan pemeriksaan setiap
ruang lain untuk memastikan bahwa tidak ada ruang lain yang terlibat. Sebagian besar infeksi
berasal dari faring dan tonsil dan karenanya organisme yang terlibat adalah kuman penyebab
tonsillitis. Abses parafaring paling sering merupakan perluasan dari abses submandibula yang
terjadi akibat infeksi gigi. 1, 8

Ruang parafaring terdiri atas kompartemen prestyloid disebut kompartemen otot dan
mengandung sedikit struktur vital, tetapi terkait erat dengan fosa tonsil medial dan otot
pterygoideus internal, dan akibatnya trismus sering menyertai kondisi ini. Sementara itu
keterlibatan ruang retro-atau poststyloid, juga dikenal sebagai kompartemen neurovaskular, dapat
mengakibatkan komplikasi serius yang mungkin terjadi jika tidak diobati secara optimal.

Gejala dan tanda abses ini adalah demam, trismus, nyeri tenggorok, odinofagi dan disfagia.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan pembengkakan di daerah parafaring, pendorongan dinding
lateral faring ke medial, dan angulus mandibula tidak teraba. Pada abses parafaring yang mengenai
daerah prestiloid akan memberikan gejala trismus yang lebih jelas.

Selain pemberian antibiotika dosis tinggi, evakuasi abses harus segera dilakukan bila tidak
ada perbaikan dengan antibiotika dalam 24-48 jam dengan cara eksplorasi dalam narkosis.

Drainase sebaiknya dilakukan melalui insisi servikal pada 2 ½ jari di bawah dan sejajar
mandibula. Secara tumpul eksplorasi dilanjutkan dari batas anterior M. Sternocleidomastoideus ke
arah atas belakang menyusuri bagian medial mandibula dan M. Pterigoideus interna mencapai
mencapai ruang parafaring dengan terabanya prosesus stiloid. Bila nanah terdapat di dalam
selubung karotis, insisi dilanjutkan vertikal dari pertengahan insisi horizontal ke bawah di depan
M. Sternocleidomastoideus (cara Mosher).1,9

Proses peradangan dapat menjalar secara hematogen, limfogen atau langsung (per
kontinuitatum) ke daerah sekitarnya. Penjalaran ke atas dapat mengakibatkan peradangan
intrakranial, ke bawah menyusuri selubung karotis mencapai mediastinum. Abses juga dapat
menyebabkan kerusakan dinding pembuluh darah. Bila pembuluh karotis mengalami nekrosis,
dapat terjadi ruptur, sehingga terjadi perdarahan hebat. Bila terjadi periflebitis atau endoflebitis,
dapat timbul tromboflebitis dan septikemia.1,10,11,12

Angina Ludovici (Ludwig’s Angina)

Angina Ludwig merupakan peradangan selulitis atau flegmon dari bagian superior ruang
suprahioid atau di daerah sub mandibula, dengan tidak ada fokal abses. Ruang potensial ini berada
antara otot-otot yang melekatkan lidah pada tulang hioid dan ototmilohioideus. Angina Ludwig
paling sering terjadi sebagai akibat infeksi yang berasal dari gigi geligi, tetapi dapat berasal dari
proses supuratif nodi limfatisi servikalis pada ruang submaksilaris.

Biasanya Angina Ludwig akan mengenai kedua sisi submandibula, air liur yang banyak,
trismus, nyeri, disfagia, massa di submandibula yang tampak hiperemis dan keras pada perabaan.
Kekerasan yang berlebihan pada jaringan dasar mulut mendorong lidah ke atas dan ke belakang
dan dengan demikian dapat menyebabkan obstruksi jalan napas secara potensial sehingga timbul
sesak napas.1,9

Diberikan antibiotika dengan dosis tinggi, untuk kuman aerob dan anaerob, dan diberikan
secara parenteral. Kemudian dilakukan eksplorasi dengan pembedahan insisi melalui garis tengah,
dengan demikian menghentikan ketegangan (dekompresi) yang terbentuk pada dasar mulut.
Karena ini merupakan selulitis, maka sebenarnya pus jarang diperoleh. Sebelum insisi dan drainase
dilakukan, sebaiknya dilakukan persiapan terhadap kemungkinan trakeostomi karena
ketidakmampuan melakukan intubasi pada pasien, seperti lidah yang mengobstruksi pandangan
laring dan tidak dapat ditekan oleh laringoskop.1,9,12

Komplikasi yang sering terjadi ialah sumbatan jalan nafas, penjalaran abses ke ruang leher
dalam lain dan mediastinum, dan sepsis.

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan abses leher dalam meliputi operasi untuk evakuasi dan drainase abses,
identifikasi kuman penyebab dan pemberian antibiotik. Evakuasi abses baik dilakukan dengan
anestesi lokal maupun dengan anestesi umum. Antibiotik dosis tinggi terhadap kuman aerob dan
anaerob harus diberikan secara parenteral. Hal yang paling penting adalah terjaganya saluran nafas
yang adekuat dan drainase abses yang baik.7

Pemberian antibiotik berdasarkan hasil biakan kuman dan tes kepekaan antibiotik terhadap
kuman penyebab infeksi. Biakan kuman membutuhkan waktu yang lama untuk mendapatkan
hasilnya, sedangkan pengobatan harus segera diberikan. Sebelum hasil kultur kuman dan uji
sensitifitas keluar, diberikan antibiotik kuman aerob dan anaerob secara empiris. Pemberian
antibiotik kombinasi pada abses leher dalam, yaitu; Kombinasi penesilin G, klindamisin dan
gentamisin, kombinasi ceftriaxone dan klindamisin, kombinasi ceftriaxone dan metronidazole,
kombinasi cefuroxime dan klindamisin, kombinasi pinisilin dan metronidazole dan kombinasi
metronidazole dengan ceftriaxone mempunyai tingkat keberhasilan yang berbagai.7

Penesilin G merupakan obat terpilih untuk infeksi kuman streptokokus dan


stafilokokus yang tidak menghasilkan enzim penecilinase. Gentamisin menunjukkan efek sinergis
dengan pinisilin. Klindamisin efektif terhadap streptokokus, pneumokokus dan stafilokokus yang
resisten terhadap penisilin. Lebih khusus pemakaian klindamisin pada
infeksi polimicrobial termasukBacteroides sp maupun kuman anaerob lainnya pada daerah oral.

Pada kultur didapatkan kuman anaerob, maka antibiotik metronidazole, klindamisin,


carbapenem, sefoxitin, atau kombinasi penisilin dan β-lactam inhibitor merupakan obat terpilih.7

Metronidazole juga efektif sebagai amubisid. Aminoglikosida, quinolone atau cefalosforin


generasi ke III dapat ditambahkan jika terdapat kuman enterik gram negatif. Cefalosporin generasi
III mempunyai efektifitas yang lebih baik terhadap gram negatif enterik. Dibanding dengan
cefalosporin generasi I, generasi III kurang efektif terhadap kokus gram positif, tapi sangat efektif
terhadapHaemofillus infeluenza, Neisseria sp dan Pneumokokus. Ceftriaxone dan cefotaxime
mempunyai efektifitas terhadap streptokokus. Ceftriaxone sangat efektif terhadap gram negatif
dan Haemofillus sp, kebanyakan Streptococcus pneumonia dan Neisseriae sp yang resisiten
terhadap penisilin.5,7

Setelah keluar hasil uji kepekaan antibiotik terhadap kuman penyebab diberikan antibiotik
yang sesuai. Pada pemberian kombinasi antibiotik secara empiris jika terdapat perbaikan,
antibiotik dapat diteruskan, jika tidak maka antibiotik diganti sesuai uji kepekaan.3,7
Bab 3

Kesimpulan

Abses leher dalam adalah terkumpulnya nanah (pus) di dalam ruang potensial di antara
fasia leher dalam sebagai akibat penjalaran dari berbagai sumber infeksi, seperti gigi, mulut,
tenggorok, sinus paranasal, telinga dan leher. Pembentukan abses merupakan hasil perkembangan
dari flora normal dalam tubuh. Flora normal dapat tumbuh dan mencapai daerah steril dari tubuh
baik secara perluasan langsung maupun melalui laserasi atau perforasi. Berdasarkan kekhasan
flora normal yang ada di bagian tubuh tertentu, maka kuman dari abses yang terbentuk dapat
diprediksi berdasar lokasinya. Sebagian besar abses leher dalam disebabkan oleh campuran
berbagai kuman, baik kuman aerob, anaerob, maupun fakultatif anaerob.

Abses leher dalam merupakan suatu kondisi yang mengancam jiwa akibat komplikasi-
komplikasinya yang serius seperti obstruksi jalan napas, kelumpuhan saraf kranial, mediastinitis,
dan kompresi hingga ruptur arteri karotis interna. Lokasinya terletak di dasar mulut dan dapat
menjadi ancaman yang sangat serius. Oleh karena itu, penatalaksanaan abses leher dalam meliputi
operasi untuk evakuasi dan drainase abses, identifikasi kuman penyebab dan pemberian
antibiotik. Hal ini akan mengurangi komplikasi yang mengancam jiwa dan mempercepat
perbaikan.

Untuk identifikasi kuman penyebab membutuhkan pemeriksaan biakan kuman. Biakan


kuman membutuhkan waktu yang lama untuk mendapatkan hasilnya, sedangkan pengobatan harus
segera diberikan. Oleh karena kuman penyebab abses leher dalam biasanya terdiri dari campuran
kuman aerob, anaerob maupun fakultatif anaerob, maka sebelum hasil kultur kuman dan uji
sensitifitas keluar, diberikan antibiotik untuk kuman aerob dan anaerob secara empiris. Pemberian
antibiotik secara empiris dapat berupa antibiotik kombinasi ceftriaxone dan metronidazole.
Ini berdasarkan kuman penyebab terbanyak abses leher dalam yaitu jenis streptokokus,
stafilokokus dan kuman anaerob. Penambahan gentamisin (aminoglikosid) dapat diberikan jika
dicurigai kuman penyebab termasuk kuman entrik seperti Klebsiella, proteus, Enterobacter.
Setelah keluar hasil uji kepekaan antibiotik terhadap kuman penyebab diberikan antibiotik yang
sesuai. Pada pemberian kombinasi antibiotik secara empiris jika terdapat perbaikan, antibiotik
dapat diteruskan, jika tidak maka antibiotik diganti sesuai uji kepekaan.

Daftar pustaka

1. Fachruddin D. Abses leher dalam. Dalam: Iskandar M, Soepardi AE editor. Buku ajar ilmu
penyakit telinga hidung tenggorok. Edisi ke 6. Jakarta: Balai Penerbit FK-UI. 2008 :p. 226-
30
2. Bailley BJ, Jhonson JT, editors. Otolaryngology Head and neck surgery. Edisi ke-4.
Philadelphia: JB.Lippincott Company 2006.p.666-81
3. Frank H Netter, Carlo Machado. Netter’s Clinical Anatomy. Philadelphia. Saunders
Elsevier. 2010. P 349- 444.
4. Micheal Gleeson, George Brownign, Martin J Burton, Ray Clarke. Scott-Brown’s
Otorhinolaryngology, head and neck surgery. 7th edition. Great Britain. Hodder Education.
2008. P 1739-53
5. Diagnosis dan Penatalaksanaan Abses Leher Dalam. Conference Paper · February 2013.
Available from:
https://www.researchgate.net/publication/274193652_Diagnosis_dan_Penatalaksanaan_A
bses_Leher_Dalam [accessed Jan 31 2018]. P 1-10.
6. Chris Tanto, Frans Liwang, Sonia Hanifati, Eka Adip Pradopta. Kapita Selekta.edisi 4.
Jakarta.media Aesculapius. 2014. P 1057-75.
7. Pulungan, M. Rusli. Pola Kuman Abses Leher Dalam. Diunduh
darihttp://www.scribd.com/doc/48074146/POLA-KUMAN-ABSES-LEHER-DALAM-
Revisi pada tanggal 30 Januari 2018
8. Abses parafaring. Diunduh 30 januari 2018. Pada www.scribd.com/doc/66624613/abses-
parafaring
9. Adams GL, Boies LR, Higler PA. Penyakit-penyakit Nasofaring dan Orofaring. Dalam:
Adams, Boies, dan Higler, editors. Boies: Buku ajar penyakit THT Edisi VI. Jakarta: EGC
Penerbit Buku Kedokteran; 1997. hal. 320-355.
10. Riviello RJ. Otolaryngologic Procedures. In: Roberts JR, Hedges JR. Clinical Procedures
in Emergency Medicine, 4th ed. Philadelphia: Elsevier; 2004.p. 1808-20
11. Reichman EF, Simon RR: Emergency Medicine Procedures. McGraw-Hill;2003
12. Murray A.D. MD, Marcincuk M.C. MD. Deep neck infections. [Diperbaharui Juli 2009]
Diunduh dari: www.eMedicine Specialties//Otolaringology and facial plastic surgery.com
pada tanggal 30 januari 2018

Anda mungkin juga menyukai