PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Indonesia dikenal sebagai salah satu pusat penyebaran berbagai tumbuhan
tropis di indonesia dan dapat diperkirakan di seluruh kepulauan nusantara terdapat
lebih dari 30.000 spesies tumbuhan tinggi dari lebih 250.000 spesies yang terdapat
di dunia. Penelitian terhadap kandungan kimia tumbuhan tinggi menghasilkan
penemuan-penemuan baru. Tumbuhan memengang peran penting dalam
kelangsungan hidup mahluk diatas bumi. Disamping tumbuhan sesungguhnya
merupakan potensi kimia dari sebagai besar sumber daya hayati yang ada diatas
bumi, yang setiap saat dapat memproduksi senyawa kimia secara teratur dan
seimbang baik berupa produk metabolit primer dan metabolit sekunder. Senyawa
kimia tersebut berfungsi untuk mendukung sebagai alat interaksi terhadap aspek
osistem (Cunha, 1998 dan sukandar,2000).
Sebanyak 250.000 spesies tumbuhan tinggi yang terdapat di permukaan
bumi ini lebih dari 50% diantaranya berada di hutan tropis dan hanya 0,4% saja
yang telah diselidiki kandungan kimia bioaktif yang berasal dari tumbuhan tinggi
(Farnsworth, 1990, Dalan ahmad, 1995).
Penggunaan bahan alam sebagai obat tradisional di Indonesia telah
dilakukan oleh nenek moyang kita sejak berabad-abad yang lalu sebagai salah satu
upaya dalam penanggulangan masalah kesehatan. Indonesia dengan jumlah
penduduk lebih dari 200 juta jiwa, memiliki lebih kurang 30.000 spesies
tumbuhan dan 940 spesies diantaranya termasuk tumbuhan berkhasiat. Tumbuhan
tersebut menghasilkan metabolit sekunder dengan struktur molekul dan aktifitas
biologi yang beraneka ragam serta memiliki potensi yang sangat baik untuk
dikembangkan menjadi obat berbagai macam penyakit (Titis et all, 2013).
Tanaman yang dapat dimanfaatkan sebagai tanaman obat diantaranya
meranti sabut, daun andong, bakau merah, tanaman mindi, kayu bitti, daun terap,
dan biji kemangi. Tanaman-tanaman tersebut sudah banyak digunakan secara
turun temurun.
Daun meranti sabut dimanfaatkan masyarakat kalimantan dan sumatera
untuk mengobati diare, luka bakar, obat sariawan dan dapat memperlancar
peredaran darah. Daun andong banyak sekali digunakan sebagai obat sakit kepala,
diare, disentri, TBC paru, asma, sakit kulit, inflamasi mata, sakit punggung,
rematik dan encok (Achmad 2004). Kulit batang bakau merah digunakan untuk
mengobati penyakit diabetes, dan sebagai astringent untuk diare. Tanaman mindi
digunakan secara tradisional untuk obat malaria, diabetes, batuk, penyakit kulit,
dan lain-lain (Azam, 2013). Kayu bitti di Sulawesi Selatan digunakan sebagai
bahan kayu bangunan dan merupakan jenis kayu unggulan (Gusmiaty dkk., 2012),
dan daun kemangi secara tradisional telah digunakan sebagai obat untuk
menyembuhkan sakit kepala, batuk, diare, sembelit, penyakit kulit, penyakit
cacingan dan gagal ginjal.
Berdasarkan urain di atas, maka perlu dilakukannya penelitian lebih lanjut
mengenai kandungan senyawa aktif yang terkandung dalam beberapa tanaman
tersebut.
I.2 Rumusan Masalah
I.2.1 Bagaimana cara isolasi, karakterisasi dan uji aktivitas senyawa kumarin
dari ekstrak aktif etil asetat kulit batang Loa (Ficus racemosa L.) ?
I.2.2 Bagaimana toksisitas dari larva (Artemia salina Mill.) terhadap ekstrak etil
asetat daun meranti sabut (Shore Ovalis (Korth.) ?
I.2.3 Bagaimana karakteristik senyawa terpenoid dari hasil isolasi fraksi aktif
ekstrak daun andong (Cordyline fruticosa [L.] A. Cheval) terhadap
aktifitas antioksidan ?
I.2.4 Bagaimana cara mengisolasi dan mengkarakterisasi senyawawa fenolik
yang terdapat pada ekstrak kloroform batang tumbuhan bakau merah ?
I.2.5 Bagaimana cara mengetahui aktivitas isolat batang tumbuhan bakau merah
sebagai biolarvasida ?
I.2.6 Apakah tanaman mindi memiliki sifat sitotoksik ?
I.2.7 Berapa dosis ekstrak tanaman mindi yang memiliki sifat sitotoksik ?
I.2.8 Apakah kayu bitti mempunyai senyawa antikanker dan bersifat toksik ?
I.2.9 Bagaimana cara mengidentifikasi dan karakterisasi senyawa bioaktif
antikanker yang terdapat dalam ekstrak n-heksana kulit batang kayu bitti
(V. cofassus) ?
I.2.10 Bagaimana hasil isolasi, identifikasi dan uji toksisitas senyawa flavonoid
fraksi kloroform dari daun terap (Artocarpus odoratissimus Blanco) ?
I.2.11 Apakah Ekstrak Etanol Biji Kemangi (Ocimumbasilicum L.) memiliki
aktivitas antioksidan ?
I.2.12 Bagaimana tahapan isolasi dan karakteristik isolasi biji kemangi
(Ocimumbasilicum L.) ?
I.3 Tujuan
I.3.1 Untuk mengetahui proses isolasi dari ekstrak etil asetat daun meranti sabut
(Shore Ovalis (Korth.))
I.3.2 Untuk mengetahui tingkat toksisitas dari larva (Artemia salina Mill.)
terhadap ekstrak etil asetat daun meranti sabut (Shore Ovalis (Korth.)
I.3.3 Untuk menentukan karakteristik senyawa terpenoid dari isolat ekstrak
daun andong (Cordyline fruticosa [L.] A. Cheval).
I.3.4 Untuk mengetahui cara mengisolasi dan mengkarakterisasi senyawa
fenolik yang terdapat pada ekstrak kloroform batang tumbuhan bakau
merah.
I.3.5 Untuk mengetahui golongan alkaloid yang terkandung dalam daun mindi
serta sifat toksik daun mindi dan dosis yang memiliki efek sitotoksik.
I.3.6 Untuk mengidentifikasi dan mengkarakterisasi senyawa bioaktif
antikanker yang terdapat dalam ekstrak n-heksana kulit batang kayu bitti
(V. cofassus).
I.3.7 Untuk menentukan nilai bioaktivitas senyawa antikanker dari kulit batang
kayu bitti (V. cofassus) terhadap kematian larva Artemia salina Leach.
I.3.8 Untuk mengetahui hasil isolasi, identifikasi dan uji toksisitas senyawa
flavonoid fraksi kloroform dari daun terap (Artocarpus odoratissimus
Blanco).
I.3.9 Untuk mengetahui aktivitas antioksidan dari ekstrak etanol biji kemangi
(Ocimumbasilicum L.).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Kingdom : Plantae
Sub kingdom : Virildiplantae
Divisi : Tracheophyta
Sub divisi : Spermatophytina
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Asparagales
Famili : Asparagales
Genus : Cordyline
Spesies : Cordyline fruticosa ( L) A. Cheval
II.1.1.3 Klasifikasi Tanaman Bakau Merah
Kingdom : Plantae
Divisio : Spermatophyta
Class : Angiospermae
Ordo : Tubiflorae
Famili : Verbenaceae
Genus : Vitex
Spesies : Vitex cofassus
II.1.1.6 Klasifikasi Tanaman Terap
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Morales
Famili : Morcaceae
Genus : Artocarpus
Spesies : Artocarpus odoratissimus Blanco
II.1.1.7 Klasifikasi Tanaman Kemangi
B. Kromatografi flash
Merupakan kromatografi dengan tekanan rendah (pada umunya
kurang dari 20 psi) yang digunakan sebagai kekuatan bagi elusi bahan
pelarut melalui suatu ruangan atau kolom yang lebih cepat kualitas
pemisahan sedang, tetapi dapat berlamgsung cepat (10-15 menit).
Pemisahan ini tidak sesuai untuk pemisahan campuran yang terdiri dari
bermacam-macam zat, tetapi sangat baik untuk memisahkan sedkit
reaktan dari komponen untama dalam siintesa organic. Panjang Kolom
30-45 cm untuk jumlah pelarut 250-3000 ml
II.2.2.2 Rekristalisasi
Rekristalisasi merupakan cara yang paling efektif untuk
memurnikan zat – zat organik dalam bentuk padat. Oleh karena
itu teknik ini secara rutin digunakan untuk pemurnian senyawa
hasil sintesis atau hasil isolasi dari bahan alami, sebelum
dianalisis lebih lanjut, misalnya dengan instrumebn spektoskopi
seperti UV, IR, NMR, dan MS. Sebagai metoda pemurnian
padatan, rekristalisai memiliki sejarah yang panjang seperti
distilasi. Walaupun beberapa metoda yang lebih rumit telah
dikenalkan, rekristalisasi adalah metoda yang paling penting
untuk pemurnian sebabkemudahannya (tidak perlu alat khusus)
dan arena keefektifannya. Ke depannya rekristalisasi akan tetap
metoda standar untuk memurnikan padatan.
Metode ini sederhana, material padayan ini terlarut
dalam pelarut yang cocok pada suhu tinggi (pada atau dekat titik
didih pelarutnya) untuk mendapatkan jumlah larutan jenuh atau
dekat jenuh. Ketika larutan panas perlahan didinginkan, Kristal
akan mengendap karena kelarutan padatan biasanya menurun
bila suhu diturunkan. Diharapkan bahwa pengotor tidak akan
pengkristal karena konsentrasinya dalam larutan tidak terlalu
tinggi untuk mencapai jenuh. Walaupun rekristalisasi adalah
metoda yang sangat sederhana, dalam prakteknya bukan berarti
mudah dilakukan.
Adapun saran – saran yang dibutuhkan untuk melakukan
metoda kristalisai adalah sebagai berikut :
Gugus
Jenis senyawa Daerah serapan (cm-1)
fungsi
C-H Alkana 2850-2960, 1350-1470
C-H Alkena 3020-3080, 675-870
C-H Aromatis 690-900, 3050-3150
C-H Alkuna 3300
C=C Alkena 1640-1680
C=C Aromatis (cincin) 1500-1600
Alkohol, eter, asam
C-O 1080-1300
karboksilat, ester
Aldehid, keton, asam
C=O 1690 – 1760
karbosilat, ester
Alkohol, fenol,
O-H 3610-3640
(monomer)
Alkohol, fenol, (ikatan
O-H 2000-3600
H)
O-H Asam Karboksilat 3000-3600
N-H Amina 3310-3500
C-N Amina 1180-1360
-NO2 Nitril 1515-1560, 1345-1385
Bagian pokok dari spektrofotometer infra merah adalah
sumber cahaya infra merah, monokrometer dan detektor. Cahaya
dari sumber dilewatkan melalui cuplikan, dipecah menjadi
frekuensi-frekuensi individunya dalam monokromator dan
intesitas relatif dari frekuensi individu diukur oleh detektor
(Williams dan Fleming, 2014).
Bagian-bagian spektrofotometer infra merah (Williams
dan Fleming, 2014).:
1. Sumber cahaya infra merah
Sumber yang umum digunakan adalah merupakan
batang yang dipanaskan oleh listrik yang berupa Nemst
glower dan Globar. Nemst glower biasanya merupakan
tabung hampa dari zirkinium dan tyrium oksid yang
dipanaskan dan mempunyai suhu operasi antara 750º
hingga 1200ºC. Nemst glower lebih tinggi tanpa
mengurangi waktu hidupnya.
2. Monokromator
Monokromator yang mendispresikan energi sinar
awal menjadi banyak frekuensi dan kemudian setelah
melalui serangkaian celah yang menyeleksi frekuensi
tertentu yang akan dideteksi oleh detektor.
Prisma dan grating keduanya dapat digunakan.
Kebanyakan prisma yang digunakan adalah NaCI, hal ini
disebabkan karena NaCI hanya transparan dibawah 625 cm ־
1
, sedangkan halida logam lainya harus digunakan dalam
pekerjaan dengan frekuensi yang rendah (misal Csl, atau
campuran thBr dan Thl). Grating dan prisma mempunyai
peranan dalam meresolusi spektra dan dapat dibuat dari
bermacam-macam bahan.
3. Detektor
Ada tiga macam detektor yang digunakan pada
spektrofotometer infra merah, yaitu Bolometer,
Termokopel, dan Sel Pneumatic Golay. Ketiga macam
detektor tersebut bekerja berdasarkan pada pengaruh panas
yang dihasilkan bila radiasi infra merah diserap dari bekas
sinar yang mengenai. Pada umumnya detektor harus
mempunyai daerah peka kecil, kapasitas panas yang
rendah, arus gangguan yang rendah, sensitivitas panas yang
tinggi, absorbtivitas tidak selektif terhadap semua frekuensi
radiasi infra merah.
Sinar yang berasal dari celah keluar monokromator
difokuskan pada suatu detektor yang berfungsi mendeteksi
dan mengukur energi cahaya yang ditimbulkan oleh
pengaruh pemanasannya. Variasi suhu kecil yang
diakibatkan oleh variasi energi cahaya yang dideteksi
ditimbulkan bolometer atau termokopel. Pada bolometer
kenaikan suhu menyebabkan perubahan tegangan listrik
yang digunakan untuk mengubah tegangan. Termokopel
menggunakan energi cahaya untuk memanaskan salah satu
dari dua lempeng logam mulia yang dihubungkan dan
menghasilkan gaya elektromotif diantara hubungan
tersebut. Tegangan yang dihasilkan adalah berbanding
langsung dengan jumlah energi cahaya. Proses serapan
infra merah seperti halnya penyerapan energi yang lain,
molekul akan tereksitasi ke tingkatan yang lebih tinggi bila
menyerap radiasi infra merah. Hanya frekuensi tertentu dari
radiasi infra merah yang akan diserap oleh molekul.
Penyerapan radiasi infra merah sesuai dengan perubahan
energi. Radiasi dalam kisaran energi ini sesuai dengan
kisaran frekuensi vibrasi rentangan dan vibrasi bengkokan
dari ikatan kovalen dalam kebanyakan molekul. Namun,
tidak semua ikatan dalam molekul dapat menyerap energi
infra merah, meskipun radiasi tetap sesuai dengan gerakan
ikatan (Wagner dkk, 1999).
II.2.3.3 NMR (C-NMR dan HNM) 1D dan 2D
Spektroskopi Resonansi Magnetik Inti (NMR) adalah
suatu alat yang paling canggih yang tersedia untuk menentukan
struktur senyawa organik. Teknik ini bergantung pada
kemampuan inti atom untuk berperilaku seperti sebuah magnet
kecil dan menyesuaikan diri dengan medan magnet eksternal.
Ketika diradiasi dengan frekuensi gelombang radio, inti dalam
molekul dapat berubah sejajar dengan medan magnet.
Spektrometri NMR pada dasarnya merupakan
spektrometri absorbsi, sebagaimana spektrometri infra merah
maupun ultraviolet. Pada kondisi yang sesuai, suatu sampel
dapat mengabsorpsi radiasi elektromagnetik daerah frekuensi
radio, pada frekuensi yang tergantung dari sifat-sifat sampel.
Suatu plot dari frekuensi puncak-puncak absorbsi versus
intensitas puncak memberikan suatu spektrum NMR.
Spektroskopi NMR (Nuclear Magnetic Resonance) didasarkan
pada medan magnet yang berasal dari spin inti atom yang
bermuatan listrik.
Banyak inti (atau lebih tepat, inti dengan paling tidak
jumlah proton atau neutronnya ganjil) dapat dianggap sebagai
magnet kecil. Inti seperti proton (1H atau H-1) dan inti karbon-
13 (13C atau C-13, kelimpahan alaminya sekitar 1%). Karbon
-12 (12C), yang dijadikan standar penentuan massa, tidak
bersifat magnet.
Bila sampel yang mengandung 1H atau 13C atau bahkan
semua senyawa organik, ditempatkan dalam medan magnet,
akan timbul interaksi antara medan magnet luar dengan magnet
kecil (inti). Karena adanya interaksi ini, magnet kecil akan
terbagi atas dua tingkat energi, yaitu: tingkat yang sedikit agak
lebih stabil (+) dan keadaan yang kurang stabil (-) yang
energinya berbeda. Karena dunia inti adalah dunia mikroskopik,
energi yang berkaitan dengan inti ini terkuantisasi, artinya tidak
kontinyu. Perbedaan energi antara dua keadaan diberikan oleh
persamaan sebagai berikut: ∆E = γhH/2π
Keterangan:
H : Kuat medan magnet luar (yakni magnet spektrometer)
H : Tetapan Planck
γ : Tetapn khas bagi jenis inti tertentu, disebut dengan rasio
giromagnetik dan untuk proton nilainya 2,6752 x 108 kg-1 s A
(A= ampere). Bila sampel disinari dengan gelombang
elektromagnetik ν yang berkaitan dengan perbedaan energi ∆E,
yakni: ∆E = hν Inti dalam keadaan (+) mengabsorbsi energi ini
dan tereksitasi ke tingkat energi (-). Proses mengeksitasi inti
dalam medan magnetik akan mengabsorbsi energi (resonansi)
disebut nuclear magnetic resonance (NMR). Frekuensi
gelombang elektromagnetik yang diabsorbsi diungkapkan
sebagai fungsi H.
ν = γH/2π
Bila kekuatan medan magnet luar, yakni magnet
spektrometer, adalah 2,3490 T (tesla, 1 T = 23490 Gauss), ν
yang diamati sekitar 1 x 108 Hz = 100 MHz. Nilai frekuensi ini
di daerah gelombang mikro.Seacara prinsip, frekuensi
gelombang elektromagnetik yang diserap ditentukan oleh
kekuatan magnet dan jenis inti yang diamati. Namun, perubahan
kecil dalam frekuensi diinduksi oleh perbedaan lingkungan
kimia tempat inti tersebut berada. Perubahan ini disebut
pergeseran kimia.
Inti yang memiliki jumlah proton yang ganjil atau jumlah
netron yang ganjil, tetapi tidak keduanya ganjil, mempunyai
bilangan kuantum spin ½, 3/2, 5/2 dan seterusnya, seperti H1,
B11, F19, P31. Bilangan kuantum spin untuk masing-masing
inti adalah 1/2 .Masing- masing inti mempunyai dua spin yang
bersesuaian yaitu I=+1/2 dan I=-1/2 . Untuk inti yang lebih
besar mempunyai bilangan spin yang terbentang dari nol, yang
menyiratkan mereka tidak mempunyai komponen spin untuk
minimal 9/2. Inti tersebut berkelakuan seperti bola berspin
muatan yang bersirkulasi menghasilkan suatu medan magnet
seperti arus listrik dalam kumparan kawat. Sepanjang sumbu
putarnya terdapat suatu momen magnetik inti yang sesuai.
Hubungan antara spin inti dan momen magnet memberikan
bilangan kuantum magnetik yang diberikan oleh :
m = l, l-1, l-2, . . ., -l
Inti mempunyai dua bilangan kuantum magnetik ,
dimana m = + 1/2 dan m = -1/2.
Untuk inti di mana jumlah proton dan neutron keduanya
ganjil, maka muatan terdistribusi secara nonsimetris. Inti yang
memiliki jumlah proton dan neutron keduanya genap, tidak
mempunyai momentum sudut putar yaitu I=0 dan tidak
menunjukkan sifat magnetik, misalnya C12 bersifat inert secara
magnetik dan tidak terdeteksi dalam NMR. Inti yang bersifat
magnetik (I>0) pada umumnya berinteraksi dengan medan
magnit luar dan menyelaraskan orientasinya dengan tingkat-
tingkat energi yang sesuai. Tingkat-tingkat energinya adalah I, I
– 1, I – 2, – I. Untuk suatu inti tertentu, orientasinya yang
mungkin adalah (2I + 1) untuk suatu proton bila I = 1/2 ; dua
orientasi akan terjadi.
a. Uji Flavonoid
Beberapa tetes lapisan air pada plat tetes ditambah 1-2 butir logam
magnesium dan beberapa tetes asam klorida pekat hingga terbentuk warna jingga,
merah muda sampai merah menandakan adanya senyawa flavonoid.
b. Uji Fenolik
Beberapa tetes lapisan air pada plat tetes ditambah 1–2 tetes larutan besi
(III) klorida 1%. Bila terbentuk warna biru/ungu, berarti terdapat senyawa fenolik.
c. Uji Saponin
Lapisan air dalam tabung reaksi dikocok. Apabila terbentuk busa yang
bertahan selama 5 menit, berarti positif adanya saponin.
d. Uji Terpenoid dan Steroid
Lapisan kloroform disaring melalui pipet yang berisi norit. Hasil saringan di
pipet 2–3 tetes dan dibiarkan mengering pada plat tetes. Setelah kering
ditambahkan pereaksi Liebermann-Burchard (2 tetes asam asetat anhidrat dan 1
tetes asam sulfat pekat). Terbentuknya warna merah berarti positif adanya
terpenoid dan warna hijau-biru berarti positif adanya steroid.
e. Uji Alkaloid
Sampel daun meranti sabut Shorea ovalis (Korth)sebanyak 5 g dalam bentuk
serbuk, ditambahkan 10 ml kloroform, kemudian ditambahkan 10 ml larutan
kloroform beramoniak 0,05 M, diaduk kemudian disaring. Kedalam tabung reaksi
tambahkan 10 tets asam sulfat 2 N, kocok selama 2 menit, biarkan hingga
terbentuk dua lapisan dan terjadi pemisahan. Ambil lapisan asam (atas) dan
tambahkan 1-2 tetes pereaksi Meyer jika terbentuk endapan putih menunjukkan
hasil yang positif untuk alkaloid (Farnsworth, 1966).
C. Ekstraksi Sampel
Sampel dimaserasi secara bertingkat yang dimulai dri n-Heksana, setelah itu
dimaserasi dengan pelarut etil asetat dengan 3 kali pengulangan, kemudian di
saring sehingga diperoleh maserat. Maserat dipekatkan dengan rotary evaporator
hingga diperoleh ektrak kental etil asetat (Anonim, 2000).
G. Karakterisasi
Kemurnian senyawa yangdiperoleh sebanyak 12 mg ditentukan dengan KLT
dan pengujian titik leleh menggunakan alat melting point apparatus, selanjutnya
dilakukan elusidasi struktur menggunakan spektrofotometer Ultraviolet dan
Visibel (UV-Vis), IR, dan spektroskopi resonansi magnetik inti (NMR).
H. Uji Sitotoksik Ekstrak Etil Asetat Daun Meranti sabut (Shorea ovalis
(Kort.)) dengan Metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT)
Uji Sitotoksik Ekstrak Etil Asetat Daun Meranti sabut (Shorea ovalis
(Kort.)) dengan Metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) Kista udang Artemia
salina ditetaskan dalam wadah pembiakan yang berisi air laut dan telah dilengkapi
dengan aerasi oksigen dan lampu, digunakan 48 jam setelah pembentukan larva.
Vial uji dikalibrasi sebanyak 5 mL. Pengujian dilakukan dengan konsentrasi 100,
10,dan 1µg/mL. Sebanyak 40 mg sampel uji dilarutkan dalam 4 mL etanol dan
didapatkan larutan induk sampel uji dengan konsentrasi 10.000 μg/mL. Dari
larutan induk tersebut dipipet sebanyak 0,5 mL dan ditambahkan pelarut etanol
sampai 5 mL hingga diperoleh larutan dengan konsentrasi 1000 µg/mL. Dari
larutan konsentrasi 1000 µg/mL, kemudian diencerkan hingga diperoleh
konsentrasi 100 µg/mL, 10 μg/mL, 1 μg/mL. Dari masing-masing konsentrasi
dipipet 0,5 mL, dibiarkan pelarut menguap, dilarutkan kembali dengan 50 µl
DMSO, selanjutnya ditambahkan dengan air laut sampai mencapai batas kalibrasi.
Dimasukkan larva Artemia salina ke masing-masing vial sebanyak 10 ekor.
Kemudian masing- masing dibuat dalam 3 vial. Kematian larva udang diamati
setelah 24 jam. Dari data yang dihasilkan dihitung LC50 dengan metode kurva dan
menggunakan tabel probit (meyer: dkk 1982) (Harefa,1987 ). Untuk kontrol, 50 μl
DMSO dipipet kedalam vial uji, ditambahkan air laut sampai mencapai batas
kalibrasi, dimasukkan larva Artemia salina 10 ekor. Ditambahkan lagi air laut
beberapa tetes hingga mencapai kalibrasi (Priyanto, 2009).
E. Uji aktivitas
Telur Artemia salina dimasukkan di dalam air garam selama 2 x 24 jam.
Suhu penetasan adalah ± 25-300C dan pH ± 6-7. Telur akan menetas setelah 18–
24 jam dan larvanya siap untuk uji BSLT. Sampel dari ekstrak alkaloid diambil
62,5 mg, dilakukan pengenceran dengan konsentrasi 1000, 100, dan 10 ppm.
Pengujian dilakukan dengan memasukkan 10 ekor larva Artemiasalina berumur
48 jam ke dalam botol vial yang telah berisi larutan ekstrak alkaloid. Setelah 24
jam, jumlah larva yang mati dihitung dan dilakukan analisis probit untuk
menentukan aktivitas LC50.
III.5 Alat dan Bahan
A. Alat
Alat-alat gelas, rotary evaporator, chamber, corong sintered glass, lampu
UV 254-366 nm, lampu pijar, kolom kromatografi gravitasi, neraca analitik, oven,
alat penyemprot, pompa vakum, pipa kapiler, kaca pembesar, mikropipet, botol
vial, cutter, dan alat spektrofotometer FTIR Prestige 21 merek Shimadz
B. Bahan
Kulit batang kayu bitti (Vitex cofassus), akuades, akuabides, pelarut etanol,
metanol, n-heksana, etil asetat, kloroform, aseton, dimetilsulfoksida (DMSO)
pereaksi Mayer, pereaksi Liebermann-Buchard, besi (III) klorida (FeCl3) 5%,
pereaksi Wagner, pereaksi Dragendroff, natrium hidroksida (NaOH) 10%, natrium
klorida (NaCl) murni, asam sulfat (H2SO4) pekat, silika G60 (230-400 mesh)
Merck nomor katalog 7730, 7733 dan 7734, silika gel G60 PF 254, aluminium
foil, kertas saring, dan telur Artemia salina Leach.
III.5.1 Prosedur Kerja
A. Ekstraksi
Kulit batang kayu bitti dibersihkan kemudian ditumbuk kasar dan
dikeringkan dengan cara di angin-anginkan selama kurang lebih satu bulan sampai
diperoleh berat konstan selanjutnya hasilnya digunakan sebagai sampel penelitian.
Ekstraksi komponen aktif dilakukan dengan cara ekstraksi maserasi atau
perendaman. Serbuk kulit batang kayu bitti ditimbang sebanyak 1,5 kg dan
diekstraksi secara maserasi menggunakan pelarut n-heksana selama 24 jam
sebanyak 3x. Kemudian filtrat yang dihasilkan ditampung dan dipekatkan dengan
menggunakan rotary evaporator. Selanjutnya hasil pemekatan digunakan untuk
uji toksisitas, uji fitokimia dan identifikasi dengan menggunakan spektrofotometer
IR.
B. Identifikasi
Identifikasi dilakukan dengan uji fitokimia kandungan senyawa aktif dengan
uji reagen dari ekstrak pekat n-heksana kulit kayu bitti dilarutkan dengan sedikit
masing-masing dengan pelarutnya. Kemudian dilakukan uji alkaloid, uji sterol
dan triterpen, uji saponin, dan uji flavonoid.
C. Fraksinasi dengan KLT, KKCV dan kromatografi gravitasi
Ekstrak kental yang diperoleh di KLT kemudian diteruskan dengan
kromatografi kolom cair vakum (KKCV). Fraksi yang menunjukkan adanya
butiran kristal dilanjutkan pada kromatografi gravitasi, sehingga diperoleh fraksi
yang lebih sederhana.
D. Pemurnian
Pemurnian dilakukan dengan cara kristalisasi dan rekristalisasi dengan
pelarut yang cocok, hingga diperoleh kristal murni yang ditandai dengan hasil
KLT yang menunjukkan satu noda pada tiga sistem eluen.
E. Identifikasi ekstrak kayu Bitti dengan menggunakan spektrofotometer
Infra Red (IR)
Isolat hasil pemurnian disiapkan lalu ditumbuk hingga memenuhi ukuran
partikel kurang dari 2 μm, kemudian dimasukkan ke dalam pellet press secara
merata. Pellet press dihubungkan ke pompa vakum selama 15 menit diusahakan
pellet yang terbentuk mempunyai ketebalan 0,3 mm (transparan), selanjutnya
dibuka pellet secara hati-hati dan dipindahkan ke dalam sel holder menggunakan
spatula. Setelah itu diatur alat spektrometer Infra Merah (IR) dengan kecepatan
kertas pada posisi “normal” dan ekspansi transmisi “100x”. Skala kertas diuji
melalui pembuatan spektrum dari film polystiren. Apabila skala kertas sudah
tepat, maka dengan cara yang sama dibuat sepktrum Infra Merah dari sampel yang
sudah disiapkan, kemudian ditentukan gugus-gugus fungsi.
F. Uji Toksisitas
1. Menyemai Benur (menetaskan telur Udang)
a. Volume air laut diukur sebanyak 300 mL.
b. Air laut dituang dalam wadah penetasan, kemudian telur Artemia
salina diletakkan pada sisi wadah yang tertutup sebagian (wadah
dijauhkan dari sinar matahari langsung).
c. Dibiarkan selama 2x24 jam sampai menetas menjadi benur (Naupli)
yang siap digunakan.
2. Penyiapan sampel
a. Sampel (ekstrak pekat n-heksana, fraksi dan senyawa murni) masing-
masing ditimbang 1,0 mg dalam botol vial, dilarutkan dalam 100 μL
DMSO.
b. Larutan sampel diencerkan dengan 150 μL aquabides sehingga
volume total menjadi 250 μL, diambil 200 μL diencerkan dengan 600
μL aquabides sehingga volume total menjadi 800 μL.
c. Pengenceran dalam microplate. Pengukuran dilakukan triplo (tiga
kali). Dalam microplate baris A dan B diisi sampel masing-masing
100 μL
d. Baris B sampai G ditambahkan 100 μL aquabides
e. Dari baris B dipipet 100 μL, dimasukkan ke baris C, dan dari baris C
dipipet 100 μL dimasukkan ke D dan seterusnya.
f. Terakhir dari G dipipet 100 μL dan dimasukkan ke H.
Catatan: Kolom H tidak digunakan dalam pengukuran.
3. Memasukkan Benur Larva
Media udang yag sudah menetas (berisi sekitar 7-15 ekor) dipipet 100 μL,
dimasukkan masing-masing ke dalam lubang baris A sampai G pada mikropipet
yang telah diisi sampel melalui pengenceran pada B, kemudian diinkubasi selama
24 Jam. Setelah 24 jam, dihitung jumlah udang yang mati dan hidup pada tiap
lubang dalam microplate. Data yang diperoleh dicatat pada lembar pengamatan.
B. Uji fitokimia
Uji fitokimia dilakukan untuk mengetahui jenis metabolit sekunder yang
terkandung pada ekstrak kasar metanol Terap (A. odoratissimus Blanco) serta
fraksi kloroform dan hasil dari uji kromatografi kolom Vakum cair dan
kromatografi kolom flash. Masing – masing dilarutkan sesuai dengan pelarutnya.
1. Uji alkaloid (Uji Meyer dan Uji Dragendorff)
Ekstrak kasar metanol daun Terap (A. odoratissimus Blanco) dan
fraksi kloroform ditambahkan 2 tetes pereaksi Dragendroff (campuran
Bi(NO3)2.5H2O dalam asam nitrat dan larutan KI). Adanya alkaloid
ditunjukkan dengan terbentuknya endapan jingga sampai merah coklat
dengan pereaksi Dragendorff (Robinson, 1995).
2. Uji terpenoid dan steroid (Uji Lieberman Buchard)
Ekstrak kasar metanol Terap (A. odoratissimus Blanco) dan fraksi
kloroform ditambahkan 3 tetes pereaksi Lieberman-Burchard (asam asetat
glasial + H2SO4 pekat). Uji positif triterpenoid memberikan warna merah
atau ungu dan uji positif steroid memberikan warna hijau atau biru
(Harborne, 1987).
3. Uji fenolik
Ekstrak kasar metanol daun Terap (A. odoratissimus Blanco) dan
fraksi kloroform ditambahkan larutan besi(III) klorida (FeCl3) 10%
beberapa tetes, ekstrak positif mengandung fenolik apabila menghasilkan
warna hijau, merah, ungu, biru atau hitam (Harborne, 1987).
4. Uji flavonoid
Ekstrak kasar metanol daun Terap (A. odoratissimus Blanco) dan
fraksi kloroform ditambahkan 2 mg serbuk Mg dan 3 tetes HCl pekat. Uji
positif ditunjukkan dengan terbentuknya warna merah, kuning atau jingga
(Harborne, 1987).
5. Uji saponin
Ekstrak kasar metanol daun Terap (A. odoratissimus Blanco) dan
fraksi kloroform, dikocok kuat, jika timbul busa ditambahkan 1 tetes HCl
pekat. Ekstrak positif mengandung saponin jika timbul busa dengan
ketinggian 1-3 cm yang bertahan selama 15 menit (Harborne, 1987).
C. Pemisahan dan Pemurnian Senyawa Metabolit Sekunder
Dari uji fitokimia yang dilakukan diketahui fraksi kloroform mengandung
senyawa flavonoid. Kemudian fraksi klorofrom dilkukan uji kromatografi Lapis
Tipis (KLT) awal dengan eluen n-heksana dan etil asetat untuk mengetahui
komposisi eluen yang akan digunakan pada kromatografi kolom vakum (KVC)
dengan melihat hasil spot/noda yang ada.
D. Kromatografi Vakum Cair
Proses pemisahan dan pemurnian dilakukan dengan metode kromatografi
vakum cair (KVC) dengan menggunakan silika gel 60 GF254 sebagai fase diam.
Senyawa-senyawa yang ada dalam fraksi kloroform dilakukan pemisahan dengan
menggunakan Kromatografi vakum cair (KVC) yang bertujuan untuk
memisahkan golongan senyawa metabolit sekunder secara kasar dengan
menggunakan silika gel sebagai adsorben dan berbagai perbandingan pelarut n-
heksana dan eti asetat (elusi gradien) dan menggunakan pompa vakum untuk
memudahkan penarikan eluen (Hostettmann et al .1995). Corong yang diletakkan
diatas kolom KVC yang berdiameter 13 cm dan tinggi 24 cm diisi dengan fase
diam silika gel 60 GF254 dengan ketinggian silika mencapai lebih kurang 4 cm.
Sebagai kolom digunakan corong Bucheer kaca masir, ke dalam corong Bucheer
kaca masir dimasukkan silika gel 60 GF254 yang dikemas dalam keadaan kering.
Lalu di bagian atas ditutup dengan kertas saring. Alat vakum dihidupkan untuk
memperoleh kerapatan yang maksimum. Sebelum dilakukan proses pemisahan
dengan kolom kromatografi vakum, sampel diimpergnasi terlebih dahulu
menggunakan silika gel dengan ukuran 50-100 mesh. Sebanyak 8.02 gram ekstrak
kloroform diimfragnasi dengan silika gel sebanyak 81.12 gr kemudian digerus
hingga homogen dan kering, sampel kemudian dimasukkan pada bagian atas
kolom yang disebar secara merata, lalu diatasnya diletakkan kertas saring. Alat
vakum dihidupkan kembali. Kemudian sampel dielusi mulai dari kepolaran
rendah lalu kepolaran ditingkatkan perlahan-lahan dan kolom dihisap sampai
kering pada setiap pengumpulan fraksi (Hostettmann et al. 1995).
Hasil dari kromatografi vakum cair yang diperoleh sebanyak 25 botol,
selanjutnya dimonitoring dengan KLT menggunakan eluen n- heksana:etil asetat
(3:7), kemudian dilakukan fraksi gabungan terhadap Rf yang sama. Fraksi
gabungan diperoleh 3 fraksi yaitu A.B, dan C. Fraksi B dilanjutkan ke
kromatografi kolom flash.
E. Kromatografi Kolom Flash
Pemisahan senyawa-senyawa yang terdapat dalam fraksi B dilakukan
kromatografi kolom flash dengan menggunakan silika gel G 60 (70-230 mesh)
sebagai fase diam. Silika gel disuspensikan terlebih dahulu dengan n- heksana
dimasukkan ke dalam kolom yang dasarnya telah diberi kapas. Pengisian kolom
dilakukan dengan sistem pengisapan dari puncak kolom oleh pompa dengan
tekanan yang kecil (< 2 psi), agar diperoleh kerapatan kemasan maksimum.
Kemudian dibiarkan satu malam. Sebelum dilakukan proses pemisahan dengan
kromatografi kolom flash, sampel diimpregnasi terlebih dahulu menggunakan
silika gel dengan ukuran 50-100 mesh dengan perbandingan sampel : silika = 1:2.
Sebanyak 0.4 gr ekstrak etil asetat dimpregnasi dengan silika gel sebanyak 0.8 gr
kemudian digerus hingga homogen dan kering. Sampel dimasukkan ke dalam
kolom lalu dielusi menggunakan pelarut dengan kepolaran meningkat
menggunakan sistem pengisapan (suction) untuk mempercepat proses elusi.
Begitu sampel masuk ke dalam fase diam, fase gerak ditambahkan secara
kontinyu sampai terjadi pemisahan. Eluat ditampung pada botol penampung fraksi
setiap 5-10 mL, kemudian keseluruhan fraksi yang dihasilkan dilakukan KLT
penggabungan (Istiyanti,2013).
Fraksi hasil KLT penggabungan yang mempunyai pola pemisahan sama
(harga Rf sama) digabungkan, kemudian diuapkan selama seminggu agar pekat
dan masing-masing kelompok fraksi yang diperoleh diuji secara fitokimia (Asih,
2009).
F. Uji Kemurnian
Uji kemurnian dilakukan menggunakan berbagai campuran fase gerak, yaitu
n -heksana, kloroform, etil asetat dan metanol. Jika isolat tetap menunjukkan noda
tunggal pada plat kromatogram dengan fase gerak yang berbeda, menunjukkan
isolat relatif murni secara KLT, bahwa isolat tersebut hanya mengandung satu
jenis senyawa ( Asih, 2009).
G. Identifikasi Senyawa Metabolit Sekunder
Senyawa metabolit sekunder hasil isolasi (isolat murni) dikarakterisasi yang
meliputi spektrum UV-Vis dengan spektroskopi UV-Vis untuk mengetahui
panjang gelombang maksimum dan menunjukkan gugus kromofor senyawa isolat
murni serta spektrum FTIR dengan spektroskopi FTIR untuk mengetahui bilangan
gelombang yang dapat menunjukkan gugus fungsi yang dimiliki senyawa isolat
murni.
NMR 1H ( mengukur inti atom ) yaitu untuk menentukan letak dan jumlah
proton dalam senyawa. Spektrofotometri NMR proton merupakan sarana unutk
menentukan struktur senyawa organik dengan mengukur momen magnet atom
hydrogen.
Pada jurnal isolasi daun Meranti sabut, spektrum 1H-NMR senyawa IA, terlihat
bahwa pada pergeseran kimia 5,35 (d) memiliki intensitas 1H yang merupakan H dari
metin(CH). Pada spektrum 1H-NMR dari senyawa IA memperlihatkan adanya
beberapa puncak yang merupakan ciri khas dari suatu golongan senyawa seperti:
lupeol, lupenon, simiarenol, ß-amyrin, ß-sitosterol, stigmasterol dan campesterol.
Terlihat pada pergeseran kimia dH 0,0-1,5 ppm memberikan pola pemisahan puncak
yang tidak terpisah sempurna dan hampir berdempetan satu sama lainnya yang
merupakan spesifik dan ciri khas dari senyawa golongan terpenoid.
Menurut Jun et.al 2003 aktivitas antioksidan digolongkan sangat aktif jika nilai
IC50 kurang dari 50 mg/L, digolongkan aktif bila nilai IC50 50-100 mg/L, digolongkan
sedang bilai nilai IC50 101-250 mg/L, dan digolongkan lemah bilai nilai IC 50 lebih
besar dari 500 mg/L. Sehubungan dengan hal ini, maka ekstrak metanol dan etil asetat
tergolong aktif, ekstrak n-heksan tergolong sedang, sedangkan untuk senyawa hasil
isolasi tergolong lemah. Dimana ekstrak etil asetat nilai IC 50 paling rendah
dibandingkan ekstrak lainnya, ini menunjukan ekstrak etil asetat lebih aktif sebagai
antioksidan, hal ini diperkirakan banyaknya senyawa fenolik yang terdapat pada
ekstrak etil asetat dibandingkan ekstrak metanol dan n-heksan.
Berdasarkan hasil diatas bahwa ekstrak etil asetat dan metanol memiliki potensi
sebagai antioksidan, sedangkan ekstrak n-heksan dan senyawa hasil isolasi tidak
memiliki potensi sebagai antioksidan.
IV.3 Hasil
Berdasarkan spektra diatas isolat ini memiliki kerangka katekin diperoleh dari
diagnostik pereaksi geser seperti: NaOH, NaOAc, NaOAc-H 3BO3, AlCl3, dan AlCl3-
HCl. Hasil pergeseran panjang gelombang setelah penambahan tiaptiap pereaksi
geser tersebut dapat disimpulkan bahwa kemungkinan letak substituen gugus hidroksi
pada kerangka katekin adalah pada posisi atom C-3, C-7 dan C-4’.
Spektrum UV-vis sebelum dan sesudah penambahan pereaksi geser dan data
tabulasinya dipaparkan pada tabel berikut.
Tabel 1. Tabel pergeseran panjang gelombang
Panjang
Geseran Panjang
Pereaksi geser Gelombang
Gelombang λmaks (nm)
λmaks(nm)
+ Metanol 311 nm -
+ Metanol + 359 nm, 311
48 nm
NaOH (bh)
+ Metanol +
307 nm 4 nm
NaOAc
+ Metanol +
307 nm 4 nm
NaOAc + H3BO3
+ Metanol +
300 nm 11 nm
AlCl3
+ Metanol +
298 nm 13 nm
AlCl3 + HCl
Berdasarkan gambar 10, pola fragmentasi pada isolat 5 seperti gambar dibawah
ini
Spektrogram dari intensitas tertinggi yaitu pada puncak pertama, dapat dilihat
pada gambar 8, menunjukkan bahwa muncul puncak dengan protonasi ion molekular
[M+H+MeOH]+ m/z 324,91 dari (m/z) [M+33], sehingga dapat disimpulkan bahwa
berat molekul isolat yaitu 291,45 g/mol.
Berdasarkan analisis dengan spektrofotometer UV-Vis, FT-IR, dan LC-MS,
diduga senyawa alkaloid T1adalah alkaloid jenis indol (gambar 5), dengan berat
molekul 291,45 g/mol.
Hasil uji aktivitas sitotoksik ekstrk alkaloid daun Mindi menggunakan metode
BSLT diperoleh harga LC50 sebesar 21,273 ppm. Harga tersebut menunjukkan bahwa
ekstrak alkaloid bersifat sangat sitotoksik. Hasil uji sitotoksik ekstrak alkaloid daun
Mindi dapat dilihat pada tabel 2 sebagai berikut:
IV.5 Hasil
Fraksi yang menunjukan pola noda dengan warna dan nilai RF yang sama
digabungkan, sehingga diperoleh 5 fraksi yang sama digabungkan dengan masing-
masing berat fraksi gabungan. Pada lempeng KLT terdapat noda dominan dengan RF
yang sama menunjukan aktif terhadap antioksidan setelah disemprotkan DPPH pada
F4 dengan RF 0,67. Uji autografi menggunakan pereaksi DPPH bertujuan untuk
mengetahui adanya senyawa yang bersifat aktif antioksidan yang ditunjukan dengan
perubahan warna ungu menjadi kuning (Sukandar et al.,2012)
Fraksi F4 memiliki aktivitas antioksidan dengan nilai IC50 sebesar 39.70 ppm
dan total fenolik 0.003 mg/g. Nilai IC 50 isolat F4 lebih kecil dibandingkan ekstrak n-
butanol (IC50 41.90 pmm) dan ekstrak etanol (IC 50 67.08 ppm) yang menunjukan
bahwa aktivitas antioksidan isolat F4 mengalami peningkat setelah dilakukan
fraksinasi. Abbas et al.(2012) menyatakan bahwa senyawa murni memiliki aktivitas
antioksidan yang lebih tinggi dibandingkan ekstrak kasarnya. Didukung pula oleh
penelitian Rachmawati dan Ciptati (2011) yang melaporkan bahwa aktivitas
antioksidan isolat hasil pemurnian ekstrak etil asetat daun sirih merah memiliki nilai
IC50 sebesar 50,91 ppm lebih tinggi dibandingkan ekstrak etil asetat (IC 50 127,74
ppm). Tetapi terjadi penurunan total fenolik dari ekstrak n-butanol 0,24 mg/g menjadi
0,003 mg/g pada fraksi F4. Hal ini mengindikasikan bahwa tingginya aktivitas
antioksidan pada fraksi F4 dipengaruhi oleh senyawa golongan terpenoid (Bando,
dkk, 2004).
Hasil identifikasi menggunakan GCMS menghasilkan beberapa puncak
kromatogram yang menunjukkan bahwa fraksi F4 belum murni. Berdasarkan data
pada Wiley7 Library GCMS Merck Shimadzu QP2010 terdapat sembilan senyawa
dalam fraksi F4. Diantara senyawa-senyawa tersebut diduga senyawa yang bersifat
antioksidan pada fraksi F4 adalah senyawa skualena yang memiliki kemiripan 80%
dengan waktu retensi 26.04 menit dan luas puncak 12.34 %. Senyawa skualena
memiliki massa molekul relatif (m/z) 410 dengan rumus molekul C3OH50. Hal ini
didukung oleh Conforti et al.(2005) yang melaporkan uji antioksidan dari skualena
dengan metode TBA memiliki nilai IC50 sebesar 23 ppm. Sedangkan skualena juga
telah dilaporkan memiliki sifat antioksidan sebagai scavenger oxygen yang sangat
efektif. Fungsi skualena sebagai pemadam oksigen singlet dapat mencegah
peroksidasi lipid pada permukaan kulit manusia (Saint-Leger et al.,1986). Aktivitas
antioksidan skualena ini dipengaruhi oleh strukturnya yang mirip dengan β-karoten
yang juga dikenal sebagai pemadam oksigen singlet yang bekerja samadengan
vitamin E yang bertindak sebagai agen perlindungan kulit (Bando et al., 2004).
Hasil spektrum massa fraksi F4 dengan massa molekul relatif (m/z) 410
menunjukkan adanya beberapa puncak hasil fragmentasi senyawa. Adapun perkiraan
pola fragmentasi dari senyawa yang diperkirakan memiliki kemiripan dengan pola
fragmentasi skualena tersebut. Senyawa skualena pada m/z 410 (M+)
kehilangan ion propil (M+-C3H7) sehingga membentuk puncak ion m/z 367. Fragmen
ion pada m/z 327 sesuai dengan hilangnya ion C6H11 dengan masa 83 (Oyugi et al.,
2011). Selanjutnya kemungkinan terjadi pemutusan berturut-turut M+-C11H20 dan
M+-C7H10 dari puncak ion m/z 327 hingga menjadi membentuk m/z 175 dan m/z 81.
Fragmen ion m/z 367 diusulkan kehilangan masa 298 membentuk puncak ion m/z 69
sebagai baseion.
Senyawa lain yang diduga mendukungaktivitas antioksidan pada fraksi F4
adalah 2,4-di-tert-butil-fenol. Senyawa ini pula yangmungkin memberikan kontribusi
padakandungan total fenolik dari isolat F4. Senyawa 2,4-di-tert-butil fenol merupakan
senyawa fenol yang umumnya adalah senyawaantioksidan (Pratt, 1992). Selain itu,
Nurestri et al. (2010) melaporkan bahwa hasil isolasi fraksi etil asetat Pesreskia bleo
yang mengandung senyawa 2,4-di-tert-butil-fenol memiliki aktivitas antioksidan
terkait dengan strukturnya yang mirip dengan BHT (Butil Hidroksi Toluen), yaitu
suatu antioksidansintetik. Nurestri et al. (2009) juga menyebutkan bahwa senyawa
2,4-di-tert-butilfenol hasil isolasi fraksi etil asetat daun Pereskia grandifolia memiliki
aktivitas terhadap 6 jenis sel kanker, yaitu sel kanker epidermoid nasofaring, serviks,
kolon,payudara, paru-paru dan fibroblast manusia.
Berdasarkan analisa GCMS, 2,4-di-tertbutil-fenol memiliki kemiripan 90%
denganwaktu retensi 8.15 menit dan luas puncak 7.76%. Senyawa ini bermasa
molekul relatif (m/z) 206 dengan rumus molekul C14H22O. Perkiraan pola fragmentasi
dari senyawa yang diperkirakanmemiliki kemiripan dengan pola fragmentasi 2,4-di-
tert-butil-fenol Pola fragmen ion senyawa 2,4-di-tert-butil-fenol menunjukkan adanya
base ion pada m/z 191 dan m/z 57. Pada puncak ion m/z 206 (M+) terjadi
pelepasangugus metil (M+-CH3) dan menghasilkan C13H19O+ yang akan mengalami
resonansi pada senyawa aromatiknya hingga pada keadaan stabil (Pratt, 1992).
Selanjutnya, akan mengalami pemutusan M+C3H7 dan M+-C6H3O- hingga
menghasilkan base ion m/z 57.
Hasil analisa UV-Vis fraksi F4) menunjukkan adanya puncak serapan pada
λmaks 281.04; 328.86; dan 383.56 nm. Puncak serapan pada λmaks 281.04;328.86
dan 383.56 nm disebabkan adanya transisi elektron - * yang disebabkan kromofor
tak jenuh C=C terkonjugasi poliena atau polisiklik aromati(Supratman, 2010).
Selanjutnya berdasarkan analisis FTIR (gambar 10) diperoleh data adanya vibrasi
pada bilangan gelombang (υ)3388.93; 2945.90; 2834.73;2522.83; 2227.10;2043.60;
1707.32; 1655.04; 1450.20; 116.12;1032.13; dan 698.80 cm-1.
Vibrasi pada bilangan gelombang 3388.93 cm-1 menunjukkan adanya gugus –
OH yang diperkuat vibrasi gugus C-O pada 116.12 dan1032.13 cm-1. Vibrasi pada
bilangan gelombang 2945.93 dan 2834.73 cm-1 masingmasing disebabkan vibrasi
ulur gugus =CH dan –CH alifatik yang diperkuat vibrasi tekuk–CH alifatik pada
1450.20 dan 698.80 cm-1 .Vibrasi pada 2522.83; 2227.10; dan 2043.60cm-1
menunjukkan adanya benzenetersubstitusi dan vibrasi pada 1707.32 dan 1655.04 cm-
1 disebabkan gugus C=O ester.
Hasil analisa UV-Vis dan FTIR sangat sesuai dengan senyawa 2 metoksi
etilftalatyang diduga bersifat antioksidan. Senyawa tersebut termasuk kedalam jenis
senyawa fenolik turunan asam organik polifungsional yang merupakan senyawa aktif
antioksidan.
Menurut Ardiansyah (2007), senyawa antioksidan alami pada tumbuhan
umumnya adalah senyawa fenolik atau polifenolik dapat berupa golongan flavonoid,
turunan asam sinamat, kumarin, tokoferol dan asam-asam organik polifungsional. Seo
et al. (2006) melaporkan dua senyawa asam organik dari ganggang coklat
Saragassum thunbergii, yaitu asam 9-(3,4 dihidro-2,8-dimetil-6 hidroksi-2H-1-
benzopiran-2-il)-6-metil-2-(4-metil-3-pentenil)-(2E,6E) nonadienoat dan asam 1D-
(2,3-dihidro-5-hidroksi-7-metil-1benzofuran2-il)-10 hidroksi-6-metil-2-(4-metil-3-
pentenil) (2E,6E) undeka dienoat memiliki kemampuan dalam meredam radikal
bebas.
BAB V
KESIMPULAN
V.1 Kesimpulan
Isolasi adalah proses pengambilan atau pemisahan senyawa bahan alam dengan
menggunakan pelarut yang sesuai. Rekristalisai memiliki sejarah yang panjang
seperti distilasi. Merupakan estimasi atau penentuan konsentrasi atau potensi
fisik, kimia atau zat biologi (agent) dengan cara mengukur dan membandingkan
besarnya respon dari tes dengan standar atas sistem biologis yang sesuai di
bawah standar set kondisi. Merupakan estimasi atau penentuan konsentrasi
atau potensi fisik, kimia atau zat biologi (agent) dengan cara mengukur dan
membandingkan besarnya respon dari tes dengan standar atas sistem biologis
yang sesuai di bawah standar set kondisi.
Hasil isolasi senyawa metabolit sekunder dari tanaman daun meranti sabut
(Shorea ovalis [Kort.]) yaitu senyawa phytosterol, dan berdasarkan hasil karekterisasi
menggunakan analisa spektrofotometri IR, 1H-NMR, 13C-NMR, HSQC dan HMBC
senyawa phytosterol memiliki 29 atom karbon 48 proton dan 1 atom O.Ekstrak etil
asetat daun meranti sabut (Shorea ovalis (Kort.) dengan uji BSLT tergolong sangat
toksik dengan persen kematian hewan uji larva Artemia salina sebesar 56,6 % pada
konsentrai 100, 10, dan 1 ppm, dengan nilai LC50 = 40.45 ppm.
Hasil isolasi fraksi etil asetat daun Shorea ovalis (Kort) diperoleh senyawa
murni IA sebanyak 17.8 mg berupa kristal jarum berwarna putih, mudah larut dalam
etil asetat, tidak larut dalam n-heksan, agak sukar larut dalam metanol, memiliki titik
leleh 135-137˚C, memberikan perubahan warna merah muda dengan pereaksi
Lieberman-Bourchard, merupakan senyawa golongan fitosterol, dan hasil analisa
spektrofotometri IR, 1H-NMR, 13C-NMR, HSQC dan HMBC telah diperoleh data
yang menyatakan senyawa IA dari ekstrak Etil Asetat meranti Sabut Shorea Ovalis
(korth) adalah senyawa phytosterol yang memiliki 29 atom karbon 48 proton dan 1
atom O.
Ekstrak etil asetat daun meranti sabut (Shorea ovalis (Kort.) dengan uji BSLT
pada konsentrai 100, 10, dan 1 ppm diperoleh nilai LC 50 = 40.45 ppm dengan persen
kematian hewan uji larva Artemia salina sebesar 56,6 % dan tergolong sangat toksik.
V.2 Kesimpulan
1. Karakterisasi senyawa adalah usaha mengenali sifat kimia dan fisika dari suatu
senyawa baru untuk menyediakan informasi penting yang berguna dalam
prediksi parameter farmakokinetik dan efek biologis
2. Bioassay adalah prosedur untuk menentukan konsentrasi, kemurnian, dan/atau
aktivitas biologis (misalnya: vitamin, hormon, faktor pertumbuhan tanaman,
antibiotik, enzim) dengan mengukur efeknya pada organisme, jaringan, sel,
enzim atau reseptor persiapan dibandingkan dengan persiapan standar
3. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan beberapa hal,
yaitu dari uji fitokimia diketahui bahwa daun andong mengandung senyawa
metabolit sekunder, yaitu flavanoid, fenolik, alkaloid, terpenoid, steroid, dan
kumarin. Ekstrak etil asetat dan ekstrak metanol dari daun andong memiliki
potensi sebagai antioksidan dengan ekstrak etil asetat sebagai ekstrak paling
aktif dengan nilai IC50 86,738 mg/L. Senyawa hasil isolasi dari ekstrak etil
asetat daun andong merupakan senyawa golongan terpenoid dengan adanya
ikatan rangkap yang tidak berkonjugasi serta memiliki gugus fungsi C=C
alkena, C=O, CH streching dan CH3. Senyawa hasil isolasi menunjukan sifat
antioksidan yang sangat lemah dengan IC50 434,86 mg/L.
V.3 Kesimpulan
Senyawa bioaktif ekstrak n-heksana kulit batang kayu bitti (Vitex cofassus)
diperoleh berupa kristal putih berbentuk jarum seberat 0,4745 gram yang diduga
merupakan senyawa golongan steroid. Nilai LC50 yang diperoleh pada ekstrak n-
heksana sebesar 74,079 µg/mL, pada fraksi sebesar 118,850 µg/mL dan kristal murni
sebesar 88,201 µg/mL, sehingga dapat disimpulkan bahwa kulit batang kayu bitti
(Vitex cofassus) bersifat toksik.
V.6 Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
Achmad, S. A. 1986. Kimia Organik Bahan Alam.Jakarta: Karunika.
Achmad, Syamsul Arifin., 2004, Tumbuh-Tumbuhan Obat Indonesia, jilid I, ITB
Bandung.
Agilent Technologies. 2001. Agilent LC-MS Primer. U.S.A 5988- 2045EN.
Agoes, Goeswin. 2009. Seri Farmasi Industri-2: Teknologi Bahan Alam (Edisi
Revisidan Perluasan). Bandung: Penerbit ITB. Hal: 18-20, 31.
Agoes.G.2007. Teknologi Bahan Alam, ITB Press Bandung.
Aliefman, H dan A. Wahab Jufri. 2011. Aktifitas Anti Malaria dan Analisis Metabolit
Sekunder Kayu dan Kulit Batang Artocarpus odoratissimus
blanco.FakultasKeguruandanIlmuPendidikanJurusan FMIPA: Universitas
Mataram.
Alimin, dkk., 2007. Kimia Analitik. Makassar: Alauddin Press.
Anonim, 2000. Standarisasi Ekstrak. Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan
Makanan. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta
Anonim. (2001). British Pharmacopoeia. Published on The Recommendation of The
Medicines Commission. The Stationery Office, London.
Anonim. 2015. Penuntun dan Buku Kerja Fitokimia II. Universitas Muslim
Indonesia; Makassar.
Arisman. 2009. Keracunan Makanan. EGC. Jakarta.
Article in Journal: Ahmed, M. F., et al.,2012, Phytochemical Studies and Antioxidant
Activity of Melia azedarach Linn Leaves By DPPH Scavenging Assay. Journal
of Pharmaceutical Applications, 3(1), 271-276
Article in Journal:Azam, M. M., et al. (2013). Pharmacological Potentials of Melia
azedarach L. -A review. American Journal of BioScience, 1, 44- 49
Article in Journal:Mishra, G. e. a. (2013). Melia azedarach: A Review. Medicinal
Chemistry & Analysis, 3(2), 53-56.
Article in Journal:Sharma, D. a. Y. P. (2013). Preliminary and Pharmacological
Profile of Melia azedarach L.: An Overview. Journal of Applied Pharmaceutical
Science, 3(12), 133-138.Company. German. 18-19.
Asih. A. 2009. Isolasi dan Identifikasi Senyawa Isoflavon Dari Kacang Kedelai
(Glycine max). Bukit Jimbaran: Jurusan Kimia FMIPA UniversitasUdayana.
Asriani Ilyas, Iin Novianty, Irmayanti. 2015. Senyawa Golongan Steroid dari Ekstrak
n-Heksana Kulit Batang Kayu Bitti (Vitex cofassus) dan Uji Toksisitas Terhadap
Artemia salina Leach. Fakultas Sains dan Teknologi. UIN Alauddin. Makassar.
Atikah, N. 2013. Uji Aktivitas Antimikroba Ekstrak Herba Kemangi (Ocimum
americanum L.) terhadap Staphylococcus aureus dan Candida ablicans.
Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah. Skripsi.
Baseer M. and Jain K. 2016. Review of Botany, Phytochemistry, Pharmacology,
Contemporary applications and Toxicology of Ocimum sanctum. Int. J.
Pharm. Life Sci., 7(2):4918-4929.
Betina. 1972, Analytical Microbiology, Vol.II, Academic Press, London, New York.
Cahyadi, R. 2009. Uji toksisitas akut ekstrak etanol buah pare (Momordica charantia
L.) terhadap larva Artemia salina Leach dengan metode BSLT.
Cazes, J. 2004. Encyclopedia Of Chromatography. New York: Marcel Dekker. Inc.
Cordell and Geoffrey A., 2006, Introduction to Alkaloid, John Willey and Sons,
Toronto.
Crews, P., Rodriguez, J. and Jaspars,M. 1998. Organic Structure Analysis. University
of California, Santa Cruz.
Cronquist, A., 1981. An Integrated System of Classification of Flowering Plants, Columbia,
University Press, New York, 316-318.
Cushnie, T.P.T., Lamb, A.J., 2005. Antimicrobial activity of flavonoids. International
Journal of Antimicrobial Agents, 26(5), pp.343–356.
Dahlan, M.S. 2012. Statistik Untuk Kedokteran dan Kesehatan. Ed.5. Jakarta:
Indonesia.
Dalimartha, Setiawan. 2003. Atlas Tumbuhan Obat Jilid 3. Jakarta: Puspa Swara
Dalimartha., 2004, Atlas Tumbuhan Obat Indonesia, Trobus Agriwidya : Bogor.