Anda di halaman 1dari 18

TINJAUAN PUSTAKA

DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN

ACUTE CORONARY SYNDROME


STEMI - NSTEMI

Pembimbing :
Dr. Frits W. Suling, SpJP

Disusun oleh :
Sigit Sutanto 00-003

KEPANITERAAN ILMU PENYAKIT DALAM


PERIODE 20 MARET – 27 MEI 2006
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
JAKARTA 2006
Tinjauan Pustaka – Sindrom Koroner Akut STEMI dan NSTEMI

Tinjauan Pustaka
DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN
ACUTE CORONARY SYNDROME STEMI - NSTEMI

Sigit Sutanto
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam
Periode 20 Maret – 27 Mei 2006
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia

I. PENDAHULUAN

Sejak permulaan tahun 1960 sampai saat ini telah banyak sekali perubahan dan
kemajuan dalam penatalaksanaan sindrom koroner akut (acute coronary syndrome; ACS), dari
pengobatan sederhana dengan pemberian nitrogliserin dan morfin sampai program pena-
talaksanaan yang sangat maju, meliputi diagnosis dini dan pemberian obat antiiskemik,
antiplatelet, antitrombotik dan terapi trombolitik dengan kombinasi tindakan revaskulari-
sasi seperti percutaneus coronary intervention (PCI) atau bedah pintas koroner (CABG=corona-
ry artery bypass graft), tetapi diagnosis dini ACS tidak selalu mudah. 1,2
Di Amerika Serikat, lebih dari 4 juta pasien tiap tahun datang ke unit gawat daru-
rat karena diduga menderita ACS, dan hanya 900.000 pasien akhirnya ternyata menderita
infark jantung akut. Tugas dokter pada umumnya dan khususnya terutama di unit gawat
darurat untuk mengenali pasien yang mempunyai ACS secara dini. Makin cepat diagnosis
dapat ditegakkan, makin baik hasilnya untuk pasien, karena adanya iskemi ataupun nek-
rosis akibat infark dapat dikurangi sekecil mungkin sehingga angka morbiditas dan morta-
litas dapat ditekan. 2,5
Dalam membuat diagnosis ACS riwayat penyakit sangat penting, demikian juga
dengan faktor risiko kardiovaskular. Perubahan EKG dan laboratorium kadang dapat
membantu. Keluhan pada pasien ACS berupa nyeri dada disebabkan iskemi miokard
karena suplai oksigen berkurang akibat penyempitan pembuluh darah koroner.

1
Tinjauan Pustaka – Sindrom Koroner Akut STEMI dan NSTEMI

II. DEFINISI

Sindrom koroner akut (ACS) merupakan sindrom klinik penyakit jantung koroner
yang disebabkan penurunan suplai oksigen miokard secara akut atau subakut akibat erosi
serta ruptur plak aterosklerotik dan mikroembolisasi. Yang umumnya dimasukkan dalam
ACS adalah angina tak stabil (unstable angina; UA) dan infark miokard tanpa ST-elevasi
(NSTEMI). ACS dapat berkembang menjadi infark jantung akut dengan ST-elevasi
(STEMI) dan kematian mendadak. Walau demikian, sebenarnya mekanisme patofisiologi
yang terjadi adalah sama, yaitu ruptur plak aterosklerotik, hanya saja derajat trombosis
dan emboli distal yang diakibatkan berbeda. 2,3

Ruptur / erosi plak

Pembentukan trombi dengan/tanpa


embolisasi

Iskemi jantung akut

Tanpa ST elevasi Dengan ST elevasi

Biomarker Biomarker Biomarker


nekrosis miokard nekrosis miokard nekrosis miokard
tidak meningkat meningkat meningkat

UA NSTEMI STEMI
(gelombang Q biasanya (-)) (gelombang Q biasanya (+))

Gambar 1. Spektrum ACS berdasarkan EKG dan biomarker nekrosis miokard pada pasien
dengan nyeri dada akut. 2,5

2
Tinjauan Pustaka – Sindrom Koroner Akut STEMI dan NSTEMI

III. PATOFISIOLOGI 2,4,5

Pada ACS terjadi iskemi miokard karena adanya plak aterosklerosis pada arteri
koronaria. Plak menyebabkan penyempitan pembuluh darah koroner sehingga aliran
darah berkurang dan dapat menimbulkan iskemia di miokard, menyebabkan keluhan
nyeri dada pada pasien terutama sewaktu melakukan aktivitas fisik (exercise); keadaan ini
disebut angina pektoris stabil atau effort angina. Bila ada ruptur plak tersebut, terjadi reak-
tivasi platelet, agregasi platelet dan timbul trombus yang dapat menyebabkan aliran darah
tiba-tiba berkurang. Bila trombus menutup seluruh lumen, aliran darah koroner terhenti
dan dapat terjadi infark jantung akut.
Dasar terjadinya ACS adalah karena ruptur plak, manifestasinya berupa angina tak
stabil (unstable angina; UA) atau infark tanpa ST-elevasi (non-ST-elevation myocard infarction;
NSTEMI) atau infark dengan ST-elevasi (ST-elevation myocard infarction ;STEMI). Angina
tak stabil dapat terjadi karena spasme yang dinamai angina Prinzmetal, biasanya serangan
angina terjadi waktu istirahat dan disertai ST-elevasi. Keluhan angina juga dapat terjadi
akibat anemia, tirotoksikosis, hipotensi, hipoksia (secondary angina).

Gambar 2. Kejadian trombosis berhubungan dengan terjadinya ACS.8

3
Tinjauan Pustaka – Sindrom Koroner Akut STEMI dan NSTEMI

IV. MANIFESTASI KLINIK

IV.1 Angina Tak Stabil

Diagnosis angina tak stabil berdasarkan adanya 3 gambaran klinik yaitu : 1,3
1. Angina waktu istirahat, berlangsung selama 20 menit atau lebih.
2. Angina yang bertambah berat (increasing angina), biasanya pada pasien dengan
angina stabil, dan tiba-tiba berubah serangan angina menjadi lebih sering, lebih
berat dan ditimbulkan oleh aktivitas yang lebih ringan.
3. Angina untuk pertama kali muncul (new onset angina).

IV.2 Infark Miokard tanpa ST-Elevasi (NSTEMI)

NSTEMI berbeda dari angina tak stabil terutama pada beratnya serangan angina
namun kedua keadaan tersebut kadang tidak dapat dibedakan. Pada NSTEMI iskemia
cukup berat sehingga menimbulkan kerusakan miokard, walaupun cardiac marker atau en-
zim jantung belum meningkat sampai beberapa jam setelah onset nyeri. 1,2

IV.3 Infark Miokard dengan ST-Elevasi (STEMI)

Pada infark jantung akut gambaran klinik biasanya lebih spesifik, nyeri dada lebih
hebat seperti ditekan benda berat, dicengkram, panas seperti terbakar; nyeri dada dapat
menjalar ke lengan kiri, bahu kiri, leher, atau rahang. Nyeri berlangsung dapat lebih dari
30 menit, tidak hilang dengan pemberian nitrogliserin. Pasien berkeringat, dingin dan
pucat. 3,4
Diagnosis harus tepat dan cepat supaya dapat dilakukan tindakan reperfusi sece-
patnya baik dengan obat trombolitik atau dengan PCI, paling baik dalam waktu sebelum
6 jam. Bila mungkin dilakukan dalam 1-2 jam pertama supaya kerusakan akibat infark
sekecil mungkin.

4
Tinjauan Pustaka – Sindrom Koroner Akut STEMI dan NSTEMI

V. DIAGNOSIS

V.1 Riwayat Penyakit 5

Angina ialah keluhan nyeri dada waktu melakukan aktivitas fisik. Nyeri dada pada
angina berupa tekanan di dada, atau terasa panas di dada atau seperti diperas. Nyeri
dapat menjalar ke leher, bahu, punggung atau lengan. Kadang keluhan nyeri timbul di
daerah epigastrium. Keluhan-keluhan lain tidak khas seperti lelah dan sesak napas, dada
tidak enak, malah kadang tidak ada keluhan samasekali terutama pada usia lanjut atau pa-
sien dengan DM, sehingga menegakkan diagnosis menjadi tidak mudah.
Angina tak stabil yaitu angina dengan pola nyeri dada yang berubah yaitu
serangan nyeri dada lebih sering timbul, lebih berat dari biasanya dan timbul sewaktu
beraktivitas ringan. Angina yang baru pertama kali dan angina pada waktu istirahat
(resting angina) juga termasuk dalam angina tak stabil.
Pada infark jantung akut/STEMI nyeri dada biasanya hebat, lama biasanya > 30
menit, ka-dang ada perasaan tidak enak di dada mendahului nyeri dada berat 1-2 minggu
sebelum-nya. Biasanya disertai keringat dingin, sesak atau mual. Adanya faktor risiko
seperti merokok, kadar kolesterol tinggi, diabetes melitus, hipertensi, riwayat penyakit
jantung di keluarga juga membantu dalam diagnosis.
Diagnosis banding meliputi diseksi aorta, perikarditis, esofagitis, miokarditis,
pneumonia, kolesistitis dan pankreatitis.

Tabel 1. Sistem Skor TIMI untuk UA/NSTEMI 7


Variabel Skor

Umur > 65 tahun 1 • Skor > 3 secara


signifikan lebih baik
> 3 faktor risiko untuk PJK 1 hasilnya bila
ditangani secara
Stenosis koroner > 50% pada angiografi 1 invasif dini.
Perubahan segmen ST > 0,5 mm 1 • Skor <2 dapat
ditangani secara
> 2 episode angina dalam 24 jam sebelum onset 1 konservatif

Peningkatan biomarker jantung 1


Penggunaan ASA dalam 7 hari sebelum onset 1

5
Tinjauan Pustaka – Sindrom Koroner Akut STEMI dan NSTEMI

Tabel 2. Kriteria risiko tinggi dan rendah terhadap kematian atau IMA 4

Risiko Tinggi
Pasien dengan gejala berat
a. Iskemia berulang (dengan gejala iskemik yang makin sering dalam 48 jam atau terus
mene-rus (>20 menit) atau nyeri saat istirahat.
b. Pasien dengan angina saat istirahat yang tidak hilang dengan nitrat.
c. Pasien infark baru sebelumnya.
d. Pasien dengan riwayat revaskularisasi sebelumnya.
e. Pasien dengan riwayat pengobatan ASA < 7 hari.
Pasien dengan hemodinamik tak stabil selama observasi
a. Edema paru.
b. Regurgitasi mitral baru atau perburukan.
c. Hipotensi, bradikardi, atau takikardi
Pasien dengan kelainan EKG
a. Perubahan segmen ST yang dinamik > 0,05 mV terutama depresi segmen ST
b. ST-elevasi yang transien
c. Inversi gelombang T > 0,2 mV
d. Gelombang Q patologis
e. Bundle branch block baru atau diduga baru
f. Sustained ventricular tachycardia
Pasien dengan peningkatan kadar troponin
Pasien dengan disfungsi ventrikel kiri dan EF yang menurun < 40%.
Risiko Rendah
Pasien tanpa keluhan nyeri dada berulang dalam periode observasi
Pasien tanpa depresi atau elevasi segmen ST tetapi menunjukkan sedikit gelombang T negatif,
gelombang T mendatar /flat atau EKG normal
Pasien tanpa peningkatan kadar troponin atau biomarker lain.

V.2 Pemeriksaan Fisik

Pada angina atau unstable angina pemeriksaan fisik tidak khas, kadang tidak ada
kelainan. Kadang pasien gemuk, tekanan darah dapat normal atau tinggi, mungkin ada
hipotensi bila ada kelainan faal jantung. Kadang-kadang ada tanda gagal jantung seperti
tekakan vena jugularis yang me-ningkat, protodiastolic gallop, murmur, atau ronki basah.
Pada IMA/STEMI pemeriksaan fisik menunjukkan :

6
Tinjauan Pustaka – Sindrom Koroner Akut STEMI dan NSTEMI

• Pasien tampak sakit berat, pucat, nadi masih teratur walau kadang tidak
teratur karena adanya ekstrasistol.
• Kadang ada takikardi, biasanya menunjukkan infark luas.
• Tekanan darah dapat naik karena pasien dalam keadaan distress karena
sakit. Adanya hipotensi dapat disebabkan oleh vagotoni, dehidrasi, infark
ventrikel kanan atau awal gagal jantung kiri.
• Perlu diperhatikan apakah tekanan vena jugularis meningkat, iktus kordis
melebar, adanya bunyi jantung keempat atau ketiga (protodiastolic gallop),
adanya bising jantung, dan ronki basah.
• Bila jantung membesar dengan protodiastolic gallop dan takikardi serta ronki
basah di basal yang luas mencurigakan adanya infark anterior yang luas,
sebaliknya pemeriksaan fisik masih normal, kemungkinan infark tidak luas
atau kerusakan akibat infark belum terjadi.

V.3. Pemeriksaan Laboratorium 2,3,5

Isoenzim CKMB
Enzim CKMB (creatinin kinase) akan meningkat dalam 4 jam pada infark jantung
akut dan mencapai puncaknya pada 18-24 jam dan kembali normal pada 3-4 hari. Bila
normal belum tentu menyingkirkan kemungkinan infark. Pemeriksaan pertama sensitivi-
tasnya 35%, bila diulang sensitivitasnya naik menjadi 90-100%. Karena itu CKMB harus
diperiksa tiap 8 jam untuk 24 jam pertama. Pada angina tak stabil CKMB tidak mening-
kat.

CKMB Isoform
Untuk memperbaiki kepekaan pada awal infark CKMB dengan cara elektroforesis
diurai menjadi CKMB2 dan CKMB1. Bila rasio CKMB2 : CKMB1 lebih dari 1,7 me-
nunjukkan adanya permulaan infark.

7
Tinjauan Pustaka – Sindrom Koroner Akut STEMI dan NSTEMI

Troponin
Troponin I, lebih peka dari CKMB untuk diagnosis infark jantung akut. Tropo-
nin I meningkat dalam 3-4 jam pada infark akut dan tetap tinggi hingga 7-10 hari. Pada
angina tak stabil dapat dipakai untuk mendeteksi terjadinya infark akut atau kematian.
Troponin T sama dengan troponin I tapi tetap meninggi sampai 14 hari.

C-reactive Protein
CRP menunjukkan tanda inflamasi akut, pasien tanpa tanda nekrosis miokard dari
pemeriksaan biokimia adanya kenaikan CRP menunjukkan kemungkinan efek perjalanan
penyakit kurang baik (kemungkinan terjadi infark atau stroke lebih besar).

Mioglobin
Mioglobin merupakan petanda nekrosis miokard dan sudah meningkat dalam
waktu 2 jam, pemeriksaan ini tidak spesifik karena dapat meningkat pada kerusakan otot
yang lain. Tetapi bila negatif dapat menyingkirkan adanya infark akut.

Gambar 3. Peningkatan biomarker sejak onset serangan. 5

8
Tinjauan Pustaka – Sindrom Koroner Akut STEMI dan NSTEMI

Gambar 4. Perjalanan waktu pelepasan beberapa biomarker jantung setelah terjadi STEMI,
dengan dan tanpa reperfusi. 5

V.4 Pemeriksaan Radiologi Foto Toraks

Pada angina tak stabil biasanya tidak khas kecuali bila ada pembesaran jantung
karena hipertensi atau ada tanda kongesti di paru bila ada gagal jantung.

V.5 Pemeriksaan EKG 1-5

EKG 12 lead harus diperiksa secepat mungkin untuk memastikan diagnosis.


EKG menunjukkan adanya perubahan pada watu serangan angina, yaitu adanya depresi
segmen ST atau timbul gelombang T negatif. Kadang ada hipertrofi ventrikel karena hi-
pertensi atau adanya gelombang Q karena infark lama. EKG normal belum tentu me-
nyingkirkan adanya angina.
Pada infark, perubahan EKG dimulai dengan gelombang T yang tinggi, elevasi
segmen ST yang disertai depresi segmen ST di kontralateral. Misalnya elevasi segmen ST
di sadapan anterior V1-V4 maka akan terlihat depresi segmen ST di sadapan lead inferi-or
II, III, dan aVF.

9
Tinjauan Pustaka – Sindrom Koroner Akut STEMI dan NSTEMI

Bila hanya ada depresi segmen ST atau gelombang T negatif maka pasien mung-
kin hanya menderita angina tak stabil atau NSTEMI. Bila EKG normal tapi keluhan sa-
ngat mencurigakan adanya iskemi atau infark maka perlu observasi 24 jam untuk meme-
riksa EKG beberapa kali untuk melihat apakah ada perubahan gambar EKG. Elevasi
segmen ST dapat juga terlihat pada aneurisma ventrikel kiri, perikarditis, dan early repolari-
sation.

Tabel 4. Lokasi infark berdasarkan lokasi letak perubahan EKG 3


Lokasi Lead Perubahan EKG
Anterior V1-V4 ST elevasi, gelombang Q
Anteroseptal V1-V3 ST elevasi, gelombang Q
Anterior ekstensif V-V6 ST elevasi, gelombang Q
Posterior V1-V2 ST depresi, gel R tinggi
Lateral I, aVL, V5-V6 ST elevasi, gelombang Q
Inferior II, III, aVF ST elevasi, gelombang Q
Ventrikel kanan V4R, V5R ST elevasi, gelombang Q

Gambar 5. EKG seorang pasien pria 32 tahun dengan keluhan nyeri dada 1 jam sebelumnya,
riwayat merokok (+). Tampak elevasi segmen ST di V1-V3 dan depresi ST di III, suatu gambaran
infark anteroseptal.

10
Tinjauan Pustaka – Sindrom Koroner Akut STEMI dan NSTEMI

V.6. Ekokardiografi

Pada ekokardiografi dapat ditemukan adanya pergerakan abnormal dinding jan-


tung, dimana biasanya daerah iskemik atau infark mengalami hipokinetik atau akinetik,
sebaliknya daerah kontraleteral menjadi hiperkinetik.

V.7 Angiografi

Kadang angiografi dibutuhkan untuk kasus yang sulit, misalnya dengan keluhan
tidak khas tapi EKG tidak spesifik. Dengan angiografi dapat segera dilihat apakah ada
pembuluh koroner yang tersumbat atau tidak. Menurut guideline ACC/AHA tahun 2002
dianjurkan tindakan invasif bila ada tanda risiko tinggi misalnya keluhan pasien yang
berat, pemeriksaan EKG menunjukkan adanya segmen ST baru, pemeriksaan troponin
meninggi.

VI. PENATALAKSANAAN 5-11

VI.1 Pengobatan Konservatif

Obat Anti Iskemik

Pemberian nitrat pada umumnya disarankan karena nitrat memiliki efek venodi-
lator sehingga preload miokard dan volume akhir ventrikel kiri dapat menurun sehingga
dengan demikian konsumsi oksigen miokard juga menurun. Nitrat melebarkan
pembuluh koroner normal yang mengalami aterosklerotik, menaikkan aliran darah kolate-
ral dan menghambat agregasi trombosit. Nitrat IV disarankan diberikan pada pasien di-
rawat bila iskemia menetap. Dosis dinaikkan sampai gejala iskemia dapat diatasi atau tim-
bul efek samping (terutama hipotensi dan sakit kepala).
Beta bloker juga merupakan obat standar. Kerjanya menghambat efek katekola-
min pada sirkulasi dan pada ACS efek utama adalah terhadap reseptor beta-1 yang dapat
menyebabkan penurunan konsumsi oksigen miokard. Pada meta-analisis terbukti beta
bloker menurunkan risiko perburukan ACS menjadi infark jantung akut sebesar 13%.
Kontraindikasi beta bloker ialah riwayat asma bronkial serta disfungsi bilik kiri akut.

11
Tinjauan Pustaka – Sindrom Koroner Akut STEMI dan NSTEMI

Antagonis kalsium mempunyai efek vasodilatasi. Pada meta-analisis secara


keseluruhan antagonis kalsium tidak mencegah adanya infark jantung akut atau kematian.
Pemberian nifedipin bahkan cenderung menaikkan risiko infark jantung, angina berulang,
dan kematian. Walau demikian diltiazem mungkin dapat bermanfaat. Antagonis kalsium
dapat mengurangi keluhan pada pasien yang telah medapat nitrat atau beta bloker; selain
itu bermanfaat pada pasien yang kontraindikasi terhadap beta bloker. Tidak disarankan
pada penurunan fungsi ventrikel kiri atau gangguan konduksi atrio-ventrikel.

Heparin dan Heparin Berat Molekul Rendah

Heparin (unfractioned heparin; UFH) atau heparin berat molekul rendah (low mole-
cular weight heparin; LWMH) harus diberikan karena terbukti adanya manfaat inkremental
dibanding aspirin saja. LWMH mempunyai aktivitas anti-Xa lebih kuat daripada aktivitas
anti-Iia (anti trombin) dibanding UFH. Selain itu LWMH mempunyai kepekaan lebih
rendah terhadap platelet factor 4 dan mempunyai efek antikoagulan yang lebih dapat dira-
malkan dan jarang menyebabkan trombositopenia. Pemberian LWMH jangka panjang
menaikkan risiko perdarahan. Dua penyelidikan dengan enoxaparin memperlihatkan ke-
unggulan obat ini dibandingkan UFH pada pemberian akut, karena itu pada panduan
ACC/AHA 2002 enoksaparin disarankan karena lebih aman dibandingkan UFH, juga
bila diberikan bersama penghambat glikoprotein IIb/IIIa (GP IIb/IIIa).

Obat Penghambat Trombin Langsung (Direct Thrombin Inhibitors; DTI)


Dua obat DTI yaitu hirudin dan bivaluridin telah diselidiki manfaatnya dalam
ACS. Diperoleh kecenderungan terhadap manfaat baik, namun secara statistik tidak me-
nunjukkan kemaknaan. Karena itu DTI belum disarankan sebagai pengobatan rutin
ACS. Saat ini obat ini dapat dipakai bila pasien mengalami trombositopenia bila terpapar
heparin (heparin induced thrombocytopenia), atau pada PCI.

Anti Platelet/Anti Trombotik

Terapi anti trombotik sangat penting dalam memperbaiki hasil dan menurunkan risiko
kematian, STEMI, atau STEMI berulang. Saat ini kombinasi dari aspirin, clopidogrel,
LWMH dan antagonis reseptor GP IIb/IIIa merupakan terapi paling efektif.

12
Tinjauan Pustaka – Sindrom Koroner Akut STEMI dan NSTEMI

Aspirin
Aspirin menghambat enzim siklooksigenase-1 dan dengan demikian pembentuk-
an tromboksan A2 (TXA2) juga dapat dihambat. Aspirin bermanfaat menekan angka
kematian dan infark pada angina tak stabil. Dosis 75-150 mg sama efektivitasnya dengan
dosis yang lebih besar. Aspirin disarankan diberikan pada semua pasien dengan kecuriga-
an ACS kecuali ada kontraindikasi, dapat juga diberikan jangka panjang.

Antagonis Reseptor ADP : Thienopiridin


Tiklopidin dan clopidogrel merupakan antagonis ADP sehingga menghambat ag-
regasi trombosit. Tiklopidin banyak digantikan oleh clopidogrel karena sering terjadi in-
toleransi termasuk efek gastrointestinal, alergi, bahkan netro/trombositopenia.
Pada trial CURE (Clopidogrel in Unstable angina to prevent Reccurent ischemic Events)
clopidogrel diselidiki pada pasien yang juga mendapat aspirin (75-325 mg). Dengan load-
ing dose 300 mg diikuti dosis pemeliharaan 75 mg/hari dalam kombinasi dengan aspirin
menunjukkan penurunan kematian kardiovaskular, infark jantung atau stroke sebesar
20% dibandingkan hanya dengan aspirin, baik pada pasien risiko rendah atau tinggi.
Manfaat ini sudah tampak amat dini, yaitu pada 24 jam pertama. Pada panduan
ACC/AHA 2002 clopidogrel dimasukkan dalam rekomendasi kelas I. Dapat digunakan
sampai minimal 9-12 bulan.

Penghambat Glikoprotein IIb/IIIa (GP IIb/IIIa)


Pemberian obat setelah pasien masuk RS (upstream use) dengan penghambat GP
IIa/IIIb yang bermanfaat pada pengobatan ACS bila yang diberikan adalah eptifibatid
atau tirofiban, sedangkan abxcimab tidak memberikan hasil atau bahkan malah tidak
disarankan bila pasien diobati secara konservatif. Manfaat penghambat GP IIa/IIIb
hanya pada pasien risiko tinggi khususnya bila kadar troponin positif. Abxicimab amat
bermanfaat pada pasien yang menjalani PCI. Pada panduan ACC/AHA, penghambat GP
IIa/IIIb disarankan bila pasien akan menjalani PCI, sedang untuk pasien risiko tinggi
dimana PCI tidak direncanakan, penggunaannya tidak direkomendasikan.

Tabel 5. Terapi antitrombotik 2,5


Pasien UA/NSTEMI risiko rendah Pasien UA/NSTEMI risiko tinggi
ASA + Clopidogrel + LWMH SC ASA + Clopidogrel + LWMH SC + Antagonis
GP IIb/IIIa IV
*) bila clopidogrel tidak memungkinkan, direkomendasikan pemakaian ticlodipine 250 mg bid

13
Tinjauan Pustaka – Sindrom Koroner Akut STEMI dan NSTEMI

Tabel 6. Dosis obat-obatan yang direkomendasikan pada ACS 1,3


Nama obat Dosis yang direkomendasikan
ASA/aspirin Dosis awal 300 mg
Dosis pemeliharaan 75-100 mg seumur hidup
Clopidogrel Dosis awal 300 mg
Dosis pemeliharaan 75 mg minimal 9-12 bulan
LWMH : Enoxaparin (Lovenox) 1 mg/kg SC bid
LWMH : Nadroparin (Fraxiparine) 0,1 ml/10 kg SC bid
Nitrogliserin IV : 5-200 ug/menit
SL : 0,3-0,6 mg, dapat diulang s.d 5x tiap 5’
PT : 5-10 mg selama 24 jam
Isosorbid dinitrat IV : 1,25 – 5 mg/jam
SL 2,5-10 mg/jam
Isosorbid mononitrat PO:20-30 mg, 2-3 hari s.d 120 mg dosis terbagi
Metoprolol 25-50 mg oral 2x/hari
Propanolol 20-80 mg oral/hari dosis terbagi
Atenolol 25-100 mg oral/hari
Diltiazem Lepas lambat : 30-120 mg 3x/hari
Verapamil Lepas lambat : 100-360 mg 1x/hari
Lepas cepat : 40-160 mg 3x/hari

Gambar 4. Algoritme untuk triase dan tatalaksana ACS

Pasien dengan keluhan nyeri ACS


dada, riwayat keluhan yang Berikan 300 mg ASA
khas dikunyah dan nitrat SL

EKG 12 lead
Periksa biomarker jantung

EKG non diagnostik Perubahan gel ST/T ST-elevasi


Biomarker jantung (-) Biomarker (+)
Nyeri dada Nyeri dada menetap
menetap

Evaluasi untuk
Tidak ada Observasi pasien reperfusi
perubahan EKG, Periksa EKG serial
biomarker (-), Ulang biomarker 6-12
nyeri dada (-) jam stl onset nyeri

Rawat dan terapi :


Pasien dipulangkan Ada perubahan UA/NSTEMI Nitrat
Risiko rendah : segmen ST ASA
evaluasi di ruangan Biomarker (+) Clopidogrel
Risiko tinggi : Nyeri dada menetap LWMH
evaluasi segera (+ Antagonis reseptor
GP IIb/IIa)

14
Tinjauan Pustaka – Sindrom Koroner Akut STEMI dan NSTEMI

Gambar 5. Algoritme Tatalaksana STEMI

Nyeri dada dan • Periksa EKG


kemungkinan iskemia • Pasang IV line
• Px nadi dan TD

Kriteria WHO (2 dari 3) : Diagnosis infark akut


• Nyeri dada khas iskemia berdasarkan kriteria
• Perubahan EKG WHO
• Peningkatan enzim
jantung

Langkah awal termasuk : Periksa darah lengkap :


• Monitoring jantung • Biomarker
• Terapi O2 95% • Profil ginjal
• Aspirin • Gula darah
• Nitrat SL • Profil lipid
• Analgetik
• Periksa darah

Penilaian untuk reperfusi

PCI primer Tidak memenuhi syarat Terapi trombolitik


untuk trombolisis atau
PCI primer

Terapi medis

ICCU

VI.2 Terapi Invasif vs Konservatif

Tercatat sedikitnya 9 penelitian ilmiah dimana dibandingkan strategi angiografi


koroner rutin secepatnya disusul tindakan revaskularisasi bila dibutuhkan, dibanding
dengan strategi konservatif dimana angiografi dan tindakan revaskularisasi dilakukan

15
Tinjauan Pustaka – Sindrom Koroner Akut STEMI dan NSTEMI

hanya kepada pasien yang memperlihatkan iskemia berulang baik pada istirahat atau uji
provokasi. Tiga penyelidikan (VANQUISH, MATE, TIMI IIB) tidak memperlihatkan
kelebihan terapi invasif dini, 6 penyelidikan lain setelahnya (FRISC II, TACTICS TIMI
18, RITA-3, ISAR-COOL, VINO, TRUCS) membuktikan kelebihan strategi invasif dini.
Pada penelitian Intracoronary Stenting with Antithrombotic Regimen COOLing-off (ISAR-COOL)
terapi invasif dini dalam waktu rerata angiografi 2 jam setelah serangan ACS ternyata
lebih baik dibanding terapi invasif yang lebih lambat dalam rerata waktu 4 hari setelah
serangan. Manfaat terapi invasif dini tampak pada pasien dengan perubahan segmen ST
dan peninggian kadar troponin pada waktu masuk RS. Pada panduan ACC/AHA 2002,
perubahan segmen ST dan kadar troponin positif merupakan rekomendasi klas I untuk
tindakan invasif dini.

VI.3 Terapi Jangka Panjang

Telah dibuktikan bahwa kebanyakan kejadian jantung yang kambuh terjadi dalam
beberapa bulan pertama sejak serangan ACS. Pasien yang stabil setelah dirawat tidak ber-
arti proses patologis yang berlangsung juga telah stabil. Belum ada laporan penelitian
mengenai berapa lama proses penyembuhan ruptur plak. Bahkan beberapa penelitian
melaporkan kemungkinan progresi lebih cepat dari lesi koroner walaupun telah tercapai
stabilisasi klinis. Selain itu dibuktikan bahwa pembentukan trombin masih dapat bertam-
bah pada 6 bulan pasca serangan.
Pada pasien dengan riwayat merokok, kebiasaan tersebut harus dihentikan. Te-
kanan darah harus dikendalikan dengan baik (target <130/80 mmHg). Faktor risiko yang
dapat dimodifikasi harus dikontrol. Aspirin harus diberikan jangka panjang (seumur
hidup) dengan dosis 75-150 mg/hari. Clopidogrel 75 mg diberikan minimal 9-12 bulan.
Beta bloker terbukti memperbaiki prognosis dan sebaiknya harus diberikan. Penelitian
Heart Protection Study merekomendasikan LDL dikontrol, kalau bisa serendah mungkin
(<100 mg/dl), bahkan menyarankan pemberian statin tanpa melihat kadar kolesterol
LDL, termasuk yang memiliki kadar <100 mg/dl. Rehabilitasi pasca serangan dilakukan
secara holistik, baik pendekatan fisik maupun psikis. 1,3,5

16
Tinjauan Pustaka – Sindrom Koroner Akut STEMI dan NSTEMI

DAFTAR PUSTAKA

1. Kalim H, Idris I, Irmalita, Karo Karo S, Soerianata S, Tobing DPL (ed). Tata Laksana Sindroma
Koroner Akut tanpa ST-Elevasi. Jakarta : Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia.
2004.
2. Cannon CP, Braunwald E. Unstable Angina and Non-ST-Elevation Myocardial Infarction. In : Kasper
DL, Braunwald E, Fauci AS, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL (ed). Harrison’s Principles of Internal
Medicine 16th Edition. New York : McGraw-Hill. 2005:2:1444-48.
3. Antman EM, Braunwald E. ST-Segment Elevation Myocardial Infarction. In : Kasper DL, Braunwald
E, Fauci AS, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL (ed). Harrison’s Principles of Internal Medicine 16th
Edition. New York : McGraw-Hill. 2005:2:1448-59.
4. Kalim H, Idris I, Irmalita, Karo Karo S, Soerianata S, Tobing DPL (ed). Tata Laksana Sindroma
Koroner Akut dengan ST-Elevasi. Jakarta : Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia.
2004.
5. Antman et al. ACC/AHA Guidelines for the Management of Patients with ST-Elevation Myocardial
Infarction : A Report of The American College of Cardiology/American Heart Association Task Force on
Practical Guideline. New York : American College of Cardiology/American Heart
Association.2004.1-158.
6. Rentrop PK. Thrombi in Acute Coronary Syndromes : Revisited and Revised. Circulation. 2000;101:1619-
26.
7. Gluckman TJ, Sachdev M, Schulman SP, Blumenthal RS. A Simplified Approach to the Management of
Non-ST-Elevation Acute Coronary Syndromes. JAMA. 2005;293:349-57.
8. Grech ED, Ramsdale DR. ACS : Unstable angina and non ST segment elevation myocardial infarction. Br
Med J. 2003;326:1259-61.
9. Grech ED, Ramsdale DR. ACS : ST segment elavation myocardial infarction. Br Med J. 2003;326:1379-
81.
10. Watson RDS, Chin BSP, Lip GYH. Antithrombotic therapy in acute coronary syndromes. Br Med J.
2002;325:1348-51.
11. Schleinitz MD, Heidenreich PA. A Cost-Effectiveness Analysis of Combination Antiplatelet Therapy for
High-Risk Acute Coronary Syndromes : Clopidogrel plus Aspirin versus Aspirin Alone. Ann Intern Med.
2005;142:251-9.
12. Rothberg MB, Carmel C; Fiore LD, Lawler E, Cook JR. Warfarin plus Aspirin after Myocardial
Infarction or the Acute Coronary Syndrome: Meta-Analysis with Estimates of Risk and Benefit. Ann Intern
Med. 2005;143:241-50.

17

Anda mungkin juga menyukai