Anda di halaman 1dari 11

PENDAHULUAN

2.1 Metode Problem Solving (Pemecahan masalah)


Problem solving merupakan proses dari menerima tantangan dan
usaha-usaha untuk menyelesaikannya sampai menemukan penyelesaiannya.
Menurut Syaiful Bahri Djamara (2006: 103) bahwa :“ Metode problem
solving bukan hanya sekedar metode mengajar tetapi juga merupakan suatu
metode berpikir, sebab dalam problem solving dapat menggunakan metode lain
yang dimulai dari mencari data sampai kepada menarik kesimpulan”.
Metode problem solving dapat pula diartikan sebagai cara penyajian
bahan pelajaran dengan menjadikan masalah sebagai titik tolak pembahasan untuk
dianalisis dan disintesis dalam usaha untuk mencari pemecahan atau
jawabannya oleh peserta didik (N. Sudirman, 1987: 146). Menurut Gulo
(2002: 111) problem solving adalah metode yang mengajarkan penyelesaian
masalah dengan memberikan penekanan pada terselesaikannya suatu masalah
secara menalar.
Problem solving merupakan bagian dari pembelajaran berbasis masalah
(PBL). Menurut Arends (2008: 45) pembelajaran berdasarkan masalah
merupakan suatu pendekatan pembeljaran dimana peserta didik mengerjakan
permasalahan yang outentik dengan maksud untuk menyusun pengetahuan
mereka sendiri.
Pada pembelajaran berbasis masalah peserta didik dituntut untuk
melakukan pemecahan masalah – masalah yang disajikan dengan cara
menggali informasi sebanyak-banyaknya, kemudian di analisis dan dicari
solusi dari permasalahan yang ada. Solusi dari permasalahn tersebut tidak
mutlakk mepunyai satu jawaban yang benar artinya peserta didik dituntut pula
untuk belajar secara kritis. Peserta didik diharapkan menjadi individu yang
berwawasan luas serta mampu melihat hubungan pembelajaran dengan aspek-
aspek yang ada di lingkungannya. Dari berbagai pendapat diatas dapat
disimpulkan bahwa metode pembelajaran problem solving adalah suatu
penyajian materi pelajaran yang menghadapkan peserta didik pada persoalan
yang harus dipecahkan atau diselesaikan untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Dalam pembelajaran ini peserta didik harus melakukan penyelidikan otentik

1
untuk mencari penyelesaian terhadap masalah yang diberikan. Mereka
menganalisis dan mengidentifikasi masalah, mengembangakan hipotesis,
mengumpulkan data, dan menganalisis informasi informasi dan membuat
kesimpulan.

2.2 Tujuan Metode Pembelajaran Problem Solving


Telah dibahas sebelumnya bahwa penggunaan metode dalam proses
belajar mengajar berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan. Oleh karena itu
problem solving sebagai salah satu metode memiliki tujuan-tujuan yang hendak
dicapai antara lain:
1. Agar siswa tidak hanya sekedar mengingat materi pelajaran, akan tetapi
menguasai dan memahaminya secara penuh/utuh. Artinya tidak hanya
perkembangan dalam aspek kognitif semata tetapi juga aspek afektif dan
psikomotor.
2. Untuk mengembangkan cara belajar siswa aktif
3. Untuk mengembangkan keterampilan berpikir rasional siswa, yaitu
kemampuan menganalisis situasi, menerapkan pengetahuan yang mereka
miliki dalam situasi baru, mengenal adanya perbedaan antara fakta dan
pendapat, serta mengembangkan kemampuan dalam membuat keputusan
secara objektif
4. Dengan menemukan dan menganalisis sendiri maka prestasi belajar yang
diperoleh siswa akan lebih permanen, tahan lama dalam ingatan dan tidak
mudah dilupakan
5. Mengembangkan metode ilmiah siswa, berpikir rasional analisis,
sistematis dan memecahkan masalah yang dihadapi sendiri
6. Agar siswa memahami hubungan antara apa yang dipelajari dengan
kenyataan dalam kehidupannya (hubungan antara teori dengan kenyataan)
Proses Belajar Mengajar yang menggunakan problem solving sebagai
metodenya merupakan suatu pembelajaran yang berpusat pada siswa (student
oriented). Artinya pembelajaran ini lebih menekankan pada aktivitas siswa yang
menuntunnya untuk lebih aktif dalam proses belajar. Siswalah yang menentukan
sendiri gaya belajarnya sesuai dengan minat, bakat, potensi dan kemampuan yang

2
dimilikinya. Disamping itu juga siswa yang menentukan kecepatan belajar, dan
hasil belajarnya. Sehingga materi apa yang seharusnya dipelajari dan bagaimana
cara mempelajarinya tidak semata-mata ditentukan oleh keinginan guru, tetapi
memperhatikan setiap perbedaan karakteristik siswa (heterogen) selama masih
sesuai dalam kerangka kurikulum yang berlaku.

2.3 Karakteristik Metode Pembelajaran Problem Solving


Karakteristik memiliki pengertian bahwa sesuatu obyek memiliki ciri-ciri
atau kekhasan tertentu yang tidak dimiliki oleh obyek lain. Ciri atau kekhasan ini
dapat membedakannya dari obyek yang lainnya. Menurut Barrows (1996:125)
problem solving sebagai suatu metode pembelajaran mempunyai karakteristik
antara lain:
1. Pembelajaran berorientasi pada siswa (student oriented)
Dalam kegiatan belajar, tentunya tidak akan terlepas dari proses
pembelajaran. Proses pembelajaran yang dimaksud merupakan tindak lanjut
dari kegiatan belajar, dengan kata lain kegiatan belajar dan pembelajaran ini
merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan, karena pembelajaran
yang dimaksud merupakan suatu proses kegiatan belajar mengajar yang
dilakukan oleh guru terhadap siswanya.
Oemar Hamalik (2004:57) mengungkapkan bahwa “Pembelajaran adalah
suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi, material,
fasilitas dan prosedur yang saling mempengaruhi untuk mencapai tujuan”.
Sedangkan Arifin (dalam T. Rahmat, 2003:6) menyatakan “Pembelajaran
merupakan kegiatan belajar mengajar ditinjau dari sudut pembelajar yang
direncanakan guru untuk dialami pembelajar selama kegiatan belajar
mengajar”.
Berdasarkan beberapa pernyataan tentang suatu konsep pembelajaran di
atas, maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran merupakan sebagai suatu
kegiatan belajar mengajar yang direncanakan oleh guru dengan cara
mengkombinasikan unsur-unsur pembelajaran yang ada guna mencapai
tujuan pembelajaran.

3
2. Peran guru sebagai pembimbing, fasilitator, dan motivator
Dalam metode pembelajaran problem solving yang lebih ditekankan
adalah pada aktivitas siswa.Akan tetapi dalam pelaksanaanya, walaupun
istilah yang digunakan “pembelajaran”, tidak berarti guru harus
menghilangkan perannya sebagai pengajar. Karena pada dasarnya siswa
dalam proses belajar membutuhkan bimbingan/arahan, membutuhkan peran
fasilitator dan motivator ketika mengalami kesulitan-kesulitan belajar. Dalam
hal ini, peran gurulah yang dimaksud yaitu dengan cara memperjelas tujuan
kompetensi yang ingin dicapai, membantu siswa mencari sumber-sumber
bahan dan membangkitkan minat siswa. Bimbingan dan arahan guru ini juga
terkait dengan keefektifan penggunaan metode problem solving dalam
pembelajaran.
Hal ini didasarkan pada pendapat Sudjimat (1995:28) bahwa metode yang
bermanfaat untuk membelajarkan pemecahan masalah adalah: (1) ajarkan
aspek-aspek pemecahan masalah yang penting, dan (2) ubah peran guru dari
sekedar pemberi informasi menjadi fasilitator, pelatih dan motivator bagi
siswa. Sejalan dengan Sukirman (dalam Utari : Sumarmo:1994:27) yang
mengungkapkan bahwa “Pemecahan masalah akan menjadi suatu hal yang
sulit bagi siswa, apabila guru tidak menuntun siswa secara bertahap, atau
apabila hanya mengajarkan secara sekilas kepada siswa”.

3. Informasi-informasi/ pengetahuan/ konsep baru diperoleh dari belajar


mandiri (self directed learning)
Metode problem solving yang banyak dianjurkan John Dewey dan
selanjutnya dipopulerkan oleh Jerome Bruner (dalam Benny Ahmad
Benyamin:2003:15) bertujuan untuk memperoleh hasil belajar yang lebih
permanen karena dicari sendiri dengan susah payah seperti informasi-
informasi, pengetahuan dan konsep-konsep tidak tidak akan dimiliki hanya
dengan mendengarkan melainkan pengalaman dan menemukan sendiri
melalui mencari jawaban untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Setelah
terpecahkannya masalah maka akan terbentuk pengetahuan baru yang

4
diperoleh sendiri oleh siswa. Untuk memecahkan masalah diperlukan
pengetahuan awal yang cukup. Siswa harus memiliki sejumlah konsep-
konsep dan aturan-aturan yang telah diperoleh pada proses pembelajaran
sebelumnya. Secara umum, pengetahuan awal berpengaruh langsung dan tak
langsung terhadap proses pembelajaran. Secara langsung, pengetahuan awal
dapat mempermudah proses pembelajaran dan mengarahkan hasil-hasil
belajar yang lebih baik. Secara tidak langsung, pengetahuan awal dapat
mengoptimalkan kejelasan materi-materi pelajaran dan meningkatkan
efisiensi penggunaan waktu belajar dan pembelajaran.

4. Menuntun adanya pembaharuan paradigma pendidikan dari behaviorisme


bergeser menuju ke konstruktivisme.
Aliran teori belajar behavioristic dengan tokohnya John Locke
berpandangan bahwa manusia adalah organisme yang pasif, sehingga proses
belajarnya sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Dengan teori tabularasanya,
John Locke (dalam Wina Sanjaya: 2016: 113) menganggap bahwa “Manusia
itu seperti kertas putih, hendak ditulisi apa kertas itu sangat tergantung pada
orang yang menulisnya.” Perumpamaan ini jika dikaitkan dengan proses
pembelajaran akan berlaku pada pembelajaran yang berpusat pada guru
(teacher centered). Di mana kertas putih adalah perumpamaan dari siswa
yang hanya bertindak pasif sebagai penerima informasi dari guru yang
berperan sebagai satu-satunya sumber belajar.
Namun sudah saatnya merubah pandangan/paradigma pendidikan
tersebut. Menurut Jerome Bruner (Benny Ahmad Benyamin:2003:14), “
Belajar adalah suatu proses aktif dimana siswa membangun pengetahuan baru
berdasarkan pengalaman atau pengalaman yang sudah dimiliki.” Hal ini
sesuai dengan pandangan konstruktivisme yang menyatakan bahwa siswa
adalah sebagai pusat pembelajaran, siswa diberi kesempatan menggunakan
gaya belajar sendiri dalam belajar dan guru membimbing siswa ke tingkat
pengetahuan yang lebih tinggi.
Menurut Bell (dalam Ratna Wilis Dahar:1996:84) tentang teori belajar
konstruktivisme, yang mengemukakan bahwa “Belajar di kelas adalah suatu

5
proses penyempurnaan konsep awal dalam struktur kognitif siswa ke tingkat
pengetahuan yang lebih tinggi sebagai fasilitator dan narasumber.” Lebih
lanjut Bell (dalam Ratna Wilis Dahar: 1996: 85) juga menjelaskan prinsip-
prinsip konstruktivisme dalam pembelajaran, yaitu (a) hasil belajar tidak
hanya tergantung dari pengalaman belajar di kelas, tetapi tergantung pula dari
pengetahuan siswa sebelumnya, (b) belajar adalah mengkonstruksi konsep,
konsep, (c) mengkonstruksi konsep adalah proses aktif dalam diri siswa, (d)
konsep-konsep yang telah dikonstruksikan dievaluasi yang selanjutnya
konsep tersebut diterima atau ditolak, (e) siswa yang sesungguhnya paling
bertanggung jawab terhadap cara dan hasil belajar mereka, (f) adanya
semacam pola terhadap konsep-konsep yang dikonstruksi siswa dalam
struktur kognitifnya.
Selanjutnya Utari Sumarmo (1999:3) mengemukakan bahwa “Pendekatan
konstruktivisme adalah pendekatan pembelajaran dimana pengetahuan baru
tidak diberikan dalam bentuk jadi (final), tetapi siswa membentuk
pengetahuannya sendiri melalui interaksi dengan lingkungannya.”
Jadi, dapat disimpulkan bahwa karakteristik metode problem solving
dengan sendirinya akan menuntun adanya perubahan paradigma pendidikan
dari behaviorisme yang berpusat pada guru (teacher oriented) bergeser
menuju ke konstruktivisme yang berpusat pada siswa (student oriented).
Dengan metode problem solving siswa menjadi lebih aktif berpikir kritis,
analitis serta menemukan sendiri jawaban atas masalah yang dihadapinya
dengan menerapkan konsep-konsep berupa pengetahuan yang dimiliki
sebelumnya dan dikonstruksikan menjadi pengetahuan yang baru.

2.4 Prasyarat Pelaksanaan Metode Pembelajaran Problem Solving


Dalam proses belajar mengajar atau pembelajaran tidak ada pegangan
yang pasti tentang cara mendapatkan metode pembelajaran yang paling tepat.
Tepat tidaknya suatu metode baru terbukti dan prestasi belajar siswa. Maksudnya
tidaklah efektif juga menggunakan satu metode pembelajaran untuk segala tujuan
belajar. Namun suatu metode pembelajaran akan berjalan efektif jika memenuhi
syarat-syarat tertentu sesuai dengan karakteristik metode pembelajaran tersebut.

6
mengacu pada pendapat Sudjimat (1995), agar proses belajar mengajar dengan
metode problem solving berjalan dengan baik maka harus diperhatikan hal-hal
sebagai berikut:
1. Waktu yang dibutuhkan dalam pembelajaran dengan metode problem
solving bersifat relative disesuaikan dengan masalah yang akan dicari
pemecahnya dan juga harus dibatasi agar konsentrasi siswa benar-benar
terfokus pada masalah yang dipecahkan.
2. Metode problem solving memerlukan perencanaan agar terstruktur dan
sistematis. Perencanaan ini juga penting untuk mengarahkan
pembelajaran kepada tujuan dan kompetensi yang ingin dicapai siswa.
Perencanaan ini meliputi keseluruhan kegiatan dari awal penyusunan
maslaah-masalah sebagai bahan hingga diperolehnya sebuah pengambilan
keputusan dari solusi pemecahan masalah, seperti masalah atau kasus
didasarkan atas minat siswa atau lingkungan disekitarnya, menuntut
adanya proses pengambilan keputusan, dan menuntut penggunaan lebih
dari satu solusi.
3. Sumber belajar tidak hanya berasal dari buku. Sumber belajar dapat
dikembangkan dari masalah-masalah yang berasal dari hasil
pengumpulan kasus-kasus dari koran, majalah, televisi, radio, membuat
kasus dari ide dari lingkungan sekitar, dan situasi kondisi yang muncul
spontanitas dari siswa.
4. Manajemen kelas dengan cara membagi kelas ke dalam kelompok-
kelompok kecil, diskusi berkelompok agar lebih efektif dan mendalam
saling tukar ide, debat antara satu siswa dengan siswa yang lainnya.

2.5 Langkah-langkah Pembelajaran Problem Solving


Langkah-langkah model pembelajaran problem solving menurut Dewey (
W.Gulo, 2002:115) adalah sebagai berikut:
1. Merumuskan masalah
Kemampuan yang diperlukan adalah : mengetahui dan merumuskan
masalah secara jelas.
2. Menelaah masalah

7
Kemampuan yang diperlukan adalah : menggunakan pengetahuan untuk
memperinci, menganalisis masalah dari berbagai sudut.
3. Merumuskan hipotesis
Kemampuan yang diperlukan adalah : berimajinasi dan menghayati ruang
lingkup, sebab akibat dan alternatif penyelesaian.
4. Mengumpulkan dan mengelompokkan data sebagai bahan pembuktian
hipotesis
Kemampuan yang diperlukan adalah : kecakapan mencari dan menyusun
data. Menyajikan data dalam bentuk diagram, gambar atau tabel.
5. Pembuktian hipotesis
Kemampuan yang diperlukan adalah : kecakapan menelaah dan membahas
data, kecakapan menghubung-hubungkan dan menghitung, serta
keterampilan mengambil keputusan dan kesimpulan.
6. Menentukan Pilihan Penyelesaian.
Kemampuan yang diperlukan adalah : kecakapan membuat alternatif
penyelesaian, kecakapan menilai pilihan dengan memperhitungkan akibat
yang akan terjadi pada setiap pilihan.

2.6 Ciri-Ciri Pembelajaran Problem Solving


Ciri-ciri pembelajaran problem solving menurut Tjadimojo (2001 : 3)
yaitu :
1. Metode problem solving merupakan rangkaian pembelajaran, artinya
dalam implementasi problem solving ada sejumlah kegiatan yang harus
dilakukan siswa.
2. Aktivitas pembelajaran diarahkan untuk menyelesaikan masalah, metode
ini menempatkan sebagai dari proses pembelajaran,
3. Pemecahan masalah dilakukan dengan menggunakan pendekatan berfikir
secara ilmiah.

8
2.7 Kelebihan dan Kekurangan metode pembelajaran Problem Solving
Setiap metode pembelajaran memiliki kelebihan dan kekurangan. Menurut
Polya (2002 : 30) metode problem solving memiliki kelebihan dan kekurangan
antara lain adalah:
Kelebihan metode problem solving antara lain adalah:
1. Dapat membuat siswa menjadi lebih menghayati kehidupan sehari-hari,
2. Dapat melatih dan membiasakan para siswa untuk menghadapi dan
memecahkan masalah secara terampil.
3. Dapat mengembangkan kemampuan berfikir siswa secara kreatif.
4. Siswa sudah mulai dilatih untuk memecahkan masalah secara realistis.
5. Mengeidentifikasi dan melakukan penyelidikan.
6. Membuat pendidikan sekolah lebih relevan dengan kehidupan khususnya
dunia kerja.

Kekurangan metode problem solving antara lain adalah:


1. Membutuhkan alokasi waktu yang lebih panjang dibandingkan dengan
metode pembelajaran yang lain.
2. Melibatkan lebih banyak orang.
3. Beberapa pokok bahasan sangat sulit untuk menerapkan metode ini.
Keterbatasan alat di laboratorium menyulitkan peserta didik untuk melihat
dan mengamati serta dapat menyimpulkan kejadian atau konsep tertentu.

Berdasarkan pernyataan beberapa teori tersebut, maka dapat disimpulkan


bahwa problem solving adalah proses belajar mengajar yaitu dengan
menghadapkan siswa pada masalah yang harus dipecahkan sendiri sesuai dengan
kemampuan yang ada pada diri siswa tersebut, dan dengan memberi latihan yang
diberikan pada waktu belajar matematika yang bersifat latihan dan masalah yang
menghendaki siswa untuk menggunakan sintesa atau analisa agar siswa memiliki
pengetahuan, keterampilan, dan pemahaman.

2.8 Problem solving dalam pembelajaran matematika


Pemecahan masalah (problem solving) dalam matematika adalah suatu proses
kognitif yang kompleks untuk mengatasi suatu masalah dan memerlukan

9
sejumlah strategi dalam menyelesaikannya (Surya, 2011). Melalui Problem
solving dalam matematika peserta didik akan memperoleh pengalaman dalam
menyelesaikan masalah yang tidak rutin (tidak biasa) dengan menggunakan
pengetahuan yang telah ada dalam struktur kognitif mereka. Masalah matematika
tidak rutin yang dimaksud adalah masalah matematika yang terkait dengan
penerapan konsep-konsep matematika dalam kehidupan sehari-hari. Penyelesaian
masalah rutin memerlukan tingkat pemikiran matematika yang tinggi. Sementara
penyelesaian masalah rutin (biasa) hanya mengikuti aturan (algoritma) dengan
menghafal.
Problem solving dalam pembelajaran matematika berbentuk masalah terkait
penerapan konsep-konsep bahan ajar yang dialami siswa dalam kehidupan.
Problem solving dalam pembelajaran matematika difokuskan pada pembelajaran
topik matematika melalui konteks problem solving dan lingkungan yang
berorientasi pada kemampuan peserta didik dan membantu guru membangun
pemahaman mendalam tentang gagasan dan proses matematika dengan
melibatkan peserta didik dalam aktivitas matematika: menciptakan, menduga,
mengeksplorasi, menguji, dan verifikasi (Lester et al., 1994). Problem solving
diharapkan dapat meningkatkan knowledge, afektif dan psikomotor peserta didik
dalam belajar matematika. Pengalaman belajar melalui problem solving dapat
memberi gambaran tentang bagaimana minat menjadi pendorong untuk
menguasai pengetahuan yang layak dan menimbulkan keingintahuan,
kepercayaan diri dan keterbukaan pikiran bagi peserta didik. Tugas guru adalah
membantu mengembangkan kemampuan peserta didik agar knowledge, afektif
dan psikomotor dapat berkembang dengan baik sehingga mereka mampu
menerapkan konsep-konsep matematika dalam kehidupan sehari-hari melalui
problem solving.

DAFTAR RUJUKAN

10
Djamarah, Syaiful Bahri. 2006. Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif.
Jakarta: Rineka Cipta.
Zahra, Azizah. 2017. Penerapan Metode Problem Solving dalam Pembelajaran
Matematika. (Online),
(https://www.kompasiana.com/azizahratunnisa/5996644e67121250b54080
654/penerapan-metode-problem-solving-dalam-pembelajaran-
matematika), diakses 28 Januari.
Perpustakaan Universitas Pendidikan Indonesia. Metode Pembelajaran Problem
Solving. (Online), (http://a-
research.upi.edu/operator/upload/s_pea_054444_chapter2(1).pdf), diakses
28 Januari.

As’ari, Abdur Rahman, dkk. 2014. Matematika SMP/MTs Kelas IX Semester 1.


Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

11

Anda mungkin juga menyukai