Anda di halaman 1dari 25

1

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang


Kota Semarang merupakan ibukota Propinsi Jawa Tengah. Sebagai ibukota
propinsi, Kota Semarang menjadi parameter kemajuan kota-kota lain di Propinsi
Jawa Tengah. Penggunaan lahan di Kota Semarang dari tahun ketahun mengalami
perubahan yang mengarah dari pertanian menjadi non pertanian. Selain itu, wilayah
Kota Semarang yang sering dilanda banjir rob atau banjir yang disebabkan oleh
luapan air laut mengakibatkan wilayah yang cepat berubah. Ketersediaan data yang
akurat mengenai penutupan lahan sangat penting untuk dijadikan sebagai dasar
dalam pengambilan keputusan. Salah satu sarana untuk menyediakan data penutupan
lahan adalah dengan memanfaatkan teknologi penginderaan jauh. Keuntungan
penggunaan inderaja daripada cara terestris adalah penyediaan data yang lebih cepat
dan relatif lebih murah serta dapat diperbaiki (update) secara periodik.
Indonesia telah memanfaatkan citra penginderaan jauh, khususnya citra optik
yang digunakan untuk melakukan pemantauan perubahan tutupan lahan. Wilayah
Indonesia yang berada pada daerah tropis menjadi salah satu kendala dalam
menggunakan data citra optik. Indonesia memiliki dua musim tiap tahunnya, yaitu
musim hujan dan musim kemarau. Pada musim hujan, awan menjadi kendala dalam
menggunakan data citra optik. Sedangkan pada musim kemarau, yang menjadi
kendala adalah asap yang disebabkan oleh kebakaran hutan dan lahan. Adanya awan
dan asap sangat mengganggu dalam proses identifikasi dan pemantauan obyek di
permukaan bumi, hal ini seringkali membuat informasi terbaru di bawah awan atau
asap tidak tersedia.
Untuk mengatasi kelemahan dari citra optik maka saat ini telah tersedia suatu
sistem penginderaan jauh aktif (radar). Radar memiliki kemampuan untuk
melakukan perekaman pada segala cuaca, baik pada siang atau malam hari, serta
mampu mengatasi kendala tutupan awan dan asap. Salah satu satelit yang membawa
sensor radar adalah satelit ALOS (Advanced Land Observing Satellite). Satelit ALOS
diluncurkan Pemerintah Jepang pada tanggal 24 Januari 2006 dengan membawa tiga

1
2

jenis sensor, yaitu PRISM (Panchromatik Remote-sensing Instrument for Stereo


Mapping), AVNIR-2 (Advanced Visible and Near Infrared Radiometer type-2),
PALSAR (Phased Array type L-band Synthetic Apeture Radar).
Citra ALOS PALSAR yang merupakan citra radar diperoleh dari hasil
perekaman pantulan balik gelombang mikro oleh obyek (Soenarmo, 2009). Data citra
ALOS PALSAR berisikan kenampakan tingkatan karakteristik backscatter dari
obyek di permukaan bumi (Soenarmo, 2009). Kelebihan dari citra ini adalah hasil
dari perekaman citra tersebut tidak dipengaruhi oleh kondisi cuaca atmosfer bumi
(kabut dan awan) dan waktu perekaman baik siang maupun malam. Dengan
mempertimbangkan kelebihan tersebut, diharapkan bahwa penggunaan citra ALOS
PALSAR dapat diterapkan pada pemantauan perubahan penutupan lahan yang
selama ini cenderung lebih banyak menggunakan citra dengan saluran tampak.
Citra radar pada umumnya direpresentasikan dalam bentuk grayscale sehingga
dalam proses klasifikasi untuk mendapatkan informasi tutupan lahan cenderung
menggunakan unsur tekstur sebagai unsur utama dalam proses interpretasi citra.
Proses tersebut dalam praktiknya membutuhkan waktu yang lama. Pada pengolahan
citra optik untuk mendapatkan informasi tutupan lahan, proses klasifikasi dilakukan
secara digital dengan mengidentifikasi obyek menggunakan nilai Digital Number
(DN). Proses klasifikasi digital tersebut membutuhkan waktu yang relatif lebih cepat
daripada klasifikasi secara manual yang diterapkan pada citra radar. Oleh karena itu,
dalam kajian ini akan mencoba proses pengolahan citra radar untuk identifikasi
tutupan lahan dengan menggunakan klasifikasi berbasis DN seperti halnya proses
klasifikasi yang diterapkan pada pengolahan citra optik.
Proses klasifikasi citra digital ALOS PALSAR berbasis digital number
setidaknya membutuhkan tiga saluran untuk dapat ditampilkan secara visual melalui
citra komposit. Citra ALOS PALSAR level 1.1 yang digunakan dalam penelitian ini
merupakan citra radar dengan tipe dual polarimetry. Data radar tipe ini terdiri dari
dua saluran dengan karakteristik polarisasi tipe HH dan HV. Dengan memanfaatkan
dua saluran yang dimiliki citra ALOS PALSAR maka dapat dibentuk citra komposit
untuk digunakan dalam proses klasifikasi untuk identifikasi tutupan lahan.
Pelaksanaan penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui kemampuan citra
ALOS PALSAR dalam mengidentifikasi tutupan lahan dengan menerapkan proses
3

klasifikasi digital berbasis digital number. Karena citra radar memiliki karakteristik
pola granular yang merupakan efek dari noise speckle, maka perlu ditentukan jenis
filter yang tepat untuk mereduksi noise speckle tersebut agar mempermudah proses
klasifikasi citra digital.

I.2. Perumusan Masalah


Citra radar dapat disusun sebagai citra komposit dengan memanfaatkan dua
tipe polarisasi. Hasil komposit citra tersebut masih menunjukkan pola granular, tidak
seperti citra optik pada umumnya sehingga dapat mempersulit proses klasifikasi citra
digital. Dari rumusan masalah tersebut dapat dikemukakan dua pertanyaan penelitian
sebagai berikut:
a. Bagaimanakah kemampuan citra komposit ALOS PALSAR untuk
menghasilkan tutupan lahan dengan klasifikasi berbasis Digital Number.
b. Bagaimanakan strategi pemrosesan citra komposit ALOS PALSAR untuk
menghasilkan tutupan lahan.

I.3. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah mengevaluasi kemampuan citra ALOS
PALSAR untuk pemetaan tutupan lahan melalui pemrosesan citra dengan berbasis
digital number dengan menerapkan penggunaan berbagai filter untuk menghasilkan
tutupan lahan.

I.4. Manfaat
Hasil kajian mengenai pemrosesan citra ALOS PALSAR untuk tutupan lahan
diharapkan dapat memberikan informasi bagi pengguna citra penginderaan jauh
mengenai kemampuan citra ALOS PALSAR dalam mengidentifikasi tutupan lahan
dengan prosedur pengolahan data citra optik. Selain itu, manfaat yang diharapkan
dari kajian ini adalah tersedianya informasi tutupan lahan Kota Semarang Propinsi
Jawa Tengah.
4

I.5. Batasan Masalah


Batasan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Pengolahan citra untuk menghasilkan informasi tutupan lahan dilakukan
dengan berbasis digital number (DN) dengan proses pengolahan citra
mengikuti tahapan seperti pengolahan citra optik.
2. Pada saat proses koreksi geometrik tidak dilakukan orthorektifikasi.
3. Pemilihan data GCP (Ground Control Point) dalam proses rektifikasi dan
penentuan training area dilakukan dengan menggunakan acuan peta Rupa
Bumi Indonesia.
4. Pemrosesan citra ALOS PALSAR menggunakan beberapa filter yang
tersedia dalam perangkat lunak ENVI 4.8. Filter yang digunakan antara lain
filter Lee, filter Frost, filter Gamma, dan filter Kuan dengan variasi ukuran
kernel sebesar 3x3 dan 9x9.
5. Skema klasifikasi mengacu pada Strandar Nasional Indonesia untuk
klasifikasi penutup lahan tahun 2010.
6. Uji akurasi hasil klasifikasi menggunakan acuan Peta RBI dengan beberapa
titik sampel yang dilakukan uji lapangan dan sebagian titik sampel lainnya
diidentifikasi dengan peta RBI dan citra Google Earth sebagai pendukung.
7. Menurut Julzarika (2010), citra ALOS PALSAR dapat digunakan untuk
pemetaan skala 1:30.000 atau lebih kecil. Dalam kajian ini, citra ALOS
PALSAR resolusi 12,5 m akan diaplikasikan dalam pembuatan peta
tutupan lahan Kota Semarang skala 1:150.000.

I.6. Tinjauan Pustaka


Arief (2010) menjelaskan bahwa klasifikasi terbimbing atau supervised
classification dengan pengambilan keputusan tetangga terdekat (nearest
neighborhood) adalah teknik yang telah banyak digunakan dalam remote sensing
untuk pengelompokkan tematik. Metode ini mempunyai keunggulan yaitu: prosesnya
cepat, memudahkan pengguna dalam menginterpretasi citra. Metode ini juga
mempunyai keterbatasan yaitu: menurunkan ketelitian citra. Berdasarkan hasil
perhitungan, penutup lahan (land cover) yang dapat diidentifikasi dari data satelit
ALOS tertanggal 10 Mei 2007 yaitu: man made object seluas 38.077,46 ha, lahan
5

terbuka seluas 13.985,47 ha, sedangkan vegetasi jarang dan rapat berturut-turut
seluas 42.988.47 ha dan 70.821,76 ha.
Hendrayanti (2008) menyatakan bahwa Citra ALOS PALSAR mampu
dikelaskan menjadi empat kelas tutupan lahan yang terdiri dari, tubuh air, vegetasi/
hutan biomassa tinggi, vegetasi/hutan biomassa rendah, dan lahan pertanian
sedangkan hasil klasifikasi terbimbing (Supervised Classification) citra Landsat 7
ETM+ menunjukan hasil yang lebih baik jika dibandingkan dengan ALOS PALSAR
dengan menghasilkan sembilan kategori tutupan lahan dapat diidentifikasi. Penelitian
tersebut masih menggunakan citra ALOS PALSAR dengan ketelitian rendah yaitu
200 m.
Riswanto (2009) mengevaluasi kemampuan citra ALOS PALSAR resolusi 200
m dalam klasifikasi tutupan lahan skala regional di Pulau Kalimantan. Penelitian
tersebut menyatakan bahwa citra ALOS PALSAR mampu membedakan obyek
secara baik di permukaan bumi dalam empat kelas penutupan lahan yaitu badan air,
vegetasi jarang, vegetasi sedang dan vegetasi rapat dengan separabilitas rata-rata
1973,84. Akurasi klasifikasi citra ALOS PALSAR dengan menggunakan metode
klasifikasi terbimbing (Supervised Classification) adalah 88,21%. Klasifikasi
tersebut menghasilkan luas penutupan lahan berupa badan air di Kalimantan adalah
384.719 ha atau 0,71%. Selanjutnya, luas penutupan lahan berupa vegetasi jarang
adalah 11.459.400 ha atau 21,33%. Sementara itu, luas penutupan lahan berupa
vegetasi sedang sebesar 5.070.008 ha atau 9,44%. Sedangkan luas penutupan lahan
berupa vegetasi rapat adalah sebesar 36.806.058 ha atau 68,52%.
Nurhadiatin (2011) mengevaluasi kemampuan citra ALOS PALSAR resolusi
50 m dan 12,5 m dalam mengidentifikasi tutupan lahan di Kabupaten Brebes,
Cilacap, Ciamis dan Banyumas. Dalam penelitian ini menyebutkan bahwa hasil
penafsiran dengan menggunakan nilai digital citra ALOS PALSAR resolusi 50 m
dan 12,5 m sama-sama menghasilkan lima kelas tutupan lahan yaitu badan air,
vegetasi pohon, kebun campuran, pemukiman dan sawah dengan proportion correct
sebesar 0,642 atau 64,2% untuk citra resolusi 50 m dan 0,650 atau 65% untuk citra
resolusi 12,5 m. Secara visual citra ALOS PALSAR resolusi 50 m dan 12,5 dapat
membedakan sembilan kelas tutupan lahan yaitu badan air, hutan tanaman sedang-
tua, perkebunan karet muda, sawah bervegetasi, sawah diolah/ digenangi air dan
6

pemukiman dengan nilai overall accuracy sebesar 67,57% dan Kappa accuracy
sebesar 63,52% untuk citra resolusi 50 m serta nilai overall accuracy sebesar 67,57%
dan Kappa accuracy sebesar 63,52% untuk citra resolusi 12,5 m.
Karmani (2012) mengidentifikasi mangrove pada citra ALOS PALSAR level
1.0 dan citra Landsat 7 ETM+ dengan wilayah kajian Suaka Margasatwa Sembilang,
Banyuasin. Dari hasil identifikasi mangrove yang diperoleh kemudian dilakukan
perbandingan hasil pada kedua citra tersebut. Dalam penelitian ini menyebutkan
bahwa hasil identifikasi mangrove dengan akurasi tertinggi diperoleh dari
pengolahan citra ALOS PALSAR dengan kombinasi DEM SRTM dibanding
pengolahan citra Landsat 7 ETM+ ataupun citra ALOS PALSAR dengan berbagai
tipe filterisasi. Hasil identifikasi mangrove Suaka Margasatwa Sembilang dengan
pengolahan citra ALOS PALSAR dengan kombinasi DEM SRTM berupa nilai
luasan sebesar 893,4552 km2 dengan user accuracy sebesar 92,45 %, sedangkan
klasifikasi digital citra Landsat 7 ETM+ menghasilkan nilai luas mangrove sebesar
909,5526 km2 dengan user accuracy sebesar 86,54 %. Hasil lainnya berupa nilai
estimasi biomassa mangrove Suaka Margasatwa Sembilang melalui pengolahan citra
ALOS PALSAR dan DEM SRTM sebesar 164,7226 ton/ha sedangkan pengolahan
citra Landsat 7 ETM+ sebesar 109,0356 ton/ha.

I.7. Landasan Teori


I.7.1. Penginderaan Jauh Sistem Radar
1.7.1.1. Penginderaan jauh. Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk
memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah, atau fenomena melalui analisis
data yang diperoleh dengan alat tertentu tanpa kontak langsung dengan obyek,
daerah, atau fenomena yang dikaji (Lillesand, 1990). Penginderaan jauh sebagai
sumber data spasial memberikan kemudahan baik dari segi waktu, tenaga, dan biaya
bagi penggunanya. Apalagi jika data yang dibutuhkan mencakup wilayah yang luas,
penginderaan jauh menjadi alternatif pilihan terbaik untuk penyediaan data.
Saat ini teknologi penginderaan jauh sudah berkembang pesat dan banyak
digunakan baik pemerintah, peneliti, kalangan akademik, sampai komersil. Dengan
menggunakan satelit maka akan memungkinkan untuk memonitor daerah yang sulit
dijangkau dengan metode dan wahana yang lain. Satelit dengan orbit tertentu dapat
7

memonitor seluruh permukaan bumi. Satelit-satelit yang digunakan dalam


penginderaan jauh terdiri dari satelit lingkungan, cuaca, dan sumberdaya alam.
1.7.1.2. Penginderaan jauh sensor aktif dan pasif. Sensor penginderaan jauh
akan menangkap gelombang pantulan balik dari obyek dan merekam nilai intensitas
gelombang balik tersebut. Sistem sensor adalah sistem rangkaian yang digunakan
dalam pemanfaatan gelombang elektromagnetik pantul dan pancar dalam
memperoleh data/informasi suatu obyek (Soenarmo, 2009). Secara umum, sistem
sensor penginderaan jauh dibagi dalam dua tipe, yaitu:
1. Penginderaan jauh sensor aktif adalah sistem penginderaan jauh yang
memanfaatkan gelombang yang ditransmisikan oleh sensor yang kemudian
ditangkap kembali oleh sensor setelah dipantulkan oleh obyek di permukaan bumi.
Citra dengan sistem penginderaan jauh sensor aktif diantaranya adalah ALOS
PALSAR (Advanced Land Observing Satellite Phased Array type L-band Synthetic
Aperture Radar), ERS (Earth Resources Satellite), dan citra RADARSAT (Radio
Detection And Ranging Satelit).
2. Penginderaan jauh sensor pasif merupakan sistem penginderaan jauh yang
merekam pantulan gelombang dengan sumber energi yang berasal dari matahari atau
obyek itu sendiri. Citra dari hasil penginderaan jauh dengan sensor pasif diantaranya
adalah Landsat (Land Satellite), QUICK BIRD, dan SPOT (Sisteme Probatoire
d’Observation de la Terre).
1.7.1.3. Dasar sistem radar. RADAR merupakan singkatan dari Radio
Detection And Ranging. Radar termasuk penginderaan jauh gelombang mikro aktif,
yaitu penginderaan jauh dimana sensornya menyediakan energi atau cahayanya
sendiri. Radar merupakan alat yang menggunakan gelombang radio untuk
mendeteksi keberadaan serta menentukan posisi suatu obyek (Lillesand, 1990).
Proses yang termasuk di dalamnya antara lain mengirimkan pulsa energi gelombang
mikro pada obyek yang diinginkan dan merekam kekuatan dan asal pantulan yang
diterima oleh obyek di dalam area pencitraan. Kanal-kanal yang umum digunakan
pada satelit radar disajikan pada Tabel I.1.
8

Tabel I.1. Kanal-kanal pada satelit radar


Panjang
Kanal Frekuensi Contoh Satelit dan Apikasinya
Gelombang (cm)
Satelit CCRS CV-580 SAR, untuk pertanian,
kehutanan, geologi, mendeteksi gunung es,
X 2,4 – 3,8 12,5 – 8 GHz
gelombang dan arus laut, mendeteksi lapisan
minyak, banjir dan kebakaran
ERS, untuk angin permukaan laut, suhu
permukaan laut, tinggi gelombang, arus internal,
C 3,8 – 7,5 8 – 4 GHz topografi laut. RADARSAT untuk oseanografi,
kandungan kelembaban vegetasi, bencana alam,
tata guna lahan.
S 7,5 – 15 4 – 2 GHz Survei lapangan komersial dan pemetaan.
Satelit SEASAT, untuk angin permukaan laut,
suhu permukaan laut, arus internal dan topografi
aut. JERS-1 dan ALOS PALSAR untuk sumber
L 15 – 30 2 – 1 GHz
daya alam, geologi, pertanian, kehutanan, tata
guna lahan, deteksi es di laut, pemantauan
fenomena laut.
P 75 – 133 225 – 400 MHz Satelit NASA JPL AirSAR, untuk fenomena
oseanografi, geologi, kehutanan, hidrologi, dan
arkeologi.
(Sumber: Hamzah, 2004)

Sistem radar mempunyai tiga fungsi utama, yaitu: (1) mengirim sinyal
gelombang mikro ke suatu obyek/ target, (2) menerima energi transmisi hamburan
balik dari obyek/ target, (3) mengamati kekuatan/ energi (deteksi) dan waktu jeda
(ranging) dari sinyal balik. Radar yang bersifat imaging disebut juga Synthetic
Aperture Radar (SAR). Kelebihan-kelebihan radar antara lain bebas dari gangguan
yang terjadi di atmosfer, seperti awan, asap dan hujan dan dapat mencitra pada siang
hari maupun malam hari.
1.7.1.4. Parameter sistem radar. Parameter sistem radar terdiri dari polarisasi,
frekuensi, resolusi, dan geometri citra radar. Berikut ini akan dijelaskan lebih lanjut
mengenai parameter sistem radar.
1. Polarisasi. Polarisasi merupakan orientasi medan elektrik dan magnetik
gelombang elektromagnetik. Sistem radar dapat disusun untuk mengirim dan
menerima radiasi elektromagnetik baik secara horizontal maupun vertikal. Ada 2
jenis polarisasi (GlobeSAR, et al dalam Hamzah, 2004), yaitu:
a. Polarisasi yang energinya dikirim dan diterima pada bidang polarisasi yang
sama. Polarisasi ini ada dua jenis, yaitu HH dimana energi ditransmisi
9

secara horizontal dan diterima secara horizontal dan VV dimana energi


ditransmisi secara vertikal dan diterima secara vertikal.
b. Polarisasi yang energinya ditransmisi dan diterima berbeda pada bidang
polarisasi yang berbeda, atau disebut juga polarisasi silang. Polarisasi jenis
ini ada dua macam yaitu, HV dimana energi ditransmisi secara horizontal
dan diterima secara vertikal dan VH dimana energi ditransmisi secara
vertikal dan diterima secara horizontal.
2. Frekuensi. Frekuensi radar menentukan kedalaman penetrasi gelombang
untuk target yang diindera dan kekasaran relatif permukaan. Kedalaman penetrasi
cenderung lebih dalam dengan panjang gelombang yang lebih panjang. Penginderaan
jauh radar menggunakan frekuensi dengan kisaran antara 0,3 GHz sampai 300 GHz
atau panjang gelombang 1 m sampai 0,001 m (Hamzah, 2004).
3. Resolusi. Resolusi adalah ukuran suatu kemampuan sistem untuk
membedakan bentuk individual pada suatu scene. SAR mempunyai dua dimensi pada
resolusi sensornya, yaitu resolusi jangkauan (range) dan resolusi azimut. Resolusi
jangkauan ditentukan oleh sistem dan prosesor pada radar yang berpengaruh pada
jangkauan miring (slant range). Resolusi jangkauan dipengaruhi oleh panjang pulsa.
Resolusi azimut ditentukan oleh lebar beam angular dari bidang permukaan bumi
yang terindera oleh beam radar. Untuk dua obyek yang terpisah maka kedua obyek
tersebut harus dipisahkan pada arah azimut dengan jarak yang lebih besar dari pada
lebar beam di permukaan bumi.
4. Geometri citra radar. Sensor pada radar cenderung mengindera ke bawah
pada satu sisi bidang orbit. Ini disebut juga pandangan miring (oblique perspective).
Slant range adalah garis lihat antara radar dan setiap elemen pada permukaan bumi
yang dipantulkan. Istilah slant range dapat juga diartikan sebagai jarak dari satelit ke
permukaan bumi dari arah lihat. Garis ini diukur dalam satuan waktu dari saat sinyal
pertama kali ditransmisi sampai saat dikembalikan ke sensor. Ground range
merupakan jarak pada permukaan bumi yang direpresentasikan oleh citra. Slant
range dapat dihitung dengan persamaan berikut:
SR = ................................................................................ (I.1)

dengan: SR = Slant range (jarak langsung antara transmitter dan obyek)


10

c = kecepatan cahaya (3 x 108 m/s)


t = beda waktu antara pulsa transmisi dan penerimaan echo
(faktor 2 karena waktu dihitung untuk perjalanan pulsa ke dan dari target)
Prosesor SAR diharuskan membuat konversi geometrik yang dibutuhkan dari
slant range ke ground range. Parameter utama untuk konversi slant range ke ground
range adalah sudut jatuh (incidence angle). Sudut jatuh merupakan sudut antara
cahaya iluminasi radar dan permukaan bumi. Sudut jatuh tergantung dari tinggi
satelit radar dari permukaan bumi. Sudut ini akan berubah dari near range ke far
range dimana perubahan ini mempengaruhi geometri citra radar. Sudut jatuh ini
ditentukan oleh sistem radar itu sendiri dan sudut jatuh lokal (Gambar I.2)

Gambar I.1. Geometri citra radar (GlobeSAR, et al dalam Hamzah, 2004)

Sudut jatuh lokal (local incidence angle) berkaitan dengan kemiringan lokal
dari obyek pada lokasi di dalam citra. Sudut jatuh tergantung pada daerah lokal dan
parameter radar. Sudut jatuh lokal merupakan salah satu faktor yang menentukan
kecerahan citra atau warna tiap piksel. Sudut depresi (depression angle) merupakan
sudut antara bidang horizontal dan garis yang menghubungkan sensor radar dan
obyek yang diindera.
5. Efek bayangan (Shadowing). Efek bayangan terjadi bila obyek vertikal
mengaburkan obyek yang lebih kecil pada saat diindera oleh sensor (Gambar I.2).
Efek bayangan pada citra radar menunjukkan daerah-daerah di permukaan bumi
yang tidak terkena cahaya oleh radar. Karena tidak ada sinyal pengembalian yang
diterima maka efek bayangan terlihat sangat gelap pada citra radar. Efek bayangan
terjadi pada arah down-range di belakang obyek yang tinggi.
11

Gambar I.2. Shadowing (GlobeSAR, et al dalam Hamzah, 2004)

Karena sudut jatuh meningkat dari near range ke far range, iluminasi obyek
menjadi lebih miring, sehingga efek bayangan menjadi lebih mencolok pada far
range. Efek bayangan sering menjadi indikator dari mana iluminasi radar berasal.
Efek bayangan pada radar berisi informasi tentang radar, misalnya system noise dan
dapat berguna pada detil citra, analisis sistem dan tinggi obyek.
6. Efek pemendekan lereng depan (Foreshortening). Pemendekan lereng ke
depan pada citra radar adalah kenampakan pemendekan dari obyek-obyek di citra
yang miring ke depan (Gambar I.3). Efek ini akan menyebabkan obyek terlihat lebih
kecil dari ukuran sebenarnya. Pemendekan lereng ke depan menyebabkan
kemiringan yang terkena pengaruh akan tampak lebih cerah pada citra. Efek ini akan
maksimum bila kemiringan tajam ortogonal terhadap bim radar, atau sudut jatuh
lokal nol, sehingga dasar, kemiringan dan puncak terindera secara bersamaan dan
menempati tempat yang sama pada citra.

Gambar I.3. Foreshortening (GlobeSAR, et al dalam Hamzah, 2004)


12

7. Efek rebah ke dalam (Layover). Efek ini terjadi bila energi yang dipantulkan
dari bagian lebih tinggi suatu obyek diterima oleh sensor sebelum pengembalian
sinyal dari bagian rendah dari obyek (Gambar I.4). Efek ini akan menyebabkan suatu
obyek menumpuk obyek lain yang lebih dekat ke sensor (terjadi lebih sering pada
near range). Puncak dari suatu obyek akan digantikan atau ditumpuk relatif terhadap
dasarnya bila diproses ke dalam suatu citra. Pada umumnya efek rebah ke dalam
lazim terjadi pada sudut jatuh yang kecil.

Gambar I.4. Layover (GlobeSAR, et al dalam Hamzah, 2004)

Hubungan antara pemendekan lereng depan (foreshortening) dengan efek


rebah ke dalam (layover) pada pencitraan radar adalah sebagai berikut:
1. Bila sudut kemiringan yang menghadap radar lebih kecil dari sudut jatuh
bim radar, maka pemendekan lereng depan terjadi.
2. Bila kedua sudut yang disebutkan di atas sama besar, puncak dan dasar
obyek akan menempati posisi jangkauan miring (slant range) yang sama,
sehingga posisi pada citra akan sama. Pada kasus ini pemendekan lereng
depan mencapai maksimum.
3. Bila sudut kemiringan yang menghadap radar lebih besar daripada sudut
jatuh bim radar, efek rebah ke dalam akan terjadi.
1.7.1.5. Parameter target radar. Besarnya energi radar yang diterima
dipengaruhi oleh beberapa parameter, antara lain:
1. Kekasaran Permukaan. Kekasaran permukaan dari pantulan target ditentukan
oleh hubungan antara panjang gelombang radar dengan sudut jatuh (Gambar I.3).
13

Permukaan halus akan memantulkan energi menjauhi sensor, sedangkan permukaan


yang lebih kasar akan mengembalikan energi ke berbagai arah.

Gambar I.5. Jenis hamburan permukaan (a) permukaan halus atau hamburan spekular
(b) permukaan sedang (c) permukaan kasar (Robinson, 1985 dalam Hamzah, 2004)

Permukaan yang kasar akan terlihat cerah pada citra radar dibandingkan
dengan permukaan yang lebih halus. Umumnya, permukaan dianggap halus bila
variasi tingginya lebih kecil dibandingkan panjang gelombang radar. Pada panjang
gelombang single, permukaan lebih halus sebanding dengan meningkatnya sudut
jatuh. Pada permukaan dianggap kasar bila mempunyai variasi tinggi sekitar
setengah dari panjang gelombang radar.
2. Konstanta dielektrik. Kekasaran permukaan adalah faktor yang berhubungan
dengan kelembaban. Kelembaban dapat memperbesar konstanta dielektrik kompleks
suatu material. Konstanta dielektrik mempengaruhi kemampuan material untuk
menyerap, memantulkan dan mengirimkan energi gelombang mikro. Kekuatan
pantulan dan kecerahan pada hampir semua vegetasi alami dan permukaan makin
tinggi dengan kelembaban yang makin tinggi juga.
3. Sudut Jatuh telah dijelaskan pada sub bab 1.7.3.2 dalam geometri citra radar.
4. Hamburan Permukaan (Surface Scattering). Pada citra radar ada dua jenis
pantulan permukaan, yaitu hamburan tersebar dan hamburan diskret (Gambar I.4).
Hamburan tersebar terdapat pada hampir seluruh obyek alami, sedangkan hamburan
diskret terdapat pada obyek dengan bentuk geometris yang relatif sederhana, seperti
bangunan. Hamburan diskret banyak diwakili oleh pantulan sudut.
14

Gambar I.6. Pantulan pada berbagai jenis permukaan (a), (b) hamburan tersebar (c)
hamburan diskret (Lillesand, 1990)

Pantulan sudut ada dua jenis, yaitu pantulan sudut dihedral dan pantulan sudut
trihedral. Pantulan sudut dihedral terjadi bila dua permukaan terbentuk pada sudut
yang benar dan terbuka ke arah radar. Sinyal pengembalian pantulan sudut dihedral
kuat hanya bila permukaan pantulan hampir tegak lurus arah iluminasi. Pantulan
paling besar dihasilkan oleh pantulan sudut trihedral. Pantulan jenis ini terbentuk
oleh pertemuan tiga permukaan datar yang sama tegak lurus dan terbuka ke arah
radar. Pantulan sudut akan memberikan rona yang lebih terang pada suatu obyek di
citra radar.
5. Hamburan Volume (volume scattering). Hamburan volume berhubungan
dengan proses hamburan multipel pada suatu medium. Tipe hamburan ini dapat
terjadi di kanopi vegetasi di hutan, lapisan tanah yang sangat kering, pasir, atau es.
6. Teori Hamburan Resonansi Bragg. Teori ini diterapkan pada obyek
permukaan laut. Sudut jatuh pada SAR adalah miring terhadap sudut rata-rata lokal
permukaan laut, oleh karena itu hampir tidak ada pantulan spekuler langsung kecuali
pada kondisi laut tinggi. Menurut pernyataan tersebut, resonansi Bragg antara radar
dan gelombang laut diasumsikan sebagai mekanisme utama untuk pulsa hamburan
balik radar.

I.7.2. Citra ALOS PALSAR


ALOS (Advanced Land Observing Satellite) adalah satelit penginderaan jauh
milik Jepang yang merupakan satelit generasi lanjutan dari JERS-1 (Japanese Earth
Resources Satellite-1) dan ADEOS (Advanced Earth Observing Satellite). Satelit
15

ALOS diluncurkan pada tanggal 24 Januari 2006 dengan menggunakan roket H-IIA
milik Jepang dari stasiun peluncuran Tanegasima Spaca Center, Jepang bagian
selatan (JAXA, 2013). Periode orbit satelit untuk kembali pada satu titik tertentu
adalah 46 hari dengan ketinggian orbit 691 km. Karakteristik satelit ALOS secara
lebih rinci disajikan pada Tabel I.2.

Tabel I.2. Karakteristik satelit ALOS


Item Characteristic
Orbit Sun synchronous, Sub recurrent
Equator pass time ~10,30 m (desc); ~22,30 (asc.)
Altitude 691,65 km
Inclination 98,16 deg
Recurrence cycle 46 days
14+ 27/46 rev./day; 671 rev./cycle
Orbital control +/- 2,5 km (at equator)
GPS orbital position accuracy 1 m (off-line)
Star Tracker attitude 0,0002 deg (off-line)
determination accuracy (~2,5 m on the ground)
Attitude stability 0,0004 deg/ 5 sec
Time accuracy (abs.) 1 ms
High-speed Solid State Capacity: 96 Gbytes
Recorder (HSSR) Data rate (max):
360 Mbps (recording)
240 Mbps (playback)
Data transmission
Ka-band antenna 240 Mbps (via DRTS)
X-band antenna 120 Mbps (direct GS down-link)
Solar Array Paddle 3 m x 22 m, 9 segments
Generated power >7kW at EOL
Total weight 4000 kg
(Sumber: Rosenqvist et al, 2004)

Satelit ALOS dilengkapi dengan tiga instrumen penginderaan jauh yaitu


Panchromatik Remote-sensing Instrument for Stereo Mapping (PRISM) dengan
resolusi along track 2,5 meter, Advanced Visible and Near Infrared Radiometer type-
2 (AVNIR-2) dengan resolusi 10 meter, dan Phased-Array type L-band Synthetic
Apeture Radar (PALSAR). Untuk dapat bekerja dengan ketiga jenis sensor di atas,
ALOS dilengkapi dengan dua teknologi yang lebih maju. Pertama teknologi yang
mampu mengerjakan data dalam kapasitas yang sangat besar dengan kecepatan
tinggi, dan selanjutnya kapasitas untuk menentukan posisi satelit dengan ketinggian
yang lebih tepat. Peluncuran satelit ALOS ditujukan untuk memberikan kontribusi
16

terhadap aplikasi kartografi, pengamatan regional, pemantauan bencana alam, dan


penelitian sumber daya alam.
Sensor PALSAR merupakan sensor geombang mikro aktif yang bekerja pada
frekuensi Band L. Sensor PALSAR dapat melakukan observasi siang dan malam
serta mempunyai kemampuan untuk menembus awan sehingga informasi permukaan
bumi dapat diperoleh setiap saat tanpa terpengaruh kondisi cuaca. Sensor PALSAR
yang dipasang pada satelit ALOS merupakan pengembangan lebih lanjut dari sensor
SAR yang dibawa oleh satelit pendahulunya JERS-1. PALSAR dioperasikan dalam
tiga mode polarimetri yaitu single polarisation (HH atau VV), dual polarisation
(HH+HV atau VV+VH), dan full polarimetry (HH+HV+VH+VV). Karakteristik
observasi PALSAR diilustrasikan pada gambar I.5.

Gambar I.7. Karakteristik observasi PALSAR (JAXA, 2013)

Data PALSAR dapat digunakan untuk pembuatan DEM, interferometri untuk


mendapatkan pergeseran tanah, kandungan biomassa, monitoring kehutanan,
pertanian, tumpahan minyak (oil spill), kelembaban tanah, mineral, dan lain-lain.
Produk standar ALOS PALSAR terdiri dari beberapa level. Level 1.0 merupakan
data yang belum dalam format SLC (single look complex). SLC merupakan tipe data
citra radar yang merupakan kompresi dari raw data terhadap matriks karakteristik
backscater. Pada data level 1.0, susunan data sinyal belum dipadatkan dan dilengkapi
dengan koefisien kalibrasi radiometrik dan koreksi geometrik dalam mode
polarimetri dengan data polarimetri yang dipisahkan. Level 1.1 merupakan data yang
17

sudah dikalibrasi secara radiometrik pada masukan sensor serta sudah dalam format
SLC. Level 1.5 dari citra ALOS PALSAR merupakan data yang sudah dikoreksi
geometrik secara sistematik atau dengan kata lain telah siap digunakan untuk
berbagai aplikasi penginderaan jauh. Karakteristik berbagai mode observasi ALOS
PALSAR secara ringkasnya dapat dilihat pada Tabel I.3.

Tabel I.3. Karakteristik citra ALOS PALSAR berbagai mode


Polarimetric
Mode Fine ScanSAR (Experimental
mode)*1
Center
1270 Mhz (L-Band)
Frekuensi
Chirp 14 MHz,
28 MHz 14 MHz 14 MHz
Bandwidth 28 MHz
HH+HV atau
Polarization HH atau VV HH atau VV HH+HV+VH+VV
VV+VH
Incidence
8 to 60 deg. 8 to 60 deg. 18 to 43 deg. 8 to 30 deg.
angle
Range 100 m
7 to 44 m 14 to 88 m 24 to 89 m
Resolution (multi look)
Observation
40 to 70 km 40 to 70 km 250 – 350 km 20 to 65 km
Swath
Bit Length 5 bits 5 bits 5 bits 3 or bits
120 Mbps,
Data rate 240 Mbps 240 Mbps 240 Mbps
240 Mbps
NE sigma <- 23 dB (Swath Width 70 km)
<- 25 dB <- 29 dB
zero *2 <- 25 dB (Swath Width 60 km)
<- 16 dB (Swath Width 70 km)
S/ A *2, *3 <- 21 dB <- 19 dB
<- 21 dB (Swath Width 60 km)
Radiometrik
Scene: 1 dB/ orbit: 1,5 dB
accuracy
(Sumber: JAXA, 2013)

I.7.3. Pengolahan citra


Pengolahan citra dilakukan untuk mendapatkan informasi yang diperlukan dari
suatu data penginderaan jauh sesuai dengan tujuan yang diinginkan. Pada penelitian
ini, pengolahan citra digital diperlukan untuk mendapatan informasi berupa penutup
lahan pada area penelitian. Adapun tahapan-tahapan pengolahan citra secara digital
akan diuraikan pada sub-bab berikutnya.
I.7.3.1. Koreksi radiometrik. Koreksi radiometrik citra merupakan suatu
koreksi yang digunakan untuk membuat kualitas citra menjadi lebih baik secara
visual, numerik, maupun secara digital. Koreksi radiometrik ditujukan untuk
18

memperbaiki nilai piksel supaya sesuai dengan obyek yang seharusnya. Pada
umumnya, koreksi radiometrik mempertimbangkan faktor gangguan atmosfer
sebagai sumber kesalahan utama. Efek atmosfer menyebabkan nilai pantulan obyek
di permukaan bumi yang terekam oleh sensor menjadi bukan merupakan nilai
aslinya, tetapi menjadi lebih besar oleh karena adanya hamburan atau lebih kecil
karena proses serapan. Citra yang perlu dikoreksi radiometrik pada umumnya nilai
digital number terendahnya melebihi nol. Nilai lebih tersebut dihitung sebagai nilai
offset dan nilai tersebut merupakan besarnya pengaruh gangguan atmosfer (Djurdjani
dan Kartini, 2004).
I.7.3.2. Koreksi geometrik (rektifikasi). Citra yang digunakan dalam
pemrosesan data biasanya belum terkoreksi secara geometrik, sehingga perlu
dilakukan koreksi geometrik terlebih dahulu. Koreksi geometrik dilakukan agar citra
mempunyai koordinat sama dengan peta dengan datum World Geodetic System 1984
(WGS ‘84) serta sistem koordinat Universal Transverse Mercator (UTM). Acuan
yang digunakan dalam proses rektifikasi dapat dibedakan atas: (1) rektifikasi citra ke
citra (image to image retification) dan (2) rektifikasi citra ke peta (image to map
rectification). Resampling merupakan suatu proses transformasi citra dengan
memberikan nilai piksel terkoreksi. Pelaksanaan resampling dilakukan dengan proses
transformasi dari suatu sistem koordinat ke sistem koordinat yang lain (Jaya, 2007).
Tahap-tahap melakukan koreksi geometrik terdiri dari tiga prosedur berikut ini:
a. Memilih titik kontrol lapangan (Ground Control Point) pada citra dengan
syarat tersebar merata di seluruh citra, relatif permanen dan tidak berubah
dalam kurun waktu pendek (misal: jalan, jembatan, sudut bangunan, dan
sebagainya).
b. Membuat persamaan transformasi yang digunakan untuk melakukan
interpolasi spasial. Persamaan ini umumnya berupa persamaan polinomial
baik orde 1, 2, dan 3.
c. Menghitung kesalahan RMSE (Root Mean Squared Error) dari GCP yang
terpilih. Nilai RMSE tidak boleh lebih dari 0.5 piksel.

RMS error = ............................................. (I.2)


19

Keterangan :
pi = nilai piksel prediksi yang dihasilkan pada citra.
ai = nilai piksel yang dihasilkan pada citra acuan (base image)
n = jumlah titik kontrol tanah.
I.7.4.3. Band Ratio. Band Ratio adalah salah satu metode perhitungan
matematis nilai spektral citra multi saluran. Band Ratio dihitung dengan persamaan
pembagian dari nilai spektral citra setelah citra teregistrasi (Putra, 2010). Persamaan
matematis metode ini adalah sebagai berikut (Putra, 2010):
DNf = DN1 / DN2 ............................................................... (I.3)
Keterangan:
DNf = nilai digital number citra baru hasil band ratio
DN1 = digital number dari citra pertama
DN2 = digital number dari citra kedua
Band ratio sering kali digunakan untuk mentransformasi nilai spektral dari dua
saluran untuk keperluan tertentu. Jhonnerie dkk (2006) dalam Karmani (2012)
mengungkapkan bahwa proses ini merupakan metode transformasi yang umum
dikenal dalam pemrosesan data penginderaan jauh. Hal ini dikarenakan perbedaan
nilai spektral pada permukaan yang berbeda akan memperjelas tampilan obyek dan
dapat mengurangi efek variasi topografi.
I.7.3.4. Cropping (Pemotongan citra). Cropping citra merupakan tahapan
pemrosesan penginderaan jauh pada citra berupa pemotongan citra dari sebuah scene
citra penuh yang mencakup area yang dibutuhkan untuk pemrosesan citra lebih
lanjut. Hal ini bertujuan untuk membatasi daerah penelitian yang dilakukan sehingga
dapat memfokuskan perhatian pada area yang dikaji sesuai dengan kebutuhan
penelitian. Selain itu, cropping citra dapat meringankan beban komputer dalam
proses pengolahan data selanjutnya serta menghemat kapasitas penyimpanan hasil
karena pemrosesan tidak dilakukan pada seluruh area dalam citra yang memiliki
memory size penyimpanan yang cukup besar.
I.7.3.5. Mosaik. Mosaik (Mosaic) merupakan suatu proses penggabungan dari
beberapa citra secara bersama membentuk satu kesatuan (1 lembar) peta atau citra
yang kohesif (kontrasnya konsisten, teroganisir, solid, dan koordinatnya
terinterkoneksi) (Jaya, 2007).
20

Proses mosaik ini diterapkan pada peta rupa bumi untuk mendapatkan peta
Kota Semarang dalam satu kesatuan yang utuh mengingat wilayah Kota Semarang
terbagi ke dalam empat lembar peta rupa bumi. Hasil mosaik peta rupa bumi ini akan
digunakan sebagai acuan koreksi geometri cita ALOS PALSAR.
I.7.3.6. Filterisasi citra radar. Salah satu karakteristik citra SAR adalah
timbulnya noise speckle, yang tampak sebagai tekstur bintik-bintik terang-gelap yang
terdistribusi secara random dalam citra. Noise tersebut timbul akibat interferensi
konstruktif dan destruktif diantara sinyal-sinyal hamburan balik dari berbagai obyek
secara random dalam suatu sel/ area tertentu (resolution cell) yang disinarinya
(Wahyudi, 2010). Salah satu cara untuk mereduksi noise tersebut adalah melalui
proses speckle filtering dengan menggunakan beberapa algoritma pemfilteran.
Filtering dilakukan untuk mengekstraksi bagian data tertentu dari suatu
himpunan data dengan menghilangkan bagian-bagian yang tidak diinginkan.
Filtering sangat efektif digunakan untuk mengurangi speckle (noise) yang menjadi
salah satu masalah pada pengolahan citra radar, karena hal ini dapat menyebabkan
kesalahan informasi yang diperoleh. Filter yang digunakan, diharapkan mampu
menghilangkan speckle pada daerah yang homogen dan dalam daerah heterogen,
selain menghilangkan speckle juga mampu mempertahankan serta meningkatkan
informasi tersebut. Filter dioperasikan pada berbagai ukuran jendela piksel (kernel
size) yang akan dihitung satu nilai yang mewakili luasan piksel tersebut. Semakin
besar kernel size yang diterapkan maka akan menghasilkan citra yang semakin halus.
Filter yang digunakan untuk menghilangkan noise speckle pada citra radar
antara lain:
1. Filter Lee, digunakan untuk menghaluskan noise (bintik) pada data yang
memiliki intensitas yang berhubungan dengan citra dan juga memiliki komponen
aditif dan/ atau multiplikatif. Filterisasi Lee merupakan filter yang berbasis standar
deviasi (sigma) yang menyaring data berdasarkan hitungan statistik dalam jendela
filter secara individu. Tidak seperti filter jenis low-pass filter, filter Lee dan filter
lainnya yang menggunakan sigma, mempertahankan ketajaman gambar dan detail
sekaligus menekan noise. Pixel yang disaring digantikan oleh nilai yang dihitung
dengan menggunakan piksel sekitarnya.
21

2. Filter Frost, digunakan untuk mengurangi noise dengan mempertahankan


tepi dalam citra radar. Filter Frost merupakan filter yang secara simetris sirkuler
teredam secara eksponensial dengan menggunakan statistik lokal. Piksel yang
disaring diganti dengan nilai yang dihitung berdasarkan jarak dari pusat filter, faktor
redaman, dan varian lokal.
3. Filter Gamma, digunakan untuk mengurangi noise dengan mempertahankan
tepi dalam citra radar. Filter Gamma mirip dengan filter Kuan tetapi diasumsikan
bahwa data memiliki distribusi gamma. Piksel yang disaring diganti dengan nilai
yang dihitung berdasarkan statistik lokal.
4. Filter Kuan, digunakan untuk mengurangi noise dengan mempertahankan
tepi dalam citra radar. Filter ini mengubah model noise multiplikatif dalam model
noise aditif. Filter ini mirip dengan filter Lee tetapi menggunakan fungsi pembobotan
yang berbeda. Piksel yang disaring diganti dengan nilai yang dihitung berdasarkan
statistik lokal (Help file ENVI 4.8).
I.7.3.7. Klasifikasi Citra. Klasifikasi citra digital dapat diartikan sebagai cara
mengenali, menentukan letak dan melakukan pengelompokan obyek menjadi kelas-
kelas tertentu yang didasarkan pada kesamaan nilai spektral tiap piksel (Djurdjani
dan Kartini, 2004). Secara umum, klasifikasi dibedakan menjadi dua, yaitu:
a. klasifikasi terkontrol atau supervised classification yaitu klasifikasi yang
berpedoman pada nilai piksel yang sudah diketahui kategori obyeknya atau
penutup lahannya,
b. klasifikasi tidak terkontrol atau unsupervised classification yaitu klasifikasi
yang dilakukan tanpa menggunakan daerah contoh dengan proses klasifikasi
yang didasarkan pada pembagian kelas dengan rentang nilai piksel sesuai
banyaknya kelas yang ditentukan.
Klasifikasi yang sering digunakan dalam pengolahan citra digital adalah
klasifikasi terkontrol karena dapat meningkatkan hasil klasifikasi serta lebih akurat
dari klasifikasi tidak terkontrol. Kriteria pengelompokan kelas dalam klasifikasi
terkontrol ditetapkan berdasarkan penciri kelas (class signature) yang diperoleh
melalui pembuatan area contoh (training area). Penentuan training area dilakukan
berdasarkan interpretasi foto udara, peta rupa bumi atau hasil dari survei lapangan.
22

Sebaiknya luasan minimal untuk setiap training area mencakup piksel berjumlah
sepuluh kali jumlah band yang digunakan untuk klasifikasi (Barbosa et al, 1996).
Beberapa metode klasifikasi yang sering digunakan dalam klasifikasi terkontrol
adalah minimum distance, parallelepiped, dan maximum likelihood. Klasifikasi
dengan pendekatan minimum distance yaitu klasifikasi yang didasarkan pada jarak
minimum dari nilai rata-rata pada setiap kelas. Klasifikasi dengan pendekatan
parallelepiped yaitu klasifikasi yang didasarkan pada nilai standar deviasi dari nilai
rata-rata untuk setiap kelas pada setiap kanalnya. Klasifikasi dengan pendekatan
maximum likelihood merupakan klasifikasi yang mengasumsikan bahwa nilai
statistik untuk setiap kelas pada setiap kanal terdistribusi secara normal dan
menghitung nilai probabilitas suatu piksel untuk dikelompokkan pada kelas tertentu.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Maximum
Likehood (Kemungkinan Maksimum). Metode klasifikasi ini pada dasarnya
merupakan pengelompokan piksel berdasarkan nilai pantulan yang sesuai dengan
daerah contoh atau training area. Metode ini dipilih karena merupakan metode
standar yang paling umum digunakan. Metode ini memperhatikan berbagai faktor
dalam menentukan peluang suatu piksel dikelaskan sebagai obyek tertentu. Piksel
dikelaskan sebagai obyek tertentu bukan karena jarak euklidian seperti metode lain,
melainkan berdasarkan bentuk, ukuran, serta orientasi sampel pada feature (Shresta,
1991 dalam Karmani, 2012). Algoritma maximum likelihood secara statistik
dikatakan sebagai algoritma yang paling mapan karena mendasarkan perhitungan
kemiripan tiap piksel dengan asumsi bahwa obyek homogen selalu menampilkan
histogram yang terdistribusi normal (Danoedoro, 2012)

I.7.4. Uji ketelitian hasil klasifikasi citra


Uji ketelitian hasil klasifikasi citra dilakukan untuk mengevaluasi ketepatan
hasil klasifikasi dengan data ukuran di lapangan. Seberapa besar ketelitian yang
diperoleh dari uji ketelitian hasil klasifikasi citra tersebut dapat mempengaruhi
besarnya kepercayaan terhadap data yang digunakan. Menurut Sutanto (1994), uji
ketelitian hasil klasifikasi dapat dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu: (1)
melakukan pengecekan lapangan pada beberapa titik sampel yang dipilih dari setiap
kelas tutupan lahan, (2) menilai kecocokan hasil klasifikasi citra dengan kondisi
23

sebenarnya di lapangan, dan (3) membuat matrik perhitungan kesalahan (confusion


matrix) pada setiap kelas tutupan lahan dari hasil klasifikasi sehingga diketahui
tingkat ketelitiannya. Bentuk matrik kesalahan untuk menghitung besarnya nilai
akurasi disajikan dalm Tabel I.5.

Tabel I.4. Bentuk matriks kesalahan (Confusion Matrix)


Dikelaskan ke Kelas Jumlah Akurasi
Kelas Referensi (Data Klasifikasi di Peta)
Piksel Pembuat
A B C
A X11 X12 X13 X1+ X11/X1+
B X21 X22 X23 X2+ X22/X2+
C X31 X32 X33 X3+ X33/X3+
Total Piksel X+1 X+2 X+3 N
Akurasi Pengguna X11/ X+1 X22/X+2 X33/X+3
(Sumber: Jaya, 2007)

Beberapa persamaan akurasi yang digunakan adalah:


User’s Accuracy ............................................................... (I.4)
Prodecer’s Accuracy ........................................................ (I.5)
Overall Accuracy ..................................................... (I.6)
Kappa Accuracy .(I.7)

Keterangan:
N : Jumlah piksel yang diuji
Xi+ : Jumlah piksel dalam baris ke-i
X+i : Jumlah piksel dalam kolom ke-i
Xii : Nilai diagonal dari matrik kontingesi baris ke-i dan kolom ke-i

Keakuratan hasil klasifikasi citra dapat dihitung melalui tabel Confusion


Matrix. Dalam tabel Confusion Matrix ini, dapat dihitung besarnya akurasi pembuat
(producers accuracy) dan akurasi pengguna (users accuracy) dari setiap kelas.
Producers accuracy merupakan nilai yang menyatakan jumlah data lapangan yang
telah terklasifikasi secara benar pada suatu kelas klasifikasi. Producers accuracy
diperoleh dengan membagi piksel yang benar (Xii) dengan total piksel (X+i) daerah
contoh per kelas. Hitungan akurasi jenis ini menghasilkan kesalahan residual yang
24

disebut sebagai omission error. Users accuracy adalah nilai yang menyatakan jumlah
piksel pada suatu kelas klasifikasi yang merupakan nilai yang sesuai dengan kondisi
nyata di lapangan. Users accuracy diperoleh dengan membagi piksel yang benar (Xii)
dengan jumah piksel (Xi+) daerah contoh per kelas. Hitungan akurasi jenis ini
menghasilkan kesalahan residual yang disebut sebagai comission error. Selain itu,
tabel I.5 juga memberikan informasi nilai akurasi keseluruhan (overall accuracy)
serta nilai akurasi Kappa pada masing-masing metode filterisasi yang digunakan.
Overall accuracy menunjukkan banyaknya jumlah piksel yang terklasifikasi secara
benar pada tiap kelas dibanding jumlah sampel yang digunakan untuk uji akurasi
pada semua kelas. Kappa accuracy menunjukkan konsistensi akurasi hasil
klasifikasi.

I.7.5. Klasifikasi penutupan lahan dalam penginderaan jauh


Dalam berbagai wacana sering ditemukan percampuran pemakaian kata antara
penutupan lahan dan penggunaan lahan. Penutupan lahan tidak sama dengan
penggunaan lahan. Menurut Lillesand dan Kiefer (1990), penutupan lahan (land
cover) merupakan istilah yang digunakan untuk menyebutkan kenampakan suatu
obyek secara fisik, baik kenampakan alami maupun kenampakan buatan manusia
yang ada di permukaan bumi sedangkan penggunaan lahan (land use) merupakan
bentuk pemanfaatan atau fungsi dari perwujudan suatu bentuk penutup lahan. Pada
citra penginderaan jauh informasi penutupan lahan umumnya mudah dikenali
sedangkan informasi penggunaan lahan tidak selalu dapat ditafsirkan secara tepat
pada citra namun dapat diperkirakan berdasarkan kenampakan penutupan lahan.
Klasifikasi penutupan lahan dilakukan berdasarkan sistem klasifikasi penutup
lahan sesuai Standar Nasional Indonesia tahun 2010 yang disusun oleh Badan
Standardisasi Nasional (BSN). BSN menyusun sistem klasifikasi penutup lahan
mengacu pada Land Cover Classification System United Nation – Food and
Agriculture Organization (LCCS-UNFAO) dan ISO 19144-1 Geographic
information – Classification System – Part 1: Classification system structure dan
dikembangkan sesuai dengan fenomena yang ada di Indonesia (BSN, 2010). Sistem
klasifikasi penutup lahan sesuai SNI ditunjukan pada Tabel I.6.
25

Tabel I.5. Sistem klasifikasi kelas penutup lahan skala 1:250.000


Tingkat I Tingkat II Tingkat III Tingkat IV
1. Daerah 1.1. Daerah 1.1.1. Sawah
bervegetasi pertanian 1.1.2. Sawah pasang surut
1.1.3. Ladang -
1.1.4. Perkebunan
1.1.5. Perkebunan campuran
1.2. Daerah bukan 1.2.1. Hutan lahan kering 1.2.1.1. Hutan lahan kering
pertanian primer
1.2.1.2. Hutan lahan kering
sekunder
1.2.2. Hutan lahan basah 1.2.2.1. Hutan lahan basah
primer sekunder
1.2.2.2. Hutan lahan basah
1.2.3. Semak dan belukar
1.2.4. Padang rumput,
-
alang-alang, sabana
1.2.5. Rumput rawa
2. Daerah tak 2.1. Lahan terbuka 2.1.1. Lahar dan lava
bervegetasi 2.1.2. Hamparan pasir pantai
-
2.1.3. Beting pantai
2.1.4. Gumuk pasir
2.2. Permukiman 2.2.1. Lahan terbangun 2.2.1.1. Permukiman
dan lahan bukan 2.2.1.2. Bangunan industri
pertanian yang 2.2.1.3. Jaringan jalan
berkaitan 2.2.2. Lahan tidak terbangun 2.2.2.1. Pertambangan
2.2.2.2. Tempat penimbunan
sampah/ deposit
2.3. Perairan 2.3.1. Danau atau waduk
2.3.2. Tambak
2.3.3. Rawa
2.3.4. Sungai -
2.3.5. Anjir pelayaran
2.3.6. Terumbu karang
2.3.7. Gosong pantai
Sumber: SNI Klasifikasi penutup lahan (2010)

I.8. Hipotesis
Pemrosesan citra komposit ALOS PALSAR untuk klasifikasi tutupan lahan
menggunakan nilai digital tidak sebaik dibandingkan dengan citra optik. Citra
komposit ALOS PALSAR diperkirakan mampu mengklasifikasikan obyek pada
tingkat I sesuai Standar Nasional Indonesia untuk klasifikasi penutup lahan.

Anda mungkin juga menyukai