S1 2013 197835 Chapter1
S1 2013 197835 Chapter1
BAB I
PENDAHULUAN
1
2
klasifikasi digital berbasis digital number. Karena citra radar memiliki karakteristik
pola granular yang merupakan efek dari noise speckle, maka perlu ditentukan jenis
filter yang tepat untuk mereduksi noise speckle tersebut agar mempermudah proses
klasifikasi citra digital.
I.3. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah mengevaluasi kemampuan citra ALOS
PALSAR untuk pemetaan tutupan lahan melalui pemrosesan citra dengan berbasis
digital number dengan menerapkan penggunaan berbagai filter untuk menghasilkan
tutupan lahan.
I.4. Manfaat
Hasil kajian mengenai pemrosesan citra ALOS PALSAR untuk tutupan lahan
diharapkan dapat memberikan informasi bagi pengguna citra penginderaan jauh
mengenai kemampuan citra ALOS PALSAR dalam mengidentifikasi tutupan lahan
dengan prosedur pengolahan data citra optik. Selain itu, manfaat yang diharapkan
dari kajian ini adalah tersedianya informasi tutupan lahan Kota Semarang Propinsi
Jawa Tengah.
4
terbuka seluas 13.985,47 ha, sedangkan vegetasi jarang dan rapat berturut-turut
seluas 42.988.47 ha dan 70.821,76 ha.
Hendrayanti (2008) menyatakan bahwa Citra ALOS PALSAR mampu
dikelaskan menjadi empat kelas tutupan lahan yang terdiri dari, tubuh air, vegetasi/
hutan biomassa tinggi, vegetasi/hutan biomassa rendah, dan lahan pertanian
sedangkan hasil klasifikasi terbimbing (Supervised Classification) citra Landsat 7
ETM+ menunjukan hasil yang lebih baik jika dibandingkan dengan ALOS PALSAR
dengan menghasilkan sembilan kategori tutupan lahan dapat diidentifikasi. Penelitian
tersebut masih menggunakan citra ALOS PALSAR dengan ketelitian rendah yaitu
200 m.
Riswanto (2009) mengevaluasi kemampuan citra ALOS PALSAR resolusi 200
m dalam klasifikasi tutupan lahan skala regional di Pulau Kalimantan. Penelitian
tersebut menyatakan bahwa citra ALOS PALSAR mampu membedakan obyek
secara baik di permukaan bumi dalam empat kelas penutupan lahan yaitu badan air,
vegetasi jarang, vegetasi sedang dan vegetasi rapat dengan separabilitas rata-rata
1973,84. Akurasi klasifikasi citra ALOS PALSAR dengan menggunakan metode
klasifikasi terbimbing (Supervised Classification) adalah 88,21%. Klasifikasi
tersebut menghasilkan luas penutupan lahan berupa badan air di Kalimantan adalah
384.719 ha atau 0,71%. Selanjutnya, luas penutupan lahan berupa vegetasi jarang
adalah 11.459.400 ha atau 21,33%. Sementara itu, luas penutupan lahan berupa
vegetasi sedang sebesar 5.070.008 ha atau 9,44%. Sedangkan luas penutupan lahan
berupa vegetasi rapat adalah sebesar 36.806.058 ha atau 68,52%.
Nurhadiatin (2011) mengevaluasi kemampuan citra ALOS PALSAR resolusi
50 m dan 12,5 m dalam mengidentifikasi tutupan lahan di Kabupaten Brebes,
Cilacap, Ciamis dan Banyumas. Dalam penelitian ini menyebutkan bahwa hasil
penafsiran dengan menggunakan nilai digital citra ALOS PALSAR resolusi 50 m
dan 12,5 m sama-sama menghasilkan lima kelas tutupan lahan yaitu badan air,
vegetasi pohon, kebun campuran, pemukiman dan sawah dengan proportion correct
sebesar 0,642 atau 64,2% untuk citra resolusi 50 m dan 0,650 atau 65% untuk citra
resolusi 12,5 m. Secara visual citra ALOS PALSAR resolusi 50 m dan 12,5 dapat
membedakan sembilan kelas tutupan lahan yaitu badan air, hutan tanaman sedang-
tua, perkebunan karet muda, sawah bervegetasi, sawah diolah/ digenangi air dan
6
pemukiman dengan nilai overall accuracy sebesar 67,57% dan Kappa accuracy
sebesar 63,52% untuk citra resolusi 50 m serta nilai overall accuracy sebesar 67,57%
dan Kappa accuracy sebesar 63,52% untuk citra resolusi 12,5 m.
Karmani (2012) mengidentifikasi mangrove pada citra ALOS PALSAR level
1.0 dan citra Landsat 7 ETM+ dengan wilayah kajian Suaka Margasatwa Sembilang,
Banyuasin. Dari hasil identifikasi mangrove yang diperoleh kemudian dilakukan
perbandingan hasil pada kedua citra tersebut. Dalam penelitian ini menyebutkan
bahwa hasil identifikasi mangrove dengan akurasi tertinggi diperoleh dari
pengolahan citra ALOS PALSAR dengan kombinasi DEM SRTM dibanding
pengolahan citra Landsat 7 ETM+ ataupun citra ALOS PALSAR dengan berbagai
tipe filterisasi. Hasil identifikasi mangrove Suaka Margasatwa Sembilang dengan
pengolahan citra ALOS PALSAR dengan kombinasi DEM SRTM berupa nilai
luasan sebesar 893,4552 km2 dengan user accuracy sebesar 92,45 %, sedangkan
klasifikasi digital citra Landsat 7 ETM+ menghasilkan nilai luas mangrove sebesar
909,5526 km2 dengan user accuracy sebesar 86,54 %. Hasil lainnya berupa nilai
estimasi biomassa mangrove Suaka Margasatwa Sembilang melalui pengolahan citra
ALOS PALSAR dan DEM SRTM sebesar 164,7226 ton/ha sedangkan pengolahan
citra Landsat 7 ETM+ sebesar 109,0356 ton/ha.
Sistem radar mempunyai tiga fungsi utama, yaitu: (1) mengirim sinyal
gelombang mikro ke suatu obyek/ target, (2) menerima energi transmisi hamburan
balik dari obyek/ target, (3) mengamati kekuatan/ energi (deteksi) dan waktu jeda
(ranging) dari sinyal balik. Radar yang bersifat imaging disebut juga Synthetic
Aperture Radar (SAR). Kelebihan-kelebihan radar antara lain bebas dari gangguan
yang terjadi di atmosfer, seperti awan, asap dan hujan dan dapat mencitra pada siang
hari maupun malam hari.
1.7.1.4. Parameter sistem radar. Parameter sistem radar terdiri dari polarisasi,
frekuensi, resolusi, dan geometri citra radar. Berikut ini akan dijelaskan lebih lanjut
mengenai parameter sistem radar.
1. Polarisasi. Polarisasi merupakan orientasi medan elektrik dan magnetik
gelombang elektromagnetik. Sistem radar dapat disusun untuk mengirim dan
menerima radiasi elektromagnetik baik secara horizontal maupun vertikal. Ada 2
jenis polarisasi (GlobeSAR, et al dalam Hamzah, 2004), yaitu:
a. Polarisasi yang energinya dikirim dan diterima pada bidang polarisasi yang
sama. Polarisasi ini ada dua jenis, yaitu HH dimana energi ditransmisi
9
Sudut jatuh lokal (local incidence angle) berkaitan dengan kemiringan lokal
dari obyek pada lokasi di dalam citra. Sudut jatuh tergantung pada daerah lokal dan
parameter radar. Sudut jatuh lokal merupakan salah satu faktor yang menentukan
kecerahan citra atau warna tiap piksel. Sudut depresi (depression angle) merupakan
sudut antara bidang horizontal dan garis yang menghubungkan sensor radar dan
obyek yang diindera.
5. Efek bayangan (Shadowing). Efek bayangan terjadi bila obyek vertikal
mengaburkan obyek yang lebih kecil pada saat diindera oleh sensor (Gambar I.2).
Efek bayangan pada citra radar menunjukkan daerah-daerah di permukaan bumi
yang tidak terkena cahaya oleh radar. Karena tidak ada sinyal pengembalian yang
diterima maka efek bayangan terlihat sangat gelap pada citra radar. Efek bayangan
terjadi pada arah down-range di belakang obyek yang tinggi.
11
Karena sudut jatuh meningkat dari near range ke far range, iluminasi obyek
menjadi lebih miring, sehingga efek bayangan menjadi lebih mencolok pada far
range. Efek bayangan sering menjadi indikator dari mana iluminasi radar berasal.
Efek bayangan pada radar berisi informasi tentang radar, misalnya system noise dan
dapat berguna pada detil citra, analisis sistem dan tinggi obyek.
6. Efek pemendekan lereng depan (Foreshortening). Pemendekan lereng ke
depan pada citra radar adalah kenampakan pemendekan dari obyek-obyek di citra
yang miring ke depan (Gambar I.3). Efek ini akan menyebabkan obyek terlihat lebih
kecil dari ukuran sebenarnya. Pemendekan lereng ke depan menyebabkan
kemiringan yang terkena pengaruh akan tampak lebih cerah pada citra. Efek ini akan
maksimum bila kemiringan tajam ortogonal terhadap bim radar, atau sudut jatuh
lokal nol, sehingga dasar, kemiringan dan puncak terindera secara bersamaan dan
menempati tempat yang sama pada citra.
7. Efek rebah ke dalam (Layover). Efek ini terjadi bila energi yang dipantulkan
dari bagian lebih tinggi suatu obyek diterima oleh sensor sebelum pengembalian
sinyal dari bagian rendah dari obyek (Gambar I.4). Efek ini akan menyebabkan suatu
obyek menumpuk obyek lain yang lebih dekat ke sensor (terjadi lebih sering pada
near range). Puncak dari suatu obyek akan digantikan atau ditumpuk relatif terhadap
dasarnya bila diproses ke dalam suatu citra. Pada umumnya efek rebah ke dalam
lazim terjadi pada sudut jatuh yang kecil.
Gambar I.5. Jenis hamburan permukaan (a) permukaan halus atau hamburan spekular
(b) permukaan sedang (c) permukaan kasar (Robinson, 1985 dalam Hamzah, 2004)
Permukaan yang kasar akan terlihat cerah pada citra radar dibandingkan
dengan permukaan yang lebih halus. Umumnya, permukaan dianggap halus bila
variasi tingginya lebih kecil dibandingkan panjang gelombang radar. Pada panjang
gelombang single, permukaan lebih halus sebanding dengan meningkatnya sudut
jatuh. Pada permukaan dianggap kasar bila mempunyai variasi tinggi sekitar
setengah dari panjang gelombang radar.
2. Konstanta dielektrik. Kekasaran permukaan adalah faktor yang berhubungan
dengan kelembaban. Kelembaban dapat memperbesar konstanta dielektrik kompleks
suatu material. Konstanta dielektrik mempengaruhi kemampuan material untuk
menyerap, memantulkan dan mengirimkan energi gelombang mikro. Kekuatan
pantulan dan kecerahan pada hampir semua vegetasi alami dan permukaan makin
tinggi dengan kelembaban yang makin tinggi juga.
3. Sudut Jatuh telah dijelaskan pada sub bab 1.7.3.2 dalam geometri citra radar.
4. Hamburan Permukaan (Surface Scattering). Pada citra radar ada dua jenis
pantulan permukaan, yaitu hamburan tersebar dan hamburan diskret (Gambar I.4).
Hamburan tersebar terdapat pada hampir seluruh obyek alami, sedangkan hamburan
diskret terdapat pada obyek dengan bentuk geometris yang relatif sederhana, seperti
bangunan. Hamburan diskret banyak diwakili oleh pantulan sudut.
14
Gambar I.6. Pantulan pada berbagai jenis permukaan (a), (b) hamburan tersebar (c)
hamburan diskret (Lillesand, 1990)
Pantulan sudut ada dua jenis, yaitu pantulan sudut dihedral dan pantulan sudut
trihedral. Pantulan sudut dihedral terjadi bila dua permukaan terbentuk pada sudut
yang benar dan terbuka ke arah radar. Sinyal pengembalian pantulan sudut dihedral
kuat hanya bila permukaan pantulan hampir tegak lurus arah iluminasi. Pantulan
paling besar dihasilkan oleh pantulan sudut trihedral. Pantulan jenis ini terbentuk
oleh pertemuan tiga permukaan datar yang sama tegak lurus dan terbuka ke arah
radar. Pantulan sudut akan memberikan rona yang lebih terang pada suatu obyek di
citra radar.
5. Hamburan Volume (volume scattering). Hamburan volume berhubungan
dengan proses hamburan multipel pada suatu medium. Tipe hamburan ini dapat
terjadi di kanopi vegetasi di hutan, lapisan tanah yang sangat kering, pasir, atau es.
6. Teori Hamburan Resonansi Bragg. Teori ini diterapkan pada obyek
permukaan laut. Sudut jatuh pada SAR adalah miring terhadap sudut rata-rata lokal
permukaan laut, oleh karena itu hampir tidak ada pantulan spekuler langsung kecuali
pada kondisi laut tinggi. Menurut pernyataan tersebut, resonansi Bragg antara radar
dan gelombang laut diasumsikan sebagai mekanisme utama untuk pulsa hamburan
balik radar.
ALOS diluncurkan pada tanggal 24 Januari 2006 dengan menggunakan roket H-IIA
milik Jepang dari stasiun peluncuran Tanegasima Spaca Center, Jepang bagian
selatan (JAXA, 2013). Periode orbit satelit untuk kembali pada satu titik tertentu
adalah 46 hari dengan ketinggian orbit 691 km. Karakteristik satelit ALOS secara
lebih rinci disajikan pada Tabel I.2.
sudah dikalibrasi secara radiometrik pada masukan sensor serta sudah dalam format
SLC. Level 1.5 dari citra ALOS PALSAR merupakan data yang sudah dikoreksi
geometrik secara sistematik atau dengan kata lain telah siap digunakan untuk
berbagai aplikasi penginderaan jauh. Karakteristik berbagai mode observasi ALOS
PALSAR secara ringkasnya dapat dilihat pada Tabel I.3.
memperbaiki nilai piksel supaya sesuai dengan obyek yang seharusnya. Pada
umumnya, koreksi radiometrik mempertimbangkan faktor gangguan atmosfer
sebagai sumber kesalahan utama. Efek atmosfer menyebabkan nilai pantulan obyek
di permukaan bumi yang terekam oleh sensor menjadi bukan merupakan nilai
aslinya, tetapi menjadi lebih besar oleh karena adanya hamburan atau lebih kecil
karena proses serapan. Citra yang perlu dikoreksi radiometrik pada umumnya nilai
digital number terendahnya melebihi nol. Nilai lebih tersebut dihitung sebagai nilai
offset dan nilai tersebut merupakan besarnya pengaruh gangguan atmosfer (Djurdjani
dan Kartini, 2004).
I.7.3.2. Koreksi geometrik (rektifikasi). Citra yang digunakan dalam
pemrosesan data biasanya belum terkoreksi secara geometrik, sehingga perlu
dilakukan koreksi geometrik terlebih dahulu. Koreksi geometrik dilakukan agar citra
mempunyai koordinat sama dengan peta dengan datum World Geodetic System 1984
(WGS ‘84) serta sistem koordinat Universal Transverse Mercator (UTM). Acuan
yang digunakan dalam proses rektifikasi dapat dibedakan atas: (1) rektifikasi citra ke
citra (image to image retification) dan (2) rektifikasi citra ke peta (image to map
rectification). Resampling merupakan suatu proses transformasi citra dengan
memberikan nilai piksel terkoreksi. Pelaksanaan resampling dilakukan dengan proses
transformasi dari suatu sistem koordinat ke sistem koordinat yang lain (Jaya, 2007).
Tahap-tahap melakukan koreksi geometrik terdiri dari tiga prosedur berikut ini:
a. Memilih titik kontrol lapangan (Ground Control Point) pada citra dengan
syarat tersebar merata di seluruh citra, relatif permanen dan tidak berubah
dalam kurun waktu pendek (misal: jalan, jembatan, sudut bangunan, dan
sebagainya).
b. Membuat persamaan transformasi yang digunakan untuk melakukan
interpolasi spasial. Persamaan ini umumnya berupa persamaan polinomial
baik orde 1, 2, dan 3.
c. Menghitung kesalahan RMSE (Root Mean Squared Error) dari GCP yang
terpilih. Nilai RMSE tidak boleh lebih dari 0.5 piksel.
Keterangan :
pi = nilai piksel prediksi yang dihasilkan pada citra.
ai = nilai piksel yang dihasilkan pada citra acuan (base image)
n = jumlah titik kontrol tanah.
I.7.4.3. Band Ratio. Band Ratio adalah salah satu metode perhitungan
matematis nilai spektral citra multi saluran. Band Ratio dihitung dengan persamaan
pembagian dari nilai spektral citra setelah citra teregistrasi (Putra, 2010). Persamaan
matematis metode ini adalah sebagai berikut (Putra, 2010):
DNf = DN1 / DN2 ............................................................... (I.3)
Keterangan:
DNf = nilai digital number citra baru hasil band ratio
DN1 = digital number dari citra pertama
DN2 = digital number dari citra kedua
Band ratio sering kali digunakan untuk mentransformasi nilai spektral dari dua
saluran untuk keperluan tertentu. Jhonnerie dkk (2006) dalam Karmani (2012)
mengungkapkan bahwa proses ini merupakan metode transformasi yang umum
dikenal dalam pemrosesan data penginderaan jauh. Hal ini dikarenakan perbedaan
nilai spektral pada permukaan yang berbeda akan memperjelas tampilan obyek dan
dapat mengurangi efek variasi topografi.
I.7.3.4. Cropping (Pemotongan citra). Cropping citra merupakan tahapan
pemrosesan penginderaan jauh pada citra berupa pemotongan citra dari sebuah scene
citra penuh yang mencakup area yang dibutuhkan untuk pemrosesan citra lebih
lanjut. Hal ini bertujuan untuk membatasi daerah penelitian yang dilakukan sehingga
dapat memfokuskan perhatian pada area yang dikaji sesuai dengan kebutuhan
penelitian. Selain itu, cropping citra dapat meringankan beban komputer dalam
proses pengolahan data selanjutnya serta menghemat kapasitas penyimpanan hasil
karena pemrosesan tidak dilakukan pada seluruh area dalam citra yang memiliki
memory size penyimpanan yang cukup besar.
I.7.3.5. Mosaik. Mosaik (Mosaic) merupakan suatu proses penggabungan dari
beberapa citra secara bersama membentuk satu kesatuan (1 lembar) peta atau citra
yang kohesif (kontrasnya konsisten, teroganisir, solid, dan koordinatnya
terinterkoneksi) (Jaya, 2007).
20
Proses mosaik ini diterapkan pada peta rupa bumi untuk mendapatkan peta
Kota Semarang dalam satu kesatuan yang utuh mengingat wilayah Kota Semarang
terbagi ke dalam empat lembar peta rupa bumi. Hasil mosaik peta rupa bumi ini akan
digunakan sebagai acuan koreksi geometri cita ALOS PALSAR.
I.7.3.6. Filterisasi citra radar. Salah satu karakteristik citra SAR adalah
timbulnya noise speckle, yang tampak sebagai tekstur bintik-bintik terang-gelap yang
terdistribusi secara random dalam citra. Noise tersebut timbul akibat interferensi
konstruktif dan destruktif diantara sinyal-sinyal hamburan balik dari berbagai obyek
secara random dalam suatu sel/ area tertentu (resolution cell) yang disinarinya
(Wahyudi, 2010). Salah satu cara untuk mereduksi noise tersebut adalah melalui
proses speckle filtering dengan menggunakan beberapa algoritma pemfilteran.
Filtering dilakukan untuk mengekstraksi bagian data tertentu dari suatu
himpunan data dengan menghilangkan bagian-bagian yang tidak diinginkan.
Filtering sangat efektif digunakan untuk mengurangi speckle (noise) yang menjadi
salah satu masalah pada pengolahan citra radar, karena hal ini dapat menyebabkan
kesalahan informasi yang diperoleh. Filter yang digunakan, diharapkan mampu
menghilangkan speckle pada daerah yang homogen dan dalam daerah heterogen,
selain menghilangkan speckle juga mampu mempertahankan serta meningkatkan
informasi tersebut. Filter dioperasikan pada berbagai ukuran jendela piksel (kernel
size) yang akan dihitung satu nilai yang mewakili luasan piksel tersebut. Semakin
besar kernel size yang diterapkan maka akan menghasilkan citra yang semakin halus.
Filter yang digunakan untuk menghilangkan noise speckle pada citra radar
antara lain:
1. Filter Lee, digunakan untuk menghaluskan noise (bintik) pada data yang
memiliki intensitas yang berhubungan dengan citra dan juga memiliki komponen
aditif dan/ atau multiplikatif. Filterisasi Lee merupakan filter yang berbasis standar
deviasi (sigma) yang menyaring data berdasarkan hitungan statistik dalam jendela
filter secara individu. Tidak seperti filter jenis low-pass filter, filter Lee dan filter
lainnya yang menggunakan sigma, mempertahankan ketajaman gambar dan detail
sekaligus menekan noise. Pixel yang disaring digantikan oleh nilai yang dihitung
dengan menggunakan piksel sekitarnya.
21
Sebaiknya luasan minimal untuk setiap training area mencakup piksel berjumlah
sepuluh kali jumlah band yang digunakan untuk klasifikasi (Barbosa et al, 1996).
Beberapa metode klasifikasi yang sering digunakan dalam klasifikasi terkontrol
adalah minimum distance, parallelepiped, dan maximum likelihood. Klasifikasi
dengan pendekatan minimum distance yaitu klasifikasi yang didasarkan pada jarak
minimum dari nilai rata-rata pada setiap kelas. Klasifikasi dengan pendekatan
parallelepiped yaitu klasifikasi yang didasarkan pada nilai standar deviasi dari nilai
rata-rata untuk setiap kelas pada setiap kanalnya. Klasifikasi dengan pendekatan
maximum likelihood merupakan klasifikasi yang mengasumsikan bahwa nilai
statistik untuk setiap kelas pada setiap kanal terdistribusi secara normal dan
menghitung nilai probabilitas suatu piksel untuk dikelompokkan pada kelas tertentu.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Maximum
Likehood (Kemungkinan Maksimum). Metode klasifikasi ini pada dasarnya
merupakan pengelompokan piksel berdasarkan nilai pantulan yang sesuai dengan
daerah contoh atau training area. Metode ini dipilih karena merupakan metode
standar yang paling umum digunakan. Metode ini memperhatikan berbagai faktor
dalam menentukan peluang suatu piksel dikelaskan sebagai obyek tertentu. Piksel
dikelaskan sebagai obyek tertentu bukan karena jarak euklidian seperti metode lain,
melainkan berdasarkan bentuk, ukuran, serta orientasi sampel pada feature (Shresta,
1991 dalam Karmani, 2012). Algoritma maximum likelihood secara statistik
dikatakan sebagai algoritma yang paling mapan karena mendasarkan perhitungan
kemiripan tiap piksel dengan asumsi bahwa obyek homogen selalu menampilkan
histogram yang terdistribusi normal (Danoedoro, 2012)
Keterangan:
N : Jumlah piksel yang diuji
Xi+ : Jumlah piksel dalam baris ke-i
X+i : Jumlah piksel dalam kolom ke-i
Xii : Nilai diagonal dari matrik kontingesi baris ke-i dan kolom ke-i
disebut sebagai omission error. Users accuracy adalah nilai yang menyatakan jumlah
piksel pada suatu kelas klasifikasi yang merupakan nilai yang sesuai dengan kondisi
nyata di lapangan. Users accuracy diperoleh dengan membagi piksel yang benar (Xii)
dengan jumah piksel (Xi+) daerah contoh per kelas. Hitungan akurasi jenis ini
menghasilkan kesalahan residual yang disebut sebagai comission error. Selain itu,
tabel I.5 juga memberikan informasi nilai akurasi keseluruhan (overall accuracy)
serta nilai akurasi Kappa pada masing-masing metode filterisasi yang digunakan.
Overall accuracy menunjukkan banyaknya jumlah piksel yang terklasifikasi secara
benar pada tiap kelas dibanding jumlah sampel yang digunakan untuk uji akurasi
pada semua kelas. Kappa accuracy menunjukkan konsistensi akurasi hasil
klasifikasi.
I.8. Hipotesis
Pemrosesan citra komposit ALOS PALSAR untuk klasifikasi tutupan lahan
menggunakan nilai digital tidak sebaik dibandingkan dengan citra optik. Citra
komposit ALOS PALSAR diperkirakan mampu mengklasifikasikan obyek pada
tingkat I sesuai Standar Nasional Indonesia untuk klasifikasi penutup lahan.