Anda di halaman 1dari 5

URGENSI PENDAMPINGAN APOTEKER DALAM

KERASIONALAN TERAPI PADA PASIEN

Era global seperti saat ini, tenaga kesehatan dituntut memberikan


pelayanan kesehatan bermutu yang dapat diperoleh dari kolaborasi yang baik
antar profesi dalam kerjasama tim. Kolaborasi ini termasuk antara apoteker
dengan tenaga kesehatan lain, yang dikenal dengan Interprofessional
Collaborative Practice (IPC). Penelitian di Kanada menunjukkan bahwa dokter
dan apoteker menilai IPC dapat meningkatkan luaran terapi pasien. Dokter
mengharapkan apoteker lebih fokus dalam dispensing obat, sedangkan apoteker
mengharapkan adanya peran yang melibatkan pengetahuan dan ketrampilan
mereka untuk memastikan penggunaan obat yang rasional (Kelly et al, 2013).
Penelitian yang dilakukan Eunike (2017), melaporkan bahwa persepsi tentang
peran farmasis klinik sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan R.I.
No.1197/Menkes/SK/X/2004 dimana responden tidak setuju farmasis menangani
nutrisi parenteral (69%), mengakses riwayat pengobatan pasien 50%, 50% dan
69% responden, tidak setuju farmasis klinik mendampingi dokter dan
memberikan saran peresepan obat serta mendiskusikan hasil pemeriksaan dengan
dokter untuk menentukan diagnosis dan terapi yang tepat bagi pasien.
Padahal, berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No.
02.02/Menkes/068/I/2010, dapat dinyatakkan bahwa “Dokter yang seharusnya
memutuskan pemilihan obat untuk pasien” berubah menjadi “Dokter dan
Apoteker memiliki peran yang sama dalam memutuskan pemilihan obat untuk
pasien” Papar Dra. Sri Wulandari Retno Daruwardani, Apt. Apoteker di Klinik
Pratama GALUH PAKUAN dalam apoteker komunitas. Salah satu usaha
realisasinya dengan Praktik kolaborasi antar dokter dan apoteker, yaitu
pendampingan apoteker dalam ruang perawatan, termasuk saat visite dokter. Hal
ini untuk merealisasikan salah satu tujuan dari Instalasi Farmasi Rumah Sakit
(IFRS) yaitu dapat menyebarkan pengetahuan farmasi dengan mengadakan
pertukaran informasi antara para dokter rumah sakit, anggota profesi, dan spesialis
yang serumpun. Setidaknya dengan tercapainya tujuan IFRS maka untuk
menjamin keselamatan pasien dan kualitas pelayanan serta mencegah adverse
drug event merupakan hal yang tidak sulit untuk didapatkan (Kliethermes, 2011).
Pelayanan yang bersifat kolaboratif sudah mulai diterapkan di RSAL Dr
Ramelan Surabaya. Hal ini adalah sebagai adanya jaminan patient safety dan
medication safety dan keberhasilan terapi yang optimal. Di samping itu peran
farmasis yang berkompeten juga diperlukan untuk secara kolaboratif bersama
tenaga kesehatan lainnya, khususnya dokter dalam mengidentifikasi, mencegah
dan menyelesaikan masalah drug related problems (DRP) (Suharjono, 2013).
Seperti kejadian keracunan aspirin (Inggris) 5-7% dengan 30-40 kematian
pertahun yang menunjukan farmakokinetika aspirin bervariasi besar, dan perlu
dilakukan pengukuran kadar metabolit dalam plasma untuk memastikan
tercapainya efek dan konsentrasi teraupeutik aspirin (Miladiyah, 2012).
Menurut Santoso (2013) apoteker sudah menunjukkan peran aktifnya
dalam pelayanan kefarmasian di rumah sakit, khususnya dalam berinteraksi
dengan dokter. Terbukti dari persentase jawaban setuju sebagian besar (≥90%)
responden yang menyatakan bahwa apoteker secara rutin menginformasikan
kepada dokter bila mereka menemukan masalah klinis terkait dengan peresepan
dan menjumpai pasien yang pernah mengalami masalah terkait obat, rutin
menginformasikan tentang alternatif obat yang lebih hemat saat dokter
meresepkan obat, serta bertanya kepada dokter untuk memperjelas pemahaman
mereka mengenai tujuan terapi yang direncanakan untuk pasien.
Berdasarkan fakta yang telah dipaparkan, maka solusi dalam
problematika ini yaitu sebagai apoteker harus lebih mendalami keahliannya
dibidang terapi obat dengan baik sehingga dokter tidak meragukan kemampuan
apoteker, menerapkan Empat pilar yang disyaratkan WHO untuk pelaksanaan
good pharmacy practice yaitu farmasis harus peduli kesejahteraan pasien
dalam segala situasi dan kondisi; kegiatan inti farmasi adalah menyediakan obat,
produk pelayanan kesehatan lain, menjamin kualitas, informasi dan saran yang
memadai kepada pasien dan memonitor penggunaan obat yang digunakan pasien;
bagian integral farmasis adalah memberikan kontribusi dalam peningkatan
peresepan yang rasional dan ekonomis, serta penggunaan obat yang tepaat tujuan
tiap pelayanan farmasi yang dilakukan harus sesuai untuk setiap individu,
didefinisikan dengan jelas, dan dikomunikasikan secara efektif kepada semua,
dan lebih sering memulai atau membuka komunikasi dengan dokter memulai
untuk pendekatan mengenai terapi, memberikan pendapat atau pengetauan
berdasarkan referensi terpercaya sehingga dapat merealisasikan kolaborasi dan
pelayanan kesehatan semakin membaik.
DAFTAR PUSTAKA
Eunike. 2007. Persepsi Dan Harapan Dokter Umum Rumah Sakit Swasta Di Kota
Yogyakarta Terhadap Perkembangan Peran Farmasis Klinik. Skripsi.
Program Studi Ilmu Farmasi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Kelly, D. V, Bishop, L., Young, S., Hawboldt, J., Phillips, L., dan Keough, T.M. 2013.
Pharmacist and Physician Views on Collaborative Practice: Findings from the
Community Pharmaceutical Care Project. Canadian Pharmacists Journal.
146(4) : 218–26.
Klopotowska JE, Kuiper R, van Kan HJ, de Pont A-C, Dijkgraaf MG, Lie-A
Huen L. 2010. On-Ward Participation Of A Hospital Pharmacist In A Dutch
Intensive Care Unit Reduces Prescribing Errors And Related Patient Harm: An
Intervention Study. Crit Care. 14(5) : 174
Miladiyah, Isnatin. 2012. Therapeutic Drug Monitoring (TDM) pada penggunaan
aspirin sebagai antireumatik. 4(2).
Santoso, L, O. 2013. Persepsi Dokter Terhadap Peran Apoteker Dalam Pelayanan
Kefarmasian di Rumah Sakit Angkatan Laut Dr. Ramelan Surabaya. Jurnal
Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya. 2(2) : 1-13.
Suharjono. 2013. Kolaborasi Apoteker Dan Dokter Dalam Penanganan Pasien Di
Rumah Sakit. Prosiding Seminar Nasional Perkembangan Terkini Sains
Farmasi dan Klinik III, Surabaya.

Anda mungkin juga menyukai