Oleh
dr. Putri Marita
Pembimbing :
dr. Hendra Salim, Sp.A
Pendamping:
dr. Azharul Yusri,Sp.OG
dr. Aisah Bee
1
BAB I
ILUSTRASI KASUS
Nama : An. NK
Umur : 11 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Pelajar
Alamat : Ds Anak Kamal
Tanggal periksa : 3 November 2016 (Pukul 10.25)
No. RM : 05 64 XX (pukul 10.30 WIB)
1.2 ANAMNESIS
Autoanamnesis dan aloanamnesis dengan ibu pasien
Keluhan Utama
Sesak napas
- Demam (-), batuk (-), pilek (-). Tidak sadarkan diri (-). Nyeri perut (-).
2
- 1 hari SMRS pasien muntah-muntah hebat, isi muntahan berupa
makanan yang dimakan. Frekuensi muntah lebih kurang 10 kali per
hari, volume muntah ± setengah gelas setiap muntah. Minum (+),
makan kurang.
- BAK lebih sering, tidak ada keluhan lainnya. BAB tidak ada keluhan.
- Tidak ada anggota keluarga yang mengeluhkan hal yang sama dengan
pasien.
- Riwayat DM (-)
Imunisasi
- Lengkap
3
Riwayat makan dan minum
Pemeriksaan Umum
Kesadaran : Apatis
GCS : 14 (E3M6V5)
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 128 x/menit
Nafas : 48 x/menit (Pernafasan Kussmaul)
Sp O2 : 98%
Suhu : 370C
BB/ TB : 33 kg / 130 cm
Visual analog scale :6
Kepala
Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil bulat isokor,
diameter 3mm/3mm, refleks cahaya langsung +/+, refleks cahaya tidak
langsung +/+. Mata cekung (-), bibir kering (+).
Leher : JVP (5-2) cmH2O, pembesaran KGB (-)
Kulit : Turgor kulit kembali lambat
Telinga : DBN
Hidung dan Tenggorokan : DBN
4
Thorax
Paru
Abdomen
Inspeksi : datar, scar (-), kelainan kulit (-).
Auskultasi : bising usus (+) 20 x/menit.
Perkusi : timpani
Palpasi : supple, asites (-), hepar dan lien tidak teraba
Nyeri tekan (-), turgor kulit kembali lambat.
Ekstremitas
Edema (-).
Akral hangat, CRT < 2 detik.
5
Ht : 42,6 vol%
MCV : 75 fl
MCH : 26 pg
MCHC : 35 %
Diff count : Basofil : 0,7 %
Eosinofil : 0,2 %
Neutrofil batang :-
Neutrofil segmen : 83,9 %
Limfosit : 11,8 %
Monosit : 2,4 %
Kimia Klinik (3 November 2016)
GDS cito 11.30 : 349 mg/dl
12.30 : 410 mg/dl
13.50 : 375 mg/dl
Ureum : 45 mg/dl
Creatinin : 1,35 mg/dl
Natrium : 130,39 mmol
Kalium : 5,44 mmol
Clorida :101,95 mmol
Kalsium : 1,41 mmol
Urinalisis
Warna : kuning muda keruh
BJ : 1,015
Ph : 5,0
Protein : (+)/ positif satu
Bilirubin : negatif
Urobilinogen : negatif
Keton : (+)
6
Reduksi : (+++)
Nitrit : (-)
Sedimen : Eritrosit : 1-2/LPB
Leukosit : 0-1/LPB
Epitel : (+)
Bakteri : (+)
Kristal : (-)
Silinder : (-)
Sel ragi : (-)
1.5 DIAGNOSIS
Ketoasidosis Diabetik pada DM Tipe 1
1.7 PENATALAKSANAAN
O2 Nasal kanul 2L/ menit
7
IVFD NaCl 0,9 % 95ml/jam, makrodrip (pertahankan selama 48 jam)
13. 25 Wib
Insulin 0,2 IU/Kg/jam (Sansulin R 0,2 ml + NaCl 0,9 % 35 ml
kecepatan 35 ml/ 1 jam)
Observasi di IGD :
GDS pukul 11.30 Wib : 349 mg/dl
GDS pukul 12.50 Wib : 410 mg/dl
GDS pukul 13.50 Wib : 375 mg/dl
Follow Up
Tanggal Subjektif Objektif Assesment Planning
4-11-2016 Pusing, Kesadaran : KAD pada IVFD D5 ½ NS
Pukul 7.30 Lemas Komposmentis DM Tipe 1 95 ml/jam
WIB GCS : 15
KU : TSR Insulin drip
Makan (+) minum (+) kecepatan
8
Vital sign : 5ml/jam
TD : 107/73 mmHg
Nadi : 117 x/menit GDS pagi: 82
RR : 27 x/menit mg/dl
T : 36,8 C Stop insulin drip
SpO2 99%
IVFD D5 ½ NS
4-11-16 (06.00) 95 ml/jam sampai
Natrium: 132,02 mmol pukul 10.00 wib
Kalium: 4,20 mmol
Clorida:104,32 mmol Besok cek GDS
Kalsium: 1,34 mmol ulang 2 jam post
prandial,
Urinalisis (06.00) selanjutnya setiap
Warna : kuning muda 4 jam
jernih
BJ : 1,025
Ph : 5,5
Protein :(+)/ positif satu
Bilirubin : negatif
Urobilinogen : negatif
Keton : negatif
Reduksi : negatif
Nitrit : negatif
Sedimen
Eritrosit:0-1/LPB
Leukosit:0-1/LPB
Epitel :0-1/LPB
Bakteri : (-)
Kristal : (-)
Silinder: (-)
Sel ragi: (-)
AGDA
Ph : 7,263
PCO2 : 29,3 mmHg
P O2 : 140,2 mmHg
HCO3 : 12,8 mmol/L
BE : -12,3 mmol/L
TCO2 : 13,7 mmol/L
SO2 : 98,5 %
9
Pukul Kesadaran, GCS : 8 (E2M4V2) DM Tipe 1 meq/kg = 33 meq
20.30 gelisah KU : TSS + 150 ml D5%
Vital sign : habis dalam 5 jam
TD : 95/50 mmHg Atau
Nadi : 130 x/menit 10 meq bicnat
RR : 36 x/menit +50 ml D5%
T 36,9 C habis dalam 2 jam
GDS 289 mg/dl Jadi
20 meq bicnat +
AGD: HCO3- 4 mmol/l 100 ml D5%
habis dalam 4 jam
4-11-16 (12.00)
Natrium: 129,86 mmol Konsul rawat ICU
Kalium: 3,63 mmol
Clorida:99,58 mmol Konsul dengan dr.
Kalsium: 1,39 mmol suryadi, Sp.An :
-Acc rawat ICU
4-11-16 (19.00) -Terapi lanjut dari
Natrium: 136,27 mmol dr. Hendra Salim,
Kalium: 3,28 mmol Sp.A
Clorida:105,63 mmol -O2 Nasal Kanul
Kalsium: 1,32 mmol
Instruksi di ICU :
Koreksi Bicnat 20
meq + 100 ml
D5% habis dalam
4 jam, kemudian
cek AGD
Pasang kateter
urin
10
Puasa 48 jam
Hematologi(5-11-16)
Hb : 14,1 gr
Leukosit: 16.870/mm3
Trombosit:
210.000/mm3
Ht : 39,8 vol%
MCV : 74 fl
MCH : 26 pg
MCHC : 36 %
Diff count :
Basofil : 0,3 %
Eosinofil : 0,1 %
11
Neutrofil batang : -
Neutrofil segmen:79,3
%
Limfosit : 6,8 %
Monosit: 13,5 %
AGDA
Ph : 7,342
PCO2 : 27,3 mmHg
P O2 : 160,3 mmHg
HCO3 : 14,4 mmol/L
BE : -9,3 mmol/L
TCO2 : 15,2 mmol/L
SO2 : 99 %
12
Vital sign : Insulin sub
TD : 107/70 mmHg kutan
Nadi : 80 x/menit (novorapid) 6
RR : 20 x/menit IU pagi
T : 36,8 C Cek GDS dan
GDS pagi: 426 mg/dl GD 2 jam PP
GD 2 jam PP 366
mg/dl
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Definisi
DM tipe-1 adalah kelainan sistemik akibat terjadinya gangguan
metabolisme glukosa yang ditandai oleh hiperglikemia kronik. Keadaan ini
diakibatkan oleh kerusakan sel-β pankreas baik oleh proses autoimun maupun
idiopatik sehingga produksi insulin berkurang bahkan terhenti.1
2.1.2. Klasifikasi2
14
Diagnosis DM dapat ditegakkan apabila memenuhi salah satu kriteria
sebagai berikut: 1
1. Ditemukannya gejala klinis poliuria, polidpsia, polifagia, berat badan yang
menurun, dan kadar glukasa darah sewaktu >200 mg/dL (11.1 mmol/L).
2. Pada penderita yang asimtomatis ditemukan kadar glukosa darah sewaktu
>200 mg/dL atau kadar glukosa darah puasa lebih tinggi dari normal dengan
tes toleransi glukosa yang terganggu pada lebih dari satu kali pemeriksaan.
2.1.5. Epidemiologi
Insidens DM tipe-1 sangat bervariasi baik antar negara maupun di dalam
suatu negara. Insidens tertinggi terdapat di Finlandia yaitu 43/100.000 dan
insidens yang rendah di Jepang yaitu 1,5-2/100.000 untuk usia kurang 15 tahun.
Insidens DM tipe-1 lebih tinggi pada ras kaukasia dibandingkan ras-ras lainnya. 1
Berdasarkan data dari rumah sakit terdapat 2 puncak insidens DM tipe-1
pada anak yaitu pada usia 5-6 tahun dan 11 tahun. Patut dicatat bahwa lebih dari
50 % penderita baru DM tipe-1 berusia >20 tahun. 1
15
diagnosis, penderita DM tipe-1 akan memasuki fase ketoasidosis yang dapat
berakibat fatal bagi penderita. Keterlambatan ini dapat terjadi karena penderita
disangka menderita bronkopneumonia dengan asidosis atau syok berat akibat
gastroenteritis. 1
Kata kunci untuk mengurangi keterlambatan diagnosis adalah
kewaspadaan terhadap DM tipe-1. Diagnosis DM tipe-1 sebaiknya dipikirkan
sebagai diferensial diagnosis pada anak dengan enuresis nokturnal (anak besar),
atau pada anak dengan dehidrasi sedang sampai berat tetapi masih ditemukan
diuresis (poliuria), terlebih lagi jika disertai dengan pernafasan Kussmaul dan bau
keton. 1
Perjalanan alamiah penyakit DM tipe-1 ditandai dengan adanya fase
remisi (parsial/total) yang dikenal sebagai honeymoon periode. Fase ini terjadi
akibat berfungsinya kembali jaringan residual pankreas sehingga pankreas
mensekresikan kembali sisa insulin. Fase ini akan berakhir apabila pankreas sudah
menghabiskan seluruh sisa insulin. Secara klinis ada tidaknya fase ini harus
dicurigai apabila seorang penderita baru DM tipe-1 sering mengalami serangan
hipoglikemia sehingga kebutuhan insulin harus dikurangi untuk menghindari
hipoglikemia. Apabila dosis insulin yang dibutuhkan sudah mencapai < 0,25
U/kgBB/hari maka dapat dikatakan penderita berada pada fase “remisi total”. Di
Negara berkembang yang masih diwarnai oleh pengobatan tradisional, fase
iniperlu dijelaskan kepada penderita sehingga anggapan bahwa penderita telah
“sembuh” dapat dihindari. Ingat, bahwa pada saat cadangan insulin sudah habis,
penderita akan membutuhkan kembali insulin dan apabila tidak segera mendapat
insulin, penderita akan jatuh kembali ke keadaan ketoasidosis dengan segala
konsekuensinya. 1
16
berada dalam batas normal atau mendekati nilai normal, tanpa menyebabkan
hipoglikemia. 1
Walaupun masih dianggap ada kelemahan, parameter HbA1c merupakan
parameter kontrol metabolik standar pada DM. Nilai HbA1c < 7% berarti kontrol
metabolik baik; HbA1c < 8% cukup dan HbA1c > 8% dianggap buruk. Kriteria
ini pada anak perlu disesuaikan dengan usia karena semakin rendah HbA1c
semakin tinggi risiko terjadinya hipoglikemia. 1
Untuk mencapai kontrol metabolik yang baik pengelolaan DM tipe-1 pada
anak sebaiknya dilakukan secara terpadu oleh suatu tim yang terdiri dari ahli
endokrinologi anak/dokter anak/ahli gizi/ahli psikiatri/psikologi anak, pekerja
sosial, dan edukator. Kerjasama yang baik antara tim dan pihak penderita akan
lebih menjamin tercapainya kontrol metabolik yang baik. 1
Untuk mencapai sasaran dan tujuan tersebut, komponen pengelolaan DM
tipe-1 meliputi pemberian insulin, pengaturan makan, olahraga, dan edukasi, yang
didukung oleh pemantauan mandiri (home monitoring). Keseluruhan komponen
berjalan secara terintegrasi untuk mendapatkan kontrol metabolik yang baik. Dari
faktor penderita juga terdapat beberapa kendala pencapaian kontrol metabolik
yang baik. Faktor pendidikan, sosioekonomi dan kepercayaan merupakan
beberapa faktor yang harus dipertimbangkan dalam pengelolaan penderita
terutama dari segi edukasi. 1
2.2.1. Definisi
DM merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
kedua-duanya.2
2.2.2. Patogenesis
Resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan sel beta pankreas
telah dikenal sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe-2. Belakangan
diketahui bahwa kegagalan sel beta terjadi lebih dini dan lebih berat daripada
17
yang diperkirakan sebelumnya. Selain otot, liver dan sel beta, organ lain seperti:
jaringan lemak (meningkatnya lipolisis), gastrointestinal (defisiensi incretin), sel
alpha pancreas (hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan absorpsi glukosa), dan
otak (resistensi insulin), kesemuanya ikut berperan dalam menimbulkan terjadinya
gangguan toleransi glukosa pada DM tipe-2. 2
2.2.3. Diagnosis
18
Tabel 2.2 Kadar tes laboratorium darah untuk diagnosis daibetes dan
prediabetes. 2
2.2.4 Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup
penyandang diabetes. Tujuan penatalaksanaan meliputi : 2
1. Tujuan jangka pendek: menghilangkan keluhan DM, memperbaiki kualitas
hidup, dan mengurangi risiko komplikasi akut.
2. Tujuan jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas penyulit
mikroangiopati dan makroangiopati.
3. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM.
19
Bagan 2.1 Algoritme Pengelolaan DM Tipe 22
2.3.1 Definisi
20
2.3.2. Epidemiologi
Insidensi KAD bervariasi dari satu negara dengan negara lainnya. KAD
tertinggi terdapat di negara Uni Emirat Arab sebanyak 80% dari kasus DM dan
terendah di Swedia 14%.4 Data komunitas di Amerika Serikat, Rochester,
menunjukkan bahwa insidensi KAD sebesar 8/1000 pasien DM per tahun untuk
semua kelompok umur, sedangkan untuk kelompok umur kurang dari 30 tahun
sebesar 13,4/1000 pasien DM per tahun.1 Anak usia kurang dari 5 tahun lebih
sering mengalami KAD saat diagnosis pertama, terutama jika disertai masalah
sosial ekonomi dan kendala ke fasilitas pelayanan kesehatan.4
KAD dilaporkan bertanggung jawab untuk lebih dari 100.000 pasien yang
dirawat per tahun di Amerika Serikat.5 Walaupun data di Indonesia belum ada,
insiden KAD di Indonesia tidak sebanyak di negara barat, mengingat prevalensi
DM tipe 1 yang rendah. Laporan insiden KAD di Indonesia umumnya berasal dari
data rumah sakit dan terutama pada pasien DM tipe 2.1
Angka kematian pasien dengan KAD di negara maju kurang dari 5% pada
banyak senter, beberapa sumber lain menyebutkan 5 – 10%2, 2 – 10%, atau 9-
10%.1 Sedangkan di klinik dengan sarana sederhana dan pasien usia lanjut angka
kematian dapat mencapai 25 – 50%. Angka kematian menjadi lebih tinggi pada
beberapa keadaan yang menyertai KAD, seperti sepsis, syok berat, infark miokard
akut yang luas, pasien usia lanjut, kadar glukosa darah awal yang tinggi, uremia
dan kadar keasaman darah yang rendah. 4
Kematian pada pasien KAD usia muda umumnya dapat dihindari dengan
diagnosis cepat, pengobatan yang tepat dan rasional sesuai dengan
patofisiologinya. Pada pasien kelompok usia lanjut, penyebab kematian lebih
sering dipicu oleh faktor penyakit dasarnya.1
21
2.3.3 Faktor Pencetus
Terdapat sekitar 20% pasien KAD yang baru diketahui menderita DM untuk
pertama kalinya. Pada pasien KAD yang sudah diketahui DM sebelumnya, 80%
dapat dikenali adanya faktor pencetus, sementara 20% lainnya tidak diketahui
faktor pencetusnya.1,5
Faktor pencetus tersering dari KAD adalah infeksi, dan diperkirakan sebagai
pencetus lebih dari 50% kasus KAD.5,6,7 Pada infeksi akan terjadi peningkatan
sekresi kortisol dan glukagon sehingga terjadi peningkatan kadar gula darah yang
bermakna. Faktor lainnya adalah cerebrovascular accident, alcohol abuse,
pankreatitis, infark jantung, trauma, pheochromocytoma, obat, DM tipe 1 yang
baru diketahui dan diskontinuitas (kepatuhan) atau terapi insulin inadekuat.1,2,5,8
Kepatuhan akan pemakaian insulin dipengaruhi oleh umur, etnis dan faktor
komorbid penderita.8 Faktor lain yang juga diketahui sebagai pencetus KAD
adalah trauma, kehamilan, pembedahan, dan stres psikologis. Infeksi yang
diketahui paling sering mencetuskan KAD adalahinfeksi saluran kemih dan
pneumonia.8 Pneumonia atau penyakit paru lainnya dapat mempengaruhi
oksigenasi dan mencetuskan gagal napas, sehingga harus selalu diperhatikan
sebagai keadaan yang serius dan akan menurunkan kompensasi respiratorik dari
asidosis metabolik.9 Infeksi lain dapat berupa infeksi ringan seperti skin lesion
atau infeksi tenggorokan. Obat-obatan yang mempengaruhi metabolisme
karbohidrat seperti kortikosteroid, thiazid, pentamidine, dan obat simpatomimetik
(seperti dobutamin dan terbutalin), dapat mencetuskan KAD. Obat-obat lain yang
diketahui dapat mencetuskan KAD diantaranya beta bloker, obat antipsikotik, dan
fenitoin, Pada pasien usia muda dengan DM tipe 1, masalah psikologis yang
disertai kelainan makan memberikan kontribusi pada 20% KAD berulang. 1
22
mengurangi dampak yang ditimbulkan akibat KAD itu sendiri.12,13
2.3.4 Patofisiologi
23
Gambar 2.2. Bagan Patofisiologi KAD1
24
Di hepar, asam lemak bebas dioksidasi menjadi benda keton yang
prosesnya distimulasi terutama oleh glukagon. Peningkatan konsentrasi glukagon
menurunkan kadar malonyl coenzyme A (Co A) dengan cara menghambat
konversi piruvat menjadi acetyl Co A melalui inhibisi acetyl Co A carboxylase,
enzim pertama yang dihambat pada sintesis asam lemak bebas. Malonyl Co A
menghambat camitine palmitoyl- transferase I (CPT I), enzim untuk transesteri¿
kasi dari fatty acyl Co A menjadi fatty acyl camitine, yang mengakibatkan
oksidasi asam lemak menjadi benda keton. CPT I diperlukan untuk perpindahan
asam lemak bebas ke mitokondria tempat dimana asam lemak teroksidasi.
Peningkatan aktivitas fatty acyl Co A dan CPT I pada KAD mengakibatkan
peningkatan ketongenesis.5
Tujuh puluh sampai sembilan puluh persen pasien KAD telah diketahui
menderita DM sebelumnya. Sesuai dengan patofisiologi KAD, akan dijumpai
pasien dalam keadaan ketoasidosis dengan pernapasan cepat dan dalam
(Kussmaul), berbagai derajat dehidrasi (turgor kulit berkurang, lidah dan bibir
kering), kadang-kadang disertai hipovolemia sampai syok. Keluhan poliuria dan
polidipsi seringkali mendahului KAD, serta didapatkan riwayat berhenti
menyuntik insulin, demam, atau infeksi. 1
2.3.6. Diagnosis
Diagnosis pada pasien KAD terdiri dari anamnesis dan pemeriksaan fisik
yang cepat dan teliti terutama memperhatikan patensi jalan napas, status mental,
status ginjal dan kardiovaskular, dan status hidrasi. Langkah-langkah ini harus
25
dapat menentukan jenis pemeriksaan laboratorium yang harus segera dilakukan,
sehingga penatalaksanaan dapat segera dimulai tanpa adanya penundaan.1
26
Tabel 2.3. Kriteria diagnostik KAD menurut American Diabetes Association11
2.3.7. Penatalaksanaan
27
berupa edema otak yang dapat terjadi 4-5 jam setelah terapi dimulai.
Jumlah cairan yang diberikan dalam 48 jam adalah sisa deficit cairan
ditambah kebutuhan cairan rumatan untuk 48 jam kemudian.
28
6. Pengkuran balans cairan yang cermat
7. Suhu tubuh tiap 2-4 jam
8. Pemeriksaan keton darah atau keton urin sampai negative
9. EKG
Setelah resusitasi selesai sedangkan rehidrasi serta penggantian KCl dalam proses,
maka terapi insulin dapat dimulai dengan pengamatan klinis dan laboratorium
yang ketat.
29
Bagan 2.2 Algoritme pemberian insulin
GDS pada 2x
pemeriksaan
interval 2 jam
Stop insulin
TITRASI INSULIN
YA Tambahkan 0,02-
1 IU/Kg/jam
Periksa GDS tiap
20 menit sampai
target
180 YA Insulin 0,1 Cek GDS TIDAK
GDS
- IU/Kg/jam Tiap jam >110 <110
360
Target
Target Stop
GDS
GDS
TIDAK 180-
110-180
insulin
- 360
JIKA berikan
180 glukosa
GDS
YA 0,5 g/Kg
Insulin 0,2 Cek GDS <40
>360 IU/Kg/jam Tiap jam YA
Bila stabil
cek GDS
Stop insulin
tiap 4 jam TURUNKAN
INSULIN
BERTAHAP
3. Koreksi natrium2,4,15,16
30
4. Koreksi kalium2,4,15,16
5. Natrium Bikarbonat2,4,15,16
Pada umumnya jarang diperlukan terapi dengan pemberian natrium
bikarbonat karena asidosis pada KAD yang disebabkan oleh benda keton dan
asam laktat akan hilang dengan pembeian cairan dan insulin.
Indikasi pemberian :
1. Penderita dengan renjatan berat
2. Penderita dengan asidosis berat (Ph <6,9 dan atau HCO3 < 5mmol/L)
Monitoring jantung harus baik dan hati-hati akan terjadinya hipokalemia
akibat koreksi asidosis yang terlalu cepat.
Dosis 1-2 mmol/Kg dan untuk pemberian berikutnya harus dilihat terlebih
dahulu respon terapi sebelumnya. Pemberian dilakukan tiap kali secara
intravena selama 60 menit.
31
6. Fosfat 2,4
7. Magnesium
32
maka antibiotika yang dipilih adalah antibiotika spektrum luas. 2,4
2.3.9 Komplikasi
Komplikasi yang paling sering dari KAD adalah hipoglikemia oleh karena
penanganan yang berlebihan dengan insulin, hipokalemia yang disebabkan oleh
pemberian insulin dan terapi asidosis dengan bikarbonat, dan hiperglikemia
sekunder akibat pemberian insulin yang tidak kontinu setelah perbaikan tanpa
diberikan insulin subkutan. Umumnya pasien KAD yang telah membaik
mengalami hiperkloremia yang disebabkan oleh penggunaan cairan saline yang
berlebihan untuk penggantian cairan dan elektrolit dan non-anion gap metabolic
acidosis seperti klor dari cairan intravena mengganti hilangnya ketoanion seperti
garam natrium dan kalium selama diuresis osmotik. Kelainan biokemikal ini
terjadi sementara dan tidak ada efek klinik signifikan kecuali pada kasus gagal
ginjal akut atau oliguria berat.11
33
Edema serebri umumnya terjadi pada anak-anak, jarang pada dewasa. Tidak
didapatkan data yang pasti morbiditas pasien KAD oleh karena edema serebri
pada orang dewasa. Gejala yang tampak berupa penurunan kesadaran, letargi,
penurunan arousal, dan sakit kepala. Kelainan neurologis dapat terjadi cepat,
dengan kejang, inkontinensia, perubahan pupil, bradikardia, dan kegagalan
respirasi. 11
34
Tabel 2.4. Evaluasi status neurologis pada anak dengan KAD4
35
hasilnya. Gejala klinik yang dapat dijadikan pegangan agar dapat membedakan
KAD dengan HHS :1,8,11
a. Sering ditemukan pada usia lanjut yaitu sekitar >60 tahun, semakin
muda,semakin berkurang dan belum pernah ditemukan pada anak.
b. Hampir separuh pasien tidak mempunyai riwayat DM, atau diabetes
tanpa pengobatan insulin.
c. Mempunyai penyakit dasar lain. Sekitar 80% penderita HHS
mempunyai penyakit ginjal dan kardiovaskular, tirotoksikosis dan
penyakit cushing.
d. Sering disebabkan obat-obatan antara lain tiazid, sterois,
haloperidol,simetidin, dll
e. Mempunyai factor pencetus seperti penyakit kardiovaskular,
pankreatitis,operasi.Pemeriksaan dapat membantu membedakan KAD
dengan HHS, adapun perbandingan hasil pemeriksaan KAD dengan HHS
sebagaimana terlampir pada tabel 2.Angka kematian pada HHS lebih
banyak dibandingkan KAD karena insidenlebih sering pada usia lanjut dan
berhubungan dengan penyakit kardiovaskular dan dehidrasi. Angka
kematian pada HHS sekitar 30-50%.
2. Asidosis laktat
2.3.11. Pencegahan
Faktor pencetus utama KAD ialaha pemberian dosis insulin yang kurang
memadai dan kejadian infeksi. Pada beberapa kasus, kejadian tersebut dapat
dicegah dengan akses pada system pelayanan kesehatan lebih baik (termasuk
36
edukasi DM) dan komunikasi efektif terutama pada saat penyandang DM
mengalami sakit akut (misalnya batuk, pilek, diare, demam, luka).1
2.3.12. Prognosis
37
masalah keluarga, keterbatasan akses pelayanan kesehatan, dan penggunaan
pompa insulin.4
38
BAB III
PEMBAHASAN
Secara umum ada 4 pilar utama penatalaksaana pada pasien KAD yaitu
rehidrasi, pemberian insulin, koreksi gangguan elektrolit dan koreksi asidosis.
Selain itu juga diberikan edukasi kepada pasien dan kedua orang tua agar menjaga
pola makan, menggunakan obat secara teratur dan menghindari faktor-faktor yang
dapat memicu terjadinya KAD.
39
Saat terapi di IGD pasien di rehidrasi dan diberikan insulin, sedangkan
untuk koreksi gangguan elektrolit dan asidosis dilakukan di ruang perawatan.
Pasien dirawat inap selama 5 hari dan hari ke enam diperbolehkan pulang.
Pasien dipulangkan dengan perbaikan kondisi dan diberikan obat insulin serta
pasien disarankan untuk rutin kontrol ke spesialis anak.
40
BAB IV
KESIMPULAN
41
DAFTAR PUSTAKA
1. UKK endrokrinologi anak dan remaja, ikatan dokter anak Indonesia, world
diabetes foundation.Konsensus nasional pengelolaan diabetes mellitus tipe 1.
Badan penerbit ikatan dokter anak Indonesia. Jakarta. 2009
2. Soelistijo SA, et al. Konsensus Pengelolaan dan pencegahan Diabetes melitus
tipe 2 Di Indonesia 2015. PB.Perkeni.2015.
3. Soewondo P. Ketoasidosis Diabetik. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi
I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. 4th ed.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006.
p.1874-7.
4. Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, Harmoniati
AD.Pedoman pelayanan medis. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2009.
5. Pardede SO, Djer MM, Soesanti F, Ambarsari CG, Soebadi A. Pendidikan
kedokteran berkelanjutan LXIV. Tatalaksana berbagai keadaan gawat darurat
pada anak. FKUI Depatermen Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta. 2013.
6. Umpierrez GE, Murphy MB, Kitabachi AE. Diabetic Ketoacidosis and
Hyperglycemic Hyperosmolar Syndrome. Diabetes Spectrum
2002;15(1):28-35.
7. Aksara B. Karakteristik Ketoasidosis Diabetik pada anak. Fatmawati hospital
journal. Jakarta. 2013.
8. Aji HC. Gambaran klinis ketoasidosis diabetikum pada anak. Jurnal
kedokteran brawijaya. Malang. 2012.
9. Yehia BR, Epps KC, Golden SH. Diagnosis and Management of
Diabetic Ketoacidosis in Adults. Hospital Physician 2008. p. 21-35.
10. Van Zyl DG. Diagnosis and Treatment of Diabetic Ketoacidosis. SA
Fam Prac 2008;50:39-49.
11. Chiasson JL. Diagnosis and Treatment of Diabetic Ketoacidosis and
The Hyperglycemic Hyperosmolar State. Canadian Medical Association
Journal 2003;168(7): p.859-66.
12. American Diabetes Association. Hyperglycemic Crisis in Diabetes.
Diabetes Care 2004;27(1):94- 102.
42
13. Ennis ED, Kreisberg RA. Diabetic Ketoacidosis and The Hyperglycemic
Hyperosmolar Syndrome. In: LeRoith D, Taylor SI, Olefsky JM, editors.
Diabetes mellitus a fundamental and clinical text. 2nd ed. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins;2000. p.336-46.
14. Wallace TM, Matthews DR. Recent Advances in The Monitoring and
Management of Diabetic Ketoacidosis. Q J Med 2004;97(12):773-80.
15. Wolfsdore JW, Glaser N, Sperling MA. Diabetic Ketoacidosis in Infants, Children,
and Adolescents. Diabetes Care 2006;29(5):1150-6.
16. Dunger DM, Sperling MA, Acerini CL, et al. European society for pediatric
endocrinology/ Lawson Wilkins Pediatric Endocrine Society Consensus
statement on diabetic ketoacidosis in children and adoleecents, Pediatric
2004;113;e133-40
17. Wolfsdrof J, et al. ISPAD Clinical Practice Consensus Guidelines 2009,
Diabetic Ketoacidosis Pediatric Diabetes 2009;8;188-33.
43