Anda di halaman 1dari 43

Laporan Kasus

LAPORAN PRESENTASI KASUS DOKTER INTERNSIP

KETOASIDOSIS DIABETIK PADA DIABETES MELLITUS TIPE 1

Disusun untuk Memenuhi Sebagian Syarat Program Internsip Dokter Indonesia

Oleh
dr. Putri Marita

Pembimbing :
dr. Hendra Salim, Sp.A

Pendamping:
dr. Azharul Yusri,Sp.OG
dr. Aisah Bee

Program Internsip Dokter Indonesia


RSUD Kabupaten Kepulauan Meranti
Riau
2017

1
BAB I

ILUSTRASI KASUS

1.1 IDENTITAS PASIEN

Nama : An. NK
Umur : 11 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Pelajar
Alamat : Ds Anak Kamal
Tanggal periksa : 3 November 2016 (Pukul 10.25)
No. RM : 05 64 XX (pukul 10.30 WIB)

1.2 ANAMNESIS
Autoanamnesis dan aloanamnesis dengan ibu pasien
Keluhan Utama

Sesak napas

Riwayat Penyakit Sekarang

- Sejak 9 jam SMRS ibu pasien mengeluhkan anaknya mengalami sesak


napas tiba-tiba, sesak napas tidak menciut, dirasakan terus-menerus
dan tidak dipengaruhi oleh aktivitas. Sesak napas membuat anak
pasien hanya beristirahat.

- Demam (-), batuk (-), pilek (-). Tidak sadarkan diri (-). Nyeri perut (-).

- Pasien rujukan Puskesmas Teluk Belitung dengan diagnosis susp


Ketoasidosis Diabetik. Saat itu diperiksa GDS pukul 09.30 WIB : 506
mg/dl. Saat sampai di Puskesmas pasien langsung dipasang infus,
diberikan cairan 500 cc dan dirujuk ke RSUD Kabupaten Kepulauan
Meranti.

2
- 1 hari SMRS pasien muntah-muntah hebat, isi muntahan berupa
makanan yang dimakan. Frekuensi muntah lebih kurang 10 kali per
hari, volume muntah ± setengah gelas setiap muntah. Minum (+),
makan kurang.

- BAK lebih sering, tidak ada keluhan lainnya. BAB tidak ada keluhan.

- Sejak 1 tahun yang lalu pasien didiagnosis dengan DM Tipe 1, kontrol


tidak rutin ke Sp.A di Bengkalis tetapi ibu pasien mengatakan anaknya
selalu diberi obat Novorapid 6 IU dan Lantus 16 IU. Ibu pasien
mengecek gula darah anak di rumah setiap hari, rata-rata kadar gula
darah anak 150-250 mg/dl.

Riwayat Penyakit Dahulu

- Riwayat DM Tipe 1 (+) diketahui sejak 1 tahun yang lalu


- Riwayat keluhan yang sama 1 tahun yang lalu.
- HbA1c > 14% (Lab Thamrin 5-9-2016)

Riwayat Penyakit Keluarga

- Tidak ada anggota keluarga yang mengeluhkan hal yang sama dengan
pasien.
- Riwayat DM (-)

Riwayat Sosial Ekonomi dan Kebiasaan

- Pasien berasal dari keluarga ekonomi menengah.


- Tinggal di rumah permanen dengan ventilasi dan kebersihan yang
dirasakan cukup oleh ibu pasien.

Imunisasi

- Lengkap

Riwayat Tumbuh Kembang

- Sesuai dengan usia

3
Riwayat makan dan minum

- ASI eksklusif sampai usia 6 bulan


- Mulai MP ASI usia 6 bulan

1.3 PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan Umum

Kesadaran : Apatis
GCS : 14 (E3M6V5)
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 128 x/menit
Nafas : 48 x/menit (Pernafasan Kussmaul)
Sp O2 : 98%
Suhu : 370C
BB/ TB : 33 kg / 130 cm
Visual analog scale :6

Kepala

 Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil bulat isokor,
diameter 3mm/3mm, refleks cahaya langsung +/+, refleks cahaya tidak
langsung +/+. Mata cekung (-), bibir kering (+).
 Leher : JVP (5-2) cmH2O, pembesaran KGB (-)
 Kulit : Turgor kulit kembali lambat
 Telinga : DBN
 Hidung dan Tenggorokan : DBN

4
Thorax
 Paru

o Inspeksi : gerakan dinding dada kanan dan kiri simetris


o Palpasi : vokal fremitus kanan dan kiri sama
o Perkusi : sonor pada seluruh lapangan paru
o Auskultasi : vesikular +/+, Rhonki -/-, Wheezing -/-
 Jantung
o Inspeksi : iktus kordis terlihat
o Palpasi : iktus kordis teraba di SIK V 2 jari medial LMCS
o Perkusi : batas jantung kanan : LSD
batas jantung kiri : SIK V 2 jari medial LMCS
o Auskultasi : S1 dan S2 normal, bunyi jantung tambahan (-),
murmur (-), gallop (-).

Abdomen
 Inspeksi : datar, scar (-), kelainan kulit (-).
 Auskultasi : bising usus (+) 20 x/menit.
 Perkusi : timpani
 Palpasi : supple, asites (-), hepar dan lien tidak teraba
Nyeri tekan (-), turgor kulit kembali lambat.

Ekstremitas
Edema (-).
Akral hangat, CRT < 2 detik.

1.4 PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Hematologi (3 November 2016)


Hb : 14,8 gr%
Leukosit : 24.080/mm3
Trombosit : 285.000/mm3

5
Ht : 42,6 vol%
MCV : 75 fl
MCH : 26 pg
MCHC : 35 %
Diff count : Basofil : 0,7 %
Eosinofil : 0,2 %
Neutrofil batang :-
Neutrofil segmen : 83,9 %
Limfosit : 11,8 %
Monosit : 2,4 %
Kimia Klinik (3 November 2016)
GDS cito 11.30 : 349 mg/dl
12.30 : 410 mg/dl
13.50 : 375 mg/dl
Ureum : 45 mg/dl
Creatinin : 1,35 mg/dl
Natrium : 130,39 mmol
Kalium : 5,44 mmol
Clorida :101,95 mmol
Kalsium : 1,41 mmol

Urinalisis
Warna : kuning muda keruh
BJ : 1,015
Ph : 5,0
Protein : (+)/ positif satu
Bilirubin : negatif
Urobilinogen : negatif
Keton : (+)

6
Reduksi : (+++)
Nitrit : (-)
Sedimen : Eritrosit : 1-2/LPB
Leukosit : 0-1/LPB
Epitel : (+)
Bakteri : (+)
Kristal : (-)
Silinder : (-)
Sel ragi : (-)

Analisis Gas Darah (3 November 2016)


Ph : 7,099
PCO2 : 13,3 mmHg
P O2 : 147,4 mmHg
HCO3 : 4 mmol/L
BE : -23,0 mmol/L
TCO2 : 4,4 mmol/L
SO2 : 98,1 %

1.5 DIAGNOSIS
Ketoasidosis Diabetik pada DM Tipe 1

1.6 DIAGNOSIS BANDING


1. Vomitus dengan dehidrasi berat
2. Asidosis Laktat
3. Hiperglicemia Hiperosmolar State

1.7 PENATALAKSANAAN
 O2 Nasal kanul 2L/ menit

7
 IVFD NaCl 0,9 % 95ml/jam, makrodrip (pertahankan selama 48 jam)
 13. 25 Wib
Insulin 0,2 IU/Kg/jam (Sansulin R 0,2 ml + NaCl 0,9 % 35 ml
kecepatan 35 ml/ 1 jam)

Konsul dengan dr. Hendra Sp.A, advise :


1. Acc rawat zaal anak
2. Pasang monitor
3. Tatalaksana awal sesuai protap

Observasi di IGD :
GDS pukul 11.30 Wib : 349 mg/dl
GDS pukul 12.50 Wib : 410 mg/dl
GDS pukul 13.50 Wib : 375 mg/dl

Jika GDS 180-360 mg/dl :


Insulin 0,1 IU/KgBB/jam, cek GDS tiap jam
Jika GDS > 360 mg/dl :
Insulin 0,2 IU/KgBB/jam, cek GDS tiap jam
Cek GDS tiap jam sampai target GDS 110-180 mg/dl tercapai
Jika target GDS tercapai : cek GDS tiap 4 jam
Jika GDS > 180 mg/dl : tambahkan insulin 0,02-1 IU/KgBB/jam, cek GDS
tiap jam
Jika GDS <110 mg/dl, stop insulin
Jika GDS <40 mg/dl, stop insulin, berika glukosa 0,5 gr/kgbb kemudian cek
GDS tiap 20 menit sampai target GDS tercapai

Follow Up
Tanggal Subjektif Objektif Assesment Planning
4-11-2016 Pusing, Kesadaran : KAD pada IVFD D5 ½ NS
Pukul 7.30 Lemas Komposmentis DM Tipe 1 95 ml/jam
WIB GCS : 15
KU : TSR Insulin drip
Makan (+) minum (+) kecepatan

8
Vital sign : 5ml/jam
 TD : 107/73 mmHg
 Nadi : 117 x/menit GDS pagi: 82
 RR : 27 x/menit mg/dl
 T : 36,8 C Stop insulin drip
 SpO2 99%
IVFD D5 ½ NS
4-11-16 (06.00) 95 ml/jam sampai
Natrium: 132,02 mmol pukul 10.00 wib
Kalium: 4,20 mmol
Clorida:104,32 mmol Besok cek GDS
Kalsium: 1,34 mmol ulang 2 jam post
prandial,
Urinalisis (06.00) selanjutnya setiap
Warna : kuning muda 4 jam
jernih
BJ : 1,025
Ph : 5,5
Protein :(+)/ positif satu
Bilirubin : negatif
Urobilinogen : negatif
Keton : negatif
Reduksi : negatif
Nitrit : negatif
Sedimen
Eritrosit:0-1/LPB
Leukosit:0-1/LPB
Epitel :0-1/LPB
Bakteri : (-)
Kristal : (-)
Silinder: (-)
Sel ragi: (-)

AGDA
Ph : 7,263
PCO2 : 29,3 mmHg
P O2 : 140,2 mmHg
HCO3 : 12,8 mmol/L
BE : -12,3 mmol/L
TCO2 : 13,7 mmol/L
SO2 : 98,5 %

4-11-2016 Pusing, Lapor ke KAD pada Novorapid 6 IU


Pukul Lemas dr.Hendra,Sp.A DM Tipe 1 subkutan
9.30 GDS 208 mg/dl

4-11-16 Penurunan Kesadaran : Koma KAD pada Koreksi bicnat 1

9
Pukul Kesadaran, GCS : 8 (E2M4V2) DM Tipe 1 meq/kg = 33 meq
20.30 gelisah KU : TSS + 150 ml D5%
Vital sign : habis dalam 5 jam
 TD : 95/50 mmHg Atau
 Nadi : 130 x/menit 10 meq bicnat
 RR : 36 x/menit +50 ml D5%
 T 36,9 C habis dalam 2 jam
 GDS 289 mg/dl Jadi
20 meq bicnat +
AGD: HCO3- 4 mmol/l 100 ml D5%
habis dalam 4 jam
4-11-16 (12.00)
Natrium: 129,86 mmol Konsul rawat ICU
Kalium: 3,63 mmol
Clorida:99,58 mmol Konsul dengan dr.
Kalsium: 1,39 mmol suryadi, Sp.An :
-Acc rawat ICU
4-11-16 (19.00) -Terapi lanjut dari
Natrium: 136,27 mmol dr. Hendra Salim,
Kalium: 3,28 mmol Sp.A
Clorida:105,63 mmol -O2 Nasal Kanul
Kalsium: 1,32 mmol
Instruksi di ICU :
Koreksi Bicnat 20
meq + 100 ml
D5% habis dalam
4 jam, kemudian
cek AGD

Pasang kateter
urin

Insulin drip 0,3


ml + 50 ml NaCl
0,9 %

Cek GDS tiap 1


jam sampai
dengan GDS 180
mg/dl

IVFD NaCl 0,9%


95 ml/jam

Cek Elektrolit tiap


6 jam + AGD +
Urinalisis

10
Puasa 48 jam

5-11-2016 Lemas Kesadaran : Somnolen KAD NaCl 0,9%


Perawatan di GCS : 12 E3M5V4 dalam 95ml/jam (pukul
ICU KU : TSS perbaikan 02.00-03.00)
06.00 WIB Makan (-) minum (+) Drip insulin 0,3
Vital sign : ml+50 ml NaCl
 TD : 105/70 mmHg 12,5 ml/jam
 Nadi : 102 x/menit (pukul 02.00-
 RR : 24 x/menit 05.00)
 T : 36,8 C D5% ½ NS
 SpO2 99% 95ml/jam (pukul
04.00-05.00)
Intake 445 cc
Urin output 800 cc
IWL 82,5 cc
Balance -437,5 cc

5-11-2016 Keluhan(-) Kesadaran : Apatis KAD  D5 % ½ NS


Perawatan di GCS : 14 E3M6V5 dalam 95ml/jam
ICU KU : TSR perbaikan (pukul 07.00-
15.00 WIB Makan (+) minum (+) 13.00)
Vital sign :  Ganti IVFD
 TD : 103/73 mmHg dengan NaCl
 Nadi : 98 x/menit 0,9 % 95
 RR : 24 x/menit ml/jam (pukul
 T : 36,5 C 13.00 – 06.00)
 SpO2 99%  Drip insulin 0,5
ml + NaCl 50
Intake oral 1411 cc ml 5 ml/jam
Urin output 1580 cc (pukul 13.00 –
IWL 396 cc 06.00)
Balance cairan: -569 cc

Hematologi(5-11-16)
Hb : 14,1 gr
Leukosit: 16.870/mm3
Trombosit:
210.000/mm3
Ht : 39,8 vol%
MCV : 74 fl
MCH : 26 pg
MCHC : 36 %
Diff count :
Basofil : 0,3 %
Eosinofil : 0,1 %

11
Neutrofil batang : -
Neutrofil segmen:79,3
%
Limfosit : 6,8 %
Monosit: 13,5 %

Kimia Klinik (5-11-16)


GDS : 113 mg/dl
Ureum : 11 mg/dl
Creatinin: 0,88 mg/dl
Natrium: 133,58 mmol
Kalium: 4,69 mmol
Clorida:106,78 mmol
Kalsium: 1,46 mmol

Natrium: 140,71 mmol


Kalium: 3,35 mmol
Clorida:111,62 mmol
Kalsium: 1,35 mmol

AGDA
Ph : 7,342
PCO2 : 27,3 mmHg
P O2 : 160,3 mmHg
HCO3 : 14,4 mmol/L
BE : -9,3 mmol/L
TCO2 : 15,2 mmol/L
SO2 : 99 %

5-11-16 Keluhan(-) Kesadaran : KAD  Insulin sub


20.00 WIB Komposmentis dalam kutan
KU : TSR perbaikan (novorapid) 6
Makan (+) minum (+) IU pagi
Vital sign :  Lantus 16 IU
 TD : 100/70 mmHg  Cek elektrolit
 Nadi : 98 x/menit pukul 18.00
 RR : 22 x/menit  Aff infuse
 T : 37 C  Aff kateter
 GDS : 91 mg/dl  Rencana
pindah
ruangan ke
zaal anak
pukul 18.00

6-11-2016 Keluhan(-) Kesadaran : KAD  Novorapid 6 IU


7.30 WIB Komposmentis dalam  Cek GDS 4 jam
KU : TSR perbaikan lagi
Makan (+) minum (+)

12
Vital sign :  Insulin sub
 TD : 107/70 mmHg kutan
 Nadi : 80 x/menit (novorapid) 6
 RR : 20 x/menit IU pagi
 T : 36,8 C  Cek GDS dan
GDS pagi: 426 mg/dl GD 2 jam PP
GD 2 jam PP 366
mg/dl

7-11-2016 Keluhan(-) Kesadaran : Diet ML DM


7.30 WIB Komposmentis 1100k
KU : TSR kal
Makan (+) minum (+)  Insulin sub
Vital sign : kutan
 TD : 110/72 mmHg (novorapid) 6
 Nadi : 98 x/menit IU pagi
 RR : 20 x/menit  Cek GD 2 jam
 T : 37 C PP : 116
 GDS pagi: 174 mg/dl mg/dl

7-11-2016 Keluhan(-) Kesadaran :  Pasien


14.00 WIB Komposmentis dibolehkan
KU : TSR pulang
Makan (+) minum (+)  Obat pulang
Vital sign : Lantus dan
 TD : 105/70 mmHg Novorapid
 Nadi : 98 x/menit  Kontrol hari
 RR : 20 x/menit jumat (11-11-
 T : 36,8 C 2016) ke Poli
 GDS: 80 mg/dl Anak

13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2. 1. DIABETES MELLITUS TIPE 1

2.1.1 Definisi
DM tipe-1 adalah kelainan sistemik akibat terjadinya gangguan
metabolisme glukosa yang ditandai oleh hiperglikemia kronik. Keadaan ini
diakibatkan oleh kerusakan sel-β pankreas baik oleh proses autoimun maupun
idiopatik sehingga produksi insulin berkurang bahkan terhenti.1

2.1.2. Klasifikasi2

2.1.3. Kriteria Diagnostik


Glukosa darah puasa dianggap normal bila kadar glukosa darah kapiler <
126 mg/dL (7 mmol/L). Glukosuria saja tidak spesifik untuk DM sehingga perlu
dikonfirmasi dengan pemeriksaan glukosa darah. 1

14
Diagnosis DM dapat ditegakkan apabila memenuhi salah satu kriteria
sebagai berikut: 1
1. Ditemukannya gejala klinis poliuria, polidpsia, polifagia, berat badan yang
menurun, dan kadar glukasa darah sewaktu >200 mg/dL (11.1 mmol/L).
2. Pada penderita yang asimtomatis ditemukan kadar glukosa darah sewaktu
>200 mg/dL atau kadar glukosa darah puasa lebih tinggi dari normal dengan
tes toleransi glukosa yang terganggu pada lebih dari satu kali pemeriksaan.

2.1.4. Tes Toleransi Glukosa


Pada anak biasanya tes toleransi glukosa (TTG) tidak perlu dilakukan
untuk mendiagnosis DM tipe-1, karena gambaran klinis yang khas. Indikasi TTG
pada anak adalah pada kasus-kasus yang meragukan yaitu ditemukan gejala-gejala
klinis yang khas untuk DM, namun pemeriksaan kadar glukosa darah tidak
menyakinkan. 1

2.1.5. Epidemiologi
Insidens DM tipe-1 sangat bervariasi baik antar negara maupun di dalam
suatu negara. Insidens tertinggi terdapat di Finlandia yaitu 43/100.000 dan
insidens yang rendah di Jepang yaitu 1,5-2/100.000 untuk usia kurang 15 tahun.
Insidens DM tipe-1 lebih tinggi pada ras kaukasia dibandingkan ras-ras lainnya. 1
Berdasarkan data dari rumah sakit terdapat 2 puncak insidens DM tipe-1
pada anak yaitu pada usia 5-6 tahun dan 11 tahun. Patut dicatat bahwa lebih dari
50 % penderita baru DM tipe-1 berusia >20 tahun. 1

2.1.6. Gambaran Klinis


Sebagian besar penderita DM tipe-1 mempunyai riwayat perjalanan klinis
yang akut. Biasanya gejala-gejala poliuria, polidipsia, polifagia dan berat badan
yang cepat menurun terjadi antara 1 sampai 2 minggu sebelum diagnosis
ditegakkan. Apabila gejala-gejala klinis ini disertai dengan hiperglikemia maka
diagnosis DM tidak diragukan lagi. 1
Insidens DM tipe-1 di Indonesia masih rendah sehingga tidak jarang
terjadi kesalahan diagnosis dan keterlambatan diagnosis. Akibat keterlambatan

15
diagnosis, penderita DM tipe-1 akan memasuki fase ketoasidosis yang dapat
berakibat fatal bagi penderita. Keterlambatan ini dapat terjadi karena penderita
disangka menderita bronkopneumonia dengan asidosis atau syok berat akibat
gastroenteritis. 1
Kata kunci untuk mengurangi keterlambatan diagnosis adalah
kewaspadaan terhadap DM tipe-1. Diagnosis DM tipe-1 sebaiknya dipikirkan
sebagai diferensial diagnosis pada anak dengan enuresis nokturnal (anak besar),
atau pada anak dengan dehidrasi sedang sampai berat tetapi masih ditemukan
diuresis (poliuria), terlebih lagi jika disertai dengan pernafasan Kussmaul dan bau
keton. 1
Perjalanan alamiah penyakit DM tipe-1 ditandai dengan adanya fase
remisi (parsial/total) yang dikenal sebagai honeymoon periode. Fase ini terjadi
akibat berfungsinya kembali jaringan residual pankreas sehingga pankreas
mensekresikan kembali sisa insulin. Fase ini akan berakhir apabila pankreas sudah
menghabiskan seluruh sisa insulin. Secara klinis ada tidaknya fase ini harus
dicurigai apabila seorang penderita baru DM tipe-1 sering mengalami serangan
hipoglikemia sehingga kebutuhan insulin harus dikurangi untuk menghindari
hipoglikemia. Apabila dosis insulin yang dibutuhkan sudah mencapai < 0,25
U/kgBB/hari maka dapat dikatakan penderita berada pada fase “remisi total”. Di
Negara berkembang yang masih diwarnai oleh pengobatan tradisional, fase
iniperlu dijelaskan kepada penderita sehingga anggapan bahwa penderita telah
“sembuh” dapat dihindari. Ingat, bahwa pada saat cadangan insulin sudah habis,
penderita akan membutuhkan kembali insulin dan apabila tidak segera mendapat
insulin, penderita akan jatuh kembali ke keadaan ketoasidosis dengan segala
konsekuensinya. 1

2.1.7. Pengelolaan DM Tipe 1


Hal pertama yang harus dipahami oleh semua pihak adalah bahwa DM
tipe-1 tidak dapat disembuhkan, tetapi kualitas hidup penderita dapat
dipertahankan seoptimal mungkin dengan kontrol metabolic yang baik. Yang
dimaksud kontrol metabolik yang baik adalah mengusahakan kadar glukosa darah

16
berada dalam batas normal atau mendekati nilai normal, tanpa menyebabkan
hipoglikemia. 1
Walaupun masih dianggap ada kelemahan, parameter HbA1c merupakan
parameter kontrol metabolik standar pada DM. Nilai HbA1c < 7% berarti kontrol
metabolik baik; HbA1c < 8% cukup dan HbA1c > 8% dianggap buruk. Kriteria
ini pada anak perlu disesuaikan dengan usia karena semakin rendah HbA1c
semakin tinggi risiko terjadinya hipoglikemia. 1
Untuk mencapai kontrol metabolik yang baik pengelolaan DM tipe-1 pada
anak sebaiknya dilakukan secara terpadu oleh suatu tim yang terdiri dari ahli
endokrinologi anak/dokter anak/ahli gizi/ahli psikiatri/psikologi anak, pekerja
sosial, dan edukator. Kerjasama yang baik antara tim dan pihak penderita akan
lebih menjamin tercapainya kontrol metabolik yang baik. 1
Untuk mencapai sasaran dan tujuan tersebut, komponen pengelolaan DM
tipe-1 meliputi pemberian insulin, pengaturan makan, olahraga, dan edukasi, yang
didukung oleh pemantauan mandiri (home monitoring). Keseluruhan komponen
berjalan secara terintegrasi untuk mendapatkan kontrol metabolik yang baik. Dari
faktor penderita juga terdapat beberapa kendala pencapaian kontrol metabolik
yang baik. Faktor pendidikan, sosioekonomi dan kepercayaan merupakan
beberapa faktor yang harus dipertimbangkan dalam pengelolaan penderita
terutama dari segi edukasi. 1

2.2 DIABETES MELLITUS TIPE 2

2.2.1. Definisi
DM merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
kedua-duanya.2

2.2.2. Patogenesis
Resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan sel beta pankreas
telah dikenal sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe-2. Belakangan
diketahui bahwa kegagalan sel beta terjadi lebih dini dan lebih berat daripada

17
yang diperkirakan sebelumnya. Selain otot, liver dan sel beta, organ lain seperti:
jaringan lemak (meningkatnya lipolisis), gastrointestinal (defisiensi incretin), sel
alpha pancreas (hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan absorpsi glukosa), dan
otak (resistensi insulin), kesemuanya ikut berperan dalam menimbulkan terjadinya
gangguan toleransi glukosa pada DM tipe-2. 2

Gambar 2.1 . Delapan organ yang berperan dalam patogenesis hiperglikemia


pada DM tipe 22

2.2.3. Diagnosis

Tabel 2.1 Kriteria diagnosis DM2

18
Tabel 2.2 Kadar tes laboratorium darah untuk diagnosis daibetes dan
prediabetes. 2

2.2.4 Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup
penyandang diabetes. Tujuan penatalaksanaan meliputi : 2
1. Tujuan jangka pendek: menghilangkan keluhan DM, memperbaiki kualitas
hidup, dan mengurangi risiko komplikasi akut.
2. Tujuan jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas penyulit
mikroangiopati dan makroangiopati.
3. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM.

Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa


darah, tekanan darah, berat badan, dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien
secara komprehensif. 2
Penatalaksanaan DM dimulai dengan menerapkan pola hidup sehat (terapi
nutrisi medis dan aktivitas fisik) bersamaan dengan intervensi farmakologis
dengan obat anti hiperglikemia secara oral dan/atau suntikan. Obat anti
hiperglikemia oral dapat diberikan sebagai terapi tunggal atau kombinasi. Pada
keadaan emergensi dengan dekompensasi metabolik berat, misalnya: ketoasidosis,
stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat, atau adanya ketonuria, harus
segera dirujuk ke Pelayanan Kesehatan Sekunder atau Tersier. 2

19
Bagan 2.1 Algoritme Pengelolaan DM Tipe 22

2.3 KETOASIDOSIS DIABETIK

2.3.1 Definisi

Ketoasidosis diabetik (KAD) merupakan kedaruratan pada Diabetes


Mellitus (DM) dimana terjadi dekompensasi dan kekacauan metabolik yang
ditandai oleh trias hiperglikemia, asidosis, dan ketosis, terutama disebabkan oleh
defisiensi insulin absolut atau relatif. KAD dan hipoglikemia merupakan
komplikasi akut diabetes mellitus (DM) yang serius dan membutuhkan
pengelolaan gawat darurat. Akibat diuresis osmotik, KAD biasanya mengalami
dehidrasi berat dan bahkan dapat sampai menyebabkan syok.1,2,3 Keadaan KAD
ditunjang oleh meningkatnya hormon kontra regulator yaitu hormon katekolamin,
glukagon, kortisol dan hormon pertumbuhan (growth hormone).2

20
2.3.2. Epidemiologi

Insidensi KAD bervariasi dari satu negara dengan negara lainnya. KAD
tertinggi terdapat di negara Uni Emirat Arab sebanyak 80% dari kasus DM dan
terendah di Swedia 14%.4 Data komunitas di Amerika Serikat, Rochester,
menunjukkan bahwa insidensi KAD sebesar 8/1000 pasien DM per tahun untuk
semua kelompok umur, sedangkan untuk kelompok umur kurang dari 30 tahun
sebesar 13,4/1000 pasien DM per tahun.1 Anak usia kurang dari 5 tahun lebih
sering mengalami KAD saat diagnosis pertama, terutama jika disertai masalah
sosial ekonomi dan kendala ke fasilitas pelayanan kesehatan.4

KAD dilaporkan bertanggung jawab untuk lebih dari 100.000 pasien yang
dirawat per tahun di Amerika Serikat.5 Walaupun data di Indonesia belum ada,
insiden KAD di Indonesia tidak sebanyak di negara barat, mengingat prevalensi
DM tipe 1 yang rendah. Laporan insiden KAD di Indonesia umumnya berasal dari
data rumah sakit dan terutama pada pasien DM tipe 2.1

Angka kematian pasien dengan KAD di negara maju kurang dari 5% pada
banyak senter, beberapa sumber lain menyebutkan 5 – 10%2, 2 – 10%, atau 9-
10%.1 Sedangkan di klinik dengan sarana sederhana dan pasien usia lanjut angka
kematian dapat mencapai 25 – 50%. Angka kematian menjadi lebih tinggi pada
beberapa keadaan yang menyertai KAD, seperti sepsis, syok berat, infark miokard
akut yang luas, pasien usia lanjut, kadar glukosa darah awal yang tinggi, uremia
dan kadar keasaman darah yang rendah. 4

Kematian pada pasien KAD usia muda umumnya dapat dihindari dengan
diagnosis cepat, pengobatan yang tepat dan rasional sesuai dengan
patofisiologinya. Pada pasien kelompok usia lanjut, penyebab kematian lebih
sering dipicu oleh faktor penyakit dasarnya.1

21
2.3.3 Faktor Pencetus

Terdapat sekitar 20% pasien KAD yang baru diketahui menderita DM untuk
pertama kalinya. Pada pasien KAD yang sudah diketahui DM sebelumnya, 80%
dapat dikenali adanya faktor pencetus, sementara 20% lainnya tidak diketahui
faktor pencetusnya.1,5

Faktor pencetus tersering dari KAD adalah infeksi, dan diperkirakan sebagai
pencetus lebih dari 50% kasus KAD.5,6,7 Pada infeksi akan terjadi peningkatan
sekresi kortisol dan glukagon sehingga terjadi peningkatan kadar gula darah yang
bermakna. Faktor lainnya adalah cerebrovascular accident, alcohol abuse,
pankreatitis, infark jantung, trauma, pheochromocytoma, obat, DM tipe 1 yang
baru diketahui dan diskontinuitas (kepatuhan) atau terapi insulin inadekuat.1,2,5,8

Kepatuhan akan pemakaian insulin dipengaruhi oleh umur, etnis dan faktor
komorbid penderita.8 Faktor lain yang juga diketahui sebagai pencetus KAD
adalah trauma, kehamilan, pembedahan, dan stres psikologis. Infeksi yang
diketahui paling sering mencetuskan KAD adalahinfeksi saluran kemih dan
pneumonia.8 Pneumonia atau penyakit paru lainnya dapat mempengaruhi
oksigenasi dan mencetuskan gagal napas, sehingga harus selalu diperhatikan
sebagai keadaan yang serius dan akan menurunkan kompensasi respiratorik dari
asidosis metabolik.9 Infeksi lain dapat berupa infeksi ringan seperti skin lesion
atau infeksi tenggorokan. Obat-obatan yang mempengaruhi metabolisme
karbohidrat seperti kortikosteroid, thiazid, pentamidine, dan obat simpatomimetik
(seperti dobutamin dan terbutalin), dapat mencetuskan KAD. Obat-obat lain yang
diketahui dapat mencetuskan KAD diantaranya beta bloker, obat antipsikotik, dan
fenitoin, Pada pasien usia muda dengan DM tipe 1, masalah psikologis yang
disertai kelainan makan memberikan kontribusi pada 20% KAD berulang. 1

Faktor yang memunculkan kelalaian penggunaan insulin pada pasien muda


diantaranya ketakutan untuk peningkatan berat badan dengan perbaikan kontrol
metabolik, ketakutan terjadinya hipoglikemia, dan stres akibat penyakit
kronik.5,8,10,11 Namun demikian, seringkali faktor pencetus KAD tidak ditemukan
dan ini dapat mencapai 20 – 30% dari semua kasus KAD, akan tetapi hal ini tidak

22
mengurangi dampak yang ditimbulkan akibat KAD itu sendiri.12,13

2.3.4 Patofisiologi

KAD ditandai oleh adanya hiperglikemia, asidosis metabolik, dan


peningkatan konsentrasi keton yang beredar dalam sirkulasi. Ketoasidosis
merupakan akibat dari kekurangan atau inefektifitas insulin yang terjadi
bersamaan dengan peningkatan hormon kontraregulator (glukagon, katekolamin,
kortisol, dan growth hormon). Kedua hal tersebut mengakibatkan perubahan
produksi dan pengeluaran glukosa dan meningkatkan lipolisis dan produksi benda
keton. Hiperglikemia terjadi akibat peningkatan produksi glukosa hepar dan ginjal
(glukoneogenesis dan glikogenolisis) dan penurunan utilisasi glukosa pada
jaringan perifer. 1

Peningkatan glukoneogenesis akibat dari tingginya kadar substrat


nonkarbohidrat (alanin, laktat, dan gliserol pada hepar, dan glutamin pada ginjal)
dan dari peningkatan aktivitas enzim glukoneogenik (fosfoenol piruvat
karboksilase/ PEPCK, fruktose 1,6 bifosfat, dan piruvat karboksilase).
Peningkatan produksi glukosa hepar menunjukkan patogenesis utama yang
bertanggung jawab terhadap keadaan hiperglikemia pada pasien dengan KAD. 1

Selanjutnya, keadaan hiperglikemia dan kadar keton yang tinggi


menyebabkan diuresis osmotik yang akan mengakibatkan hipovolemia dan
penurunan glomerular filtration rate. Keadaan yang terakhir akan memperburuk
hiperglikemia. Mekanisme yang mendasari peningkatan produksi benda keton
telah dipelajari selama ini. Kombinasi defisiensi insulin dan peningkatan
konsentrasi hormon kontraregulator menyebabkan aktivasi hormon lipase yang
sensitif pada jaringan lemak. Peningkatan aktivitas ini akan memecah trigliserid
menjadi gliserol dan asam lemak bebas (free fatty acid/FFA). Diketahui bahwa
gliserol merupakan substrat penting untuk glukoneogenesis pada hepar,
sedangkan pengeluaran asam lemak bebas yang berlebihan diasumsikan sebagai
prekursor utama dari keton. 1

23
Gambar 2.2. Bagan Patofisiologi KAD1

Gambar 2.3 Proses Ketogenesis di Hepar1

24
Di hepar, asam lemak bebas dioksidasi menjadi benda keton yang
prosesnya distimulasi terutama oleh glukagon. Peningkatan konsentrasi glukagon
menurunkan kadar malonyl coenzyme A (Co A) dengan cara menghambat
konversi piruvat menjadi acetyl Co A melalui inhibisi acetyl Co A carboxylase,
enzim pertama yang dihambat pada sintesis asam lemak bebas. Malonyl Co A
menghambat camitine palmitoyl- transferase I (CPT I), enzim untuk transesteri¿
kasi dari fatty acyl Co A menjadi fatty acyl camitine, yang mengakibatkan
oksidasi asam lemak menjadi benda keton. CPT I diperlukan untuk perpindahan
asam lemak bebas ke mitokondria tempat dimana asam lemak teroksidasi.
Peningkatan aktivitas fatty acyl Co A dan CPT I pada KAD mengakibatkan
peningkatan ketongenesis.5

2.3.5. Gejala Klinis

Tujuh puluh sampai sembilan puluh persen pasien KAD telah diketahui
menderita DM sebelumnya. Sesuai dengan patofisiologi KAD, akan dijumpai
pasien dalam keadaan ketoasidosis dengan pernapasan cepat dan dalam
(Kussmaul), berbagai derajat dehidrasi (turgor kulit berkurang, lidah dan bibir
kering), kadang-kadang disertai hipovolemia sampai syok. Keluhan poliuria dan
polidipsi seringkali mendahului KAD, serta didapatkan riwayat berhenti
menyuntik insulin, demam, atau infeksi. 1

Muntah-muntah merupakan gejala yang sering dijumpai. Pada KAD anak,


sering dijumpai gejala muntah-muntah massif. Dapat pula dijumpai nyeri perut
yang menonjol dan hal ini dapat berhubungan dengan gastroparesis dan dilatasi
lambung. Derajat kesadaran pasien bervariasi, mulai dari kompos mentis sampai
koma. Bila dijumpai kesadaran koma perlu dipikirkan penyebab penurunan
kesadaran lain (misalnya uremia, trauma, infeksi, minum alcohol). Bau aseton dari
hawa napas tidak selalu mudah tercium.1

2.3.6. Diagnosis

Diagnosis pada pasien KAD terdiri dari anamnesis dan pemeriksaan fisik
yang cepat dan teliti terutama memperhatikan patensi jalan napas, status mental,
status ginjal dan kardiovaskular, dan status hidrasi. Langkah-langkah ini harus

25
dapat menentukan jenis pemeriksaan laboratorium yang harus segera dilakukan,
sehingga penatalaksanaan dapat segera dimulai tanpa adanya penundaan.1

Meskipun gejala DM yang tidak terkontrol mungkin tampak dalam beberapa


hari, perubahan metabolik yang khas untuk KAD biasanya tampak dalam jangka
waktu pendek (< 24 jam). Umumnya penampakan seluruh gejala dapat tampak
atau berkembang lebih akut dan pasien dapat tampak menjadi KAD tanpa gejala
atau tanda KAD sebelumnya. 1

Gambaran klinis klasik termasuk riwayat poliuria, polidipsia, dan polifagia,


penurunan berat badan, muntah, sakit perut, dehidrasi, lemah dan akhirnya koma.
Pemeriksaan klinis termasuk turgor kulit yang menurun, pernapasan Kussmaul,
takikardia, hipotensi, perubahan status mental, syok, dan koma. Lebih dari 25%
pasien KAD menjadi muntah-muntah yang tampak seperti kopi. 1,2

Perhatian lebih harus diberikan untuk pasien dengan hipotermia karena


menunjukkan prognosis yang lebih buruk. Demikian pula pasien dengan
abdominal pain, karena gejala ini dapat merupakan akibat atau sebuah indikasi
dari pencetusnya, khususnya pada pasien muda. Evaluasi lebih lanjut diperlukan
jika gejala ini tidak membaik dengan koreksi dehidrasi dan asidosis metabolik. 1

Pemeriksaan laboratorium yang paling penting dan mudah untuk segera


dilakukan setelah dilakukannya anamnesis dan pemeriksaan fisik adalah
pemeriksaan kadar glukosa darah dengan glucose sticks dan pemeriksaan urine
dengan menggunakan urine strip untuk melihat secara kualitatif jumlah glukosa,
keton, nitrat, dan leukosit dalam urine. Pemeriksaan laboratorium lengkap seperti
hematologi rutin, elektrolit, fungsi ginjal dan analisis gas darah. 1,2

26
Tabel 2.3. Kriteria diagnostik KAD menurut American Diabetes Association11

2.3.7. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan KAD bersifat multifaktorial sehingga memerlukan


pendekatan terstruktur dokter dan paramedis yang bertugas. Keberhasilan
penatalaksanaan KAD membutuhkan koreksi dehidrasi, hiperglikemia, asidosis
dan kelainan elektrolit, identifikasi faktor presipitasi komorbid, dan yang
terpenting adalah pemantauan pasien terus menerus.1,2,3,4 Berikut ini beberapa hal
yang harus diperhatikan pada penatalaksanaan KAD.

Sebaiknya setiap penderita KAD berat, KAD dengan penurunan


kesadaran, penderita usia < 5 tahun dan penderita KAD dengan kecurigaan
terjadinya edema serebri dirawat di ICU.15,16

1. Resusitasi Cairan 2,4,15,16

 Bila terdapat tanda-tanda renjatan berupa hipotensi, perfusi perifer yang


menurun, oligouria maka resusitasi cairan menggunakan NaCl 0,9% atau
RL 20 ml/KgBB yang diberikan selama 1-2 jam.
 Resusitasi dapat diulang bila tanda-tanda renjatan masih ada
 Apabila tidak ditemukan renjatan atau setelah renjatan teratasi, cairan
diberikan secara bertahap dalam 48 jam untuk menghindari komplikasi

27
berupa edema otak yang dapat terjadi 4-5 jam setelah terapi dimulai.
Jumlah cairan yang diberikan dalam 48 jam adalah sisa deficit cairan
ditambah kebutuhan cairan rumatan untuk 48 jam kemudian.

Dehidrasi pada bayi dan anak

Usia Ringan Sedang Berat


Bayi 5% : 50ml/KgBB 10% : 1000ml/KgBB 15% : 150ml/KgBB
Anak 3% : 30ml/KgBB 6% : 60ml/KgBB 9% : 90ml/KgBB
Pada umumnya kehilangan cairan ekstraseluler 5-10% jarang melebihi 10%.

Cairan rumatan untuk 48 jam kemudian

Berat Badan Jumlah cairan (ml/Kg)


10 Kg pertama 200
10 Kg kedua 100
Penambahan BB selanjutnya 40

 Penggunaan cairan koloid belum terbukti lebih baik daripada cairan


kristaloid. Pada penderita syok jangan lupa berikan oksigen. Bila
kesadaran menurun diperlukan pemasangan NGT.
 Status cairan harus dinilai untuk melihat apakah rehidrasi telah cukup
diberikan.
 Bila poliuri masih berlangsung, mungkin balans cairan masih berlangsung
dan rehidrasi belum berhasil diberikan
 Penderita harus puasa sampai keadaan stabil.

Monitoring klinis secara regular:

1. Nadi, pernapasan dan tekanan darah tiap jam


2. Observasi neurologis tiap jam dengan memperhatikan terjadinya tanda-
tanda edema serebri
3. Sakit kepala, bradikardi, muntah terus menerus
4. Peningkatan tekanan darah, penurunan saturasi oksigen
5. GDS tiap jam

28
6. Pengkuran balans cairan yang cermat
7. Suhu tubuh tiap 2-4 jam
8. Pemeriksaan keton darah atau keton urin sampai negative
9. EKG

2. Memulai pemberian insulin2,4,15,16

Insulin diberikan secara intravena dengan insulin pump, hanya boleh


menggunakan insulin short acting atau regular insulin.

Setelah resusitasi selesai sedangkan rehidrasi serta penggantian KCl dalam proses,
maka terapi insulin dapat dimulai dengan pengamatan klinis dan laboratorium
yang ketat.

 Insulin drip mulai dengan dosis 0,05-0,1 Unit/KgBB/jam dan tidak


diperlukan pemberian insulin bolus
 Target kecepatan penurunan gula darah 75-100mg/dl/jam
 Saat GDS mencapai 250 mg/dl infuse diganti dengan D5% NaCl 0,45%
atau D5% NaCl 0,225%. Jika perlu berikan koreksi natrium.
 Laju kecepatan insulin dan pemberian dekstrose diatur sehingga GDS
mencapai 90-180mg/dl.

29
Bagan 2.2 Algoritme pemberian insulin

GDS pada 2x
pemeriksaan
interval 2 jam
Stop insulin

TITRASI INSULIN
YA Tambahkan 0,02-
1 IU/Kg/jam
Periksa GDS tiap
20 menit sampai
target
180 YA Insulin 0,1 Cek GDS TIDAK
GDS
- IU/Kg/jam Tiap jam >110 <110
360
Target
Target Stop
GDS
GDS
TIDAK 180-
110-180
insulin
- 360
JIKA berikan
180 glukosa
GDS
YA 0,5 g/Kg
Insulin 0,2 Cek GDS <40
>360 IU/Kg/jam Tiap jam YA

Bila stabil
cek GDS
Stop insulin
tiap 4 jam TURUNKAN
INSULIN
BERTAHAP

3. Koreksi natrium2,4,15,16

Pada KAD terjadi pseudohiponatremia karena dua faktor; pertama karena


sebagian besar glukosa tertahan di ruang ekstraseluler mengakibatkan
perpindahan cairan secara osmotik sehingga terjadi proses dilusi hiponatremia.
Kedua karena terjadi peningkatan fraksi lemak dalam serum sehingga terkesan
terjadi penurunan konsentrasi natrium dalam darah.6 Koreksi natrium (Na+corr)
secara umum dilakukan jika kadar dalam serum rendah (<132 mEq/L)
ataunatrium tidak meningkat pada saat gula darah menurun. Setiap kenaikan 100
mg/dL gula darah diatas 100 mg/dL akan menyebabkan penurunan kadar natrium
serum sebesar 1,6 mEq/L.4 Koreksinya (1 mmol/L=1mEq/dL)dilakukan dengan
memakai rumus:5-7,12 Bila kadar Na+corr >160 mEq/L maka rehidrasi harus
dilakukan lebih lambat lagi menjadi 48-72 jam.11
Na+corr = [Na+ terukur] + ( 1,6 x [glukosa -100 mg/dL] / 100
atau
Na+corr = [Na+ terukur] + (1,6 x [glukosa -5,6 mM] / 5,6

30
4. Koreksi kalium2,4,15,16

Pemberian kalium sangat penting dalam tata laksana KAD. Hipokalemia


(<3,5 mEq/L) terjadi akibat defisit aktual total kalium dalam tubuh terutama
hilangnya kalium dari pool intraseluler.7 Pemberian insulin dan koreksi asidosis
menyebabkan kalium masuk ke dalam sel sehingga menurunkan kadar kalium
serum. Penurunan pH darah sebesar 0,1 akan menaikkan konsentrasi kalium darah
sebanyak 0,6 mEq/L.
Untuk melakukan koreksi kalium terlebih dahulu harus dipastikan adanya
produksi urin untuk memastikan tidak terjadi gangguan fungsi ginjal. Penggantian
kalium harus dimulai setelah resusitasi, bersamaan waktunya dengan dimulai
pemberian insulin. Dosis KCl 5mmol/KgBB/hari. Kemudian lakukan penilaian
ulang kadar kalium 2-4 jam berikutnya.
Preparat kalium yang digunakan dapat berupa kalium klorida, fosfat atau
kalium asetat. Kecepatan pemberian tidak boleh melebihi 0,5 mEq/ kg/jam.3 Jika
terjadi hiperkalemia (>5,5 mEq/L) tunda pemberian kalium setidaknya sampai
ditemukan produksi urin.

5. Natrium Bikarbonat2,4,15,16
Pada umumnya jarang diperlukan terapi dengan pemberian natrium
bikarbonat karena asidosis pada KAD yang disebabkan oleh benda keton dan
asam laktat akan hilang dengan pembeian cairan dan insulin.
Indikasi pemberian :
1. Penderita dengan renjatan berat
2. Penderita dengan asidosis berat (Ph <6,9 dan atau HCO3 < 5mmol/L)
Monitoring jantung harus baik dan hati-hati akan terjadinya hipokalemia
akibat koreksi asidosis yang terlalu cepat.
Dosis 1-2 mmol/Kg dan untuk pemberian berikutnya harus dilihat terlebih
dahulu respon terapi sebelumnya. Pemberian dilakukan tiap kali secara
intravena selama 60 menit.

31
6. Fosfat 2,4

Meskipun kadar fosfat tubuh secara keseluruhan mengalami penurunan


hingga 1,0 mmol/kgBB, kadar fosfat serum seringkali normal atau meningkat.
Kadar fosfat menurun dengan terapi insulin. Studi acak prospektif gagal untuk
menunjukkan efek menguntungkan dari pemberian fosfat pada hasil akhir pasien
KAD, dan terapi fosfat berlebihan dapat menyebabkan hipokalemia berat tanpa
bukti adanya tetanus.

Bagaimanapun untuk menghindari lemahnya otot rangka dan jantung serta


depresi pernapasan yang disebabkan hipofosfatemia, pemberian fosfat secara hati-
hati mungkin kadang- kadang diindikasikan pada pasien dengan kelainan jantung,
anemia, atau depresi pernapasan dan pada mereka dengan kadar serum posfat <
1,0 mg/dl. Ketika diperlukan, 20 – 30 mEq/l kalium fosfat dapat ditambahkan
pada terapi cairan yang telah diberikan. Untuk itu diperlukan pemantauan secara
kontinu.(7) Beberapa peneliti menganjurkan pemakaian kalium fosfat rutin karena
mereka percaya akan dapat menurunkan hiperkloremia setelah terapi dengan
membatasi pemberian anion Cl-. Pemberian fosfat juga mencetuskan
hipokalsemia simtomatis pada beberapa pasien.(9)

7. Magnesium

Biasanya terdapat defisit magnesium sebesar 1 – 2 mEq/l pada pasien KAD.


Kadar magnesium ini juga dipengaruhi oleh pemakaian obat seperti diuretik yang
dapat menurunkan kadar magnesium darah. Gejala kekurangan magnesium sangat
sulit dinilai dan sering tumpang tindih dengan gejala akibat kekurangan kalsium,
kalium atau natrium. Gejala yang sering dilaporkan adalah parestesia, tremor,
spame karpopedal, agitasi, kejang, dan aritmia jantung. Pasien biasanya
menunjukkan gejala pada kadar ≤ 1,2 mg/dl. Jika kadarnya di bawah normal
disertai gejala, maka pemberian magnesium dapat dipertimbangkan.11

8. Penatalaksanaan terhadap Infeksi yang Menyertai

Antibiotika diberikan sesuai dengan indikasi, terutama terhadap faktor


pencetus terjadinya KAD. Jika faktor pencetus infeksi belum dapat ditemukan,

32
maka antibiotika yang dipilih adalah antibiotika spektrum luas. 2,4

2.3.8. Fase Pemulihan 15,16


Setelah ketoasidosis teratasi mulai dicoba minum bila keadaan penderita
stabil secara metabolik, yaitu GDS <250mg/dl, ph >7,30, HCO3 > 15 mmol/L,
maka cairan rendah kalori (air putih) dapat diberikan.
1. Pengaturan insulin drip pada saat makan
 Untuk makanan kecil (snack), kecepatan insulin drip diberikan 2 kali
sebelumnya dimulai saat penderita makan dan dipertahankan sampai 30
menit setelah selesai makan, lalu kembali ke dosis sebelumnya.
 Untuk makan besar, kecepatan insulin drip diberikan 2 kali sebelumnya
dimulai saat penderita makan dan dipertahankan sampai 60 menit setelah
selesai makan, lalu kembali ke dosis sebelumnya.
2. Penghentian drip insulin intravena
Kesadaran penderita baik, secara metabolik stabil dan bila penderita sudah
dapat makan sedikitnya satu kali saat terbaik untuk mengubah insulin drip ke
subkutan adalah pada saat sebelum makan. Insulin subkutan harus dimulai 30
menit sebelum makan sedangkan insulin drip dipertahankan selama makan sampai
90 menit setelah insulin ke dosis sebelumnya.

2.3.9 Komplikasi

Komplikasi yang paling sering dari KAD adalah hipoglikemia oleh karena
penanganan yang berlebihan dengan insulin, hipokalemia yang disebabkan oleh
pemberian insulin dan terapi asidosis dengan bikarbonat, dan hiperglikemia
sekunder akibat pemberian insulin yang tidak kontinu setelah perbaikan tanpa
diberikan insulin subkutan. Umumnya pasien KAD yang telah membaik
mengalami hiperkloremia yang disebabkan oleh penggunaan cairan saline yang
berlebihan untuk penggantian cairan dan elektrolit dan non-anion gap metabolic
acidosis seperti klor dari cairan intravena mengganti hilangnya ketoanion seperti
garam natrium dan kalium selama diuresis osmotik. Kelainan biokemikal ini
terjadi sementara dan tidak ada efek klinik signifikan kecuali pada kasus gagal
ginjal akut atau oliguria berat.11

33
Edema serebri umumnya terjadi pada anak-anak, jarang pada dewasa. Tidak
didapatkan data yang pasti morbiditas pasien KAD oleh karena edema serebri
pada orang dewasa. Gejala yang tampak berupa penurunan kesadaran, letargi,
penurunan arousal, dan sakit kepala. Kelainan neurologis dapat terjadi cepat,
dengan kejang, inkontinensia, perubahan pupil, bradikardia, dan kegagalan
respirasi. 11

Sebagian besar kematian pada DMT1 disebabkan oleh komplikasi KAD.1,2


Angka kematian di negara maju seperti Amerika Serikat, Kanada, dan Inggris
bervariasi antara 0,15-0,31%. Edema serebri menjadi penyebab kematian terbesar
sekitar 21-24%.5,8

Terminologi edema serebri merujuk pada peningkatan jumlah cairan di


dalam jaringan otak (edema) yang menyebabkan peningkatan volume jaringan
otak. Edema yang terjadi dapat berupa vasogenik akibat kerusakan sawar darah
otak, edema sitotoksik akibat gangguan metabolik atau edema osmotik akibat
hiponatremia.2,4
Patogenesis awal terjadinya edema serebri sangat kompleks dan
progresifitasnya belum sepenuhnya dipahami. Namun diperkirakan edema serebri
terjadi melalui beberapa mekanisme antara lain akumulasi solute intraseluler,
peran vasopressin dan atrial Natriuretic factor, Sodium/proton antiporter dan
membrane cotransporters, hipoksia dan iskemia, keton dan asidosis, inisiasi
kaskade sitokin proinflamasi, dan aquaphorin channels.13 Faktor risiko
demografik yang meningkatkan risiko edema serebri antara lain usia yang muda,
penderita baru DM, serta durasi gejala yang lama. 2,4
Edema serebri paling banyak ditemukan pada DMT1 dan sekitar 10-25%
mengalami gejala sisa seperti gangguan motorik, kehilangan penglihatan,
kehilangan memori, dan kejang.5,6,12,13

34
Tabel 2.4. Evaluasi status neurologis pada anak dengan KAD4

Tata laksana edema serebri meliputi pengenalan terhadap adanya tanda-


tanda edema serebri, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2.4. Penanganan yang
cepat dan tepat penting dilakukan bila dicurigai terdapat edema serebri dengan
cara mengurangi tetesan infus menjadi sepertiga kebutuhan cairan. Manitol
diberikan dengan dosis 0,5-1 mg/kgBB intravena selama 20 menit dan dapat
diulang kembali. NaCl 3% diberikan dengan dosis 5 mg/kgBB selama 30 menit
jika tidak dijumpai perbaikan klinis dengan pemberian manitol. Posisikan kepala
lebih tinggi. Intubasi dilakukan jika terdapat gagal napas. Lakukan CT scan
kepala untuk menyingkirkan penyebab lain setelah tata laksana awal
dimulai.5,6,13 Cara terbaik untuk mencegah edema serebri adalah mencegah
terjadinya KAD pada penderita DMT1.4

2.3.10. Diagnosis Banding

1. Hyperglicemic Hyperosmolar State

Ialah suatu sindrom yang ditandai dengan hiperglikemia berat,


hyperosmolar, dehidrasi berat tanpa ketoasidosis disertai penurunan kesadaran.
Gejala klinik HHS sulit dibedakan dengan KAD terutama dari hasil laboratorium
seperti kadar gula darah, keton, dan keseimbangan asam-basa belum diketahui

35
hasilnya. Gejala klinik yang dapat dijadikan pegangan agar dapat membedakan
KAD dengan HHS :1,8,11

a. Sering ditemukan pada usia lanjut yaitu sekitar >60 tahun, semakin
muda,semakin berkurang dan belum pernah ditemukan pada anak.
b. Hampir separuh pasien tidak mempunyai riwayat DM, atau diabetes
tanpa pengobatan insulin.
c. Mempunyai penyakit dasar lain. Sekitar 80% penderita HHS
mempunyai penyakit ginjal dan kardiovaskular, tirotoksikosis dan
penyakit cushing.
d. Sering disebabkan obat-obatan antara lain tiazid, sterois,
haloperidol,simetidin, dll
e. Mempunyai factor pencetus seperti penyakit kardiovaskular,
pankreatitis,operasi.Pemeriksaan dapat membantu membedakan KAD
dengan HHS, adapun perbandingan hasil pemeriksaan KAD dengan HHS
sebagaimana terlampir pada tabel 2.Angka kematian pada HHS lebih
banyak dibandingkan KAD karena insidenlebih sering pada usia lanjut dan
berhubungan dengan penyakit kardiovaskular dan dehidrasi. Angka
kematian pada HHS sekitar 30-50%.

2. Asidosis laktat

Merupakan komplikasi yang sangat jarang akibat terapi dengan


metformin. Pasien datang biasanya dengan gejala malaise, anoreksia, muntah,
pernapasan kussmaul (cepat dan dalam). Kadar glukosa biasanya normal, tidak
ditemukan benda keton dalam urin, dan analis gas darah menunjukkan asidosis
berat, aniongap meninggi. Terapi bersifat suportif dengan menghentikan
penggunaan metformin.8

2.3.11. Pencegahan

Faktor pencetus utama KAD ialaha pemberian dosis insulin yang kurang
memadai dan kejadian infeksi. Pada beberapa kasus, kejadian tersebut dapat
dicegah dengan akses pada system pelayanan kesehatan lebih baik (termasuk

36
edukasi DM) dan komunikasi efektif terutama pada saat penyandang DM
mengalami sakit akut (misalnya batuk, pilek, diare, demam, luka).1

Upaya pencegahan merupakan hal yang penting pada penatalaksanaan DM


secara komprehensif. Upaya pencegahan sekunder untuk mencegah terjadinya
komplikasi DM kronik dan akut melalui edukasi sangat penting untuk
mendapatkan ketaatan berobat pasien yang baik. 1

Khusus mengenai pencegahan KAD dan Hipoglikemia, program edukasi


perlu menekankan pada cara-cara mengatasi saat sakit akut, meliputi informasi
mengenai pemberian insulin kerja cepat, target kadar glukosa darah pada saat
sakit, mengatasi demam dan infeksi, memulai pemberian makanan cair
mengandung karbohidrat dan garam yang mudah dicerna. 1

Yang paling penting adalah agar tidak menghentikan pemberian insulin


atau obat hiperglikemik oral dan sebaiknya segera mencari pertolongan atau
nasihat tenaga kesehatan yang professional. Pasien DM harus didorong untuk
perawatan mandiri terutama saat mengalami masa-masa sakit, dengan melakukan
pemantauan kadar glukosa darah dan keton urin sendiri. 1

2.3.12. Prognosis

Sebagian besar mortalitas DMT1 diakibatkan oleh komplikasi KAD.


Risiko mortalitas dilaporkan di Amerika Serikat sebesar 0,15%, Kanada 0,18 -
0,25%, dan Inggris sebesar 0,31%.5 Salah satu komplikasi terberatnya adalah
edema serebri yang terjadi pada sekitar 0,5-0,9% kasus KAD. Sekitar 10-20%
penderita KAD dengan edema serebri akan memiliki gejala sisa. 4
Morbiditas lain akibat komplikasi yang dapat timbul pada KAD meliputi
hipokalemia, hipofosfatemia, hipoglikemia, komplikasi intraserebral lainnya,
gagal ginjal akut, trombosis vena perifer, pankreatitis akut, mukormikosis,
rabdomiolisis, aspirasi pneumonia, dan komplikasi paru lainnya. 4
Risiko berulangnya KAD didapatkan sebesar 1-10% per tahun. Risiko
berulangnya KAD akan meningkat jika kontrol metaboliknya buruk, pemberian
insulin tidak adekuat, terdapat riwayat KAD sebelumnya, pada perempuan (masa
pubertas atau remaja), terdapat gangguan psikiatrik (termasuk gangguan makan),

37
masalah keluarga, keterbatasan akses pelayanan kesehatan, dan penggunaan
pompa insulin.4

38
BAB III

PEMBAHASAN

Pasien anak NK usia 11 tahun datang ke RSUD Kabupaten Kepulauan


Meranti pada tanggal 3 November 2016. Pasien datang dengan rujukan dari
Puskesmas Teluk Belitung dengan diagnosis suspek KAD. Ibu pasien mengatakan
anaknya tiba-tiba sesak napas, 1 hari SMRS pasien muntah-muntah hebat. Pasien
riwayat sakit DM Tipe 1. Di rumah rutin menggunakan obat insulin dan ibu
pasien mengatakan kadar gula darah anak terkontrol setiap hari. Dari keluhan ini
dapat dipikirkan beberapa kelainan seperti vomitus dengan dehidrasi berat,
ketoasidosis diabetik, asidosis laktat dan HHS.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan KU pasien tampak sakit sedang,


kesadaran apatis dengan TD 120/80mmHg, HR 128 x/menit, dan RR 48 x/menit
Kussmaul. Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik dapat disingkirkan diagnosis
banding asidosis laktat dimana biasanya asidosis laktat terjadi pada pasien yang
mengkonsumsi obat metformin.

Pada pemeriksaan hematologi didapatkan peningkatan leukosit yaitu


24.080/mm3, GDS yang tinggi yaitu 349 mg/dl dan dari urinalisis ditemukan
adanya keton, pemeriksaan elektrolit didapatkan hiponatremi. Dari analisis gas
darah didapatkan adanya asidosis metabolik pada pasien. Dari data tersebut dapat
disingkirkan diagnosis banding HHS dimana HHS terjadi pada pasien usia tua,
dan tidak adanya keton dalam urin dan dapat juga disingkirkan diagnosis vomitus
dengan dehidrasi berat, dimana pada vomitus hasil pemeriksaan laboratorium
akan normal dengan adanya gangguan keseimbangan elektrolit. Jadi dari
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang dapat disimpulkan
bahwa pasien megalami KAD.

Secara umum ada 4 pilar utama penatalaksaana pada pasien KAD yaitu
rehidrasi, pemberian insulin, koreksi gangguan elektrolit dan koreksi asidosis.
Selain itu juga diberikan edukasi kepada pasien dan kedua orang tua agar menjaga
pola makan, menggunakan obat secara teratur dan menghindari faktor-faktor yang
dapat memicu terjadinya KAD.

39
Saat terapi di IGD pasien di rehidrasi dan diberikan insulin, sedangkan
untuk koreksi gangguan elektrolit dan asidosis dilakukan di ruang perawatan.

Pasien dirawat inap selama 5 hari dan hari ke enam diperbolehkan pulang.
Pasien dipulangkan dengan perbaikan kondisi dan diberikan obat insulin serta
pasien disarankan untuk rutin kontrol ke spesialis anak.

40
BAB IV

KESIMPULAN

Ketoasidosis diabetik merupakan suatu kondisi akut dan mengancam jiwa


akibat kekurangan insulin relatif atau absolut yang ditandai oleh trias
hiperglikemia, asidosis, serta ketonemia/ketonuria. Manifestasi klinis KAD sangat
bervariasi dan seringkali menyerupai gejala klinis penyakit lain.4
Kemampuan mengenali gejala klinis KAD dan mendiagnosis KAD
merupakan bagian terpenting tata laksana KAD. Tata laksana KAD selanjutnya
adalah koreksi cairan yang adekuat, pemberian insulin yang tepat, koreksi asidosis
dan elektrolit serta pemantauan yang ketat. Sebagian besar kematian pada DMT1
timbul akibat edema serebri. Pengenalan tanda-tanda KAD dan tatalaksana yang
cepat dan tepat dapat menurunkan mortalitas, morbiditas dan menekan biaya
rawat akibat KAD. Pencegahan dengan suatu program yang komprehensif dan
terintegrasi merupakan suatu langkah terpenting untuk menghindari berulangnya
KAD. 4

41
DAFTAR PUSTAKA

1. UKK endrokrinologi anak dan remaja, ikatan dokter anak Indonesia, world
diabetes foundation.Konsensus nasional pengelolaan diabetes mellitus tipe 1.
Badan penerbit ikatan dokter anak Indonesia. Jakarta. 2009
2. Soelistijo SA, et al. Konsensus Pengelolaan dan pencegahan Diabetes melitus
tipe 2 Di Indonesia 2015. PB.Perkeni.2015.
3. Soewondo P. Ketoasidosis Diabetik. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi
I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. 4th ed.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006.
p.1874-7.
4. Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, Harmoniati
AD.Pedoman pelayanan medis. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2009.
5. Pardede SO, Djer MM, Soesanti F, Ambarsari CG, Soebadi A. Pendidikan
kedokteran berkelanjutan LXIV. Tatalaksana berbagai keadaan gawat darurat
pada anak. FKUI Depatermen Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta. 2013.
6. Umpierrez GE, Murphy MB, Kitabachi AE. Diabetic Ketoacidosis and
Hyperglycemic Hyperosmolar Syndrome. Diabetes Spectrum
2002;15(1):28-35.
7. Aksara B. Karakteristik Ketoasidosis Diabetik pada anak. Fatmawati hospital
journal. Jakarta. 2013.
8. Aji HC. Gambaran klinis ketoasidosis diabetikum pada anak. Jurnal
kedokteran brawijaya. Malang. 2012.
9. Yehia BR, Epps KC, Golden SH. Diagnosis and Management of
Diabetic Ketoacidosis in Adults. Hospital Physician 2008. p. 21-35.
10. Van Zyl DG. Diagnosis and Treatment of Diabetic Ketoacidosis. SA
Fam Prac 2008;50:39-49.
11. Chiasson JL. Diagnosis and Treatment of Diabetic Ketoacidosis and
The Hyperglycemic Hyperosmolar State. Canadian Medical Association
Journal 2003;168(7): p.859-66.
12. American Diabetes Association. Hyperglycemic Crisis in Diabetes.
Diabetes Care 2004;27(1):94- 102.

42
13. Ennis ED, Kreisberg RA. Diabetic Ketoacidosis and The Hyperglycemic
Hyperosmolar Syndrome. In: LeRoith D, Taylor SI, Olefsky JM, editors.
Diabetes mellitus a fundamental and clinical text. 2nd ed. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins;2000. p.336-46.
14. Wallace TM, Matthews DR. Recent Advances in The Monitoring and
Management of Diabetic Ketoacidosis. Q J Med 2004;97(12):773-80.
15. Wolfsdore JW, Glaser N, Sperling MA. Diabetic Ketoacidosis in Infants, Children,
and Adolescents. Diabetes Care 2006;29(5):1150-6.
16. Dunger DM, Sperling MA, Acerini CL, et al. European society for pediatric
endocrinology/ Lawson Wilkins Pediatric Endocrine Society Consensus
statement on diabetic ketoacidosis in children and adoleecents, Pediatric
2004;113;e133-40
17. Wolfsdrof J, et al. ISPAD Clinical Practice Consensus Guidelines 2009,
Diabetic Ketoacidosis Pediatric Diabetes 2009;8;188-33.

43

Anda mungkin juga menyukai