Anda di halaman 1dari 20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Definisi Hipertensi Dalam Kehamilan


Terdapat beberapa perbedaan mengenai klasifikasi hipertensi pada hipertensi
secara umum dengan hipertensi dalam kehamilan. NHBPEP (National High Blood
Pressure Education Working Group Report on High Blood Pressure in Pregnancy)
memiliki klasifikasi tersendiri karena pada kehamilan, terjadi beberapa perubahan
hemodinamik yang mempengaruhi tekanan darah.5
Tabel 2.1
Perbedaan Klasifikasi Kriteria Hipertensi Hamil dan Tidak Hamil5

Klasifikasi JNC 7 (Tidak Hamil) Klasifikasi NHBPEP (Hamil)


Normal: Normal/acceptable pada kehamilan
TDS ≤ 120 mmHg TDS ≤ 140 mmHg
TDD ≤ 80 mmHg TDD ≤ 90 mmHg
Pre Hipertensi:
TDS 120 - 139 mmHg
TDD 80 - 89 mmHg
Hipertensi Stage 1: Hipertensi Ringan:
TDS ≤ 120 mmHg TDS 140 -150 mmHg
TDD ≤ 80 mmHg TDD 90 - 109 mmHg
Hipertensi Stage 2 Hipertensi Berat
TDS 160 - 179 mmHg TDS ≥ 160 mmHg
TDD 100 - 110 mmHg TDD ≥ 110 mmHg
Hipertensi Stage 3
TDS 180 - 209 mmHg
TDD 110 - 119 mmHg

II.2 Klasifikasi Hipertensi dalam Kehamila


Hipertensi dalam kehamilan memiliki terminology tersendiri. Menurut Report
on the National High Blood Pressure Education Program Working Group on High
Blood Pressure in Pregnancy, hipertensi dalam kehamilan meliputi:6

2
3

1. Hipertensi Gestasional
Didapatkan tekanan darah ≥ 140/90 mmHg untuk pertama kalinya pada
kehamilan, tidak disertai dengan proteinuria dan tekanan darah kembali
normal < 12 minggu pasca persalinan.6
Hipertensi gestasional terjadi sekitar 6% dari total kehamilan dan
separuhnya berkembang menjadi preeklamsia dengan ditemukannya
proteinuri. Diagnosis pasti sering dibuat di belakang, Jika tes laboratorium
tetap normal dan tekanan darah menurun pasca melahirkan, maka
diagnosisnya adalah hipertensi gestational (sebelumnya disebut transcient
hypertension). Wanita dengan hipertensi gestational harus dianggap
beresiko terjadinya preeklamsia, yang dapat berkembangkan setiap saat,
termasuk minggu pertama pasca melahirkan. Sekitar 15% hingga 45%
perempuan awalnya didiagnosis dengan hipertensi gestational akan
mengembangkan preeklamsia, dan kemungkinan lebih besar pada pasien
yang memiliki riwayat preeklamsia sebelumnya, miscarriage, dan riwayat
hipertensi kehamilan sebelumnya.7
2. Preeklamsi
Preeclampsia adalah sindrom yang memiliki manifestasi klinis seperti
new-onset hypertension pada saat kehamilan (setelah usia kehamilan 20
minggu, tetapi biasanya mendekati hari perkiraan lahir), berhubungan
dengan proteinuria: 1+ dipstick atau 300 mg dalam 24 jam urin tampung.
Sindrom ini terjadi pada 5 - 8 % dari seluruh kehamilan. Pengobatan
antihipertensi pada pasien ini bukan ditujukkan untuk menyembuhkan atau
memulihkan preeklamsia. Preeklamsia dapat berkembangkan secara tiba-
tiba pada wanita muda, pada wanita yang sebelumnya normotensive,
sehingga perlu pencegahan gangguan kardiovaskular dan serebrovaskular
sebagai konsekuensi dari berat dan cepat peningkatan tekanan darah, hal ini
adalah tujuan utama manajemen klinis yang membutuhkan kebijaksanaan
penggunaan obat antihipertensi.8
4

3. Eklamsi
Serangan konvulsi pada wanita dengan preeklampsia yang tidak dapat
dihubungkan dengan sebab lainnya disebut eklamsi. Konvulsi terjadi secara
general dan dapat terlihat sebelum, selama, atau setelah melahirkan. Pada
studi terdahulu, sekitar 10% wanita eklamsi, terutama nulipara, serangan
tidak muncul hingga 48 jam setelah postpartum. Setelah perawatan prenatal
bertambah baik, banyak kasus antepartum dan intrapartum sekarang dapat
dicegah, dan studi yang lebih baru melaporkan bahwa seperempat serangan
eklampsia terjadi di luar 48 jam postpartum.9
4. Hipertensi kronik dengan superimposed preeklamsi
Timbulnya proteinuria ≥ 300 mg/ 24 jam pada wanita hamil yang sudah
mengalami hipertensi sebelumnya. Proteinuria hanya timbul setelah
kehamilan 20 minggu.
5. Hipertensi kronik (preexisting hypertention).7
Ditemukannya tekanan darah ≥ 140/ 90 mmHg, sebelum kehamilan atau
sebelum kehamilan 20 minggu dan tidak menghilang setelah 12 minggu
pasca persalinan. Wanita usia subur dengan hipertensi esensial stage I yang
tidak memiliki kerusakan organ target dan dalam kondisi kesehatan yang
baik memiliki prognosis yang baik dalam kehamilan. Walaupun terdapat
peningkatan resiko terjadi superimposed preeclampsia, akan tetapi secara
fisiologi akan terjadi penurunan tekanan darah selama kehamilan dan
penurunan kebutuhan terhadap agen antihipertensi. Capaian tatalaksananya
adalah mempertahankan tekanan darah pada level yang memiliki resiko
gangguan kardiovaskular dan serebrovaskular pada ibu yang minimal.10
Kadang-kadang, wanita dengan hypertensi kehamilan akan tetap
hipertensi setelah melahirkan. Pada pasien ini kemungkinan besar memiliki
hipertensi kronis yang sudah ada sebelumnya, yang tertutup/tak tampak di
awal kehamilan oleh karena respon fisiologis dari kehamilan yakni
vasodilasi. Kejadian hipertensi pada periode pasca melahirkan dan waktu
maksimum untuk normalisasi tekanan darah belum diketahui. Pada
5

umumnya, hipertensi > 140/90 mm Hg menetap lebih dari 3 bulan pasca


melahirkan didignosis sebagai hipertensi kronis.7

II.3 Insidensi
Wanita kulit hitam memiliki kecenderungan mengalami preeklamsi
dibandingkan kelompok rasial lainnya. Preeklamsi umumnya terjadi pada usia
maternal ekstrim (< 18 tahun atau > 35 tahun). Peningkatan prevalensi hipertensi
kronis pada wanita > 35 tahun dapat menjelaskan mengapa terjadi peningkatan
frekuensi preeklamsi diantara gravida tua.1,2,3,11
Selain itu, meskipun merokok selama kehamilan dapat menyebabkan berbagai
hal yang merugikan, ironisnya merokok telah dihubungkan secara konsisten
dengan risiko hipertensi yang menurun selama kehamilan. Placenta previa juga
telah dilaporkan dapat mengurangi risiko gangguan-gangguan hipertensi pada
kehamilan.1
Di Amerika Serikat angka terjadinya eklamsi telah menurun karena sebagian
besar wanita sekarang ini menerima perawatan prenatal yang cukup.1

II.4 Etiologi
Etiologi penyakit ini sampai sekarang belum dapat diketahui dengan pasti.
Banyak teori-teori dikemukakan tetapi belum ada yang mampu memberi jawaban
yang memuaskan tentang penyebabnya sehingga disebut sebagai “penyakit teori”.
Ada beberapa teori yang diyakini dapat menyebabkan terjadinya preeklampsia,
yaitu:1
1. Invasi trofoblas abnormal

Pada hamil normal, terjadi invasi trofoblas kedalam lapisan otot arteri
spiralis, yang menimbulkan degenerasi lapisan otot tersebut sehingga
terjadi dilatasi arteri spiralis. Invasi trofoblas juga memasuki jaringan
sekitar arteri spiralis, sehingga jaringan matriks menjadi gembur dan
memudahkan lumen arteri spiralis mengalami distensi dan dilatasi.
Distensi dan vasodilatasi lumen arteri spiralis ini memberi dampak
6

penurunan tekanan darah, penurunan resistensi vaskular dan peningkatan


aliran darah pada daerah uteroplasenta. Akibatnya, aliran darah ke janin
cukup banyak dan perfusi jaringan juga meningkat, sehingga dapat
menjamin pertumbuhan janin dengan baik.1,12
Pada preeeklampsia terjadi defisiensi plasentasi akibat kegagalan
gelombang ke-2 invasi trofoblas, sehingga tidak terjadi perubahan fisiologi
pada arteri spiralis. Perubahan hanya terjadi pada sebagian arteri spiralis
segmen desidua, sementara arteri spiralis segmen miometrium masih
diselubungi oleh sel-sel otot polos. Diameter arteri spiralis yang
seharusnya meningkat 4 sampai 6 kali lebih besar dibandingkan wanita
tidak hamil, pada preeklampsia hanya berukuran 40% dibandingkan pada
kehamilan normal. Selain itu juga ditemukan adanya hiperplasia tunika
media dan trombosis. Hal ini menyebabkan tahanan terhadap aliran darah
bertambah, yang pada akhirnya menyebabkan insufisiensi dan iskemia.
Sebagian arteri spiralis dalam desidua atau miometrium tersumbat oleh
materi fibrinoid berisi sel-sel busa dan terdapat akumulasi makrofag yang
berisi lemak dan infiltrasi sel mononukleus pada perivaskuler yang disebut
juga "aterosis akut" yang menyerupai keadaan penolakan allograft pada
transplantasi.1,12

Gambar 2.1 Perbandingan invasi trofoblas normal dan preeklampsia1


7

Pada gambar di atas gambar sebelah kiri : kehamilan normal terjadi


perubahan pada cabang arteri spiralis dari dinding otot yang tebal menjadi
dinding pembuluh darah yang lunak sehingga memungkinkan terjadinya
sejumlah aliran darah ke uteroplasenta. Sedangkan pada gambarsebelah
kanan: preeklampsia, perubahan arteri spiralis ini tidak terjadi dengan
sempurna sehingga dinding otot tetap kaku dan sempit dan akibatnya akan
terjadi penurunan aliran darah ke sirkulasi uteroplasenta yang
mengakibatkan hipoksia.1
2. Teori stimulus inflamasi

Teori ini berdasarkan fakta bahwa lepasnya debris trofoblas di dalam


sirkulasi darah merupakan rangsangan utama terjadinya proses inflamasi.1
Pada kehamilan normal, plasenta juga melepaskan debris trofoblas
sebagai sisa-sisa proses apoptosis dan nekrotik trofoblas, akibat reaksi
stres oksidatif. Bahan-bahan ini sebagai bahan asing yang kemudian
merangsang timbulnya proses inflamasi. Pada kehamilan normal, jumlah
debris trofoblas masih dalam batas wajar, sehingga reaksi inflamasi juga
masih dalam tahap normal.1
Berbeda dengan proses apoptosis pada preeklampsia, dimana terjadi
peningkatan stres oksidatif, sehingga produksi debris apoptosis dan
nekrotik trofoblas juga meningkat. Makin banyak sel trofoblas plasenta,
misalnya pada plasenta besar, pada hamil ganda, maka reaksi stres
oksidatif akan sangat meningkat, sehingga jumlah sisa debris trofoblas
juga makin meningkat. Keadaan ini menimbulkan beban reaksi inflamasi
dalam darah ibu menjadi jauh lebih besar, dibanding reaksi inflamasi pada
kehamilan normal. Respon inflamasi ini akan mengaktivasi sel endotel,
dan sel-sel makrofag atau granulosit yang lebih besar pula sehingga terjadi
reaksi sistemik inflamasi yang menimbulkan gejala-gejala preeklampsia
pada ibu.1
Redman menyatakan bahwa disfungsi endotel pada preeklampsia
akibat produksi debris trofoblas plasenta berlebihan tersebut diatas,
8

mengakibatkan ‘aktivitas leukosit yang sangat tinggi’ pada sirkulasi ibu.


Peristiwa ini oleh Redman disebut sebagai ‘kekacauan adaptasi dari proses
inflamasi intravaskular pada kehamilan’ yang biasanya berlangsung
normal dan menyeluruh.1

Gambar 2.2 Skema preeklampsia1


3. Aktivasi sel endotel
Akibat sel endotel terpapar terhadap peroksida lemak, maka terjadi
kerusakan sel endotel, yang kerusakannya dimulai dari membran sel
endotel. Kerusakan membran sel endotel mengakibatkan terganggunya
fungsi endotel, bahkan rusaknya seluruh struktur sel endotel. Keadaan ini
disebut ‘disfungsi endotel’. Pada waktu terjadi kerusakan sel endotel yang
mengakibatkan disfungsi sel endotel, maka akan terjadi:1
. Gangguan metabolisme prostaglandin (karena salah satu fungsi sel
endotel adalah memproduksi prostaglandin) yaitu menurunnya
produksi prostasiklin (PGE2); suatu vasodilator kuat
a. Agregasi sel-sel trombosit pada daerah endotel yang mengalami
kerusakan. Agregasi ini untuk menutup tempat-tempat di lapisan
9

endotel yang mengalami kerusakan. Agregasi trombosit memproduksi


tromboxan (TXA2) suatu vasokonstriktor kuat.
b. Perubahan khas pada sel endotel kapiler gomerulus
c. Peningkatan permeabilitas kapilar
d. Peningkatan produksi bahan-bahan vasopresor, yaitu endotelin. Kadar
NO (vasodilator) menurun, sedangkan endotelin (vasokonstriktor)
meningkat
e. Peningkatan faktor koagulasi.
4. Faktor imunologi
Pada perempuan hamil normal, respon imun tidak menolak adanya
hasil konsepsi yang bersifat asing. Hal ini disebabkan adanya human
leukocyte antigen protein G (HLA-G), yang berperan penting dalam
modulasi respon imun, sehingga ibu tidak menolak hasil konsepsi. Adanya
HLA-G pada plasenta dapat melindungi trofoblas janin dari lisis oleh sel
Natural Killer (NK) ibu.1
Selain itu adanya HLA-G akan mempermudah invasi sel trofoblas ke
dalam jaringan desidua ibu. Jadi HLA-G merupakan prakondisi untuk
terjadinya invasi trofoblas kedalam jaringan desidua ibu, disamping untuk
menghadapi sel Natural killer. Pada plasenta hipertensi dalam kehamilan,
terjadi penurunan ekspresi HLA-G. Berkurangnya HLA-G di desidua
daerah plasenta, menghambat invasi trofoblas ke dalam desidua. Invasi
trofoblas sangat penting agar jaringan desidua menjadi lunak sehingga
memudahkan terjadinya dilatasi arteri spiralis. HLA-G juga merangsang
produksi sitokin, sehingga memudahkan terjadinya reaksi inflamasi.1
5. Faktor nutrisi
Penelitian John dkk (2002) menunjukkan bahwa pada populasi dengan
diet tinggi buah-buahan dan sayuran yang memiliki aktivitas antioksidan
dikaitkan dengan penurunan tekanan darah. Selain itu Zhang dan rekan
(2002) melaporkan bahwa kejadian preeklampsia dua kali lipat pada
wanita yang sehari-hari asupan asam askorbatnya kurang dari 85 mg.
Villar dan rekan (2006) menunjukkan bahwa suplementasi kalsium pada
10

populasi dengan asupan kalsium yang rendah memiliki efek yang kecil
untuk menurunkan angka kematian perinatal, namun tidak berpengaruh
pada kejadian preeklampsia. Namun dalam beberapa percobaan lain,
suplementasi dengan antioksidan vitamin C dan E tidak menunjukkan efek
yang menguntungkan untuk mencegah preeklampsia.1
6. Faktor genetik
Preeklampsia adalah suatu gangguan multifaktorial poligenik. Dalam
penelitian Ward dan Lindheimer (2009) menyebutkan risiko insiden untuk
preeklampsia 20 sampai 40 persen untuk anak perempuan dari ibu dengan
preeklampsia, 11 sampai 37 persen untuk saudara perempuan
preeklampsia, dan menjadi 22 sampai 47 persen ketika kembar.1

II.5 Faktor Risiko


Faktor risiko pada preeklamsi dapat dibagi menjadi 3 yaitu :
1. Faktor risiko maternal :
a. Kehamilan pertama
b. Primipaternity
c. Usia < 18 tahun atau > 35 tahun
d. Riwayat preeklamsi
e. Riwayat preeklamsi dalam keluarga
f. Ras kulit hitam
g. Obesitas (BMI ≥ 30)
h. Interval antar kehamilan < 2 tahun atau > 10 tahun.1,3
2. Faktor risiko medikal maternal:
. Hipertensi kronis, khususnya sebab sekunder hipertensi kronis
seperti hiperkortisolisme, hiperaldosteronisme, dan stenosis
srteri renalis.
a. Diabetes yang sedang diderita (tipe 1 atau 2), khususnya
dengan komplikasi mikrovaskular
b. Penyakit ginjal
c. Systemic Lupus Erythematosus
11

d. Obesitas
e. Trombofilia
f. Riwayat migraine
g. Pengguna anti depresan selective serotonin uptake inhibitor >
trimester I.1,2,3
3. Faktor risiko plasental atau fetal :
a. Kehamilan multipel
b. Hidrops fetalis
c. Penyakit trofoblastik gestasional
d. Triploidi.1,2,3,13

II.6 Patofisiologi
Walaupun mekanisme patofisiologi yang jelas tidak dimengerti, preeklamsi
merupakan suatu kelainan pada fungsi endotel yaitu vasospasme. Pada beberapa
kasus, mikroskop cahaya menunjukkan bukti insufisiensi plasenta akibat kelainan
tersebut, seperti trombosis plasenta difus, inflamasi vaskulopati desidua plasenta,
dan invasi abnormal trofoblastik pada endometrium. Hal-hal ini menjelaskan
bahwa pertumbuhan plasenta yang abnormal atau kerusakan plasenta akibat
mikrotrombosis difus merupakan pusat perkembangan kelainan ini.1,2,3
Hipertensi yang terjadi pada preeklamsi adalah akibat vasospasme, dengan
konstriksi arterial dan penurunan volume intravaskular relatif dibandingkan
dengan kehamilan normal. Sistem vaskular pada wanita hamil menunjukkan
adanya penurunan respon terhadap peptida vasoaktif seperti angiotensin II dan
epinefrin. Wanita yang mengalami preeklamsi menunjukkan hiperresponsif
terhadap hormon-hormon ini dan hal ini merupakan gangguan yang dapat terlihat
bahkan sebelum hipertensi tampak jelas. Pemeliharaan tekanan darah pada level
normal dalam kehamilan tergantung pada interaksi antara curah jantung dan
resistensi vaskular perifer, tetapi masing-masing secara signifikan terganggu
dalam kehamilan. Curah jantung meningkat 30-50% karena peningkatan nadi dan
volume sekuncup. Walaupun angiotensin dan renin yang bersirkulasi meningkat
pada trimester II, tekanan darah cenderung untuk menurun, menunjukkan adanya
12

reduksi resistensi vaskular sistemik. Reduksi diakibatkan karena penurunan


viskositas darah dan sensivitas pembuluh darah terhadap angiotensin karena
adanya prostaglandin vasodilator. 1,2,3
Ada bukti yang menunjukkan bahwa adanya respon imun maternal yang
terganggu terhadap jaringan plasenta atau janin memiliki kontribusi terhadap
perkembangan preeklamsi. Disfungsi endotel yang luas menimbulkan manifestasi
klinis berupa disfungsi multi organ, meliputi susunan saraf pusat, hepar,
pulmonal, renal, dan sistem hematologi. Kerusakan endotel menyebabkan
kebocoran kapiler patologis yang dapat bermanifestasi pada ibu berupa kenaikan
berat badan yang cepat, edema non dependen (muka atau tangan), edema
pulmonal, dan hemokonsentrasi. Ketika plasenta ikut terkena kelainan, janin dapat
terkena dampaknya akibat penurunan aliran darah utero-plasenta. Penurunan
perfusi ini menimbulkan manifestasi klinis seperti tes laju jantung janin yang non-
reassuring, skor rendah profil biofisik, oligohidramnion, dan pertumbuhan janin
terhambat pada kasus-kasus yang berat.1,2,3
Selama kehamilan normal, tekanan darah sistolik hanya berubah sedikit,
sedangkan tekanan darah diastolik turun sekitar 10 mmHg pada usia kehamilan
muda (13-20 minggu) dan naik kembali pada trimester ke III. Pembentukkan
ruangan intervillair, yang menurunkan resistensi vaskular, lebih lanjut akan
menurunkan tekanan darah.1,2,3
Beberapa mekanisme etiologi yang dipercaya sebagai patogenesis dari
konvulsi eklamsi meliputi vasokonstriksi atau vasospame serebral, hipertensi
ensefalopati, infark atau edema serebral, perdarahan serebral, dan ensefalopati
metabolik. Akan tetapi, tidak ada kejelasan apakah penemuan ini merupakan
sebab atau efek akibat konvulsi.1,2,3,14

II.7 Diagnosis dan Gejala Klinis Hipertensi dalam Kehamilan


1. Hipertensi Gestasional
a. Tekanan darah sistolik ≥ 140 atau tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg
ditemukan pertama kali sewaktu hamil.
b. Tidak ada proteinuria
13

c. Tekanan darah kembali ke normal sebelum 12 minggu pascapartum


d. Diagnosis akhir hamya dapat dibuat pascapartum
e. Mungkin memiliki gejala atau tanda lain preeklamsia, misalnya dispepsia
atau trombositopenia
2. Preeklamsia
a. Keriteria minimum atau preeklamsi ringan :
1) Hipertensi : sistolik/diastolik ≥ 140/90 mmHg.
2) Proteinuria ≥ 300mg/24 jam atau ≥1+ dipsrik.
3) Edema lokal tidak dimasukan dalam kriteria preeklamsia kecuali
edema pada lengan, muka dan perut, dan edema generalisata.
b. Kemungkinan preeklamsia berat :
1) Tekanan darah ≥ 160/110 mmHg
2) Proteinuria > 5,0 g/24 jam atau ≥ 2+ pada pemeriksaan carik celup
(dipstik)
3) Kreatinin serum > 1,2 mg/dL, kecuali memang sebelumnya diketahui
meningkat
4) Trombosit < 100.000 µL
5) Hemolisis mikroangiopatik – peningkatan HDL
6) Peningkatan kadar serum transaminase – ALT atau AST
7) Nyeri kepala yang presisten atau ganggua serebral atau visual lainnya.
8) Nyri epigastrik yang presisten.
9) Sindrom HELLP

3. Eklamsia
Kejang yang tidak disebabkan oleh penyebab lain pada perempuan
dengan preeklamsia
4. Hipertensi superimposed preeklamsi
a. Proteinuria baru ≥ 300mg/24 jam pada perempuan hipertensi, tetapi tidak
ditemukan proteinuria sebelum kehamilan 20 minggu.
b. Peningkatan mendadak proteinuria atau tekanan darah atau hitung
trombosit < 100.000 µL.
14

5. Hipertensi kronis
a. TD ≥ 140/90 mmHg sebelum kehamilan atau terdiagnosis kehamilan 20
minggu, tidak disebabkan penyakin trofoblastik gestasional.
b. Hipertensi pertama didiagnosis setelah kehamilan 20 minggu dan menetap
selama 12 minggu pascapersalinan.
Diagnosis dini harus diutamakan bila diinginkan angka morbiditas dan
mortalitas rendah bagi ibu dan anaknya. Walaupun terjadinya preeklamsi sukar
dicegah, tetapi berat dan terjadinya eklamsi biasanya dapat dihindari dengan
mengenal secara dini penyakit tersebut dan dengan penanganan secara
sempurna.15
Tekanan darah sebaiknya diukur pada posisi duduk dengan posisi cuff setinggi
jantung. Adanya penekanan vena kava inferior oleh uterus gravid pada posisi
berbaring dapat mengganggu pengukuran sehingga terjadi pengukuran yang lebih
rendah. Sebelum pengukuran, wanita hamil dianjurkan untuk duduk tenang 5-10
menit.1,3,11
Hipertensi didiagnosa apabila tekanan darah pada waktu beristirahat 140/90
mmHg atau lebih besar. Pada masa lalu, telah dianjurkan agar peningkatan
tambahan tekanan diastolik 15 mmHg atau sistolik 30 mmHg digunakan sebagai
kriteria diagnostik, bahkan apabila tekanan darah saat diukur di bawah 140/90
mmHg. Kriteria tersebut sekarang ini tidak lagi dianjurkan karena bukti
menunjukkan bahwa wanita tersebut tidak memiliki kecenderungan untuk
mengalami efek samping merugikan saat kehamilan. Sebagai tambahan, tekanan
darah biasanya menurun pada trimester ke-II kehamilan dan tekanan diastolik
pada primigravida dengan kehamilan normotensi kadang-kadang naik sebesar 15
mmHg. Oedem telah ditinggalkan sebagai kriteria diagnostik karena hal tersebut
juga banyak terjadi pada wanita hamil yang normotensi. Oedem dianggap
patologis bila menyeluruh dan meliputi tangan, muka, dan tungkai.1,3,11,16
15

II.8 Penatalaksanaan
Setiap wanita harus dievaluasi sebelum konsepsi untuk menentukan kondisi
tekanan darahnya. Jika terdapat hipertensi, dapat ditentukan beratnya, sebab
sekunder yang mungkin, kerusakan target organ, dan rencana strategis
penatalaksanaannya. Kebanyakan wanita penderita hipertensi yang merencanakan
kehamilan harus menjalani skrining adanya faeokromositoma karena angka
morbiditas dan mortalitasnya yang tinggi apabila keadaan ini tidak terdiagnosa
pada ante partum.17
Pada umumnya, frekuensi kunjungan antenatal menjadi sering pada akhir
trimester untuk menemukan awal preeklamsi. Wanita hamil dengan tekanan darah
yang tinggi (140/90 mmHg) akan dievaluasi di rumah sakit sekitar 2-3 hari untuk
menentukan beratnya hipertensi. Wanita hamil dengan hipertensi yang berat akan
dievaluasi secara ketat bahkan dapat dilakukan terminasi kehamilan. Wanita hamil
dengan penyakit yang ringan dapat menjalani rawat jalan.17
Pada wanita penderita hipertensi yang merencanakan kehamilan, penting
diketahui mengenai penggantian medikasi anti hipertensi yang telah diketahui
aman digunakan selama kehamilan, seperti metildopa atau beta bloker.
Penghambat ACE dan ARB jangan dilanjutkan sebelum terjadinya konsepsi atau
segera setelah kehamilan terjadi.17
Perawatan di rumah sakit dipertimbangkan pada wanita dengan hipertensi berat,
terutama apabila terdapat hipertensi yang persisten atau bertambah berat atau
munculnya proteinuria. Evaluasi secara sistematis meliputi :17
1. Pemeriksaan detil diikuti pemeriksaan harian terhadap gejala klinis seperti
sakit kepala, pandangan kabur, nyeri epigastrium, dan penambahan berat
badan secara cepat.
2. Penimbangan berat badan saat masuk rumah sakit dan setiap hari
setelahnya.
3. Analisis proteinuria saat masuk rumah sakit dan setiap 2 hari.
4. Pengukuran tekanan darah dengan posisi duduk setiap 4 jam kecuali saat
pertengahan tengah malam dengan pagi hari.
16

5. Pengukuran serum kreatinin, hematokrit, trombosit, dan serum enzim hati,


frekuensi pemeriksaan tergantung beratnya penyakit.
6. Evaluasi berkala tentang ukuran janin dan cairan amnion secara klinis dan
dengan menggunakan ultrasonografi.17
Selain itu, pasien juga dianjurkan mengurangi aktivitas sehari-harinya yang
berlebihan. Tirah baring total tidak diperlukan, begitu pula dengan pemberian
sedatif. Diet harus mengandung protein dan kalori dalam jumlah yang cukup.
Pembatasan garam tidak diperlukan asal tidak berlebihan.9

II.8.1 Pengobatan Hipertensi Kronis


Wanita dengan hipertensi tingkat I memiliki risiko rendah untuk komplikasi
kardiovaskular selama kehamilan dan hanya menjalani terapi perubahan gaya
hidup karena tidak ada bukti bahwa terapi farmakologis meningkatkan prognosis
neonatal. Lebih lanjut lagi, tekanan darah biasanya menurun pada awal kehamilan,
disamping itu hipertensi mudah di kontrol dengan atau tanpa medikasi. Modifikasi
gaya hidup, latihan aerobik ringan harus dibatasi berdasarkan teori yang
menyatakan bahwa aliran darah plasenta yang inadekuat dapat meningkatkan
risiko preeklampsia. Walaupun data pada wanita hamil bervariasi, banyak ahli
yang merekomendasikan restriksi intake garam sebesar 2,4 gram. Penggunaan
alkohol dan rokok harus dihentikan.18
Wanita hamil dengan hipertensi kronis harus dievaluasi sebelum kehamilan
sehingga obat-obat yang memiliki efek berbahaya terhadap janin dapat diganti
dengan obat lain seperti metildopa dan labetalol. Metil dopa merupakan obat anti
hipertensi yang umum digunakan dan tetap menjadi obat pilihan karena tingkat
keamanan dan efektivitasnya yang baik. Banyak wanita yang diterapi dengan
diuretika, akan tetapi apakah terapi diuretik dilanjutkan selama kehamilan masih
menjadi bahan perdebatan. Terapi diuretik berguna pada wanita dengan hipertensi
sensitif garam atau disfungsi diastolik ventrikel. Akan tetapi diuretik harus
dihentikan apabila terjadi preeklamsi atau tanda-tanda pertumbuhan janin
terhambat. Keputusan untuk memulai terapi anti hipertensi pada hipertensi kronis
tergantung dari beratnya hipertensi, ada tidaknya penyakit kardiovaskular yang
17

mendasari, dan potensi kerusakan target organ. Obat lini pertama yang biasanya
dipergunakan adalah metil dopa. Bila terdapat kontra indikasi (menginduksi
kerusakan hepar) maka obat lain seperti nifedipin atau labetalol dapat digunakan.9
Tabel 2.2
Pilihan obat pada hipertensi gestasional dan hipertensi kronis dalam kehamilan9
Obat (resiko
Dosis Keterangan
FDA)
Agen yang umum Pilihan obat berdasar NHBEP,
diberikan: 0.5- 3.0 gram/hari tercatat aman pada trimester
Methyldopa awal
Lini kedua
Dapat dikaitkan dengan fetal
Labetalol 200-1200 mg/hari
growth restriction
Dapat menghambat persalinan
30-120 mg/hari
dan memiliki efek sinergis
Nifedipin dengan preparat
dengan MgSO4 untuk
lepas lambat
menurunkan tekanan darah
20-300 mg/hari Dapat digunakan bersama agen
Hydralazin dibagi dalam 2-4 simpatolitik, dapat menyebabkan
dosis pemberian trombositopenia neonates
Menurunkan tekanan darah
uretroplasenta, menyebabkan
stress hipoksia janin, resiko
Tergantung pada
Β-Blocker growth restriction pada trimester
agen yang dipilih
I-II (atenolol), dosis terlalu
tinggi menyebabkan hipoglikemi
neonatus
Menyebabkan gangguan
elektrolit, dapat digunakan
Hidrochlortiazid 12.5 – 25 mg/hari sebagai kombinasi dengan
metildopa dan vasodilator untuk
mengurangi retensi cairan.
Menyebabkan fetal death,
Kontraindikasi gangguan jantung, fetophaty,
ACE-inhibitor dan oligohidramnion, growth
ARB tipe I restriction, renal agenesis dan
neonatal anuric renal failure
Tidak ada agen antihipertensi yang aman digunakan pada trimester pertama.
Terapi dengan obat diindikasikan pada hipertensi kronis tanpa komplikasi dan saat
tekanan diastolic ≥100mmHg. Tatalaksana dengan dosis yang lebih rendah
18

diberikan pada pasien dengan diabetes mellitus, gagal ginjal, atau kerusakan organ
target.9

II.8.2 Pilihan obat antihipertensi pada Preeklampsia dan Eklamsia

Prinsip pengobatan antihipertensi pada pasien dengan preeklamsia dan


eklamsia adalah untuk mencegah hipertensi meningkat secara progresif,
mempertahankan tekanan darah pada level yang memiliki resiko terendah
terhadap gangguan kardiovaskular dan serebrovaskular pada ibu (Abalos et.al,
2007). Pada keadaan hipertensi yang berat dalam kehamilan, didefinisikan sebagai
tekanan darah > 160/110mmHg, keadaan ini membutuhkan pengobatan karena
pada keadaan ini terjadi peningkatan resiko terjadinya perdarahaan cerebral, terapi
pada keadaan ini untuk mencegah kematian ibu. Target pengobatan terhadap
kedaruratan hipertensi berat dalam kehamilan adalah penurunan tekanan diastolic
menjadi 90-100mmHg.9

Tabel 2.3

Pilihan obat dalam control kedaruratan pada Hipertensi Berat dalam kehamilan9

Obat (resiko
Dosis dan pemberian Keterangan
FDA)
10-20 mg IV, dilanjutkan Insidensi hipotensi
20-80 mg setiap 20-30 maternal lebih rendah
menit. Maksimal 300mg, dan efek samping,
dengan infuse kecepatan penggunaan labetalol
Labetalol 1-2mg/menit saat ini menggantikan
hydralazin, tidak
diperbolehkan pada
wanita dengan asma
dan CHF.
5 mg, IV atau IM, Merupakan pilihan
dilanjutkan 5-10 mb tiap obat dari NHBEP,
20-40 menit. Evaluasi telah lama diketahui
tekanan darah setiap 3 keamanan dan
Hydralazin
jam. Kecepatan infuse efikasinya
0.5-10mg/jam, bila tidak
berhasil diturunkan
dengan 20 mg IV atau
19

30mg IM, diganti obat


lain
Hanya direkomendasi Lebih disarankan
dengan tablet, diberikan preparat yang long
10-30mg per oral, acting, akan tetapi
Nifedipin diulang setiap 45 menit pada bidang obstetric
bila perlu lebih banyak disukai
preparat short acting

30-50mg IV setiap 5-15 Jarang digunakan,


menit menyebabkan
Diazoxide
berhentinya persalinan,
hiperglikemia
Kontraindikasi Drip 0.25-5 Dapat menyebabkan
relatif nitroprusid ug/kgBB/menit keracunan sianoda bila
digunakan >4 jam
Pada keadaan hipertensi ensefalopati, perdarahan, atau eklamsia
membutuhkan terapi antihipertensi parenteral untuk menurunkan mean arterial
pressure. Wanita dengan preeklamsia,perlu pertimbangan dalam memberikan
terapi hipertensi berat yang akut. Diberikan dosis yang lebih rendah karena pada
pasien ini terjadi deplesi volume intravascular dan meningkatnya resiko terjadi
hipotensi.9

II.8.3 Pengelolaan hipertensi pasca melahirkan


Pada masa post partum, wanita hamil yang sebelumnya normotensive
mengalami peningkatan tekanan darah, maksimum pada hari kelima post partum,
dan pada 1 penelitian 12% pasien mencapai tekanan diastolik yang melebihi 100
mmHg. Hal ini diduga konsekuensi dari ekspansi volume fisiologis dan
pergerakan cairan pada periode post partum. Periode pemulihan tekanan darah
secara alamiah dalam hipertensi gestational dan preeklamsia tidak diketahui.
Tidak ada literature yang pasti mengenai obat antihipertensi pada periode post
partum. Obat-obatan antihipertensi diberikan jika tekanan darah sistolik melebihi
150 mmHg atau tekanan darah diastolic melebihi 100 mmHg dalam 4 hari
pertama periode post partum. Pilihan agen antihipertensi pada periode post partum
dipengaruhi juga dengan keadaan menyusui, tetapi pada umumnya agen yang
20

digunakan dalam periode antepartum dilanjutkan hingga post partum.19 Medikasi


dihentikan ketika tekanan darah berangsur normal. Hal ini dapat terjadi dalam hari
bahkan hingga beberapa minggu pasca melahirkan.20
Dalam suatu kasus wanita dengan preeklamsia berat, tampak beberapa manfaat
pemberian diuresik furosemide pada periode pasca melahirkan, khususnya untuk
pasien dengan hipertensi disertai gejala edema paru dan edema perifer.20

II.8.4 Penggunaan antihipertensi masa menyusui


Belum ada penelitian yang dirancang dengan baik untuk menilai efek neonatal
dari obat antihipertensi yang dikonsumsi ibu dan kemudian dikeluarkan melalui
ASI. Pengaruh obat yang ditelan oleh bayi menyusu tergantung pada volume yang
ditelan, interval antara minum obat dan menyusui, oral bioavailability, dan
kapasitas bayi untuk mengekskresi obat. Neonatus yang terpapar methyldopa saat
menyusu masih dalam batas aman dan biasanya kemungkinannya kecil. Atenolol
dan metoprolol yang terkonsentrasi di ASI, dapat mencapai konsentrasi yang
memiliki efek terhadap bayi. Sebaliknya, paparan labetalol dan propranolol
konsentrasinya rendah. Meskipun konsentrasi diuretik dalam susu rendah dan
dianggap aman, agen ini dapat secara signifikan mengurangi produksi susu.
Terdapat laporan bahwa Calsium channel blocker dapat masuk ke dalam air susu
ibu, akan tetapi tanpa efek samping. Terdapat cukup data yang memaparkan
keamanan 2 obat dari golongan ACEinhibitor, yakni captopril dan enalapril;
konsentrasi captopril adalah 1% dari yang ditemukan dalam darah, dengan
konsentrasi yang diterima bayi 0.03% dari dosis reguler.21 Kadar enalapril tidak
signifikan berada di ASI, berdasarkan penelitian ini, American Academy of
Pediatrics menganggap obat ini dapat diterima pada masa menyusui. Saat ini
tidak cukup data pada penelitian terhadap angiotensin II receptor blocker; variasi
kadar obat dalam ASI hewan coba sangat tinggi dan sebagai rekomendasi
keamanan, obat jenis ini tidak diberikan.22
21

Tabel 2.4
Pengobatan antihipertensi ibu yang dapat digunakan saat masa menyusui9
Captopril Minoxidil
Diltiazem Nadolol
Enalapril Nifedipine
Hydralazine Oxprenolol
Hydrochlorothiazide Propranolol
Labetalol Spironolactone
Methyldopa Timolol
Verapamil
Diuretik (furosemid, hidrochlortiazid, dan spironolacton) dapat
menurunkan produksi ASI. Metroprolol dapat digunakan pada masa
menyusui meskipun terkonsentrasi dalamASI. Acebutolol dan atenolol
tidak boleh digunakan.

Anda mungkin juga menyukai