CASE STUDY : DEFENCE PROCUREMENT/ACQUSITION PLANNING
PENGADAAN ALUTSISTA
Dosen : Dr. Timbul Siahaan, M.M
Disusun Oleh :
Fuji Ayu Astuti 120170401009
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTAHANAN
PROGRAM STUDI INDUSTRI PERTAHANAN BOGOR APRIL 2018 Pengadaan alutsista TNI adalah kegiatan menyediakan kebutuhan barang dan jasa untuk keperluan dan kepentingan pemenuhan peralatan pertahanan negara. Pihak yang terlibat terbagi menjadi organisasi induk, tim evaluasi spesifikasi teknis, panitia pengadaan, tim evaluasi pengadaan dan tim perumus kontrak. Organisasi induk terdiri dari Menteri Pertahanan, Sekjen Kemhan, Panglima TNI dan tiga Kepala Staf Angkatan yang bertugas menentukan kebijakan, monitoring dan pengadaan alutsista. Sedangkan pengawasan dilakukan oleh Irjen Kemhan, Irjen TNI, Dirjen Strategi Pertahanan dan Dirjen Perencanaan Pertahanan. Pejabat pembuat komitmen dilakukan Kepala Badan Sarana Pertahanan, Mabes TNI dan tiga Kepala Staf Angkatan. Selain Kemhan dan TNI, Kementerian Keuangan, Badan Usaha Milik Negara Industri Strategis (BUMNIS), Badan Usaha Milik Negara Industri Pertahanan (BUMNIP) dan Badan Usaha Milik Swasta (BUMS) turut dilibatkan.
Proses pengadaan alutsista dilakukan dengan pembelian produk industri dalam
negeri dan luar negeri (impor). Pada pembelian impor, transaksi dilakukan di atas surat kredit berdokumen atau letter of credit (L/C) dimana akan ada klausul khusus seperti sistem nomor sediaan nasional (NSN), kelaikan, angkutan dan asuransi, pembebasan bea dan masuk pajak saat alutsista tiba hingga proses transfer teknologi (ToT). Pengadaan alutsista disesuaikan dengan program Minimum Essential Force (MEF) dan anggaran negara yang bersumber dari APBN. Proses pengadaan alutsista dilakukan dengan pendekatan sistem CADMID.
Ditinjau melalui pendekatan CADMID rangkaian proses pengadaan seharusnya
berlangsung kontinyu, tetapi di lapangan terdapat kesenjangan yang dilihat dari spesifikasi teknis. Kesenjangan pada tahap pengadaan dapat menghasilkan perencanaan yang penuh dengan teknologi menjadi tidak satu line dengan proses produksi. Artinya terjadi kekosongan dalam industri pendukung pertahanan dikarenakan kurangnya koordinasi antara litbang (penelitian dan pengembangan) dan industri. Pada proses produksi dan operasional harus disesuaikan dengan tuntutan operasional yang direncanakan user (TNI) karena akan berdampak pada anggaran perawatan dan perbaikan. Pada tahap terakhir harus mempertimbangkan kebijakan disposal, yaitu kebijakan purna-pakai setelah masa pakainya habis.