A. Pengertian Imunisasi
Imunisasi merupakan bentuk intervensi kesehatan yang sangat efektif dalam
menurunukan angka kematian bayi dan balita. Dengan imunisasi, berbagai penyakit
seperti TBC, difteri, pertusis, tetanus, hepatitis B, poliomyelitis, dan campak dapat
dicegah (Dewi, 2010).
Imunisasi merupakan salah satu cara yang efisien dalam mencegah penyakit dan
merupakan bagian kedokteran preventif yang mendapatkan prioritas. Sampai saat
ini ada tujuh penyakit infeksi pada anak yang dapat menyebabkan kematian dan
cacat, walaupun sebagian anak dapat bertahan dan menjadi kebal (Maryanti, 2011)
Perlu diketahui bahwa istilah imunisasi dan vaksinasi sering diartikan sama,
meskipun arti yang sebenarnya adalah berbeda. Imunisasi adalah suatu pemindahan
atau transfer antibody secara pasif, sedangkan vaksinasi adalah pemberian vaksin
(antigen) yang dapat merangsang pembentukan imunitas (antibody) dari system
imun dalam tubuh (Wafi, 2010).
Imunisasi berasal dari kata imun kebal atau resisten. Anak diimunisasi, berarti
diberikan kekebalan terhadap suatu penyakit tertentu. Anak kebal atau resisten
terhadap suatu penyakit tetapi belum tentu kebal terhadap penyakit yang lain.
Imunisasi adalah suatu upaya untuk menimbulkan/meningkatkan kekebalan
seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit, sehingga apabila suatu saat terpajan
dengan penyakit tersebut tidak akan sakit atau hanya mengalami sakit ringan (Pusat
Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Kesehatan, 2014).
Vaksin adalah antigen berupa mikroorganisme yang sudah mati, masih hidup tapi
dilemahkan, masih utuh atau bagiannya, yang telah diolah, berupa toksin
mikroorganisme yang telah diolah menjadi toksoid, protein rekombinan yang
apabila diberikan kepada seseorang akan menimbulkan kekebalan spesifik secara
aktif terhadap penyakit infeksi tertentu (Pusat Pendidikan dan Pelatihan Tenaga
Kesehatan, 2014).
D. Jenis-jenis imunisasi
1. Imunisasi Dasar
1) Imunisasi BCG
Bacillus Calmette-Guerin (BCG) adalah vaksin untuk mencegah
penyakit TBC, orang bilang flek paru. Meskipun BCG merupakan
vaksin yang paling banyak di gunakan di dunia (85% bayi menerima 1
dosis BCG pada tahun 1993), tetapi perkiraan derajat proteksinya sangat
bervariasi dan belum ada penanda imunologis terhadap tuberculosis yang
dapat dipercaya. maksudnya, kekebalan yang dihasilkan dari imunisasi
BCG ini bervariasi. Dan tidak ada pemerikasaan laboratorium yang bisa
menilai kekebalan seseorang pada penyakit TBC setelah diimunisasi.
Berbeda dengan imunisasi hepatitis B, kita bisa memeriksa titer anti-
HBsAg pada laboratotrium, bila hasilnya > 10 μg dianggap memiliki
kekebalan yang cukup terhadap hepatitis B. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa kemampuan proteksi BCG berkurang jika telah ada
sensitisasi dengan mikobakteria lingkungan sebelumnya, tetapi data ini
tidak konsisten. Imunsasi BCG diberikan dengan dosis 0,05 ml pada
bayi kurang dari 1 tahun, dan 0,1 ml pada anak. Disuntikkan secara
intrakutan. Bila penyuntikan benar, akan ditandai kulit yang
menggelembung. BCG ulang tidak dianjurkan karena manfaatnya
diragukan.BCG tidak dapat diberikan pada penderita dengan gangguan
kekebalan seperti pada penderita lekemia (kanker darah), anak dengan
pengobatan obat steroid jangka panjang dan penderita infeksi HIV.
- Kontra indikasi
Menurut (Dewi, 2010) Tenaga kesehatan tidak di anjurkan untuk
melakukan imunisasi BCG, jika ditemukan hal-hal berikut:
a) Reaksi tes mantoux > 5 mm.
b) Terinfeksi HIV atau dengan risiko tinggi HIV,
imunokomprmais akibat pengobatan kortikosteroid, obat
imunosupresif, sedang menjalani terapi radiasi, serta
menderita penyakit keganasan yang mengenai sumsum
tulang sistem limfa.
c) Anak mendirita gizi buruk.
d) Anak menderita demam tinggi.
e) Anak menderita infeksi kulit yang luas.
f) Anak pernah menderita tuberkulosis.
g) Kehamilan
- Rekomendasi
a) Imunisasi BCG diberikan saat bunyi berusia < 2 bulan.
b) Pada bayi yang kontak erat dengan penderita TB, dan
melalui pemeriksaan sputum didapati BTA (+3) maka
sebaiknya diberikan INH profilaksis terlebih dahulu, dan
jika kontak sudah dapat diberi BCG.
c) Jangan melakukan imunisasi BCG pada bayi atau anak
dengan imunodefiensi, minsalnya HIV, gizi buruk, dll
(Dewi,2010).
2) Imunisasi Hepatitis B
Pencegahan penyakit hepatitis B ditempuh melalui upaya preventif
umum dan khusus. Upaya preventif khusus hepatitis B ditempuh dengan
imunisasi pasif dan aktif. Imunisasi pasif Hepatitis B Immune globulin
(HBIg) dalam waktu singkat memberikan proteksi, meskipun hanya
untuk jangka pendek (3-6 bulan). Pemberian HBIg hanya pada kondisi
pasca paparan, di antaranya needle stick injury, kontak seksual, bayi dari
ibu dengan virus hepatitis B (VHB), terciprat darah ke mukosa atau
mata. Sebaiknya HBIg diberikan bersamaan dengan imunisasi aktif
vaksin VHB agar proteksi lama (Wafi, 2010). Penularan virus hepatitis B
melalui jalan lahir, melalui kontak dengan darah penderita, semisal
transfusi darah, melalui alat-alat medis yang sebelumnya telah
terkontaminasi darah dari penderita hepatitis B, seperti jarum suntik
yang tidak steril atau peralatan yang ada di klinik gigi.
Upaya pencegahan adalah langkah terbaik. Jika ada salah satu anggota
keluarga dicurigai kena Virus Hepatitis B, biasanya dilakukan screening
terhadap anak-anaknya untuk mengetahui apakah membawa virus atau
tidak.Selain itu, imunisasi merupakan langkah efektif untuk mencegah
masuknya virus hepatitis.
3) Imunisasi Polio
Kata polio (abu-abu) dan meylon (sumsum), berasal dari bahasa latin
yang bearti medula spinalis. Penyakit ini disebabkan oleh virus
poliomielitis pada medula spinalis yang secara klasik menimbulkan
kelimpuhan.
Reservior virus polio liar hanya pada manusia, yang sering ditularkan
oleh pasien infeksi polio yang tanpa gejala. Namun tidak ada pembawa
kuman dengan status karier asimptomatris, kecuali pada orang yang
menderita defisiensi sistem imun.
a) Vaksin Polio Oral(Oral polio vaccine-OPV)
Vaksin ini berisi virus polio tipe 1,2, dan 3 serta merupakan
bagian dari suku sabin yang masih hidup tetapi sudah dilemahkan
(attenuated). Vaksin digunakan rutin sejak bayi lahir sebagai
dosis awal, dengan dosis 2 tetes (0,1 ml). Imunisasi dasar umum
2-3 bulan dalam 3 bulan dosis terpisah berturut-turut dengan
interval 6-8 minggu untuk mendapatkan imunitas jangka lama.
Apabila OPV yang diberikan dimuntahkan dalam waktu 10
menit, maka dosis pemberian perlu diulangi. Virus vaksin akan
menempatkan diri di usus dan memacu antibodi dalam darah dan
epitelium usus,sehingga menghasilkan pertahanan lokal terhadap
virus polio liar. Virus vaksin ini dapat dieksresi melalui tinja
sampai 6 minggu setelah pemberian dan melakukan infeksi pada
kontak yang belum diimunisasi. Siapa saja kontak dengan bayi
yang baru saja iberi OPV agar mencuci tangan setelah mengganti
popok bayi. Asi tidak berpengaruh pada respon antibodi. Apabila
OPV yang diberikan dimuntahkan dalam waktu 10 menit, maka
dosis pemberian diulangi (Wafi, 2010).
b) Inactived Poliomylitis Vaccine (IPV)
Vaksin polio inactived merupakan antigen polio tipe 1,2 dan 3
yang mati. Vaksin harus disimpan pada suhu 2-8 C dan tidak
boleh dibekukan. Dosis pemberian adalah 0,5 ml dengan suntikan
subkutan dalam, tiga kali berturut-turut, dengan jarak antara
masing-masing dosis adalah 2 bulan, sehingga memberikan
imunitas jangka panjang. Imunitas mukosa IPV lebih rendah dari
OPV. Vaksin OPV dan IPV keduanya dapat dipakai berganti.
Vaksin IPV bisa diberikan pada anak sehat, anak dengan
imunokompromise atau bersamaan dengan vaksin DPT. Vaksin
IPV dapat menjadi alternatif, karena reaksi KIPI dari OPV ,
antara lain dapat menyebabkan terjadinya VAPP dan VDPV
(Wafi, 2010).
5) Imunisasi Campak
Ada dua jenis vaksin campak, yaitu vaksin yang berasal dari virus
campak hidup dan dilemahkan dan vaksin yang berasal dari virus
campak yang dimatikan. Vaksin campak dianjurkan diberikan dalam satu
dosis 0,5 ml melalui suntikan subkutan dalam pada umur 9 bulan.
Imunisasi ulangan perlu diberikan pada saat anak masuk SD (5-6 tahun)
untuk mempertinggi serokonversi. Apabila anak pada umur 15-18 bulan
telah mendapatkan vaksin MMR, maka imunisasi ulangan campak usia 5
tahun tidak perlu diberikan. Kontra indikasi pemberian imunisasi
campak, antara lain demam tinggi, sedang pengobatan imunosupresi,
hamil, memeliki riwayat alergi, sedang pengobatan imunoglobulin atau
bahan-bahan dari darah. Reaksi KIPI akibat imunisasi campak banyak
dijumpai pada pemberian vaksin campak dari virus yang dimatikan.
Reaksi KIPI dari imunisasi campak tersebut antara lain demam lebih dari
39,50C pada hari ke 5-6 selama 2 hari yang dapat merangsang terjadinya
kejang demam, ruam pada hari ke 7-10 selama 2-4 hari, serta gangguan
sistem syaraf pusat, di antaranya sensefalitis dan ensefalopati paska
imunisasi.
2. Imunisasi Lanjutan
Menurut Pusat Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Kesehatan (2014),Imunisasi
lanjutan merupakan imunisasi ulangan untuk mempertahankan tingkat
kekebalan atau untuk memperpanjang masa perlindungan. Imunisasi lanjutan
diberikan kepada anak usia bawah tiga tahun (Batita), anak usia sekolah dasar,
dan wanita usia subur.
a) Vaksin DT
Pemberian kekebalan stimulant terhadap difteru dan tetanus pada anak-
anak. Cara pemberiannya secara intra muscular atau subkutan dalam
dengan dosis 0,5 ml. dianjurkan untuk anak usia di bawah 8 tahun. yang
tidak boleh diberikan vaksin ini yang hipersensitif terhadap komponen
dari vaksin. Adapun efek samping dari pemebrian vaksin DT yaitu
gejala-gejala seperti lemas dan kemerahan pada lokasi suntikan yang
bersifat sementara dan kadang-kadang disertai gejala demam.
b) Vaksin Td
Imunisasi ulangan terhadap tetanus dan difteri pada individu mulai usia 7
tahun. cara pemebrian dan dosis dengan disuntikan secara intra muscular
dan subkutan dalam dengan dosis pemberian 0,5 ml. kontra indikasi pada
pasien yang menderita reaksi berat badan terhadap dosis sebelumnya.
Efeksamping yang ditimbulkan berupa nyeri pada area penyuntikan dan
demam.
c) Vaksin TT
Perlindungan terhadap tetanus neonatorum pada wanita usia subur. Cara
pemerian dan dosis secara intra muscular atau sub kutan dalam dengan
dosis 0,5 ml. Kontra indikasi pada pasien dengan gejala-gejala karena
disis TT sebelumnya, hipersensitif terhadap komponen vaksin, demam
atau infeksi akut. Efek samping yang dapat muncul berupa lemas,
kemerahan pada lokasi yang disuntikan sementara dan kadang-kadang
demam.
3. Imunisasi tambahan
Menurut Pusat Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Kesehatan (2014), Imunisasi
tambahan diberikan kepada kelompok umur tertentu yang paling berisiko
terkena penyakit sesuai kajian epidemiologis pada periode waktu tertentu. Yang
termasuk dalam kegiatan imunisasi tambahan adalah Backlog fighting,Crash
program PIN (Pekan Imunisasi Nasional), Sub-PIN, Catch up Campaigncampak
dan Imunisasi dalam Penanganan KLB (Outbreak Response
Immunization/ORI).
4. Imunisasi khusus
Menurut Pusat Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Kesehatan (2014), Imunisasi
khusus merupakan kegiatan imunisasi yang dilaksanakan untuk melindungi
masyarakat terhadap penyakit tertentu pada situasi tertentu. Situasi tertentu
antara lain persiapan keberangkatan calon jemaah haji/umrah, persiapan
perjalanan menuju negara endemis penyakit tertentu dan kondisi kejadian luar
biasa. Jenis imunisasi khusus, antara lain terdiri atas Imunisasi Meningitis
Meningokokus, Imunisasi Demam Kuning, dan Imunisasi Anti-Rabies.
DAFTAR PUSTAKA
Dewi Vivian Nanny lia.2010.Asuhan Neonatus Bayi Dan Anak Balita.Jakarta: Salemba
Medika.
Pusat Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Kesehatan. 2014. Buku Ajar Imunisasi. Jakarta.