Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Aulia Radhitya
Universitas Padjadjaran
AULIA RADHITYA
ABSTRAK
AULIA RADHITYA
ABSTRACT
Protein is very important for the structure of the soft tissues in animals such as
tendons, woven binder, collagen, skin, hair, nails and in the body of the quail to coat, nails,
and the beak. The title of research "Influence Granting of Level Protein Rations at Phase
Grower in The Growth of Quail (Coturnix coturnix japonica)", has been implemented in June
to July of 2014 in the Breeding center of quail Husbandry Faculty of the University of
Padjajaran. The research aims to determine the effect of dietary protein level on feed
consumption, body weight gain and feed conversion.The methods complete with Random
Design (RAL). There are three treatment protein levels consists of (R1 = 19%, R2 = 21%, and
R3 = 23%) with six repetitions. The results showed that the intake of protein up to (23%)
showed significant of the feed consumtion and body weight gain. By giving 23% of protein is
an optimal value for the growth of quail in the grower phase.
Puyuh sebagai salah satu ternak unggas cocok diusahakan baik sebagai usaha
sambilan maupun komersial, sebab telur dan dagingnya semakin populer dan dibutuhkan
sebagai salah satu sumber protein hewani yang cukup penting. Nilai gizi telur dan daging
puyuh tidak kalah dengan telur dan daging unggas lainnya, sehingga dengan tersedianya telur
dan daging puyuh di pasaran dapat menambah variasi dalam penyediaan sumber protein
hewani,
Puyuh merupakan unggas yang memiliki siklus hidup yang relatif pendek dengan laju
metabolisme tinggi, dan pertumbuhan serta perkembangannya yang sangat cepat. Puyuh
Jepang atau Cortunix coturnix japonica dapat menghasilkan telur sebanyak 250–300 butir per
ekor per tahun. Kelebihan dari coturnix, seperti kemampuannya untuk menghasilkan 3-4
generasi per tahun, membuat unggas ini menarik perhatian sebagai ternak percobaan dalam
penelitian.
Burung puyuh mempunyai dua fase pemeliharaan, yaitu fase pertumbuhan dan fase
produksi. Pada fase pertumbuhan terbagi lagi mejadi 2, yaitu fase starter (umur 0-3 minggu)
dan grower (umur 3-6 minggu). Perbedaan fase ini membawa resiko pada perbedaan
kebutuhan zat pakan. Selain dari faktor manajemen dan bibit, faktor terpenting untuk
menentukan produktivitas puyuh adalah faktor pakan (nutrisi). Protein, karbohidrat, lemak,
vitamin, mineral, dan air mutlak dalam jumlah yang cukup. Kekurangan salah satu
produktivitas puyuh.
Konsumsi dan kandungan nutrisi ransum merupakan salah satu faktor penting dalam
menentukan produktivitas puyuh. Dalam ransum terdapat unsur nutrisi yang harus tersedia
sesuai kebutuhan puyuh, karena apabila kandungan nutrisi ransum tidak sesuai dengan
telur. Protein juga merupakan salah satu unsur yang sangat penting sebagai penentu
pengaruh tingkat pemberian protein ransum pada fase grower terhadap pertumbuhan puyuh
Penelitian menggunakan 180 ekor puyuh betina fase grower pada umur 3 minggu
yang mempunyai bobot badan relatif sama. Dalam penelitian puyuh diberikan 3 perlakuan
dan 6 kali ulangan. Setiap perlakuan dalam percobaan adalah 60 ekor burung puyuh dengan
masing-masing 10 ekor untuk setiap ulangan. Nilai rata-rata koefisien variasi (KV) Puyuh
yang diperoleh ialah 5,40 gram. Selama penelitian kandang yang digunakan adalah kandang
dengan sistem koloni cage dengan kerangka kandang terbuat dari kayu berukuran 80x60 cm
untuk 10 ekor puyuh. Alat yang digunakan adalah timbangan kapasitas 20kg, pipa paralon
tempat ransum dan air minum, kertas label dan ember plastik.
pakan jagung kuning, bungkil kedelai, tepung ikan, dedak, grit, mineral, dan premiks.
Kandungan bahan baku, komposisi dan kandungan zat-zat makanan dalam ransum dapat
Rancangan Acal Lengkap (RAL), dengan tiga perlakuan dan enam ulangan. Dihitung dengan
analisis sidik ragam dan apabila hasilnya signifikan dilakukan Uji Jarak Berganda Duncan
(Gaspersz, 1995). Pengambilan data dilakukan pada puyuh dengan cara pengamatan langsung
di lapangan. Proses pengumpulan data diambil hasil pengukuran langsung terhadap puyuh
betina setiap harinya dengan peubah yang diamati adalah konsumsi ransum, pertambahan
analisis statistik dalam sidik ragam yang hasilnya dapat dilihat pada Lampiran 3. Berdasarkan
nyata (P<0,05) terhadap konsumsi ransum. Selanjutnya untuk mengetahui besarnya pengaruh
pemberian protein yang berbeda dalam ransum dilakukan uji Duncan yang disajikan pada
Tabel 9.
protein per hari pada puyuh yaitu, pada R1 konsumsi protein sebesar 3,73 gr/ekor/hari,
sedangkan pada R2 konsumsi protein sebesar 3,96 gr/ekor/hari dan pada R3 konsumsi protein
sebesar 4,30 gr/ekor/hari lebih besar dibandingkan dengan R1 dan R2. Hal ini menunjukkan
bahwa semakin tinggi tingkat protein dalam ransum semakin tinggi pula protein yang
dikonsumsi oleh puyuh sehingga dapat memenuhi kebutuhan untuk hidup pokok dan
pertumbuhan.
Hasil penelitian pengaruh pemberian kandungan protein yang berbeda dalam ransum
Perlakuan (gram/minggu/ekor)
Ulangan R1 R2 R3
1 20,30 20,30 20,92
2 20,47 20,39 21,46
3 20,13 20,81 20,83
4 20,57 20,15 21,10
5 19,80 20,07 20,89
6 20,17 19,76 20,97
Rata-rata 20,24 20,25 21,03
Tabel 10. terlihat bahwa rataan pertambahan bobot badan tertinggi hingga terendah
berturut-turut pada R3 (21,03 g), R2 (20,25 g), dan R1 (20,24 g). Guna mengetahui pengaruh
ransum dengan perbedaan kandungan protein, maka dilakukan analisis ragam yang hasilnya
dapat dilihat pada Lampiran 4. Pemberian ransum dengan berbagai kandungan protein
memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P<0,05) terhadap pertambahan bobot badan.
Selanjutnya untuk mengetahui besarnya pengaruh pemberian protein yang berbeda dalam
Hasil uji Duncan menyatakan bahwa rataan pertambahan bobot badan pada perlakuan
R1 dan R2 nyata lebih rendah dibandingkan dengan rataan pertambahan bobot badan R3.
Sementara rataan pertambahan bobot badan antara perlakuan R1 dan R2 tidak berpengaruh
nyata. Hal ini disebabkan perlakuan R1 dan R2 mengandung protein yang lebih rendah
dibandingkan dengan perlakuan R3. Pada perlakuan R3 konsumsi ransum lebih rendah dari
pada perlakuan lainnya, tetapi dalam intake protein menyerap kandungan protein yang tinggi
sehingga dapat menaikan pertambahan bobot badan yang pesat. Kandungan protein yang
lebih tinggi akan menghasilkan pertumbuhan bobot badan yang lebih tinggi pula. Menurut
(Morrison, 1967) bahwa kualitas dan kuantitas protein merupakan hal yang penting dalam
Penelitian ini sejalan dengan Card dan Nesheim (1972) bahwa kandungan protein dan asam
amino yang seimbang akan meningkatkan pertumbuhan bobot badan. Pemberian ransum
dengan tingkat protein 23% nyata meningkatkan PBB jika dibandingkan dengan pemberian
protein 19% dan 21%. Pemberian protein yang lebih rendah pada level protein 19% dan 21%
Pada penelitian ini ransum dengan tingkatan protein sebesar 23% merupakan ransum
yang optimal untuk pertambahan bobot badan. Sejalan dengan pernyataan (Gleves dan
Dewan, 1971) yang menyatakan bahwa semakin tinggi protein maka semakin besar
pertambahan bobot hidupnya. kenyataan ini disebabkan oleh umur puyuh yang digunakan
dalam penelitian berumur empat minggu. Pertambahan bobot hidup cenderung naik pada tiga
minggu pertama sedangkan minggu berikutnya bervariasi. Konsumsi protein pada puyuh
umur empat minggu tidak lagi untuk pertambahan bobot badan saja akan tetapi juga untuk
persiapan produksi, karena puyuh mulai berproduksi pada umur sekitar enam minggu.
Hasil penelitian pengaruh pemberian Kandungan protein yang berbeda dalam ransum
Perlakuan
Ulangan R1 R2 R3
1 6,78 6,49 6,26
2 6,67 6,51 6,10
3 6,81 6,34 6,29
4 6,68 6,56 6,22
5 6,95 6,55 6,28
6 6,81 6,62 6,26
Rata-rata 6,78 6,51 6,23
Pada Tabel 12. menunjukan bahwa rataan konversi ransum yang dicapai oleh R1 dan
R2 lebih tinggi dibandingkan dengan ransum R3, sedangkan nilai konversi ransum terkecil
terdapat pada ransum yang mengandung kandungan protein 23% R3 sebesar 6,23. Konversi
ransum merupakan salah satu faktor untuk menilai kemampuan ternak merubah konsumsi
ransum menjadi bentuk yang lebih berguna. Semakin kecil nilai yang dihasilkan berarti
ransum yang digunakan semakin baik sehingga ternak lebih efisien dalam menggunakan
ransum.
kandungan protein, maka dilakukan analisis ragam yang hasilnya dapat dilihat pada Lampiran
konversi ransum adalah komposisi ransum, kadar protein dan energi ransum, besar tubuh dan
tersedianya zat gizi dalam ransum, selanjutnya untuk mengetahui besarnya pengaruh
pemberian protein yang berbeda dalam ransum dilakukan uji Duncan yang disajikan pada
Tabel 13.
Tabel 13. Hasil Uji Duncan Pengaruh Perlakuan Terhadap Konversi Ransum
Hasil uji Duncan menyatakan bahwa rataan konversi ransum pada perlakuan R1 nyata
lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan dengan rataan konversi ransum R3. Sementara rataan
konversi ransum antara perlakuan R1 dengan R2 dan R3 berpengaruh nyata. pada perlakuan
R3 memberikan hasil konversi ransum puyuh yang baik. Hal ini disebabkan pada perlakuan
konversi ransum yang didapat (6,23). Angka konversi ransum yang rendah menandakan
effisiensi ransum tinggi, sebaliknya angka konversi ransum yang tinggi menunjukkan nilai
manfaat biologis yang rendah. Hasil uji Duncan tersebut menunjukan bahwa perlakuan R3
lebih baik dari perlakuan lainnya, akan tetapi dilihat dari segi effisiensi dan ekonomis pada
perlakuan R2 sudah memenuhi kebutuhan Protein Puyuh. Hal ini sejalan dengan penelitian
Surini (1984), bahwa tingkatan kandungan protein 19 – 21% cukup untuk menghasilkan
konversi ransum yang baik pada puyuh masa Grower. Semakin kecil angka konversi ransum
Kesimpulan