Anda di halaman 1dari 4

ADHD

Sumber: Jurnal DIAGNOSIS DAN TATA LAKSANA ATTENTION-


DEFICIT/HYPERACTIVITY DISORDER oleh Diana Purnamasari Tanoyo

Attention-deficit/hyperactivity disorder (ADHD) merupakan kelainan


neurobehavioral yang paling sering terjadi pada anak-anak, yang juga merupakan
suatu keadaan kronis yang paling sering berpengaruh pada anak-anak usia sekolah,
dan merupakan gangguan mental yang sering ditemukan pada anak-anak.

ADHD ditandai oleh kurangnya kemampuan memusatkan perhatian, termasuk


peningkatan distraktibilitas dan kesulitan untuk mempertahankan perhatian;
kesulitan mempertahankan control impuls; overaktifitas motorik dan kegelisahan
motoric.

Diperkirakan adanya peranan faktor genetik dan lingkungan mempunyai pengaruh


penting terhadap perkembangan fetus dan postnatal yang kemudian berpengaruh
pada terjadinya ADHD pada anak-anak usia dini. Adapun faktor-faktor yang
meningkatkan resiko terjadinya ADHD dihubungkan dengan genetik,
perkembangan, keracunan, post infeksi, dan post trauma.

Treatment medis

Manfaat yang diperoleh dari treatment medis adalah anak dapat mengontrol
impulsivitas, meningkatkan perhatian anak, dan hiperaktivitas serta agresivitas anak
berkurang. Tidak ada obat untuk menyembuhkan ADHD, hanya digunakan untuk
membantu mengontrol gejala ADHD. Obat-obatan yang biasa digunakan untuk
ADHD, dikenal sebagai stimulants, adalah methylphenidate (ritalin),
dextroamphetamine (dexedrine atau dextrostat), dan pemoline (cylert). Pada
kebanyakan anak, obat-obatan membantu mengurangi hiperaktivitas dan
meningkatkan kemampuan untuk memfokuskan pikiran pada suatu tugas atau
aktivitas, serta meningkatkan koordinasi fisik, seperti menulis dan olahraga.

SYNDROME DOWN

Sumber:

Sindrom Down adalah suatu kondisi dimana terdapat tambahan kromosom pada
kromosom 21 atau dikenal juga dengan istilah trisomi 21 yang menyebabkan
keterlambatan perkembangan fisik, ketidakmampuan belajar, penyakit jantung,
tanda awal alzeimer, dan leukemia.
Sindrom Down biasanya disebabkan karena kegagalan dalam pembelahan sel saat
meiosis atau disebut nondisjunction, sehingga terjadi kelebihan jumlah kromosom
didalam tubuh manusia, yaitu menjadi 47 kromosom.

Pada sindrom Down, pada meiosis I menghasilkan ovum yang mengandung 21


autosom dan 12 apabila dibuahi oleh spermatozoa normal, yang membawa
autosom 21, maka terbentuk zigot trisomi 21.

Nondisjunction ini dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:

1. Adanya virus/infeksi

2. Radiasi

3. Penuaan sel telur. Dimana peningkatan usia ibu berpengaruh terhadap kualitas
sel telur. Sel telur akan menjadi kurang baik dan pada saat terjadi pembuahan oleh
spermatozoa, sel telur akan mengalami kesalahan dalam pembelahan.

4. Umur ibu. Wanita dengan usia lebih dari 35 tahun lebih berisiko melahirkan bayi
dengan sindrom Down dibandingkan dengan ibu usia muda (kurang dari 35 tahun).

Selain nondisjunction, penyebab lain dari sindrom Down adalah anaphase lag. Yaitu,
kegagalan dari kromosom atau kromatid untuk bergabung ke salah satu nukleus
anak yang terbentuk pada pembelahan sel, sebagai akibat dari terlambatnya
perpindahan/pergerakan selama anafase. Kromosom yang tidak masuk ke nukleus
sel anak akan menghilang. Ini dapat terjadi pada saat meiosis ataupun mitosis.

Gambaran klinis penderita sindrom Down, yaitu mata sipit dengan sudut bagian
tengah membentuk lipatan (epicanthal folds), mulut yang mengecil dengan lidah
besar sehingga tampak menonjol keluar (macroglossia), bentuk kepala yang relatif
lebih kecil dibandingkan dengan orang normal (microchephaly), penurunan tonus
otot (hypotonia), bertubuh pendek, gangguan pendengaran, dagu yang lebih kecil
(micrognatia), dan gigi lebih kecil dari normal (microdontia).

CTEV

Sumber: Jurnal Congenital Talipes Equinovarus (CTEV) oleh Bayu Chandra Cahyono
Tahun 2012.

Congenital talipes equinovarus (CTEV) yang juga dikenal sebagai ‘club foot’ adalah
suatu gangguan perkembangan ekstremitas inferior yang sering ditemui.

Congenital talipes equinovarus adalah fiksasi kaki pada posisi adduksi, supinasi dan
varus. Tulang kalkaneus, navikular, dan kuboid terrotasi ke arah medial terhadap
talus, dan tertahan dalam posisi adduksi serta inversi oleh ligamen dan tendon.
Sebagai tambahan, tulang metatarsal pertama lebih fl eksi terhadap daerah plantar.

Etiologi CTEV tidak diketahui pasti; beberapa teori tentang etiologi CTEV antara
lain:

a. Faktor mekanik intrauteri: kaki bayi ditahan pada posisi equinovarus karena
kompresi eksterna uterus.
b. Defek neuromuscular
Peneliti menemukan adanya jaringan fibrosis pada otot, fascia, ligament dan
tendon sheath pada clubfoot, hal ini diperkirakan mengakibatkan kelainan
pada tulang. Adanya jaringan fibrosis ini ditandai dengan terekspresinya
TGF-beta dan PDGF pada pemeriksaan histopatologis.
c. Defek sel plasma primer
d. Perkembangan fetus terhambat
e. Herediter: Adanya faktor poligenik mempermudah fetus terpapar faktor-
faktor eksternal, seperi infeksi Rubella dan pajanan talidomid serta asap
rokok memiliki peran dalam terbentuknya CTEV, dimana terjadi temporary
growth arrest pada janin.
Pada janin perkembangan kaki terbagi menjadi dua fase, yaitu fase
fibula (6,5 – 7 minggu kehamilan) dan fase tibia (8-9 minggu kehamilan).
Ketika terjadi gangguan perkembangan saat kedua fase tersebut, maka
kemungkinan terjadinya CTEV akan meningkat.
f. Vascular

Beberapa teori mengenai patogenesis CTEV antara lain:

a. Terhambatnya perkembangan fetus pada fase fibular


b. Kurangnya jaringan kartilagenosa talus
c. Faktor neurogenic
d. Retraksi fibrosis sekunder karena peningkatan jaringan fibrosa di otot dan
ligament
e. Anomali insersi tendon (Inclan)

Gambaran Klinis

Lakukan pemeriksaan lengkap untuk mengidentifi kasi kelainan lain. Periksa kaki
bayi dalam keadaan tengkurap, sehingga bagian plantar dapat terlihat. Periksa juga
dengan posisi bayi supine untuk mengevaluasi adanya rotasi internal dan varus.

- Pergelangan kaki berada dalam posisi ekuinus dan kaki berada dalam posisi
supinasi (varus) serta adduksi.
- Tulang navikular dan kuboid bergeser ke arah lebih medial.
- Terjadi kontraktur jaringan lunak plantar pedis bagian medial.
- Tulang kalkaneus tidak hanya berada dalam posisi ekuinus, tetapi bagian
anteriornya mengalami rotasi ke arah medial disertai rotasi ke arah lateral
pada bagian posteriornya.
- Tumit tampak kecil dan kosong; pada perabaan tumit akan terasa lembut
(seperti pipi).
- Karena bagian lateralnya tidak tertutup, maka leher talus dapat dengan
mudah teraba di sinus tarsalis. Normalnya leher talus tertutup oleh tulang
navikular dan badan talus.
- Maleolus medialis menjadi sulit diraba dan pada umumnya menempel pada
tulang navikular. Jarak yang normal terdapat antara tulang navikular dan
maleolus menghilang.
- Tulang tibia sering mengalami rotasi internal.

Terapi Medis

Tujuan terapi medis adalah untuk mengoreksi deformitas dan mempertahankan


koreksi yang telah dilakukan sampai terhentinya pertumbuhan tulang.

CTEV yang dapat dikoreksi dengan manipulasi, casting, dan pemasangan gips.

CTEV resisten yang memberikan respons minimal terhadap penatalaksanaan


dengan pemasangan gips dan dapat relaps cepat walaupun awalnya berhasil dengan
terapi manipulatif. Pada kategori ini dibutuhkan intervensi operatif.

DIAGNOSIS BANDING

• Postural clubfoot – terjadi karena posisi fetus dalam uterus. Jenis abnormalitas
kaki ini dapat dikoreksi secara manual. Postural clubfoot memberi respons baik pada
pemasangan gips serial dan jarang relaps.

• Metatarsus adductus (atau varus) – suatu deformitas tulang metatarsal saja.


Forefoot mengarah ke garis tengah tubuh, atau berada pada aposisi adduksi.
Abnormalitas ini dapat dikoreksi dengan manipulasi dan pemasangan gips serial.

Anda mungkin juga menyukai