Anda di halaman 1dari 4

Kronologis Kasus :

X : terindikasi melakukan Penipuan


Mawar : Korban ke – 1 (pertama)
Melati : Korban ke – 2 (kedua)

“X” membeli barang secara online seharga Rp 150.000 ke “Mawar”, sehingga secara
otomatis “Mawar” memberikan nomor rekeningnya kepada “X” untuk melakukan
pembayaran sesuai kesepakatan. Tidak berselang lama “X” menjual barang lain ke “Melati”
seharga Rp 650.000,-

Yang menjadi permasalahan disini, “X” tidak memberikan nomor rekeningnya kepada
“Melati”, tetapi memberikan nomor rekening “Mawar” kepada “Melati”. Akhirnya
“Melati” transfer ke rekening “Mawar”yg dikiranya nomor rekening “X”.

Kemudian “X” meneleponke “Mawar” dan bilang bahwa “X” transfernya kelebihan Rp
500.000 dari yang seharusnya yaitu sebesar Rp. 150.000.

Karena terdapat kelebihan, ”Mawar” setuju untuk mengembalikan Rp. 500.000 kepada “X”
dan dari pihak “X” memberikan nomor rekening bersama (RekBer) salah satu penyedia
fasilitas pelayanan jual beli online kepada “Mawar”, sehingga pada akhirnya“Mawar”
melakukan transfer ke rekening tersebut (RekBer) sebesar Rp. 500.000

Selama ini dalam melakukan transaksi dengan orang lain, si “X” menggunakan rekening
(RekBer) tersebut, Jadi disini si “X” memutar uang hasil transaksinya untuk membeli barang
terus menerus. Hal ini merupakan cara yang cerdas dimana si “X” dalam melakukan aksinya
sama sekali tidak perlu mempunyai nomor rekening, karena yang dipakai adalah rekening
orang lain.

Sedangkan “Melati” mengalami kebingunan, karena barang yang dipesan melalui si “X” tak
kunjung datang. Sehingga “Melati” melaporkan hal tersebut sebagai tindak pidana penipuan
kepada otoritas Bank (dalam hal ini bank dari nomor rekening saudara “Mawar”).
Pada akhirnya nomor rekening saudara “Mawar” diblokir oleh pihak bank, karena dianggap
telah menipu “Melati”, yang mana “Melati” telah transfer kepada “Mawar” sebesar Rp.
650.000 dan barang yang dipesan “Melati “ tidak datang.

“Mawar tidak merasa melakukan penipuan, karena uang sebesar Rp. 650.000 tersebut berasal
dari si “X”, bahkan “Mawar” mengembalikan uang kelebihan sebesar Rp. 500.000 kepada si
“X” tetapi melalui “RekBer”

“Mawar” mencoba menghubungi nomor HP si “X” tapi sudah dapat diduga sudah tidakaktif!

Untuk membuka blokiran dari pihak Bank, Akhirnya “Mawar” harus mengganti Rp. 650.000
ke “Melati”. Sedangkan si “X” lolos begitu saja !

1
Analisa Kasus :
Penipuan secara online pada prinsipnya sama dengan penipuan konvensional. Yang
membedakan hanyalah pada sarana perbuatannya yakni menggunakan Sistem Elektronik
(komputer, internet, perangkat telekomunikasi). Sehingga secara hukum, penipuan secara
online dapat diperlakukan sama sebagaimana delik konvensional yang diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Dasar hukum yang digunakan untuk menjerat pelaku penipuan saat ini adalah Pasal 378
KUHP, yang berbunyi sebagai berikut :

" Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain
dengan melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan
tipu muslihat ataupun dengan rangkaian kebohongan menggerakkan orang lain
untuk menyerahkan sesuatu benda kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun
menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling
lama 4 (empat) tahun. "

Sedangkan, jika dijerat menggunakan UU ITE yaitu UU No. 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektroniksebagaimana telah diubah dengan UU No 19 tahun 2016
tentang Perubahan UU No 11 tahun 2008 tentang ITE, maka pasal yang dikenakan adalah
Pasal 28 ayat (1), yang berbunyi sebagai berikut :

“ Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan
menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik. “

Ancaman hukuman pada Pasal tersebut, terdapat pada Pasal 45 ayat (2) yang berbunyi
sebagai berikut :

“ Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1)
atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). “

Untuk pembuktiannya, APH bisa menggunakan bukti elektronik dan/atau hasil


cetaknya sebagai perluasan bukti sebagaimana Pasal 5 UU No. 11 tahun 2008 yang telah
diubah dengan UU No 19 tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang – Undang No 11 tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, di samping bukti konvensional lainnya
sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana(KUHAP).

2
Bunyi Pasal 5 Undang – UndangNomor 11 tahun 2008 tentang ITE :

(1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya


merupakan alat bukti hukum yang sah.

(2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang
sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.

Beberapa negara maju telah mengkategorikan secara terpisah delik penipuan yang
dilakukan secara online (computer related fraud) dalam ketentuan khusus cyber crime.
Sedangkan di Indonesia, didalam UU ITE beserta perubahannya yang ada saat ini belum
memuat pasal khusus/eksplisit tentang delik “penipuan”. Pasal 28 ayat (1) UU ITE saat ini
bersifat general/umum dengan titik berat perbuatan “penyebaran berita bohong dan
menyesatkan” serta pada “kerugian” yang diakibatkan perbuatan tersebut.

Tujuan rumusan Pasal 28 ayat (1) UU ITE tersebut adalah untuk memberikan
perlindungan terhadap hak-hak dan kepentingan konsumen. Perbedaan prinsipnya dengan
delik penipuan pada KUHP adalah unsur “menguntungkandiri sendiri” dalam Pasal 378
KUHP, tidak tercantum lagi dalam Pasal 28 ayat (1) UU ITE, dengan konsekuensi hukum
bahwa diuntungkan atau tidaknya pelaku penipuan, tidak menghapus unsur pidana atas
perbuatan tersebut dengan ketentuan perbuatan tersebut terbukti dapat menimbulkan kerugian
bagi orang lain.

Jadi, dari rumusan-rumusan Pasal 28 ayat (1) UU ITE dan Pasal 378 KUHP tersebut
dapat kita ketahui bahwa keduanya mengatur hal yang berbeda. Pasal 378 KUHP mengatur
penipuan, sementara Pasal 28 ayat (1) UU ITE mengatur mengenai berita bohong yang
menyebabkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik.

Walaupun begitu, kedua tindak pidana tersebut memiliki suatu kesamaan, yaitu dapat
mengakibatkan kerugian bagi orang lain. Tapi, rumusanPasal 28 ayat (1) UU ITE tidak
men-syaratkan adanya unsur “menguntungkan diri sendiri atau orang lain” sebagaimana
diatur dalam Pasal 378 KUHP tentang penipuan.

Pada akhirnya, dibutuhkan kejelian pihak penyidik kepolisianuntuk menentukan


kapan harus menggunakan Pasal 378 KUHP dan kapan harus menggunakan ketentuan-
ketentuan dalam Pasal 28 ayat (1) UU ITE. Namun, pada praktiknya pihak kepolisian dapat
mengenakan pasal-pasal berlapis terhadap suatu tindak pidana yang memenuhi unsur - unsur
tindak pidana penipuan sebagaimana diatur dalam Pasal 378 KUHPdan memenuhi unsur -

3
unsur tindak pidana Pasal 28 ayat (1) UU ITE. Artinya, bila memang unsur -unsur tindak
pidananya terpenuhi, polisi dapat menggunakan kedua pasal tersebut.

Anda mungkin juga menyukai