Anda di halaman 1dari 77

MANAJEMEN ASUHAN GIZI KLINIK PADA PASIEN DENGAN

DIAGNOSA MEDIS GIZI BURUK, HIV/AIDS, TUBERCULOSIS


PARU, CANDIDIASIS ORIS RUMAH SAKIT UMUM DAERAH
MARDI WALUYO KOTA BLITAR

LAPORAN
PRAKTEK KERJA LAPANGAN
(PKL)

Oleh:
Dalilah Alfia Lubna
NIM G42140831

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


POLITEKNIK NEGERI JEMBER
2018

1
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


HIV ( Human immunodeficiency Virus ) adalah virus pada manusia yang menyerang
system kekebalan tubuh manusia yang dalam jangka waktu yang relatif lama dapat
menyebabkan AIDS, sedangkan AIDS sendiri adalah suatu sindroma penyakit yang muncul
secara kompleks dalam waktu relatif lama karena penurunan sistem kekebalan tubuh yang
disebabkan oleh infeksi HIV. Virus HIV adalah retrovirus yang mempunyai kemampuan
menggunakan RNA-nya dan DNA penjamu untuk membentuk virus DNA dan menginfeksi
tubuh dalam periode inkubasi yang panjang. HIV dapat menyebabkan kerusakan pada sistem
imun, hal ini terjadi karena virus HIV menggunakan DNA dari CD4 + dan limfosit untuk
mereplikasi diri. Dalam proses tersebut, virus menghancurkan CD4 + dan limfosit sehingga
terjadi penurunan sistem kekebalan tubuh pada penderita HIV/AIDS (Nursalam &
Kurniawati, 2007).
Pada tahun 2017 penderita HIV/AIDS di Indonesia adalah 10.376 orang, Jumlah ini
turun dari pada tahun sebelumnya yaitu pada tahun 2016 sebanyak 41.250 orang. HIV AIDS
paling banyak menyerang kelompok usia (25-49 tahun) yaitu 69,6%. Asia diperkirakan
memiliki laju infeksi HIV tertinggi di dunia. Menurut laporan WHO dan UNAIDS, ketiga
negara yang 2 memiliki laju infeksi HIV tertinggi di dunia adalah China, India, dan
Indonesia. Ketiga negara itu memiliki populasi penduduk terbesar di dunia.
Berdasarkan jenis kelamin, kasus AIDS sampai dengan tahun 2015 didominasi
kelompok laki-laki sebesar 8979 kasus (61,9%) dan wanita sebesar 5519 kasus (38,1%).
Namun proporsi perempuan cenderung mengalami peningkatan secara tajam dari tahun ke
tahun. Dan dari segi kelompok umur, penderita HIV/AIDS di dominasi oleh kelompok usia
25-29 tahun sebanyak 3279 kasus, disusul kelompok usia 30-34 tahun sebanyak 3137 kasus,
serta kelompok usia 35-39 tahun dengan 2150 kasus. Disamping itu kasus HIV sudah ada
yang manifestasi menjadi AIDS di kalangan anak-anak dengan 499 kasus usai 0-9 tahun
(Dinkes Jawa Timur, 2016).
Penyakit HIV/AIDS menimbulkan masalah yang cukup luas pada individu yang
terinfeksi yakni masalah fisik, sosial, dan emosional (Bare & Smeltzer, 2005). Masalah
secara fisik terjadi akibat adanya penurunan daya tahan tubuh progresif yang mengakibatkan

2
Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) rentan terhadap berbagai penyakit terutama penyakit
infeksi dan keganasan (infeksi oportunistik) seperti TB paru, pneumonia, herpes
simpleks/zoster, diare kronik, hepatitis, sarcoma kaposi, limpoma, dan 4 infeksi/kelainan
neurologik. Bahkan, serangan penyakit yang biasanya tidak berbahaya pun lama-kelamaan
akan menyebabkan pasien sakit parah bahkan meninggal (Hutapea, 2011). Selain masalah
fisik tersebut, pasien HIV/AIDS juga menghadapi masalah sosial yang cukup
memprihatinkan, hal ini terjadi karena penyakit HIV identik dengan akibat dari perilaku-
perilaku tidak bermoral seperti seks bebas, penyalahgunaan narkoba, dan seks sesama jenis
(homoseksual) sehingga pasien dianggap pantas untuk mendapat hukuman akibat
perbuatannya tersebut (Purnama & Haryanti, 2006). HIV merupakan penyakit kronis dan
progresif sehingga berdampak luas pada aspek kehidupan yang akan mempengaruhi kualitas
hidup penderita. Seseorang yang terdiagnosa HIV/AIDS akan mengalami berbagai gejala
terkait infeksi HIV itu sendiri, penyakit penyerta, dan efek dari obat terkait HIV. Pasien
HIV/AIDS juga harus berjuang dengan berbagai masalah sosial seperti stigma, kemiskinan,
depresi, penyalahgunaan zat, dan keyakinan budaya yang dapat mempengaruhi kualitas hidup
mereka, tidak hanya dari aspek kesehatan fisik saja, tetapi dari aspek kesehatan mental dan
sosial (Basavaraj, et al, 2010).
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Mahasiswa mampu melakukan penatalaksanaan terapi diet dan asuhan gizi pasien
Gizi buruk, HIV/AIDS, TB Paru, Candidiasis Oris.
1.2.2 Tujuan Khusus
a. Mahasiswa mampu melakukan skrining gizi pada pasien baru dengan Gizi Buruk,
HIV/AIDS, TB Paru, Candidiasis Oris.
b. Mahasiswa mampu melakukan assessment gizi pada pasien dengan Gizi Buruk,
HIV/AIDS, TB Paru, Candidiasis Oris
c. Mahasiswa mampu melakukan diagnosa gizi pada pasien dengan Gizi Buruk,
HIV/AIDS, TB Paru, Candidiasis Oris
d. Mahasiswa mampu melakukan intervensi gizi pada pasien dengan Gizi Buruk,
HIV/AIDS, TB Paru, Candidiasis Oris
e. Mahasiswa mampu melakukan monitoring dan evaluasi pada pasien dengan Gizi
Buruk, HIV/AIDS, TB Paru, Candidiasis Oris
f. Mahasiswa mampu melakukan motivasi dan melakukan konsultasi pada pasien
dengan Gizi Buruk, HIV/AIDS, TB Paru, Candidiasis Oris
3
4
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Gizi Buruk


Gizi buruk dapat dikatakan merupakan kurang gizi kronis akibat kekurangan asupan
energi dan protein yang berlangsung dalam jangka waktu yang lama. Anak disebut
mengalami gizi buruk apabila berat badan anak dibanding umur tidak sesuai (selama 3 bulan
berturut-turut tidak naik) dan tidak disertai tanda-tanda bahaya (Moehji, 2002). Dampak gizi
buruk pada anak terutama balita antara lain :
a) Pertumbuhan badan dan perkembangan mental anak mengalami hambatan hingga anak
dewasa.
b) Mudah terserang penyakit diare, ISPA, dan yang lebih sering terjadi,
c) Bisa menyebabkan kematian apabila tidak diberikan perawatan yang intensif.
Berdasarkan manifestasi klinisnya, gizi buruk terbagi menjadi tiga yaitu gizi buruk
karena kekurangan protein atau disebut kwashiorkor, akibat kekurangan karbohidrat atau
kalori atau yang dikenal dengan marasmus, dan karena kekurangan kedua-duanya atau yang
lebih dikenal dengan marasmus-kwashiorkor. Gizi buruk sangat rentan terjadi pada anak
balita (bawah lima tahun) (Nency, 2005).
Gizi buruk sangat mempengaruhi tumbuh kembang anak, serta tingkat kecerdasan anak.
Gizi buruk yang diserta dengan penanganan yang buruk akan memicu terjadinya penyakit
lainnya yang pada akhirnya dapat menyebabkan kematian (Subagyo, 2007).
Gizi buruk atau lebih dikenal dengan gizi di bawah garis merah adalah keadaan kurang
gizi tingkat berat yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dari makanan
sehari-hari dan terjadi dalam waktu yang cukup lama. Tanda-tanda klinis dari gizi buruk
secara garis besar dapat dibedakan marasmus, kwashiorkor atau marasmic-kwashiorkor (RI
dan WHO, Rencana Aksi Pangan dan Gizi Nasional 2001 – 2005, Jakarta, Agustus 2000).
Gizi buruk merupakan keadaan kurang gizi yang disebabkan karena kekurangan asupan
energi dan protein juga mikronutrien dalam jangka waktu lama. Anak disebut gizi buruk
apabila berat badan dibanding umur tidak sesuai (selama 3 bulan berturut-turut tidak naik).
Diagnosis gizi buruk adalah terlihat kurus dan atau edema dan atau BB/PB atau BB/TB <
-3 SD.
2.2 Penentuan Status Gizi Balita
Ada dua jenis antropometri yang digunakan dalam mengidentifikasi status gizi, yaitu
berat badan (BB) dan tinggi badan (TB). Kedua ini disajikan dalam bentuk indeks dan rasio
berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan terhadap umur (TB/U) dan rasio berat badan
5
terhadap tinggi badan (BB/TB). Status gizi yang diukur dengan rasio BB/U mencerminkan
status masa sekarang. Karena, berat badan mencerminkan kondisi outcome tentang status
gizi pada masa sekarang. Rasio TB/U mencerminkan status gizi masa lalu, karena tinggi
badan merupakan outcome kumulatif status gizi sejak dilahirkan hingga saat sekarang
(Hidayat, 2005).
Di masa lalu, rujukan pertumbuhan dikembangkan menggunakan data dari satu negara
dengan mengukur contoh anak-anak yang dianggap sehat, tanpa memperhatikan cara hidup
dan lingkungan mereka. Mengingat hal tersebut World Health Organization (WHO) telah
mengembangkan standar pertumbuhan yang berasal dari sampel anak-anak dari enam negara
yaitu Brazil, Ghana, India, Norwegia, Oman dan Amerika Serikat. WHO Multicentre Growth
Reference Study (MGRS) telah dirancang untuk menyediakan data yang menggambarkan
bagaimana anak-anak harus tumbuh, dengan cara memasukkan kriteria tertentu (misalnya:
menyusui, pemeriksaan kesehatan, dan tidak merokok). Penelitian tersebut mengikuti bayi
normal dari lahir sampai usia 2 tahun, dengan pengukuran yang sering pada minggu pertama.
Kelompok anak-anak lain umur 18 sampai 71 bulan, diukur satu kali. Data dari kedua
kelompok umur tersebut disatukan untuk menciptakan standar pertumbuhan anak umur 0
sampai 5 tahun.
Indikator pertumbuhan digunakan untuk menilai status pertumbuhan anak dengan
mempertimbangkan umur, jenis kelamin dan hasil pengukuran. Dalam modul ini akan
dijelaskan cara melakukan penilaian status pertumbuhan berdasarkan empat indikator berikut:
a) Panjang/Tinggi Badan Menurut Umur
b) Berat Badan Menurut Umur
c) Berat Badan Menurut Panjang/Tinggi Badan
d) Indeks Massa Tubuh (IMT) menurut Umur
Untuk mengetahui ada tidaknya penurunan atau kenaikan berat badan (BB) dapat
dilihat pada Kartu Menuju Sehat (KMS). Prinsipnya adalah anak yang sehat, bertambah umur
bertambah berat badan. Menurut Standar WHO BB ideal anak laki-laki usia 2 tahun adalah
12,2 kg dan anak perempuan 11,5 kg. untuk seterusnya setelah usia 2 tahun sampai 5 tahun,
pertambahan BB rata-rata 2-2,5 kg per tahun. Pemantauan panjang / tinggi badan juga perlu
agar dapat diketahui keadaan atau status gizi yang lebih akurat.
Tabel 2.1 Indikator Pertumbuhan Menurut Z-score
Z-score Indikator Pertumbuhan
PB/U atau BB/U BB/PB atau IMT/U
TB/U BB/TB

6
>3 Lihat catatan 1 Lihat catatan Sangat gemuk Sangat gemuk
2 (obes) (obes)
>2 Gemuk Gemuk
(overweight) (overweight)
>1 Risiko gemuk Risiko gemuk
(lihat catatan (lihat catatan
3) 3)
0 (Angka
Median)
< -1

< -2 Pendek BB kurang Kurus Kurus


(stunted) (Lihat (Underweight) (Wasted) (Wasted)
Catatan 4)
< -3 Sangat pendek BB sangat Sangat Kurus Sangat Kurus
(severe stunted) kurang (Severe (Severe
(Lihat Catatan (Severe Wasted) Wasted)
4) Underweight)
Sumber: Modul C Pelatihan Penilaian Pertumbuahan Anak WHO 2005
Catatan:
1. Seorang anak pada kategori ini termasuk sangat tinggi dan biasanya tidak menjadi masalah
kecuali anak yang sangat tinggi mungkin mengalami gangguan endokrin seperti adanya
tumor yang memproduksi hormone pertumbuhan. Rujuklah anak tersebut jika diduga
mengalami gangguan endokrin (misalnya anak yang tinggi sekali menurut umurnya,
sedangkan tinggi orang tua normal).
2. Seorang anak berdasarkan BB/U pada katagori ini, kemungkinan mempunyai masalah
pertumbuhan, tetapi akan lebih baik bila anak ini dinilai berdasarkan indikator BB/PB atau
BB/TB atau IMT/U.
3. Hasil ploting di atas 1 menunjukkan kemungkinan risiko. Bila kecenderungannya menuju
garis Z-score 2 berarti risiko lebih pasti.
4. Anak yang pendek atau sangat pendek, kemungkinan akan menjadi gemuk bila
mendapatkan intervensi gizi yang salah.
2.3 Prevalensi Gizi Buruk
Kasus gizi buruk dan kurang tahun 2004 tercatat berjumlah 5,1 juta kasus, kemudian
pada tahun 2005 turun menjadi 4,42 juta kasus, tahun 2006 turun lagi menjadi 4,2 juta kasus
(944.246 di antaranya merupakan kasus gizi buruk) dan tahun 2007 turun menjadi 4,1 juta
(755.397 di antaranya merupakan kasus gizi buruk) (Depkes, 2008).
Prevalensi nasional gizi kurang pada balita pada tahun 2008 adalah 13,0% dan gizi buruk
pada balita 5,4%. Hal ini menunjukkan capaian target MDGs sebesar 18,5% dalam program

7
perbaikan gizi, maupun target Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) sebesar
20%. Meskipun telah ada target tersebut, sebanyak 19 provinsi memiliki prevalenzi gizi
buruk dan gizi kurang diatas target prevalensi nasional termasuk provinsi NTT (Badan
Litbang Kesehatan, 2008).
Secara nasional anak balita dengan status gizi kurang ditargetkan harus kurang dari
15,0% pada tahun 2012 (Bappenas, 2011). Laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun
2010 menunjukkan prevalensi gizi buruk dan kurang di Indonesia sebesar 17,9% yang terdiri
dari gizi kurang 13,0% dan gizi buruk 4,9%. Sekitar 37,3 juta penduduk Indonesia hidup
dibawah garis kemiskinan. Sebagian dari total rumah tangga mengkonsumsi energi dan
protein kurang dari kebutuhan tubuh sehari-hari. Sebanyak 5 juta balita berstatus gizi kurang
dan lebih dari 100 juta penduduk berisiko terhadap masalah kurang gizi (Hadi, 2005).
Pada tahun 2012, Indonesia menduduki peringkat kelima Negara dengan kasus gizi
kurang dan buruk terbanyak di dunia. Hal ini disebabkan karena jumlah penduduk Indonesia
yang menempati peringkat keempat negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia.
Jumlah anak balita yang mengalami gizi kurang di Indonesia saat ini tercatat sekitar 900 ribu
jiwa atau 4,5% dari jumlah keseluruhan anak balita di Indonesia yakni 23 juta jiwa (Tarigan,
2012).
Daerah yang penduduknya mengalami gizi kurang tersebar hampir di seluruh wilayah
Indonesia, tidak hanya daerah bagian timur Indonesia. Masalah gizi kurang sering kali tidak
terpantau dengan baik yang akhirnya tidak dapat diatasi secara maksimal. Padahal masalah
ini dapat memunculkan masalah yang besar (Bappenas, 2011).
Krisis ekonomi bangsa menjadi salah satu pencetus terjadinya masalah gizi di
masyarakat. Status gizi yang buruk mengakibatkan terjadinya lost generation yaitu suatu
generasi dengan jutaan anak mengalami kekurangan gizi sehingga tingkat kecerdasan (IQ)
anak pun menjadi lebih rendah. Anak yang mengalami kurang energi protein (KEP)
mempunyai IQ yang lebih rendah 10-13 skor jika dibandingkan dengan anak yang tidak
mengalami KEP. Anak yang terkena anemia mempunyai IQ lebih rendah 5-10 skor
dibandingkan dengan anak yang tidak anemia (UNICEF, 1998). Anak yang mengalami
gangguan akibat kekurangan iodium (GAKI) terancam mempunyai IQ yang lebih rendah 50
skor dibandingkan dengan anak yang tidak mengalami GAKI (Karsin, 2004).
Anak yang memiliki status gizi kurang atau buruk (underweight) berdasarkan indeks
BB/U dan pendek atau sangat pendek (stunting) berdasarkan indeks TB/U dibanding standar
WHO mempunyai resiko kehilangan tingkat kecerdasan atau intelligence quotient (IQ)
sebesar 10-15 poin (UNICEF, 1998).
8
2.4 Tiga Tipe Gizi Buruk
2.4.1 Kwashiorkor
Tanda dan gejala kwashiorkor adalah edema, wajah membulat dan sembab, pandangan
mata sayu, rambut tipis, kemerahan seperti warna rambut jagung, mudah dicabut tanpa sakit,
rontok, perubahan status mental, apatis, rewel, pembesaran hati, otot mengecil (hipotrofi),
kelainan kulit berupa bercah merah muda yang meluas dan berubah warna menjadi coklat
kehitaman dan terkelupas (crazy pavement dermatosis), sering disertai penyakit infeksi (
umumnya akut), anemia, dan diare.
2.4.2 Marasmus
Tanda dan gejala marasmus adalah tampa sangat kurus, hingga seperti tulang
terbungkus kulit, wajah seperti orang tua, cengeng, rewel, kulit keriput, jaringan lemak
subkutis sangat sedikit sampai tidak ada (baggy pants), perut umumnya cekung, iga gambang,
sering disertai penyakit infeksi (umumnya kronis berulang) dan diare.
2.4.3 Marasmik-Kwashiorkor
Tanda dan gejala marasmik-kwashiorkor adalah campuran dari beberapa gejala klinik
kwashiorkor dan marasmus dengan BB/TB < -3 SD disertai edema yang tidak mencolok.
2.5 Penyebab Gizi Buruk
UNICEF (1990) menjelaskan bahwa upaya perbaikan gizi lebih efektif bila
memperhatikan faktor penyebabnya, dimana determinan kekurangan gizi di masyarakat
disebabkan oleh pemberian makanan yang tidak seimbang dan penyakit infeksi. Pola asuh,
ketersediaan makanan, air bersih, sanitasi serta ketersediaan pelayanan kesehatan dasar
dianggap sebagai faktor yang berpengaruh tak langsing terhadap permasalahan gizi. Akar
masalah dari faktor tidak langsung tersebut dijelaskan adalah kemiskinan, kurang pangan,
kurang pengetahuan dan pendidikan seperti tergambar pada gambar 2.1

9
Gambar 2.1 Determinan Status Gizi Anak
Sumber : UNICEF 1990 disesuaikan dengan keadaan Indonesia
2.5.1 Faktor Langsung
Secara umum, status gizi dipengaruhi oleh dua faktor langsung yaitu asupan makanan
dan infeksi penyakit. Asupan makanan sangat mempengaruhi status gizi. Status gizi akan
berkembang secara optimal bila tubuh memperoleh zat-zat gizi yang dibutuhkan dan
digunakan secara efisien, sehingga mendukung pertumbuhan fisik, perkembangan otak,
kemampuan kerja dan kesehatan secara maksimal. Status gizi kurang diakibatkan karena
kurangnya asupan satu atau lebih zat gizi esensial yang dibutuhkan oleh tubuh (Almatsier,
2006). Infeksi penyakit berkaitan erat dengan pelayanan kesehatan dan perawatan anak dan
ibu hamil (Supariasa, 2002). Penyakit infeksi seperti diare dan infeksi saluran pernafasan atas
(ISPA) mengakibatkan terganggunya proses penyerapan zat gizi oleh tubuh sehingga, zat gizi
tidak dapat terserap dengan baik (UNICEF, 2009).
2.5.1.1 Konsumsi Makan
UNICEF (1990) menjelaskan bahwa penyebab langsung status gizi anak dipengaruhi
adalah konsumsi makanan dan status infeksi anak. Bila seorang bayi dan anak balita tidak
mendapat Air Susu Ibu (ASI) dan Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) yang tepat maka
daya tahan tubuh anak akan menjadi rendah sehingga mudah terserang infeksi penyakit.
Konsumsi makanan haruslah memenuhi jumlah dan komposisi zat gizi yang dibutuhkan
tubuh, meliputi memenuhi syarat makanan beragam, bergizi dan berimbang. Pada tingkat
yang lebih luas, ketersediaan pangan sangat erat kaitannya dengan produksi dan distribusi

10
bahan pangan. Ketersediaan pangan beragam yang tersedia sepanjang waktu dan dalam
jumlah yang cukup dan dengan harga yang terjangkau oleh semua kalangan masyarakat
sangat menentukan ketahanan pangan di tingkat rumah tangga dan tingkat asupan makanan
keluarga.
Anak balita (dibawah lima tahun) merupakan kelompok masyarakat yang sangat rentan
mengalami masalah gizi. Pada fase ini anak mengalami fase tumbuh kembang yang sangat
pesat, sehingga sangat membutuhkan asupan makanan yang sesuai dengan kebutuhan tubuh
dan bergizi. Makanan yang bergizi adalah makanan yang didalamnya terkandung karbohidrat,
vitamin, mineral, dan protein.
Makanan yang bergizi justru cenderung kurang diminati anak karena pada anak balita
kerapkali terjadi masalah dalam pemberian makanan karena factor kesulitan makan anak,
yang mana anak suka memilih-milih makanan ataupun sulit untuk diberikan makanan
(Judarwanto, 2004).
Anak sulit makan merupakan salah satu masalah makan yang kerapkali dialami oleh
orang tua. Beberapa keluhan yang sering terjadi antara lain memilih-milih makanan, menolak
makan, tidak mau makan sama sekali, kalau diberi makan muntah, mengeluh sakit perut, dan
adanya peningkatan emosi saat diminta untuk makan. Keluhan-keluhan tersebut merupakan
indikasi bahwa anak sedang mengalami gangguan makan (Zaviera, 2008).
Pada usia balita, gangguan kesulitan ini seringkali terjadi karena aktifitas anak yang
meingkat sepertti bermain dan berlari sehingga kadang anak sampai lupa waktu dan
melupakan rasa lapar mereka. Pola pemberian makan yang tidak sesuai dengan keinginan
anak pun menjadi penyebab anak menjadi sulit makan, sedangkan pada balita terus terjadi
proses pertumbuhan dan perkembangan yang sangat membutuhkan kecukupan nutrisi. Nutrisi
yang dikonsumsi pada usia balita mengalami banyak perubahan mulai dari perubahan bentuk
makanan diawali dengan ASI yang bentuknya cair, lalu perlahan-lahan ditingkatkan dengan
asupan makanan bertekstur halus dan sampai akhirnya diberikan makanan bertekstur padat
sebagai asupan utama (Irwanto, 2002).
Gangguan kesulitan makan pada anak, perlu mendapatkan perhatian serius dan
ditangani secepatnya agar tidak menimbulkan efek negative nantinya. Efek negatif yang
dapat ditimbulkan diantaranya adalah kekurangan gizi, menurunnya daya intelegensi dan
menurunnya daya tahan tubuh anak yang berakibat anak mudah terserang penyakit dan
akhirnya akan menghambat tumbuh kembang optimal pada balita (Santoso, 2009).
Konsumsi makan juga mencakup pola pemberian makan, yaitu pola pemberian ASI
eksklusif dan pola pemberian MP-ASI.
11
1) ASI eksklusif
Air Susu Ibu (ASI) merupakan hasil sekresi dari kelenjar payudara ibu yang berbentuk
cairan. Air Susu Ibu Eksklusif (ASI eksklusif) adalah air susu ibu yang diberikan selama 6
(enam) bulan kepada bayi tanpa adanya penambahan dan/atau mengganti dengan makanan
atau minuman lainnya (Kemenkes, 2012).
ASI eksklusif adalah pemberian ASI sedini mungkin setelah persalinan, diberikan tanpa
terjadwal dan tanpa diberikan makanan atau minuman lain, bahkan air putih sekalipun,
hingga bayi berusia 6 bulan. Setelah usia 6 bulan, bayi mulai diperkenalkan dengan makanan
atau minuman lain dan tetap diberi ASI hingga bayi berumur dua tahun (Depkes, 2008).
Bayi yang baru lahir umumnya diberikan air susu setiap 2 sampai 3 jam sekali. Waktu
dan jarak menyusui akan semakin meningkat seiring bertambah usianya, karena daya
tampung mereka menjadi lebih besar. Hal sebaliknya terjadi pada bayi baru lahir yang
diberikan susu formula. Meraka akan mengkonsumsi susu kira-kira 3 sampai 4 jam sekali,
selama minggu-minggu pertama kehidupan mereka (Baskoro, 2008).
ASI eksklusif merupakan salah satu langkah yang paling efektif untuk mencegah
terjadinya kematian anak, namun Survei Demografi Kesehatan Indonesia tahun 2007
menunjukkan bahwa dari tiga bayi di bawah usia enam bulan, hanya satu bayi yang diberikan
ASI eksklusif. Hasil survey ini menunjukkan bahwa sebagian besar bayi di Indonesia tidak
mendapatkan manfaat ASI yang optimal, dalam hal ini berkaitan dengan gizi dan
perlindungan tubuh terhadap penyakit.
Tahun 2014, hanya sepertiga ibu di Indonesia yang secara eksklusif menyusui anak-
anak mereka hingga usia enam bulan. Banyak hal yang menjadi hambatan bagi ibu untuk
menyusui, termasuk dukungan keluarga yang rendah, beberapa ibu juga takut akan kesakitan
ketika menyusui dan tidak praktis (UNICEF, 2012).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hafrida tahun 2004 yang dilakukan di
kelurahan Belawan Bahari, anak-anak dengan keadaan gizi yang baik atau normal berkaitan
erat dengan perilaku pemberian ASI, dimana mereka yang tidak pernah diberi ASI ternyata
keadaan gizinya lebih rendah. Di samping itu, ketahanan hidup bayi yang pernah
mendapatkan ASI adalah 984 per 1000, sedangkan ketahanan hidup yang tidak pernah
mendapat ASI hanya 455 per 1000 (Nurmiati, 2008; Alharini, 2012).
Faktor pendukung keberhasilan pemberian ASI eksklusif sampai umur 6 bulan adalah
adanya motivasi ibu untuk menyusui, sedangkan factor penghambat keberlanjutan pemberian
ASI adalah keyakinan ibu bahwa bayi tidak akan cukup memperoleh zat gizi jika hanya
diberi ASI sampai umur 6 bulan dan kepercayaan akan susu formula (Alharini, 2012).
12
2) MP-ASI
Makanan pendamping ASI merupakan makanan yang diberikan kepada bayi atau anak
selain ASI untuk memenuhi kebutuhan tubuh akan gizi. MPASI mulai diberikan kepada bayi
atau balita sejak berumur 6 bulan, sebab jika pasca usia 6 bulan bayi hanya diberikan ASI
saja, maka kebutuhan gizi bayi hanya terpenuhi 60%-70%. Kebutuhan lainnya yang tidak
dapat dipenuhi oleh ASI yaitu sebesar 30%-40% terpenuhi dari asupan makanan
pendampingn atau tambahan (Indiarti, 2008).
Makanan Pendamping ASI harus mulai diberikan saat bayi berusia 6 bulan, karena
sebelum usia 6 bulan, sistem pencernaan bayi masih belum sempurna, seperti enzim-enzim
pemecah protein diantaranya asam lambung, pepsin, lipase, enzim amylase belum dihasilkan
secara sempurna. Enzim-enzim ini akan mulai diproduksi sempurna sejak bayi berusia 6
bulan. Selain itu pada usia 6 bulan adalah saat di mana bayi mulai belajar menunyah dan
menelan makanan padat sehingga risiko tersedak menjadi berkurang. Pada usia bayi 6-12
bulan, ASI hanya mencukupi setengah atau lebih dari kebutuhan gizi bayi, memasuki usia 12-
24 bulan, ASI hanya menyediakan sepertiga dari kebutuhan gizinya sehingga diperlukan
makanan pendamping untuk mencukupi kebutuhan gizi tubuhnya (Satyawati, 2012).
Bentuk MP-ASI terbagi menjadi 3 yakni makanan lumat, makanan lembek dan
makanan keluarga. Pada usia 6-9 bulan makanan terbaik adalah yang teksturnya cair dan
lembut seperti bubur buah, bubur susu atau bubur sayuran yang dihaluskan. Memasuki usia
10-12 bulan, bayi mulai diperkenalkan dengan makanan kental dan padat, namun harus tetap
bertekstur lunak, seperti aneka nasi tim. Pada usia 12-24 bulan bayi sudah dapat dikenalkan
pada makanan keluarga atau makanan padat seperti orang dewasa namun tetap harus
mempertahankan rasa. Hal yang peril diingat dalam pemberian makanan pada bayi adalah
menghindari jenis makanan yang dapat mengganggu organ pencernaan, seperti makanan
pedas, terlalu berbumbu tajam, terlalu asam dan berlemak (Wulayani, 2012).
Pemberian makanan yang terlalu dini selain ASI dapat menimbulkan gangguan
pencernaan seperti diare, muntah dan sulit buang air besar pada bayi. Sebaliknya, pemberian
makanan yang terlalu lambat dapat menyebabkan bayi mengalami kesulitan untuk belajar
mengunyah, tidak menyukai makanan padat, bayi mengalami kesulitan makan, dan akhirnya
bayi kekurangan gizi (Cott, 2003; Susanty, 2012). Pemberian MP-ASI yang terlalu dini juga
menyebabkan produksi ASI berkurang karena anak sudah kenyang dan jarang menyusu.
Selain itu menimbulkan alergi di kemudian hari karena usus bayi masih mudah dilalui protein
asing. Terlalu lambat memberikan makanan pendamping juga tidak baik karena ASI saja

13
hanya bisa memenuhi kebutuhan bayi sampai 6 bulan. Sehingga pemberian MP ASI lebih
dari itu kemungkinan bayi akan mengalami malnutrisi (Soetjiningsih, 2004).
WHO menyarankan, makanan lumat dan lembek yang diberikan hendaknya sudah
lengkap terdiri dari sumber karbohidrat, protein, lemak, mineral dan vitamin, pengenalan
berbagai campuran bahan makanan, rasa dan tekstur ini berguna untuk memperkaya zat gizi
MP-ASI, keberagaman juga bermanfaat untuk membantu penyerapan zat-zat gizi yang lain
(Satyawati, 2012).
Kondisi status gizi baik akan dapat tercapai apabila asupan gizi yang dibutuhkan oleh
tubuh dapat tercukupi yang kemudian akan dimanfaatkan secara efisien oleh tubuh untuk
menopang pertumbuhan fisik, perkembangan otak, dan ketahanan tubuh untuk bekerja demi
tercapainya kesehatan yang optimal (Roesli, 2005). Hal ini sesuai dengan penelitian
Munawaroh (2006) yang dilakukan di Kabupaten Pekalongan yang menyatakan bahwa balita
dengan pola makan yang tidak baik lebih berisiko 8,1 kali untuk mengalami status gizi
kurang dari pada balita dengan pola makan yang baik. Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan Rahmani tahun 1997 di Sumatera Utara, usia pemberian MP-ASI pertama kali
mempunyai hubungan dengan status gizi anak balita. Sebagian besar ibu (69,05%)
memberikan MPASI tepat waktu kepada anaknya. Anak yang diberi MP-ASI pada usia ≥6
bulan mempunyai status gizi yang baik (Rahmani, 1997; Susanty, 2012).
2.5.1.2 Penyakit Infeksi
Penyakit infeksi berkaitan erat dengan tingginya kejadian penyakit menular dan
buruknya sanitasi lingkungan. Penyakit infeksi dapat memperparah keadaan gizi, terutama
penyakit infeksi yang berat karena penyakit infeksi akan mempengaruhi asupan gizi sehingga
meningkatkan kehilangan zat-zat gizi yang sangat dibutuhkan oleh tubuh yang berakhir pada
status gizi yang semakin buruk. Terdapat hubungan yang sangat erat antara infeksi penyakit
dengan kejadian malnutrisi. Terjadi hubungan yang timbal balik antara malnutrisi dengan
penyakit infeksi. Infeksi akan mempengaruhi status gizi dengan mempercepat malnutrisi, dan
sebaliknya malnutrisi menyebabkan anak mudah terserang penyakit infeksi (Pudjiadi, 2001).
Mekanisme patologisnya berupa penurunan asupan zat gizi akibat berkurang atau
hilangnya nafsu makan sehingga menurunkan absorpsi zat-zat gizi bagi tubuh, dan kebiasaan
mengurangi asupan makanan saat sakit seperti batuk pilek, serta terjadinya peningkatan
kehilangan cairan tubuh dan zat gizi akibat diare, mual muntah dan perdarahan yang terus
menerus. Beberapa penyakit infeksi yang sering diderita anak balita antara lain diare dan
ISPA (Pudjiadi, 2003; Kusriadi, 2010).

14
Diare, radang tenggorokan, infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) merupakan penyakit
infeksi yang paling sering diderita oleh anak balita. ISPA dan diare terjadi pada anak balita
karena sistem pertahanan tubuh anak rendah (Adisasmito, 2007).
2.5.2 Faktor Tidak Langsung
2.5.2.1 Sosial Ekonomi
Menurut Supariasa (2002), faktor sosial ekonomi meliputi data social keadaan
penduduk, keadaan keluarga diantaranya pekerjaan, pendapatan keluarga, kekayaan,
pengeluaran, banyaknya anggota dalam keluarga, dan harga makan. Status ekonomi keluarga
dapat dilihat dari besarnya pendapatan atau pengeluaran keluarga baik pangan maupun non
pangan selama satu tahun terakhir.
Pendapatan keluarga adalah rata-rata besarnya penghasilan yang diperoleh oleh seluruh
anggota keluarga. Pendapatan keluarga tergantung pada jenis pekerjaan kepala keluarga dan
anggota keluarga lainnya. Jika pendapatan masih rendah maka kebutuhan pangan cenderung
lebih dominan daripada kebutuhan non pangan. Sebaliknya, jika pendapatan meningkat maka
pengeluaran untuk non pangan akan semakin besar, mengingat kebutuhan pokok makanan
sudah terpenuhi (Kusriadi, 2010).
Jumlah pengeluaran pada keluarga dengan pendapatan rendah biasanya akan lebih
besar daripada pendapatan mereka. Pendapatan merupakan faktor yang paling berkaitan erat
dengan jumlah dan mutu makanan yang nantinya akan mempengaruhi status gizi.
Meningkatnya pendapatan akan berbanding lurus dengan peningkatan perbaikan kesehatan
dan masalah keluarga lainnya yang berkaitan dengan gizi (Berg, 1987; Diah, 2011).
Sosial ekonomi adalah faktor yang paling berpengaruh terhadap kelangsungan hidup
anak baik sakit maupun sehat. Pendapatan keluarga sebagai salah satu determinan sosial
ekonomi akan mempengaruhi keputusan keluarga dalam memilih barang-barang konsumsi
dengan mempertimbangkan nilai kepentingan barang tersebut dibeli. Pendapatan juga
menentukan daya beli terhadap bahan pangan dan fasilitas lainnya seperti pendidikan,
perumahan, kesehatan dan lain-lain. Semakin tinggi tingkat pendapatan maka jumlah
pengeluaran total dan pengeluaran bahan makan cenderung akan ikut mengalami
peningkatan, maka ketersediaan makanan dalam keluarga akan semakin baik sehingga asupan
makanan juga akan meningkat dan meningkatkan status gizi (Susianto, 2008).
Kusriadi (2010) dalam penelitiannya di NTB menjelaskan prevalensi gizi buruk pada
keluarga miskin lebih besar 37,5% dari keluarga tidak miskin, disamping itu juga terdapat
hubungan bermakna antara status ekonomi keluarga dengan gizi kurang. Adanya hubungan

15
antara sosial ekonomi keluarga dengan ketahanan pangan dalam rumah tangga akan
mempengaruhi asupan zat gizi dalam keluarga dan berpengaruh terhadap status gizi anak.
2.5.2.2 Faktor Ibu
1) Pendidikan
Pendidikan adalah jenjang pendidikan formal yang pernah dijalani oleh seseorang dan
ditandai dengan kepemilikan ijasah. Pendidikan dapat mempengaruhi seseorang dalam
mencapai kesehatan yang optimal terutama berkaitan dengan pola asuh anak, pemenuhan zat
gizi serta informasi kesehatan lainnya. Pendidikan ibu yang rendah menyebabkan
keterbatasan dalam memenuhi segala kebutuhan anak serta keluarga terhadap asupan gizi.
Dengan pendidikan yang baik, ibu dapat menunjang perekonomian keluarga juga berperan
dalam penyusunan menu makan sehat bagi keluarga dan perawatan anak. Keluarga dengan
tingkat pendidikan yang tinggi memudahkan menerima dan mengaktualisasikan informasi
kesehatan khususnya dibidang gizi (Depkes, 2005).
Dalam kehidupan bermasyarakat, tingkat pendidikan merupakan salah satu penilaian
yang menentukan seseorang citra sosialnya dimata manusia lainnya. Tingkat pendidikan juga
dapat menunjukkan keadaan social ekonomi di dalam masyarakat. Pendidikan pada dasarnya
betujuan untuk merubah perilaku dan pengaruh sosial budaya yang menghambat perbaikan
kesehatan menjadi perilaku dan sosial budaya yang positif sehingga dapat meningkatkan taraf
kesehatan perorangan maupun masyarakat (Soekirman, 2000).
Ernawati (2006) menjelaskan bahwa penerimaan informasi seseorang tentang gizi
sangat dipengaruhi oleh pendidikan dimana masyarakat yang mempunyai pendidikan yang
rendah akan sulit menerima informasi baru berkaitan dengan bidang gizi sehingga tetap
mempertahankan tradisi-tradisi yang berhubungan dengan makanan walaupun tradisi tersebut
tidak tepat. Selain itu tingkat pendidikan juga mempengaruhi penerimaan seseorang dalam
menerima suatu pengetahuan. Jika tingkat pendidikan seseorang rendah, maka akan sulit bagi
orang tersebut untuk menyerap informasi yang diberikan termasuk pendidikan dan informasi
tentang gizi sehingga sulit untuk mencapai pola hidup bersih dan sehat. Begitu juga
sebaliknya, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka akan semakin mudah orang
tersebut menerima pendidikan ataupun pengetahuan tentang gizi, dimana diharapkan dengan
pendidikan gizi tersebut akan dapat tercipta pola hidup yang baik dan sehat.
Lestari (2006) menerangkan pendidikan ibu sangat berpengaruh terhadap status gizi
balita. Lebih lanjut ditekankan oleh Anwar (2005) bahwa tingkat pendidikan ibu beresiko 2,3
kali terhadap kejadian gizi buruk di Lombok Timur. Pendidikan dan kesehatan merupakan
hal mendasar yang diperlukan dalam membentuk kemampuan manusia yang lebih baik.
16
Kesehatan merupakan salah satu penentu kesejahteraan dan pendidikan merupakan hal pokok
yang menentukan tercapainya kesehatan yang optimal dan perbaikan kehidupan kearah yang
lebih baik (Kusriadi, 2010).
2) Pengetahuan
Ibu adalah orang yang paling berperan penting dalam menentukan konsumsi makanan
keluarga khususnya untuk anak balita. Pengetahuan yang dimiliki oleh ibu akan sangat
berpengaruh terhadap pola konsumsi makanan keluarga. Jika pengetahuan ibu tentang gizi
rendah, maka berakibat rendahnya anggaran belanja untuk makanan, keanekaragaman
makanan kurang, serta kurangnya asupan gizi bagi tubuh. Pengeluaran keluarga akan lebih
besar pada pembelian kebutuhan papa, yang tidak terlalu mendesak untuk dipenuhi karena
pengaruh kebiasaan, iklan, dan lingkungan. Gangguan gizi juga disebabkan oleh
kekurangmampuan ibu dalam mengolah informasi mengenai gizi untuk diaplikasikan dalam
kehidupan sehari-hari (Ernawati, 2006).
Berg dalam Hidayat (2006) menegaskan bahwa pengetahuan sangat mempengaruhi
penentuan komposisi dan pola konsumsi pangan. Walaupun keluarga mampu membeli dan
menyiapkan pangan, tetapi bila tidak disertai dengan pengetahuan gizi yang tepat akan tetap
menjadi masalah. Istiono (2009), menerangkan bahwa tingkat pengetahuan mempengaruhi
sikap dan perilaku seseorang dalam memilih makananan untuk dikonsumsi, yang di
kemudian hari akan berdampak pada keadaan gizi orang tersebut. Pengetahuan ibu tentang
gizi merupakan salah satu factor yang sangat berpengaruh terhadap status gizi anak balita.
3) Jarak Kelahiran Anak
Jarak kelahiran adalah perbedaan kelahiran dalam hitungan tahun antara anak yang
terakhir dengan yang diatasnya. Jarak kelahiran yang terlalu dekat akan meningkatkan
kejadian bayi lahir yang belum cukup umur dengan berat bayi lahir rendah. Status gizi yang
rendah terkait pula dengan terlalu dekatnya jarak kelahiran yang akan diikuti dengan
pendeknya waktu menyusui ibu kepada bayinya. Akhirnya jarak antar kelahiran yang pendek
akan mengakibatkan terjadinya kompetisi dari anak-anak dalam pembiayaan untuk kebutuhan
makan, kesehatan dan pendidikan yang akhirnya berpengaruh kepada status gizi dan
kesehatan anak-anak (Wilopo, 2010). Anak yang lahir dengan jarak kelahiran tiga sampai
lima tahun dengan kelahiran sebelumnya mempunyai tingkat kelangsungan hidup yang lebih
tinggi 2,5 kali dari pada anak yang lahir dengan jarak kelahiran kurang dari dua tahun. Anak-
anak yang lahir dengan jarak kelahiran lebih dari tiga tahun dengan kelahiran sebelumnya
tingkat kesehatannya lebih tinggi saat mereka dilahirkan dan kemungkinan hidup yang lebih
baik pada setiap tahap tumbuh kembangnya (Depkes, 2005).
17
4) Jumlah anak
Program KB merupakan salah satu upaya membenahi dan memperbaiki kesejahteraan
keluarga yang patut dilihat dalam hubungannya dengan masalah gizi. keluarga dengan jumlah
anak yang banyak dan jarak kelahiran antar anak yang berdekatan akan menimbulkan lebih
banyak masalah (Apriadji, 1986).
Sebagaimana pemberantasan gizi kurang pada anak-anak dan ibu hamil dapat
mendorong kearah terbentuknya keluarga kecil, maka pembatasan jumlah anggota keluarga
bisa membantu memperbaiki gizi dan daya tahan anak-anak. Survei pangan di India
memperlihatkan bahwa persediaan protein per anak dalam keluarga yang mempunyai satu
atau dua anak akan lebih tinggi 22% (kira-kira 13% perkepala) dibandingkan dengan
keluarga yang mempunyai anak lebih dari 2 (Berg, 1986).
5) Pekerjaan Ibu
Menurut Encyclopedia of Children’s Health, ibu bekerja adalah seorang ibu yang
bekerja di luar rumah untuk mendapatkan penghasilan di samping membesarkan dan
mengurus anak di rumah. Lerner (2001), ibu bekerja adalah ibu yang memiliki anak dari
umur 0-18 tahun dan menjadi tenaga kerja. Kemiskinan yang semakin meningkat dan
semakin tingginya angka pengangguran merupakan penyebab banyaknya ibu yang bekerja
pada masa sekarang terutama di Negara berkembang termasuk Indonseia (Tjaja, 2000).
Ibu yang bekerja tidak saja mempunyai dampak positif terhadap status gizi anak, tetapi
juga membawa dampak negative. Ibu yang bekerja akan lebih membantu perekonomian
keluarga dalam rangka mencukupi kebutuhan makanan anggota keluarga, namun juga
membawa dampak negative dimana ibu menjadi tidak memperhatikan tumbuh kembang anak
sehingga anak menjadi tidak berkembang dan betumbuh secara optimal. Begitupula
sebaliknya pada ibu yang tidak bekerja yang dapat meluangkan waktu sepenuhnya untuk
merawat anaknya, namun mengalami kesulitan memenuhi asupan gizi anak karena tidak
mampu membeli makanan yang bergizi akibat ekonomi yang lemah, hal ini terutama
cenderung terjadi pada keluarga dengan ekonomi lemah.
2.5.2.3 Sanitasi
Sanitasi adalah upaya kesehatan yang dilakukan masyarakat dengan menitikberatkan
pada pengawasan berbagai faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi derajat kesehatan
manusia (Azwar, 1995; Diah 2011). Sanitasi adalah upaya kesehatan yang dilakukan dengan
cara memelihara kebersihan lingkungan dari subyeknya, misalnya menyediakan air yang
bersih untuk keperluan konsumsi, menyediakan tempat sampah untuk menampung sampah
agar sampah tidak dibuang sembarangan (Depkes RI, 2004).
18
Sanitasi lingkungan adalah status kesehatan suatu lingkungan yang mencakup
perumahan, pembuangan kotoran, penyediaan air bersih dan sebagainya (Notoadmodjo,
2003). Soekirman (2000) menyatakan bahwa sanitasi lingkungan sangat erat kaitannya status
gizi. Persediaan air bersih, ketersediaan jamban, sistem pembuangan air limbah, dan
kebersihan alat makan pada setiap keluarga mempengaruhi setiap anggota keluarga terhadap
paparan penyakit yang kemudian berpengaruh terhadap status gizi anak.
Kurangnya air bersih dan sanitasi lingkungan yang tidak memadai serta praktek-praktek
kebersihan yang buruk adalah beberapa penyebab yang mendasari penyakit malaria dan
kematian pada anak-anak. Jika anak mengalami diare yang disebabkan karena kurangnya air
bersih atau karena praktek kebersihan yang buruk, maka akan menguras nutrisi dari
tubuhnya. begitu seterusnya, dari buruk menjadi lebih buruk (UNICEF, 2008)
Tingkat higienitas dan sanitasi lingkungan merupakan salah satu factor resiko terhadap
kejadian gizi buruk dan merupakan determinan penting dalam bidang kesehatan. Sanitasi
yang baik merupakan salah satu parameter tercapainya gizi balita yang baik (Istiono, 2009).
Rumah tangga di daerah Indonesia Timur umumnya mempunyai kondisi yang lebih buruk
dari daerah Indonesia Barat.
Sekitar 40,0% rumah tangga di NTB, NTT, Maluku dan Papua berkondisi tanpa sanitasi
yang baik (Atmarita, 2006). Data Riskesdas 2010 menunjukkan akses rumah tangga terhadap
sanitasi yang layak secara nasional baru mencapai 55,53% dan Provinsi NTT paling rendah
yaitu 25,35%.
Sanitasi rumah adalah upaya yang dilakukan masyarakat demi tercapainya kesehatan
yang optimal dengan menitikberatkan pada pengawasan terhadap struktur fisik rumah. Hal-
hal yang mencakup sanitasi rumah meliputi suhu, ventilasi, kepadatan hunian, kelembaban,
penerangan alami, konstruksi bangunan, sarana pembuangan sampah, saranan pembuangan
kotoran manusia, system pembuangan air limbah dan penyediaan air bersih. Sanitasi rumah
yang tidak memadai seperti rumah yang lembab, tidak memiliki fasilitas air bersih dan
system pembuangan sampah dan kotoran manusia yang tidak terjamin akan menyebabkan
lingkungan yang tidak sehat (Kusriadi, 2010).
Lingkungan rumah yang kotor memungkinkan berkembangnya penyakit-penyakit.
Anak balita sebagai kelompok umur yang rawan akan mudah terinfeksi penyakit. Hal ini
berkaibat pada semakin lemahnya kondisi tubuh dan menurunkan nafsu makan dan
selanjutnya berpengaruh terhadap status gizinya (Ginting, 1997; Diah, 2011).
Menurut Notoadmojo (2003) suatu rumah dikatakan sehat bila memenuhi syarat-syarat
diantaranya, 1) ventilasi yang cukup sehingga aliran udara di dalam tetap segar, 2)
19
pencahayaan ke dalam rumah yang cukup baik, 3) rumah memiliki fasilitas penyediaan air
bersih yang memadai, tempat pembuangan tinja yang baik, saluran pembuangan air limbah,
tempat pembuangan sampah, dapur dan ruang kumpul keluarga, 4) bahan bangunan rumah
meliputi lantai, dinding dan atap.
Hidayat (2006), menjelaskan bahwa kondisi kesehatan rumah tangga yang mencangkup
fasilitas pembuangan air besar dan sumber air minum secara deskritif berkaitan dengan
prevalensi status gizi balita. Rumah tangga yang memiliki fasilitas jamban sendiri memiliki
prevalensi gizi buruk dan gizi kurang lebih rendah dibandingkan dengan rumah tangga yang
menggunakan fasilitas pembuangan air besar pada jamban di kamar mandi umum. Sementara
rumah tangga yang mengkonsumsi air dari sumber air minum yang bersih memiliki
prevalensi gizi buruk dan gizi kurang lebih rendah dibandingkan dengan rumah tangga yang
menggunakan sumber air minum lainnya. Lingkungan merupakan salah satu faktor yang
berpengaruh dalam penentuan status gizi balita. Lingkungan dan sanitasi yang buruk dapat
menyebabkan penyakit kurang gizi (Sukarni, 1999; Diah, 2011). Bappenas (2009)
menegaskan bahwa semakin baik sanitasi maka semakin rendah kematian anak dan semakin
baik nutrisi anak. Selain itu akses dan penggunaan air bersih, sanitasi, kebiasaan mencuci
tangan pada keluarga dan individu memiliki efek langsung terhadap status kesehatan. Studi di
delapan negara menunjukkan penggunaan air bersih secara langsung telah berpengaruh
terhadap kesehatan anak yaitu penurunan anak yang terkena diare sebesar 6,0% dan
berpengaruh tidak langsung terhadap status gizi anak.
Kusriadi (2010) dalam penelitiannya di Propinsi NTB menunjukkan bahwa sanitasi
lingkungan yang tidak memadai meningkatkan risiko gizi buruk 1,33 kali lebih tinggi dari
lingkungan sanitasi yang memadai. Hal yang sama juga dijelaskan oleh Ginting dalam Diah
(2011) lingkungan yang kurang baik berpengaruh 2,8 kali dibanding lingkungan yang baik
terhadap status gizi balita dan KEP balita di Kecamatan Menpawah Pontianak.
2.3.2.4 Pelayanan Kesehatan Dasar
Pelayanan kesehatan dasar adalah keterjangkauan keluarga dan masyarakat terhadap
upaya pencegahan terhadap penyakit dan pemeliharaan kesehatan yang meliputi immunisasi,
pertolongan persalinan, pemeriksaan kehamilan, pemantauan pertumbuhan anak melalui
penimbangan anak, penyuluhan kesehatan dan gizi serta sarana kesehatan yang baik seperti
posyandu, puskesmas, praktek swasta, rumah sakit dan klinik lainnya. Ketidakterjangkauan
pelayanan kesehatan karena hambatan ekonomi maupun non ekonomi seperti jarak yang jauh,
tidak mampu membayar, kurang pengetahuan dan penyebab lainnya merupakan masalah dan
kendala masyarakat maupun keluarga dalam memanfaatkan sarana pelayanan kesehatan yang
20
tersedia, yang pada akhirnya akan berakibat pada kondisi status kesehatan anak (Depkes,
2008)
Salah satu akses pelayanan kesehatan dasar primer adalah posyandu. Posyandu
merupakan tempat melakukan pemantauan pertumbuhan anak dan tempat untuk mendapatkan
informasi dan edukatif di tingkat pelayanan kesehatan dasar. Walaupun posyandu masih
merupakan pilihan utama untuk penimbangan anak balita (81 %), tetapi hanya 56 % anak
balita yang melakukan penimbangan
balita 4 kali atau lebih, bahkan 1 dari 5 (20,8 %) anak balita tidak pernah ditimbang dalam 6
bulan terakhir. Indikator D/S (jumlah anak yang ditimbang terhadap jumlah seluruh anak di
wilayah penimbangan tersebut) harus menjadi indikator kinerja utama untuk memantau
keberhasilan pemberdayaan keluarga dan masyarakat (Riskesdas, 2010).
Kejadian gizi buruk dan kurang tidak terjadi secara tiba-tiba dan mendadak, tetapi
melalui suatu proses yang ditandai dengan adanya kenaikan berat badan anak yang tidak
normal selama beberapa bulan belakangan dan dapat diketahui melalui penimbangan setiap
bulannya. Penimbangan bulanan balita yang dilakukan di posyandu merupakan sarana efektif
untuk memantau pertumbuhan dan melakukan deteksi secara dini jika terjadi gangguan
pertumbuhan sehingga tidak berkembang menjadi gizi buruk. Namun, kinerja pemantauan
pertumbuhan di posyandu dilaporkan belum optimal, sehingga kasus-kasus gizi buruk
ditemukan lebih banyak di luar mekanisme posyandu (Depkes, 2005).
Pada posyandu terdapat beberapa kegiatan salah satunya adalah penimbangan bulanan
balita. Penimbangan bulanan balita pada dasarnya adalah upaya pemantauan pertumbuhan
dan perkembanagan balita disertai dengan kegiatan promosi kesehatan. Seorang anak yang
mengikuti secara rutin dan teratur pemantauan pertumbuhan diharapkan dapat terlindungi
dari kemungkinan gangguan pertumbuhan yang serius seperti gizi buruk. Seorang yang
mengalami tiga kali tidak naik berat badan atau berat badan dibawah garis merah, jelas
mengalami gangguan pertumbuhan dan harus segera mendapatkan penanganan agar tidak
berkembang menjadi gizi buruk (Depkes 2005; Kusriadi, 2010).
Posyandu masih merupakan pilihan utama untuk penimbangan anak balita. Bappenas
(2011) melaporkan hanya 56,0% anak balita dari 81,0% yang melakukan penimbangan balita
4 kali atau lebih, bahkan 1 dari 5 anak balita (20,8%) tidak pernah ditimbang dalam 6 bulan
terakhir. Kusriadi (2010) dalam penelitian menjelaskan pemantauan pertumbuhan anak balita
melalui penimbangan dan pemanfaatan posyandu yang baik lebih sedikit mengalami gizi
kurang dibandingkan yang jarang melakukan penimbangan dan pemanfaatan posyandu.
Dengan demikian ibu yang teratur melakukan penimbagan terhadap anak balitanya di
21
posyandu dapat mendeteksi secara dini pertumbuhan anaknya sehingga memberikan efek
positif terhadap sikap dan prilaku ibu untuk menjaga supaya berat badan anak tetap normal.
2.6 Faktor Risiko Gizi Buruk
Supariasa (2002), menjelaskan status gizi anak disebabkan oleh berbagai faktor. Secara
umum dipengaruhi oleh dua faktor yaitu konsumsi makanan dan kesehatan. Konsumsi
makanan meliputi zat gizi dalam makanan, ada tidaknya pemberian makanan di luar keluarga,
daya beli keluarga, kebiasaan makan, persediaan makanan di rumah, kemiskinan, kurang
pendidikan, kurang ketrampilan dan krisis ekonomi.
Menurut Notoatmodjo (2005), keadaan sosial ekonomi merupakan aspek sosial budaya
yang sangat mempengaruhi status kesehatan dan juga berpengaruh pada pola penyakit dan
juga dapat berpengaruh pada kematian misalnya obesitas banyak ditemukan pada golongan
masyarakat berstatus ekonomi tinggi, malnutrisi lebih banyak ditemukan pada kelompok
masyarakat dengan ekonomi rendah.
Menurut Diah (2011) faktor yang paling berperan terhadap gizi buruk dan kurang adalah
frekuensi sakit anak, pengetahuan ibu, pendapatan perkapita dan frekuensi ke posyandu.
Hasil serupa ditunjukkan dalam penelitian Yusrizal (2008), faktor sosial ekonomi masyarakat
diantaranya pendidikan, pekerjaan, pendapatan dan jumlah anggota keluarga sangat
berpengaruh positif terhadap status gizi anak. Sanitasi yang baik merupakan salah satu
parameter tercapainya gizi balita yang baik (Pudjiadi, 2003; Istiono, 2009).
Menurut Devi (2010) faktor yang paling dominan berhubungan dengan status gizi adalah
jenis pekerjaan ayah dan jenis pekerjaan ibu. Berdasarkan data tingkat pendidikan orang tua
dan jenis pekerjaan orang tua, keluarga yang mempunyai balita gizi buruk atau kurang
memperlihatkan indikasi dari golongan keluarga yang tingkat pendapatannya rendah. Jenis
Kelamin, umur balita, jumlah anggota keluarga, tingkat pendidikan orang tua, dan jenis
pekerjaan orang tua berhubungan dengan status gizi balita di pedesaan.
Hidayat (2005), menjelaskan terdapat pengaruh yang signifikan antara kesehatan rumah
tangga dan asupan gizi terhadap status gizi balita. Peningkatan kesehatan rumah tangga akan
berdampak pada meningkatnya status gizi anak, begitu pula sebaliknya jika kesehatan rumah
tangga menurun, maka status gizi anak pun mengalami penurunan. Disamping itu pendidikan
ibu berpengaruh positif terhadap status gizi balita. Sedangkan menurut Yusrizal (2008),
menjelaskan bahwa pendidikan ibu, pekerjaan ibu, dan pengetahuan ibu memiliki hubungan
dengan status gizi balita.
UNICEF (1990) menerangkan status gizi balita dipengaruhi oleh penyebab langsung dan
tidak langsung. Penyebab langsung adalah asupan zat gizi dan penyakit infeksi. Sedangkan
22
penyebab tidak langsung terdiri dari tiga faktor besar yaitu kesediaan pangan yang tidak
cukup, pola asuhan yang tidak tepat dan sanitasi lingkungan, serta kesehatan dasar yang
kurang memadai.
2.7 Patofisiologi Gizi Buruk
Patofisiologi gizi buruk pada balita adalah anak sulit makan atau anorexia bisa terjadi
karena penyakit akibat defisiensi gizi, psikologik seperti suasana makan, pengaturan makanan
dan lingkungan. Rambut mudah rontok dikarenakan kekurangan protein, vitamin A, vitamin
C dan vitamin E. Karena keempat elemen ini merupakan nutrisi yang penting bagi rambut.
Pasien juga mengalami rabun senja. Rabun senja terjadi karena defisiensi vitamin A dan
protein. Pada retina ada sel batang dan sel kerucut. Sel batang lebih hanya bisa membedakan
cahaya terang dan gelap. Sel batang atau rodopsin ini terbentuk dari vitamin A dan suatu
protein. Jika cahaya terang mengenai sel rodopsin, maka sel tersebut akan terurai. Sel tersebut
akan mengumpul lagi pada cahaya yang gelap. Inilah yang disebut adaptasi rodopsin.
Adaptasi ini butuh waktu. Jadi, rabun senja terjadi karena kegagalan atau kemunduran
adaptasi rodopsin.
Turgor atau elastisitas kulit jelek karena sel kekurangan air (dehidrasi). Reflek patella
negatif terjadi karena kekurangan aktin myosin pada tendon patella dan degenerasi saraf
motorik akibat dari kekurangn protein, Cu dan Mg seperti gangguan neurotransmitter.
Sedangkan, hepatomegali terjadi karena kekurangan protein. Jika terjadi kekurangan protein,
maka terjadi penurunan pembentukan lipoprotein. Hal ini membuat penurunan HDL dan
LDL. Karena penurunan HDL dan LDL, maka lemak yang ada di hepar sulit ditransport ke
jaringan-jaringan, pada akhirnya penumpukan lemak di hepar.
Tanda khas pada penderita kwashiorkor adalah pitting edema. Pitting edema adalah
edema yang jika ditekan, sulit kembali seperti semula. Pitting edema disebabkan oleh
kurangnya protein, sehingga tekanan onkotik intravaskular menurun. Jika hal ini terjadi,
maka terjadi ekstravasasi plasma ke intertisial. Plasma masuk ke intertisial, tidak ke intrasel,
karena pada penderita kwashiorkor tidak ada kompensansi dari ginjal untuk reabsorpsi
natrium. Padahal natrium berfungsi menjaga keseimbangan cairan tubuh. Pada penderita
kwashiorkor, selain defisiensi protein juga defisiensi multinutrien. Ketika ditekan, maka
plasma pada intertisial lari ke daerah sekitarnya karena tidak terfiksasi oleh membran sel dan
mengembalikannya membutuhkan waktu yang lama karena posisi sel yang rapat. Edema
biasanya terjadi pada ekstremitas bawah karena pengaruh gaya gravitasi, tekanan hidrostatik
dan onkotik (Sadewa, 2008).

23
Sedangkan menurut Nelson (2007), penyebab utama marasmus adalah kurang kalori
protein yang dapat terjadi karena : diet yang tidak cukup, kebiasaan makan yang tidak tepat
seperti hubungan orang tua dengan anak terganggu, karena kelainan metabolik atau
malformasi kongenital. Keadaan ini merupakan hasil akhir dari interaksi antara kekurangan
makanan dan penyakit infeksi. Selain faktor lingkungan ada beberapa faktor lain pada diri
anak sendiri yang dibawa sejak lahir, diduga berpengaruh terhadap terjadinya marasmus.
Secara garis besar sebab-sebab marasmus adalah sebagai berikut :
a. Masukan makanan yang kurang : marasmus terjadi akibat masukan kalori yang sedikit,
pemberian makanan yang tidak sesuai dengan yang dianjurkan akibat dari ketidaktahuan
orang tua si anak, misalnya pemakaian secara luas susu kaleng yang terlalu encer.
b. Infeksi yang berat dan lama menyebabkan marasmus, terutama infeksi enteral misalnya
infantil gastroenteritis, bronkhopneumonia, pielonephiritis dan sifilis kongenital.
c. Kelainan struktur bawaan misalnya : penyakit jantung bawaan, penyakit Hirschpurng,
deformitas palatum, palatoschizis, mocrognathia, stenosis pilorus. Hiatus hernia, hidrosefalus,
cystic fibrosis pancreas
d. Prematuritas dan penyakit pada masa neonatus. Pada keadaan tersebut pemberian ASI
kurang akibat reflek mengisap yang kurang kuat
e. Pemberian ASI yang terlalu lama tanpa pemberian makanan tambahan yang cukup
f. Gangguan metabolik, misalnya renal asidosis, idiopathic hypercalcemia, galactosemia,
lactose intolerance
g. Tumor hypothalamus, kejadian ini jarang dijumpai dan baru ditegakkan bila penyebab
maramus yang lain disingkirkan
h. Penyapihan yang terlalu dini desertai dengan pemberian makanan tambahan yang kurang
akan menimbulkan marasmusi.
Urbanisasi mempengaruhi dan merupakan predisposisi untuk timbulnya marasmus,
meningkatnya arus urbanisasi diikuti pula perubahan kebiasaan penyapihan dini dan
kemudian diikuti dengan pemberian susu manis dan susu yang terlalu encer akibat dari tidak
mampu membeli susu, dan bila disertai infeksi berulang terutama gastroenteritis akan
menyebabkan anak jatuh dalam marasmus

24
2.5.1 Perjalanan Penyakit Gizi Buruk Seorang anak bisa menjadi gizi buruk bisa berada
dalam 3 tahap
Status Gizi Normal
Ibu tidak mengetahui makanan yang tepat untuk diberikan pada balita. Anak balita terpajan
dengan iklan panganan ringan yang tidak bergizi. Asupan buat anak tidak diistimewakan
sebagaimana yang dipersiapkan untuk ayah atau ibunya.

Tidak rutin datang ke Posyandu.


Pada saat seperti ini anak masih berada dalam keadaan status gizi normal, namun
berpotensi mendapatkan gangguan gizi. Pada usia < 6 bulan sebagian besar bayi (> 80%)
masih disusui ibu. Dengan menetek, anak mendapatkan gizi yg seimbang & zat kebal dari asi
anak jarang sakit pertumbuhan anak masih baik.

Status Gizi Kurang / Menurun (Fase Gangguan Gizi)


Pada saat ini balita mengalami gangguan gizi, ini terjadi karena tidak terpantaunya berat
badan anak. Pada usia 6 bln – 12 bln sebagian bayi sudah mulai disapih perlindungan zat
kebal dari asi mulai berkurang & pemberian mp-asi kurang memenuhi syarat : jenis, jumlah,
jadwal, higienis (3j-1h). Anak mudah jatuh sakit dan pertumbuhan mulai terganggu.

Status Gizi Buruk


Pada saat ini status anak makin memburuk dan sudah menampakkan gejala-gejala
penyakit. Anak sudah terlihat kurus sampai dengan sangat kurus. Pada saat ini anak rentan
terhadap hawa dingin, khususnya pada bayi bisa berakibat kematian. Anak juga mengalami
kekurangan energi (glukosa darah menurun) dan kekurangan protein. Pada beberapa kasus
yang severe tidak hanya pembentukan otot yang gagal bahkan sampai dengan pembentukan
otak bisa tidak terjadi (microcephali). Kematian bisa terjadi di tahap ini, bisa karena berbagai
sebab.
2.8 Pengertian HIV/AIDS
HIV merupakan singkatan dari Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan
retrovirus yang menjangkiti sel-sel sistem kekebalan tubuh manusia (terutama CD4 positif T-
sel dan makrofag– komponen-komponen utama sistem kekebalan sel), dan menghancurkan
atau mengganggu fungsinya. Infeksi virus ini mengakibatkan terjadinya penurunan sistem
kekebalan yang terus-menerus, yang akan mengakibatkan defisiensi kekebalan tubuh. Sistem
kekebalan dianggap defisien ketika sistem tersebut tidak dapat lagi menjalankan fungsinya
25
memerangi infeksi dan penyakit-penyakit. Orang yang kekebalan tubuhnya defisien
(Immunodeficient) menjadi lebih rentan terhadap berbagai ragam infeksi, yang sebagian
besar jarang menjangkiti orang yang tidak mengalami defisiensi kekebalan.
Penyakit-penyakit yang berkaitan dengan defisiensi kekebalan yang parah dikenal sebagai
“infeksi oportunistik” karena infeksi-infeksi tersebut memanfaatkan sistem kekebalan tubuh
yang melemah. Pada tahun-tahun pertama setelah terinfeksi tidak ada gejala atau tanda
infeksi, kebanyakan orang yang terinfeksi HIV tidak mengetahui bahwa dirinya telah
terinfeksi. Segera setelah terinfeksi, beberapa orang mengalami gejala yang mirip gejala flu
selama beberapa minggu. Penyakit ini disebut sebagai infeksi HIV primer atau akut. Selain
itu tidak ada tanda infeksi HIV. Tetapi, virus tetap ada di tubuh dan dapat menular pada orang
lain.
Menurut Depkes RI (2003), definisi HIV yaitu virus yang menyebabkan AIDS dengan
cara menyerang sel darah putih yang bernama sel CD4 sehingga dapat merusak sistem
kekebalan tubuh manusia. Gejala-gejala timbul tergantung dari infeksi oportunistik yang
menyertainya. Infeksi oportunistik terjadi oleh karena menurunnya daya tahan tubuh
(kekebalan) yang disebabkan rusaknya sistem imun tubuh akibat infeksi HIV tersebut.20
Acquired immune deficiency syndrome (AIDS) disebabkan oleh infeksi HIV dan ditandai
dengan berbagai gejala klinik, termasuk immunodefisiensi berat disertai infeksi oportunistik
dan kegananasan, dan degenerasi susunan saraf pusat. Virus HIV menginfeksi berbagai jenis
sel sistem imun termasuk sel T CD4+, makrofag dan sel dendritik. Tingkat HIV dalam tubuh
dan timbulnya berbagai infeksi tertentu merupakan indikator bahwa infeksi HIV telah
berkembang menjadi AIDS. Menurut Depkes RI (2003), AIDS adalah singkatan dari
Acquired Immune Deficiency Syndrome yang merupakan dampak atau efek dari perkembang
biakan virus HIV dalam tubuh makhluk hidup. Sindrom AIDS timbul akibat melemah atau
menghilangnya sistem kekebalan tubuh karena sel CD4 pada sel darah putih yang banyak
dirusakoleh Virus HIV. Pada tahun 1993, CDC memperluas definisi AIDS, yaitu dengan
memasukkan semua orang HIV positif dengan jumlah CD4+ di bawah 200 per μL darah atau
14% dari seluruh limfosit.
2.9 Epidemiologi HIV/AIDS
Pada tahun 2017 penderita HIV/AIDS di Indonesia adalah 10.376 orang, Jumlah ini
turun dari pada tahun sebelumnya yaitu pada tahun 2016 sebanyak 41.250 orang. HIV AIDS
paling banyak menyerang kelompok usia (25-49 tahun) yaitu 69,6%. Asia diperkirakan
memiliki laju infeksi HIV tertinggi di dunia. Menurut laporan WHO dan UNAIDS, ketiga

26
negara yang 2 memiliki laju infeksi HIV tertinggi di dunia adalah China, India, dan
Indonesia. Ketiga negara itu memiliki populasi penduduk terbesar di dunia.
Berdasarkan jenis kelamin, kasus AIDS sampai dengan tahun 2015 didominasi
kelompok laki-laki sebesar 8979 kasus (61,9%) dan wanita sebesar 5519 kasus (38,1%).
Namun proporsi perempuan cenderung mengalami peningkatan secara tajam dari tahun ke
tahun. Dan dari segi kelompok umur, penderita HIV/AIDS di dominasi oleh kelompok usia
25-29 tahun sebanyak 3279 kasus, disusul kelompok usia 30-34 tahun sebanyak 3137 kasus,
serta kelompok usia 35-39 tahun dengan 2150 kasus. Disamping itu kasus HIV sudah ada
yang manifestasi menjadi AIDS di kalangan anak-anak dengan 499 kasus usai 0-9 tahun
(Dinkes Jawa Timur, 2016).
2.10 Faktor Risiko HIV AIDS
Faktor risiko epidemiologis infeksi HIV adalah sebagai berikut :
1. Perilaku berisiko tinggi :
Hubungan seksual dengan pasangan berisiko tinggi tanpa menggunakan kondom
Pengguna narkotika intravena, terutama bila pemakaian jarum secara bersama tanpa
sterilisasi yang memadai.
Hubungan seksual yang tidak aman : multi partner, pasangan seks individu yang
diketahui terinfeksi HIV, kontaks seks per anal.
2. Mempunyai riwayat infeksi menular seksual.
3. Riwayat menerima transfusi darah berulang tanpa penapisan.
4. Riwayat perlukaan kulit, tato, tindik, atau sirkumsisi dengan alat yang tidak disterilisasi.
Virus HIV berada terutama dalam cairan tubuh manusia. Cairan yang berpotensial
mengandung virus HIV adalah darah, cairan sperma, cairan vagina dan air susu ibu.
Sedangkan cairan yang tidak berpotensi untuk menularkan virus HIV adalah cairan
keringat, air liur, air mata dan lain-lain.
2.11 Etiologi HIV
Acquired immune deficiency syndrome (AIDS) disebabkan oleh Human
Immunodeficiency Virus (HIV) . HIV adalah virus sitopatik yang diklasifikasikan dalam
famili Retroviridae, subfamili Lentivirinae, genus Lentivirus. HIV termasuk virus
Ribonucleic Acid (RNA) dengan berat molekul 9,7 kb (kilobases). Strukturnya terdiri dari
lapisan luar atau envelop yang terdiri atas glikoprotein gp120 yang melekat pada glikoprotein
gp4. Dibagian dalamnya terdapat lapisan kedua yang terdiri dari protein p17. Setelah itu
terdapat inti HIV yang dibentuk oleh protein p24. Didalam inti terdapat komponen penting
berupa dua buah rantai RNA dan enzim reverse transcriptase. Bagian envelope yang terdiri
27
atas glikoprotein, ternyata mempunyai peran yang penting pada terjadinya infeksi oleh karena
mempunyai afinitas yang tinggi terhadap reseptor spesifik CD4 dari sel Host. Molekul RNA
dikelilingi oleh kapsid berlapis dua dan suatu membran selubung yang mengandung protein.
Jenis virus RNA dalam proses replikasinya harus membuat sebuah salinan Deoxyribo
Nucleic Acid (DNA) dari RNA yang ada di dalam virus. Gen DNA tersebut yang
memungkinkan virus untuk bereplikasi. Seperti halnya virus yang lain, HIV hanya dapat
bereplikasi di dalam sel induk. Di dalam inti virus juga terdapat enzim-enzim yang digunakan
untuk membuat salinan RNA, yang diperlukan untuk replikasi HIV yakni antara lain: reverse
transcriptase, integrase, dan protease. RNA diliputi oleh kapsul berbentuk kerucut terdiri atas
sekitar 2000 kopi p24 protein virus. Dikenal dua tipe HIV yaitu HIV -1 yang ditemukan pada
tahun 198327 dan HIV-2 yang ditemukan pada tahun 1986 pada pasien AIDS di Afrika
Barat.28 Epidemi HIV secara global terutama disebabkan oleh HIV-1, sedangkan HIV-2
tidak terlalu luas penyebarannya, hanya terdapat di Afrika Barat dan beberapa negara Eropa
yang mempunyai hubungan erat dengan Afrika Barat.
HIV-1 dan HIV-2 mempunyai struktur yang hampir sama tetapi mempunyai perbedaan
struktur genom. HIV-1 punya gen vpu tapi tidak punya vpx, sedangkan HIV-2
sebaliknya.29,30 Perbedaan struktur genom ini walaupun sedikit, diperkirakan mempunyai
peranan dalam menentukan patogenitas dan perbedaan perjalanan penyakit diantara kedua
tipe HIV. Karena HIV-1 yang lebih sering ditemukan, maka penelitian – penelitian klinis dan
laboratoris lebih sering sering dilakukan terhadap HIV-1.
Jumlah limfosit T penting untuk menentukan progresifitas penyakit infeksi HIV ke AIDS.
Sel T yang terinfeksi tidak akan berfungsi lagi dan akhirnya mati. Infeksi HIV ditandai
dengan adanya penurunan drastis sel T dari darah tepi.
2.12Patofisiologi HIV AIDS
Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan etiologi dari infeksi HIV/AIDS.
Penderita AIDS adalah individu yang terinfeksi HIV dengan jumlah CD4 < 200µL meskipun
tanpa ada gejala yang terlihat atau tanpa infeksi oportunistik. HIV ditularkan melalui kontak
seksual, paparan darah yang terinfeksi atau sekret dari kulit yang terluka, dan oleh ibu yang
terinfeksi kepada janinnya atau melalui laktasi.
Molekul reseptor membran CD4 pada sel sasaran akan diikat oleh HIV dalam tahap
infeksi. HIV terutama akan menyerang limfosit CD4. Limfosit CD4 berikatan kuat dengan
gp120 HIV sehingga gp41 dapat memerantarai fusi membrane virus ke membran sel. Dua ko-
reseptor permukaan sel, CCR5 dan CXCR4 diperlukan, agar glikoprotein gp120 dan gp41

28
dapat berikatan dengan reseptor CD4. Koreseptor menyebabkan perubahan konformasi
sehingga gp41 dapat masuk ke membran sel sasaran.
Selain limfosit, monosit dan makrofag juga rentan terhadap infeksi HIV. Monosit dan
makrofag yang terinfeksi dapat berfungsi sebagai reservoir untuk HIV tetapi tidak
dihancurkan oleh virus. HIV bersifat politronik dan dapat menginfeksi beragam sel manusia,
seperti sel Natural Killer (NK), limfosit B, sel endotel, sel epitel, sel langerhans, sel dendritik,
sel mikroglia dan berbagai jaringan tubuh. Setelah virus berfusi dengan limfosit CD4, maka
berlangsung serangkaian proses kompleks kemudian terbentuk partikel-partikel virus baru
dari yang terinfeksi.
Limfosit CD4 yang terinfeksi mungkin tetap laten dalam keadaan provirus atau mungkin
mengalami siklus-siklus replikasi sehingga menghasikan banyak virus. Infeksi pada limfosit
CD4 juga dapat menimbulkan sitopatogenitas melalui beragam mekanisme termasuk
apoptosis (kematian sel terprogram) anergi (pencegahan fusi sel lebih lanjut), atau
pembentukan sinsitium (fusi sel).
2.13 Manifestasi Klinis
Sindroma HIV akut adalah istilah untuk tahap awal infeksi HIV. Gejalanya meliputi
demam, lemas, nafsu makan turun, sakit tenggorokan (nyeri saat menelan), batuk, nyeri
persendian, diare, pembengkakkan kelenjar getah bening, bercak kemerahan pada kulit
(makula / ruam).
Diagnosis AIDS dapat ditegakkan apabila menunjukkan tes HIV positif dan sekurang-
kurangnya didapatkan 2 gejala mayor dan 1 gejala minor.
Tabel 2. Gejala mayor dan minor diagonis AIDS
Gejala Mayor Gejala Minor
Berat badan turun >10% dalam 1 bulan Batuk menetap > 1 bulan
Diare kronik > 1 bulan Dermatitis generalisata
Demam berkepanjangan > 1 bulan Herpes zooster multisegmental dan berulang
Penurunan kesadaran Kandidiasi irifaringeal
Demensia / HIV ensefalopati Herpes simpleks kronis progresif
Limfadenopati generalisata
Infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita
Retinitis virus sitomegalo
Dikutip dari : Buku Informasi Dasar HIV/AIDS dari kepustakaan
Beberapa tes HIV adalah Full Blood Count (FBC), pemeriksaan fungsi hati,
pemeriksaan fungsi ginjal : Ureum dan Creatinin, analisa urin, pemeriksaan feses lengkap.
Pemeriksaan Penunjang adalah tes antibodi terhadap HIV, Viral load, CD4/CD8.

29
Gejala dan tanda klinis yang patut diduga infeksi HIV menurut WHO SEARO 2007.
1. Keadaan umum :
- Kehilangan berat badan > 10% dari berat badan dasar
- Demam (terus menerus atau intermitten, temperatur oral > 37,5oC) yang lebih dari satu
bulan,
- Diare (terus menerus atau intermitten) yang lebih dari satu bulan.
- Limfadenopati meluas
2. Kulit :
Post exposure prophylaxis (PPP) dan kulit kering yang luas merupakan dugaan kuat
infeksi HIV. Beberapa kelainan seperti kulit genital (genital warts), folikulitis dan psoriasis
sering terjadi pada orang dengan HIV/AIDS(ODHA) tapi tidak selalu terkait dengan HIV.
3. Infeksi
- Infeksi Jamur : Kandidiasis oral, dermatitis seboroik, kandidiasis vagina berulang
- Infeksi viral : Herpes zoster,
- herpes genital (berulang), moluskum kotangiosum, kondiloma.
- Gangguan pernafasan : batuk lebih dari 1 bulan, sesak nafas, tuberkulosis, pneumonia
berulang, sinusitis kronis atau berulang.
- Gejala neurologis : nyeri kepala yang makin parah (terus menerus dan tidak jelas
penyebabnya), kejang demam, menurunnya fungsi kognitif.
2.14 Stadium Klinis
Perkembangan Perkembangan HIV menurut WHO (2002), manifestasi klinis penderita
HIV/AIDS dewasa dibagi dalam 4 stadium , yaitu :55
a. Stadium I
1. Asimtomatis
2. Limfadenopati generalisata persisten
Dengan penampilan stadium klinis I : asimtomatis dan aktivitas normal
b. Stadium II
1. Penurunan berat badan < 10%
2. Manifestasi mukokutaneus minor (dermatitis seborreic, prurigo, infeksi jamur pada kuku,
ulserasi pada mulut berulang, cheilitis angularis).
3. Herpes Zoster, dalam 5 tahun terakhir
4. Infeksi saluran napas atas berulang (misalnya : sinusitis bakterial).
Dengan atau penampilan stadium klinis 2 : simtomatis, aktivitas normal.

30
c. Stadium III
1. Penurunan berat badan >10%
2. Diare kronis dengan penyebab yang tidak jelas > 1 bulan.
3. Demam tanpa penyebab yang jelas (intermittent atau menetap) > 1 bulan
4. Kandidiasis oral
5. Tuberkulosis paru dalam 1 tahun terakhir
6. Terinfeksi bakteri berat ( pneumonia, piomiositis)
Dengan atau penampilan stadium klinis 3 : berbaring di tempat tidur, <50% sehari dalam 1
bulan.
d. Stadium IV
1. HIV wasting syndrome
2. Pneumonia pneumokistik karinii
3. Infeksi toksoplasmosis di otak
4. Diare karena crytosporidiosis > 1 bulan
5. Mengalami infeksi sitomegalovirus
6. Infeksi herpes simpleks, maupun mukukutaneus > 1 bulan
7. Infeksi mikosis (histoplasmosis, coccidiodimycosis)
8. Kandidiasis esofagus, trakhea, bronkus, maupun paru
9. Infeksi mikobakteriosis atypical
10. Sepsis
11. Tuberkulosis ekstrapulmoner
12. Limfoma maligna
13. Sarkoma kaposi
AIDS, yang berarti kumpulan penyakit yang disebabkan oleh virus HIV, adalah fase akhir
dan biasanya bercirikan suatu jumlah CD4 kurang 200.
Dengan penampilan stadium klinis 4 : berada di tempat tidur , >50% setiap hari dalam bulan
– bulan terakhir
2.15 HIV AIDS pada anak
2.15.1 Proses Penularan HIV pada Anak
Lahirnya Millenium Development Goals tahun 2000 di New York merupakan komitmen
pemimpin dunia untuk mempercepat pembangungan manusia dan pemberantasan
kemiskinan. Namun di Indonesia, tujuan MDGs dikembangkan dan diklasifikasikan menjadi
delapan, antara lain: menurunkan angkan kematian anak serta memerangi HIV/AIDS
(Indriyani, Dian dan Asmuji, 2014:18). Penularan HIV ke Bayi dan Anak, bisa dari ibu ke
31
anak, penularan melalui darah, penularan melalui hubungan seksual (pelecehan seksual pada
anak). Penularan dari ibu ke anak terjadi karena wanita yang menderita HIV/AIDS sebagian
besar (85%) berusia subur (15-44 tahun), sehingga terdapat risiko penularan infeksi yang bisa
terjadi saat kehamilan (in uteri). Berdasarkan laporan CDC Amerika, prevalensi penularan
HIV dari ibu ke bayi adalah 0,01% sampai 0,7%. Bila ibu baru terinfeksi HIV dan belum ada
gejala AIDS, kemungkinan bayi terinfeksi sebanyak 20% SAMPAI 35%, sedangkan jika
sudah ada gejala pada ibu kemungkinan mencapai 50%.penularan juga terjadi selama proses
persalinan melalui transfusi fetomaternal atau kontak antara kulit atau membran mucosa bayi
dengan darah atau sekresi maternal saat melahirkan . semakin lama proses kelahiran, semakin
besar pula risiko penularan, sehingga lama persalinanbisa dicegah dengan operasi sectio
caecaria. Transmisi lain juga terjadi selama periode postpartum melalui ASI, risiko bayi
tertular melaui ASI dari ibu yang positif sekitar 10% (Nurs dan Kurniawan, 2013:161).
2.15.2 Diagnosis HIV pada Anak
Bayi tertular HIV dari ibu bisa saja tampak normal secara klinis selama periode neonatal.
Penyakit penan da AIDS tersering yang ditemukan pada anak adalah pneumonia yang
disebabkan pneumocystis cranii, gejala umum yang ditemukan pada bayi dengan infeksi HIV
adalah gangguan tumbuh kembang, kandidiasis oral, diare kronis, atau hepatosplenomegali
(pembesaran pada hepar dan lien). Karena antibodi ibu bisa dideteksi pada bayi sampai
berumur 18 bulan. Maka tes ELISA dan western blot akan postif meskipun bayi tidak
terinfeksi HIV karena tes ini berdasarkan ada atau tidaknya antibodi pada HIV. Tes paling
spesifik untuk mengidentifikasi adalah PCR untuk DNA HIV. Kultur HIV yang positif juga
mennjukkan pasien terinfeksi HIV. Untuk pemeriksaan PCR, bayi harus dilakukan
pengambilan sampel darah untuk dilakukan tes PCR pada dua waktu yang berlainan. DNA
PCR pertama diambil saat berusia 1 bulankarena tes ini kurang sensitif selama 1 bulan setelah
lahir. CDC merekomendasikan pemeriksaan DNA PCR setidaknya diulang pada saat bayi
berusia 4 bulan. Jika tes ini negatif, maka bayi tidak terinfeksi HIV sehingga tes PCR perlu
diulang setelah bayi disapih. Pada usia 18 bulan, pemeriksaan ELISA bisa dilakukan pada
bayi bila tidak tersedia sarana pemeriksaan yang lain. Anaak-anak berusia lebih dari 18 bulan
bisa didiagnosis dengan menggunakan kombinasi antara gejala klinis dan pemeriksaan
laboratorium. Anak denagn HIV sering mengalami infeksi bakteri, gagal tumbuh atau
wasting, limfadenopati menetap, keterlambatan berkembang, sariawan pada mulut dan faring.
Anak usia lebih dari 18 bulan bisa didiagnosis dengan ELISA dan tes konfirmasi lain seperti
pada dewasa. Terdapat dua klasifikasi yang bisa digunakan untuk mendiagnosis bayi dan
anak dengan HIV yaitu menurut CDC dan WHO(Nurs dan Kurniawan, 2013:163).
32
2.16 Komplikasi HIV AIDS
2.16.1 Tremor pada pasien HIV/AIDS
a. Definisi Tremor
Tremor merupakan gerakan involunter, ritmik, repetitif stereotip pada ekstremitas tubuh.
Tremor merupakan gangguan gerak yang paling sering ditemukan. Tremor biasanya mudah
dibedakan dari gangguan gerak lainnya dengan melihat kualitas ritmik dan keterlibatan
kelompok otot agonis dan antagonis secara beriringan. Tremor dihasilkan dari persarafan otot
skelet yang menyebabkan otot tersebut berkontraksi secara irreguler.
Resting tremor atau static tremor adalah tremor yang terjadi saat tungkai beristirahat.
Action tremor terdiri dari postural tremor dan intention tremor. Postural tremor akan terjadi
pada seseorang yang sedang berusaha untuk mempertahankan postur tertentu pada tubuhnya.
Tremor ini akan tetap berlangsung saat melakukan gerakan tetapi gerakan tersebut tidak akan
memperparah terjadinya postural tremor. Apabila tremor muncul saat melakukan gerakan
maka disebut intention tremor.
Tremor yang dijumpai pada HIV/AIDS umumnya merupakan resting tremor sebagai
bagian dari penyakit Parkinson atau merupakan fenomena tunggal. Tremor yang dijumpai
sering berupa tremor yang simetris dan merupakan mild bilateral postural tremor. Walapun
demikian sebuah artikel menyatakan bahwa Holmes tremor (tremor yang terjadi pada
midbrain) dapat muncul sebagai akibat dari lesi oportunistik seperti tuberkulosis atau
toxoplasmosis.
b. Patofisiologi Tremor pada Pasien HIV dengan Koinfeksi Tuberkulosis
Tremor pada pasien HIV/AIDS sering terlihat sebagai salah satu manifestasi dari HIV
Associated Dementia (HAD) baik pada stadium awal maupun stadium akhir. Pada stadium
awal dari infeksi HIV, tremor dapat terjadi meskipun tidak dideteksi adanya penurunan
fungsi susunan saraf pusat.
Virus HIV dapat menyerang susunan saraf pusat dan tidak menutup kemungkinan dapat
menyerang ganglia basalis. HIV akan memicu disfungsi ganglia basalis seperti mengganggu
proses transport dopamine dan mengganggu fungsi reseptor dopamine. Disfungsi ganglia
basalis akan menyebabkan terjadinya penurunan kontrol gerakan. Hal ini yang mendasari
terjadi nya resting tremor dan postural tremor pada pasien HIV/AIDS. Sel saraf merupakan
host cell bagi kuman tuberkulosis. Basil dari kuman tuberkulosis melibatkan neuron dan sel
soma sebagai tempat berkembang biaknya. CD4 memegang peranan penting dalam replikasi
basil tuberkulosis dalam sel saraf. Semakin rendah kadar CD4 akan meningkatkan replikasi
kuman tuberkulosis. Hal tersebut akan menimbulkan manifestasi neurologis lanjutan sebagai
33
konsekuensi langsung dari infeksi tuberkulosis. Salah satu manifestasi neurologis tersebut
adalah kejadian gangguan gerak berupa tremor.
Hipoksia kronis adalah komplikasi lain dari tuberkulosis. Pada saat tubuh mengalami
hipoksia kronis, konsumsi otak akan O2 berkurang. Hal ini mengakibatkan penurunan fungsi
otak. Efek hipoksia kronis pada serebelum adalah menurunnya jumlah sel purkinje. Fungsi
dari sel purkinje sendiri adalah pusat koordinasi gerak halus. Apabila jumlah sel purkinje
berkurang maka hal ini akan mengakibatkan menurunnya koordinasi gerak otot berupa
cerebellar tremor atau intentional tremor.
Immune Recovery Inflamatory Syndrome (IRIS) adalah suatu keadaan system imun yang
mulai membaik setelah pengobatan HAART namun merespon pada infeksi oportunistik lain
yang menyerang seperti salah satunya adalah Tuberkulosis. Dalam kepustakaan yang lain
menyatakan bahwa action tremor (termasuk di dalamnya Holmes tremor) pada pasien
HIV/AIDS dapat diperberat dengan keadaan IRIS tersebut.
c. Faktor-faktor yang berhubungan dengan tremor pada pasien HIV/AIDS dengan Koinfeksi
Tuberkulosis
Beberapa faktor yang berhubungan dengan terjadinya tremor pada pasien HIV/AIDS
dengan koinfeksi Tuberkulosis adalah usia, terapi HAART, dan terapi OAT. Semakin tua
umur seseorang semakin meningkatkan kemungkinan terjadinya tremor meskipun mekanisme
hal ini belum diketahui dengan pasti. Namun tidak menutup kemungkinan tremor dapat
terjadi pada dewasa muda dan anak-anak.
HAART diketahui dapat menurunkan angka kejadian HAD tetapi belum mampu
menurunkan angka insidensi menjadi nol. HAART juka diketahui dapat menurunkan angka
defisit motorik pada pasien HIV/AIDS. Isoniazid diketahui memiliki efeksamping neuropati
motorik dan memiliki potensi untuk menimbulkan manifestasi gangguan motorik. Sikloserin
adalah salah satu lini kedua pengobatan tuberkulosis yang diindikasikan pada pasien
tuberkulosis yang resisten terhadap OAT lainnya. Efek samping obat ini terutama mengenai
aspek neurologis dan tremor adalah salah satunya. Selain disebabkan oleh beberapa faktor di
atas, tremor fisiologis terjadi pada orang yang sehat dan dapat diakibatkan oleh banyak hal
seperti fatigue otot, ketakutan, kegembiraan yang berlebihan, atau ketidak stabilan emosi.
Tremor fisiologis juga dapat muncul dari beberapa kondisi medis lainya seperti tirotoksikosis,
phaeochromocytoma, konsumsi intake katekolamin, penggunaan methylxantine, drug
withdrawal, dan intoksikasi alkohol. Pengobatan reseptor beta agonis dapat meningkatkan
terjadinya tremor fisiologis dan pengobatan dengan beta blocker akan menurunkan terjadinya
tremor fisiologis.
34
2.16.2 Tubercolusis Paru
a. Pengertian TB paru
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium Tuberculosis atau kuman TB. Sebagian bakteri ini menyerang paru, tetapi
dapat juga menyerang organ tubuh lainnya (Depkes RI, 2011). Manusia adalah satu-satunya
tempat untuk bakteri tersebut menyerang. Bakteri ini berbentuk batang dan termasuk bakteri
aerob obligat (Todar, 2009).
Bakteri Mycobacterium tuberculosis tidak menghasilkan spora dan toksin. Bakteri ini
memiliki panjang dan tinggi antara 0,3 - 0,6 dan 1 - 4 μm, pertumbuhan bakteri ini lambat
dan bakteri ini merupakan bakteri pathogen makrofag intraselluler (Ducati dkk, 2006).
Pada saat penderita TB batuk dan bersin kuman menyebar melalui udara dalam bentuk
percikan dahak (droplet nuclei) dimana terdapat 3.000 percikan dahak dalam sekali batuk
(Depkes RI, 2007). M. tuberculosis ditularkan melalui percikan ludah. Infeksi primer dapat
terjadi di paru-paru, kulit dan usus (Hull, 2008).
b. Tanda dan Gejala TB
Gejala TB pada umumnya penderita mengalami batuk dan berdahak terus-menerus
selama 2 minggu atau lebih, yang disertai dengan gejala pernafasan lain, seperti sesak nafas,
batuk darah nyeri dada, badan lemah, nafsu makan atau pernah batuk darah, berat badan
menurun, berkeringan malam walaupun tanpa kegiatan, dan demam meriang lebih dari
sebulan (WHO, 2009).
c. Klasifikasi TB
Klasifikasi TB ditentukan dengan tujuan agar penetapan Obat Antituberkulosis (OAT)
sesuai dan sebelum pengobatan dilakukan , penderita TB diklasifikasikan menurut
Depkes RI, 2014:
a. Lokasi anatomi dari penyakit
1) Tuberkulosis paru adalah TB yang terjadi pada parenkim paru. Limfadenitis TB di
rongga dada atau efusi pleura tanpa terdapat gambaran radiologis yang mendukung TB
pada paru, dinyatakan sebagai TB ekstra paru. Pasien yang menderita TB paru dan
menderita TB ekstra paru diklasifikasikan sebagai pasien TB paru.
b. Riwayat pengobatan dari penyakit sebelumnya
1) Pasien baru TB adalah pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan TB
sebelumnya atau sudah pernah mengonsumsi Obat Antituberkulosis (OAT) namun
kurang dari 1 bulan atau kurang dari 28 dosis.

35
2) Pasien yang pernah diobati TB adalah pasien yang sebelumnya sudah pernah
mengonsumsi OAT selama 1 bulan atau lebih (≥28 dosis). Kemudian pasien
diklasifikasikan berdasarkan hasil pengobatan TB terakhir, yaitu:
a) Pasien kambuh adalah pasien TB yang pernah dinyatakan sembuh atau pengobatan
lengkap kemudian didiagnosis TB berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologis atau
klinis.
b) Pasien yang diobati kembali setelah gagal adalah pasien TB yang pernah diobati
kemudian dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir.
c) Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up) adalah pasien
yang pernah diobati dan dinyatakan lost to follow (klasifikasi ini sebelumnya dikenal
sebagai pengobatan pasien setelah putus berobat).
d) Lain-lain adalah pasien TB yang pernah diobati namun hasil pengobatan akhir
pengobatan sebelumnya tidak diketahui.
3) Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui.
c. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat
Pada klasifikasi ini pasien dikelompokkan berdasarkan hasil uji kepekaan contoh uji dari
Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT dan dapat berupa:
a) Mono resistan (TB MR) adalah resistan terhadap salah satu jenis OAT lini pertama.
b) Poli resistan (TB PR) adalah resistan terhadap lebih dari satu jenis OAT lini pertama
selain isoniazid (H) dan rifampisin (R) secara bersamaan.
c) Multi drug resistan (TB MDR) adalah resisten terhadap isoniazid (H) dan rifampisisn
(R) secara bersamaan.
d) Extensive drug resistan (TB XDR) adalah TB MDR yang juga resisten terhadap salah
satu OAT golongan fluorokuinolon dan resistan minimal salah satu dari OAT lini kedua
jenis suntikan seperti kanamisin, kapreomisin, dan amikasin.
e) Resistan Rifampisin (TB RR) adalah resistan terhadap rifampisisn dengan atau tanpa
resistan terhadap OAT jenis lain yang terdeteksi menggunakan uji genotip (tes cepat) atau
metode fenotip (konvensional).
d. Klasifikasi pasien TB berdasarkan status Human Immunodeficiency Virus (HIV)
1) Pasien TB dengan HIV positif (pasien ko-infeksi TB/HIV) adalah pasien TB dengan
hasil tes HIV positif sebelumnya atau sedang mengonsumsi Obat Antiretroviral (ART)
atau hasil tes hiv positif pada saat pasien tersebut didiagnosis TB.
2) Pasien TB dengan HIV negatif sebelumnya atau hasil tes HIV negatif pada saat pasien
tersebut didiagnosois TB dengan catatan:
36
Apabila pada pemeriksaan yang dilakukan selanjutnya ternyata hasil tes HIV menjadi
positif, pasien tersebut harus disesuaikan kembali klasifikasinya sebagai pasien TB
dengan HIV positif.
3) Pasien TB dengan status HIV tidak diketahui adalah pasien TB tanpa ada bukti
pendukung dari hasil tes HIV yang telah dilakukan saat diagnosis TB ditetapkan dengan
catatan:
Apabila pada saat pemeriksaan selanjutnya dapat diperoleh hasil tes HIV, pasien harus
disesuaikan kembali klasifikasinya berdasarkan hasil tes HIV terakhir yang dilakukan.
Berikut klasifikasi TB menurut Depkes RI, 20011 sebagai berikut:
a. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, yaitu pada TB paru.
1) Tuberkulosis paru Basil Tahan Asam (BTA) positif
a) Sekurang-kurangnya spesimen dahak Sewaktu - pagi - sewaktu (SPS) 2 dari 3 pesimen
dahak hasilnya positif.
b) Satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan menunjukkan gambaran
tuberkulosis pada foto toraks penderita.
c) Satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA dan biakan kuman TB positif.
d) Satu atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada
pemeriksaan yang dilakukan sebelumnya negatif dan tidak ada perbaikan setelah
pemberian antibiotik non OAT.
2) Tuberkulosis paru BTA negatif
b. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan penderita sebelumnya dibagi menjadi
beberapa tipe, yaitu:
1) Kasus baru
Merupakan Penderita yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan
OAT kurang dari satu bulan (empat minggu).
2) Kambuh (Relaps)
Merupakan Penderita TB yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan TB dan telah
dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dan hasilnya BTA
positif.
3) Kasus setelah putus berobat (Default)
Penderita yang telah berobat dan putus berobat dua bulan atau lebih dengan hasil BTA
positif.

37
4) Kasus setelah gagal (Failure)
Penderita yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif
pada bulan kelima atau lebih selama penderita menjalani pengobatan
5) Kasus pindahan (Transfer In)
Penderita yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain untuk melanjutkan
pengobatannya lagi.
6) Kasus lainnya
Semua kasus TB lain yang tidak termasuk ketentuan di atas. Kelompok ini termasuk
kasus kronik, yaitu penderita dengan hasil pemeriksaan masih menunjukkan BTA yang
masih positif setelah selesai pengobatan ulang kategori
d. Patofisiologi TB Paru
Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh kuman berbentuk batang,
Mycobacterium tuberculosis. Kuman ini biasanya menyerang paru-paru (TB paru), tetapi
dapat menyerang organ-organ tubuh lainnya (TB ekstra paru). Kuman tersebut masuk tubuh
melalui udara pernafasan yang masuk ke dalam paru, kemudian menyebar dari paru ke bagian
tubuh lainnya melalui sistem peredaran darah dan sistem saluran limfe, melalui saluran nafas
atau penyebaran langsung ke tubuh lainnya.
e. Diagnosis Tuberkulosis
Berikut pemeriksaan untuk mendiagnosis TB menurut Depkes 2014:
1. Pemeriksaan dahak mikroskopis
Pemeriksaan ini berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai pengobatan yang
telah dilakukan, dan menentukan potensi penularan TB. Dilakukan dengan
mengumpulkan tiga spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari berupa Sewaktu-
Pagi-Sewaktu (SPS).
a) S (Sewaktu): Dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama kali dan
pada saat pulang diberi sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi di hari kedua.
b) P (Pagi): Dikumpulkan di rumah pada hari kedua di pagi hari. Pada saat bangun tidur
segera dikumpulkan dan diserahkan sendiri ke petugas di Fasyankes.
c) S (Sewaktu): Dikumpulkan di hari kedua pada saat mengumpulkan dahak pagi.
2. Pemeriksaan penunjang
a) Tes Tuberkulin Intradermal (Mantoux): Dilakukan dengan cara penyuntikan pada
intakutan. Bila positif, menunjukkan adanya infeksi TB. Namun, uji tuberkulin dapat
negatif pada anak TB berat dengan anergi (malnutrisi, penyakit sangat berat, pemberian
imunosupresif, dan lain-lain) (Raharjoe dan Setyanto, 2008).
38
b) Reaksi cepat BCG (Bacille Calmette-Guerin): Disuntikkan ke kulit. Bila dalam
penyuntikan BCG terjadi reaksi cepat (dalam 3-7 hari) berupa kemerahan dan indurasi >
5 mm, maka orang tersebut telah terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosis (Depkes RI,
2005).
c) Pemeriksaan Radiologi: Pada pemeriksaan ini sering menunjukkan adanya TB, tetapi
hampir tidak dapat mendiagnosis karena hampir semua manifestasi klinis TB dapat
menyerupai penyakit-penyakit lainnya (Price dan Standridge, 2005).
f. Tuberkulosis pada pasien HIV/AIDS
Tuberkulosis merupakan infeksi oportunistik paling sering terjadi pada penderita
HIV/AIDS di dunia. Mycobacterium tuberculosis adalah agen menular yang dapat muncul
sebagai reaktivasi infeksi laten pada pasien imunokompromais atau sebagai infeksi primer
setelah penularan dari orang ke orang pada berbagai stadium HIV. Pada tahun 2013
diperkirakan 1,1 juta dari 9 juta pasien tuberkulosis adalah individu dengan HIV positif.
Jumlah mortalitas TB-HIV sudah menurun sejak tahun 2004. Meskipun demikian pada tahun
2013, masih terdapat 360.000 kematian pada pasien TB-HIV.
Individu dengan HIV positif memiliki resiko 21-34 kali untuk terinfeksi tuberkulosis
dibandingkan individu dengan HIV negatif. Dalam semua stadium HIV, tuberkulosis dapat
menginfeksi sebagai tuberkulosis paru atau tuberkulosis ekstra paru. Gambaran klinis dapat
berupa demam, penurunan berat badan, dan gejala konstitusional seperti batuk dan nyeri
dada.
Terapi (Anti Retro Viral) ARV direkomendasikan pada semua pasien TBHIV berapapun
jumlah CD4 nya dengan (Obat Anti Tuberkulosis) OAT tetap menjadi prioritas utama.
Apabila ARV diberikan bersama dengan OAT, pasien akan minum terlalu banyak obat.
Sehingga untuk memulai terapinya, OAT diberikan terlebih dahulu kemudian diikuti dengan
ARV dalam delapan minggu pertama.
2.16.3 Candidiasis Oris
a. Pengertian Candidiasis Oris
Candida albicans adalah sebuah jamur dimorfik yang sering terdapat pada makhluk
hidup berdarah panas termasuk manusia (Molero et al,1998). Infeksi oleh jamur Candida
albicans memiliki 4 bentuk infeksi diantaranya Pseudomembranous Candidiasis,
Hyperplastic Candidiasis, Erythematous Candidiasis dan Angular Cheilitis.
Oral Candidiasis adalah salah satu infeksi mucus oral yang sering ditemukan pada pasien
yang terinfeksi oleh jamur Candida albicans. Infeksi yang disebabkan oleh jamur ini
mengalami 50% kemungkinan untuk mengalami masa non patogenik setelah menginfeksi
39
manusia. Beberapa faktor yang memungkinkan jamur Candida albicans menjadi patogenik
diantaranya broad spectrum terapi antibiotic, corticosteroids, xerostomia, disfungsi immune,
diabetes mellitus dan defisiensi nutrisi (Shetti et al, 2011). Infeksi ini pertama kali dilaporkan
oleh Framcois valleix (1836), dan pada tahun 1839 Langerbach berhasil menemukan jamur
ini dan kemudian diberi nama jamur candida oleh Berhout pada tahun 1923.
2.17 Tatalaksana diet pada HIV AIDS
Asuhan gizi merupakan komponen penting dalam perawatan individu yang terinfeksi
HIV. Mereka akan mengalami penurunuan berat badan dan hal ini berkaitan erat dengan
kurang gizi. Penyebab kurang gizi bersifat multifaktoral antara lain karena hilangnya nafsu
makan, gangguan penyerapan sari makanan pada alat pencernaan, hilangnya cairan tubuh
akibat muntah dan diare, dan gangguan metabolisme. Akibat gangguan tersebut kesehatan
umum mereka cepat menurun. Sekitar 97% Odha menunjukkan kehilangan berat badan
sebelum meninggal. Kehilangan berat badan tidak dapat dihindarikan sebagai konsekuensi
dari infeksi HIV. Jika seseorang dengan infeksi HIV mempunyai status gizi yang baik maka
daya tahan tubuh akan lebih baik sehingga memperlambat memasuki tahap AIDS.
Asuhan gizi dan terapi gizi medis bagi Odha sangat penting bila mereka juga
mengkonsumsi obat-obat antiretroviral. Makanan yang dikonsumsi mempengaruhi
penyerapan ARV dan obat infeksi oportunistik dan sebaliknya penggunaan ARV-OI dapat
menyebabkan gangguan gizi. Beberapa jenis ARV-OI harus dikonsumsi pada saat lambung
kosong, beberapa obat lainnya tidak. Pengaturan diet dapat juga digunakan untuk mengurangi
efek samping ARV-OI.
Status gizi Odha sangat dipengaruhi oleh kebutuhan dan asupan zat gizi. Asupan zat
gizi yang tidak memenuhi kebutuhan akibat infeksi HIV akan menyebabkan kekurangan gizi
yang bersifat kronis dan pada stadium AIDS terjadi keadaan kurang gizi yang kronis dan
drastis yang mengakibatkan penurunan resistensi terhadap infeksi lainnya. Untuk mengatasi
hal tersebut penatalaksanaan gizi yang baik untuk Odha amat berguna untuk meningkatkan
kualitas hidup seseorang dengan HIV/AIDS.
1. Tujuan asuhan gizi
Tujuan asuhan gizi bagi Odha secara umum adalah mempertahankan kesehatan dan
status gizi serta meningkatkan kekebalan tubuh sehingga kualitas hidup akan lebih baik.
2. Paket asuhan gizi
Asuhan gizi bagi Odha dilakukan melalui tiga kegiatan yang merupakan paket kegiatan
yang terdiri dari:

40
1. Pemantauan status gizi
2. Intervensi gizi
3. Konseling gizi

(1) Pemantauan status gizi


o Pemantauan status gizi bertujuan untuk mengetahui kondisi Odha apakah mempunyai
status gizi normal, kurang atau buruk. Pemantuan ini dilakukan dengan cara:
a. Anamnesis diet
 Dilakukan dengan cara menanyakan pola makan dahulu dan sekarang. Riwayat makan
dahulu yang merupakan kebiasaan makan dirumah sebelum sakit, saat sakit (ada
sariawan, dan sebelum masuk rumah sakit selama menjadi odha. Riwayat makan
sekarang, yang dilakukan selama 2 atau 3 hari sebelumnya serta asupan saat dirumah
sakit untuk mengetahui pola makan dan asupan zat gizi serta mengetahui kemungkinan
potensi kekurangan zat gizi.
b. Pengukuran antropometri
 Dilakukan penukuran tinggi badan dan berat badan untuk mengetahui Indeks Massa
Tubuh (IMT) serta pengukuran lingkar lengan atas (LiLA) untuk mengetahui seberapa
jauh terjadi kekurangan zat gizi makro seperti Kurang Energi Protein. Pengukuran
antropometri pada anak kurang dari 5 tahun menggunakan Z-Score. Sedangkan pada
anak lebih dari 5 tahun menggunakan % BBI.
c. Pemeriksaan laboratorium
 Pemeriksaan laboratorium yang biasa dilakukan adalah pemeriksaan Hb, albumin dan
prealbumin, kholesterol, trigliserida, fungsi hati, dan kadar zat gizi mikro dalam darah
misalnya: zat besi, magnesium, asam folat, vit B12, vit A, dll.
 Pemeriksaan kadar hemoglobin untuk mengetahui apakah Odha menderita anemia.
 Pemeriksaan albumin dan prealbumin dianjurkan pada Odha dengan penyakit ginjal
dan hati, untuk mengetahui apakah terjadi peningkatan atau penurunan kadar albumin.
 Pemeriksaan laboratorium lain seperti kolesterol, trigliserida, enzim-enzim hati, kadar
besi, magnesium dan apabila mungkin asam folat, vitamin B12 dan vitamin A (retinol)
dilakukan untuk mengetahui profil Lipid, fungsi hati kekurangan vitamin serta mineral
dalam tubuh. Kadar serum Ferritin akan meningkat pada fase akut infeksi HIV.

41
(2) Intervensi gizi
o Intervensi gizi harus dilakukan secara komprehensif meliputi upaya promotif, preventif,
kuratif dan rehabilitatif bekerja sama dengan berbagai profesi yang terkait dengan
pelayanan Odha. Intervensi gizi dapat dilakukan di rumah sakit, dan institusi pelayanan
kesehatan lainnya serta di keluarga. Di rumah sakit, pelayanan dilakukan oleh Tim
Asuhan Gizi.
Dalam upaya intervensi gizi, upaya promotif sangat perlu dilakukan untuk
menyebarluaskan informasi tentang pentingnya mempertahankan status gizi yang optimal
agar orang yang terinfeksi HIV tidak cepat masuk dalam stadium AIDS.
Pada Odha yang mendapatkan obat ARV dan OI perlu diperhatikan efek ARV-OI
terhadap fungsi pencernaan seperti mual, muntah, diare karena keadaan ini dapat
mempengaruhi asupan gizi dan status gizi mereka.
(3) Konseling gizi
o Tujuan konseling gizi adalah agar Odha mendapatkan jaminan kebutuhan gizi yang
sesuai dengan kondisi kesehatan dan kemampuan/daya beli keluarga, pendamping
Odha dan masyarakat.
Konseling gizi diberikan kepada Odha, keluarga, pendamping Odha dan masyarakat
lingkungannya serta petugas kesehatan agar Odha mendapatkan asupan gizi yang cukup,
aman, terjangkau.
Konseling mencakup penyuluhan tentang HIV/AIDS dan pengaruh infeksi HIV pada
status gizi. Konseling juga meliputi tatalaksana gizi, terapi gizi medis serta penyusunan diet,
termasuk pemilihan bahan makanan setempat, cara memasak dan cara penyajian, keamanan
makanan dan minuman, serta aspek psikologis dan efek samping dari ARV-OI yang
mempengaruhi nafsu makan.
3. Terapi gizi medis
Terapi gizi medis merupakan terapi dasar selain terapi dengan obat-obatan. Terapi gizi
medis perlu dilakukan segera setelah status HIV diketahui.
Pada prinsipnya terapi diet harus mengandung kalori yang memadai, protein yang
sesuai dan berkualitas tinggi, bahan makanan yang mempunyai efek antioksidan yang tinggi
serta mengandung vitamin dan mineral yang cukup.
Tujuan terapi gizi medis pada orang dengan HIV/AIDS:
1. Meningkatkan status gizi dan daya tahan tubuh
2. Mencapai dan mempertahankan berat badan normal
3. Memberi asupan zat gizi makro dan mikro sesuai dengan kebutuhan
42
4. Meningkatkan kualitas hidup
5. Menjaga interaksi obat dan makanan agar penyerapan obat lebih optimal
4. Prinsip gizi medis pada Odha
Tinggi kalori tinggi protein (TKTP) diberikan bertahap secara oral (melalui mulut).
Kaya vitamin dan mineral, dan cukup air.
5. Syarat diet
Syarat diet pada orang dengan HIV:
1. Kebutuhan zat gizi dihitung sesuai dengan kebutuhan individu
2. Mengkonsumsi protein yang berkualitas dari sumber hewani dan nabati seperti
daging, telur, ayam, ikan, kacang-kacangan dan produk olahannya
3. Banyak makanan sayuran dan buah-buahan secara teratur, terutama sayuran dan buah-
buahan berwarna yang kaya vitamin A (beta-karoten), zat besi
4. Minum susu setiap hari
5. Menghindari makanan yang diawetkan dan makanan yang beragi (tape, brem)
6. Makanan bersih bebas dari pestisida dan zat-zat kimia
7. Bila Odha mendapatkan obat antiretroviral, pemberian makanan disesuaikan dengan
jadwal minum obat di mana ada obat yang diberikan saat lambung kosong, pada saat
lambung harus penuh, atau diberikan bersama-sama dengan makanan
8. Menghindari makanan yang merangsang alat penciuman (untuk mencegah mual)
9. Menghindari rokok, kafein dan alkhol
Syarat diet pada pasien AIDS:
1. Kebutuhan zat gizi ditambah 10-25% dari kebutuhan minimum dianjurkan
2. Diberikan dalam porsi kecil tetapi sering
3. Disesuaikan dengan syarat diet dengan penyakit infeksi yang menyertainya
4. Mengkonsumsi protein yang berkualitas tinggi dan mudah dicerna
5. Sayuran dan buah-buahan dalam bentuk jus
6. Minum susu setiap hari, susu yang rendah lemak dan sudah dipasteurisasi; jika tidak
dapat menerima susu sapi, dapat diganti dengan susu kedelai
7. Menghindari makanan yang diawetkan dan makanan yang beragi (tape, brem)
8. Makanan bersih bebas dari pestisida dan zat-zat kimia
9. Bila Odha mendapatkan obat antiretroviral, pemberian makanan disesuaikan dengan
jadwal minum obat di mana ada obat yang diberikan saat lambung kosong, pada saat
lambung harus penuh, atau diberikan bersama-sama dengan makanan
10. Menghindari makanan yang merangsang alat penciuman (untuk mencegah mual)
43
11. Rendah serat, makanan lunak/cair, jika ada gangguan saluran pencernaan
12. Rendah laktosa dan rendah lemak jika ada diare
13. Menghindari rokok, kafein dan alkohol
14. Sesuaikan syarat diet dengan infeksi penyakit yang menyertai (TB, diare, sarkoma,
oral kandidiasis)
15. Jika oral tidak bisa, berikan dalam bentuk enteral dan parenteral secara aman (Naso
Gastric Tube = NGT) atau intravena (IV)
6. Gejala klinis dan keterkaitannya dengan gangguan gizi
 Anoreksi dan disfagia
Pada umumnya pasien AIDS mengalami penurunan nafsu makan. Hal ini dapat
disebabkan oleh pengaruh obat-obatan ARV yang diminum. Di samping itu pasien AIDS
sering mengalami kesulitan menelan karena infeksi jamur pada mulut. Keadaan tersebut
memerlukan terapi diet khusus dengan memperhatikan kebutuhan asupan gizi pasien dan cara
pemberiannya.
 Diare
Adanya diare pada HIV/AIDS akan menyebabkan hilangnya zat gizi dalam tubuh
seperti vitamin dan mineral, sehingga harus diberikan asupan gizi yang tepat, terutama yang
mengandung larutan zat gizi mikro, untuk mengganti cairan tubuh yang hilang. Dianjurkan
untuk mengkonsumsi buah-buahan yang rendah serat dan tinggi kalium dan magnesium
seperti jus pisang, jus alpukat.
 Sesak nafas
Dianjurkan makanan tinggi lemak dan rendah karbohidrat untuk mengurangi CO2,
dengan porsi kecil tetapi sering. Bila asupan makan dalam sehari tidak mencukupi kebutuhan
kalori sehingga dapa menyebabkan pasien menjadi lemah, perlu diberikan makanan
tambahan dalam bentuk formula (makanan suplemen). Pemberian makanan dapat dilakukan
pada pasien dalam posisi setengah tidur agar aliran O2 ke paru lebih optimal.
Gangguan penyerapan lemak (malabsorbsi lemak)
Pasien dengan gangguan penyerapan lemak diberikan diet rendah lemak. Dianjurkan
menggunakan sumber lemak/minyak nabati yang mengandung asam lemak tak jenuh, seperti
minyak kedelai, minyak jagung, minyak sawit. Perlu tambahan vitamin yang larut dalam
lemak (A, D, E dan K).

44
 Demam
Pada pasien yang demam akan terjadi peningkatan pemakaian kalori dan kehilangan
cairan. Untuk itu diberikan makanan lunak dalam porsi kecil tapi sering dengan jumlah lebih
dari biasanya dan dianjurkan minum lebih dari 2 liter atau 8 gelas/hari.
 Penurunan berat badan
Pasien yang berat badannya menurun secara drastis harus dicari penyebabnya. Pastikan
apakah ada infeksi oportunistik yang tidak terdiagnosis. Bila pasien tidak dapat makan secara
oral maka diberikan secara enteral. Makanan yang dianjurkan adalah tinggi kalori tinggi
protein secara bertahap dengan porsi kecil tapi sering serta padat kalori dan rendah serat.
7. Kebutuhan zat gizi makro
Umunya Odha mengkonsumsi zat gizi di bawah optimal. Biasanya mereka hanya
mengkonsumsi 70% kalori dan 65% protein dari total yang diperlukan oleh tubuh. Konsumsi
zat gizi yang demikian tidak memenuhi kecukupan kalori yang meningkat karena
peningkatan proses metabolisme sehubungan dengan infeksi akut.
Kebutuhan kalori Odha sekitar 2000-3000 Kkcal/hari dan protein 1,5-2
gram/kgBB/hari. Untuk mencukupi kebutuhan kalori dan protein sehari diberikan dengan
memberikan makanan lengkap 3 kali ditambah makanan selingan 3 kali sehari.
Kebutuhan kalori yang berasal dari lemak dianjurkan sebesar 10-15% dari total kalori
sehari, khusus pada Odha dianjurkan mengkonsumsi lemak yang berasal dari MCT agar
penyerapan lebih baik dan mencegah diare. Kebutuhan zat gizi makro tersebut di atas harus
dipenuhi untuk mencegah penurunan berat badan yang drastis.
8. Suplementasi zat gizi mikro
Prinsip pemberian terapi gizi adalah pemberian zat gizi untuk pembentukan sel-sel
dalam tubuh. Namun di pihak lain HIV bersifat merusak sel-sel tersebut sehingga terjadi
suatu persaingan dalam tubuh Odha. Apabila pada saat terjadi penrusakan sel-sel dalam tubuh
terdapat pula kekurangan zat gizi maka fase AIDS akan terjadi lebih cepat.
Selain penurunan berat badan, Odha sangat rentan terhadap kekurangan zat gizi mikro,
oleh karena itu perlu suplemen multizat gizi mikro terutama yang mengandung vitamin B12,
B6, A, E, dan mineral Zn, Se dan Cu. Pemberian Fe dianjurkan pada Odha dengan anemia.
Pada Odha yang mengalami infeksi oportunistik, pemberian Fe dilakukan 2 minggu setelah
pengobatan infeksi. Mereka dianjurkan untuk mengkonsumsi 1 tablet multivitamin dan
mineral setiap hari. Pemberian suplemen vitamin dan mineral dalam jumlah besar
(megadosis)agar berkonsultasi ke dokter karena pemberian yang berlebihan justru akan
menurunkan imunitas tubuh.
45
Kebutuhan air perlu diperhatikan dan mereka dianjurkan untuk mengkonsumsi paling
sedikit 8 gelas cairan sehari untuk memperlancar metabolisme terutama pada penderita yang
demam. Dianjurkan untuk tidak mengkonsumsi minuman atau makanan yang mengandung
kafein dan alkohol serta zat lainnya yang dapat meningkatkan pengeluaran air kencing. Diare
kronis, mual dan muntah, keringat malam dan demam berkepanjangan memerlukan
penambahan cairan sehingga minum perlu diperbanyak untuk menganti kehilangan cairan
tersebut.
9. Keamanan makanan dan minuman
Untuk mengurangi kontaminasi bahan makanan dan minuman yang dapat menimbulkan
risiko keracunan atau tertular beberapa infeksi, maka perlu diperhatikan hal-hal sbb:
 Untuk makanan dan minuman kaleng sebelum dibuka periksa kemasan/kaleng untuk
mengetahui kerusakan makanan (ciri fisik, aroma, tekstur, warna), periksa tanggal
kadaluwarsa dan buang makanan yang sudah kadaluwarsa
 Hindari mengkonsumsi daging, ikan dan telur mentah, daging ayam termasuk unggas
lainnya yang dimasak setengah matang atau yang tidak dimasak dengan benar
 Hindari mengkonsumsi sayur-sayuran mentah/lalapan
 Mencuci sayur dan buah dengan air bersih dan mengalir untuk menghilangkan pestisida
dan bakteri
 Hindari susu dan produk susu yang tidak dipasteurisasi
 Sebaiknya memanaskan makanan sebelum dimakan
 Hindari makanan yang sudah berjamur atau basi
 Sebaiknya memisahkan makanan yang belum dimasak dengan makanan yang sudah
dimasak
 Selalu cuci tangan sebelum dan setelah menangani makanan
 Selalu minum air masak atau air mineral dalam kemasan/botol
 Memakai air panas dan sabun untuk membersihkan semua alat dapur
 Jajan sedapat mungkin dihindari, lebih baik makan makanan yang disiapkan sendiri
karena kemanan makanan tersebut lebih terjamin
11. Asuhan gizi pada bayi dari ibu dengan HIV
Pada prinsipnya ibu dengan HIV dianjurakn untuk tidak menyusui bayinya, untuk
mencegah penularan HIV kepada bayinya melalui ASI. Oleh karena itu bayi diberikan
Pengganti Air Susu Ibu sesuai dengan anjuran dokter.

46
Namun dalam keadaan tertentu di mana pemberian PASI tidak memungkinkan dan bayi
akan jatuh ke dalam keadaan kurang gizi, ASI masih dapat diberikan dengan cara diperas dan
dihangatkan terlebih dahulu pada suhu di atas 66°C untuk membunuh virus HIV.
Rekomendasi terkait menyusui untuk ibu dengan HIV adalah sebagai berikut:
1. Menyusui bayinya secara eksklusif selama 4-6 bulan untuk semua ibu yang tidak
terinfeksi atau ibu yang tidak diketahui status HIV-nya.
2. Ibu dengan HIV-positif dianjurakn untuk tidak memberikan ASI dan sebaiknya
memberikan susu formula (PASI) atau susu sapi atau kambing yang diencerkan.
3. Bila PASI tidak memungkinkan disarankan pemberian ASI eksklusif selama 4-6 bulan
kemudian segera dihentikan untuk diganti dengan PASI.
12. Bahan makanan Indonesia yang dianjurkan dikonsumsi Odha
Berbagai bahan makanan yang banyak didpatakan di Indonesia seperti tempe, kelapa,
wortel, kembang kol, sayuran dan kacang-kacangan, dapat diberikan dalam penatalaksanaan
gizi pada Odha.
1. Tempe atau produknya mengandung protein dan Vitamin B12 untuk mencukupi
kebutuhan Odha dan mengandung bakterisida yang dapat mengobati dan mencegah diare.
2. Kelapa dan produknya dapat memenuhi kebutuhan lemak sekaligus sebagai sumber energi
karena mengandung MCT (medium chain trigliseride) yang mudah diserap dan tidak
menyebabkan diare. MCT merupakan enersi yang dapat digunakan untuk pembentukan
sel.
3. Wortel mengadung beta-karoten yang tinggi sehingga dapat meningkatkan daya tahan
tubuh juga sebagai bahan pembentuk CD4. Vitamin E bersama dengan vitamin C dan
beta-karoten berfungsi sebagai antiradikal bebas. Seperti diketahui akibat perusakan oleh
HIV pada sel-sel maka tubuh menghasilkan radikal bebas
4. Kembang kol, tinggi kandungan Zn, Fe, Mn, Se untuk mengatasi dan mencegah defisiensi
zat gizi mikro dan untuk pembentukan CD4
5. Sayuran hijau dan kacang-kacangan, mengandung vitamin neurotropik B1, B6, B12 dan
zat gizi mikro yang berguna untuk pembentukan CD4 dan pencegahan anemia
6. Buah alpukat mengandung lemak yang tinggi, dapat dikonsumsi sebagai makanan
tambahan. Lemak tersebut dalam bentuk MUFA (mono unsaturated fatty acid) 63%
berfungsi sebagai antioksidan dan dapat menurunkan LDL. Di samping itu juga
mengandung glutathion tinggi untuk menghambat replikasi HIV.

47
2.18 Tatalaksana diet pada penyakit Gizi Buruk
Penatalaksanaan Gizi pada Kekurangan Energi Protein (KEP)
No Tindakan Pelayanan Fase stabilisasi Fase Fase Fase tindak
transisi rehabilitasi lanjut
H 1-2 H 3-7 Minggu ke Minggu ke 7-
2-6 26
1 Mencegah dan mengatasi
hipoglikemia
2 Mencegah dan mengatasi
hipotermia
3 Mencegah dan mengatasi
dehidrasi
4 Memperbaiki gangguan
keseimbangan elektrolit
5 Mengobati infeksi
6 Memperbaiki kekurangan zat Tanpa Fe Dengan Fe
gizi mikro
7 Memberikan makanan untuk
stabilisasi dan transisi
8 Memberikan makanan untuk
tumbuh kejar
9 Memberikan stimulasi untuk
tumbuh kembang
10 Mempersiapkan untuk tindak
lanjut di rumah

Tata laksana diet pada balita KEP berat/ gizi buruk ditujukan untuk memberikan
makanan tinggi energi, tinggi protein serta cukup vitamin dan mineral secara bertahap, guna
mencapai status gizi optimal. Ada 4 kegiatan penting dalam tata laksana diet, yaitu pemberian
diet, pemantauan dan evaluasi, penyuluhan gizi, serta tindak lanjut.

1. Pemberian Diet
Pemberian diet pada KEP harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Melalui 3 periode yaitu periode stabilisasi, periode transisi, dan periode rehabilitasi
b. Kebutuhan energi mulai dari 80 sampai 200 kalori per kg BB/hari.
c. Kebutuhan protein mulai dari 1 sampai 6 gram per kg BB/hari.
d. Pemberian suplementasi vitamin dan mineral bila ada defisiensi atau pemberianbahan
makanan sumber mineral tertentu, sebagai berikut :Bahan makanan sumber mineral
khusus :Sumber Zn : daging sapi, hati, makanan laut, kacang tanah, telur ayam
Sumber Cuprum : tiram, daging, hati
Sumber Mangan : beras, kacang tanah, kedelai
Sumber Magnesium : daun seledri, bubuk coklat, kacang-kacangan, bayam,

48
Sumber Kalium : jus tomat, pisang, kacang-kacangan, kentang, apel, alpukat, bayam,
daging tanpa lemak.
e. Jumlah cairan 130-200 ml per kg BB/hari, bila terdapat edema dikurangi.
f. Cara pemberian : per oral atau lewat pipa nasogastrik (NGT).
g. Porsi makanan kecil dan frekuensi makan sering.
h. Makanan fase stabilisasi hipoosmolar/isoosmolar dan rendah laktosa dan rendah serat.
i. Meneruskan pemberian ASI.
j. Membedakan jenis makanan berdasarkan berat badan, yaitu: BB<7 kg diberikan kembali
makanan bayi dan BB >7 kg dapat langsung diberikan makanan anak secara bertahap.
k. Mempertimbangkan hasil anamnesis riwayat gizi.
2. Evaluasi dan Pemantauan Pemberian Diet
a. BB sekali seminggu: Bila tidak naik, kaji penyebab antara lain: masukkan zat gizi tidak
adekuat, defisiensi zat tertentu, misalnya iodium, adanya infeksi, adanya masalah
psikologis. b. Pemeriksaan laboratorium: Hb, Gula darah, feses (adanya cacing), dan urin
c. Masukan zat gizi: bila kurang, modifikasi diet sesuai selera
d. Kejadian diare: gunakan formula rendah atau bebas laktosa dan hiperosmolar, misal:
susu rendah laktosa, tempe, dan tepung-tepungan
e. Kejadian hipoglikemi: beri minum air guila atau makan setiap 2 jam
3. Penyuluhan Gizi di Rumah Sakit
a. Menggunakan leaflet khusus yang berisi: jumlah, jenis, dan frekuensi pemberian
makanan b. Selalu memberikan contoh menu
c. Mempromposikan ASI
d. Memperhatikan riwayat gizi
e. Mempertimbangkan sosial-ekonomi keluarga
f. Memberikan demonstrasi atau praktek memasak makanan balita untuik ibu
4. Tindak lanjut
a. Merujuk ke puskesmas
b. Merencanakan dan mengikuti kunjungan rumah
c. Merencanakan pemberdayaan keluarga
Pada proses pengobatan KEP berat terdapat 3 fase, adalah fase stabilisasi, fase transisi
dan fase rehabilitasi. Petugas kesehatan harus trampil memilih langkah mana yang cocok
untuk setiap fase. Tatalaksana ini digunakan baik pada penderita kwashiorkor, marasmus
maupun marasmik-kwarshiorkor.

49
1. Tahap Penyesuaian
Tujuannya adalah menyesuaikan kemampuan pasien menerima makanan hingga ia
mampu menerima diet tinggi energi dan tingi protein (TETP). Tahap penyesuaian ini dapat
berlangsung singkat, adalah selama 1-2 minggu atau lebih lama, bergantung pada
kemampuan pasien untuk menerima dan mencerna makanan. Jika berat badan pasien kurang
dari 7 kg, makanan yang diberikan berupa makanan bayi. Makanan utama adalah formula
yang dimodifikasi. Contoh: susu rendah laktosa +2,5-5% glukosa +2% tepung. Secara
berangsur ditambahkan makanan lumat dan makanan lembek. Bila ada, berikan ASI. Jika
berat badan pasien 7 kg atau lebih, makanan diberikan seperti makanan untuk anak di atas 1
tahun. Pemberian makanan dimulai dengan makanan cair, kemudian makanan lunak dan
makanan biasa, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Pemberian energi dimulai dengan 50 kkal/kg berat badan sehari.
b. Jumlah cairan 200 ml/kg berat badan sehari.
c. Sumber protein utama adalah susu yang diberikan secara bertahap dengan keenceran 1/3,
2/3, dan 3/3, masing-masing tahap selama 2-3 hari. Untuk meningkatkan energi ditambahkan
5% glukosa
d. Makanan diberikan dalam porsi kecil dan sering, adalah 8-10 kali sehari tiap 2-3 jam. Bila
konsumsi per-oral tidak mencukupi, perlu diberi tambahan makanan lewat pipa (per-sonde).
2. Tahap Penyembuhan
Bila nafsu makan dan toleransi terhadap makanan bertambah baik, secara berangsur, tiap 1-2
hari, pemberian makanan ditingkatkan hingga konsumsi mencapai 150-200 kkal/kg berat
badan sehari dan 2-5 gram protein/kg berat badan sehari.
3. Tahap Lanjutan
Sebelum pasien dipulangkan, hendaknya ia sudah dibiasakan memperoleh makanan biasa
yang bukan merupakan diet TETP. Kepada orang tua hendaknya diberikan penyuluhan
kesehatan dan gizi, khususnya tentang mengatur makanan, memilih bahan makanan, dan
mengolahnya sesuai dengan kemampuan daya belinya. Suplementasi zat gizi yang mungkin
diperlukan adalah :
a. Glukosa biasanya secara intravena diberikan bila terdapat tanda-tanda hipoglikemia.
b. KCl, sesuai dengan kebutuhan, diberikan bila ada hipokalemia.
c. Mg, berupa MgSO4 50%, diberikan secara intra muskuler bila terdapat hipomagnesimia.
d. Vitamin A diberikan sebagai pencegahan sebanyak 200.000 SI peroral atau 100.000 SI
secara intra muskuler. Bila terdapat xeroftalmia, vitamin A diberikan dengan dosis total
50.000 SI/kg berat badan dan dosis maksimal 400.000 SI.
50
e. Vitamin B dan vitamin C dapat diberikan secara suntikan per-oral. Zat besi (Fe) dan asam
folat diberikan bila terdapat anemia yang biasanya menyertai KKP berat

51
BAB 3. METODOLOGI

3.1 Waktu
Studi kasus telah dilaksanakan pada tanggal 18 Februari 2018 dengan kegiatan sebagai
berikut :
1. Tanggal 18 Februari 2018 : melakukan screening, pengambilan data pasien, perhitungan
kebutuhan pasien serta rencana pemberian atau rencana intervensi
2. Tanggal 19 Februari 2018 : mengumpulkan data-data pendukung dan perhitungan
kebutuhan
3. Tanggal 20-22 Februari 2018 : pengumpulan dan perkembangan status pasien (fisik dan
klinis), evaluasi makanan sehari, recall 24 jam dan melakukan edukasi dan konsultasi.

3.2 Tempat
Studi kasus telah dilaksanakan di ruang Nusa Indah II Anak 4A RSUD Mardi Waluyo
Blitar.

3.3 Metode Pengambilan Data


3.3.1 Wawancara
Metode wawancara dilakukan pada keluarga pasien yaitu mengenai data assessment dan
recall 24 jam.
3.3.2 Metode dokumentasi
Metode dokumentasi dilakukan dengan cara mencatat tentang data fisik, klinis, dan
laboratorium dari buku rekam medik pasien.
3.3.3 Pengukuran data obyektif
Metode pengukuran dilakukan dengan cara mengukur langsung untuk mengetahui data
antropometri dan asupan makan.

3.4 Bahan Penelitian


Bahan makanan yang digunakan untuk asuhan gizi kepada pasien merupakan bahan
makanan yang dianjurkan bukan bahan makanan yang dilarang dan menimbulkan alergi.
Bahan makanan yang dibutuhkan disesuaikan dengan bahan makanan yang ada di rumah
sakit serta harus sesuai dengan kondisi pasien.

52
3.5 Instrumen Penelitian
1. Timbangan makanan dengan kapasitas 5 kg dengan ketelitian 0,1 gram
2. Metline kapasitas 150 cm, dengan ketelitian 0,1 cm untuk mengukur tinggi badan pasien.
3. Timbangan berat badan dengan kapasitas 150 kg dengan ketelitian 0,1 kg
4. Daftar komposisi bahan makanan, Nutrisurvey.

53
BAB 4. HASIL PENGAMATAN

4.1 Identitas Pasien


Nama Pasien : An. D
Tanggal lahir : 11 Desember 2014
Umur : 4 tahun 1 bulan
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Sumberasri
Agama : Islam
Suku/Bangsa : Jawa/Indonesia
Diagnosa : Gizi Buruk, B24, TB Paru, Candidiasis Oris
Ruang/kamar : Nusa Indah / 4B
Tanggal masuk RS : 18 februari 2018
4.2 Hasil Skrining
Skrining gizi lanjutan dengan menggunakan form skrining gizi pasien anak. Skrining gizi
dilaksanakan pada tanggal 18 februari 2018. Hasil skor skrining gizi adalah “5” yang berarti
pasien termasuk kategori resiko dan perlu dilakukan intervensi. Yaitu pasien tampak kurus,
terjadi penurunan berat badan selama 1 bulan terakhir, mual muntah dan tidak nafsu makan
selama 15 hari terakhir, asupan makan sangat sedikit sekali selama 1 minggu terakhir.
4.3 Data Antropometri
BBA : 8,8 kg
TB : 91 cm
BBI : 12,6 kg
BB/TB: -3,36 (Sangat Kurus)
BB/U : -3,19 (Gizi Buruk)
TB/U : -1,42 (Normal)
Kesimpulan : status gizi pasien menurut antropometri memiliki status gizi BB/TB Buruk
4.4 Biokimia
Tabel 4.1 Nilai pemeriksaan laboratorium (17 Februari 2018)
Hasil labratorium Nilai normal Keterangan
Hb : 9,9 g/dl 13-18 g/dl Rendah
Hct : 62 mm/jam 0-20 mm/jam Tinggi
SGOT : 51 0-37 Tinggi
SGPT : 22 0-31 Normal

54
4.5 Data Klinik/Fisik
Tabel 4.2 Data Fisik Klinis (17 Februari 2018)
Hasil Pemeriksaan Nilai normal Keterangan
Nadi : 140 x menit 67-80x/menit Tingggi
RR : 64x /menit 12-20x/menit Tinggi
Suhu : 37oC 36,1-37,2 C Normal
Kesadaran umum: sedang (composmentis)
GCS E : 4 V :5 M : 6
Keluhan utama : lemas
Mulut sariawan, tidak mau makan, setiap melihat makanan mau muntah, panas nak turun,
batuk jika malam hari, iga gambang, rambut merah, dermatosis hampir diseluruh tubuh
(bercak putih), kulit kasar, terjadi atropi otot ( sangat terlihat bentuk tulang), lapisan lemak
bawah kulit sedikit (kulit terlihat tipis), turgor kulit masih normal, terlihat kurus.

Tabel 4.3 Data Fisik Klinis (18 Februari 2018)


Hasil Pemeriksaan Nilai normal Keterangan
Nadi : 140 x menit 67-80x/menit Tingggi
RR : 64x /menit 12-20x/menit Tinggi
Suhu : 37,5 oC 36,1-37,2 C Normal
Kesadaran umum: sedang (composmentis)
GCS E : 4 V :5 M : 6
Keluhan utama : lemas
Mulut sariawan, tidak mau makan, setiap melihat makanan mau muntah, panas nak turun,
batuk jika malam hari, iga gambang, rambut merah, dermatosis hampir diseluruh tubuh
(bercak putih), kulit kasar, terjadi atropi otot ( sangat terlihat bentuk tulang), lapisan lemak
bawah kulit sedikit (kulit terlihat tipis), turgor kulit masih normal, terlihat kurus.

4.6 Data Riwayat Gizi


4.6.1 Kebiasaan Makan Pasien di Rumah
Pasien selalu minum susu setiap 2 jam. Pasien makan jenang 1 sendok, telur 2-3 kali
sehari, tempe 2-3 kali sehari, tahu 2-3 kali sehari, sayur mau, makan enak, makan sedikit
demi sedikit tetapi sering.
4.6.2 Kebiasaan Makan di Rumah Sakit
a. nafsu makan pasien pada waktu pertama kali masuk rumah sakit masih buruk karena
adanya candidiasis oris, pasien mendapat diet cair
b. setelah candidiasis oris sembuh, asupan makan membaik tetapi tidak mau mengonsumsi
makanan cair dari RS hanya mau mengonsumsi susu yang biasa di konsumsi
c. Hasil recall 24 jam ( Tanggal 16 Februari 2018)
Dari hasil recall diketahui bahwa asupan mengandung energi 604,6 kkal, protein 52 gram,
lemak 28,3 gram, dan karbohidrat 42,1 gram. Makanan yang dimakan bubur nasi, telur ayam,
tahu, tempe, dan sayur bayam.
55
4.6.3 Konsumsi Obat
Pasien mengonsumsi obat contrim sirup 3 x 1, OAT anak A 1x1, B. Comp 1x1,
enystrim 4x1 cc. Inj antrain 3x 125 mg, cefotram 3x300, mikasin 2x60, ranitidin 2x1/4 amp,
cotrimoxaxol 3x15, vitamin A 200.000 IU 1x, zinc 1x, liprolac 1x1, mineral mix, fluxosan
1x40 (14 hari).
4.7 Data Personal
Pasien merupakan anak yang aktif dan selalu bermain dengan teman-temannya. Ayahnya
meninggal 1 tahun lalu dengan penyakit yang sama. Dan ibunya meninggal 1 bulan sebelum
ia di rawat di rumah sakit. Semenjak ibunya meninggal, menjadi anak yang murung. Pasien
tinggal bersama dengan ibunya, setelah ibunya meninggal, tinggal bersama nenek dan
saudara dari ibunya.
4.8 Identifikasi Masalah
a. Status gizi pasien menurut perhitungan BB/TB adalah gizi buruk
b. Kadar hemoglobin rendah
c. Pola makan pasien tidak teratur
4.9 Diagnosa Gizi
4.9.1 Domain Intake
a. NI-5.2 Malnutrisi protein energi yang nyata disebabkan penyebab fisiologis yaitu
peningkatan kebutuhan zat gizi karena katabolisme yang berlebihan akibat sakit ditandai
dengan Z-score BB/PB -3,3 (sangat kurus)
b. NI-5.1 Peningkatan kebutuhan zat gizi tertentu (Fe) disebabkan karena anemia ditandai
dengan kadar hemoglobin rendah
c. NI-2.1 Kekurangan intake makanan dan minuman oral disebabkan faktor fisiologis
penyakit yaitu sariawan dan berkurangnya nafsu makan ditandai dengan recall intake kurang
dari kebutuhan
4.9.2 Domain Behaviour
a. NB-1.2 Kepercayaan yang salah mengenai makanan berkaitan dengan kurangnya
pengetahuan atau informasi tentang makanan yang ditandai dengan data riwayat makan.
Frekuensi makan tidak teratur, dengan porsi sedikit.
4.10 Intervensi Gizi
4.10.1 Jenis Diet, Bentuk Makanan dan Jadwal Pemberian
Pemberian diet diubah secara bertahap. Saat hari ke tiga dirumah sakit pasien
diberikan diet cair F100 50 ml. Makanan cair ini diberikan secara oral. Jadwal pemberian
makan 12x sehari. Karena intake tidak memenuhi dan anak masih mengonsumsi makanan
56
dari luar dan bisa makan secara oral. Diet yang diberikan tetap F100 50 ml 12 kali sehari, dan
ditambah bubur sumsum. Bubur sumsum yang diberikan tidak dimakan, lebih menyukai dan
bisa masak nasi kemudian diet diubah menjadi diet F100 dengan ditambah nasi 3x.
Selanjutnya karena anak sudah bisa makan lewat oral lebih banyak, candidiasis oris sudah
sembuh sehingga diberikan makanan biasa. Jadwal pemberian makan 3 kali makan utama dan
3 kali selingan. Selingan yang diberikan adalah F100 100 ml.

4.10.2 Tujuan Diet


Memberikan kesempatan tubuh untuk berdaptasi terhadap pemberian energi dan
protein yang semakin meningkat guna mempersiapkan anak ke fase rehabilitasi.
4.10.3 Prinsip Diet
a. Mencegah dan mengatasi hipoglikemia
b. Mencegah dan mengatasi hipotermia
c. Mencegah dan mengatasi dehidrasi
d. Memperbaiki gangguan keseimbangan elektrolit
e. Mengobati infeksi
f. Memperbaiki kekurangan zat gizi mikro
g. Memberikan makanan untuk stabilisasi dan transisi
h. Memberikan makanan untuk tumbuh kejar
i. Memberikan stimulasi untuk tumbuh kembang
j. Mempersiapkan untuk tindak lanjut di rumah
4.10. 4 Syarat Diet
Fase stabilisasi (hari ke 1-2)
E : 80-100 kkal/Kg BB/hr
P : 1-1,5 gram/Kg BB/hr
Cairan : 130 ml/Kg BB/hr atau 100 ml/Kg BB/hr bila ada odema
Fase transisi (hari ke 3-7)
E : 100-150 kkal/Kg BB/hr
P : 2-3 gram/kg BB/hr
Cairan : 150 ml/Kg BB/hr
Fase rehabilitasi
E : 150 – 220 kkal/Kg BB/hr
P : 3-4 gram/Kg BB/hr
Cairan : 150-200 ml/Kg BB/hr
57
4.10.5 Perhitungan Kebutuhan
Perhitungan kebutuhan
Fase Stabilisasi
E : 90 x 8,9
: 801 kkal
P : 1,3 g/kg BB
: 1,3 x 8,9
: 11,57 (46,28 kkal)
L : 25% x 801
: 22,25 gram
KH : 801 – 46,28 – 200,25
: 138,6 gram
Cairan : 130 ml/kgBB/hari atau 100 ml/KgBB/hari (oedema)
: 130 ml x 8,9
: 1157 ml
Cairan : 100 ml x 8,9
: 890 ml
Fase Transisi
E : 100 x 8,9
: 890 kkal
P : 2 g x 8,9
: 17,8 g (71,2 kkal)
L : 25% x 890
: 222,5 : 9
: 24,7 g
KH : 890-71,2-222,5
: 596,3 : 4
: 149 gram
Cairan : 150 ml/kgBB/hr = 150 x 8,9 = 1335 ml
Fase Rehabilitasi
E : 150 x 8,9
: 1335 kkal
P : 3x 8,9
: 26,7 ( 106,8 kkal)
58
L : 25%x1335
: 333,75 : 9
: 37 gram
KH: 1336-106,8-333,75
: 894,45 : 4
: 223,6 g
Cairan : 150 ml/KgBB/hr = 150 x 8,9 = 1335 ml
Kebutuhan energi pada anak dengan status gizi baik
E : 102 x 14
: 1428 kkal
P : 15% x 1428
: 53,55 gr
L : 25% x 1428
:39,6 gr
KH : 60% x 1428
: 214,2 gr
4.10.6 Perencanaan Menu
21 Februari 2018
08.00 10.00 12.00 14.00 16.00 18.00 20.00 22.00 24.00 02.00 04.00 06.00
50 ml 50 ml 50 ml 50 ml 50 ml 50 ml 50 ml 50 ml 50 ml 50 ml 50 ml 50 ml
F100 F100 F100 F100 F100 F100 F100 F100 F100 F100 F100 F100

Ditambah bubur sumsum pada jam 17.00


22 Februari 2018
06.00 08.00 10.00 12.00 15.00 17.00 21.00
Bubur 50 ml F100 50 ml F100 nasi 50 ml F100 Nasi 50 ml F100
sumsum Telur asin
Sambal
goreng
kerik tempe
Oseng labu
siam dan
taoge
pendek
23 Februari 2018
Pagi Snack Siang Snack Sore Snack
Nasi 50 ml F100 Nasi 50 ml F100 Nasi 50 ml F100
Ayam goreng Air kacang Pho young hay Paru goreng
telur hijau sayuran Roll tahu
Perkedel Bolu kukus Bacem tempe Asem-asem
Tjap cjai goreng buncis

59
(bloomkol, Cha kcg
wortel, ayam, panjang
keykeyan)

4.10.7 Perencanaan Konsultasi Gizi


a. Tujuan
1). Memberikan pemahaman tentang cara pembuatan F100
2). Memberikan pemahaman tentang pemilihan bahan makanan yang dianjurkan untuk
mengejar tumbuh kembang
b. Materi
materi yang diberikan tentang diet cair F100
c. Sasaran
keluarga pasien
d. Metode : konsultasi dan tanya jawab
e. Tempat : Ruang Nusa Indah 4A
f. Waktu : 10 Menit
g. Media : leaflet
h. Pelaksana : mahasiswa
i. Evaluasi :
Keluarga pasien dapat mengulangi penjelasan tentang cara pembuatan F100
4.11 Hasil Monitoring
4.11.1 Antropometri
Setelah Intervensi
BB
BB
ha BB BB BB BB
BB BB BB har
ri har BB hari hari hari
hari hari hari i
BB kee i hari ked kese kese
pert ked keti kee
awal mp keli ketu elap mbil pulu
ama ua ( ga ( na
Antropome masu at ( ma juh ( an ( an ( h(
( 19 20 21 m(
tri k (18 22 ( 23 25 26 27 28
Feb Feb Feb 24
febru Fe Feb Febr Feb Feb Feb
ruar ruar ruar Feb
ari br rua uari rua ruar ruar
i i i rua
2018) ua ri 2018 ri i i
2018 2018 2018 ri
ri 201 ) 201 2018 2018
) ) ) 201
20 8) 8) ) )
8)
18)
BB (kg) 8,8 8,9 9,0 9,1 9,3 9,5 9,6 9,5 9,6 9,7 10,1
TB (cm) 91 - - - - - - - - - -
Zscore -3,36 - - - - - - - - - -2,27
BB/PB
Status Gizi Gizi - - - - - - - - - Gizi

60
Buruk kura
ng

4.11.2 Biokimia
Parameter dan Awal H1 H2 H3 H4 H5 H6 H7 H8 H9 H10 Keteran
kadar normal masuk gan
Hemoglobin 9,9 - - - Rendah
(13-18g%) (anemia
)
Hematokrit 62 Tinggi
(0-20
mm/jam)
SGOT 51 Tinggi
(0-37)
SGPT 22 Normal
(0-31)
Tes R1 (SD Reacti Abnorm
HIV -1/2 30) ve al
(Non
Reactive)
Tes R2 Reacti Abnorm
(ONCOPROB ve al
E)
(Non
Reactive)
Tes R3 Reacti Abnorm
(INTEC) ve al
(Non
Reactive)

4.11.3 Fisik Klinis


Tanggal Pemeriksaan
Kesadaran GCS Kesadaran Nadi RR Suhu
umum
18 Februari Sedang E: 4 V:5 Composmentis 140 x 64 37
2018 M:6 /menit
19 Februari Sedang E: 4 V:5 Composmentis 140 64 37
2018 M:6
20 Februari Sedang E: 4 V:5 Composmentis 140 64 37
2018 M:6
21 Februari Sedang E: 4 V:5 Composmentis 140 64 37
2018 M:6
22 Februari Sedang E: 4 V:5 Composmentis 140 64 37
2018 M:6
23 Februari Sedang E: 4 V:5 Composmentis 140 64 37
2018 M:6
24 Februari Sedang E: 4 V:5 Composmentis 140 64 37
2018 M:6
25 Februari Sedang E: 4 V:5 Composmentis 140 64 37
2018 M:6
26 Februari Sedang E: 4 V:5 Composmentis 140 64 37

61
2018 M:6
27 Februari Cukup E: 4 V:5 Composmentis 140 64 37
2018 M:6
28 Februari Cukup E: 4 V:5 Composmentis 140 64 37
2018 M:6

Tanggal 18 Februari 2018 Tanggal 22 Februari 2018 Tanggal 27 Februari 2018


Nafsu makan 15 hari sebelum Mau makan dan minum tetapi Mau makan dan minum tetapi
masuk rumah sakit menurun, dalam porsi sangat sedikit dalam porsi sangat sedikit
mau makan dan minum tetapi
dalam porsi sangat sedikit
Nafsu makan menurun, mual, Nafsu makan sedikit membaik Nafsu makan sedikit membaik
muntah
Mulut sariawan sariawan sedikit berkurang sariawan sedikit berkurang
sehingga asupan sedikit sehingga asupan sedikit
membaik membaik
Lemas Lemas Sudah bisa berjalan tanpa
dipegangi
Fisik : iga gambang, rambut Fisik : iga gambang, rambut Fisik : iga gambang, rambut
merah, dermatosis hampir merah, dermatosis hampir merah, dermatosis hampir
diseluruh tubuh (bercak putuh), diseluruh tubuh (bercak putuh), diseluruh tubuh (bercak putuh),
kulit kasar, rewel, apatis (tidak kulit kasar, rewel, apatis (tidak kulit kasar, rewel, apatis (tidak
gembira), terjadi atropi otot gembira), terjadi atropi otot gembira), terjadi atropi otot
(sangat terlihat bentuk tulang), (sangat terlihat bentuk tulang), (sangat terlihat bentuk tulang),
lapisan lemak bawah kulit lapisan lemak bawah kulit lapisan lemak bawah kulit
sedikit (kulit terlihat tipis), sedikit (kulit terlihat tipis), sedikit (kulit terlihat tipis),
turgor masih normal, dan pasien turgor masih normal, dan pasien turgor masih normal, dan pasien
terlihat kurus. terlihat kurus. terlihat kurus.

4.11.4 Riwayat Makan


Tanggal Pengamatan Energi Protein Lemak Karbohidrat
18 Februari 2018 Asupan 408,4 13,4 19,9 44,8
Kebutuhan 801 11,57 22,25 138,6
% asupan 51% 115,8% 89,4% 32%
Keterangan Asupan Asupan Asupan Asupan
kurang baik kurang kurang dari
dari dari kebutuhan
kebutuhan kebutuhan
19 Februari 2018 Asupan 359,4 9,4 15,3 65,8
Kebutuhan 801 11,57 22,25 138,6
% asupan 44,86% 81,2% 68,76% 47%
Keterangan Asupan Asupan Asupan Asupan
kurang baik kurang kurang dari
dari dari kebutuhan
kebutuhan kebutuhan
20 Februari 2018 Asupan 408,4 13,4 19,9 44,8
Kebutuhan 890 17,8 24,7 149
% asupan 45,9% 75,3% 80,6% 30%
Keterangan Asupan Asupan Asupan Asupan
kurang kurang kurang kurang dari
dari dari dari kebutuhan

62
kebutuhan kebutuhan kebutuhan
21 Februari 2018 Asupan 1371 24,9 70,78 128,47
Kebutuhan 890 17,8 24,7 149
% asupan 154% 140% 286% 86%
Keterangan Asupan Asupan Asupan Asupan
lebih dari lebih dari lebih dari tidak
kebutuhan kebutuhan kebutuhan adekuat
22 Februari 2018 Asupan 1041,13 30,6 53,93 101,05
Kebutuhan 1335 26,7 37 223,6
% asupan 77,98% 114% 145% 45%
Keterangan Asupan Asupan Asupan Asupan
tidak lebih dari lebih dari tidak
adekuat kebutuhan kebutuhan adekuat
23 Februari 2018 Asupan 1429,17 80,54 84,1 133,2
Kebutuhan 1335 26,7 37 223,6
% asupan 107% 301% 227% 60%
Keterangan Asupan Asupan Asupan Asupan
baik lebih dari lebih dari tidak
kebutuhan kebutuhan adekuat
24 Februari 2018 Asupan 1300 30,5 36 150
Kebutuhan 1335 26,7 37 223,6
% asupan 97% 114,2% 97,3% 67%
Keterangan Asupan Asupan Asupan Asupan
baik lebih dari baik tidak
kebutuhan adekuat
25 Februari 2018 Asupan 1435 50 62,3 174,7
Kebutuhan 1335 26,7 37 223,6
% asupan 107,5% 187% 168% 77,8%
Keterangan Asupan Asupan Asupan Asupan
baik lebih dari lebih dari tidak
kebutuhan kebutuhan adekuat
26 Februari 2018 Asupan 1375 70 76 175
Kebutuhan 1335 26,7 37 223,6
% asupan 102,9 262% 205% 78%
Keterangan Asupan Asupan Asupan Asupan
baik lebih dari lebih dari baik
kebutuhan kebutuhan
27 Februari 2018 Asupan 1500 30 36,5 180
Kebutuhan 1335 26,7 37 223,6
% asupan 112% 112% 98% 80%
Keterangan Asupan Asupan Asupan Asupan
baik baik baik baik
28 Februari 2018 Asupan 1555 32 39 182,3
Kebutuhan 1335 26,7 37 223,6
% asupan 116,5% 119,8% 105% 81%
Keterangan Asupan Asupan Asupan Asupan
lebih dari lebih dari baik baik
kebutuhan kebutuhan

63
a. Asupan Energi

asupan
kebutuhan

b. Asupan Protein

asupan
kebutuhan

64
c. Asupan Lemak

asupan
kebutuhan

d. Asupan KH

asupan
kebutuhan

65
BAB 5. PEMBAHASAN
MONITORING DAN EVALUASI

Berdasarkan hasil pengambilan data yang telah dilakukan selama 1 minggu pada tanggal
18 februari 2018 hingga tanggal 25 Februari 2018 di Ruang Nusa Indah 4A Rumah Sakit
Umum Daerah Mardi Waluyo Blitar didapatkan hasil diagnosa akhir bahwa pasien yang
bernama An. D didiagnosa gizi buruk, HIV/AIDS, TB Paru, dan Candidiasis Oris.
5.1 Skrining gizi
Berdasarkan hasil skrining gizi dengan form RSUD Mardi Waluyo bahwa pasien
mendapatkan skor 5, yang berarti berisiko malnutrisi dan diagnosa pasien B24, TB Paru, Gizi
Buruk, Candidiasis Oris. Hasil skrining tersebut menunjukkan bahwa pasien membutuhkan
asuhan gizi. Hasil skrining gizi terlampir.
5.2 Monitoring dan Evaluasi
5.2.1 Analisa Perkembangan Antropometri
Setelah Intervensi
BB
BB
ha BB BB BB BB
BB BB BB har
ri har BB hari hari hari
hari hari hari i
BB kee i hari ked kese kese
pert ked keti kee
awal mp keli ketu elap mbil pulu
ama ua ( ga ( na
Antropome masu at ( ma juh ( an ( an ( h(
( 19 20 21 m(
tri k (18 22 ( 23 25 26 27 28
Feb Feb Feb 24
febru Fe Feb Febr Feb Feb Feb
ruar ruar ruar Feb
ari br rua uari rua ruar ruar
i i i rua
2018) ua ri 2018 ri i i
2018 2018 2018 ri
ri 201 ) 201 2018 2018
) ) ) 201
20 8) 8) ) )
8)
18)
BB (kg) 8,8 8,9 8,9 9,1 9,3 9,5 9,6 9,5 9,6 9,7 10,1
TB (cm) 91 - - - - - - - - - -
Zscore -3,36 - - - - - - - - - -2,27
BB/PB
Status Gizi Gizi - - - - - - - - - Gizi
Buruk Kura
ng
Hasil perhitungan Z-score menunjukkan bahwa pasien memiliki status gizi buruk, berat
badan ideal pasien seharusnya yaitu 12,6 kg. Pemantauan status gizi dilakukan dengan
menimbang berat badan dari awal masuk hingga hari kesebelas di rumah sakit pada jam yang
sama. Terjadi peningkatan berat badan pada pasien dan perubahan status gizi menjadi gizi
kurang. Pasien diberikan terapi diet cair F100 untuk menunjang kebutuhannya karena tidak
bisa makan secara oral akibat adanya candidiasis oris.
66
5.2.2 Analisa Perkembangan Biokimia
Parameter dan Awal Hari ke 1 Hari ke 2 Hari ke 3 Keterangan
kadar normal pemeriksaan
Hemoglobin 9,9 - - - Rendah
(13-18g%) (anemia)
Hematokrit 62
(0-20 mm/jam)
SGOT 51
(0-37)
SGPT 22
(0-31)
Tes R1 (SD Reactive
HIV -1/2 30)
(Non Reactive)
Tes R2 Reactive
(ONCOPROBE)
(Non Reactive)
Tes R3 (INTEC) Reactive
(Non Reactive)

Dari hasil pengamatan biokimia selama 11 hari, dapat diketahui pada data biokimia
awal masuk rumah sakit hasil pemeriksaan laboratorium Hemoglobin rendah, Tes R1, R2, R3
Reactive, dan suspect Tb Paru. Tes R1,R2,R3 Reactive menunjukkan bahwa pasien positif
HIV. Pemeriksaan laboratorium hanya dilakukan satu kali. Hemoglobin rendah karena 70-80
% pasien HIV mengalami anemia.
5.2.3 Analisa Perkembangan Fisik Klinis
Tanggal Pemeriksaan
Kesadaran GCS Kesadaran Nadi RR Suhu
umum
18 Februari Sedang E: 4 V:5 Composmentis 140 64 37
2018 M:6
19 Februari Sedang E: 4 V:5 Composmentis 140 64 37
2018 M:6
20 Februari Sedang E: 4 V:5 Composmentis 140 64 37
2018 M:6
21 Februari Sedang E: 4 V:5 Composmentis 140 64 37
2018 M:6
22 Februari Sedang E: 4 V:5 Composmentis 140 64 37
2018 M:6
23 Februari Sedang E: 4 V:5 Composmentis 140 64 37
2018 M:6
24 Februari Sedang E: 4 V:5 Composmentis 140 64 37
2018 M:6
25 Februari Sedang E: 4 V:5 Composmentis 140 64 37
2018 M:6
26 Februari Sedang E: 4 V:5 Composmentis 140 64 37
2018 M:6
27 Februari Cukup E: 5 V:5 Composmentis 140 64 37
2018 M:6

67
28 Februari Cukup E: 5 V:5 Composmentis 140 64 37
2018 M:6
Keluhan : nafsu makan 15 hari sebelum masuk rumah sakit menurun, mau makan dan minum tetapi
dalam porsi sangat sedikit, nafsu makan menurun, saat melihat makanan mual dan muntah, lemas,
mulut sariawan
Fisik : iga gambang, rambut merah, dermatosis hampir diseluruh tubuh (bercak putuh), kulit kasar,
rewel, apatis (tidak gembira), terjadi atropi otot (sangat terlihat bentuk tulang), lapisan lemak bawah
kulit sedikit (kulit terlihat tipis), turgor masih normal, dan pasien terlihat kurus. Pada tanggal 22
Februari 2018 sariawan sedikit berkurang sehingga asupan sedikit membaik. Pada tanggal 27 Februari
anak sudah bisa berjalan tanpa di pegangi.
Hasil pengamatan fisik klinis diketahui bahwa pasien dalam keadaan sadar penuh
sampai hari ke 11, tanda vital dalam keadaan normal. Keluhan pasien saat masuk ke rumah
sakit adalah nafsu makan 15 hari sebelum masuk rumah sakit menurun, tidak mau makan dan
minum, dan saat melihat makanan muntah, lemas serta mulut sariawan. Dengan kondisi fisik
pasien iga gambang, rambut merah, dermatosis hampir diseluruh tubuh, kulit kasar, terjadi
atropi otot, rewel, apatis (tidak gembira), lapisan lemak bawah kulit sedikit, turgor masih
normal, pasien terlihat kurus. Pada saat awal masuk rumah sakit dilakukan penimbangan
berat badan dengan bathroom scale digital, pasien tidak kuat untuk berdiri, tubuh bergetar,
setelah hari kesepuluh pasien sudah bisa berjalan dan bermain dengan berjalan.
5.2.4 Analisa Perkembangan Riwayat Makan Pasien
Tanggal Pengamatan Energi Protein Lemak Karbohidrat
18 Februari 2018 Asupan 408,4 13,4 19,9 44,8
Kebutuhan 801 11,57 22,25 138,6
% asupan 51% 115,8% 89,4% 32%
Keterangan Asupan Asupan Asupan Asupan
kurang baik kurang kurang dari
dari dari kebutuhan
kebutuhan kebutuhan
19 Februari 2018 Asupan 359,4 9,4 15,3 65,8
Kebutuhan 801 11,57 22,25 138,6
% asupan 44,86% 81,2% 68,76% 47%
Keterangan Asupan Asupan Asupan Asupan
kurang baik kurang kurang dari
dari dari kebutuhan
kebutuhan kebutuhan
20 Februari 2018 Asupan 408,4 13,4 19,9 44,8
Kebutuhan 890 17,8 24,7 149
% asupan 45,9% 75,3% 80,6% 30%
Keterangan Asupan Asupan Asupan Asupan
kurang kurang kurang kurang dari
dari dari dari kebutuhan
kebutuhan kebutuhan kebutuhan
21 Februari 2018 Asupan 1371 24,9 70,78 128,47
Kebutuhan 890 17,8 24,7 149
% asupan 154% 140% 286% 86%
Keterangan Asupan Asupan Asupan Asupan

68
lebih dari lebih dari lebih dari tidak
kebutuhan kebutuhan kebutuhan adekuat
22 Februari 2018 Asupan 1041,13 30,6 53,93 101,05
Kebutuhan 1335 26,7 37 223,6
% asupan 77,98% 114% 145% 45%
Keterangan Asupan Asupan Asupan Asupan
tidak lebih dari lebih dari tidak
adekuat kebutuhan kebutuhan adekuat
23 Februari 2018 Asupan 1429,17 80,54 84,1 133,2
Kebutuhan 1335 26,7 37 223,6
% asupan 107% 301% 227% 60%
Keterangan Asupan Asupan Asupan Asupan
baik lebih dari lebih dari tidak
kebutuhan kebutuhan adekuat
24 Februari 2018 Asupan 1300 30,5 36 150
Kebutuhan 1335 26,7 37 223,6
% asupan 97% 114,2% 97,3% 67%
Keterangan Asupan Asupan Asupan Asupan
baik lebih dari baik tidak
kebutuhan adekuat
25 Februari 2018 Asupan 1435 50 62,3 174,7
Kebutuhan 1335 26,7 37 223,6
% asupan 107,5% 187% 168% 77,8%
Keterangan Asupan Asupan Asupan Asupan
baik lebih dari lebih dari tidak
kebutuhan kebutuhan adekuat
26 Februari 2018 Asupan 1375 70 76 175
Kebutuhan 1335 26,7 37 223,6
% asupan 102,9 262% 205% 78%
Keterangan Asupan Asupan Asupan Asupan
baik lebih dari lebih dari baik
kebutuhan kebutuhan
27 Februari 2018 Asupan 1500 30 36,5 180
Kebutuhan 1335 26,7 37 223,6
% asupan 112% 112% 98% 80%
Keterangan Asupan Asupan Asupan Asupan
baik baik baik baik
28 Februari 2018 Asupan 1555 32 39 182,3
Kebutuhan 1335 26,7 37 223,6
% asupan 116,5% 119,8% 105% 81%
Keterangan Asupan Asupan Asupan Asupan
lebih dari lebih dari baik baik
kebutuhan kebutuhan
Hasil pengamatan pada saat di rumah sakit pasien mengonsumsi makanan dengan
kandungan gizi yaitu energi 408,4 kkal, protein 13,4 gram, lemak 19,9 gram, dan Karbohidrat
44,8 gram. Pasien mengonsumsi makanan dari rumah sakit yaitu diet cair F100 tetapi hanya
diminum sedikit. Makan pudding dari rumah sakit dan makan makanan tambahan dari luar

69
RS, yaitu susu SGM 5 botol perhari dengan 2 sendok takar/botol serta mengonsumsi nasi
pecel dari luar 2 sendok makan
Hasil pengamatan pada tanggal 19 Februari 2018, pasien mengonsumsi makanann
dengan kandungan gizi yaitu energi 359,4 kkal, protein 9,4 gram, lemak 15,3 gram, dan
karbohidrat 65,8 gram. Pasien mengonsumsi makanan dari rumah sakit yaitu diet cair F100
tetapi hanya diminum sedikit. Makanan tambahan dari luar rumah sakit berupa susu SGM 5
botol perhari dengan 2 sendok takar/botol serta mengonsumsi tahu goreng ¼ buah.
Hasil pengamatan pada tanggal 20 Februari 2018, pasien mengonsumsi makanan
dengan kandungan gizi yaitu energi 408,4 kkal, protein 13,4 gram, lemak 24,7 gram,
karbohidrat 44,8 gram. Pasien mengonsumsi makanan dari rumah sakit yaitu berupa diet cair
F100 diminum hampir habis, dan makanan tambahan dari luar rumah sakit berupa susu SGM
5 botol perhari. Anak rewel karena baru dipasang sonde.
Hasil pengamatan pada hari pertama intervensi yaitu tanggal 21 februari, pasien
mengonsumsi makanan dengan kandungan gizi yaitu energi 1371 kkal, protein 24,9 gram,
lemak70,78 gram dan karbohidrat 128,47 gram. Pasien mengonsumsi F100 dengan tambahan
nasi putih, susu SGM yang biasa pasien konsumsi, nasi pecel dan nasi goreng.
Hasil pengamatan pada hari kedua intervensi, pasien mengonsumsi makanan dengan
kandungan gizi yaitu energi 1041 kkal, 30,6 gram, 53,93 gram, 101,05 gram. Pasien
mengonsumsi F100 pada jam 08.00, 10.00, 15.00, 21.00 dengan ditambah nasi pada siang
hari dan jam makan sore ditambah dengan diet makanan biasa yang terdiri dari nasi, kerik
tempe, oseng labu siam dan taoge, dan telur asin. Makanan dari luar rumah sakit yang
dikonsumsi adalah kraker, susu SGM, nasi pecel.
Hasil pengamatan pada hari ketiga intervensi, pasien mengonsumsi makanan dengan
kandungan gizi yaitu energi 1429 kkal, protein 80,54 gram, lemak 84,1 gram, dan karbohidrat
133,2 gram. Pasien mengonsumsi mendapat diet makanan biasa dan 3 kali snack F100 pada
jam 09.00, 15.00, 21.00. makan pagi mengonsumsi nasi, ayam goreng telur, tjap cay, pada
makan siang nasi, telur goreng sayuran, perkedel kentang, dan sayur yang disajikan tidak
dimakan. Makan sore mendapat nasi, paru goreng, tahu dan buncis yang disajikan tidak
dimakan. Pasien juga mengonsumsi makanan dari luar rumah sakit yaitu kentucky ayam, roti
manis, cracker, dan susu SGM.
Hasil pengamatan pada tanggal 24 februari 2018, pasien mengonsumsi makanan
dengan kandungan gizi yaitu energi 1300 kkal, protein 30,5 gram, lemak 36 gram, dan
karbohidrat 150 gram. Pasien mengonsumsi makanan dari rumah sakit berupa makan utama,

70
dan formula F100 sebagai selingan. Pasien juga mengonsumsi makanan dari luar rumah sakit
yaitu berupa telur asin, roti manis, susu SGM 5 botol dengan 2 sendok takar/botol.
Hasil pengamatan pada tanggal 25 februari 2018, pasien mengonsumsi makanan
dengan kandungan gizi yaitu energi 1435 kkal, protein 50 gram, lemak 62,3 gram dan
karbohidrat 174,7 gram. Pasien mengonsumsi makanan dari rumah sakit berupa makan
utama, dan formula F100 sebagai selingan. Pasien juga mengonsumsi makanan dari luar
rumah sakit yaitu berupa tahu goreng, nasi pecel, susu SGM 5 botol dengan 2 sendok
takar/botol.
Hasil pengamatan pada tanggal 26 februari 2018, pasien mengonsumsi makanan
dengan kandungan gizi yaitu energi 1375 kkal, protein 70 gram, lemak 76 gram dan
karbohidrat 175 gram. Pasien mengonsumsi makanan dari rumah sakit berupa makan utama,
dan formula F100 sebagai selingan. Pasien juga mengonsumsi makanan dari luar rumah sakit
yaitu berupa nasi goreng, susu SGM 5 botol dengan 2 sendok takar/botol, cracker 5 buah.
Hasil pengamatan pada tanggal 27 februari 2018, pasien mengonsumsi makanan
dengan kandungan gizi yaitu energi 1500 kkal, protein 30 gram, lemak 36,5 gram, dan
karbohidrat 180 gram. Pasien mengonsumsi makanan dari rumah sakit berupa makanan
utama dan formula F100 sebagai selingan. Pasien juga mengonsumsi makanan dari luar
rumah sakit yaitu berupa kentucky, susu SGM 5 botol dengan 2 sendok takar/botol, dan roti
manis.
Hasil pengamatan pada tanggal 28 februari 2018, pasien mengonsumsi makanan
dengan kandungan gizi yaitu energi 1555 kkal, protein 32 gram, lemak 39 gram, dan
karbohidrat 182,3 gram. Pasien mengonsumsi makanan dari rumah sakit berupa makanan
utama dan F100 sebagai selingan. Pasien juga mengonsumsi makanan dari luar rumah sakit
berupa nasi pecel, susu SGM 5 botol dengan 2 sendok takar/botol, dan tahu goreng
5.3 Evaluasi Pola Makan
Pola makan anak sebelum sakit bisa mengonsumsi semua makanan, dan tidak pilih-pilih,
seperti buah, sayur, lauk hewani, lauk nabati, makanan pokok dan susu. Anak memiliki
kebiasaan makan sering tetapi dengan porsi yang sangat sedikit yaitu sekitar 2-3 sdm dengan
4x makan sehari. 15 hari sebelum masuk rumah sakit pasien mengalami sariawan sehingga
asupan makannya semakin berkurang, dengan makanan pokok jenang (bubur) 1-2 sendok
makan setiap kali makan. 1 minggu sebelum masuk rumah sakit anak semakin rewel,
makanan yang masuk hanya susu. Sehingga asupan makannya semakin sedikit. Dan setelah
masuk rumah sakit pasien sudah mulai bisa makan dan minum dan suka nyemil. Selama di

71
rumah sakit makanan yang disukai nasi pecel, tahu goreng dan nasi goreng tetapi hanya
dimakan sedikit sekitar 3 sdm.
5.4 Evaluasi Pengetahuan
Nenek dan pakde pasien diberi pengertian tentang cara menyajikan diet cair untuk
pasien. Setelah diberikan edukasi keluarga pasien jadi mengerti tentang cara menyajikan diet
cair dan beberapa makanan yang akan menunjang tumbuh kembang pasien.
5.5 Antropometri
Pemantauan data antropometri pasien yang diamati berdasarkan BB selama 11 hari yaitu
pada tanggal 18 februari sampai dengan 28 februari 2018, dapat diketahui bahwa selama
pelaksanaan studi kasus terjadi peningkatan berat badan dari 8,8 menjadi 10,1 kg. Status gizi
masih tetap gizi kurang tetapi skor terjadi peningkatan dari -3,36 menjadi -2,27.
5.6 Biokimia
Berdasarkan tabel 4.1 tentang data terkait pemeriksaan biokimia. Pemeriksaan
laboratorium dilakukan satu kali yaitu pada tanggal 17 Februari 2018, Hemoglobin
menunjukkan hasil yang rendah, Tes R1 Reactive, Tes R2 Reactive dan Tes R3 Reactive.
5.7 Fisik Klinis
Berdasarkan fisik klinis dilakukan pada hari pertama studi kasus hingga hari terakhir.
Berdasarkan data klinis yang didapatkan, kesadaran umum pasien mengalami perkembangan.
Di pengkajian awal ada sariawan (candidiasis oris) keadaan tersebut membaik sampai hari
terakhir yaitu sudah tidak ada sariawan dan nafsu makan membaik. Kesadaran pasien
membaik. Sedangkan tanda vital lainnya dalam keadaan normal.

72
BAB 6. PENUTUP

6.1 Kesimpulan
1. Pasien keluar dengan diagnosa medis B24, TB Paru dan Gizi Kurang.
2. Pasien memiliki status gizi buruk berdasarkan Z-score BB/PB setelah intervensi hasil Z-
score berubah dan status gizi berubah menjadi gizi kurang
3. Diet yang diberikan kepada pasien yaitu diet cair F100, Lalu ditingkatkan menjadi diet
makanan biasa dengan snack F100.
4. Tingkat konsumsi energi, protein dan lemak pasien relatif stabil memenuhi kebutuhan,
tetapi asupan karbohidrat kurang dari kebutuhan.
5. Dari hari pertama intervensi sampai hari ketiga terlihat kondisi pasien mengalami
peningkatan kondisi tubuh dan kesehatan pasien yang semakin membaik.
6. Dari hasil pengamatan, nafsu makan pasien mulai bertambah tetapi lebih suka
mengonsumsi makanan dari luar rumah sakit.

73
DAFTAR PUSTAKA

Adisasmito, W. 2007. Sistem Kesehatan, edisi I. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.

Alharini, S., dkk. 2012. Hubungan Karakteristik Sosial Ekonomi dan Asupan Makan Pagi
dengan Status Gizi pada Anak Sekolah Dasar Negeri Cambaya Kecamatan Ujung
Tanah Kota Makassar.

Almatsier, S. 2006. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Anwar, R. 2005. Meta Analisis. Bandung : Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran.

Apriadji, WH. 1986. Gizi Keluarga. Seri Kesejahteraan Keluarga. Jakarta : PT Penebar
Swadaya

Bappenas. 2011. Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi. Jakarta : Bappenas.

Basawaraj et al. 2010. Quality of life in HIV/AIDS. Journal departemet of dermatology,


venereology and leprosy, JSS medical college, JSS University, Mysore, Karnataka,
India.

Baskoro, Anton. 2008. ASI panduan praktis ibu menyusui. Yogyakarta : Banyu Medika.

Berg, A dan Sajogyo. 1987. Pendidikan Untuk Gizi yang Lebih Baik. Peranan Gizi dalam
Pembangunan Nasional. Jakarta : Rajawali.

Berkhout. 1923. Candida albicans.


http://www.doctorg]fungus.org/thefungi/candida_albicans.php.

Cott, P. 2003. Seri budaya anak, makanan sehat untuk bayi dan balita. Jakarta : PT. Dian
Rakyat.

Departemen kesehatan Republik Indonesia. 2005. Profil Kesehatan Indonesia, 2005. Jakarta :
Pusat Data Informasi Health Statistic.

Departemen kessehatan Republik Indonesia. 2014. Stunting. Jakarta : Departemen kesehatan.

Depkes. 2008. Upaya Akselerasi Pencapaian Indikator Pembangunan Kesehatan di


Indonesia Penurunan AKI, AKB, Gizi Buruk. Jakarta : Depkes.

Depkes RI .2003. Klasifikasi Status Gizi Anak Bawah Lima Tahun (BALITA). Jakarta :
Depkes RI.

Depkes RI 2004. Pedoman Gizi Seimbang. Jakarta : Dirjen Kesmas.

Depkes RI 2007. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta : Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan.

Devi, N. 2010. Nutrition and Food. Jakarta : PT. Kompas Media Nusantara.

74
Dinkes Jawa Timur. 2016. Profil Kesehatan Provinsi Jawa Timur 2015. Surabaya : Dinas
Kesehatan Provinsi Jawa Timur.

Ducati, R.G., Ruffino-Netto, A., Basso, L.A, and Santos, D.S. 2006. The Resumption of
Consumption: A Review on Tuberculosis. Memorias do Instituto Oswaldo Cruz.

Ernawati, A. 2006. Hubungan faktor sosial ekonomi, higene sanitasi lingkungan, tingkat
konsumsi dan infeksi dengan status gizi anak usia 2-5 tahun di Kabupaten Semarang
tahun 2003. Semarang : Universitas Diponegoro.

Hadi, H. 2005. Beban Ganda Masalah Gizi dan Implikasinya Terhadap Kebijakan
Pembangunan Kesehatan Nasional. Yogyakarta : UGM Press.

Hidayat, A. 2005. Peranan Zat Gizi Mikro Seng bagi Kesehatan dan Kesakitan. Majalah
Ilmiah Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti 2005.

Hull, D., Johnston, D.I. 2008. Dasar-Dasar Pediatri, Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Jakarta on Tuberculosis. Mem Inst Oswaldo Curz.

Hutapea, Ronald. 2011. AIDS, PMS dan Pemerkosaan. Jakarta : Penerbit Rineka Cipta.

Indiarti, M.T. 2008. Kehamilan, Persalinan, dan Perawatan Bayi. Yogyakarta : Diglossia
Media.

Irwanto. 2002. Dialog Seputar AIDS. Jakarta : Gramedia Widiasarana Indonesia.

Istiono, Wahyudi., H. Suryadi, M. Haris, dkk. 2009. Analisis Faktor-Faktor yang


Mempengaruhi Status Gizi Balita. Yogyakarta : FK UGM.

Judarwanto, Widodo. (2004). Mengatasi Kesulitan Makan Pada Anak. Jakarta : Puspa Swara.

Karsin, ES. 2004. Peranan Pangan dan Gizi dalam Pembangunan dalam Pengantar Pangan
dan Gizi. Penebar Swadaya. Jakarta.

Kementerian kesehatan Republik Indonesia. 2012. Pedoman Pencegahan dan Pengendalian


Infeksi Tuberkulosis di Fasilitas Pelayanan Kesehatan. Jakarta : Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia.

Kusriadi. 2010. Analisis Faktor Resiko yang Mempengaruhi Kejadian Kurang Gizi pada
Balita di Nusa Tenggara Barat, Tesis, Pascasarjana. IPB. Bogor.

Moehji, S. 2002. Pengetahuan Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : Papar Sinar Sinarti.

Nelson, H.S. 2007. The National Asthma Education and Prevention Program. Guidelines for
the Diagnosis and Management of Asthma. Bethesda, MD: US Department of Health
and Human Service. National Institutes of Health: 07-4051.

Nency dan Arifin. 2005. Gizi Buruk, Ancaman Generasi yang Hilang. Artikel. Inovasi Edisi
Vol. 5/XVII/November 2005: Inovasi Online. Diakses 24

75
Februari2011.http://io.ppijepang.org/v2/index.php?option=com_k2&view
=item&id=14:gizi-buruk-ancaman-generasi-yang-hilang

Notoadmojo 2003. Prinsip-Prinsip Dasar Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta : Rineka


Cipta.

Notoadmojo 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.

Nurmiata 2008

Nurs, Nursalam, M. Dan Ninuk Dian Kurniawati. Asuhan Keperawatan pada Pasien
terinfeksi HIV/AIDS. Jakarta: Salemba Medika, 2007.

Price, S.A ., Standridge, M.P. 2006. Tuberkulosis paru. Dalam Price S.A ., Wilson L.M.
Patofisiologi : Konsep klinis proses-proses penyakit edisi 6 volume 2. Jakarta : EGC.

Pudjiadi, S. 2001. Ilmu Gizi Klinik, edisi 4. Jakarta : FKUI.

Purnama A, & Haryanti, E. Stigma & Diskriminasi terhadap ODHA. 2006 [cited 2018 8
Maret]; Available from: http://www.rahima.or.id.

Rencana Aksi Pangan dan Gizi Nasional 2001-2005 Jakarta Agustus 2000

Riset Kesehatan Dasar. (2010). Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Kementrian Kesehatan RI.

Utami Roesli. 2005. Panduan praktis menyusui. Edisi 1. Jakarta : Puspa Swara.

Sadewa, A.L, 2008, Makalah KEP, http://ayahaja.wordress.com, 28 November 2008.


Universitas Sumatera Utara

Santoso, S. 2009. Kesehatan dan Gizi. Jakarta : Rineka Cipta.

Charantimath, N., Gupta Ishita., Shetti Arvind., 2011. Candidiasis Oral : Aidding in the
diagnosis of HIV- A Case Report.

Soekirman 2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya untuk keluarga dan Masyarakat. Ditjen Dikti.
Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional.

Soetjiningsih. 2004. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta : EGC.

Subagyo A. 2007. Hubungan Lingkungan Fisik Rumah dengan Kejadian Penyakit


Tuberkulosis Paru di Kabupaten Banyumas. Program Magister Kesehatan Lingkungan.
UNDIP, Semarang.

Supriasa, I.D.N., et.al. 2002. Penilaian status gizi. Jakarta : EGC.

Susianto.,2008, Analisis faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi(IMT/U) pada


balita vegetarian lakto ovo dan non vegetarian di DKI Jakarta Tahun 2008, Universitas
Indonesia, Jakarta.

76
Tarigan, R. (2012) Pengaruh Kadar Debu, Karateristik, Pengetahuan dan Sikap Nelayan
terhadap Penyakit TBC di Pulau Buluh Kota Batam Tahun 2012.

Todar, K., 2009. Bacillus anthracis and Antrax. Todar’s online textbook of bacteriology.

UNICEF.1990. An Orientation Handbook: Medium-Term Plan. New York: UNICEF.

United Nations Children’s Fund. 1998. Conceptual Framework : The Determinants of Child
Nutritional Status. New York.

UNICEF. 2012. Indonesia Laporan Tahunan. Geneva: UNICEF

Unicef. 2009. Tracking Progress on Child and Maternal Nutrition a Survival and
Development Priority. New York. USA.

WHO. 2005. Child growth standards: Length/height-for-age, weight-for-age, weight-for-


length, weight-for-height and body mass index-for-age: Methods and development.
Department Nutrition for Health and Development.

Darmayanti, Wilopo, S.A dan Nurdiati, D.S (2010). Pengaruh Kenaikan Berat Badan Rata-
rata Per Minggu Pada Kehamilan Trimester II dan III Terhadap Risiko BBLR, Buletin
Kedokteran Masyarakat, Vol. 26, No.1, Maret 2010.

World Health Organization. 2009. Infant and young child feeding. Geneva : World Health
Organization.

Yusrizal, A. 2008. Criteria of performance. Jakarta : Erlangga.

Zaviera, F. 2008. Mengenali dan Memahami Tumbuh Kembang Anak. Yogyakarta : Kata
Hati.

77

Anda mungkin juga menyukai