OLEH:
KELOMPOK 3
JURUSAN MATEMATIKA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
T.P 2017-2018
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum wr.wb
Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah swt, karena atas limpahan rahmatnya, sehingga
penulisan makalah ini dapat terselesaikan dan telah rampung.
Makalah ini berjudul “MAUSIA SEBAGAI KHALIFAH ALLAH DI BUMI”. Dengan tujuan
penulisan sebagai sumber bacaan yang dapat digunakan untuk memperdalam pemahaman dari
materi ini. Selain itu, penulisan makalah ini tak terlepes pula dengan tugas mata kuliah Pendidikan
Agama Islam.
Namun penulis cukup menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
penulis sangat mengharapkan kritik dan saran pembaca yang bersifat membangun.Amin ya rabbal
‘alamin.
Wassalamu’alaikum wr.wb
Penulis,
DAFTAR ISI
3.1 Kesimpulan...................................................................................................
1.2 Permasalahan
2. Bagaimana tanggungjawab manusia sebagai khalifah dan tanggungjawab manusia sebagai hamba
Allah?
1.3 Tujuan
Artinya: dan mereka berkata: "Tuhan yang Maha Pemurah telah mengambil (mempunyai) anak",
Maha suci Allah. sebenarnya (malaikat-malaikat itu), adalah hamba-hamba yang dimuliakan. (Q.S.
Al Anbiya’:26)
[1]Drs. Kaelany HD, M.A, Islam & Aspek – Aspek Kemasyarakatan (Jakarta, Bumi AKsara, 2005), h.14.
Ayat ini diturunkan untuk membantah tuduhan-tuduhan orang-orang musyrik yang mengatakan
bahwa malaikat-malaikat itu anak Allah.
Artinya: Sesungguhnya malaikat-malaikat yang ada di sisi Tuhanmu tidaklah merasa enggan
menyembah Allah dan mereka mentasbihkan-Nya dan hanya kepada-Nya-lah mereka
bersujud..(Q.S Al A’raf:206) [2]
Kata dunia tidak kurang dari 122 kali disebutkan dalam Al Qur’an. Menikmati kehidupan
dunia tidak dilarang, bahkan kita dianjurkan untuk merebut akhirat dengan tanpa melupakan dunia.
Ini ditegaskan pada surah al – Qashash ayat 77.
Maksudnya: perhiasan-perhiasan dari Allah dan makanan yang baik itu dapat dinikmati di
dunia ini oleh orang-orang yang beriman dan orang-orang yang tidak beriman, sedang di akhirat
nanti adalah semata-mata untuk orang-orang yang beriman saja.
Ayat-ayat tersebut menerangkan dengan jelas, bahwa perhiasan (kehidupan dunia) dapat
dinikmati oleh orang beriman maupun yang tidak beriman. Sedang di akhirat nanti kenikmatan yang
lebih baik lebih abadi disediakan khusus bagi orang yang beriman. Oleh karena itu, Allah
memperingatkan agar orang beriman jangan larut pada kehidupan dunia, tertipu, sehingga lupa
kepada kehidupan yang sebenarnya di akhirat nanti. Padahal kehidupan akhirat lebih utama dari
kehidupan dunia (QS 87:16-17)\
[2]
Dr. H. Husnel Anwar Matondang, M. Ag, Islam Kaffah, (Medan, Perdana Publishing, 2018), h. 53.
Allah menjelaskan pada surah al-Hadiid ayat 20
Artinya: ketahuilah, bahwa Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan
dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan
tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan Para
petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu Lihat warnanya kuning kemudian menjadi
hancur. dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. dan
kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.[1]
Ketika tujuan manusia diciptakan untuk beribadah kepada-Nya, maka ia menjadikan seluruh
hidupnya dalam rangka lillahi Ta’ala (hanya untuk Allah). Hal itu bukan berarti ia harus mengisi
waktunya dengan salat atau berziki tanpa henti. Manusia harus menjalankan seluruh aspek
kehidupannya sesuai dengan tuntunan syariat yang dibebani kepadanya. Tuntutan itu dijalankannya
hanya sebagai sebuah pengabdian secara ikhlas kepada-Nya berdasarkan rida dan kehendak-Nya.
Semua yang dilakukan diniatkan untuk beribadah kepada Tuhan yang menciptakannya dan
menciptakan segala makhluk ini. Dengan sikap seperti ini maka ia akan selalu bisa memperbaiki
niat dan mengontrol perilakunya agar sesuai dengan kehendak Allah dan menjadi ibadah kepada-
Nya. [2]
Alam akhirat disebut juga alam baka, artinya alam akhir yang abadi, tiada berkesudahan.
Para ahli surge kekal di sana selama – lamanya, begitu juga orang kafir kekal di dalam neraka
selama-lamanya. Dari ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa tujuan akhir dari kehidupan manusia
(muslim dan mukmin) ialah mencapai rida Allah. Surge memang dambaan setiap mukmin muslim,
karena negeri itu sebaik – baik kediaman di akhirat. Akan tetapi Allah tidak akan memasukkan
orang – orang yang tidak di ridai-Nya, karena surga diperuntukkan bagi orang-orang yang mendapat
rida-Nya. Oleh sebab itu tepatlah apabila tujuan akhir hidup manusia muslim mukmin semata
menuntut rida Allah SWT yang direalisasikan dalam bentuk perjuangan menjalankan tugas dan
fungsi gandanya, khalifah dan beribadah. Tujuan hidup ini senantiasa diucapkan dalam pernyataan
yang ikhlas tiap kali nelakukan shalat. Allah berfirman dalam surah al-An’am ayat 162
[1]
Drs. Kaelany HD, M.A. Islam dan Aspek- Aspek Kemasyarakatan, (Jakarta, Bumi Aksara, 2005), h. 15
[2]
Dr. H. Husnel Anwar Matondang, M. Ag, Islam Kaffah, (Medan, Perdana Publishing, 2018), h. 54.
Artinya: Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk
Allah, Tuhan semesta alam.
Ikhlas adalah sikap seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan tulus hati, jujur dan
hati bersih. Tulus hati mencerminkan tiadanya tendensi. Jujur mencermikan tiadanya kepura-
puraan. Hati bersih mencerminkan pelaku berbuat dengan kondisi batin yang tak ternoda, tak
terkotori oleh apa pun. [3]
Setiap orang akan mendapatkan apa yang dia niatkan, jika niatnya baik (ikhlas) maka yang
dia terima adalah kebaikan dari Allah dan jika niatnya tidak baik, maka dia tidak akan menerima
kebaikan dari Allah.
Sebagaimana sabda Rasulullah saw yang berbunyi:
Senantiasa beramal dan bersungguh-sungguh dalam beramal, baik dalam keadaan sendiri
atau bersama orang banyak, baik ada pujian ataupun celaan.
Terjaga dari segala yang diharamkan Allah, baik dalam keadaan bersama manusia atau
jauh dari mereka
Dalam dakwah, akan terlihat bahwa seorang dai yang ikhlas akan merasa senang jika
kebaikan terealisasi di tangan saudaranya sesama dai, sebagaimana dia juga merasa senang
jika terlaksana oleh tangannya
[3]
Agoes Ali Masyhuri, Suara dari langit, (Jakarta, Zaman, 2015), hal 133
Rahmat Syafe’i, Al-Hadis Aqidah, Ahklak, Sosial dan Hukum, hal. 57.
[4]
[5]
Abdul Hamid Ritonga, Hadis seputar Islam dan Tata Kehidupan, hal 65.
Berdasarkan Uraian diatas, ditemukan bahwa niat ikhlas adalah pekerjaan hati. Ia harus ada didalam
ibadah formal kepada allah. Siapa pun tidak mengetahui hati seseorang kecuali ia sendiri dan
tuhannya. Allah berfirman didalam surah Ali Imran ayat 29 :
Seseorang yang ikhlas ibarat orang yang sedang membersihkan beras dari kerikil-kerikil
dan batu-batu kecil di sekitar beras. Maka, beras yang dimasak menjadi nikmat dimakan. Tetapi jika
beras itu masih kotor, ketika nasi dikunyah akan tergigit kerikil dan batu kecil. Demikianlah
keikhlasan, menyebabkan beramal menjadi nikmat, tidak membuat lelah, dan segala pengorbanan
tidak terasa berat. Sebaliknya, amal yang dilakukan dengan riya’ akan menyebabkan amal tidak
nikmat. Pelakunya akan mudah menyerah dan selalu kecewa.Tetapi banyak dari kita yang beribadah
tidak berlandaskan rasa ikhlas kepada Allah SWT, melainkan dengan sikap riya’ atau sombong
supaya mendapat pujian dari orang lain. Hal inilah yang dapat menyebabkan ibadah kita tidak
diterima oleh Allah SWT.
Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah,
Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan
aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)".
Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak menerima amalan kecuali jika (dilakukan)
dengan penuh keikhlasan serta ditujukan untuk mendapatkan ridha-Nya”.(Al Hadis). Karena itu
Imam Ali ra mengungkapkan bahwa orang yang ikhlas adalah orang yang memusatkan pikirannya
agar setiap amalnya diterima oleh Allah.[6]
[6]
(Quraish Shihab. 2002, hal: 256)
Sebagus apapun amal manusia bila tidak didasari keikhlasan maka akan sia-sia. Sebab, inti suatu
amal ada di dalam hati, sementara anggota tubuh adalah pengejewantahan dari hati. Selain harus
ikhlas, ibadah mesti mengikuti tuntunan yang diajarkan oleh Nabi saw. Jika ibadah formal tidak
mengikuti tuntunan tersebut maka ia sia-sia bahkan bagi orang-orang yang membuat ibadah tanpa
dalil akan mendapat ancaman api neraka. Nabi saw. Bersabda :
Ketika manusia sudah menjalankan perannya sebagai makhluk yang mengabdi kepada allah, maka
allah akan menjadikannya sebagai hamba allah yang bersyukur dan bertakwa. Ini merupakan
peringkat tertinggi yang diperoleh oleh hamba allah.
[7]
(HR Muslim, An-Nasaie, Ibnu Majah dan Ahmad)
[8]
(HR. Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718)
[9]
(HR. Muslim no. 1718)
BAB III
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
Manusia yang sempurna adalah manusia yang bisa memposisikan dirinya dan melaksanakan
tugasnya dengan baik yaitu sebagai khalifah dan ‘abid. Maksudnya antara khalifah dan ‘abid harus
seimbang, tidak boleh ada salah satu yang menonjol atau lebih atas. Apabila manusia berjalan hanya
sebagai khalifah, maka hidup terasa gersang. Jika manusia berjalan hanyalah seorang ‘abid, maka
kehidupan terasa hampa. Dan apabila manusia menjalankan kedua fungsinya dengan seksama,
maka akan mendapatkan kenikmatan yang luar biasa. Karena dalam kehidupan harus berjalan
secara berbarengan antara kebutuhan jasmani dan rohani, dan keduanya tidak boleh saling
berkontradiksi terlebih lagi dari keduanya lebih diutamakan kepentingannya dari yang satunya.
DAFTAR PUSTAKA
Drs. Kaelany HD, M.A, 2005, Islam & Aspek – Aspek Kemasyarakatan, Jakarta: Bumi
Aksara.
Dr. H. Husnel Anwar, 2017, Islam Kaffah, Medan : Perda Publishing
Shihab, M. Qurais. Membumikan Al-Qur’an, fungsi dan peran wahyu dalam kehidupan
masyarakat, (Bandung:Mizan, 2007)
https://yogiearieffadillah.wordpress.com/2013/06/04/makalah-manusia-dan-tanggung-jawab/
Drs. H. Hamdan Mansoer, dkk. 2003. Materi Instruksional Pendidikan Agama Islam Di
Perguruan Tinggi Umum. (Jakarta: Ditjen Dikti.
Rahmat Setiawan, 2015. Makna Khalifah Dan ‘Abid Sebagai Destinasi Manusia Di Bumi
(Aplikasi Hermenetika Gadamer). Jurnal Didaktika Islamika. Volume 6 Nomor 2.