Langkah VII: Melaporkan, membahas, dan menata informasi. Dalam penyusunan langkah
VII disesuaikan dengan skema pada langkah IV dan langkah V.
1
a. Trauma tumpul : trauma yang disebabkan oleh benda yang permukaannya
tidak mampu mengiris. Dua variasi utama dalam trauma tumpul adalah :
Benda tumpul yang bergerak pada korban yang diam.
Korban yang bergerak pada benda tumpul yang diam.
2. Trauma fisika
a. Suhu (panas atau dingin)
Padat
Cair
b. Listrik atau petir
AC
DC
3. Trauma Kimia
Asam kuat
Basa kuat
Trauma mekanik
Luka memar → diskontinuitas pembuluh darah dan jaringan di bawah kulit tanpa
rusaknya jaringan kulit.
Luka lecet → terjadi pada epidermis – gesekan dengan benda yang permukaannya
kasar.
Luka lecet tekan : arah kekerasan tegak lurus pada permukaan tubuh, epidermis yang
tertekan melesak kedalam.
Luka lecet geser → arah kekerasan miring membentuk sudut, epidermis terdorong dan
terkumpul pada tempat akhir gerak benda tersebut.
Luka lecet regang → diskontinuitas epidermis akibat peregangan yang letaknya sesuai
dengan garis kulit.
Luka robek → terjadi pada epidermis jaringan dibawahnya akibat kekerasan yang
mengenainya melebihi elastisitas kulit jaringan.
3
b. Senjata api
1) Kulit disekitar luka terbakar atau hitam karena asap.
2) Rambut disekitar luka hangus.
3) Pakaian yang menutupi luka hangus terbakar.
4) Warna hitam dan kelim tato lebih luar disekitar luka.
1. Trauma fisika
a. Suhu panas (luka bakar)
1) Eritem dengan ciri – ciri epidermis intak, kemereahan, sembuh tanpa
meninggalkan sikatriks.
2) Vesikel, bulla dan bleps dengan albumin atau NaCl tinggi.
3) Necrosis coagulativa dengan ciri- ciri warna coklat gelap hitam dan
sembuh dengan meninggalkan sikatriks (litteken).
4) Karbonisasi (sudah menjadi arang).
b. Trauma dingin (hipotermia dan frostbiteHipotermia)
1) Kulit pucat akibat vasokonstriksi kemerahan akibat vasodilatasi karena
paralisis vasomotor center.
2) Kulit berubah menjadi merah kehitaman, membengkak (skin blister),
gatal dan nyeri. Kemudian timbul gangren superfisial yang irreversibel.
2. Trauma kimia
a. Asam kuat → mengkoagulasikan protein → luka korosif yang kering, kertas
seperti kertas permanen.
b. Basa kuat → membentuk reaksi penyabunan → luka basah, licin → kerusakan
sampai kedalam.
2. Alur TRIAGE
Tatalaksana yang dilakukan saat menemukan korban adalah :
4
a. AAlert= Korban sadar penuh, tanpa diperlukan rangsangan apapun.
b. VVerbal= Korban sadar setelah mendapatkan rangsangan suara.
c. PPain= Korban sadar setelah mendapatkan rangsangan berupa nyeri atau
sakit.
d. UUnconscience= Korban tidak sadar setelah dilakukan berbagai usaha
seperti suara dan memberi nyeri.
SSend for help= Mencari bantuan kepada pihak medis seperti ambulance.
Setelah selesai melakukan DRS dapat dilanjutkan dengan melakukan metode START
untuk triase. Triase dilakukan untuk mengelompokan pasien manakah yang
memerlukan tindakan segera, tindakan kurang tidak segera, dan tindakan dapat ditunda.
5
Gambar 1. Alur triage dan penentuan prioritas 1, 2 ataupun 3
6
Tabel. 1 penentuan priortitas triage menggunakan sistem scoring
Variabel Score
Keterangan :
Score 0 : meninggal
7
Pada pemeriksaan tingkat kesadaran menggunakan Glasgow Coma Scale
didapatkan skor 15. Ini menunjukkan pasien dalam keadaan sadar penuh (compos
mentis), dimana pada ketiga komponen penilaian GCS didapat poin penuh (mata
spontan membuka dan mengedip, orientasi penuh dan respon motorik sesuai perintah).
Terdapat nafas cepat dan dangkal pada pasien menunjukkan adanya upaya
untuk meningkatan ventilasi. Peningkatan ventilasi ini merupakan usaha mengeluarkan
CO2 yang sudah berlebih di darah. Karbon dioksida akan mengalami serangkaian reaksi
kimiawi yang pada akhirnya menghasilkan ion hidrogen yang mempu merangsang
pusat pernapasan sentral dan menaikkan ventilasi. Pada pemeriksaan suara nafas
tambahan didapatkan: gurgling (-), snoring (-). Hal ini menunjukkan tidak terdapat
tumpukan cairan pada saluran pernapasan atas dan tidak adanya obstruksi parsial jalan
nafas.
Pemeriksaan vital sign menunjukkan adanya peningkatan frekuensi denyut nadi
(110x/menit), hipotensi (tekanan darah 100/70 mmHg), suhu dalam batas normal 370C
dan peningkatan frekuensi napas (respiratory rate 30x/menit).
Jejas pada hemithorax kanan menunjukkan adanya trauma di daerah dada
kanan. Pergerakan dada kanan tertinggal menunjukkan gerakan ekspansi dada yang
asimetris, dimana dada kanan memiliki ketidakmampuan untuk mengembang dan
mengempis sempurna saat respirasi. Pada pemeriksaan perkusi dada didapatkan hasil
hipersonor serta pemeriksaan auskultasi didapat suara nafas vesikuler menurun yang
menunjukkan adanya udara dalam jumlah besar yang terperangkap dan tidak bisa
keluar dari rongga thorax. Udara yang terperangkap ini dapat bergerak hingga ke
jaringan subkutan dan menyebabkan emfisema subkutis. Pada regio femur terdapat
luka sepanjang 3 cm, didapatkan perdarahan aktif, serta didapatkan adanya oedem,
deformitas, nyeri tekan, angulasi, fat globule dan krepitasi. Hasil penemuan ini
merupakan tanda-tanda terjadinya fraktur diperkirakan terjadi fraktur femur.
Fraktur yang terjadi pada tulang femur termasuk fraktur yang sering ditemui pada
praktik orthopaedi. Mengingat femur adalah tulang terbesar dan salah satu dari tulang
8
penahan beban utama di ekstremitas bawah, fraktur pada tulang femur dapat
mengakibatkan morbiditas yang panjang dan kecacatan ekstensif bila tata laksana tidak
adekuat.
Mekanisme trauma yang berkaitan dengan terjadinya fraktur pada femur antara lain
: (I) pada jenis Femoral Neck fraktur karena kecelakaan lalu lintas, jatuh pada tempat
yang tidak tinggi, terpeleset di kamar mandi dimana panggul dalam keadaan fleksi dan
rotasi, sering terjadi pada usia 60 tahun ke atas, biasanya tulang bersifat osteoporotik,
pada pasien awal menopause, alkoholism, merokok, berat badan rendah,
penatalaksanaan steroid, phenytoin, dan jarang berolahraga, merupakan trauma high
energy; (2) Femoral Trochanteric fraktur karena trauma langsung atau trauma yang
bersifat memuntir; (3) Femoral Shaft fraktur terjadi apabila pasien jatuh dalam posisi
kaki melekat pada dasar disertai putaran yang diteruskan ke femur. Fraktur bisa bersifat
transversal atan oblik karena trauma langsung atau angulasi. Fraktur patologis biasanya
terjadi akibat metastase tumor ganas. Bisa disertai perdarahan masif sehingga berakibat
syok.
Anatomi
Femur adalah salah satu dari tulang terbesar dan terkuat dalam tubuh manusia. Femur
dapat dibagi menjadi regio head, neck, intertrochanter, subtrochanter (5 cm distal
trochanter minor), shaft, supracondylar, and condylar.
9
Area metafiseal dimulai dari proksimal dengan regio subtrochanter dan berakhir di
distal dengan regio supracondylar dengan diafisis di antara keduanya. Pada posterior
femur terdapat linea aspera yang merupakan tempat perlekatan utama fascia. Femur
tidak lurus sempurna, femur memiliki lengkungan anterior. Tingkat lengkungan
bergam per orang, hal ini menjelaskan perlunya nail yang melengkung untuk menahan
reduksi.
Femur memiliki suplai vasular yang banyak, terutama dari arteri femoralis
profunda. Sebuah arteri nutrisi biasanya masuk sepanjang linea aspera di posterior dan
proksimal femur dan menyuplai sirkulasi endosteal. Sirkulasi endosteal mensuplai 2/3
sampai 3/4 korteks, membuat darah mengalir secara sentrifugal. Sirkulasi periosteal
masuk sebagian besar posterior sepanjang linea aspera.
Bila terjadi sebuah displaced fracture pembuluh medular terganggu dan pembuluh
periosteal mendominasi sebagai suplai vaskular ke tempat fraktur selama
penyembuhan awal. Sebagai respon terhadap fraktur, pembuluh periosteal
berproliferasi, sementara sirkulasi endosteal pulih lebih lambat. Dengan demikian
penggunaan nail yang berslot memungkinkan percepatan neovaskularisasi endosteal
dan pola aliran darah yang lebih normal. Pentingnya aliran darah periosteal dalam
penyembuhan juga menekankan pentingnya menghindari periosteal stripping terutama
sepanjang linea aspera.
Deformitas yang terjadi tergantung pada lokasi fraktur dan insersio dari otot paha
yang berbeda. Segmen proksimal femur berada pada gaya abduksi valgus oleh gluteus
minimus, medius, and maximus. Rotator eksternal pendek juga memberikan gaya pada
segmen proksimal fraktur. Komponen fleksi dan rotasi eksternal juga ada karena
perlekatan iliopsoas pada trochanter minor. Adduktor meliputi medial femur dan
memberikan gaya aksial dan varus pada femur. Beberapa dari gaya medial ini dilawan
10
oleh tension band effect dari fascia lata. Femur distal berada di bawah pengaruh fleksi
gastroknemius.
Klasifikasi
Fraktur tulang femur terdiri atas : Femoral Head fraktur, Femoral Neck fraktur,
Intertrochanteric frakiur, Subtrochanteric fraktur, Femoral Shaft fraktur,
Supracondylar/Intercondylar Femoral fraktur (Distal Femoral fraktur)
Masing-masing dari fraktur tersebut di atas memiliki klasifikasi sendiri. Untuk fraktur
shaft femur terdapat klasifikasi sebagai berikut:
(1) Tipe A : Simple fraktur, antara lain fraktur spiral, oblik, transversal;
Klasifikasi Winquist-Hansen
11
Klasifikasi OTA
Klasifikasi Winquist-Hansen
Klasifikasi AO
1
A1 simple fracture, spiral
1. Subtrochanteric zone
2. Middle zone
3. Distal zone
A2 simple fracture, oblique (30° or more)
1. Subtrochanteric zone
2. Middle zone
3. Distal zone
A3 simple fracture, transverse (<30 °)
1. Subtrochanteric zone
2. Middle zone
3. Distal zone
2
2. With 1 intermediate segmental and additional wedge fragment(s)
3. With 2 intermediate segmental fragments
C3 complex fracture, irregular
1. With 2 or 3 intermediate fragments
2. With limited shattering (<5 cm)
3. With extensive shattering (5 cm or more)
Pada fraktur shaft femur, paha pasien akan membengkak karena perdarahan
internal, ditandai dengan deformitas dan instabilitas. Diagnosisnya terlihat jelas
secara klinis sehingga pemeriksaan radiografis sebaiknya ditunda sampai
pembidaian faktur dan usaha resusitasi telah dilakukan.
Penatalaksanaan/Indikasi Operasi
Pada anak usia 5 sampai 10 tahun ditata laksana dengan traksi kulit dan pulang
dengan hemispica gips. Sedangkan usia 10 tahun ke atas ditatalaksana dengan
pemasangan intamedullary nails atau plate dan screw.
Untuk fraktur femur dewasa, tipe Femoral Head, prinsipnya adalah reduksi
dulu dislokasi panggul. Pipkin 1, II post reduksi dipenatalaksanaan dengan touch
down weight-bearing 4-6 minggu. Pipkin I, 11 dengan peranjakan >1mm
dipenatalaksanaan dengan ORIF. Pipkin 111 pada dewasa muda dengan ORIF,
sedangkan pada dewasa tua dengan endoprothesis. Pipkin IV dipenatalaksanaan
dengan cara yang sama pada fraktur acetabulum.
3
Tipe Femoral Neck, indikasi konservatif sangat terbatas. Konservatif berupa
pemasangan skin traksi selama 12-16 minggu. Sedangkan operatif dilakukan
pemasangan pin, plate dan screw atau arthroplasti (pada pasien usia >55 tahun),
berupa eksisi arthroplasti, hemiarthroplasti dan arthtroplasti total.
Kontraindikasi Operasi
4
Pada pasien dengan fraktur terbuka, diperlukan debridement hingga cukup bersih
untuk dilakukan pemasangan ORIF. Kontraindikasi untuk traksi, adanya
thrombophlebitis dan pneumonia. Atau pada pasien yang kondisi kesehatan tidak
memungkinkan untuk operasi
Pemeriksaan Penunjang
Komplikasi
Mortalitas
Follow Up
5
anterior bowing. Periksa denan roentgen tiap 2 hari sampai accepted, kemudian
tiap 2 minggu. Jika tercapai clinical union, maka dilakukan weight bearing, half
weight bearing dan non weight bearing dengan jarak tiap 4 minggu.
Sedangkan untuk follow up pasca operatif, minggu pertama kaki fleksi dan
ektensi, kemudian minggu selanjutnya miring-miring. Minggu ke-2 jalan dengan
tongkat dan isotonik quadricep. Fungsi lutut harus pulih dalam 6 minggu.
Pada pasien anak, follow up dengan roentgen, jika sudah terjadi clinical union,
pasang hemispica dan pasien boleh kontrol poliklinik.
Penanganan
Tanpa penyulit konservatif atau
operatif menggunakan
Fraktur diafisis Kuntscher nail
shaft femur
daerah isthmus
Rujuk spesialis
Dengan penyulit Orthopaedi dan
Traumatologi
Penanganan dispnea
6
Disebut gagal napas akut bila pada pemeriksaan analisis gas darah
didapatkan PaO2 <50 mmHg atau PaCO2 >50 mmHg dengan pH di bawah
normal. Periksa orofaring untuk memastikan saluran napas tidak tersumbat karena
pembengkakan atau suatu benda asing. Intubasi endotrakeal dilakukan apabila
pasien mengalami henti napas atau mengarah ke gagal napas progresif.
Oksigen harus diberikan kecuali ada bukti bahwa retensi CO2 akan
memburuk karena tingginya fraksi oksigen (FIO2) yang diberikan. Sisten ventury
mask delivery dengan FIO2 sebesar 24 atau 28% biasanya aman. Tujuan terapi
oksigen adalah mempertahankan PaO2 sebesar 60-70 mmHg dengan kenaikan
CO2 minimal.
7
4. Latihan sendiri atau dengan rehabilitasi paru
a. Meningkatkan kemampuan mengurus diri sendiri
b. Memperbaiki efisiensi gerakan
c. Desensitisasi dispnea
II. Tujuan
Mengeluarkan cairan dari rongga pleura.
III. Indikasi
Pasien dengan efusi pleura
IV. Kontraindikasi
1) Pasien dengan terapi antikoagulan
2) Koagulapathy
3) Thrombositopenia
V. Persiapan
A. Pasien :
8
B. Alat dan Bahan :
VII. Desinfeksi
Kulit dibersihkan dengan povidon iodin dan sisanya dibersihkan
dengan alkohol, dipasang duk steril, pada lapang operasi.
IX. Anestesia
Dengan lidocain 1% atau 2% sebanyak 2–4 cc, infiltrasi mulai dari
kulit, subcutan diteruskan kedalam secara perlahan sampai cavum pleura.
9
X. Tehnik Aspirasi Pleura:
1. Mencuci tangan sebelum tindakan dan menggunakan handscoen selama
tindakan.
2. Tangan kiri memegang/ memfiksir intercosta (tempat yang telah ditentukan)
dan tangan kanan memegang jarum yang tersambung dengan three
waystopcok dengan selang infusnya.
3. Jarum ditusukan pada tempat yang telah dianestesi.
4. Spuit 50 cc dhubungkan dengan three waystopcok dan dilakukan
penyedotan secara perlahan, bila spuit terisi penuh, cairan dibuang dst.
5. Bila dianggap cukup, jarum dilepas. Jumlah cairan diambil sebanyak
mungkin/ sampai habis, selama keadaan umum penderita baik ( 1000 – 1500
cc dihentikan).
6. Aspirasi dihentikan apabila ada tanda-tanda batuk, sesak nafas, nyeri dada,
presyok/ syok.
7. Bekas luka jarum diberi alkohol/ povidon iodine dan kemudian ditutup kain
kassa steril dan diplester.
8. Spesimen cairan pleura diperiksakan :
a. Mikrobiologi (ditampung steril).
b. Sitologi (cairan pleura dicampur dengan alkohol 70%).
c. Analisa ( PH, Protein, Rivalta, LDH, Glukosa, Sel PMN dan MN).
10
d. Trombosit (platelet)
e. Eritrosit (Red Blood Cell / RBC)
f. Indeks Eritrosit (MCV, MCH, MCHC)
g. Laju Endap Darah atau Erithrocyte Sedimentation Rate (ESR)
h. Hitung Jenis Leukosit (Diff Count)
i. Platelet Disribution Width (PDW)
j. Red Cell Distribution Width (RDW)
11
Deskripsi: Mengukur secara langsung kelainan secara potensial dalam
sistem tromboplastin ekstrinsik (fibrinogen, protrombin, faktor V, VII dan
X).
a. aPTT (activated Partial Thromboplastin Time)
Nilai normal : 21 – 45 detik ( dapat bervariasi antar laboratorium).
Rentang terapeutik selama terapi heparin biasanya 1,5 – 2,5 kali nilai
normal (bervariasi antar laboratorium) (Herawati., 2011).
12
Gambar 1. Foto Thoraks Lateral Sinister Normal.
13
Gambar 3. Foto Thoraks Anteroposterior Normal.
14
Gambar 5. Foto X-Ray Femur dan Artikulasio Coxae Anteroposterior normal.
15
7. Primary Survey dan Secondary Survey
A. PRIMARY SURVEY
B. SECONDARY SURVEY / Survey Sekunder
A. Pemeriksaan kepala :
1. Kelainan kulit kepala dan bola mata
2. Telinga bagian luar dan membrana timpani
3. Cedera jaringan lunak periorbital
B. Pemeriksaan leher
1. Luka tembus leher
2. Emfisema subkutan
3. Deviasi trachea
4. Vena leher yang mengembang
C. Pemeriksaan neurologis
1. Penilaian fungsi otak dengan Glasgow Coma Scale (GCS)
2. Penilaian fungsi medula spinalis dengan aktivitas motorik
3. Penilaian rasa raba / sensasi dan refleks
D. Pemeriksaan dada
1. Clavicula dan semua tulang iga
2. Suara napas dan jantung
3. Pemantauan ECG (bila tersedia)
E. Pemeriksaan rongga perut (abdomen)
1. Luka tembus abdomen memerlukan eksplorasi bedah
2. Pada pasien trauma tumpul abdomen maka dapat dipasang dengan pipa
nasogastrik kecuali bila ada trauma wajah
16
3. Periksa dubur (rectal toucher)
4. Pasang kateter kandung seni jika tidak ada darah di meatus externus
17
tusuk yang relatif bersih akibat tusukan fragmen tulang yang tajam melalui
kulit. Kerusakan jaringan lunak pada tipe I ini ringan dan tidak ditemukan
tanda-tanda crush injury. Konfigurasi frakturnya dapat berupa fraktur
sederhana, transverse, atau short oblique dengan kominusi yang minimal
(Gustillo, 1990).
Pada fraktur terbuka tipe II, luka berukuran lebih dari 1 cm tanpa
disertai dengan kerusakan jaringan lunak yang luas, flap, maupun avulsi. Pada
tipe ini juga ditemukan tanda-tanda crush injury ringan hingga sedang, dengan
kontaminasi menengah. Konfigurasi frakturnya disertai dengan kominusi
yang menengah (Gustillo, 1990).
Fraktur terbuka tipe III ditandai dengan kerusakan jaringan lunak yang
luas, meliputi otot, kulit, dan struktur neurovaskuler. Konfigurasi fraktur pada
tipe ini disertai dengan derajat kominusi yang berat. Fraktur terbuka pada tipe
ini dapat dibagi menjadi tiga subtipe. Pada tipe IIIA, walaupun disertai dengan
laserasi yang luas, pembentukan flap dan derajat kominusi fraktur yang berat,
namun jaringan lunak masih dapat menutupi daerah faktur secara adekuat.
Pada subtipe ini termasuk fraktur kominutif atau segmental akibat high energy
trauma tanpa menghiraukan ukuran dari luka. Fraktur terbuka tipe IIIB
berhubungan dengan cedera yang luas atau kehilangan jaringan lunak, disertai
dengan periosteal stripping dan bone expose, kontaminasi yang masif, dan
derajat kominusi yang berat. Setelah dilakukan debridement dan irigasi,
segmen tulang masih terekspos dan membutuhkan flap untuk menutupinya.
Pada tipe IIIC meliputi semua fraktur terbuka yang disertai dengan cedera
vaskular yang harus diperbaiki, tanpa memperhatikan derajat cedera pada
jaringan lunak (Gustillo, 1990).
B. Fraktur Tertutup
Fraktur tertutup adalah fraktur yang tidak menyebabkan robekan pada
kulit dan tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar.
1. Klasifikasi Fraktur Tertutup
Berdasarkan sistem klasifikasi Tscherne fraktur tertutup dapat dibagi
menjadi beberapa derajat yaitu:
18
Grade 0 ● Tanpa cedera atau cedera minimal
pada jaringan lunak di sekitarnya
● Pola fraktur transversal
● Akibat trauma yang terjadi secara
tidak langsung (torsi pada
ekstremitas)
19
DAFTAR PUSTAKA
Duggan, S., Tillotson, L. and McCann, P. (2011) ‘Routine Laboratory Tests in Adult
Trauma: Are they Necessary?’, The Bulletin of the Royal College of Surgeons of
England, 93(7), pp. 266–272. doi: 10.1308/147363511X580402.
Gustilo, RB, Merkow, RL & Templeman, D 1990, 'The management of open fractures'
Journal of Bone and Joint Surgery - Series A, vol 72, no. 2, pp. 299-304.
Ibrahim, D., Swenson, A., Sassoon, A. and Fernando, N. (2016). Classifications In Brief:
The Tscherne Classification of Soft Tissue Injury. Clinical Orthopaedics and Related
Research®, 475(2), pp.560-564.
Kilner T; Triage decisions of prehospital emergency health care providers, using a multiple
casualty scenario paper exercise. Emerg Med J. 2002 Jul19(4):348-53.
Wilkinson and Skinner. 2000. A Manual for Trauma Management in District and
Remote Locations. UK : Primary Trauma Care Fondation
https://www.rch.org.au/rchcpg/hospital_clinical_guideline_index/Chest_Drain_Manage
ment/
https://www.rch.org.au/clinicalguide/guideline_index/Chest_Drain_Intercostal_Catheter
_Insertion/
https://www.rch.org.au/clinicalguide/guideline_index/Thoracocentesis/
http://www.start‐triage.com
20