Anda di halaman 1dari 31

Langkah VI: Mengumpulkan informasi baru dengan belajar mandiri

Langkah VII: Melaporkan, membahas, dan menata informasi. Dalam penyusunan langkah
VII disesuaikan dengan skema pada langkah IV dan langkah V.

1. Macam – macam jenis trauma (kurang punya Ghina)


A. PENGERTIAN TRAUMA
Trauma berasal dari bahasa Yunani yang berarti luka. Kata tersebut digunakan untuk
menggambarkan situasi akibat peristiwa yang dialami seseorang. Para Psikolog
menyatakan trauma dalam istilah psikologi berarti suatu benturan atau suatu kejadian
yang dialami seseorang dan meninggalkan bekas. Biasanya bersifat negative, dalam
istilah psikologi disebut post-traumatic syndrome disorder.
Ada tiga ciri khas trauma yaitu:
1. Adanya luka.
2. Pendarahan atau skar.
3. Hambatan dalam fungsi organ.

B. MACAM-MACAM PENYAKIT TRAUMA

Secara umum trauma di bagi menjadi 3 yaitu :

1. Trauma yang disebabkan oleh manusia (human-made). Contohnya :


perkelahian,pemerkosaan,terorisme,penculikan,korupsi,demonstrasi,kekerasan
rumah tangga,dll. Di dalam trauma ini setidaknya melibatkan dua orang yang satu
menjadi korban,dan yang satu menjadi pelaku.
2. Trauma yang disebabkan oleah alam (nature-caused). contohnya : gempa bumi,
tsunami, gunung meletus, dll. Tapi ada juga bencana alam yang diakibatkan oleh
manusia itu sendiri, contohnya : banjir, tanah longsor.
3. Trauma akibat penyakit. Contohnya : HIV, malaria, TBC, dll. yang mengalami
trauma tidak hanya pasien, tetapi juga keluarga pasien tersebut.

Klasifikasi trauma berdasarkan sifat dan penyebab trauma :


1. Trauma mekanik

1
a. Trauma tumpul : trauma yang disebabkan oleh benda yang permukaannya
tidak mampu mengiris. Dua variasi utama dalam trauma tumpul adalah :
 Benda tumpul yang bergerak pada korban yang diam.
 Korban yang bergerak pada benda tumpul yang diam.

Sifat luka akibat persentuhan dengan permukaan tumpul :


 Memar (kontusio, hematom).
 Luka lecet, luka lecet di bagi menjadi dua, yaitu : luka lecet tekan
dan luka lecet geser .
 Luka robek.
 Patah tulang .
b. Trauma tajam : trauma yang disebabkan oleh benda yang permukaannya
mampu untuk mengiris sehingga kontinuitas jaringan hilang. Sifat luka
dalam trauma tajam yaitu :
 luka iris.
 luka tusuk.
 luka bacok.
c. Senjata api.

2. Trauma fisika
a. Suhu (panas atau dingin)
 Padat
 Cair
b. Listrik atau petir
 AC
 DC
3. Trauma Kimia
 Asam kuat
 Basa kuat

C. PROSES PENYAKIT TRAUMA


2
Transmisi energi pada trauma dapat menyebabkan kerusakan tulang, pembuluh darah
dan organ termasuk fraktur, laserasi, kontusi, dan gangguan pada semua sistem
organ,sehingga tubuh melakukan kompensasi akibat ada trauma bila k ompensasi tubuh
tersebut berlanjut tanpa dilakukan penanganan akan mengakibatkan kematian
seseorang.

Trauma mekanik

Trauma tumpul,akibat luka :

Luka memar → diskontinuitas pembuluh darah dan jaringan di bawah kulit tanpa
rusaknya jaringan kulit.

Teraba menonjol → pengumpulan darah dijaringan pembuluh darah rusak.

Bentuk luka → menyerupai benda yang mengenai.

Luka lecet → terjadi pada epidermis – gesekan dengan benda yang permukaannya
kasar.

Luka lecet tekan : arah kekerasan tegak lurus pada permukaan tubuh, epidermis yang
tertekan melesak kedalam.

Luka lecet geser → arah kekerasan miring membentuk sudut, epidermis terdorong dan
terkumpul pada tempat akhir gerak benda tersebut.

Luka lecet regang → diskontinuitas epidermis akibat peregangan yang letaknya sesuai
dengan garis kulit.

Luka robek → terjadi pada epidermis jaringan dibawahnya akibat kekerasan yang
mengenainya melebihi elastisitas kulit jaringan.

a . Trauma tajam, akibat luka :


1) Luka iris → dalam luka lebih kecil dari pada panjang irisan luka.
2) Luka tusuk → dalam luka lebih besar atau lebih dalam dari pada panjang
luka.
3) Luka bacok → dalam luka kurang lebih sama dengan panjang luka.

3
b. Senjata api
1) Kulit disekitar luka terbakar atau hitam karena asap.
2) Rambut disekitar luka hangus.
3) Pakaian yang menutupi luka hangus terbakar.
4) Warna hitam dan kelim tato lebih luar disekitar luka.

1. Trauma fisika
a. Suhu panas (luka bakar)
1) Eritem dengan ciri – ciri epidermis intak, kemereahan, sembuh tanpa
meninggalkan sikatriks.
2) Vesikel, bulla dan bleps dengan albumin atau NaCl tinggi.
3) Necrosis coagulativa dengan ciri- ciri warna coklat gelap hitam dan
sembuh dengan meninggalkan sikatriks (litteken).
4) Karbonisasi (sudah menjadi arang).
b. Trauma dingin (hipotermia dan frostbiteHipotermia)
1) Kulit pucat akibat vasokonstriksi kemerahan akibat vasodilatasi karena
paralisis vasomotor center.
2) Kulit berubah menjadi merah kehitaman, membengkak (skin blister),
gatal dan nyeri. Kemudian timbul gangren superfisial yang irreversibel.
2. Trauma kimia
a. Asam kuat → mengkoagulasikan protein → luka korosif yang kering, kertas
seperti kertas permanen.
b. Basa kuat → membentuk reaksi penyabunan → luka basah, licin → kerusakan
sampai kedalam.

2. Alur TRIAGE
Tatalaksana yang dilakukan saat menemukan korban adalah :

D Danger= Menempatkan pasien ke tempat yang aman, sebelum melakukan


tindakan.
RRespond= Mencari tahu kesadaran dari pasien dapat dilakukan dengan.

4
a. AAlert= Korban sadar penuh, tanpa diperlukan rangsangan apapun.
b. VVerbal= Korban sadar setelah mendapatkan rangsangan suara.
c. PPain= Korban sadar setelah mendapatkan rangsangan berupa nyeri atau
sakit.
d. UUnconscience= Korban tidak sadar setelah dilakukan berbagai usaha
seperti suara dan memberi nyeri.

SSend for help= Mencari bantuan kepada pihak medis seperti ambulance.

Setelah selesai melakukan DRS dapat dilanjutkan dengan melakukan metode START
untuk triase. Triase dilakukan untuk mengelompokan pasien manakah yang
memerlukan tindakan segera, tindakan kurang tidak segera, dan tindakan dapat ditunda.

5
Gambar 1. Alur triage dan penentuan prioritas 1, 2 ataupun 3

6
Tabel. 1 penentuan priortitas triage menggunakan sistem scoring

Variabel Score

Tekanan Darah Sistolik >90 4


(mmHg)
76-89 3
50-75 2
1-49 1
0 0
GCS 13-15 4
9-12 3
6-8 2
4-5 1
3 0
Respiratory rate 10-29 4
(kali/menit)
>29 3
6-9 2
1-5 1
0 0

Keterangan :

Score 1-10 : prioritas 1 (merah)

Score 11 : prioritas 2 (kuning)

Score 12 : prioritas 3 (hijau)

Score 0 : meninggal

Tatalaksana pada Pneumothorak adalah dengan melakukan Thorakosintesis yang


dapat dilakukan pada SIC 2. Kenapa dilakukan pada SIC 2 ? Karena pada
Thorakosintesis yang menyebabkan gangguan adalah karena adanya gas atau udara
di cavum pleura. Sedangkan tindakan pemasangan kateter pada pleura
diindikasikan apabila ditemukan adanya Hemothorax, Chylothorax yang
dilakukan pada SIC 5- SIC 7.

3. Intepretasi dari pemeriksaan fisik pasien

7
Pada pemeriksaan tingkat kesadaran menggunakan Glasgow Coma Scale
didapatkan skor 15. Ini menunjukkan pasien dalam keadaan sadar penuh (compos
mentis), dimana pada ketiga komponen penilaian GCS didapat poin penuh (mata
spontan membuka dan mengedip, orientasi penuh dan respon motorik sesuai perintah).
Terdapat nafas cepat dan dangkal pada pasien menunjukkan adanya upaya
untuk meningkatan ventilasi. Peningkatan ventilasi ini merupakan usaha mengeluarkan
CO2 yang sudah berlebih di darah. Karbon dioksida akan mengalami serangkaian reaksi
kimiawi yang pada akhirnya menghasilkan ion hidrogen yang mempu merangsang
pusat pernapasan sentral dan menaikkan ventilasi. Pada pemeriksaan suara nafas
tambahan didapatkan: gurgling (-), snoring (-). Hal ini menunjukkan tidak terdapat
tumpukan cairan pada saluran pernapasan atas dan tidak adanya obstruksi parsial jalan
nafas.
Pemeriksaan vital sign menunjukkan adanya peningkatan frekuensi denyut nadi
(110x/menit), hipotensi (tekanan darah 100/70 mmHg), suhu dalam batas normal 370C
dan peningkatan frekuensi napas (respiratory rate 30x/menit).
Jejas pada hemithorax kanan menunjukkan adanya trauma di daerah dada
kanan. Pergerakan dada kanan tertinggal menunjukkan gerakan ekspansi dada yang
asimetris, dimana dada kanan memiliki ketidakmampuan untuk mengembang dan
mengempis sempurna saat respirasi. Pada pemeriksaan perkusi dada didapatkan hasil
hipersonor serta pemeriksaan auskultasi didapat suara nafas vesikuler menurun yang
menunjukkan adanya udara dalam jumlah besar yang terperangkap dan tidak bisa
keluar dari rongga thorax. Udara yang terperangkap ini dapat bergerak hingga ke
jaringan subkutan dan menyebabkan emfisema subkutis. Pada regio femur terdapat
luka sepanjang 3 cm, didapatkan perdarahan aktif, serta didapatkan adanya oedem,
deformitas, nyeri tekan, angulasi, fat globule dan krepitasi. Hasil penemuan ini
merupakan tanda-tanda terjadinya fraktur diperkirakan terjadi fraktur femur.

4. Tatalaksana fraktur femur dan sesak napas


Introduksi

Fraktur yang terjadi pada tulang femur termasuk fraktur yang sering ditemui pada
praktik orthopaedi. Mengingat femur adalah tulang terbesar dan salah satu dari tulang

8
penahan beban utama di ekstremitas bawah, fraktur pada tulang femur dapat
mengakibatkan morbiditas yang panjang dan kecacatan ekstensif bila tata laksana tidak
adekuat.

Mekanisme trauma yang berkaitan dengan terjadinya fraktur pada femur antara lain
: (I) pada jenis Femoral Neck fraktur karena kecelakaan lalu lintas, jatuh pada tempat
yang tidak tinggi, terpeleset di kamar mandi dimana panggul dalam keadaan fleksi dan
rotasi, sering terjadi pada usia 60 tahun ke atas, biasanya tulang bersifat osteoporotik,
pada pasien awal menopause, alkoholism, merokok, berat badan rendah,
penatalaksanaan steroid, phenytoin, dan jarang berolahraga, merupakan trauma high
energy; (2) Femoral Trochanteric fraktur karena trauma langsung atau trauma yang
bersifat memuntir; (3) Femoral Shaft fraktur terjadi apabila pasien jatuh dalam posisi
kaki melekat pada dasar disertai putaran yang diteruskan ke femur. Fraktur bisa bersifat
transversal atan oblik karena trauma langsung atau angulasi. Fraktur patologis biasanya
terjadi akibat metastase tumor ganas. Bisa disertai perdarahan masif sehingga berakibat
syok.

Anatomi

Femur adalah salah satu dari tulang terbesar dan terkuat dalam tubuh manusia. Femur
dapat dibagi menjadi regio head, neck, intertrochanter, subtrochanter (5 cm distal
trochanter minor), shaft, supracondylar, and condylar.

Struktur paha juga dapat dibagi menjadi beberapa kompartemen. Dalam


kompartemen anterior terdpat otot-otot quadriceps femoris, sartorius, psoas, iliacus,
pectineus, dan arteri, vena, dan nervus femoralis sepanjang nervus kutaneus femoralis
lateralis. Kompartemen medial meliputi otot-otot gracilis, adductor brevis and longus,
adductor magnus, obturator externus, arteri dan vena femoris profunda, dan arteri,
vena, dan nervus obturator. Kompartemen posterior meliputi otot-otot semitendinosus,
semimembranosus, biceps femoris, beberapa bagian adductor magnus, cabang
perforantes arteri femoralis profunda, nervus sciatikus, and nervus kutaneus femoralis
posterior.

9
Area metafiseal dimulai dari proksimal dengan regio subtrochanter dan berakhir di
distal dengan regio supracondylar dengan diafisis di antara keduanya. Pada posterior
femur terdapat linea aspera yang merupakan tempat perlekatan utama fascia. Femur
tidak lurus sempurna, femur memiliki lengkungan anterior. Tingkat lengkungan
bergam per orang, hal ini menjelaskan perlunya nail yang melengkung untuk menahan
reduksi.

Femur memiliki suplai vasular yang banyak, terutama dari arteri femoralis
profunda. Sebuah arteri nutrisi biasanya masuk sepanjang linea aspera di posterior dan
proksimal femur dan menyuplai sirkulasi endosteal. Sirkulasi endosteal mensuplai 2/3
sampai 3/4 korteks, membuat darah mengalir secara sentrifugal. Sirkulasi periosteal
masuk sebagian besar posterior sepanjang linea aspera.

Sirkulasi periosteal hampir seluruhnya diarahkan sirkumferensial, dengan sedikit


atau tanpa penyebaran longitudinal. Sehingga wire kecil dapat dipasang sekitar femur
tanpa bahaya devaskularisasi sebuah area, namun pita besar sebaiknya dihindari.
Sirkulasi periosteal diperkirakan hanya melayani seperemat luar korteks. Naun
demikian, sirkulasi periosteal penting untuk penyembuahn fraktur di diafisis.

Bila terjadi sebuah displaced fracture pembuluh medular terganggu dan pembuluh
periosteal mendominasi sebagai suplai vaskular ke tempat fraktur selama
penyembuhan awal. Sebagai respon terhadap fraktur, pembuluh periosteal
berproliferasi, sementara sirkulasi endosteal pulih lebih lambat. Dengan demikian
penggunaan nail yang berslot memungkinkan percepatan neovaskularisasi endosteal
dan pola aliran darah yang lebih normal. Pentingnya aliran darah periosteal dalam
penyembuhan juga menekankan pentingnya menghindari periosteal stripping terutama
sepanjang linea aspera.

Deformitas yang terjadi tergantung pada lokasi fraktur dan insersio dari otot paha
yang berbeda. Segmen proksimal femur berada pada gaya abduksi valgus oleh gluteus
minimus, medius, and maximus. Rotator eksternal pendek juga memberikan gaya pada
segmen proksimal fraktur. Komponen fleksi dan rotasi eksternal juga ada karena
perlekatan iliopsoas pada trochanter minor. Adduktor meliputi medial femur dan
memberikan gaya aksial dan varus pada femur. Beberapa dari gaya medial ini dilawan

10
oleh tension band effect dari fascia lata. Femur distal berada di bawah pengaruh fleksi
gastroknemius.

Klasifikasi

Fraktur tulang femur terdiri atas : Femoral Head fraktur, Femoral Neck fraktur,
Intertrochanteric frakiur, Subtrochanteric fraktur, Femoral Shaft fraktur,
Supracondylar/Intercondylar Femoral fraktur (Distal Femoral fraktur)

Masing-masing dari fraktur tersebut di atas memiliki klasifikasi sendiri. Untuk fraktur
shaft femur terdapat klasifikasi sebagai berikut:

(1) Tipe A : Simple fraktur, antara lain fraktur spiral, oblik, transversal;

(2) Tipe B : wedge/butterfly comminution fraktur;

(3) Tipe C : Segmental communition

Klasifikasi Winquist-Hansen

(1) Type 0 : no communition;

(2) Tipe 1: 25% butterfly;

(3) Tipe 2 : 25-50% butterfly;

11
Klasifikasi OTA

(1) Tipe A : Simple fraktur, antara


lain fraktur spiral, oblik,
transversal;

(2) Tipe B : wedge/butterfly


comminution fraktur; (3) Tipe C :
Segmental communition

Klasifikasi Winquist-Hansen

(1) Type 0 : no communition;

(2) Tipe 1: 25% butterfly;

(3) Tipe 2 : 25-50% butterfly;

(4) Tipe 3 : >50% communition;

(5) tipe segmental ;

(6) Tipe 5 : segmental dengan bone


loss

Klasifikasi AO

1
 A1 simple fracture, spiral
1. Subtrochanteric zone
2. Middle zone
3. Distal zone
 A2 simple fracture, oblique (30° or more)
1. Subtrochanteric zone
2. Middle zone
3. Distal zone
 A3 simple fracture, transverse (<30 °)
1. Subtrochanteric zone
2. Middle zone
3. Distal zone

 B1 wedge fracture, spiral wedge


1. Subtrochanteric zone
2. Middle zone
3. Distal zone
 B2 wedge fracture, bending wedge
1. Subtrochanteric zone
2. Middle zone
3. Distal zone
 B3 wedge fracture, fragmented wedge
1. Subtrochanteric zone
2. Middle zone
3. Marked displacement

 C1 complex fracture, spiral


1. With 2 intermediate fragments
2. With 3 intermediate fragments
3. With more than 3 intermediate fragments
 C2 complex fracture, segmental
1. With 1 intermediate segmental fragment

2
2. With 1 intermediate segmental and additional wedge fragment(s)
3. With 2 intermediate segmental fragments
 C3 complex fracture, irregular
1. With 2 or 3 intermediate fragments
2. With limited shattering (<5 cm)
3. With extensive shattering (5 cm or more)

Untuk penegakkan diagnosis diperlukan diperlukan pemeriksaan fisik. Pada


fraktur tipe femoral neck dan trochanteric, ditemukan pemendekan dan rotasi
eksternal. Selain itu ditemukan nyeri dan bengkak. Juga dinilai gangguan sensoris
daerah jam I dan II, juga pulsasi arteri distal.

Pada fraktur shaft femur, paha pasien akan membengkak karena perdarahan
internal, ditandai dengan deformitas dan instabilitas. Diagnosisnya terlihat jelas
secara klinis sehingga pemeriksaan radiografis sebaiknya ditunda sampai
pembidaian faktur dan usaha resusitasi telah dilakukan.

Penatalaksanaan/Indikasi Operasi

Pada fraktur femur anak, dilakukan penatalaksanaan berdasarkan tingkatan usia.


Pada anak usia baru lahir hingga 2 tahun dilakukan pemasangan bryant traksi.
Sedangkan usia 2 sampal 5 tahun dilakukan pemasangan hamilton-russel traction.
Anak diperbolehkan pulang dengan hemispica.

Pada anak usia 5 sampai 10 tahun ditata laksana dengan traksi kulit dan pulang
dengan hemispica gips. Sedangkan usia 10 tahun ke atas ditatalaksana dengan
pemasangan intamedullary nails atau plate dan screw.

Untuk fraktur femur dewasa, tipe Femoral Head, prinsipnya adalah reduksi
dulu dislokasi panggul. Pipkin 1, II post reduksi dipenatalaksanaan dengan touch
down weight-bearing 4-6 minggu. Pipkin I, 11 dengan peranjakan >1mm
dipenatalaksanaan dengan ORIF. Pipkin 111 pada dewasa muda dengan ORIF,
sedangkan pada dewasa tua dengan endoprothesis. Pipkin IV dipenatalaksanaan
dengan cara yang sama pada fraktur acetabulum.

3
Tipe Femoral Neck, indikasi konservatif sangat terbatas. Konservatif berupa
pemasangan skin traksi selama 12-16 minggu. Sedangkan operatif dilakukan
pemasangan pin, plate dan screw atau arthroplasti (pada pasien usia >55 tahun),
berupa eksisi arthroplasti, hemiarthroplasti dan arthtroplasti total.

Fraktur Trochanteric yang tidak bergeser dilakukan penatalaksanaan


konservatif dan yang bergeser dilakukan ORIF.

Penanganan konservatif dapat dilakukan pada supracondylar dan


intercondylar, femur atau proksimal tibia. Beban traksi disesuaikan sampai terjadi
re-alignment dan posisi lutut turns selama 12 minggu. Sedangkan untuk
intercondylar, untuk penatalaksanaan konservatif, beban traksi 6 kg, selama 12-
14 minggu.

Fraktur shaft femur bisa dilakukan ORIF dan penatalaksanaan konservatif.


Penatalaksanaan konsevatif hanya bersifat untuk mengurangi spasme, reposisi
dan immobilisasi. Indikasi pada anak dan remaja, level fraktur terlalu distal atau
proksimal dan fraktur sangat kominutif. Pada anak, cast bracing dilakukan bila
terjadi clinical union.

Penalatalaksanaan operatif fraktur shaft femur termasuk fiksasi interna dengan


Kuntscher-Nail. Meskipun union tidak dipercepat namun farktur dicegah dari
angulasi atau pemendekan selama belum terjadi konsolidasi. Mengingat beberapa
risiko yang harus dipertimbangkan, terutama infeksi, pemasangan ail
intramedular tidak boleh dianggap “enteng” atau hanya untuk kenyamanan pasien
atau ahli bedah. Indikasi tegas untuk operasi prosedur tersebut adalah:

1. Gagal mencapai reduksi yang acceptable dengan cara tertutup


2. Kaitan dengan cedera multipel (termasuk cedera kepala)
3. Adanya cedera areti femoral yang memerlukan repair
4. Pasien lanjut usia di mana tirah baring lama dapat meperburuk kondisi
5. Fraktur Patologis

Kontraindikasi Operasi

4
Pada pasien dengan fraktur terbuka, diperlukan debridement hingga cukup bersih
untuk dilakukan pemasangan ORIF. Kontraindikasi untuk traksi, adanya
thrombophlebitis dan pneumonia. Atau pada pasien yang kondisi kesehatan tidak
memungkinkan untuk operasi

Pemeriksaan Penunjang

Untuk pemeriksaan penunjang berupa foto roentgen posisi anteroposterior dan


lateral. Sedangkan pemeriksaan laboratorium antara lain hemoglobin, leukosit,
trombosit, CT, BT.

Komplikasi

Komplikasi pada fraktur femur, termasuk yang dipenatalaksanaan secara


konservatif antara lain, bersifat segera: syok, fat embolism, neurovascular injury
seperti injury nervus pudendus, nervus peroneus, thromboembolism, volkmann
ischemia dan infeksi. Komplikasi lambat: delayed union, non union, decubitus
ulcer, ISK dan joint stiffhess. Pada pemasangan K- nail adventitious bursa, jika
fiksasi terlalu panjang dan fiksasi tidak rigid jika terlalu pendek.

Mortalitas

Mortalitas berkaitan dengan adanya syok dan embolisme.

Perawatan Pasca Bedah

Pasien dengan pemasangan traksi, rawat di ruangan dengan fasilitas ortopedi.


Sedangkan pada pasien dengan pemasangan ORIF, rawat di ruangan pemulihan,
cek hemoglobin pasca operasi.

Follow Up

Untuk Follow up pasien dengan skeletal traksi, lakukan isometric exercise


sesegera mungkin dan jika udem hilang, lakukan latihan isotonik. Pada fraktur
femur 1/3 proksimal traksi abduksi >30˚ dan eksorotasi. Pada 1/3 tengah posisi
abduksi 30˚ dan tungkai mid posisi, sedangkan pada 1/3 distal, tungkai adduksi <
30˚ dan kaki mid posisi. Pada fraktur distal perhatikan ganjal lutut, berikan fleksi
ringan, 15°. Setiap harinya, perhatikan arah, kedudukan traksi, posterior dan

5
anterior bowing. Periksa denan roentgen tiap 2 hari sampai accepted, kemudian
tiap 2 minggu. Jika tercapai clinical union, maka dilakukan weight bearing, half
weight bearing dan non weight bearing dengan jarak tiap 4 minggu.

Sedangkan untuk follow up pasca operatif, minggu pertama kaki fleksi dan
ektensi, kemudian minggu selanjutnya miring-miring. Minggu ke-2 jalan dengan
tongkat dan isotonik quadricep. Fungsi lutut harus pulih dalam 6 minggu.

Pada pasien anak, follow up dengan roentgen, jika sudah terjadi clinical union,
pasang hemispica dan pasien boleh kontrol poliklinik.

ALGORITMA DIAGNOSA DAN LANGKAH PENGOBATAN

Penanganan
Tanpa penyulit konservatif atau
operatif menggunakan
Fraktur diafisis Kuntscher nail
shaft femur
daerah isthmus
Rujuk spesialis
Dengan penyulit Orthopaedi dan
Traumatologi

Fraktur femur selain


yang terjadi pada Rujuk spesialis
isthmus diafisis Orthopaedi dan
shaft humerus Traumatologi

Penanganan dispnea

Penanganan dispnea pada dasarnya mencakup tatalaksana yang tepat


terhadap penyakit yang mendasarinya. Bila kondisi pasien memburuk sehingga
mungkin terjadi gagal napas akut maka perhatian lebih baik ditujukan pada
keadaan daruratnya dulu sebelum dicari penyebab yang melatarbelakanginya.

6
Disebut gagal napas akut bila pada pemeriksaan analisis gas darah
didapatkan PaO2 <50 mmHg atau PaCO2 >50 mmHg dengan pH di bawah
normal. Periksa orofaring untuk memastikan saluran napas tidak tersumbat karena
pembengkakan atau suatu benda asing. Intubasi endotrakeal dilakukan apabila
pasien mengalami henti napas atau mengarah ke gagal napas progresif.

Oksigen harus diberikan kecuali ada bukti bahwa retensi CO2 akan
memburuk karena tingginya fraksi oksigen (FIO2) yang diberikan. Sisten ventury
mask delivery dengan FIO2 sebesar 24 atau 28% biasanya aman. Tujuan terapi
oksigen adalah mempertahankan PaO2 sebesar 60-70 mmHg dengan kenaikan
CO2 minimal.

Tujuan penatalaksanaan dispnea

1. Mengurangi sensasi usaha dan meningkatkan fungsi otot pernapasan


a. Penghematan energy
b. Strategi bernapas (purse lip breathing)
c. Posisi (misalnya bersandar)
d. Koreksi obesitas atau malnutrisi
e. Latihan otot pernapasan
f. Mengistirahatkan otot inspirasi (nasal ventilation, oksigen transtrakeal)
g. Obat (misalnya teofilin)

2. Menurunkan respiratory drive


a. Oksigen
b. Exercise conditioning
c. Vagal nerve section
d. Reseksi bodi carotid

3. Mengubah fungsi sistem saraf pusat


a. Edukasi
b. Intervensi psikologik
c. Istirahat dan sedative

7
4. Latihan sendiri atau dengan rehabilitasi paru
a. Meningkatkan kemampuan mengurus diri sendiri
b. Memperbaiki efisiensi gerakan
c. Desensitisasi dispnea

5. Indikasi dan kontraindikasi penatalaksanaan thoracosentesis


I. Pengertian

Adalah suatu tindakan baik dignostik maupun terapeutik dengan cara


memasukkan jarum ke rongga pleura untuk menemukan dan mengeluarkan
cairan pleura.

II. Tujuan
Mengeluarkan cairan dari rongga pleura.

III. Indikasi
Pasien dengan efusi pleura

IV. Kontraindikasi
1) Pasien dengan terapi antikoagulan
2) Koagulapathy
3) Thrombositopenia

V. Persiapan
A. Pasien :

 Persetujuan tindakan pungsi cairan pleura dari penderita yang diketahui


keluarga terdekat dengan saksi petugas medis, setelah pasien diberi
penjelasan tentang tindakan dan tujuan pemeriksaan serta komplikasinya
(informed consent).
 Penerangan prosedur tindakan.
 Pemeriksaan faktor pembekuan darah bila perlu.

8
B. Alat dan Bahan :

 Foto thoraks, kalau bisa pada dua lapang pandang


 Spuit 5 cc,10 cc, 50 cc lubang pinggir
 Jarum catheter no 18
 Three way stopcock
 Transfusion set yang sudah dimodifikasi
 Kontainer, duk steril
 Handscoen steril
 Lidocaine 1% / 2%
 Kapas, alkohol 70% dan povidon iodin.

VI. Lokasi Aspirasi Pleura


Posisi penderita duduk dengan lengan ke depan. Tempat punksi:
prinsip punksi dilakukan pada tempat yang paling rendah dari cavum pleura
dengan memperhatikan foto foto thoraks dan pemeriksaan fisik, yaitu pada
ICS: 6–7 atau 7–8 (ada yang 8–9) linea aksilaris posterior atau ditempat
ditemukannya cairan pleura. Pasien yang tidak bisa dalam posisi duduk
pungsi pleura bisa dilakukan dengan posisi pasien miring pada sisi effusi
pleura dengan posisi lateral dekubitus. Pungsi pleura dilakukan pada linea
mid axillary.

VII. Desinfeksi
Kulit dibersihkan dengan povidon iodin dan sisanya dibersihkan
dengan alkohol, dipasang duk steril, pada lapang operasi.

VIII. Punksi Percobaan ( Aspirasi untuk dignosa )


Pada tempat yang telah ditentukan diaspirasi dengan spuit 5/10 cc,
apakah ada cairan atau tidak. Apabila ada cairan dilakukan anestesi.

IX. Anestesia
Dengan lidocain 1% atau 2% sebanyak 2–4 cc, infiltrasi mulai dari
kulit, subcutan diteruskan kedalam secara perlahan sampai cavum pleura.

9
X. Tehnik Aspirasi Pleura:
1. Mencuci tangan sebelum tindakan dan menggunakan handscoen selama
tindakan.
2. Tangan kiri memegang/ memfiksir intercosta (tempat yang telah ditentukan)
dan tangan kanan memegang jarum yang tersambung dengan three
waystopcok dengan selang infusnya.
3. Jarum ditusukan pada tempat yang telah dianestesi.
4. Spuit 50 cc dhubungkan dengan three waystopcok dan dilakukan
penyedotan secara perlahan, bila spuit terisi penuh, cairan dibuang dst.
5. Bila dianggap cukup, jarum dilepas. Jumlah cairan diambil sebanyak
mungkin/ sampai habis, selama keadaan umum penderita baik ( 1000 – 1500
cc dihentikan).
6. Aspirasi dihentikan apabila ada tanda-tanda batuk, sesak nafas, nyeri dada,
presyok/ syok.
7. Bekas luka jarum diberi alkohol/ povidon iodine dan kemudian ditutup kain
kassa steril dan diplester.
8. Spesimen cairan pleura diperiksakan :
a. Mikrobiologi (ditampung steril).
b. Sitologi (cairan pleura dicampur dengan alkohol 70%).
c. Analisa ( PH, Protein, Rivalta, LDH, Glukosa, Sel PMN dan MN).

6. Pemeriksaan penunjang pasien dalam skenario


A. Pemeriksaan Darah pada Kasus Trauma
Pemeriksaan darah pada kasus trauma digunakan sebelum tindakan operatif.
Pemeriksaan darah pada kasus trauma meliputi complete blood count, elektrolit
(natrium dan kalium), urea, kreatinin, dan profil koagulasi (prothrombin time
dan partial tromboplastin time) (Duggan, Tillotson dan McCann., 2011).
1. Pemeriksaan Darah Lengkap atau Comple Blood Count.
Pemeriksaan darah lengkap terdiri atas :
a. Hemoglobin
b. Hematokrit
c. Leukosit (White Blood Cell / WBC)

10
d. Trombosit (platelet)
e. Eritrosit (Red Blood Cell / RBC)
f. Indeks Eritrosit (MCV, MCH, MCHC)
g. Laju Endap Darah atau Erithrocyte Sedimentation Rate (ESR)
h. Hitung Jenis Leukosit (Diff Count)
i. Platelet Disribution Width (PDW)
j. Red Cell Distribution Width (RDW)

2. Pemeriksaan Serum Elektrolit


a. Natrium
Nilai normal : 135 – 144 mEq/L SI unit : 135 – 144 mmol/L
b. Kalium (K+)
Nilai normal:
(1) 0 - 17 tahun : 3,6 - 5,2 mEq/L SI unit : 3,6 - 5,2 mmol/L
(2) ≥ 18 tahun : 3,6 – 4,8 mEq/L SI unit :3,6 – 4,8 mmol/L
3. Pemeriksaan Profil Koagulasi
a. Waktu protrombin (Prothrombin time/PT)
Nilai normal: 10 – 15 detik (dapat bervariasi secara bermakna antar
laboratorium)

11
Deskripsi: Mengukur secara langsung kelainan secara potensial dalam
sistem tromboplastin ekstrinsik (fibrinogen, protrombin, faktor V, VII dan
X).
a. aPTT (activated Partial Thromboplastin Time)
Nilai normal : 21 – 45 detik ( dapat bervariasi antar laboratorium).
Rentang terapeutik selama terapi heparin biasanya 1,5 – 2,5 kali nilai
normal (bervariasi antar laboratorium) (Herawati., 2011).

B. Pemeriksaan Radiologi pada Trauma Thoraks dan Femur


1. Pemeriksaan X-Ray Regio Thoraks
Foto X-Ray regio thoraks atau sering disebut sebagai Chest X-Ray (CXR).
Foto thoraks terdiri atas foto anteroposterior (AP) dan Lateral.
a. Syarat foto Lateral
(1) Diafragma
(2) Sternum
(3) Jantung
(4) Paru

12
Gambar 1. Foto Thoraks Lateral Sinister Normal.

Gambar 2. Foto Thoraks Lateral Sinister Pneumothoraks

b. Syarat foto Anteroposterior


(1) Pulmo dekter et sinister
(2) Jantung
(3) Margin dexter et sinister
(4) Trakea
(5) Apeks Jantung

13
Gambar 3. Foto Thoraks Anteroposterior Normal.

Gambar 4. Foto Thoraks pada Pneumothoraks.


2. Pemeriksaan X-Ray Regio ekstermitas Bawah : Femur
Foto X-ray femur dilakukan dalam dua posisi yaitu anteroposterior dan
lateral. Pada foto lateral dan lateral setelah cedera. Foto femur melibatkan
dua sendi, yaitu sendi coxae dan sendi genu.

14
Gambar 5. Foto X-Ray Femur dan Artikulasio Coxae Anteroposterior normal.

Gambar 6. Foto X-Ray Femur dan Artikulasio Genu Anteroposterior normal.

15
7. Primary Survey dan Secondary Survey
A. PRIMARY SURVEY
B. SECONDARY SURVEY / Survey Sekunder

Survei Sekunder hanya dilakukan bila ABC (Airway, Breathing, Circulation)


pasien sudah stabil. Bila sewaktu survei sekunder kondisi pasien memburuk
maka kita harus kembali mengulangi PRIMARY SURVEY. Semua prosedur
yang dilakukan harus dicatat dengan baik. Pemeriksaan dari kepala sampai ke
jari kaki (head-to-toe examination) dilakukan dengan perhatian utama :

A. Pemeriksaan kepala :
1. Kelainan kulit kepala dan bola mata
2. Telinga bagian luar dan membrana timpani
3. Cedera jaringan lunak periorbital
B. Pemeriksaan leher
1. Luka tembus leher
2. Emfisema subkutan
3. Deviasi trachea
4. Vena leher yang mengembang
C. Pemeriksaan neurologis
1. Penilaian fungsi otak dengan Glasgow Coma Scale (GCS)
2. Penilaian fungsi medula spinalis dengan aktivitas motorik
3. Penilaian rasa raba / sensasi dan refleks
D. Pemeriksaan dada
1. Clavicula dan semua tulang iga
2. Suara napas dan jantung
3. Pemantauan ECG (bila tersedia)
E. Pemeriksaan rongga perut (abdomen)
1. Luka tembus abdomen memerlukan eksplorasi bedah
2. Pada pasien trauma tumpul abdomen maka dapat dipasang dengan pipa
nasogastrik kecuali bila ada trauma wajah

16
3. Periksa dubur (rectal toucher)
4. Pasang kateter kandung seni jika tidak ada darah di meatus externus

F. Pelvis dan ekstremitas


1. Mencari adanya fraktura (pada kecurigaan fraktur pelvis dilarang untuk
melakukan tes gerakan apapun karena memperberat perdarahan)
a. Cari denyut nadi-nadi perifer pada daerah trauma
b. Cari luka, memar dan cedera lain
2. Pemeriksaan sinar-X (bila memungkinkan) untuk :
a. Dada dan tulang leher (semua 7 ruas tulang leher harus nampak)
b. Pelvis dan tulang panjang
c. Tulang kepala untuk melihat adanya fraktura bila trauma kepala
tidak disertai defisit neurologis fokal

Foto atas daerah yang lain dilakukan secara selektif.


Foto dada dan pelvis kemungkinkan sudah diperlukan sewaktu survei primer

8. Perbedaan fraktur terbuka dan tertutup


A. Fraktur Terbuka
Fraktur terbuka adalah patahnya struktur tulang yang disertai dengan
adanya sebuah luka. Fraktur terbuka berhubungan dengan risiko infeksi yang
tinggi akibat kontaminasi luka yang terjadi pada saat trauma. Oleh karena itu,
selain penyembuhan dari fraktur dan mengembalikan fungsi ekstremitas, tujuan
penanganan dari fraktur terbuka yang penting adalah adalah pencegahan infeksi
(Gustilo, 1990).
1. Klasifikasi Fraktur Terbuka
Menurut Gustilo, fraktur terbuka dapat dikelompokkan menjadi tiga
kelompok besar berdasarkan mekanisme cedera, derajat kerusakan jaringan
lunak, konfigurasi dari fraktur itu sendiri, dan derajat kontaminasi luka.
Sehingga insiden infeksi luka, delayed-union dan non-union, amputasi, dan
kecacatan fungsi ekstremitas sangat dipengaruhi oleh tipe fraktur.
Pada fraktur terbuka tipe I, luka yang menghubungkan fraktur dengan
lingkungan luar berukuran kurang dari 1 cm. Pada umumnya berupa luka

17
tusuk yang relatif bersih akibat tusukan fragmen tulang yang tajam melalui
kulit. Kerusakan jaringan lunak pada tipe I ini ringan dan tidak ditemukan
tanda-tanda crush injury. Konfigurasi frakturnya dapat berupa fraktur
sederhana, transverse, atau short oblique dengan kominusi yang minimal
(Gustillo, 1990).
Pada fraktur terbuka tipe II, luka berukuran lebih dari 1 cm tanpa
disertai dengan kerusakan jaringan lunak yang luas, flap, maupun avulsi. Pada
tipe ini juga ditemukan tanda-tanda crush injury ringan hingga sedang, dengan
kontaminasi menengah. Konfigurasi frakturnya disertai dengan kominusi
yang menengah (Gustillo, 1990).
Fraktur terbuka tipe III ditandai dengan kerusakan jaringan lunak yang
luas, meliputi otot, kulit, dan struktur neurovaskuler. Konfigurasi fraktur pada
tipe ini disertai dengan derajat kominusi yang berat. Fraktur terbuka pada tipe
ini dapat dibagi menjadi tiga subtipe. Pada tipe IIIA, walaupun disertai dengan
laserasi yang luas, pembentukan flap dan derajat kominusi fraktur yang berat,
namun jaringan lunak masih dapat menutupi daerah faktur secara adekuat.
Pada subtipe ini termasuk fraktur kominutif atau segmental akibat high energy
trauma tanpa menghiraukan ukuran dari luka. Fraktur terbuka tipe IIIB
berhubungan dengan cedera yang luas atau kehilangan jaringan lunak, disertai
dengan periosteal stripping dan bone expose, kontaminasi yang masif, dan
derajat kominusi yang berat. Setelah dilakukan debridement dan irigasi,
segmen tulang masih terekspos dan membutuhkan flap untuk menutupinya.
Pada tipe IIIC meliputi semua fraktur terbuka yang disertai dengan cedera
vaskular yang harus diperbaiki, tanpa memperhatikan derajat cedera pada
jaringan lunak (Gustillo, 1990).
B. Fraktur Tertutup
Fraktur tertutup adalah fraktur yang tidak menyebabkan robekan pada
kulit dan tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar.
1. Klasifikasi Fraktur Tertutup
Berdasarkan sistem klasifikasi Tscherne fraktur tertutup dapat dibagi
menjadi beberapa derajat yaitu:

18
Grade 0 ● Tanpa cedera atau cedera minimal
pada jaringan lunak di sekitarnya
● Pola fraktur transversal
● Akibat trauma yang terjadi secara
tidak langsung (torsi pada
ekstremitas)

Grade 1 ● Terdapat abrasi atau memar yang


sifatnya superfisial

Grade 2 ● Fraktur yang lebih berat dengan


kontusio pada kulit dan otot
● Abrasi yang dalam
● Pola fraktur yang kompleks
● Akibat trauma yang terjadi secara
langsung pada tulang

Grade 3 ● Kerusakan berat pada otot dan


jaringan lunak di sekitarnya
● Akibat terjadinya crush injury
● Terdapat compartment syndrome
● Avulsi subkutan

(Ibrahim et al., 2016)

19
DAFTAR PUSTAKA

Bengmark S. Ecoimmunonutrition: A challenge for the third millenium. Nutrition 1998;


14; 563-72.

Duggan, S., Tillotson, L. and McCann, P. (2011) ‘Routine Laboratory Tests in Adult
Trauma: Are they Necessary?’, The Bulletin of the Royal College of Surgeons of
England, 93(7), pp. 266–272. doi: 10.1308/147363511X580402.
Gustilo, RB, Merkow, RL & Templeman, D 1990, 'The management of open fractures'
Journal of Bone and Joint Surgery - Series A, vol 72, no. 2, pp. 299-304.

Herawati, F. and Surabaya, U. (2011) ‘Pedoman Interpretasi Data Klinik’, (January).

Ibrahim, D., Swenson, A., Sassoon, A. and Fernando, N. (2016). Classifications In Brief:
The Tscherne Classification of Soft Tissue Injury. Clinical Orthopaedics and Related
Research®, 475(2), pp.560-564.
Kilner T; Triage decisions of prehospital emergency health care providers, using a multiple
casualty scenario paper exercise. Emerg Med J. 2002 Jul19(4):348-53.

Scoring Systems; Trauma.org

Wilkinson and Skinner. 2000. A Manual for Trauma Management in District and
Remote Locations. UK : Primary Trauma Care Fondation

https://www.rch.org.au/rchcpg/hospital_clinical_guideline_index/Chest_Drain_Manage
ment/
https://www.rch.org.au/clinicalguide/guideline_index/Chest_Drain_Intercostal_Catheter
_Insertion/
https://www.rch.org.au/clinicalguide/guideline_index/Thoracocentesis/
http://www.start‐triage.com

20

Anda mungkin juga menyukai