Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH HUKUM PERKAWINAN

Disusun oleh:
Eva Veronica
61117017

Ilmu Hukum
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Serang Raya
2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Tuhan yang maha esa atas segala limpahan

rahmat,sehinga saya dapat menyelesaikan susunan makalah ini dalam bentuk

maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan

sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman. Harapan saya semoga

makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para

pembaca, sehingga saya dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini

sehingga kepadanya dapat lebih baik. Saya menyadari bahwa dalam penulisan

makalah ini masih banyak terdapat kekurangan, oleh karena itu segala kritik dan

saran yang membangun akan diterima dengan senang hati untuk perbaikan

makalah ini. Akhir kata, kami sampaikan terimakasih kepada semua pihak yang

telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga

AllAh SWT senantiasa meridhoi segala usaha kita, amin.

Penulis,

Eva Veronica

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ...................................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................................................... 1
1.3 Tujuan dan Manfaat ............................................................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................................................... 3
2.1 Pengertian Hukum Perkawinan .......................................................................................................... 3
2.2 Hak dan kewajiban suami-isteri .......................................................................................................... 4
2.3 Percampuran kekayaan....................................................................................................................... 5
2.4 Perjanjian perkawinan ........................................................................................................................ 6
2.5 Perceraian ........................................................................................................................................... 7
2.6 Pemisahan kekayaan........................................................................................................................... 8
BAB III PENUTUP......................................................................................................................................... 10
3.1 Kesimpulan........................................................................................................................................ 10
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................................... 11

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Manusia mempunyai kecendrungan untuk hidup bersama dengan manusia lainnya

dalam suatu pergaulan hidup. Hidup berrsama itu dimulai dengan adanya sebuah

keluarga yang terbentuk paling tidak oleh seorang laki-laki dan perempuan. Hidup

bersama antara lelaki dan perempuan dalam sebuah ikatan yang memenuhi persyaratan

inilah yang disebut dengan perkawinan.

Perkawinan, ialah pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang

perempuan dan memerlukan pertimbangan yang matang agar dapat bertahan dalam

jangka waktu yang lama. Sikap saling menghargai satu sama lain dan saling percaya serta

harus mau menjalankan hak dan kewajiban suami istri yang seimbang merupakan syarat

mutlak untuk bertahannya sebuah perkawinan agar tidak muncul masalah dalam sebuah

perkawinan.

Perkawinan yang sah haruslah memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam

KUHPerdata. Burgerlijk Wetboek mempunyai asas yaitu poligami dilarang. Ada beberapa

larangan tentang perkawinan yaitu, seseorang tidak diperbolehkan kawin dengan

saudaranya ataupun iparnya. Tidak boleh juga menikah tanpa izin dari orangtua atau

walinya.

1.2 Rumusan Masalah

1) Bagaimana jika hak dan kewajiban suami atau isteri tidak dilakukan dengan baik?

1
2) Apakah perjanjian pra-nikah efektif dilakukan dimasa kini?

3) Apakah dampak dari perceraian?

1.3 Tujuan dan Manfaat

Berdasarkan rumusan masalah yang dipaparkan, maka tujuan dari makalah ini adalah
untuk mengetahui hukum di Indonesua yang mengatur tentang perkawinan dan
perceraian yang ada di Indonesia.

Manfaat penelitian
1) Makalah ini diharapkan dapat memberikan edukasi kepada pembaca dan
menambah pengetahuan tentang Hukum Perkawinan yang ada di Indonesia.
2) Mahasiswa dapat mengetahui bagaimana hukum perkawinan di Indonesia.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Hukum Perkawinan

Perkawinan, ialah pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang perempuan
untuk waktu yang lama. Menurut pasal 26 Burgerlijk wetboek, undang-undang
memandang perkawinan hanya dari hubungan keperdataan yang berarti pasal tersebut
hendak menyatakan bahwa suatu perkawinan yang sah harus memenuhi syarat-syarat
yang ditetapkan dalam KUHPerdata dan syarat-syarat serta peraturan agama
dikesampingkan.
Syarat- syarat untuk dapat sahnya perkawinan, ialah:
1. Kedua pihak harus mencapai umur yang telah ditetapkan UU, yaitu untuk seorang
lelaki 18 tahun dan untuk seorang perempuan 15 tahun.
2. Harus ada persetujuan bebas antara kedua belah pihak.
3. Untuk seorang wanita yang sudah kawin harus menunggu 300 hari setelah putusan
perkawinan pertama
4. Untuk pihak yang masih dibawah umur harus mendapatkan persetujuan dari
orangtua atau walinya
Tentang hal larangan untuk kawin dapat diterangkan bahwa seseorang tidak
diperbolehkan kawin dengan saudaranya maupun saudara tiri. Tentang hal izin dapat
diterangkan bahwa kedua orangtuanya atau walinya harus memberikan izin atau ada kata
sepakat dari orangtua masing-masing pihak. Jika wali ingin kawin dengan anak dibawah
pengawasannya harus mendapat izin dari wali pengawas. Untuk anak-anak yang lahir
diluar perkawinan tetapi diakui oleh kedua orangtua berlaku pokok aturang yang sama
dengan pembeian izin. Untuk anak yang sudah dewasa tetapi belum berumur 30 tahun
masih diperlukan izin orangtua.
Sebelum perkawinan dilangsungkan, harus dilakukan terlebih dahulu:
a. Pemberitahuan (aangifte) tentang kehendak akan kawin kepada pegawai
pencatatan sipil

3
b. Pengumuman (afkondiging) oleh pegawai tersebut, tentang akan dilangsungkan
perkawinan
Seorang istri dapat menghalang-halangi pernikahan kedua dari suaminya dan
sebaliknya juga berlaku. Orangtua dan anak pun dapat mencegah pernikahan kedua dari
anaknya ataupun ayah dan ibunya. Jaksajuga dapaat mencegah pernikahan yang sekiranya
akan melanggar ketertiban umum.
Surat- surat yang harus diberikan kepada pegawai pencatatan sipil agar dapat
melangsungkan pernikahan ialah:
1. Surat kelahiran masing-masing pihak
2. Surat pernyataan dari pegawai pencatatan sipil tentang adanya izin orangtua
3. Surat kematian istri atau putusan perceraian perkawinan lama
4. Proses verbal darimana ternyata perantaraan hakim dalam hal perantaraan ini
dibutuhkan
5. Surat keterang dari pegawai pencatatan sipil telah dilangsungkan pengumuman
dengan tiada perlawanan dari sesuatu pihak.
Jika suatu pernikahan telah dilangsungkan padahal ada syarat-syarat yang tidak
dipenuhi/ ada larangan, maka pernikahan tersebut dapat dibatalkan oleh hakim
atas tuntutan orang yang berkepentingan. Dari itu, dalam hal suatu perkawinan
dibatalkan, undang-undang telah menetapkan sebagai berikut :
1. Jika sudah dilahirkan anak-anak dari perkawinan; anak-anak ini tetap memiliki
kedudukan yang sah
2. Pihak yang berlaku jujur tetap memperoleh hak-hak sebagai suami atau isteri
dalam perkawinan tsb
3. Juga pihak ketiga yang berlaku jujur tidak boleh dirugikan karena pembatalan
pernikahan itu.
2.2 Hak dan kewajiban suami-isteri

Perkawinan oleh undang-undang dipandang sebagai suatu “perkumpulan”. Dalam


ketentuan hukum perdata Eropa bahwa seorang perempuan yang telah kawin tidak
cakap untuk bertindak sendiri di dalam hukum dan dipersamakan dengan seseorang
yang berada dibawah curatele atau seseorang yang belum dewasa, yang berarti suami

4
mengurus kekayaan mereka bersama di samping berhak juga mengurus kekayaan
isteri. Pengurusan kekayaan si isteri itu, oleh suami harus dilakukan sebaik-baiknya dan
si istri dapat minta pertanggungjawaban. Didalam pasal 105 ayat 5 B.W menyatakan
bahwa suami tak diperbolehkan menjual atau menggadaikan benda-benda yang tak
bergerak kepunyaan isteri tanpa izin. Pasal 104 membuka kemungkinan bagi si isteri
untuk (sebelum melangsungkan pernikahan) mengadakan perjanjian bahwa ia berhak
untuk mengurus kekayaannya sendiri. Akibat- akibat lain dari perkawinan:
1) Anak-anak yang lahir dari perkawinan, adalah anak sah (wettig)
2) Suami menjadi waris dari si isteri dan begitu sebaliknya apabila salah satu
meninggal
3) Dilarang jual beli antara suami dan isteri
4) Perjanjian perburuan antara suami dan isteri tak diperbolehkan
5) Suami tak diperbolehkan menjadi saksi di dalam suatu perkara isterinya dan
sebaliknya
6) Suami tak dapat dituntut tentang beberapa kejahatan terhadap isterinya dan begitu
sebaliknya
2.3 Percampuran kekayaan

Percampuran kekayaan, adalah mengenai seluruh activa dan passiva baik yang
dibawa oleh masing-masing pihak ke dalam perkawinan maupun yang akan diperoleh
di kemudian hari selama masa perkawinan. Undang-undang perkawinan memberikan
peraturan tentang harta benda dalam perkawinan yang didasarkan pada pola hukum
adat. Yang menjadi harta bersama ialah harta-benda yang diperoleh selama
perkawinan, sedangkan harta bawaan dan harta benda yang diperoleh sebagai hadiah
atau warisan tetap diperoleh masing-masing pihak. Hutang gemeenschap yang
diperbuat oleh si isteri, misalnya membeli keperluan rumah tanga. Sedangkan, hutang
pribadi, misalnya biaya perbaikan rumah pribadi si isteri.
Untuk menetapkan tanggung jawab mengenai sesuatu hutang harus ditetapkan lebih
dahulu, apakah hutang itu bersifat prive ataukah suatu hutang untuk keperluan
bersama. Untung suatu hutang prive yang dituntut harus orang yang membuat hutang
tersebut, sedangkan yang disita pertama-tama adalah benda prive apabila benda yang

5
disita tidak mecukupi biaya hutang maka dapatlah benda bersama disita pula. Tetapi
jika suami yang membuat hutang maka benda prive si isteri tak dapat disita, dan begitu
pula sebaliknya. Jika ada hutang gemeenschap maka yang pertama-tama disita benda
bersama. Jika tidak mencukupi maka benda prive dari suami atau isteri yang membuat
hutang itu dapat disita pula.
Pemecahan gemeenschap dan hak isteri unuk melepaskan gemeenschap dengan
berakhirnya perkawinan, yaitu:
a) Dengan matinya satu pihak
b) Perceraian
c) Dengan perkawinan baru sang istri apabila suami berpergian sampai 10 tahun
lamanya tanpa tahu alamatnya
Diadakan “pemisahan kekayaan dan perpisahan meja dan tempat tidur
Jika gemeenschap dihapuskan maka pertanggung jawaban terhadap hutang-hutang
gemeenschap dapat disimpulkan sebagai berikut:
1) Masing-masing tetap bertanggung jawab terhadap hutang-hutang yang dibuatnya
2) Disamping itu suami masih dapat dituntut pula tentang hutang-hutang yang
diperbuat oleh si isteri
3) Si isteri dapat dituntut untuk separoh tentang hutang-hutang yang telah dibuat oleh
si suami
4) Sehabis diadakan pembagian, tak dapat dibagi lagi ditntut tentang hutang yang
dibuat oleh yang lainnya sebelum perkawinan
2.4 Perjanjian perkawinan

Jika seorang yang hendak kawin mempunyai benda-benda yang berharga atau
mengharapkan akan memperoleh kekayaan, misalnya suatu warisan makanya ada
kalanya diadakan perjanjian perkawinan. Mengenai bentuk dan isi perjanjian, kepada
kedua belah pihak diberikan kemerdekaan seluas-luasnya, kecuali satu dua larangan
yang termuat dalam UU dan asal saja mereka tidak melanggar ketertiban umun dan
kesusilaan. Terdapat dua perjanjian yang banyak terpakai, yaitu perjanjian
“percampuran laba rugi” (“gemeenschap van winst en erlies”) dan perjanjian
“percampuran penghasilan” (“gemeenschap van vruchten en inkomsten”)

6
Seseorang yang berumur dibawah 21 tahun dan ingin membuat perjanjian
perkawinan haruslah “dibantu” orangtua atau wali. Selanjutnya diperingatkan apabila
dalam di dalam waktu antara pembuatan perjanjian dan penutupan pernikahan
orangtua atau wali yang membantu terjadinya perjanjian itu meninggal, maka
perjanjian batal dn harus diulangi. Jikalau salah satu pihak terlebih dahulu kawin
dengan orang lain, dan baru kemudian menikah dengan tunangannya yang lama,
perjanjajian batal.
Pertama-tama ada larangan untuk membuat suatu perjanjian yang menghapuskan
kekuasaan suami atau kekuasaanya sebagai ayah. Maksud larangan ini agar jangan
sampai suami istri itu menguntungkan diri. Bagi seorang yang kawin ada empat macam
kemungkinan untuk memperoleh kekayaan dari perkawinannya yaitu,:
a) Karena kekayaannya sendiri yang tidak begitu besar tercampur dengan kekayaan
suami atau isteri yang lebih besar sebagai akibat kawin dengan percampuran
kekayaan. Cara perolehan ini dinamakan “boedelmenging”
b) Karena ia menerima pemberian suami atau isteri dalam perjanjian perkawinan
c) Karena ia mendapat warisan menurut UU dari kekayaan suami atau isterinya
d) Karena ia menerima pemberian dalam suatu wasiat dari suami atau isterinya
Bagi seorang suami atau istri kedua oleh UU diadakan pembatasan jikalau ada anak-
anak yang berasal dari perkawinan pertama maka suami atau istri kedua itu tidak boleh
mendapat keuntungan yang melebihi bagian seorang anak, dengan ketentuan bagian itu
tak dapat melebihi seperempat dari orang yang telah kawin lagi itu.
2.5 Perceraian

Perceraian ialah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim, atau tunutan salah
satu pihak dalam perkawinan itu. Alasan-alasan ini ada empat macam:
a) Zina (overspel)
b) Ditinggal dengan sengaja
c) Penghukuman yang melebihi 5 tahun karena dipersalahkan melakukan suatu
kejahatan dan
d) Penganiayaan berat atau membahayakan jiwa
e) Salah satu pihak mendapat cacat badan/penyakit dengan akibat tidak dapat

7
menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri
f) Antara suami/istri terus menerus terjadi perselisihan/pertengkaran dan tidak ada
harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga
Tunttutan untuk mendapat perceraian diajukan kepada hakim yang didahului dengan
meminta izin pada pengadilan negeri untuk mnggugat dan hakim akan mendamaikan
kedua belah pihak dahulu.
Kepada si isteri jika ia tidak mempunyai penghasilan cukup dan kepada anak-anak
yang diserahkan pada si isteri itu oleh hakim dapat ditetapkan tunjangan nafkah yang
harus dibayar suami tiap waktu tertentu. Biasanya jumlah tunjangan itu ditetapkan
sendiri ole kedua belah pihak atas dasar permufakatan. Tetapi jikalau seorang janda
kawin lagi maka ia kehilangan haknya untuk menerima tunjangan dari si suami.
Jika perkawinan dipecahkan oleh hakim maka harus diatur pula tentang perwalian
terhadap anak-anak yang masih dibawah umur. Hakim menetapkan wali tergantung
dari siapa yang dipandang paling cakap atau baik untuk kepentingan anak-anak.
Kepada sepasang suami isteri yang tidak dapat hidup bersama tetapi keberatan
terhadap suatu perceraian oleh UU diberikan kemungkinan untuk meminta suatu
“perpisahan meja dan tempat tidur”. Perpisahan meja dan tempat tidur mempunyai
akibat, suami isteri dibebaskan dari kewajibannya untuk tinggal bersama dan dengan
sendiri membawa pemisahaan kekayaan. Perpisahan meja dan tempat tidur tidak
berakibat hapusnya kekuasaan orangtua.
2.6 Pemisahan kekayaan

Untuk melindungi si isteri terhadap kekuasaan si suami yang sangat luas itu atas
kekayaan bersama serta kekayaan pribadi si isteri, UU memberikan memberikan pada
si isteri suatu hak untuk meminta pada hakim supaya diadakan pemisahan kekayaan.
Pemisahan kekayaan itu dapat diminta oleh si isteri:
1. Apabila si suami dengan kelakuan yang nyata-nyata tidak baik, mengorbankan
kekayaan bersama dan membahayakan keselamatan keluarga
2. Suami melakukan pengurusan yang buruk terhadap kekayaan si isteri, hingga ada
kkhawatiran kekayaan ini akan menajdi habis
3. Apabila si suami mengobralkan kekayaan sendiri hingga si isteri akan kehilangan
tanggungan

8
Gugatan harus diumumkan untuk menjaga kepentingan-kepentingan pihak
ketiga,terutama orang-rang yang mempunyai piutang terhadap si suami. Pemisahan
kekayaan dapat diakhiri atas persetujuan kedua belah pihak dengan meletakkan
persetujuan itu dalam suatu akte notaris yang harus diumumkan.

9
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Perkawinan adalah hidup bersama antara dua manusia yang berlangsung lama dan
saling mempunyai hak dan kewajiban yang harus saling dilaksanakan dengan baik agar
terhindar dari perceraian. Perceraian dapat diatasi dengan perpisahan meja dan tempat
tidur. Perpisahan meja dan tempat tidur adalah solusi untuk sepasang suami-steri yang
tidak ingin menginginkan perceraian tetapi tidak bisa hidup bersama lagi. Perpisahan
meja dan tempat tidur bukanlah perceraian yang sah di mata hukum sehingga hak
orangtua tidak terhapus.

Maraknya perceraian membuat kasus tentang harta gono gini menemukan jalan
buntu dan kadang berakhir dengan ketidakjelasan. Padahal harta gono- gini sebenarnya
adalah harta yang didapatkan ketika sudah menjalani pernikahan. Sedangkan, barang
atau harta/ warisan yang dibawa sebelum pernikahan tidak termasuk harta gono-gini
tsb. Perjanjian perkawinan adalah solusi untuk medapatkan jawaban tentang masalah
harta gono-gini. Karena, perjanjian perkawinan adalah perjanjian sebelum perkawinan
yang membahas tentang percampuran kekayaan antara si suami dan si isteri.

Jikalau sepasang suami isteri masih mempunyai hutang ketika perkawinan masih
berlangsung, maka suami istri itu harus melunasinya bersama dengan ketentuan bahwa
hutang iitu hutang gemeenschap (hutang bersama) yakni hutang yang dibuat oleh si
suami atau isteri untuk keperluan rumah tangga. Sedangkan jika hutang itu bukan
hutan bersama melainkan hutang prive maka pihak yang berhutang lah yang harus
melunasinya.

10
DAFTAR PUSTAKA

Subekti. Pokok-pokok hukum perdata. CET 31. Jakarta: Intermasa 2003

11

Anda mungkin juga menyukai