Anda di halaman 1dari 17

Definisi

Berbagai pendapat telah dikemukakan mengenai definisi hemoptoe yang pada dasarnya hampir
sama.

Hemoptoe adalah istilah yang digunakan untuk menyatakan batuk darah


(10)
atau sputum yang berdarah. Batuk darah adalah batuk yang disertai pengeluaran darah
dari paru atau saluran pernapasan. (11)

Hemoptoe atau batuk darah adalah ekspektorasi darah atau dahak mengandung darah,
berasal dari saluran napas di bawah pita suara. (3)

II. Perbedaan hemoptoe dengan hematemesis

Untuk membedakan antara muntah darah (hematemesis) dan batuk darah


(hemoptoe) bila dokter tidak hadir pada waktu pasien batuk darah, maka pada batuk darah
(hemoptoe) akan didapatkan tanda-tanda sebagai berikut : (12,13)

Tanda-tanda batuk darah:

1. Didahului batuk keras yang tidak tertahankan

2. Terdengar adanya gelembung-gelembung udara bercampur darah di dalam saluran napas

3. Terasa asin / darah dan gatal di tenggorokan

4. Warna darah yang dibatukkan merah segar bercampur buih, beberapa hari kemudian
warna menjadi lebih tua atau kehitaman

5. pH alkalis

6. Bisa berlangsung beberapa hari


7. Penyebabnya : kelainan paru

Tanda-tanda muntah darah :

1. Tanpa batuk, tetapi keluar darah waktu muntah

2. Suara napas tidak ada gangguan

3. Didahului rasa mual / tidak enak di epigastrium

4. Darah berwarna merah kehitaman, bergumpal-gumpal bercampur sisa makanan

5. pH asam

6. Frekuensi muntah darah tidak sekerap hemoptoe

7. Penyebabnya : sirosis hati, gastritis

III. Etiologi

Penyebab dari batuk darah (hemoptoe) dapat dibagi atas : (4)

1. Infeksi, terutama tuberkulosis, abses paru, pneumonia, dan kaverne oleh karena jamur
dan sebagainya.

2. Kardiovaskuler, stenosis mitralis dan aneurisma aorta.

3. Neoplasma, terutama karsinoma bronkogenik dan poliposis bronkus.

4. Gangguan pada pembekuan darah (sistemik).

5. Benda asing di saluran pernapasan.

6. Faktor-faktor ekstrahepatik dan abses amuba.

Penyebab terpenting dari hemoptisis masif adalah (5) :


1. Tumor :

a. Karsinoma.

b. Adenoma.

c. Metastasis endobronkial dari massa tumor ekstratorakal.

2. Infeksi

a. Aspergilloma.

b. Bronkhiektasis (terutama pada lobus atas).

c. Tuberkulosis paru.

3. Infark Paru

4. Udem paru, terutama disebabkan oleh mitral stenosis

5. Perdarahan paru

a. Sistemic Lupus Eritematosus

b. Goodpasture’s syndrome.

c. Idiopthic pulmonary haemosiderosis.

d. Bechet’s syndrome.

6. Cedera pada dada/trauma

a. Kontusio pulmonal.

b. Transbronkial biopsi.

c. Transtorakal biopsi memakai jarum.


7. Kelainan pembuluh darah

a. Malformasi arteriovena.

b. Hereditary haemorrhagic teleangiectasis.

8. Bleeding diathesis.

Penyebab hemoptoe banyak, tapi secara sederhana dapat dibagi dalam 3 kelompok yaitu :
infeksi, tumor dan kelainan kardiovaskular. (6)

Infeksi merupakan penyebab yang sering didapatkan antara lain : tuberkulosis, bronkiektasis dan
abses paru. Pada dewasa muda, tuberkulosis paru, stenosis mitral, dan bronkiektasis merupakan
penyebab yang sering didapat. Pada usia diatas 40 tahun karsinoma bronkus merupakan
penyebab yang sering didapatkan, diikuti tuberkulsosis dan bronkiektasis. (6)

IV. Patofisiologi

Setiap proses yang terjadi pada paru akan mengakibatkan hipervaskularisasi dari cabang-cabang
arteri bronkialis yang berperanan untuk memberikan nutrisi pada jaringan paru bila terjadi
kegagalan arteri pulmonalis dalam melaksanakan fungsinya untuk pertukaran gas. Terdapatnya
aneurisma Rasmussen pada kaverna tuberkulosis yang merupakan asal dari perdarahan pada
hemoptoe masih diragukan. Teori terjadinya perdarahan akibat pecahnya aneurisma dari
Ramussen ini telah lama dianut, akan tetapi beberapa laporan autopsi membuktikan bahwa
terdapatnya hipervaskularisasi bronkus yang merupakan percabangan dari arteri bronkialis lebih
banyak merupakan asal dari perdarahan pada hemoptoe. (4)

Mekanisma terjadinya batuk darah adalah sebagai berikut :

1. Radang mukosa

Pada trakeobronkitis akut atau kronis, mukosa yang kaya pembuluh darah menjadi rapuh,
sehingga trauma yang ringan sekalipun sudah cukup untuk menimbulkan batuk darah.

2. Infark paru
Biasanya disebabkan oleh emboli paru atau invasi mikroorganisme pada pembuluh darah, seperti
infeksi coccus, virus, dan infeksi oleh jamur.

3. Pecahnya pembuluh darah vena atau kapiler

Distensi pembuluh darah akibat kenaikan tekanan darah intraluminar seperti pada dekompensasi
cordis kiri akut dan mitral stenosis.

4. Kelainan membran alveolokapiler

Akibat adanya reaksi antibodi terhadap membran, seperti pada Goodpasture’s


syndrome.

5. Perdarahan kavitas tuberkulosa

Pecahnya pembuluh darah dinding kavitas tuberkulosis yang dikenal dengan aneurisma
Rasmussen; pemekaran pembuluh darah ini berasal dari cabang pembuluh darah bronkial.
Perdarahan pada bronkiektasis disebabkan pemekaran pembuluh darah cabang bronkial. Diduga
hal ini terjadi disebabkan adanya anastomosis pembuluh darah bronkial dan pulmonal. Pecahnya
pembuluh darah pulmonal dapat menimbulkan hemoptisis masif.

6. Invasi tumor ganas

7. Cedera dada

Akibat benturan dinding dada, maka jaringan paru akan mengalami transudasi ke dalam alveoli
dan keadaan ini akan memacu terjadinya batuk darah.

V. Klasifikasi

Berdasarkan penyebabnya dikenal berbagai macam batuk darah (14) :

1. Batuk darah idiopatik atau esensial dimana penyebabnya tidak diketahui

Angka kejadian batuk darah idiopatik sekitar 15% tergantung fasilitas penegakan diagnosis.
Pria terdapat dua kali lebih banyak daripada wanita, berumur sekitar 30 tahun, biasanya
perdarahan dapat berhenti sendiri sehingga prognosis baik. Teori perdarahan ini adalah sebagai
berikut :

a. Adanya ulserasi mukosa yang tidak dapat dicapai oleh bronkoskopi.

b. Bronkiektasis yang tidak dapat ditemukan.

c. Infark paru yang minimal.

d. Menstruasi vikariensis.

e. Hipertensi pulmonal.

2. Batuk darah sekunder, yang penyebabnya dapat di pastikan

Pada prinsipnya berasal dari :

a. Saluran napas

Yang sering ialah tuberkulosis, bronkiektasis, tumor paru, pneumonia dan abses
paru.

Menurut Bannet, 82 – 86% batuk darah disebabkan oleh tuberkulosis paru,


karsinoma paru dan bronkiektasis.

Yang jarang dijumpai adalah penyakit jamur (aspergilosis), silikosis, penyakit oleh
karena cacing.

b. Sistem kardiovaskuler

Yang sering adalah stenosis mitral, hipertensi.

Yang jarang adalah kegagalan jantung, infark paru, aneurisma aorta.

c. Lain-lain
Disebabkan oleh benda asing, ruda paksa, penyakit darah seperti hemofilia,
hemosiderosis, sindrom Goodpasture, eritematosus lupus sistemik, diatesis
hemoragik dan pengobatan dengan obat-obat antikoagulan.

Berdasarkan jumlah darah yang dikeluarkan maka hemoptisis dapat dibagi atas (4) :

1. Hemoptisis masif

Bila darah yang dikeluarkan adalah 100-160 cc dalam 24 jam.

2. Kriteria yang digunakan di rumah sakit Persahabatan Jakarta :

- Bila perdarahan lebih dari 600 cc / 24 jam

- Bila perdarahan kurang dari 600 cc dan lebih dari 250 cc / 24 jam, akan tetapi Hb
kurang dari 10 g%.

- Bila perdarahan lebih dari 600 cc / 24 jam dan Hb kurang dari 10 g%, tetapi dalam
pengamatan 48 jam ternyata darah tidak berhenti. (4)

Kesulitan dalam menegakkan diagnosis ini adalah karena pada hemoptoe selain
terjadi vasokonstriksi perifer, juga terjadi mobilisasi dari depot darah, sehingga
kadar Hb tidak selalu memberikan gambaran besarnya perdarahan yang terjadi.

Kriteria dari jumlah darah yang dikeluarkan selama hemoptoe juga mempunyai
kelemahan oleh karena :

• Jumlah darah yang dikeluarkan bercampur dengan sputum dan kadang-kadang


dengan cairan lambung, sehinga sukar untuk menentukan jumlah darah yang
hilang sesungguhnya.

• Sebagian dari darah tertelan dan dikeluarkan bersama-sama dengan tinja,


sehingga tidak ikut terhitung

• Sebagian dari darah masuk ke paru-paru akibat aspirasi.


Oleh karena itu suatu nilai kegawatan dari hemoptoe ditentukan oleh :

• Apakah terjadi tanda-tanda hipotensi yang mengarah pada renjatan hipovolemik


(hypovolemik shock).

• Apakah terjadi obstruksi total maupun parsial dari bronkus yang dapat dinilai
dengan adanya iskemik miokardium, baik berupa gangguan aritmia, gangguan
mekanik pada jantung, maupun aliran darah serebral. Dalam hal kedua ini
dilakukan pemantauan terhadap gas darah, disamping menentukan fungsi-
fungsi vital. Oleh karena itu suatu tingkat kegawatan hemoptoe dapat terjadi
dalam dua bentuk, yaitu bentuk akut berupa asfiksia, sedangkan bentuk yang
lain berupa renjatan hipovolemik.

Bila terjadi hemoptoe, maka harus dilakukan penilaian terhadap:

• Warna darah untuk membedakannya dengan hematemesis.

• Lamanya perdarahan.

• Terjadinya mengi (wheezing) untuk menilai besarnya obstruksi.

• Keadaan umum pasien, tekanan darah, nadi, respirasi dan tingkat kesadaran.

Klasifikasi menurut Pusel (7) :

+ : batuk dengan perdarahan yang hanya dalam bentuk garis-garis dalam sputum

++ : batuk dengan perdarahan 1 – 30 ml

+++ : batuk dengan perdarahan 30 – 150 ml

++++ : batuk dengan perdarahan > 150 ml

Positif satu dan dua dikatakan masih ringan, positif tiga hemoptisis sedang, positif empat
termasuk di dalam kriteria hemoptisis masif.
VI. Diagnosis

Hal utama yang penting adalah memastikan apakah darah benar- benar bukan dari muntahan dan
tidak berlangsung saat perdarahan hidung. Hemoptisis sering mudah dilacak dari riwayat. Dapat
ditemukan bahwa pada hematemesis darah berwarna kecoklatan atau kehitaman dan sifatnya
asam. Darah dari epistaksis dapat tertelan kembali melalui faring dan terbatukkan yang disadari
penderita serta adanya darah yang memancar dari hidung. (8)

Untuk menegakkan diagnosis, seperti halnya pada penyakit lain perlu dilakukan urutan-urutan
dari anamnesis yang teliti hingga pemeriksaan fisik maupun penunjang sehingga penanganannya
dapat disesuaikan.

1. Anamnesis

Untuk mendapatkan riwayat penyakit yang lengkap sebaiknya diusahakan untuk mendapatkan
data-data :

- Jumlah dan warna darah

- Lamanya perdarahan

- Batuknya produktif atau tidak

- Batuk terjadi sebelum atau sesudah perdarahan

- Sakit dada, substernal atau pleuritik

- Hubungannya perdarahan dengan : istirahat, gerakan fisik, posisi badan dan batuk

- Wheezing

- Riwayat penyakit paru atau jantung terdahulu. (2)

- Perdarahan di tempat lain serempak dengan batuk darah

- Perokok berat dan telah berlangsung lama


- Sakit pada tungkai atau adanya pembengkakan serta sakit dada

- Hematuria yang disertai dengan batuk darah. (3)

Untuk membedakan antara batuk darah dengan muntah darah dapat digunakan
petunjuk sebagai berikut (3) :

Keadaan Hemoptoe Hematemesis


1. Prodromal Rasa tidak enak di Mual, stomach distress
tenggorokan, ingin batuk
2. Onset Darah dibatukkan, dapat Darah dimuntahkan dapat
disertai batuk disertai batuk
3. Penampilan darah Berbuih Tidak berbuih
4. Warna Merah segar Merah tua
5. Isi Lekosit, mikroorganisme, Sisa makanan
makrofag, hemosiderin
6. Reaksi Alkalis (pH tinggi) Asam (pH rendah)
7. Riwayat Penyakit Menderita kelainan paru Gangguan lambung,
Dahulu kelainan hepar
8. Anemi Kadang-kadang Selalu
9. Tinja Warna tinja normal Tinja bisa berwarna
hitam, Guaiac test (-)
Guaiac test (-)

2. Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan fisik dicari gejala/tanda lain di luar paru yang dapat mendasari
terjadinya batuk darah, antara lain : jari tabuh, bising sistolik dan opening snap,
pembesaran kelenjar limfe, ulserasi septum nasalis, teleangiektasi. (3)

3. Pemeriksaan penunjang

Foto toraks dalam posisi AP dan lateral hendaklah dibuat pada setiap penderita
hemoptisis masif. Gambaran opasitas dapat menunjukkan tempat perdarahannya. (3)

4. Pemeriksaan bronkoskopi
Sebaiknya dilakukan sebelum perdarahan berhenti, karena dengan demikian sumber
perdarahan dapat diketahui.

Adapun indikasi bronkoskopi pada batuk darah adalah :

1. Bila radiologik tidak didapatkan kelainan

2. Batuk darah yang berulang – ulang

3. Batuk darah masif : sebagai tindakan terapeutik (14)

Tindakan bronkoskopi merupakan sarana untuk menentukan diagnosis, lokasi


perdarahan, maupun persiapan operasi, namun waktu yang tepat untuk melakukannya
merupakan pendapat yang masih kontroversial, mengingat bahwa selama masa
perdarahan, bronkoskopi akan menimbulkan batuk yang lebih impulsif, sehingga dapat
memperhebat perdarahan disamping memperburuk fungsi pernapasan. Lavase dengan
bronkoskop fiberoptic dapat menilai bronkoskopi merupakan hal yang mutlak untuk
menentukan lokasi perdarahan. (4)

Dalam mencari sumber perdarahan pada lobus superior, bronkoskop serat optik jauh
lebih unggul, sedangkan bronkoskop metal sangat bermanfaat dalam membersihkan
jalan napas dari bekuan darah serta mengambil benda asing, disamping itu dapat
melakukan penamponan dengan balon khusus di tempat terjadinya perdarahan. (3)

VII. Penanganan

Pada umumnya hemoptoe ringan tidak diperlukan perawatan khusus dan biasanya berhenti
sendiri. Yang perlu mendapat perhatian yaitu hemoptisis yang masif.

Tujuan pokok terapi ialah (1,2):

1. Mencegah tersumbatnya saluran napas oleh darah yang beku

2. Mencegah kemungkinan penyebaran infeksi


3. Menghentikan perdarahan

Sasaran-sasaran terapi yang utama adalah memberikan suport kardiopulmaner dan


mengendalikan perdarahan sambil mencegah asfiksia yang merupakan penyebab utama
kematian pada para pasien dengan hemoptisis masif. (9)

Masalah utama dalam hemoptoe adalah terjadinya pembekuan dalam saluran napas yang
menyebabkan asfiksi. Bila terjadi afsiksi, tingkat kegawatan hemoptoe paling tinggi dan
menyebabkan kegagalan organ yang multipel. Hemoptoe dalam jumlah kecil dengan
refleks batuk yang buruk dapat menyebabkan kematian. Dalam jumlah banyak dapat
menimbukan renjatan hipovolemik. (4)

Pada prinsipnya, terapi yang dapat dilakukan adalah :

- Terapi konservatif (4)

- Terapi definitif (9) atau pembedahan. (7)

1. Terapi konservatif (4,6)

(4)
- Pasien harus dalam keadaan posisi istirahat, yakni posisi miring (lateral decubitus).
Kepala lebih rendah dan miring ke sisi yang sakit untuk mencegah aspirasi darah
ke paru yang sehat. (7)

- Melakukan suction dengan kateter setiap terjadi perdarahan.

- Batuk secara perlahan – lahan untuk mengeluarkan darah di dalam saluran saluran
napas untuk mencegah bahaya sufokasi.

- Dada dikompres dengan es – kap, hal ini biasanya menenangkan penderita.

- Pemberian obat – obat penghenti perdarahan (obat – obat hemostasis), misalnya vit.
K, ion kalsium, trombin dan karbazokrom.

- Antibiotika untuk mencegah infeksi sekunder.


- Pemberian cairan atau darah sesuai dengan banyaknya perdarahan yang terjadi.

- Pemberian oksigen.

Tindakan selanjutnya bila mungkin (7) :

- Menentukan asal perdarahan dengan bronkoskopi

- Menentukan penyebab dan mengobatinya, misal aspirasi darah dengan bronkoskopi


dan pemberian adrenalin pada sumber perdarahan.

2. Terapi pembedahan

Reseksi bedah segera pada tempat perdarahan merupakan pilihan. (9)

Tindakan operasi ini dilakukan atas pertimbangan (4) :

a. Terjadinya hemoptisis masif yang mengancam kehidupan pasien.

b. Pengalaman berbagai penyelidik menunjukkan bahwa angka kematian pada


perdarahan yang masif menurun dari 70% menjadi 18% dengan tindakan operasi.

c. Etiologi dapat dihilangkan sehingga faktor penyebab terjadinya hemoptoe yang


berulang dapat dicegah.

Busron (1978) menggunakan pula indikasi pembedahan sebagai berikut (4) :

1. Apabila pasien mengalami batuk darah lebih dari 600 cc / 24 jam dan dalam
pengamatannya perdarahan tidak berhenti.

2. Apabila pasien mengalami batuk darah kurang dari 600 cc / 24 jam dan tetapi lebih dari
250 cc / 24 jam jam dengan kadar Hb kurang dari 10 g%, sedangkan batuk darahnya
masih terus berlangsung.
3. Apabila pasien mengalami batuk darah kurang dari 600 cc / 24 jam dan tetapi lebih dari
250 cc / 24 jam dengan kadar Hb kurang dari 10 g%, tetapi selama pengamatan 48 jam
yang disertai dengan perawatan konservatif batuk darah tersebut tidak berhenti.

Sebelum pembedahan dilakukan, sedapat mungkin diperiksa faal paru dan dipastikan asal
perdarahannya, sedang jenis pembedahan berkisar dari segmentektomi, lobektomi dan
pneumonektomi dengan atau tanpa torakoplasti. (7)

Penting juga dilakukan usaha-usaha untuk menghentikan perdarahan. Metode yang mungkin
digunakan adalah (4) :

- Dengan memberikan cairan es garam yang dilakukan dengan bronkoskopi serat lentur
dengan posisi pada lokasi bronkus yang berdarah. Masukkan larutan NaCl fisiologis
pada suhu 4°C sebanyak 50 cc, diberikan selama 30-60 detik. Cairan ini kemudian
dihisap dengan suction.

- Dengan menggunakan kateter balon yang panjangnya 20 cm penampang 8,5 mm.

VIII. Komplikasi

Komplikasi yang terjadi merupakan kegawatan dari hemoptoe, yaitu ditentukan oleh tiga
faktor (4) :

1. Terjadinya asfiksia oleh karena terdapatnya bekuan darah dalam saluran pernapasan.

2. Jumlah darah yang dikeluarkan selama terjadinya hemoptoe dapat menimbulkan renjatan
hipovolemik.

3. Aspirasi, yaitu keadaan masuknya bekuan darah maupun sisa makanan ke dalam
jaringan paru yang sehat bersama inspirasi.

IX. Prognosis

Pada hemoptoe idiopatik prognosisnya baik kecuali bila penderita mengalami


hemoptoe yang rekuren.
Sedangkan pada hemoptoe sekunder ada beberapa faktor yang menentukan
prognosis :

1. Tingkatan hemoptoe : hemoptoe yang terjadi pertama kali mempunyai prognosis yang
lebih baik.

2. Macam penyakit dasar yang menyebabkan hemoptoe.

3. Cepatnya kita bertindak, misalnya bronkoskopi yang segera dilakukan untuk menghisap
darah yang beku di bronkus dapat menyelamatkan penderita.(1,14)

BAB III

KESIMPULAN

1. Hemoptoe merupakan salah satu gejala pada penyakit paru saluran pernapasan dan atau
kardiovaskuler yang disebabkan oleh berbagai macam etiologi.

2. Pecahnya aneurisma dari Rasmmusen’s pada dinding kavitas paru disertai fibrosis
perivaskuler merupakan penyebab utama hemoptoe yang masif.

3. Sampai saat ini klasifikasi hemoptisis masih didasarkan pada penyebab dan banyaknya darah
yang keluar bersama batuk.

4. Sebagian besar hemoptisis sekunder disebabkan oleh tuberkulosis paru, karsinoma dan
bronkiektasis. Bila ditemukan pada usia relatif muda harus dipikirkan pertama – tama
tuberkulosis paru, lalu bronkiektasis, kemudian stenosis mitral. Sedangkan hemoptoe pada
usia lebih dari 40 tahun kemungkinan urutannya adalah karsinoma bronkogenik, lalu
tuberkulosis, kemudian bronkiektasis.

5. Bronkoskopi pada saat ini merupakan cara pembantu diagnosis dan tindakan terapeutik yang
penting pada hemoptisis masif dan harus dikerjakan pada waktu perdarahan masih
berlangsung.
6. Komplikasi yang paling sering terjadi dari hemoptisis adalah terjadinya asfiksia, renjatan
hipovolemik dan bahaya aspirasi.

7. Pada prinsipnya penanganan hemoptoe ditujukan untuk memperbaiki kondisi kardiopulmoner


dan mencegah semua keadaan yang dapat menyebabkan kematian. Penanganan tersebut
dilakukan secara konservatif maupun dengan operasi, tergantung indikasi serta berat
ringannya hemoptisis yang terjadi.

8. Prognosis dari hemoptoe ditentukan oleh tingkatan hemoptoe, macam penyakit dasar dan
cepatnya tindakan yang dilakukan.

DAFTAR PUSTAKA

1. American Thoracic society. The Management of hemoptysis. A Statement by the committee


on Therapy, Am rev Respir Dis. 1996. (93) : 471 – 474

2. Amirana, et al. An Aggressive Surgical approach to Significant hemoptysis in Patients with


Pulmonary Tuberculosis Am Rev Respir Dis. 1968. (97) : 187 – 192

3. Soeroso HL. Susilo H. Parhussip RS. Sumari. Usman. Hemoptisis Masif. Cermin Dunia
Kedokteran. 1992. (80) : 90 – 94

4. Rab T. Prinsip Gawat Paru. ed.2. EGC. Jakarta. 1996. p. 185 – 201

5. Moxham. Symptoms And Sign in Respiratory Disease. Medicine Internat. Par East Ed. 1991.
4(14) : 3644 – 3649

6. Yusuf I. Manifestasi Klinis Penyakit Paru. dalam Ilmu Penyakit Dalam. Soeparman. Waspadji,
editor. BP-FKUI Jakarta. 1987. p. 688

7. Purwandianto A. Sampurna B. Kedaruratan Medik. ed. 3. Bina Rupa Aksara. Jakarta. p.19 –
20
8. Crofton SJ. Douglas A. Respiratory Diseasses. 3rd ed. Balckwell Scientific Publications.
Oxford. 1983. P.770 – 771

9. Woodley M. Whelan A. Pedoman Pengobatan. (Manual of Medical Therapeutics). Andi


offset. Yogyakarta. 1995. p. 326 – 327

10. Price SA.Wilson LM. Patofisiologi Konsep Klinik Proses-proses Penyakit (Pathophysiology
Clinical Consepts of Diseases Processes) alih bahasa Adji Dharma. EGC. Jakarta. 1984. p.
531.

11. Alsagaff H. Rai IB. Alrasyid SH. Penanggulangan Batuk Darah dalam Simposium Ilmu
Kedokteran Darurat. FK – Unair. Surabaya. 1979. p.162 – 164

12. Buja LM, et al. Pulmonary Alveolar Hemorrhage : A common finding in patiens with severe
cardiac disease. Am J Cardiol, 1971. 27 : 168 – 172

13. Roger SM. Signs and Symptoms. Hemoptysis. 4th ed. JB Lippin- cott Company. Philadelphia.
1964. Pp. 320 – 323

14. Sluiter HJ, Leerboek Long Ziekten. Van Gorkom, Assen/Maastricht. 1985

Filed under: Interna

Anda mungkin juga menyukai