Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG


Apendisitis adalah suatu radang yang timbul secara mendadak pada apendiks dan
merupakan salah satu kasus akut abdomen yang paling sering ditemui. Apendiks disebut
juga umbai cacing. Apendisitis sering disalah artikan dengan istilah usus buntu, karena
usus buntu sebenarnya adalah caecum. Apendisitis merupakan radang bakteri yang
dicetuskan berbagai faktor. Diantaranya hyperplasia jaringan limfe, fekalith, tumor
apendiks dan cacing ascaris dapat juga menimbulkan penyumbatan.
Insiden apendisitis lebih tinggi pada negara maju daripada Negara berkembang,
namun dalam tiga sampai empat dasawarsa terakhir menurun secara bermakna, yaitu 100
kasus tiap 100.000 populasi mejadi 52 tiap 100.000 populasi. Kejadian ini mungkin
disebabkan perubahan pola makan, yaitu negara berkembang berubah menjadi makanan
kurang serat.
Menurut data epidemiologi apendisitis akut jarang terjadi pada balita, meningkat pada
pubertas, dan mencapai puncaknya pada saat remaja dan awal 20-an, sedangkan angka ini
menurun pada menjelang dewasa. Insiden apendisitis sama banyaknya antara wanita dan
laki-laki pada masa prapuber, sedangkan pada masa remaja dan dewasa muda rationya
menjadi 3:2, kemudian angka yang tinggi ini menurun pada pria.
Dari berbagai penelitian yang telah dilakukan, obstruksi merupakan penyebab yang
dominan dan merupakan pencetus untuk terjadinya apendisitis. Kuman yang merupakan
flora normal pada usus dapat berubah menjadi patogen, menurut Schwartz kuman
terbanyak penyebab apendisitis adalah Bacteriodes Fragilis bersama E.coli.
Di dalam makalah yang berjudul “Asuhan Keperawatan pada Klien Apendisitis”
akan membahas seputar gangguan pencernaan pada apendiks atau biasa dikenal dengan
apendisitis yang meliputi pengertian, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis,
pemeriksaan, diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi serta asuhan keperawatannya.

1
1.2. TUJUAN UMUM
Untuk memperoleh gambaran tentang pelaksanaan Asuhan Keperawatan pada klien
apendisitis dengan menggunakan metode proses keperawatan.

1.3. TUJUAN KHUSUS


1. Mendapatkan gambaran tentang konsep penyakit apendisitis
2. Mampu membuat pengkajian keperawatan pada klien dengan apendisitis
3. Mampu membuat diagnosa keperawatan berdasarkan anamnesa
4. Mampu membuat rencana keperawatan berdasakan teori keperawatan

2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Konsep Dasar Penyakit
2.2.1 Anatomi Dan Fisiologi
2.2.1.1 Anatomi
Apendiks merupakan organ yang berbentuk tabung dengan panjang kira-kira 10 cm
dan berpangkal pada sekum, tepatnya di daerah perbatasan dengan usus ileum kuadran
kanan bawah. Apendiks memiliki lumen sempit dibagian proximal dan melebar pada
bagian distal. Saat lahir, apendiks pendek dan melebar dipersambungan dengan sekum.
Selama anak-anak, pertumbuhannya biasanya berotasi ke dalam retrocaecal tapi masih
dalam intraperitoneal. Pada apendiks terdapat 3 tanea coli yang menyatu dipersambungan
caecum dan bisa berguna dalam menandakan tempat untuk mendeteksi apendiks. Posisi
apendiks terbanyak adalah Retrocaecal (74%) lalu menyusul Pelvic (21%), Patileal (5%),
Paracaecal (2%), subcaecal (1,5%) dan preleal (1%).
Apendiks dialiri darah oleh arteri apendicular yang merupakan cabang dari bagian
bawa arteri ileocolica. Arteri apendiks termasuk akhir arteri. Apendiks memiliki lebih dari
6 saluran limfe melintangi mesoapendiks menuju ke nodus limfe ileocaecal.

Anatomi Lokasi Apendik

3
2.2.1.2 Fisiologi
Apendiks menghasilkan lendir 1-2ml perhari. Lendir dicurahkan ke caecum. Jika
terjadi hambatan maka akan terjadi patogenesa apendisitis akut. GALT (Gut Associated
Lymphoid Tissue) yang terdapat pada apendiks menghasilkan Ig-A. Namun demikian,
adanya pengangkatan terhadap apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh. Ini
dikarenakan jumlah jaringan limfe yang terdapat pada apendiks kecil sekali bila
dibandingkan dengan yang ada pada saluran cerna lain.
2.2.2 Definisi
Appendiks adalah ujung seperti jari yang kecil panjangnya kira-kira 10 cm (94 inci),
melekat pada sekum tepat di bawah katup ileosekal. Appendiks berisi makanan dan
mengosongkan diri secara teratur ke dalam sekum. Karena pengosongannya tidak efektif
dan lumennya kecil, appendiks cenderung menjadi tersumbat dan rentan terhadap infeksi
(Brunner dan Sudarth, 2002).
Apendisitis adalah peradangan dari apendiks vermivormis, dan merupakan penyebab
abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini dapat mengenai semua umur baik laki-laki
maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia antara 10 sampai 30
tahun (Mansjoer, 2007).
Apendisitis adalah infeksi pada appendiks karena tersumbatnya lumen oleh fekalith
(batu feces), hiperplasi jaringan limfoid, dan cacing usus. Obstruksi lumen merupakan
penyebab utama Apendisitis. Erosi membran mukosa appendiks dapat terjadi karena
parasit seperti Entamoeba histolytica, Trichuris trichiura, dan Enterobius vermikularis.
Apendisitis merupakan inflamasi apendiks vermiformis, karena struktur yang
terpuntir, appendiks merupakan tempat ideal bagi bakteri untuk berkumpul dan
multiplikasi.
Apendisitis merupakan inflamasi di apendiks yang dapt terjadi tanpa penyebab yang
jelas, setelah obstruksi apendiks oleh feses atau akibat terpuntirnya apendiks atau
pembuluh darahya (Corwin, 2009).

4
Inflamasi Apendik

2.2.3 Etiologi
Apendisitis dapat disebabkan oleh beberapa sebab terjadinya proses radang bakteria
yang dicetuskan oleh beberapa faktor pencetus diantaranya hiperplasia jaringan limfe,
fekalith, tumor apendiks, dan cacing askaris yang menyumbat. Ulserasi mukosa
merupakan tahap awal dari kebanyakan penyakit ini. namun ada beberapa faktor yang
mempermudah terjadinya radang apendiks, diantaranya :
1. Faktor sumbatan
Faktor obstruksi merupakan faktor terpenting terjadinya apendisitis (90%) yang diikuti
oleh infeksi. Sekitar 60% obstruksi disebabkan oleh hyperplasia jaringan lymphoid
sub-mukosa, 35% karena stasis fekal, 4% karena benda asing dan sebab lainnya 1%
diantaranya sumbatan oleh parasit dan cacing. Obstruksi yang disebabkan oleh fekalith
dapat ditemui pada bermacam-macam apendisitis akut diantaranya; fekalith ditemukan

5
40% pada kasus apendisitis kasus sederhana, 65% pada kasus apendisitis akut
ganggrenosa tanpa ruptur dan 90% pada kasus apendisitis akut dengan ruptur.
2. Faktor Bakteri
Infeksi enterogen merupakan faktor pathogenesis primer pada apendisitis. Adanya
fekolith dalam lumen apendiks yang telah terinfeksi memperburuk dan memperberat
infeksi, karena terjadi peningkatan stagnasi feses dalam lumen apendiks, pada kultur
didapatkan terbanyak ditemukan adalah kombinasi antara Bacteriodes fragililis dan
E.coli, lalu Splanchicus, lactobacilus, Pseudomonas, Bacteriodes splanicus.
Sedangkan kuman yang menyebabkan perforasi adalah kuman anaerob sebesar 96%
dan aerob<10%.
3. Kecenderungan familiar
Hal ini dihubungkan dengan tedapatnya malformasi yang herediter dari organ,
apendiks yang terlalu panjang, vaskularisasi yang tidak baik dan letaknya yang mudah
terjadi apendisitis. Hal ini juga dihubungkan dengan kebiasaan makanan dalam
keluarga terutama dengan diet rendah serat dapat memudahkan terjadinya fekolith dan
mengakibatkan obstruksi lumen.
4. Faktor ras dan diet
Faktor ras berhubungan dengan kebiasaan dan pola makanan sehari-hari. Bangsa kulit
putih yang dulunya pola makan rendah serat mempunyai resiko lebih tinggi dari
negara yang pola makannya banyak serat. Namun saat sekarang, kejadiannya terbalik.
Bangsa kulit putih telah merubah pola makan mereka ke pola makan tinggi serat.
Justru negara berkembang yang dulunya memiliki tinggi serat kini beralih ke pola
makan rendah serat, memiliki resiko apendisitis yang lebih tinggi.

2.2.4 Klasifikasi
1. Apendisitis akut
Apendisitis akut adalah : radang pada jaringan apendiks. Apendisitis akut pada
dasarnya adalah obstruksi lumen yang selanjutnya akan diikuti oleh proses infeksi dari
apendiks.
Penyebab obstruksi dapat berupa :
a. Hiperplasi limfonodi sub mukosa dinding apendiks.
b. Fekalit
c. Benda asing

6
d. Tumor.
Adanya obstruksi mengakibatkan mucin / cairan mukosa yang diproduksi tidak dapat
keluar dari apendiks, hal ini semakin meningkatkan tekanan intra luminer sehingga
menyebabkan tekanan intra mukosa juga semakin tinggi.
Tekanan yang tinggi akan menyebabkan infiltrasi kuman ke dinding apendiks
sehingga terjadi peradangan supuratif yang menghasilkan pus / nanah pada dinding
apendiks.
Selain obstruksi, apendisitis juga dapat disebabkan oleh penyebaran infeksi dari organ
lain yang kemudian menyebar secara hematogen ke apendiks.
2. Apendisitis Purulenta (Supurative Appendicitis)
Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema menyebabkan
terbendungnya aliran vena pada dinding appendiks dan menimbulkan trombosis.
Keadaan ini memperberat iskemia dan edema pada apendiks. Mikroorganisme yang
ada di usus besar berinvasi ke dalam dinding appendiks menimbulkan infeksi serosa
sehingga serosa menjadi suram karena dilapisi eksudat dan fibrin. Pada appendiks dan
mesoappendiks terjadi edema, hiperemia, dan di dalam lumen terdapat eksudat
fibrinopurulen. Ditandai dengan rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri tekan,
nyeri lepas di titik Mc Burney, defans muskuler, dan nyeri pada gerak aktif dan pasif.
Nyeri dan defans muskuler dapat terjadi pada seluruh perut disertai dengan tanda-
tanda peritonitis umum.
3. Apendisitis kronik
Diagnosis apendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika dipenuhi semua syarat :
riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari dua minggu, radang kronik apendiks secara
makroskopikdan mikroskopik, dan keluhan menghilang satelah apendektomi.
Kriteria mikroskopik apendiksitis kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding
apendiks, sumbatan parsial atau total lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus
lama dimukosa, dan infiltrasi sel inflamasi kronik. Insidens apendisitis kronik antara
1-5 persen.
4. Apendissitis rekurens
Diagnosis rekuren baru dapat dipikirkan jika ada riwayat serangan nyeri berulang di
perut kanan bawah yang mendorong dilakukan apeomi dan hasil patologi menunjukan
peradangan akut. Kelainan ini terjadi bila serangn apendisitis akut pertama kali
sembuh spontan. Namun, apendisitis tidak perna kembali ke bentuk aslinya karena

7
terjadi fribosis dan jaringan parut. Resiko untuk terjadinya serangn lagi sekitar 50
persen. Insidens apendisitis rekurens biasanya dilakukan apendektomi yang diperiksa
secara patologik. Pada apendiktitis rekurensi biasanya dilakukan apendektomi karena
sering penderita datang dalam serangan akut.
5. Mukokel Apendiks
Mukokel apendiks adalah dilatasi kistik dari apendiks yang berisi musin akibat adanya
obstruksi kronik pangkal apendiks, yang biasanya berupa jaringan fibrosa. Jika isi
lumen steril, musin akan tertimbun tanpa infeksi. Walaupun jarang,mukokel dapat
disebabkan oleh suatu kistadenoma yang dicurigai bisa menjadi ganas.
Penderita sering datang dengan keluhan ringan berupa rasa tidak enak di perut kanan
bawah. Kadang teraba massa memanjang di regio iliaka kanan. Suatu saat bila terjadi
infeksi, akan timbul tanda apendisitis akut. Pengobatannya adalah apendiktomi.
6. Tumor Apendiks
Penyakit ini jarang ditemukan, biasa ditemukan kebetulan sewaktu apendektomi atas
indikasi apendisitis akut. Karena bisa metastasis ke limfonodi regional,
dianjurkan hemikolektomi kanan yang akan memberi harapan hidup yang jauh lebih
baik dibanding hanya apendektomi.
7. Karsinoid Apendiks
Ini merupakan tumor sel argentafin apendiks. Kelainan ini jarang didiagnosis
prabedah,tetapi ditemukan secara kebetulan pada pemeriksaan patologi atas spesimen
apendiks dengan diagnosis prabedah apendisitis akut. Sindrom karsinoid berupa
rangsangan kemerahan (flushing) pada muka, sesak napas karena spasme bronkus, dan
diare ynag hanya ditemukan pada sekitar 6% kasus tumor karsinoid perut. Sel tumor
memproduksi serotonin yang menyebabkan gejala tersebut di atas.
Meskipun diragukan sebagai keganasan, karsinoid ternyata bisa memberikan residif
dan adanya metastasis sehingga diperlukan opersai radikal. Bila spesimen patologik
apendiks menunjukkan karsinoid dan pangkal tidak bebas tumor, dilakukan operasi
ulang reseksi ileosekal atau hemikolektomi kanan

8
APENDISITIS

2.2.5 Patofisiologi
Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh hiperplasia
folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat peradangan
sebelumnya, atau neoplasma.
Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami
bendungan. Makin lama mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding
apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan penekanan tekanan intralumen.
Tekanan yang meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan
edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi terjadi apendisitis
akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium.
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan
menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding.
Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga
menimbulkan nyeri di daerah kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan apendisitis
supuratif akut.
Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti
dengan gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang
telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi.
Bila semua proses di atas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan
bergerak ke arah apendiks hingga timbul suatu massa lokal yang disebut infiltrat
apendikularis. Peradangan apendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang. Pada

9
anak-anak, karena omentum lebih pendek dan apediks lebih panjang, dinding apendiks
lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang
memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua perforasi mudah terjadi
karena telah ada gangguan pembuluh darah (Mansjoer, 2007) .

10
2.2.6 Pathway

Apendiks
Hiperplasi folikel Benda asing Erosi mukosa Fekalit Striktur Tumor
Limfoid apendiks

Obstruksi
Mukosa terbendung
Apendiks teregang
Tekanan intraluminal
Aliran darah terganggu Nyeri

Ulserasi dan invasi bakteri


Pada dinding apendiks
Apendiks

Ke peritonium Trombosis pada vena intramural


Peritonitis Pembengkakan dan iskemia
Perforasi
Pembedahan operasi
Cemas
Luka insisi PK Perdarahan

Jalan masuk kuman


Defisit Self Nyeri

Resiko infeksi

(Mansjoer, 2007)

11
2.2.7 Manifestasi Klinis
1. Nyeri kuadran bawah
2. Demam ringan
3. Mual-muntah
4. Hilangnya nafsu makan
5. Nyeri tekan lokal pada titik mc Burney
6. Nyeri tekan lepas (hasil atau intesifikasi dari nyeri bila tekanan dilepaskan)
7. Tanda rovsing dapat timbul dengan melakukan palpasi kuadran bawah kiri yang
secara paradoksimal menyebabkan nyeri yang terasa di kuadran kanan bawah
8. Distensi abdomen akibat ileus paralitik
9. Kondisi pasien memburuk

2.2.8 Komplikasi
Komplikasi terjadi akibat keterlambatan penanganan apendisitis. Faktor keterlambatan
dapat berasal dari penderita dan tenaga medis. Faktor penderita meliputi pengetahuan dan
biaya, sedangkan tenaga medis meliputi kesalahan diagnosa, menunda diagnosa, terlambat
merujuk ke rumah sakit, dan terlambat melakukan penanggulangan. Kondisi ini
menyebabkan peningkatan angka morbiditas dan mortalitas. Proporsi komplikasi
Apendisitis 10-32%, paling sering pada anak kecil dan orang tua. Komplikasi 93% terjadi
pada anak-anak di bawah 2 tahun dan 40-75% pada orang tua. CFR komplikasi 2-5%, 10-
15% terjadi pada anak-anak dan orang tua.43 Anak-anak memiliki dinding appendiks
yang masih tipis, omentum lebih pendek dan belum berkembang sempurna memudahkan
terjadinya perforasi, sedangkan pada orang tua terjadi gangguan pembuluh darah. Adapun
jenis komplikasi di antaranya:
1. Abses
Abses merupakan peradangan appendiks yang berisi pus. Teraba massa lunak di
kuadran kanan bawah atau daerah pelvis. Massa ini mula-mula berupa flegmon dan
berkembang menjadi rongga yang mengandung pus. Hal ini terjadi bila Apendisitis
gangren atau mikroperforasi ditutupi oleh omentum.
2. Perforasi
Perforasi adalah pecahnya appendiks yang berisi pus sehingga bakteri menyebar ke
rongga perut. Perforasi jarang terjadi dalam 12 jam pertama sejak awal sakit, tetapi
meningkat tajam sesudah 24 jam. Perforasi dapat diketahui praoperatif pada 70%

12
kasus dengan gambaran klinis yang timbul lebih dari 36 jam sejak sakit, panas lebih
dari 38,50C, tampak toksik, nyeri tekan seluruh perut, dan leukositosis terutama
polymorphonuclear (PMN). Perforasi, baik berupa perforasi bebas maupun
mikroperforasi dapat menyebabkan peritonitis.
3. Peritononitis
Peritonitis adalah peradangan peritoneum, merupakan komplikasi berbahaya yang
dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. Bila infeksi tersebar luas pada
permukaan peritoneum menyebabkan timbulnya peritonitis umum. Aktivitas
peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik, usus meregang, dan hilangnya
cairan elektrolit mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi, dan oligouria.
Peritonitis disertai rasa sakit perut yang semakin hebat, muntah, nyeri abdomen,
demam, dan leukositosis.

2.2.9 Pemeriksaan Penunjang


1. Laboratorium
Terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan C-reactive protein (CRP). Pada
pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara 10.000-
18.000/mm3 (leukositosis) dan neutrofil diatas 75%, sedangkan pada CRP
ditemukan jumlah serum yang meningkat. CRP adalah salah satu komponen
protein fase akut yang akan meningkat 4-6 jam setelah terjadinya proses
inflamasi, dapat dilihat melalui proses elektroforesis serum protein. Angka
sensitivitas dan spesifisitas CRP yaitu 80% dan 90%.
2. Radiologi
Terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi (USG) dan Computed Tomography
Scanning (CT-scan). Pada pemeriksaan USG ditemukan bagian memanjang
pada tempat yang terjadi inflamasi pada appendiks, sedangkan pada
pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang menyilang dengan fekalith dan
perluasan dari appendiks yang mengalami inflamasi serta adanya pelebaran
sekum. Tingkat akurasi USG 90-94% dengan angka sensitivitas dan spesifisitas
yaitu 85% dan 92%, sedangkan CT-Scan mempunyai tingkat akurasi 94-100%
dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi yaitu 90-100% dan 96-97%.
3. Analisa urin bertujuan untuk mendiagnosa batu ureter dan kemungkinan infeksi
saluran kemih sebagai akibat dari nyeri perut bawah.

13
4. Pengukuran enzim hati dan tingkatan amilase membantu mendiagnosa
peradangan hati, kandung empedu, dan pankreas.
5. Serum Beta Human Chorionic Gonadotrophin (B-HCG) untuk memeriksa
adanya kemungkinan kehamilan.
6. Pemeriksaan barium enema untuk menentukan lokasi sekum. Pemeriksaan
Barium enema dan Colonoscopy merupakan pemeriksaan awal untuk
kemungkinan karsinoma colon.
Pemeriksaan foto polos abdomen tidak menunjukkan tanda pasti Apendisitis, tetapi
mempunyai arti penting dalam membedakan Apendisitis dengan obstruksi usus halus atau
batu ureter kanan.

2.2.10 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pasien dengan apendisitis meliputi terapi medis dan terapi bedah.
Terapi medis terutama diberikan pada pasien yang tidak mempunyai akses ke pelayanan
bedah, dimana pada pasien diberikan antibiotik. Namun sebuah penelitian prospektif
menemukan bahwa dapat terjadi apendisitis rekuren dalam beberapa bulan kemudian pada
pasien yang diberi terapi medis saja. Selain itu terapi medis juga berguna pada pasien
apendisitis yang mempunyai resiko operasi yang tinggi.
Namun pada kasus apendisitis perforasi, terapi medis diberikan sebagai terapi awal
berupa antibiotik dan drainase melalui CT-scan pada absesnya. The Surgical Infection
Society menganjurkan pemberian antibiotik profilaks sebelum pembedahan dengan
menggunakan antibiotik spektrum luas kurang dari 24 jam untuk apendisitis non perforasi
dan kurang dari 5 jam untuk apendisitis perforasi.
Penggantian cairan dan elektrolit, mengontrol sepsis, antibiotik sistemik adalah
pengobatan pertama yang utama pada peritonitis difus termasuk akibat apendisitis dengan
perforasi.
1. Cairan intravena
Cairan yang secara massive ke rongga peritonium harus di ganti segera dengan cairan
intravena, jika terbukti terjadi toxix sistemik, atau pasien tua atau kesehatan yang
buruk harus dipasang pengukur tekanan vena central. Balance cairan harus
diperhatikan. Cairan atau berupa ringer laktat (RL) harus di infus secara cepat untuk
mengkoreksi hipovolemia dan mengembalikan tekanan darah serta pengeluaran

14
urin pada level yang baik. Darah di berikan bila mengalami anemia dan atau dengan
perdarahan secara bersamaan.
2. Antibiotik
Pemberian antibiotik intravena diberikan untuk antisipasi bakteri patogen, antibiotik
initial diberikan termasuk gegerasi ke 3 cephalosporins, ampicillin– sulbaktam, dan
lain-lain dan metronidazol atau klindanisin untuk kuman anaerob. Pemberian
antibiotik postops harus di ubeah berdasarkan kultur dan sensitivitas. Antibiotik tetap
diberikan sampai pasien tidak demam dengan normal leukosit. Setelah memperbaiki
keadaan umum dengan infus, antibiotik serta pemasangan pipa nasogastrik perlu di
lakukan pembedahan sebagai terapi definitif dari apendisitis perforasi.
Perlu dilakukan insisi yang panjang supaya mudah dilakukan pencucian rongga
peritonium untuk mengangkat material seperti darah, fibrin serta dilusi dari bakteria.
Pencucian cukup dengan larutan kristaloid isotonis yang hangat, penambahan
antiseptik dan antibiotik untuk irigasi cenderung tidak berguna bahkan malah
berbahaya karena menimbulkan adhesive (misal tetrasiklin atau provine iodine), anti
biotik yang diberikan secara parenteral dapat mencapai rongga peritonium dalam
kadar bakterisid.
Tapi ada juga ahli yang berpendapat bahwa dengan penambahan tetrasiklin 1 mg
dalam 1 ml larutan garam dapat mengendalikan sepsis dan bisul residual, pada kadar
ini antibiotik bersifat bakterisid terhadap kebanyakan organisme. Walaupun sedikit
membuat kerusakan pada permungkaan peritonial tapi tidak ada bukti bahwa
menimbulkan resiko perlengketan. Tapi zat lain seperti iodine tidak populer. Setelah
pencucian seluruh cairan di rongga peritonium seluruh cairan harus diaspirasi.
3. Pembedahan
Apendektomi adalah pembedahan untuk mengangkat apendiks dilakukan sesegera
mungkin untuk menurunkan resiko perforasi. (Smeltzer Suzanne, C., 2001).
Terapi bedah meliputi apendiktomi dan laparoskopik apendiktomi. Apendiktomi
terbuka merupakan operasi klasik pengangkatan apendiks. Mencakup Mc Burney,
Rocke-Davis atau Fowler-Weir insisi. Dilakukan diseksi melalui oblique eksterna,
oblique interna dan transversal untuk membuat suatu muscle spreading atau muscle
splitting, setelah masuk ke peritoneum apendiks dikeluarkan ke lapangan operasi,
diklem, diligasi dan dipotong. Mukosa yang terkena dicauter untuk mengurangi

15
perdarahan, beberapa orang melakukan inversi pada ujungnya, kemudian sekum
dikembalikan ke dalam perut dan insisi ditutup.

Mengenai pemilihan metode tergantung pada ahli bedahnya. Apendiks kemudian


diangkat dari abdomen menggunakan sebuah endobag. Laparoskopik apendiktomi
mempunyai beberapa keuntungan antara lain bekas operasinya lebih bagus dari segi
kosmetik dan mengurangi infeksi pascabedah. Beberapa penelitian juga menemukan
bahwa laparoskopik apendiktomi juga mempersingkat masa rawatan di rumah sakit.
Kerugian laparoskopik apendiktomi antara lain mahal dari segi biaya dan juga
pengerjaannya yang lebih lama, sekitar 20 menit lebih lama dari apendiktomi terbuka.
Namun lama pengerjaanya dapat dipersingkat dengan peningkatan pengalaman.
Kontraindikasi laparoskopik apendiktomi adalah pada pasien dengan perlengketan
intra-abdomen yang signifikan.

Pembedahan Apendik

16
2.2. Konsep Asuhan Keperawatan
2.2.1 Pengkajian
a. Identitas
Nama, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama, suku/bangsa,
pendidikan, pekerjaan, pendapatan, alamat, nomor register.
b. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan Utama
Klien akan mendapatkan nyeri di sekitar epigastrium menjalar ke perut
kanan bawah. Timbul keluhan Nyeri perut kanan bawah mungkin beberapa
jam kemudian setelah nyeri di pusat atau di epigastrium dirasakan dalam
beberapa waktu lalu. Nyeri dirasakan terus-menerus. Keluhan yang
menyertai antara lain rasa mual dan muntah, panas.
2) Riwayat Kesehatan Sekarang
Pasien merasa nyeri disekitar perut kanan bawah, nyeri ini dirasakan terus
menerus dan terkadang merasa mual dan muntah, peningkatan suhu tubuh,
peningkatan leukosit
3) Riwayat Kesehatan Masa Lalu
Perlu dikaji apakah klien pernah mengalami penyakit yang sama atau
penyakit organ pencernaan lainnya.
4) Riwayat Kesehatan Keluarga
Perlu dikaji apakah dalam keluarga ada yang pernah mengalami yang sama
atau penyakit organ pencernaan lainnya.
5) Riwayat Psikososial
Mekanisme koping yang digunakan klien untuk mengatasi masalah dan
bagaimana besarnya motivasi kesembuhan dan cara klien menerima
keadaannya.
c. Pola Fungsi Kesehatan
1) Aktivitas/ istirahat: Malaise
2) Sirkulasi : Tachikardi
3) Eliminasi
a) Konstipasi pada awitan awal
b) Diare (kadang-kadang)
c) Distensi abdomen

17
d) Nyeri tekan/lepas abdomen
e) Penurunan bising usus
4) Cairan/makanan : anoreksia, mual, muntah
5) Kenyamanan
Nyeri abdomen sekitar epigastrium dan umbilikus yang meningkat berat
dan terlokalisasi pada titik Mc. Burney meningkat karena berjalan, bersin,
batuk, atau nafas dalam
6) Keamanan : demam
7) Pernapasan
a) Tachipne
b) Pernapasan dangkal
d. Pemeriksaan Fisik
1) Inspeksi
Pada apendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal
swelling, sehingga pada pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi
perut.
2) Palpasi
Pada daerah perut kanan bawah apabila ditekan akan terasa nyeri. Dan bila
tekanan dilepas juga akan terasa nyeri. Nyeri tekan perut kanan bawah
merupakan kunci diagnosis dari apendisitis. Pada penekanan perut kiri
bawah akan dirasakan nyeri pada perut kanan bawah. Ini disebut tanda
Rovsing (Rovsing Sign). Dan apabila tekanan di perut kiri bawah
dilepaskan juga akan terasa nyeri pada perut kanan bawah.Ini disebut tanda
Blumberg (Blumberg Sign).

18
Nama Pemeriksaan Tanda dan Gejala
Rovsing’s Sign Positif jika dilakukan palpasi dengan tekanan
pada kuadran kiri bawah dan timbul nyeri
pada sisi kanan.
Psoas Sign atau Obraztsova’s Sign Pasien diberikan pada sisi kiri, kemudian
dilakukan ekstensi dari panggul kanan. Positif
jika timbul nyeri pada kanan bawah.
Obturator Sign Pada pasien dilakukan fleksi panggul dan
dilakukan rotasi internal pada panggul. Positif
jika timbul nyeri pada hipogastrium atau
vagina.
Dunphy’s Sign Pertambahan nyeri pada tertis kanan bawah
dengan batuk.
Ten Horn Sign Nyeri yang timbul saat dilakukan traksi
lembut pada korda spermatic kanan.
Kocher (Kosher)’s Sign Nyeri pada awalnya pada daerah epigastrium
atau sekitar pusat, kemudian berpindah ke
kuadran kanan bawah.
Sitkovskiy (Rosenstein)’s Sign Nyeri yang semakin bertambah pada perut
kuadran kanan bawah saat pasien dibaringkan
pada sisi kiri.
Aure-Rozanova’s Sign Bertambahnya nyeri dengan jari pada petit
triangle kanan (akan positif Shchetkin-
Bloomberg’s sign).
Blumberg Sign Disebut juga dengan nyeri lepas. Palpasi pada
kuadran kanan bawah kemudian dilepaskan
tiba-tiba.

3) Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator


Pemeriksaan ini juga dilakukan untuk mengetahui letak apendiks yang
meradang. Uji psoas dilakukan dengan rangsangan otot psoas lewat
hiperektensi sendi panggul kanan atau fleksi aktif sendi panggul kanan,

19
kemudian paha kanan ditahan. Bila appendiks yang meradang menempel di
m. psoas mayor, maka tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri.
Sedangkan pada uji obturator dilakukan gerakan fleksi dan endorotasi
sendi panggul pada posisi terlentang. Bila apendiks yang meradang kontak
dengan m.obturator internus yang merupakan dinding panggul kecil, maka
tindakan ini akan menimbulkan nyeri. Pemeriksaan ini dilakukan pada
apendisitis pelvika.
4) Pemeriksaan colok dubur
Pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis, untuk menentukan letak
apendiks, apabila letaknya sulit diketahui. Jika saat dilakukan pemeriksaan
ini dan terasa nyeri, maka kemungkinan apendiks yang meradang terletak
didaerah pelvis. Pemeriksaan ini merupakan kunci diagnosis pada
apendisitis pelvika.

e. Pemeriksaan Penunjang
1) Laboratorium
Terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan test protein reaktif (CRP). Pada
pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara 10.000-
20.000/ml (leukositosis) dan neutrofil diatas 75%, sedangkan pada CRP
ditemukan jumlah serum yang meningkat.
2) Radiologi
Terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi dan CT-scan. Pada pemeriksaan
ultrasonografi ditemukan bagian memanjang pada tempat yang terjadi
inflamasi pada apendiks. Sedangkan pada pemeriksaan CT-scan ditemukan
bagian yang menyilang dengan apendikalit serta perluasan dari apendiks
yang mengalami inflamasi serta adanya pelebaran sekum.

2.2.2 Diagnosa Keperawatan


2.2.1.1 Pre operasi
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri biologi (distensi jaringan intestinal
oleh inflamasi)
2. Perubahan pola eliminasi (konstipasi) berhubungan dengan penurunan
peritaltik.

20
3. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual muntah.
4. Cemas berhubungan dengan akan dilaksanakan operasi.
2.2.1.2 Post operasi
1. Nyeri berhubungan dengan agen injuri fisik (luka insisi post operasi
appenditomi).
2. Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan invasif (insisi post pembedahan).
3. Defisit self care berhubungan dengan nyeri.
4. Kurang pengetahuan tentang kondisi prognosis dan kebutuhan pengobatan b.d
kurang informasi.

21
2.2.3 Rencana Keperawatan
Pre Operasi
DIAGNOSA
NO NOC NIC RASIONAL
KEPERAWATAN
1. Nyeri akut berhubungan Setelah dilakukan asuhan 1. Kaji tingkat nyeri, lokasi dan § Untuk mengetahui sejauh mana
dengan agen injuri biologi keperawatan, diharapkan nyeri karasteristik nyeri. tingkat nyeri dan merupakan
(distensi jaringan intestinal klien berkurang dengan kriteria indiaktor secara dini untuk dapat
oleh inflamasi) hasil: memberikan tindakan selanjutnya
· Klien mampu mengontrol § informasi yang tepat dapat
nyeri (tahu penyebab nyeri, 2. Jelaskan pada pasien tentang menurunkan tingkat kecemasan
mampu menggunakan tehnik penyebab nyeri pasien dan menambah
nonfarmakologi untuk pengetahuan pasien tentang nyeri.
mengurangi nyeri, mencari § napas dalam dapat menghirup
bantuan) O2 secara adequate sehingga otot-
· Melaporkan bahwa nyeri 3. Ajarkan tehnik untuk otot menjadi relaksasi sehingga
berkurang dengan pernafasan diafragmatik lambat / dapat mengurangi rasa nyeri.
menggunakan manajemen nyeri napas dalam § meningkatkan relaksasi dan
· Tanda vital dalam dapat meningkatkan kemampuan
rentang normal kooping.
TD (systole 110-130mmHg, § deteksi dini terhadap
diastole 70-90mmHg), HR(60- 4. Berikan aktivitas hiburan perkembangan kesehatan pasien.

22
100x/menit), RR (16- (ngobrol dengan anggota keluarga) § sebagai profilaksis untuk dapat
24x/menit), suhu (36,5-37,50C) 5. Observasi tanda-tanda vital menghilangkan rasa nyeri.
· Klien tampak rileks
mampu tidur/istirahat

6. Kolaborasi dengan tim medis


dalam pemberian analgetik
2. Perubahan pola eliminasi Setelah dilakukan asuhan 1. Pastikan kebiasaan § membantu dalam pembentukan
(konstipasi) berhubungan keperawatan, diharapkan defekasi klien dan gaya hidup jadwal irigasi efektif
dengan penurunan peritaltik. konstipasi klien teratasi dengan sebelumnya.
kriteria hasil: 2. Auskultasi bising usus § kembalinya fungsi
· BAB 1-2 kali/hari gastriintestinal mungkin terlambat
· Feses lunak oleh inflamasi intra peritonial
· Bising usus 5-30 § masukan adekuat dan serat,
kali/menit 3. Tinjau ulang pola diet dan makanan kasar memberikan
jumlah / tipe masukan cairan. bentuk dan cairan adalah faktor
penting dalam menentukan
konsistensi feses.
§ makanan yang tinggi serat dapat
memperlancar pencernaan
sehingga tidak terjadi konstipasi.

23
4. Berikan makanan tinggi serat.
§ obat pelunak feses dapat
melunakkan feses sehingga tidak
terjadi konstipasi.

5. Berikan obat sesuai indikasi,


contoh : pelunak feses
3. Kekurangan volume cairan Setelah dilakukan asuhan 1. Monitor tanda-tanda vital § Tanda yang membantu
berhubungan dengan mual keperawatan diharapkan mengidentifikasikan fluktuasi
muntah. keseimbangan cairan dapat volume intravaskuler.
dipertahankan dengan kriteria 2. Kaji membrane mukosa, kaji § Indicator keadekuatan sirkulasi
hasil: tugor kulit dan pengisian kapiler. perifer dan hidrasi seluler.
· kelembaban membrane 3. Awasi masukan dan haluaran,
mukosa catat warna urine/konsentrasi, § Penurunan haluaran urin pekat
· turgor kulit baik berat jenis. dengan peningkatan berat jenis
· Haluaran urin adekuat: 1 diduga dehidrasi/kebutuhan
cc/kg BB/jam 4. Auskultasi bising usus, catat peningkatan cairan.
· Tanda-tanda vital dalam kelancaran flatus, gerakan usus. § Indicator kembalinya peristaltic,
batas normal 5. Berikan perawatan mulut kesiapan untuk pemasukan per
TD (systole 110-130mmHg, sering dengan perhatian khusus oral.

24
diastole 70-90mmHg), HR(60- pada perlindungan bibir. § Dehidrasi mengakibatkan bibir
100x/menit), RR (16- 6. Pertahankan penghisapan dan mulut kering dan pecah-pecah
24x/menit), suhu (36,5-37,50C) gaster/usus.
§ Selang NG biasanya
dimasukkan pada praoperasi dan
dipertahankan pada fase segera
pascaoperasi untuk dekompresi
usus, meningkatkan istirahat usus,
7. Kolaborasi pemberiancairan mencegah mentah.
IV dan elektrolit § Peritoneum bereaksi terhadap
iritasi/infeksi dengan
menghasilkan sejumlah besar
cairan yang dapat menurunkan
volume sirkulasi darah,
mengakibatkan hipovolemia.
Dehidrasi dapat terjadi
ketidakseimbangan elektrolit
4. Cemas berhubungan dengan Setelah dilakukan asuhan 1. Evaluasi tingkat ansietas, catat § ketakutan dapat terjadi karena
akan dilaksanakan operasi. keperawatan, diharapkan verbal dan non verbal pasien. nyeri hebat, penting pada prosedur
kecemasab klien berkurang diagnostik dan pembedahan.
dengan kriteria hasil: § dapat meringankan ansietas

25
· Melaporkan ansietas 2. Jelaskan dan persiapkan untuk terutama ketika pemeriksaan
menurun sampai tingkat teratasi tindakan prosedur sebelum tersebut melibatkan pembedahan.
· Tampak rileks dilakukan § membatasi kelemahan,
menghemat energi dan
3. Jadwalkan istirahat adekuat meningkatkan kemampuan
dan periode menghentikan tidur. koping.
§ Mengurangi kecemasan klien
4. Anjurkan keluarga untuk
menemani disamping klien

Post Operasi
DIAGNOSA
NO NOC NIC RASIONAL
KEPERAWATAN
1. Nyeri berhubungan dengan Setelah dilakukan asuhan 1. Kaji skala nyeri lokasi, § Berguna dalam pengawasan
agen injuri fisik (luka insisi keperawatan, diharapkan nyeri karakteristik dan laporkan dan keefesien obat, kemajuan
post operasi appenditomi). berkurang dengan kriteria hasil: perubahan nyeri dengan tepat. penyembuhan,perubahan dan
· Melaporkan nyeri karakteristik nyeri.
berkurang 2. Monitor tanda-tanda vital § deteksi dini terhadap
· Klien tampak rileks perkembangan kesehatan pasien.
· Dapat tidur dengan tepat § Menghilangkan tegangan

26
· Tanda-tanda vital dalam 3. Pertahankan istirahat dengan abdomen yang bertambah
batas normal posisi semi powler. dengan posisi terlentang.
TD (systole 110-130mmHg, § Meningkatkan kormolisasi
diastole 70-90mmHg), HR(60- 4. Dorong ambulasi dini. fungsi organ.
100x/menit), RR (16- § meningkatkan relaksasi.
24x/menit), suhu (36,5-37,50C) § Menghilangkan nyeri.
5. Berikan aktivitas hiburan.
6. Kolborasi tim dokter dalam
pemberian analgetika.
2. Resiko infeksi berhubungan Setelah dilakukan asuhan 1. Kaji adanya tanda-tanda § Dugaan adanya infeksi
dengan tindakan invasif (insisi keperawatan diharapkan infeksi infeksi pada area insisi
post pembedahan). dapat diatasi dengan kriteria 2. Monitor tanda-tanda vital. § Dugaan adanya
hasil: Perhatikan demam, menggigil, infeksi/terjadinya sepsis, abses,
· Klien bebas dari tanda- berkeringat, perubahan mental peritonitis
tanda infeksi 3. Lakukan teknik isolasi untuk § mencegah transmisi penyakit
· Menunjukkan infeksi enterik, termasuk cuci virus ke orang lain.
kemampuan untuk mencegah tangan efektif.
timbulnya infeksi 4. Pertahankan teknik aseptik § mencegah meluas dan
· Nilai leukosit (4,5- ketat pada perawatan luka insisi / membatasi penyebaran
11ribu/ul) terbuka, bersihkan dengan organisme infektif / kontaminasi
betadine. silang.

27
5. Awasi / batasi pengunjung § menurunkan resiko terpajan.
dan siap kebutuhan.
6. Kolaborasi tim medis dalam § terapi ditunjukkan pada
pemberian antibiotik bakteri anaerob dan hasil aerob
gra negatif.

3. Defisit self care berhubungan Setelah dilakukan asuhan 1. Mandikan pasien setiap hari § Agar badan menjadi segar,
dengan nyeri. keperawatan diharapkan sampai klien mampu melancarkan peredaran darah
kebersihan klien dapt melaksanakan sendiri serta cuci dan meningkatkan kesehatan.
dipertahankan dengan kriteria rambut dan potong kuku klien.
hasil: 2. Ganti pakaian yang kotor
· klien bebas dari bau dengan yang bersih. § Untuk melindungi klien dari
badan kuman dan meningkatkan rasa
· klien tampak bersih 3. Berikan Hynege Edukasipada nyaman
· ADLs klien dapat mandiri klien dan keluarganya tentang § Agar klien dan keluarga dapat
atau dengan bantuan pentingnya kebersihan diri. termotivasi untuk menjaga
4. Berikan pujian pada klien personal hygiene.
tentang kebersihannya. § Agar klien merasa tersanjung
dan lebih kooperatif dalam
5. Bimbing keluarga klien kebersihan

28
memandikan / menyeka pasien § Agar keterampilan dapat
6. Bersihkan dan atur posisi serta diterapkan
tempat tidur klien.
§ Klien merasa nyaman dengan
tenun yang bersih serta
mencegah terjadinya infeksi.

4. Kurang pengetahuan tentang Setelah dilakukan asuhan 1. Kaji ulang pembatasan § Memberikan informasi pada
kondisi prognosis dan keperawatan diharapkan aktivitas pascaoperasi pasien untuk merencanakan
kebutuhan pengobatan b.d pengetahuan bertambah dengan kembali rutinitas biasa tanpa
kurang informasi. kriteria hasil: menimbulkan masalah.
· menyatakan pemahaman 2. Anjuran menggunakan § Membantu kembali ke fungsi
proses penyakit, pengobatan laksatif/pelembek feses ringan bila usus semula mencegah ngejan
dan perlu dan hindari enema saat defekasi
· berpartisipasi dalam 3. Diskusikan perawatan insisi,
program pengobatan termasuk mengamati balutan, § Pemahaman meningkatkan
pembatasan mandi, dan kembali kerja sama dengan terapi,
ke dokter untuk mengangkat meningkatkan penyembuhan
jahitan/pengikat
4. Identifikasi gejala yang

29
memerlukan evaluasi medic, § Upaya intervensi menurunkan
contoh peningkatan nyeri resiko komplikasi lambatnya
edema/eritema luka, adanya penyembuhan peritonitis.
drainase, demam

30
2.2.4 Implementasi
Komponen implementasi dalam proses keperawatan mencakup penerapan ketrampilan
untuk mengimplentasikan intervensi keperawatan. Ketrempilan dan pengetahuan yang
diperlukan untuk implementasi biasanya berfokus pada :
1. Melakukan aktivitas untuk klien atau membantu klien.
2. Melakukan pengkajian keperawatan untuk mengidentifikasi masalah baru atau
memantau status masalah yang telah ada
3. Memberi pendidikan kesehatan untuk membantu klien mendapatkan pengetahuan
yang baru tentang kesehatannya atau penatalaksanaan gangguan.
4. Membantu klien membuat keptusan tentang layanan kesehatannya sendiri
5. Berkonsultasi dan membuat rujukan pada profesi kesehatan lainnya untuk
mendapatkan pengarahan yang tepat.
6. Memberi tindakan yang spesifik untuk menghilangkan, mengurangi, atau
menyelesaikan masalah kesehatan.
7. Membantu klien melakukan aktivitasnya sendiri
8. Membantu klien mengidentifikasi risiko atau masalah dan menggali pilihan yang
tersedia (Carpenito, 2009, hal 57)

2.2.5 Evaluasi
1. Melaporkan berkurangnya nyeri
a. Melaporkan nyeri hilang atau terkontrol
b. Klien tampak rileks, mampu tidur/istirahat
2. Cairan tubuh seimbang
a. Mempertahankan urine output sesuai dengan usia dan BB, BJ urine normal, HT
normal.
b. Tekanan darah, nadi, suhu tubuh dalam batas normal.
c. Tidak ada tanda dehidrasi, elastisitas, turgor kulit, membran mukosa lembab
d. Tidak ada rasa haus yang berlebihan
3. Menunjukan tidak ada tanda infeksi
a. Luka sembuh tanpa tanda infeksi
b. Cairan yang keluar dari luka tidak purulen
4. Menyatakan pemahaman tentang penyakit dan prosedur tindakan yang akan
dilakukan

31
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya, maka dapat
ditarik kesimpulan bahwa apendiks adalah termasuk ke dalam salah satu organ sistem
pencernaan yang terletak tepat dibawah dan melekat pada sekum yang berfungsi sebagai
imun. Apendisistis merupakan inflamasi akut pada apendiks yang disebabkan oleh fekalit
(massa keras dari feces), tumor atau benda asing di dalam tubuh, namun ulserasi mukosa ,
disebabkan oleh obstruksi lumen apendiks, invasi bakteri dan pola diet yang tidak baik,
seperti makan makanan dengan konsistensi tinggi.
Gejala yang sering muncul adalah nyeri hebat pada bagian kiri bawah perut, mual
muntah, anoreksia, dan distensi abdomen. Jika apendisitis berlanjut, maka dapat
mengakibatkan peritonitis karena perforasi apendiks. Penatalaksanaan pada apendiks
adalah dengan pemberian cairan intravena, pemberian antibiotika dan pembedahan
apendiks itu sendiri.
Prioritas keperawatan pada klien apendisitis adalah meningkatkan kenyamanan,
mencegah komplikasi dan memberikan informasi tentang prosedur pembedahan atau
prognosis, kebutuhan pengobatan, dan potensi komplikasi serta nyeri dapat terkontrol.

3.2 SARAN
1. Sebaiknya seorang perawat dapat memberikan asuhan keperawatan dengan baik
dan sesuai dengan standar asuhan keperawatan dan perawat dapat berkolaborasi
dengan tim kesehatan lain.
2. Perawat membantu klien dengan mempersiapkan prosedur pembedahan jika
dilakukan pembedahan agar tidak terjadi komplikasi lebih lanjut.

32
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, L.J. (2009). Diagnosis Keperawatan: Aplikasi Pada Praktik Klinis. Edisi ke
Sembilan. Jakarta :EGC
Elizabeth, J, Corwin. (2009). Biku saku Fatofisiologi, EGC, Jakarta.
Mansjoer, Arif, 2007, Kapita Selekta Kedokteran, Media Aesculapius, FKUI, Jakarta.
Mc Closkey, C.J., Iet all, 2002, Nursing Interventions Classification (NIC) second Edition,
IOWA Intervention Project, Mosby
NANDA, 2012, Diagnosis Keperawatan NANDA : Definisi dan Klasifikasi.
Smeltzer, Bare (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Brunner & suddart. Edisi 8.
Volume 2. Jakarta, EGC

33

Anda mungkin juga menyukai