Anda di halaman 1dari 49

Makalah Farmakologi Kardiovaskular

Claudicatio & Kardiogenik Syok

Oleh :

1. Floria J. Lomu Nifu 1608010001


2. Giovani R. Hadi 1608010005

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
2017/2018
I. Anatomi Sistem Kardiovaskular
Sistem Kardiovaskular merupakan sistem yang memberi fasilitas proses
pengangkutan berbagai substansi dari dan ke sel-sel tubuh. Sistem ini terdiri
dari organ jantung sebagai pemompa darah, dan sistem pembuluh darah
yang terdiri dari arteri yang mengalirkan darah ke seluruh tubuh dan vena
yang mengalirkan darah menuju jantung serta pembuluh-pembuluh kapiler
yang meyambungkan arteri dengan vena dan merupakan tempat
pertukaran 𝑂2 dengan 𝐶𝑂2 dan pendistribusian sari-sari makanan.
1. Anatomi Jantung
Jantung manusia merupakan organ berongga yang memiliki dua atrium
dan 2 ventrikel. Organ jantung memiliki otot-otot yang ketika
berkontraksi, mampu mendorong darah ke berbagai bagian tubuh.
Jantung manusia berbentuk seperti kerucut dan berukuran kurang lebih
sebesar kepalan tangan, terletak di rongga dada sebelah kiri dan
dibungkus oleh selaput yang disebut perikardium (Paulsen & Waschke,
2012).
a. Bentuk serta Ukuran Jantung
Jantung merupakan organ utama dalam sistem kardiovaskular yang
dibentuk dari apex dan basis cordis, atrium kanan dan kiri serta
ventrikel kanan dan kiri. Panjang jantung orang dewasa normal kira-
kira 12 cm, lebar 8-9 cm serta tebal kira-kira 6 cm. Berat jantung
sekitar 7-15 ons atau 200 sampai 425 gram dan sedikit lebih besar dari
kepalan tangan.
Posisi jantung terletak di antara kedua paru dan berada ditengah-
tengah dada (mediastinum inferior), bertumpu pada diafragma
thoracis, di belakang tulang sternum. Pada tepi kanan cranial, berada
pada tepi cranialis pars cartilaginis costa III dextra, 1 cm dari tepi
lateral sternum. Pada tepi kanan caudal, berada pada tepi cranialis pars
cartilaginis costa VI dextra, 1 cm dari tepi lateral sternum. Tepi kiri
cranial jantung berada pada tepi caudal pars cartilaginis costa II
sinistra di tepi lateral sternum dan tepi kiri caudalnya berada pada
ruang intercostalis 5, kira-kira 9 cm dari linea mediana (Kasron, 2012).

Jantung terdiri dari 3 lapisan, yaitu endokardium (lapisan paling


dalam), miokardium (lapisan paling tebal karena dibentuk oleh otot-
otot jantung) dan endokardium (lapisan terluar) (Paulsen & Waschke,
2012). Lapisan miokardium pada ventrikel kiri lebih tebal
dibandingkan dengan ventrikel kanan dikarenakan fungsi ventrikel
kiri yang lebih berat yaitu memompakan darah ke seluruh tubuh.
Lapisan epikardium jantung berbatasan dengan selaput jantung
(Perikardium) dan diantaranya terdapat cavum pericardii berisi 50 cc
cairan serosa yang berfungsi sebagai pelumas agar mencegah
timbulnya gesekan antara perikardium dan epikardium pada saat
jantung berkontraksi.
b. Ruang dalam Jantung
Ada 4 ruangan dalam jantung, dimana dua ruangannya disebut atrium
dan dua ruangan lainnya disebut ventrikel. Kedua atrium merupakan
ruang dengan dinding otot yang tipis karena tekanan atrium yang
rendah, sebaliknya ventrikel mempunyai dinding otot yang tebal
dimana dinding otot ventrikel kiri tiga kali lebih tebal dari ventrikel
kanan. Kedua atrium dipisahkan oleh sekat antar atrium (septum
interatriorum), sementara kedua ventrikel dipisahkan oleh sekat yang
disebut septum interventrikulorum. Atrium dan ventrikel pada masing-
masing sisi jantung berhubungan satu sama lain melalui suatu
penghubung yang disebut orifisium atrioventrikuler. Orifisium ini
dapat terbuka dan tertutup oleh suatu katup yaitu katup
atrioventrikuler (katup AV). Katup AV sebelah kiri disebut katup
bikuspid (katup mitral) sedangkan katup AV sebelah kanan disebut
katup trikuspid. Katup-katup ini terhubung dengan chordae tendinae
yang terlihat seperti anyaman yang melekat pada musculus papillaris
(tonjolan-tonjolan pada lapisan edokardium jantung) (Paulsen &
Waschke, 2012).
c. Katup-Katup Jantung
Katup-katup pada jantung dibagi atas dua golongan besar yaitu katup
atrioventrikuler (AV) yang terletak diantara atrium dan ventrikel serta
katup semilunar yang terletak pada arteri pulmonalis dan aorta. Katup
atrioventrikuler dibagi menjadi dua, di bagian jantung sebelah kanan
disebut katup tricuspidalis yang terdiri dari 3 daun katup.
Bila katup ini terbuka maka darah akan mengalir dari atrium kanan
menuju ventrikel kanan. Katup tricuspid juga berfungsi mencegah
kembalinya aliran darah menuju atrium kanan dengan cara menutup
pada saat kontraksi ventrikel kiri. Katup atrioventrikuler di bagian
jantung sebelah kiri disebut katup bicuspidalis/mitral yang terdiri dari
2 daun katup dan ketika terbuka maka darah akan mengalir dari atrium
kiri menuju ventrikel kiri serta menutup pada saat kontraksi ventrikel
kiri. Berikutnya adalah katup semilunar yang terletak masing-masing
pada arteri pulmonalis dan aorta. Katup semilunar yang terdapat pada
arteri pulmonalis disebut katup pulmonal yang berada pada bagian
pangkal dari trunkus arteri pulmonalis. Katup ini memiliki 3 daun
katup dan akan terbuka ketika ventrikel kanan berkontraksi sehingga
darah akan dialirkan melalui arteri pulmonalis menuju ke paru-paru
baik yang kiri maupun kanan dan akan tertutup kembali ketika
ventrikel kanan berelaksasi. Sedangkan, katup semilunar yang
terdapat pada aorta disebut katup aorta. Katup ini terletak pada
pangkal aorta ascenden. Katup ini memiliki 3 daun katup dan akan
terbuka ketika ventrikel kiri berkontraksi sehingga darah akan
dialirkan menuju ke seluruh tubuh dan akan tertutup kembali ketika
ventrikel kiri berelaksasi.
d. Komponen Sistem Konduksi Jantung
Komponen sistem konduksi jantung (pace maker) terdiri dari
sinoatrial node (SA node), atrioventrikuler node (AV node) dan serat
atrioventrikuler (bundle of HIS) yang terletak di sepanjang septum
interventriculare yang pada pars mebranacea kemudian bercabang ke
kanan ke serabut purkinje kanan serta bercabang ke kiri menjadi
serabut purkinje kiri. Sinoatrial node (SA node) berukuran kurang
lebih 3 x 10 mm dan terletak di dalam dinding atrium kanan dalam
suatu lekuk (sulcus terminalis cordis) antara tempat masuknya vena
cava superior dan aurikula kanan. Nodus AV berukuran kurang lebih
5 x 3 mm tertanam dalam miokardium pada septum atrioventrikulare
di trigonum KOCH (Paulsen & Waschke, 2012). Dengan adanya
komponen sistem konduksi jantung ini, jantung dapat menimbulkan
akktifitas listriknya sendiri sehingga dapat berkontraksi untuk
memompakan darah ke seluruh tubuh.

2. Pembuluh Darah
Sistem pembuluh darah pada manusia terdiri atas tiga kompenen utama
yaitu pembuluh darah arteri yang membawa darah dari jantung ke
seluruh tubuh dan paru-paru, pembuluh darah vena yang membawa darah
dari seluruh tubuh dan dari paru-paru menuju ke jantung serta pembuluh
kapiler yang menjadi penyambung antara pembuluh arteri dan vena serta
menjadi tempat pertukaran antara 𝑂2 dan 𝐶𝑂2 dari dan ke jaringan di
seluruh tubuh (Silverthorn, 2013).
Secara umum arteri dan vena terdiri dari tiga lapisan utama yaitu tunika
intima yang terdiri atas selapis endotel, tunika media yang mengandung
serat otot polos dan tunika adventitia yang mengandung berbagai
jaringan ikat. Sedangkan, kapiler hanya terdiri atas selapis endotel dan
lamina basalis, hal ini memungkinkan terjadinya pertukaran zat dengan
lebih mudah. Pada arteri terdapat membrana elastika interna dan eksterna
yang menyebabkan bentuk arteri cenderung lebih bulat dan lapisan tunika
media yang tebal menyebabkan lumen arteri terlihat lebih sempit, hal ini
berbanding terbalik dengan pembuluh darah vena yang bentuknya lebih
sedikit lonjong dan kurang beraturan serta memiliki lumen yang lebih
lebar (Mescher, 2011).
Perbedaan lainnya antara arteri dan vena dapat dilihat pada tabel di
bawah ini :
Arteri Vena
Batas dinding Jelas Tidak jelas
M. Elastika -/+ -
Lumen <<, bulat >>
T. Media >> (tebal) << (tipis)
RBC (-) relatif +
Kap. Limfe - +
Valvula - +
𝑂2 Tinggi Rendah
Cabang Selalu lebih kecil Hampir sama besar
Bila meninggal Dinding tidak kolaps Dinding kolaps

II. Fisiologi Sistem Kardiovaskular


Secara umum fungsi Sistem kardiovaskular adalah untuk memompa darah
dan mengalirkan darah ke seluruh tubuh, sehingga sel-sel tubuh dapat
terpenuhi kebutuhan oksigen juga nutrien yang penting untuk
menghasilkan energi dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Selain itu
darah yang dialirkan melalui pembuluh darah juga dapat mengangkut sisa-
sisa metabolisme tubuh dan zat-zat asing untuk dikeluarkan (ekskresi) dan
dimusnahkan. Dalam menjalankan fungsi ini, maka akan terjadi 3 proses
yang melibatkan kerja jantung dan pembuluh darah berupa siklus jantung,
peristiwa listrik pada siklus jantung dan sirkulasi darah (Silverthorn, 2013).
1. Siklus Jantung dan Curah Jantung
Setiap siklus jantung memiliki dua fase : diastolik, saat otot jantung
berelaksasi dan sistolik, saat otot jantung berkontraksi. Darah dalam
jantung mengalir mengikuti gradien tekanan yaitu dari daerah
bertekanan tinggi ke daerah bertekanan rendah, dimana kontraksi
meningkatkan tekanan sedangkan relaksasi menurunkan tekanan.
1) Siklus Jantung dibagi menjadi lima fase :
a. Jantung pada keadaan istirahat : diastolik atrium dan
ventrikel. Siklus jantung dimulai pada keadaan singkat dimana
atrium dan ventrikel sama-sama berelaksasi. Darah dari vena
mengisi atrium, dan ventrikel baru saja menyelesaikan
kontraksinya. Saat ventrikel berelaksasi, katup AV terbuka dan
darah mengalir masuk ke ventrikel mengikuti gravitasi. Ventrikel
yang berelaksasi teregang untuk menampung darah yang masuk.
b. Penyelesaian pengisian ventrikel : sistolik atrium. Pada fase
ini, 20% sisa darah yang ada pada atrium setelah berelaksasi
diselesaikan saat atrium berkontraksi dan mendorong darah
masuk ke dalam ventrikel (hal ini terjadi pada orang normal
sewaktu istirahat). Sistolik atau kontraksi atrium ini dimulai
setelah gelombang depolarisasi menyebar ke atrium. Peningkatan
tekanan yang menyertai kontraksi akan mendorong darah masuk
ke dalam ventrikel. Sejumlah kecil darah dipaksa kembali ke vena
karena tidak terdapat katup satu arah untuk menghambat aliran
balik meskipun muara vena mengecil saat kontraksi atrium.
c. Kontraksi ventrikel awal dan bunyi jantung pertama. Saat
atrium berkontraksi, gelombang depolarisasi menjalar dengan
lambat melalui sel penghantar nodus AV, kemudian dengan cepat
berjalan di sepanjang serabut purkinje menuju apeks jantung.
Sistolik ventrikel dimulai, kontraksi otot spiral memeras darah ke
atas menuju basis dan mendorong sisi bawah katup AV,
memaksanya menutup sehingga darah tidak dapat mengalir
kembali ke atrium. Gerakan penutupan katup AV akan
menimbulkan bunyi jantung pertama (𝑺𝟏 ), yaitu bagian “lub”
dari bunyi “lub-dup”. Dengan tertutupnya kedua pasang katup
AV dan katup semilunaris, darah di dalam ventrikel tidak dapat
kemana-mana. Namun, ventrikel tetap berkontraksi. Keadaan ini
disebut kontraksi isometrik.
Terjadi tekanan yang meningkat di dalam ventrikel namun belum
melebihi tekanan di arteri pulmonalis/aorta sehingga cairan darah
tidak dapat pergi ke mana-mana dan volumenya tetap. Hal ini
disebut sebagai kontraksi isovolumetrik ventrikel. Sementara
ventrikel mulai berkontraksi, serat otot atrium terepolarisasi dan
atrium mulai berelaksasi sehingga tekanannya turun di bawah
tekanan vena dan kemudian darah dari vena masuk ke dalam
atrium.
d. Jantung memompa : ejeksi ventrikel. Ketika ventrikel
berkontraksi, terbentuk tekanan yang cukup untuk membuka
katup semilunaris dan mendorong darah masuk ke dalam aorta.
Darah bertekanan tinggi dipaksa masuk ke dalam arteri
menggeser darah bertekanan rendah yang mengisi arteri dan
mendorongnya lebih jauh ke dalam sistem pembuluh. Selama fase
ini katup AV tetap tertutup dan atrium terus diisi.
e. Relaksasi Ventrikel dan bunyi jantung kedua. Pada akhir
ejeksi ventrikel, ventrikel mulai terepolarisasi dan berelaksasi.
Hal ini menyebabkan tekanan ventrikel menurun dan saat tekanan
ventrikel berada di bawah tekanan arteri maka darah mulai
mengalir kembali ke dalam jantung. Aliran balik ini mengisi
katup semilunaris yang berbentuk seperti mangkuk dan
memaksanya untuk menutup. Getaran yang ditimbulkan akibat
penutupan katup semilunar adalah bunyi jantung kedua (𝑺𝟐 ),
yaitu bagian “dup” dari bunyi “lub-dup”. Setelah katup semilunar
tertutup, ventrikel kembali menjadi ruang berongga yang tertutup
rapat. Katup AV tetap tertutup karena meskipun tekanan dalam
ventrikel turun tetapi tekanan atrium tidak lebih tinggi dari
tekanan ventrikel, keadaan ini disebut sebagai relaksasi
isovolumetrik ventrikel. Ketika relaksasi ventrikel menyebabkan
tekanan ventrikel lebih kecil dibandingkan dengan atrium, maka
katup AV akan terbuka dan darah mengalir kembali ke dalam
ventrikel. Kemudian siklus jantung dimulai kembali.
2) Curah Jantung
Curah jantung yaitu volume darah yang dipompakan oleh ventrikel
pada satu periode waktu tertentu. Curah jantung merupakan indikator
aliran darah total ke seluruh tubuh. Curah jantung dapat dihitung
menggunakan rumus :

Curah Jantung = frekuensi denyut jantung x volume


sekuncup

Rumus di atas menunjukkan bahwa ada dua hal yang terlibat dalam
menentukan curah jantung yaitu frekuensi denyut jantung per menit
dan volume sekuncup.
a. Divisi otonom memodulasi frekuensi denyut jantung. Frekuensi
denyut jantung pada orang dewasa normal pada saat istirahat
yaitu sekitar 70 denyut per menit. Frekuensi denyut jantung
diinisiasi oleh sel autoritmik di nodus SA, namun dimodulasi
juga oleh masukkan saraf dan hormon. Cabang saraf
parasimpatis dan simpatis mempengaruhi frekuensi denyut
jantung melalui pengaturan antagonistik.
Aktivasi saraf parasimpatis akan menurunkan denyut jantung
dengan pengeluaran neurotransmitter asetilkolin (Ach) yang
menyebabkan sel cepat mengalami hiperpolarisasi dan
menurunkan kecepatan depolarisasi potensial pemicu.
Sedangkan, aktivasi saraf simpatis akan meningkatkan denyut
jantung dengan pengeluaran katekolamin (norepinefrin dan
epinefrin) yang mempercepat frekuensi depolarisasi sel picu
sehingga sel mencapai ambang picu potensial aksi dengan lebih
cepat dan frekuensi denyut jantung meningkat.

b. Volume sekuncup adalah volume darah yang dipompa tiap


kontraksi ventrikel. Volume sekuncup diukur dalam mililiter per
denyut dan dihitung sebagai berikut :

Volume Akhir Diastolik - Volume Akhir Sistolik =


Volume Sekuncup

Dari rumus diatas dapat disimpulkan bahwa tidak semua darah


yang masuk ke dalam ventrikel di akhir relakasi ventrikel
(volume akhir diastolik) akan diejeksikan seluruhnya dalam
sekali kontraksi ventrikel tetapi justru hanya kurang lebih
setengahya saja (volume sekuncup) sedangkan kurang lebih
setengahnya akan tetap tertinggal di ventrikel setelah akhir
kontraksi ventrikel (volume akhir sistolik).
Volume sekuncup ini dipengaruhi oleh beban awal (preload)
pada jantung. Semakin banyak volume darah yang masuk ke
dalam ventrikel maka regangan dinding ventrikel juga akan
meningkat untuk menampung darah yang masuk, hal ini
menyebabkan serat otot semakin memanjang karena terenggang
dan tegangan yang dihasilkan semakin besar. Akibatnya,
kontraksi otot menjadi meningkat dan volume sekuncup pun
meningkat (Hukum Frank-Starling). Banyaknya volume darah
yang masuk ke ventrikel (volume akhir diastolik) ini normalnya
ditentukan oleh arus balik vena ysng dipengaruhi oleh tiga
faktor yaitu pompa otot rangka, pompa respirasi dan persarafan
simpatis pada vena.

2. Peristiwa Listrik pada Siklus Jantung


Jantung merupakan organ yang menciptakan sinyal listriknya sendiri
sehingga dapat terus berkontraksi. Sinyal listrik ini dihasilkan oleh sel
khusus jantung yaitu sel autoritmik dan disebarkan ke seluruh sel
kontraktil jantung. Peristiwa kelistrikan jantung dapat dilihat dengan
menggunakan alat rekam jantung (elektrokardiogram/EKG).
Komunikasi listrik pada jantung dimulai dengan potensial aksi pada
sel autoritmik yang menyebabkan SA node di sebelah kanan atrium
berdepolarisasi dan sinyal listrik diteruskan ke atrium sebelah kiri.
Depolarisasi atrium menunjukkan gelombang P pada EKG.
Selanjutnya sinyal listrik menyebar ke seluruh bagian atrium,
kemudian atrium berkontraksi. Gelombang depolarisasi juga
diteruskan ke ventrikel, pertama dengan melalui AV node. Pada AV
node perpindahan sinyal listrik akan dihambat oleh rangka fibrosa
jantung pada AV node yang bertujuan agar atrium dapat
menyelesaikan pengisian total ventrikel sebelum ventrikel mulai
berkontraksi. Peristiwa ini digambarkan dengan segmen P-Q atau P-R
pada rekaman EKG (Silverthorn, 2013).
Setelah melalui AV node, gelombang depolarisasi diteruskan
sepanjang berkas atrioventrikularis (bundle of HIS) berlanjut ke
berkas cabang kiri dan berkas cabang kanan ventrikel lalu menyebar
ke serabut-serabut purkinje di seluruh bagian ventrikel yang
digambarkan dengan kompleks QRS pada rekaman EKG. Kontraksi
ventrikel dimulai segera setelah depelorisasi ventrikel dan
berlangsung selama segmen S-T pada rekaman EKG. Setelah
berkontraksi, terjadi repolarisasi ventrikel dan ventrikel kemudian
berelaksasi digambarkan dengan gelombang T pada rekaman EKG.
Kemudian siklus listrik jantung berulang kembali.

3. Aliran Darah dan Tekanan Darah


A. Aliran Darah
Aliran Darah dalam sistem kardiovaskuler manusia dibedakan
menjadi dua bagian yaitu aliran darah sistemik, dari jantung menuju
ke seluruh tubuh dan aliran darah pulmonal, dari jantung menuju ke
paru-paru.
Aliran darah yang kaya 𝐶𝑂2 dari vena cava baik superior maupun
inferior masuk ke dalam atrium kanan. Dari atrium kanan, darah
mengalir ke ventrikel kanan jantung. Dari ventrikel kanan, darah
dipompa melalui arteri pulmonalis ke dalam paru-paru baik paru-paru
kanan maupun paru-paru kiri. Di paru-paru, darah teroksigenasi yaitu
terjadi pertukaran antara oksigen dengan karbon dioksida dalam darah
sehingga terjadi peningkatan kadar oksigen dalam darah. Darah yang
kaya oksigen dari paru-paru mengalir ke sisi kiri jantung dan masuk
ke dalam atrium kiri melalui vena pulmonalis. Pembuluh darah yang
berjalan dari ventrikel kanan ke paru-paru dan kembali ke atrium kiri
dikenal sebagai sirkulasi pulmonal. Dari atrium kiri, darah mengalir
masuk ke dalam ventrikel kiri. Ventrikel kiri kemudian berkontraksi
dan memompa darah masuk ke dalam aorta. Aorta terdiri dari tiga
bagian yaitu aorta pars ascenden, arcus aorta dan aorta pars
descenden. Pada arcus aorta akan bercabang menjadi truncus
brachiocephalica, arteri carotis communis sinistra dan arteri subclavia
sinistra yang memperdarahi tubuh bagian superior dan ada pula aorta
pars descenden yang memperdarahi tubuh bagian inferior. Aorta akan
bercabang menjadi serangkaian arteri yang makin kecil dan akhirnya
menjadi jalinan kapiler. Di kapiler inilah akan terjadi pertukaran
antara oksigen dengan karbon dioksida dimana oksigen akan
meninggalkan darah dan berdifusi ke dalam jaringan dan karbon
dioksida akan dibawa aliran darah menuju ke jantung. Setelah
meninggalkan kapiler, darah mengalir ke dalam sisi vena sirkulasi,
dari vena kecil ke dalam vena yang semakin besar. Vena-vena dari
bagian atas tubuh membentuk vena cava superior sedangkan dari
bagian bawah tubuh membentuk vena cava inferior. Kedua vena ini
akan bermuara dan mengosongkan isinya ke dalam atrium kanan.
Pembuluh darah yang berjalan dari ventrikel kiri ke seluruh tubuh dan
kembali ke atrium kanan dikenal sebagai sirkulasi sistemik. Selain
kedua aliran darah besar ini, pada aorta cabang ascenden terdapat
arteri coronaria yang memberikan nutrisi kepada otot jantung sendiri.
Darah dari pembuluh ini mengalir ke dalam kapiler kemudian ke vena
koronaria yang mengosongkan isinya langsung ke atrium kanan
melalui sinus koronarius. Selain itu, terdapat penataan sirkulasi khusus
pada aliran darah ke hati yang berasal bukan hanya dari arteri hepatika
saja tetapi juga berasal dari vena porta hepatika yang membawa
darah kaya nutrien hasil pencernaan di usus. Hal ini dikarenakan
sesuai dengan fungsi hati yaitu sebagai tempat penting pengolahan
nutrien dan detoksifikasi substansi asing sebelum diedarkan ke
sirkulasi umum (Silverthorn, 2013).

B. Tekanan Darah
Tekanan darah merupakan tekanan yang didapatkan dari tekanan rata-
rata aorta pada saat ventrikel berkontraksi (tekanan sistolik) yang
mencapai rata-rata 120 mmHg dan turun terus menerus selama
diastolik ventrikel (tekanan diastolik) sampai 80 mmHg. Walaupun
tekanan pada aorta selama diastolik ventrikel terus menurun tetapi
tidak lebih rendah dari tekanan ventrikel itu sendiri, hal ini
menunjukkan kemampuan aorta sebagai reservoir tekanan atau
penyimpanan tekanan ketika ventrikel kiri berkontraksi. Tekanan rata-
rata aorta di pengaruhi oleh tiga hal yaitu curah jantung, volume darah
dan resistensi/tahanan arteri perifer.
III. Claudicatio
1. Pengertian
Klaudikasio didefinisikan sebagai gejala klinis tersering pada Penyakit
Arteri Perifer (PAP) yang berupa kelemahan, ketidaknyamanan atau
nyeri yang terjadi pada sekumpulan otot tungkai yang spesifik saat
iskemi yang dipicu oleh aktivitas. Individu dengan klaudikasio
mempunyai aliran darah yang cukup saat istirahat sehingga tidak akan
ada keluhan. Dalam keadaan olahraga, akan terjadi peningkatan
kebutuhan otot lokal untuk mendukung metabolik, sehingga pada
individu dengan PAD di ekstremitas bawah, kebutuhan ini tidak akan
tercapai yang kemudian akan timbul keluhan kelelahan otot dan nyeri.
2. Etiologi

vasculitis
non
ateroskleroti Trauma
k
PAP
ateroskleroti
k emboli

Etiologi PAP bisa berasal dari non aterosklerotik dan aterosklerotik.


Penyebab non aterosklerotik seperti trauma, vasculitis, dan emboli,
namun aterosklerotik lebih banyak menunjukkan PAP dan
menyebabkan dampak epidemiologi yang besar. Pada keadaan
vaskulitis, akan terjadi proses klinik patologi yang ditandai dengan
peradangan dan kerusakan pembuluh darah, sehingga aliran darah
terganggu dan jaringan mengalami iskemik. Emboli ada yang berasal
dari jantung (fibrilasi atrium) dan ada yang berasal dari pembuluh
darah perifer (lesi ulkus atherosklerosis dan aneurisma). Emboli yang
berasal dari jantung menyumbat percabangan arteri besar, sehingga
diameter lumen di bagian distal mengecil mendadak.
Biasanya diameter arteri tersebut lebih dari 5 mm (arteri femoralis).
Atheroemboli yang berasal dari debris dari lesi atheromatous
proksimal arteri (aorta distalis dan arteri iliaka komunis), biasanya
lebih kecil dan menyumbat pembuluh darah diameter kurang dari 5
mm (arteri daerah tumit). Sedangkan pada keadaan atherosklerosis,
terjadi penyempitan pada pembuluh darah dikarenakan lesi segmental
pembuluh darah akibat akumulasi kadar lemak jahat (Low Density
Lipoprotein/ LDL) di dalam pembuluh darah yang mengakibatkan
terjadi iskemik jaringan (Aryani, Nugroho HS, & Margawati, 2016).
3. Klasifikasi Berdasarkan Derajat Penyakit
Tabel Klasifikasi PAD : Tingkatan Fontaine’s dan kategori
Rutherford
Fontaine Rutherford
Stage Klinis Grade Kategori Klinis
I Asimptomatik 0 0 Asimptomatik
IIa Klaudikasio I 1 Klaudikasio
ringan ringan
IIb Klaudikasio I 2 Klaudikasio
sedang-berat sedang
III Nyeri iskemik I 3 Klaudikasio
saat istirahat berat
IV Ulserasi/gangren II 4 Nyeri iskemik
saat istirahat
III 5 Kehilangan
jaringan minor
IV 6 Ulserasi/gangren
Dikutip dari Dormandy dkk.
a. Stage I, grade 0, kategori 0. Klinis asimtomik ditunjukan lewat
tes treadmill/stress test yang normal
b. Stage IIa, grade I, kategori1. Klaudikasio ringan dimana tes
treadmill komplit, tekanan ankle setelahnya < 50 mmHg dan >
25 mmHg dan lebih rendah dari tekanan brachial
c. Stage IIb, grade I, kategori 2. Klaudikasio sedang
d. Stage III, grade I, kategori 3. Klaudikasio berat dimana tes
treadmill tidak selesai dan tekanan engkel setelahnya < 50
mmHg
4. Patogenesis dan Patofisiologi
Penyebab tersering terjadinya PAP adalah karena adanya plak
atherosklerosis. Patogenesis terjadinya aterosklerosis pada PAP sama
seperti yang terjadi pada arteri koroner. Lesi segmental yang
menyebabkan stenosis atau oklusi biasanya terjadi pada pembuluh
darah berukuran besar atau sedang. Pada lesi tersebut terjadi plak
aterosklerotik dengan penumpukan kalsium, penipisan tunika media,
destruksi otot dan serat elastis, fragmentasi lamina elastika interna,
dan dapat terjadi trombus yang terdiri dari trombosit dan fibrin.
Aterogenesis dimulai dengan lesi di dinding pembuluh darah dan
pembentukan plak aterosklerotik. Proses ini dikuasai oleh leokocyte-
mediated inflammation lokal dan oxidized lipoprotein species
terutama low-density lipoproteins (LDL). Merokok,
hiperkolesterolemia, diabetes, dan hipertensi menurut beberapa
penelitian mempercepat pembentukan aterosklerosis. Lesi awal (tipe I)
terjadi tanpa adanya kerusakan jaringan dan terdiri dari akumulasi
lipoprotein intima dan beberapa makrofag yang berisi lipid. Makrofag
tersebut bermigrasi sebagai monosit dari sirkulasi ke lapisan intima
subendotel. Kemudian lesi ini berkembang menjadi lesi awal atau
"fatty-streak" (tipe II), yang ditandai dengan banyaknya "foam cell".
Foam cell memiliki vakuola yang dominan berisi cholesteryl oleate
dan dilokalisir di intima mendasari endotel. Lesi tipe II dapat dengan
cepat berkembang menjadi lesi preatheromic (tipe III), yang
didefinisikan dengan peningkatan jumlah lipid ekstraseluler dan
kerusakan kecil jaringan lokal. Ateroma (tipe IV) menunjukkan
kerusakan struktural yang luas pada intima dan dapat muncul atau
silent.
Perkembangan lesi selanjutnya adalah lesi berkembang atau
fibroateroma (tipe V), secara makroskopis terlihat sebagai bentuk
kubah, tegas, dan terlihat plak putih mutiara. Fibroateroma terdiri dari
inti nekrotik yang biasanya terlokalisasi di dasar lesi dekat dengan
lamina elastik interna, terdiri dari lipid ekstraseluler dan sel debris dan
fibrotic cap, yang terdiri dari kolagen dan sel otot polos di sekitarnya.
Ruptur plak memperburuk lesi karena akan menyebabkan agregasi
platelet dan aktivasi fibrinogen, namun tidak menyebabkan oklusi
arteri atau manifestasi klinis. Lesi tipe VI (complicated lesion)
digunakan untuk menggambarkan berbagai lesi aterosklerotik yang
lebih lanjut yang menunjukkan karakteristik khusus yang tidak
ditemukan di fibroatheroma klasik, seperti lesi ulseratif (dibentuk oleh
erosi cap), lesi hemoragik (ditandai dengan pendarahan di inti
nekrotik), atau lesi trombotik (membawa deposit trombotik). Tipe VII
adalah lesi kalsifikasi, ditandai pengerasan arteri dan tipe VIII adalah
lesi fibrotik, predominan terdiri dari kolagen (Aryani, Nugroho HS, &
Margawati, 2016).

Gambar patogenesis PAP


Patofisiologi yang terjadi pada pasien PAP meliputi keseimbangan
suplai dan kebutuhan nutrisi otot skeletal. Klaudikasio intermiten
terjadi ketika kebutuhan oksigen selama latihan atau aktivitas melebihi
suplainya dan merupakan hasil dari aktivasi reseptor sensorik lokal
oleh akumulasi laktat dan metabolit lain.
Pasien dengan klaudikasio dapat mempunyai single atau multiple lesi
oklusif pada arteri yang mendarahi tungkai. Pasien dengan clinical
limb ischemic biasanya memiliki multiple lesi oklusif yang mengenai
proksimal dan distal arteri tungkai sehingga pada saat istirahat pun
kebutuhan oksigen dan nutrisi tidak terpenuhi. Patofisiologi PAP
terjadi karena tidak normalnya regulasi suplai darah dan penggantian
struktur dan fungsi otot skelet. Regulasi suplai darah ke tungkai
dipengaruhi oleh lesi yang membatasi aliran (keparahan stenosis, tidak
tercukupinya pembuluh darah kolateral), vasodilatasi yang lemah
(penurunan nitrit oksida dan penurunan responsifitas terhadap
vasodilator), vasokonstriksi yang lebih utama (tromboksan, serotonin,
angiotensin II, endotelin, norepinefrin), abnormalitas reologi
(penurunan deformabilitas eritrosit, peningkatan daya adesif leukosit,
agregasi platelet, mikrotrombosis, peningkatan fibrinogen). Adanya
stenosis pada pembuluh darah maka resistensi meningkat, selain itu
pada saat latihan tekanan intramuskuler meningkat sehingga
diperlukan tekanan darah yang lebih tinggi namun setelah melewati
daerah stenosis tekanan darah menjadi rendah. Tercukupinya
kebutuhan oksigen dan nutrisi pada pasien dengan stenosis bergantung
pada diameter lumen dan adanya kolateral yang dapat menyuplai
darah secara cukup pada saat istirahat namun tetap tidak mencukupi
kebutuhan saat latihan. Abnormalitas dari reaktifitas vasomotor
mengganggu aliran darah. Normalnya arteri dilatasi terhadap respon
farmakologi dan stimulus biokimia seperti asetilkolin, serotonin,
trombin, dan bradikinin. Respon vasodilatasi ini merupakan hasil dari
pelepasan zat aktif biologi dari endotelium terutama nitrit oksida. Pada
arteri yang aterosklerosis mengalami respon vasodilatasi yang buruk
terhadap stimulus arus atau farmakologi. NO tidak hanya terlibat
dalam vasodilatasi dengan relaksasi otot polos, tetapi juga memediasi
penghambatan aktivasi trombosit, adhesi, dan agregasi; mencegah
proliferasi otot polos pembuluh darah; dan mencegah adhesi leukosit
pada endotel (Aryani, Nugroho HS, & Margawati, 2016).
Gambar Patofisiologi PAP
Penggantian struktur dan fungsi otot skelet dipengaruhi oleh denervasi
axon dari otot skelet, kehilangan serabut otot tipe IIA yang
berhubungan dengan penurunan kekuatan otot, dan aktivitas enzimatik
mitokondria yang lemah.
5. Faktor risiko
Faktor risiko Penyakit Arteri Perifer (PAP) mirip dengan etiologi
Penyakit Arteri Koroner (PAK). Faktor risiko yang termasuk faktor
risiko klasik adalah merokok, diabetes, riwayat keluarga, hipertensi,
dan hiperlipidemia. Risiko ini meningkat pada pasien dengan usia ≥70
tahun; pada pasien yang 50- 69 tahun dengan riwayat diabetes atau
merokok; dan pada pasien 40- 49 tahun dengan diabetes dan satu atau
lebih-aterosklerosis (Aryani, Nugroho HS, & Margawati, 2016).

a. Merokok
Merokok menjadi faktor risiko yang sangat berpotensi terhadap
terbentuknya PAP. Merokok lebih berpotensi menyebabkan PAP
daripada PJK. Seseorang yang merokok < 25 tahun memiliki tiga
kali peningkatan risiko terjadinya PAP dibandingkan orang yang
tidak merokok.
Selain itu, seseorang yang merokok ≥ 25 tahun memiliki
peningkatan risiko PAP lima kali dibandingkan orang yang tidak
merokok. Pasien yang tetap merokok hingga 20 batang perhari
memiliki risiko yang meningkat 12 kali. Selain itu, individu yang
merokok lebih dari 5 batang per hari memiliki prognosis
revaskularisasi yang buruk dibandingkan dengan yang merokok
kurang dari 5 batang per hari. Penghentian merokok berhubungan
dengan penurunan insidensi klaudikasio yang cepat. Pada studi
yang dilakukan pada 245 wanita yang menderita PAP, ditemukan
bahwa risiko PAP secara signifikan turun setelah berhenti
merokok. Mantan perokok yang tidak lagi merokok lebih dari 5
tahun memiliki risiko terjadinya PAP yang mendekati orang
normal. Pada studi yang dilakukan terhadap 1209 penduduk
China yang tidak pernah merokok namun menjadi perokok pasif
baik di rumah maupun di tempat kerja, 67% lebih mungkin
menjadi PAP dibandingkan orang tanpa paparan.
b. Diabetes
DM adalah faktor risiko penting lainnya pada terjadinya PAP,
lama dan keparahan diabetes yang dialami juga dapat
berpengaruh. PAP memberikan prognosis yang lebih buruk pada
pasien DMT2 dibandingkan dengan pasien non-diabetes.
Klaudikasio intermiten terjadi dua kali lebih banyak pada pasien
dengan diabetes daripada pasien non diabetes.
c. Hiperlipidemia
Beberapa studi epidemiologi juga menemukan bahwa tingginya
kadar kolesterol total dan rendahnya HDL secara independen
berkaitan dengan meningkatnya risiko PAP. Hiperlipidemia
mengubah dinding endotel arteri mengarah ke pembentukan lesi
aterosklerotik. Kolesterol LDL adalah salah satu penyebab utama
dari disfungsi endotel dan cedera otot polos.
Perubahan-perubahan pada endotel oleh karena hiperlipidemia ini
merupakan lesi awal aterosklerosis yang selanjutnya akan
menjadi lesi yang lebih kompleks menyebabkan stenosis arteri
atau oklusi.
d. Usia
Pada studi Framingham Heart prevalensi PAP meningkat pada
individu dengan usia ≥ 65 tahun. Insidensi klaudikasio intermiten
pada usia 30-44 adalah 6 dari 10.000 pasien pria dan 3 dari
10.000 pasien wanita. Insidensi ini meningkat menjadi 61 setiap
10.000 pria dan 54 setiap 10.000 wanita pada usia 65-74.
e. Jenis Kelamin
Pada pasien dengan klaudikasio intermiten, rasio laki-laki
dibandingkan dengan wanita adalah antara 1 : 1 dan 2 : 1. Rasio
ini meningkat pada beberapa studi setidaknya hingga 3 : 1 pada
tahap penyakit yang lebih parah, seperti critical limb ischemia
kronis.

6. Gejala dan Tanda


Gejala klasik klaudikasio intermiten berupa ketidaknyamanan otot
ekstremitas bawah yang terjadi karena latihan atau aktivitas dan hilang
dengan istirahat dalam 10 menit. Pasien mungkin mendeskripsikan
kelelahan otot, sakit atau kram saat aktivitas yang hilang dengan
istirahat. Gejala yang paling sering yaitu pada betis, tapi juga terdapat
pada paha atau daerah glutea. Klaudikasio khas terjadi pada sepertiga
dari semua pasien PAP (Antono & Ismail, 2009).
Gejala khas klaudikasio mungkin tidak terjadi pada pasien yang
memiliki penyakit penyerta yang mencegah aktivitas yang cukup
untuk menyebabkan timbulnya gejala (yaitu gagal jantung kongestif,
penyakit paru berat, penyakit muskuloskeletal) atau pada pasien yang
tidak memungkinkan untuk melakukan latihan atau aktivitas. Pasien
dengan klaudikasio intermiten memiliki aliran darah yang normal
pada saat istirahat, oleh karena itu, tidak ada gejala nyeri/sakit pada
kaki saat istirahat. Dengan berolahraga, aliran darah pada arteri otot-
otot kaki dapat dibatasi oleh sumbatan aterosklerosis. Hal ini akan
dapat mengakibatkan terjadinya ketidakseimbangan antara suplai
oksigen dan kebutuhan metabolik otot, sehingga memunculkan gejala
klaudikasio. Pasien dengan PAP yang parah dapat mengalami
klaudikasio setelah berjalan walaupun hanya dalam jarak yang
pendek, atau mengalami sensasi sakit di kaki ketika istirahat atau
ketika berbaring di tempat tidur di malam hari.
7. Penegakkan Diagnosis
Algoritma manajemen dari klaudikasio sesuai dengan gambar berikut :

Keluhan klaudikasio klasik :


Kelemahan otot, kram, nyeri berhubungan dengan
olahraga, hilang dengan istirahat

Dokumentasi riwayat gangguan berjalan (bebas


nyeri dan jarak total berjalan) dan keterbatasan
gaya hidup spesifik

Pemeriksaan nadi

Execise ABI (TBI, tekanan segmental,


ABI ABI > 0,9 Duppleks Ultrasound)

Hasil Hasil
abnormal normal
Tegakkan diagnosis PAD

Tidak ada PAD, atau


Reduksi risiko (farmakologis) : pertimbangkan adanya arterial
Antikoagulan entrapment syndrome
A. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan anggota tubuh dibandingkan dengan sebelahnya,
antara lain :
a. Bulu rontok
b. Pertumbuhan kuku tergangggu
c. Kulit kering, licin, atrofi
d. Rubor
e. Kaki menjadi pucat setelah diangkat elevasi setinggi 60
derajat selama 1 menit (warna kembali normal dalam 10-15
detik)
f. Tidak ada atau mengecil pulsasi arteri femoralis atau arteri
dorsalis pedis (terutama setelah jalan-jalan)
g. Bruit arterial
h. Pemeriksaan tambahan dengan palpasi dan auskultasi untuk
mencari kelainan aorta
B. Pengukuran Ankle-Brachial Index (ABI) menyajikan data yang
objektif yang merupakan standar diagnosis dalam survei
epidemiologi PAD ekstremitas bawah, di laboratorium atau dalam
kepentingan kantor. Data ABI menyediakan data prognostik yang
berguna untuk memprediksikan kesintasan tungkai, penyembuhan
luka dan kesintasan pasien. ABI dapat digunakan sebagai screening
untuk PAD ekstremitas bawah atau untuk memonitor efikasi
intervensi terapi. ABI diukur dengan cara mengukur tekanan darah
sistolik baik dari kedua arteri brakialis dan dari arteri tibialis
posterior dan dorsalis pedis setelah pasien beristirahat pada posisi
terlentang selama 10 menit. Pada orang normal, hanya boleh ada
perbedaan minimal (dibawah 12 mmHg) diantara kedua lengan
dalam pemeriksaan rutin. Refleksi gelombang nadi pada individu
sehat menyebabkan tekanan di pergelangan kaki 10-15 mmHg
lebih tinggi dibandingkan tekanan sistolik arterial di brakialis,
sehingga angka normal indeks rasio tekanan darah sistolik lebih
besar dari 1,0.
ABI harus dihitung dengan menggunakan dua angka desimal.
Dalam sebuah penelitian oleh Lijmer et al, bahwa dengan treshold
ABI 0,91, sensitivitas dari ABI adalah 79% dengan spesifisitas
96% untuk mendeteksi adanya stenosis sebesar 50% atau lebih dari
diameter lumen.

ABI kanan : Tekanan tertinggi di pergelangan kaki kanan Interpretasi ABI :


Tekanan tertinggi di lengan kiri  > 1,30 Tidak dapat terkompresi
 1,00 – 1,29 Normal
 0,91 – 0,99 Borderline (ekuivokal)
ABI kiri : Tekanan tertinggi di pergelangan kaki kiri  0,41 – 0,90 PAD ringan-sedang
Tekanan tertinggi di lengan kiri  0,00 – 0,40 PAD berat

Tekanan sistolik Tekanan sistolik


lengan kanan lengan kiri

Tekanan sistolik Tekanan sistolik


pergelangan kanan pergelangan kiri

Gambar Ankle-Brachial Index


Dikutip dari Hirsch dkk.
C. Pengukuran tekanan segmental
Tekanan arteri dapat diukur juga dengan plethysmography cuff
yang ditempatkan di beberapa titik di sepanjang tungkai. Tidak
seperti ABI, analisis tekanan segmental ini dapat menentukan
secara tepat lokasi terjadinya stenosis. Misalkan apabila terdapat
perbedaan gradien antara arteri brakhialis dengan di paha bagian
atas, maka terdapat stenosis signifikan di aortoiliaka. Perbedaan
tekanan gradien sebesar 19% sudah cukup menunjukkan adanya
stenosis fokal yang penting.
* Nyeri kaki yang atipikal didefinisikan sebagai ketidaknyamanan
ekstremitas bawah, yang tidak secara konsisten menghilang dengan
istirahat, dan tidak secara konsisten membatasi olahraga pada jarak
berlipat atau memenuhi kriteria kuesioner Rose.
D. Treadmill-Exercise testing
Tes ini dapat mengevaluasi signifikansi klinis dari stenosis arteri
perifer dan dapat menyajikan bukti objektif dari kapasitas berjalan
pasien. Jarak paling awal terjadinya klaudikasio ialah saat pasien
tidak dapat melajutkan berjalan karena ketidaknyamanan di kaki
yang berat. Protokol yang digunakan adalah memakai treadmill
dengan monitor yang sudah ditentukan kecepatan dan sudut
kemiringannya. Biasanya tes dimulai dengan tingkat kemiringan
12% dengan kecepatan 1,5-2 mil/jam. Tes treadmill ini dapat
menyediakan data apakah stenosis yang terjadi berkontribusi pada
keluhan pasien terhadap nyeri kaki saat aktivitas.
E. Duplex Ultrasound Imaging
Pencitraan dengan Duplex ultrasound ini adalah metoda non-
invasif untuk menilai baik karakteristik anatomis dari arteri perifer
dan juga fungsi akibat stenosis arteri.
Gambar Duplex ultrasonogram di bifurkasio arteri femoralis.
Gambar atas menunjukkan gambar normal gray-scale dari arteri
dimana intima tidak menebal dan lumen paten dan lebar.
Gambar bawah adalah rekaman pulse Doppler velocity. Muncul
profil trifasik, selubung yang tipis dan peak systolic velocity nya
dalam batas normal. Dikutip dari Creager dkk.
8. Tatalaksana Claudicatio

Dikutip dari Hirsch dkk.


a. Terapi non Farmakologis
Latihan fisik (excersise) merupakan pengobatan paling efektif. Hal
ini telah dibuktikan pada lebih dari 20 penelitian. Latihan fisik
meningkatkan jarak tempuh sampai terjadinya gejala klaudikasio.
Setiap latihan berupa jalan kaki kira-kira 30 sampai 45 menit atau
hampir terasa mendekati nyeri maksimal. Program ini dilakukan
selam 6-12 bulan. Hal ini dikarenakan aliran darah kolateral,
perbaikan fungsi vasodilator endotel, renspons inflamasi dan
metabolisme muskuloskeletal lebih baik dengan perbaikan
viskositas darah karena latihan fisik (Antono & Ismail, 2009).
Selain dengan latihan fisik dapat juga dengan menghindari faktor
resiko seperti menghentikan kebiasaan merokok dan mengatur pola
makan, hindari makanan yang tinggi lemak (kolesterol) dan tinggi
gula.
b. Terapi farmakologis
a) Pada kondisi yang dikarenakan oleh insufisiensi arteri akut
maka obat terpilih adalah heparin, sebab bekerja cepat dan
cepat dimetabolisme. Heparin bekerja menghambat proses
pembekuan yang menghambat aliran darah. Dosisnya yaitu
100-200 unit/KgBB diikuti 15-30 unit/KgBB tiap jam, jika
perlu 300 unit/KgBB bolus diikuti 60-70 unit/KgBB tiap jam.
Dengan pemantauan APTT 1,5-2,5 kontrol waktu pembekuan
darah. Penggunaan dosis tinggi dengan tujuan supaya distal
penyumbatan pada daerah iskemia dan kolateral tidak terjadi
pembekuan darah yang meluas.
b) Jika iskemia baru terjadi 4-6 jam dan masih vital yang ditandai
dengan nyeri, paralisis atau parestesi, merupakan indikasi
untuk tindakan revaskularisasi yang dapat dilakukan dengan
cara operasi, angioplasti transluminal perkutan dan trombolitik.
Operasi dapat dilakukan dengan bypass aortobifemoral bypass,
axillofemoral bypass, femoral-femoral bypass dan aortoilliak
endartektomi.
Keberhasilan operasi ditentukan oleh angiografi dan saat
operasi. Paling sedikit 24 jam pertama setelah operasi, harus
dirawat intensif dan waspada terhadap gangguan paru, jantung
dan ginjal harus diawasi. Alternatif lain selain operasi yaitu
dengan trombolitik menggunakan kateter arterial subkutan
pada trombus yang menyumbat dapat diberikan tissue
plasminogen activator dosis rendah atau streptokinase dosis
rendah intra arteri 5.000-10.000 unit/ jam selama 12-48 jam.
Dapat juga diberikan urokinase 240.000 IU/jam selama 4 jam
diikuti 120.000 IU/jam selama maksimum 48 jam atau
rekombinan tPA diinfus 1 mg/jam ataua 0,05 mg/kg berat
badan per jam. Dilanjutkan antikoagulan heparin dan diikuti
warfarin per oral (Antono & Ismail, 2009).
Farmakologi untuk pasien dengan Klaudikasio
Obat Dosis Ket.
Aspirin 81-325 mg/hari Direkomendasikan oleh American
College Of Chest Physicians untuk
PAP
Clopidogrel 75 mg/hari po Efek samping lebih ringan
dibandingkan Aspirin pada
CAPRIE trial, resiko TTP lebih
sedikit dibanding Tiklopidin
Pentoxifylline 1,2 gr/hari po Efek terhadap kemampuan
berjalan lebih kecil
Cilostazol 100 mg 2x/hari Hati-hati pada pasien gagal
jantung; dosis dikurangi 50 mg
2x/hari jika minum obat calcium
channel blockers : menyebabkan
diare dan gangguan lambung
Ticoplidine 500 mg/hari Harus diawasi risiko TTP
9. Sasaran dan strategi Terapi
Sasaran terapi yaitu mencegah terjadinya penyembutan dan
pembekuan darah yang meluas dengan pemberian heparin pada
insufisiensi arteri akut dan apabila ada keluhan nyeri, paralisis atau
parestesia dalam waktu 4-6 jam maka harus dilakukan revaskularisasi
dengan tujuan agar tidak terjadi kematian atau nekrosis sel.
Revaskulerisasi dapt dilakukan dengan cara operasi dan pengunaan
trombolitik seperti tissue plasminogen activator dosis rendah. Sasaran
dan strategi terapi juga dilakukan melalui intervensi pola hidup dan
faktor risiko dengan menghentikan kebiasaan merokok, menurunkan
tekanan darah senormal mungkin bisa dengan mengkonsumsi obat
golongan ACE inhibitor, mengatasi dislipidemia dengan
mengkonsumsi obat golongan statin maupun fibrat sesuai
rekomendasi dan terapi DM dengan target HbA1c <7% dan juga
dengan melatih aktivitas fisik.
10. Evaluasi

Penatalaksanaan Penyakit Arteri Perifer

Faktor risiko Kardiovaskular Beratnya Klaudikasio

Evaluasi : hemoglobin, serum kreatinin, Treadmil


merokok, profil lipid, hipertensi,
diabetes, kadar homosistein, LDL
Latihan berjalan dengan
Farmakoterapi
Modifikasi faktor risiko : diabetes,
(HbA1c < 7%), berhenti merokok, Gejala memburuk
hipertensi, LDL kolesterol < 100 mg/dl, Perbaikan
terapi antitrombosit gejala
Cari lesi Duplex
scanning, lokalisasi
Diteruskan hemodinamik, MRA
dan Angiografi

Terapi
Endovaskular/operasi
IV. Syok Kardiogenik
1. Pengertian
Syok kardiogenik adalah gangguan yang disebabkan oleh penurunan
curah jantung sistemik pada keadaan volume intravaskular yang
cukup dan dapat mengakibatkan hipoksia jaringan (Alwi &
Nasution, 2009).
2. Patofisiologi
Penurunan
Curah Jantung

Kompensasi Peningkatan Peningkatan Kompensasi


aldosteron, ADH Volume darah SVR pelepasan
adekuat katekolamin
Edema
Peningkatan
sistemik dan
preload stroke
pulmonal
volume dan HR
Dispnea

Peningkatan
kebutuhan
oksigen mokard

Penurunan
Curah Jantung

Penurunan
perfusi jaringan
Iskemik

Kerusakan
metabolisme sel

Disfungsi miokard
Patofisiologi yang mendasari syok kardiogenik adalah
depresi kontraktilitas miokard yang mengakibatkan lingkaran setan
penurunan curah jantung, tekanan darah rendah, insufisiensi koroner
dan selanjutnya terjadi penurunan kontraktilitas dan curah jantung.
Pada saat menurunnya curah jantung, tubuh melakukan kompensasi
dengan meningkatkan reabsorbi air (ADH) dan retensi natrium
(aldosteron) sehingga meningkatnya volume darah yang adekuat
atau bisa juga melakukan kompensasi dengan melepaskan
katekolamin agar meningkatnya SVR (Systemic Vascular
Resistance). Hal ini akan menyebabkan meningkatnya volume
diastolik akhir yang masuk ke ventrikel (preload), meningkatnya
volume yang dipompakan ke ventrikel dalam satu kali kontraksi
(stroke volume) dan juga meningkatnya heart rate. Hal ini akan
menyebabkan meningkatnya kebutuhan oksigen pada miokard. Syok
kardiogenik ditandai dengan gangguan pada perfusi jaringan dan
penghantaran oksigen ke jaringan. Yang khas pada syok kardiogenik
oleh infark miokardium akut adalah hilangnya 40% atau lebih
jaringan otot pada ventrikel kiri. Sehingga adanya kerusakan pada
metabolisme sel dan juga ditemukannya nekrosis lokal yang
merupakan akibat dari ketidakseimbangan antara kebutuhan dan
suplai oksigen miokardium. Pembuluh koroner yang terserang juga
tidak mampu meningkatkan alian darah secara memadai sebagai
respon terhadap peningkatan beban kerja dan kebutuhan oksigen
jantung oleh aktivitas respon kompensatorik seperti perangsangan
saraf simpatik. Sebagai akibat dari proses infark, kontraktilitas
ventrikel kiri dan kinerjanya menjadi sangat terganggu. Ventrikel
kiri gagal bekerja sebagai pompa dan tidak mampu menyediakan
curah jantung yang memadai untuk mempertahankan perfusi
jaringan. Maka dimulailah siklus berulang. Siklus dimulai dengan
terjadinya infark yang berlanjut dengan gangguan fungsi
miokardium.
Gangguan fungsi miokardium yang berat akan menyebabkan
menurunnya curah jantung dan hipotensi arteria. Akibatnya
terjadinya asidosis metabolik dan menurunnya perfusi koroner, yang
lebih lanjut mengganggu fungsi ventrikel dan menyebabkan
terjadinya aritmia yang akan menyebabkan syok kardiogenik
(Anderson & Wilson, 1995).
3. Klasifikasi berdasarkan etiologi
Komplikasi mekanik akibat infark miokard akut dapat
menyebabkan terjadi syok. Diantara komplikasi tersebut adalah
ruptur septal ventrikel, ruptur atau disfungsi otot papilaris dan ruptur
miokard yang keseluruhan dapat mengakibatkan timbulnya syok
kardiogenik tersebut, sedangkan infark ventrikel kanan tanpa disertai
infark atau disfungsi ventrikel kiri pun dapat menyebabkan terjadi
syok. Hal lain yang sering menyebabkan terjadinya syok kardiogenik
adalah taki atau bradiaritmia yang rekuren, dimana biasanya terjadi
akibat disfungsi ventrikel kiri dan dapat timbul bersamaan dengan
aritmia supraventrikular ataupun ventrikular. Syok kardiogenik juga
dapat timbul sebagai manifestasi tahap akhir dari disfungsi miokard
yang progresif, termasuk akibat penyakit jantung iskemia, maupun
kardiomiopati hipertrofik dan restriktif. Penyebab tersering dari
syok kardiogenik pada umumnya adalah infark miokard untuk itu
akan dijelaskan lebih lanjut (Kasron, 2012).
AMI (Acute Miocard Infarc) terjadi ketika iskemia yang terjadi
berlangsung cukup lama yaitu lebih dari 30-45 menit sehingga
menyebabkan kerusakan seluler yang ireversibel. Bagian jantung yang
terkena infark akan berhenti berkontraksi selamanya. Iskemia yang
terjadi paling banyak disebabkan oleh penyakit arteri koroner /coronary
artery disease (CAD). Pada penyakit ini terdapat materi lemak
(plaque) yang telah terbentuk dalam beberapa tahun di dalam lumen
arteri koronaria (arteri yang mensuplai darah dan oksigen pada jantung)
Plaque dapat ruptur sehingga menyebabkan terbentuknya bekuan darah
pada permukaan plaque. Jika bekuan menjadi cukup besar, maka bisa
menghambat aliran darah baik total maupun sebagian pada arteri
koroner. Terbendungnya aliran darah menghambat darah yang kaya
oksigen mencapai bagian otot jantung yang disuplai oleh arteri tersebut.
Kurangnya oksigen akan merusak otot jantung. Jika sumbatan itu tidak
ditangani dengan cepat, otot jantung yang rusak itu akan mulai mati.
Selain disebabkan oleh terbentuknya sumbatan oleh plaque ternyata
infark juga bisa terjadi pada orang dengan arteri koroner normal (5%).
Spasme arteri koroner yang terjadi bisa dipicu oleh beberapa hal antara
lain : mengkonsumsi obat-obatan tertentu, stress emosional, merokok,
dan paparan suhu dingin yang ekstrim. Spasme bisa terjadi pada
pembuluh darah yang mengalami aterosklerotik sehingga dapat
menimbulkan oklusi kritis dan menimbulkan infark jika terlambat
dalam penangananya. Letak infark ditentukan juga oleh letak sumbatan
arteri koroner yang mensuplai darah ke jantung. Terdapat dua arteri
koroner besar yaitu arteri koroner kanan dan kiri. Kemudian arteri
koroner kiri bercabang menjadi dua yaitu desenden anterior dan arteri
sirkumfleks kiri. Arteri koronaria desenden anterior kiri berjalan
melalui bawah anterior dinding ke arah apeks jantung. Bagian ini
menyuplai aliran dua pertiga dari septum intraventrikel, sebagaian besar
apeks, dan ventrikel kiri anterior. Sedangkan cabang sirkumfleks kiri
berjalan dari koroner kiri ke arah dinding lateral kiri dan ventrikel kiri.
Daerah yang disuplai meliputi atrium kiri, seluruh dinding posterior,
dan sepertiga septum intraventrikel posterior. Selanjutnya arteri koroner
kanan berjalan dari aorta sisi kanan arteri pulmonal ke arah dinding
lateral kanan sampai ke posterior jantung. Bagian jantung yang disuplai
meliputi : atrium kanan, ventrikel kanan, nodus SA, nodus AV, septum
interventrikel posterior superior, bagian atrium kiri, dan permukaan
diafragmatik ventrikel kiri. Berdasarkan hal diatas maka dapat
diketahui jika infark anterior kemungkinan disebabkan gangguan pada
cabang desenden anterior kiri, sedangkan infark inferior bisa
disebabkan oleh lesi pada arteri koroner kanan. Berdasarkan ketebalan
dinding otot jantung yang terkena maka infark bisa dibedakan menjadi
infark transmural dan subendokardial. Kerusakan pada seluruh lapisan
miokardiom disebut infark transmural, sedangkan jika hanya mengenai
lapisan bagian dalam saja disebut infark subendokardial. Infark
miokardium akan mengurangi fungsi ventrikel karena otot yang
nekrosis akan kehilangan daya kotraksinya begitupun otot yang
mengalami iskemi (disekeliling daerah infark).
Secara fungsional infark miokardium menyebabkan perubahan-
perubahan sebagai berikut : daya kontraksi menurun, gerakan dinding
abnormal (daerah yang terkena infark akan menonjol keluar saat yang
lain melakukan kontraksi), perubahan daya kembang dinding ventrikel,
penurunan volume sekuncup, penurunan fraksi ejeksi. Gangguan
fungsional yang terjadi tergantung pada beberapa faktor dibawah ini :
ukuran infark jika mencapai 40% bisa menyebabkan syok kardiogenik,
lokasi Infark dinding anterior mengurangi fungsi mekanik jantung lebih
besar dibandingkan jika terjadi pada bagian inferior, Sirkulasi kolateral
berkembang sebagai respon terhadap iskemi kronik dan hiperferfusi
regional untuk memperbaiki aliran darah yang menuju miokardium
sehingga semakin banyak sirkulasi kolateral, maka gangguan yang
terjadi minimal, mekanisme kompensasi bertujuan untuk
mempertahankan curah jantung dan perfusi perifer.
Gangguan akan mulai terasa ketika mekanisme kompensasi jantung
tidak berfungsi dengan baik.
4. Faktor Resiko
Faktor yang dapat meningkatkan risiko syok kardiogenik
seseorang antar lain (Kasron, 2012) :
a. Diabetes
Pada penderita diabetes biasanya terjadi hiperinsulinemia, hal
ini yang nantinya menyebabkan terjadi penyumbatan di arteri
koroner dan akan menghambat kerja jantung karena semakin
banyak sel yang harus disuplai oksigen sedangkan asupan oksigen
menurun akibat dari pemompaan jantung yang tidak efektif.
b. Hipertensi
Hipertensi menyebabkan meningkatnya after load yang secara
tidak langsung akan meningkatkan beban kerja jantung. Kondisi
seperti ini akan memicu hipertrofi ventrikel kiri sebagai
kompensasi dari meningkatnya after load yang pada akhirnya
meningkatkan kebutuhan oksigen jantung.
c. Merokok
Nikotin dalam rokok merangsang pelepasan hormon yang
menyebabkan jantung berdetak lebih cepat dan menyempitkan
pembuluh darah. Menghirup karbon monoksida bisa menurunkan
kandungan oksigen pada otot jantung. Karbon monoksida dan
nikotin juga bisa meningkatkan viskositas trombosit dan
kemungkinan pembentukan plak, yang pada akhirnya bisa
merusak dinding dalam pembuluh darah dan meningkatkan risiko
pengerasan arteri.
d. Kurangnya aktivitas fisik
Olahraga bisa meningkatkan elastisitas pembuluh darah dan
mengurangi kemungkinan mengerasnya pembuluh darah.
e. Usia Tua
Seiring bertambahnya usia kerja jantung akan semakin menurun.
f. Pola makan
Konsumsi lemak, makanan asin atau manis atau minuman
beralkohol secara berlebihan akan meningkatkan kadar
kolesterol dalam darah, mengeraskan pembuluh darah, dan
mengakibatkan tekanan darah tinggi dan penyakit jantung.
5. Gejala & Tanda
1) Nyeri dada
Pada pemeriksaan ditemukan pengukuran tekanan darah
sistolik < 80-90 mmHg.
2) Kulit berwarna keabu-abuan atau bisa juga sianosis. Suhu kulit
dingin dan bisa muncul gambar mottled skin pada ekstremitas.
3) Nadi cepat dan halus/lemah serta dapat juga disertai dengan
irama yang tidak teratur jika terdapat aritmia .
4) Distensi vena jugularis dan ronkhi basah di paru biasanya ada
namun tidak harus selalu. Edema perifer juga biasanya dapat
dijumpai.
5) Suara jantung terdengar agak jauh, bunyi jantung III dan IV
bisa terdengar .
6) Tekanan nadi lemah dan pasien biasanya dalam keadaan
takikardia.
7) Tampak pada pasien tanda-tanda hipoperfusi misalnya
perubahan status mental dan jumlah urine .
8) Murmur sistolik biasanya terdengar pada pasien dengan
regurgitasi mitral, murmur biasanya terdengar di awal sistol.
9) Dijumpainya thrill parasternal menandakan adanya defek
septum ventrikel.
6. Penegakan Diagnosis
a. Anamnesis
Pada saat anamnesis keluhan yang timbul berkaitan
dengan etiologi syok kardiogenik antara lain infark miokard
akut merasakan nyeri dada yang muncul tiba-tiba seperti diperas
atau ditimpa beban berat di substernal.
Nyeri ini dapat menyebar hingga ke lengan kiri atau leher. Nyeri
dada bisa saja tidak khas, terutama jika lokasinya hanya di
epigastrium, leher atau lengan. Kualitas nyerinya bisa seperti
terbakar, seperti ditusuk-tusuk atau seperti ditikam. Gejala-
gejala lain yang berkaitan antara lain : diaforesis, sesak nafas
saat beraktifitas, sesak nafas saat beristrahat. Presinkop, sinkop,
palpitasi, ansietas generalisata serta depresi. Yang perlu
dilakukan adalah menggali ciri-ciri dari gejala utama tersebut,
seperti onset, progresifitas, maupun derajatnya.
b. Pemeriksaan fisik
Dapat dilakukan inspeksi, palpasi, auskultasi, tekanan
darah, dan pemeriksaan dada. Hal-hal dari hasil pemeriksaan
antara lain : ditemukan pengukuran tekanan darah sistolik < 80-
90 mmHg, denyut jantung biasanya meningkat stimulasi
simpatis, frekuensi pernapasan meningkat sebagai akibat dari
kongesti paru, pemeriksaan dada akan menunjukkan adanya
ronki, sistem kardiovaskuler yang dapat dielevasi seperti vena-
vena dileher seringkali meningkat distensinya, intensitas bunyi
jantung akan menurun jauh pada efusi perikardial, irama gallop
dapat timbul yang menunjukkan adanya disfungsi ventrikel kiri,
adanya bunyi bising atau murmur, dan pada pasien gagal
jantung kanan akan menunjukkan beberapa tanda-tanda antara
lain : pembesaran hati, pulsasi di liver akibat regurgitasi
triskupid, pulsasi arteri di ektremitas perifer akan menurun
intensitasnya, sianosis dan ekstremitas yang teraba dingin
menunjukkan terjadinya penurunan perfusi ke jaringan (Alwi &
Nasution, 2009).
c. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium meliputi pemeriksaan darah
lengkap terutama berguna untuk mengeksklusikan anemia.
Peningkatan jumlah leukosit hitung menandakan
kemungkinan adanya infeksi, sedangkan jumlah platelet yang
rendah mungkin disebabkan oleh koagulopati yang
disebabkan oleh sepsis. Pemeriksaan biokimia darah
termasuk elektrolit, fungsi ginjal, fungsi hati, bilirubin,
aspartate aminotransferase (AST), alanine aminotransferase
(ALT), laktat dehidrogenase (LDH), dapat dilakukan untuk
menilai fungsi organ-organ vital. Pemeriksaan enzim jantung
perlu dilakukan termasuk kreatinin kinase dan subklasnya,
troponin, myoglobin, dan LDH untuk mendiagnosa infark
miokard. Kreatinin kinase merupakan pemeriksaan yang
paling spesifik namun dapat menjadi positif palsu pada
keadaan myopathy, hipotroidisme, gagal ginjal, serta injuri
pada otot rangka. Nilai myoglobin merupakan pemeriksaan
yang sensitif pada infark miokard, nilainya dapat meningkat 4
kali lipat dalam 2 jam. Nilai LDH dapat meningkat pada 10
jam pertama setelah onset infark miokard dan mencapai
kadar puncak pada 24-48 jam, selanjutnya kembali ke kadar
normal dalam 6-8 hari. Troponin T dan I banyak digunakan
dalam mendiagnosa infark miokard. Jika kadar troponin
meningkat namun tidak dijumpai adanya bukti klinis iskemik
jantung, maka harus segera dicari kemungkinan lain dari
kerusakan jantung misalnya miokarditis. Kadar troponin T
meningkat dalam beberapa jam setelah onset infark miokard.
Kadar puncak dicapai dalam 14 jam setelah onset, mencapai
kadar puncak kembali pada beberapa hari setelah onset
(kadar puncak bifasik) dan tetap akan menunjukkan nilai
abnormal dalam 10 hari. Hal ini menyebabkan kombinasi
troponin T dan CK-MB menjadi parameter diagnostik
retrospektif yang amat bermanfaat bagi pasien yang
datangnya terlambat dari onset penyakit. Troponin T juga
merupakan suatu indikator prognostik independen sehingga
dapat digunakan sebagai stratifikator resiko pada pasien
angina tidak stabil dan infark miokard gelombang non-Q.
pemeriksaan analisa gas darah dapat melihat homeostasis
asam basa secara keseluruhan serta tingkat oksigenasi darah
di arteri. Peningkatan defisit basa di darah berhubungan
dengan keparahan syok dan sebagai marker dalam
pemantauan selama resusitasi terhadap pasien syok.
Pemeriksaan laktat serial bermanfaat sebagai marker
hipoperfusi dan indikator dari prognosis. Meningkatnya kadar
laktat pada pasien dengan adanya gejala hipoperfusi
menunjukkan prognosis yang buruk. Meningkatnya kadar
laktat selama proses resusitasi menunjukkan mortalitas yang
sangat tinggi. Kadar brain natriuretic peptide (BNP) berguna
sebagai pertanda adanya gagal jantung kongestif dan
merupakan suatu indikator prognostik yang independen. Nilai
BNP yang rendah dapat menyingkirkan syok kardiogenik
pada keadaan hipotensi. Namun demikian, nilai BNP yang
meningkat tidak serta merta dikatakan syok kardiogenik.
Pemeriksaan saturasi oksigen juga bermanfaat khususnya
dapat mendeteksi defek septum ventrikel.
2. Pencitraan
1) Echocardiography. Harus dilakukan secepatnya untuk
menetapkan penyebab syok kardiogenik.
Echocardiography mampu memberikan informasi
tentang fungsi sistolik global dan regional serta disfungsi
diastolik. Selain itu, pemeriksaan ini juga dapat
mendiagnosa dengan cepat penyebab mekanik syok
seperti defek septum ventrikel akut, ruptur dinding
miokardium, tamponade perikard, serta ruptur muskulus
papilaris yang menyebabkan regurgitasi miokardial akut.
Selain itu, dapat pula ditentukan area yang mengalami
diskinetik atau akinetik pada pergerakan dinding
ventrikular atau dapat juga memperlihatkan disfungsi
katup-katup. Fraksi ejeksi juga dapat dinilai pada
echocardiography. Jika ditemukan hiperdinamik pada
ventrikel kiri, maka penyebab lain harus ditelusuri
seperti syok sepsis atau anemia.
2) Radiografi toraks. Sangat penting dilakukan untuk
mengeksklusikan penyebab lain syok atau nyeri dada.
Mediastinum yang melebar mungkin adalah suatu
diseksi aorta. Tension pneumothorax atau
pneumomediastinum yang mudah ditemukan pada foto
toraks dapat bermanifestasi syok dengan low-output.
Gambaran radiologis pasien syok kardiogenik
kebanyakan memperlihatkan gambaran kegagalan
ventrikel kiri berupa redistribusi pembuluh darah
peulmonal, edema paru interstisial, bayangan hilus
melebar, dijumpai garis kerley-B, kardiomegali serta
effusi pleura bilateral. Edema alveolar tampak pada foto
toraks berupa opasitas perihilar bilateral (butterfly
distribution).
3) Ultrasonografi. Dapat menjadi panduan dalam
manajemen cairan. Pada pasien yang bernafas spontan,
vena kava inferior yang kolaps saat respirasi
menandakan adanya dehidrasi. Sedangkan jika tidak
maka status cairan intravaskular adalah euvolume.
4) Angiografi arteri koroner. Perlu dilakukan segera pada
pasien dengan iskemik atau infark miokard yang
mengalami syok kardiogenik. Angiografi penting untuk
menilai anatomi arteri koroner dan tindakan
revaskularisasi segera jika diperlukan.
Pada kasus dimana ditemukan kelainan yang luas pada
angiografi, maka respon kompensasi berupa hiperkinetik
tidak dapat berlangsung akibat beratnya aterosklerosis
arteri koroner. Penyebab tersering syok kardiogenik
adalah infark miokard yang luas atau infark yang lebih
kecil pada pasien yang sebelumnya telah mengalami
dekompensasi ventrikel kiri.
3. Pemantauan hemodinamik
Penggunaan kateter Swan-Ganz untuk mengukur tekanan
arteri pulmunal dan tekanan baji pembuluh kapiler paru
sangat berguna, khususnya untuk memastikan diagnosis dan
etiologi syok kardiegenik, serta sebagai indikator evaluasi
terapi yang diberikan. Pasien syok kardiogenik akibat gagal
ventrikel kiri yang berat, akan terjadi peningkatan tekanan
baji paru. Bila pengukuran ditemukan tekanan baji pembuluh
darah lebih dari 18 mmHg pada pasien infark Miokard akut
menunjukkan bahwa volume intravaskular pasien tersebut
cukup adekuat. Pasien dengan gagal ventrikel kanan atau
hipovolemia yang signifikan, akan menunjukkan tekanan baji
pembuluh paru yang normal atau lebih rendah. Pemantauan
parameter hemodinamik juga membutuhkan perhitungan
afterload (resistensi vaskular sistemik). Minimalisasi
afterload sangat diperlukan, karena bila terjadi peningkatan
afterload akan menimbulkan efek penurunan kontraktilitas
yang akan menghasilakan penurunan curah jantung.
4. Saturasi oksigen
Pemantauan saturasi oksigen yang sangat bermanfaat dan
dapat dilakukan pada saat pemasagan kateter Swan-Ganz,
yang juga dapat mendeteksi adanya defek septal ventrikel.
Bila terdapat pintas darah yang kaya oksigen dari ventrikel
kiri ke ventrikel kanan maka akan terjadi saturasi oksigen
yang step-up bila dibandingkan dengan saturasi oksigen vena
dari vena cava dan arteri pulmonal.

7. Terapi Non Farmakologi & Farmakologi


a. Terapi Non Farmakologi
Menerapkan gaya hidup sehat. Beberapa contoh gaya hidup
sehat seperti berolahraga teratur, mengusahakan berat badan ideal,
mengurangi makanan berlemak dan tinggi kolesterol, serta tidak
merokok. Mengendalikan penyakit-penyakit yang meningkatkan
risiko penyakit jantung. hipertensi, diabetes, dan kolesterol tinggi
merupakan penyakit yang dapat meningkatkan risiko penyakit
jantung. Lakukan kunjungan teratur ke dokter bila memiliki
penyakit tersebut agar mendapatkan penanganan yang tepat,
sehingga penyakit jantung dapat dicegah.

b. Terapi Farmakologi

Dikutip dari (Alwi & Nasution, 2009).


a) Apabila pada pengukuran tekanan darah sistemik 70-100 mmHg
disertai adanya gejalanya maka gunakan Dopamin.
Indikasi : Syok Kardiogenik, kondisi hipotensi berat atau
kecenderungan syok setelah mendapat terapi cairan.
Mekanisme : Bekerja sebagai agonis reseptor Beta 1.
Meningkatkan kontraktilitas miokard dan meningkatkan
frekuensi denyut jantung. Efek klinis yang diharapkan setelah
pemberian dopamin adalah peningkatkan cardiac output dan
tekanan darah.
Dosis : Diberikan secara drip 2-20 mikrogram/kgBB efek
renal, pemberian dopamin dalam dosis rendah memiliki efek
proteksi terhadap /menit.
Kontraindikasi : Hipertiroidisme, feokromositoma, takiaritmia,
fibrilasi ventrikel, glaukoma sudut sempit, adenoma prostat.
Efek Samping : Hipertensi, aritmia, pelebaran komplek QRS,
azotemia dan iskemia miokard.
Interaksi Obat : Potensiasi efek dengan penghambat MAO,
fenotiazin, butirofenon, antagonistik dengan penghambat
reseptor B adrenergik.
b) Pada tekanan darah sistolik 70-100 mmHg, tanpa adanya tanda
syok maka gunakan Dobutamin.
Indikasi : Syok Kardiogenik, kondisi hipotensi berat atau
kecenderungan syok setelah mendapat terapi cairan
Mekanisme : Bekerja sebagai agonis reseptor Beta 2
adrenergik. Meningkatkan kontraktilitas miokard dan
meningkatkan frekuensi denyut jantung. Efek klinis yang
diharapkan setelah pemberian dopamin adalah peningkatkan
cardiac output dan tekanan darah. Efek renal tidak ada. Efek
takikardi lebih ringan dari dopamin.
Dobutamin sering digunakan bersama dopamin, dengan
mempertahankan dosis dopamin tetap rendah dan meningkatkan
dosis dobutamin secara bertahap untuk menstabilkan
hemodinamik pada syok kardiogenik.
Dosis : 2-20 mikrogram/kgBB/menit.
Kontraindikasi : Idiopathic hypertropic subaortic stenosis,
riwayat hipersensitivitas terhadap dobutamin.
Efek Samping : takikardia, palpitasi, hipertensi, aritmia
ventrikel ektopik, mual, sakit kepala, angina pektoris dan napas
pendek.
Interaksi Obat : Beta-Blockers dan nitroprusside.
c) Apabila tekanan darah sistolik >70 mmHg, disertai tanda syok
gunakan vasopressor kua seperti Norepinefrin.
Indikasi : Hipotensi dan syok, sebagai obat tambahan pada
henti jantung.
Mekanisme : Norepinefrin disintesis dari dopamin dan
dilepaskan oleh medulla adrenal ke sirkulasi. Agonis reseptor
alfa 1. Aktivasi reseptor alfa adrenergik menyebabkan
vasokonstriksi dan meningkatkan tekanan darah. Frekuensi
denyut jantung akan turun sebagai refleks kompensasi
peningkatan tekanan darah.
Dosis : 0,5-30 mikrogram/kgBB/menit
Kontraindikasi : Hipertensi, kehamilan, laktasi. Hipotensi
akibat defisit volume sirkulasi.
Efek Samping : Bradikardia, iskemia serebral dan kardia,
aritmia, ansietas, sakit kepala, nekrosis bila terjadi ekstravasasi
infus.
Interaksi Obat : Potensiasi efek dengan penghambat MAO,
Trisiklik Antidepresan
d) Apabila tekanan darah sistolik lebih dari 100 mmHg dan juga
terdapat kondisi edema paru dapat digunakan nitrogliserin .
8. Sasaran Terapi dan strategi terapi
Inti dari tatalaksana syok kardiogenik adalah penilaian masalah
utamnya : volume, pompa, atau irama jantung. Bila masalah
utamanya pada volume cairan maka pemberian cairan atau
darah/komponennya adalah langkah pertama yang harus diambil.
Setelah volume diyakini cukup maka seperti halnya bila masalah
utama pada pompa jantung, perhatikan keadaan tekanan darah. Bila
masalah utamanya pada irama jantung, dapat diklasifikasi atas
bradiaritmia dan takiaritmia yang tatalaksananya disesuaikan dengan
diagnosis gangguan irama. Dapat dilakukan pemberian oksigen 8 –
15 liter/menit dengan menggunakan masker untuk mempertahankan
𝑃𝑂2 70–120 mmHg, Kombinasi dopamine dan dobutamine
merupakan strategi terapeutik yang efektif untuk syok kardiogenik,
meminimalkan berbagai efek samping dopamine dosis tinggi yang
tidak diinginkan dan menyediakan bantuan/dukungan inotropik.
Rasa nyeri akibat infark akut yang dapat memperbesar syok yang
ada harus diatasi dengan pemberian morfin, dan Pemasangan kateter
Swans Ganz untuk meneliti hemodinamik.
Daftar Pustaka
Alwi, I., & Nasution, A. (2009). Syok Kardiogenik. In A. W. Sudoyo, Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam (V ed., Vol. I, p. 185). Jakarta: Interna Publishing.

Anderson, S., & Wilson, L. (1995). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit
(IV ed., Vol. I). Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

Antono, D., & Ismail, D. (2009). Penyakit Arteri Perifer. In A. W. Sudoyo, Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam FK UI (V ed., Vol. III, p. 381). Jakarta: Interna Publishing.

Aryani, E., Nugroho HS, K. H., & Margawati, A. (2016). Hubungan Antara Dislipidemia
Dengan Status Penyakit Arteri Perifer (PAP) Pada Pasien Diabetes Melitus
Tipe 2 Terkontrol Sedang. Diponegoro University Institutional Repository.

Kasron. (2012). Buku Ajar Gangguan Sistem Kardiovaskuler. Jakarta: Nuha Medika.

Mescher, A. L. (2011). Histologi Dasar Junqueira Teks & Atlas (12 ed.). (F. Dany,
Trans.) Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

Paulsen, F., & Waschke, J. (2012). Sobotta : Atlas Anatomi Manusia Oragn-Organ
Dalam (23 ed., Vol. 2). (B. U. Pendit, Trans.) Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

Silverthorn, D. U. (2013). Fisiologi Manusia : Sebuah Pendekatan Terintegrasi (6 ed.).


(S. P. UI, Trans.) Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

Anda mungkin juga menyukai