Oleh :
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
2017/2018
I. Anatomi Sistem Kardiovaskular
Sistem Kardiovaskular merupakan sistem yang memberi fasilitas proses
pengangkutan berbagai substansi dari dan ke sel-sel tubuh. Sistem ini terdiri
dari organ jantung sebagai pemompa darah, dan sistem pembuluh darah
yang terdiri dari arteri yang mengalirkan darah ke seluruh tubuh dan vena
yang mengalirkan darah menuju jantung serta pembuluh-pembuluh kapiler
yang meyambungkan arteri dengan vena dan merupakan tempat
pertukaran 𝑂2 dengan 𝐶𝑂2 dan pendistribusian sari-sari makanan.
1. Anatomi Jantung
Jantung manusia merupakan organ berongga yang memiliki dua atrium
dan 2 ventrikel. Organ jantung memiliki otot-otot yang ketika
berkontraksi, mampu mendorong darah ke berbagai bagian tubuh.
Jantung manusia berbentuk seperti kerucut dan berukuran kurang lebih
sebesar kepalan tangan, terletak di rongga dada sebelah kiri dan
dibungkus oleh selaput yang disebut perikardium (Paulsen & Waschke,
2012).
a. Bentuk serta Ukuran Jantung
Jantung merupakan organ utama dalam sistem kardiovaskular yang
dibentuk dari apex dan basis cordis, atrium kanan dan kiri serta
ventrikel kanan dan kiri. Panjang jantung orang dewasa normal kira-
kira 12 cm, lebar 8-9 cm serta tebal kira-kira 6 cm. Berat jantung
sekitar 7-15 ons atau 200 sampai 425 gram dan sedikit lebih besar dari
kepalan tangan.
Posisi jantung terletak di antara kedua paru dan berada ditengah-
tengah dada (mediastinum inferior), bertumpu pada diafragma
thoracis, di belakang tulang sternum. Pada tepi kanan cranial, berada
pada tepi cranialis pars cartilaginis costa III dextra, 1 cm dari tepi
lateral sternum. Pada tepi kanan caudal, berada pada tepi cranialis pars
cartilaginis costa VI dextra, 1 cm dari tepi lateral sternum. Tepi kiri
cranial jantung berada pada tepi caudal pars cartilaginis costa II
sinistra di tepi lateral sternum dan tepi kiri caudalnya berada pada
ruang intercostalis 5, kira-kira 9 cm dari linea mediana (Kasron, 2012).
2. Pembuluh Darah
Sistem pembuluh darah pada manusia terdiri atas tiga kompenen utama
yaitu pembuluh darah arteri yang membawa darah dari jantung ke
seluruh tubuh dan paru-paru, pembuluh darah vena yang membawa darah
dari seluruh tubuh dan dari paru-paru menuju ke jantung serta pembuluh
kapiler yang menjadi penyambung antara pembuluh arteri dan vena serta
menjadi tempat pertukaran antara 𝑂2 dan 𝐶𝑂2 dari dan ke jaringan di
seluruh tubuh (Silverthorn, 2013).
Secara umum arteri dan vena terdiri dari tiga lapisan utama yaitu tunika
intima yang terdiri atas selapis endotel, tunika media yang mengandung
serat otot polos dan tunika adventitia yang mengandung berbagai
jaringan ikat. Sedangkan, kapiler hanya terdiri atas selapis endotel dan
lamina basalis, hal ini memungkinkan terjadinya pertukaran zat dengan
lebih mudah. Pada arteri terdapat membrana elastika interna dan eksterna
yang menyebabkan bentuk arteri cenderung lebih bulat dan lapisan tunika
media yang tebal menyebabkan lumen arteri terlihat lebih sempit, hal ini
berbanding terbalik dengan pembuluh darah vena yang bentuknya lebih
sedikit lonjong dan kurang beraturan serta memiliki lumen yang lebih
lebar (Mescher, 2011).
Perbedaan lainnya antara arteri dan vena dapat dilihat pada tabel di
bawah ini :
Arteri Vena
Batas dinding Jelas Tidak jelas
M. Elastika -/+ -
Lumen <<, bulat >>
T. Media >> (tebal) << (tipis)
RBC (-) relatif +
Kap. Limfe - +
Valvula - +
𝑂2 Tinggi Rendah
Cabang Selalu lebih kecil Hampir sama besar
Bila meninggal Dinding tidak kolaps Dinding kolaps
Rumus di atas menunjukkan bahwa ada dua hal yang terlibat dalam
menentukan curah jantung yaitu frekuensi denyut jantung per menit
dan volume sekuncup.
a. Divisi otonom memodulasi frekuensi denyut jantung. Frekuensi
denyut jantung pada orang dewasa normal pada saat istirahat
yaitu sekitar 70 denyut per menit. Frekuensi denyut jantung
diinisiasi oleh sel autoritmik di nodus SA, namun dimodulasi
juga oleh masukkan saraf dan hormon. Cabang saraf
parasimpatis dan simpatis mempengaruhi frekuensi denyut
jantung melalui pengaturan antagonistik.
Aktivasi saraf parasimpatis akan menurunkan denyut jantung
dengan pengeluaran neurotransmitter asetilkolin (Ach) yang
menyebabkan sel cepat mengalami hiperpolarisasi dan
menurunkan kecepatan depolarisasi potensial pemicu.
Sedangkan, aktivasi saraf simpatis akan meningkatkan denyut
jantung dengan pengeluaran katekolamin (norepinefrin dan
epinefrin) yang mempercepat frekuensi depolarisasi sel picu
sehingga sel mencapai ambang picu potensial aksi dengan lebih
cepat dan frekuensi denyut jantung meningkat.
B. Tekanan Darah
Tekanan darah merupakan tekanan yang didapatkan dari tekanan rata-
rata aorta pada saat ventrikel berkontraksi (tekanan sistolik) yang
mencapai rata-rata 120 mmHg dan turun terus menerus selama
diastolik ventrikel (tekanan diastolik) sampai 80 mmHg. Walaupun
tekanan pada aorta selama diastolik ventrikel terus menurun tetapi
tidak lebih rendah dari tekanan ventrikel itu sendiri, hal ini
menunjukkan kemampuan aorta sebagai reservoir tekanan atau
penyimpanan tekanan ketika ventrikel kiri berkontraksi. Tekanan rata-
rata aorta di pengaruhi oleh tiga hal yaitu curah jantung, volume darah
dan resistensi/tahanan arteri perifer.
III. Claudicatio
1. Pengertian
Klaudikasio didefinisikan sebagai gejala klinis tersering pada Penyakit
Arteri Perifer (PAP) yang berupa kelemahan, ketidaknyamanan atau
nyeri yang terjadi pada sekumpulan otot tungkai yang spesifik saat
iskemi yang dipicu oleh aktivitas. Individu dengan klaudikasio
mempunyai aliran darah yang cukup saat istirahat sehingga tidak akan
ada keluhan. Dalam keadaan olahraga, akan terjadi peningkatan
kebutuhan otot lokal untuk mendukung metabolik, sehingga pada
individu dengan PAD di ekstremitas bawah, kebutuhan ini tidak akan
tercapai yang kemudian akan timbul keluhan kelelahan otot dan nyeri.
2. Etiologi
vasculitis
non
ateroskleroti Trauma
k
PAP
ateroskleroti
k emboli
a. Merokok
Merokok menjadi faktor risiko yang sangat berpotensi terhadap
terbentuknya PAP. Merokok lebih berpotensi menyebabkan PAP
daripada PJK. Seseorang yang merokok < 25 tahun memiliki tiga
kali peningkatan risiko terjadinya PAP dibandingkan orang yang
tidak merokok.
Selain itu, seseorang yang merokok ≥ 25 tahun memiliki
peningkatan risiko PAP lima kali dibandingkan orang yang tidak
merokok. Pasien yang tetap merokok hingga 20 batang perhari
memiliki risiko yang meningkat 12 kali. Selain itu, individu yang
merokok lebih dari 5 batang per hari memiliki prognosis
revaskularisasi yang buruk dibandingkan dengan yang merokok
kurang dari 5 batang per hari. Penghentian merokok berhubungan
dengan penurunan insidensi klaudikasio yang cepat. Pada studi
yang dilakukan pada 245 wanita yang menderita PAP, ditemukan
bahwa risiko PAP secara signifikan turun setelah berhenti
merokok. Mantan perokok yang tidak lagi merokok lebih dari 5
tahun memiliki risiko terjadinya PAP yang mendekati orang
normal. Pada studi yang dilakukan terhadap 1209 penduduk
China yang tidak pernah merokok namun menjadi perokok pasif
baik di rumah maupun di tempat kerja, 67% lebih mungkin
menjadi PAP dibandingkan orang tanpa paparan.
b. Diabetes
DM adalah faktor risiko penting lainnya pada terjadinya PAP,
lama dan keparahan diabetes yang dialami juga dapat
berpengaruh. PAP memberikan prognosis yang lebih buruk pada
pasien DMT2 dibandingkan dengan pasien non-diabetes.
Klaudikasio intermiten terjadi dua kali lebih banyak pada pasien
dengan diabetes daripada pasien non diabetes.
c. Hiperlipidemia
Beberapa studi epidemiologi juga menemukan bahwa tingginya
kadar kolesterol total dan rendahnya HDL secara independen
berkaitan dengan meningkatnya risiko PAP. Hiperlipidemia
mengubah dinding endotel arteri mengarah ke pembentukan lesi
aterosklerotik. Kolesterol LDL adalah salah satu penyebab utama
dari disfungsi endotel dan cedera otot polos.
Perubahan-perubahan pada endotel oleh karena hiperlipidemia ini
merupakan lesi awal aterosklerosis yang selanjutnya akan
menjadi lesi yang lebih kompleks menyebabkan stenosis arteri
atau oklusi.
d. Usia
Pada studi Framingham Heart prevalensi PAP meningkat pada
individu dengan usia ≥ 65 tahun. Insidensi klaudikasio intermiten
pada usia 30-44 adalah 6 dari 10.000 pasien pria dan 3 dari
10.000 pasien wanita. Insidensi ini meningkat menjadi 61 setiap
10.000 pria dan 54 setiap 10.000 wanita pada usia 65-74.
e. Jenis Kelamin
Pada pasien dengan klaudikasio intermiten, rasio laki-laki
dibandingkan dengan wanita adalah antara 1 : 1 dan 2 : 1. Rasio
ini meningkat pada beberapa studi setidaknya hingga 3 : 1 pada
tahap penyakit yang lebih parah, seperti critical limb ischemia
kronis.
Pemeriksaan nadi
Hasil Hasil
abnormal normal
Tegakkan diagnosis PAD
Terapi
Endovaskular/operasi
IV. Syok Kardiogenik
1. Pengertian
Syok kardiogenik adalah gangguan yang disebabkan oleh penurunan
curah jantung sistemik pada keadaan volume intravaskular yang
cukup dan dapat mengakibatkan hipoksia jaringan (Alwi &
Nasution, 2009).
2. Patofisiologi
Penurunan
Curah Jantung
Peningkatan
kebutuhan
oksigen mokard
Penurunan
Curah Jantung
Penurunan
perfusi jaringan
Iskemik
Kerusakan
metabolisme sel
Disfungsi miokard
Patofisiologi yang mendasari syok kardiogenik adalah
depresi kontraktilitas miokard yang mengakibatkan lingkaran setan
penurunan curah jantung, tekanan darah rendah, insufisiensi koroner
dan selanjutnya terjadi penurunan kontraktilitas dan curah jantung.
Pada saat menurunnya curah jantung, tubuh melakukan kompensasi
dengan meningkatkan reabsorbi air (ADH) dan retensi natrium
(aldosteron) sehingga meningkatnya volume darah yang adekuat
atau bisa juga melakukan kompensasi dengan melepaskan
katekolamin agar meningkatnya SVR (Systemic Vascular
Resistance). Hal ini akan menyebabkan meningkatnya volume
diastolik akhir yang masuk ke ventrikel (preload), meningkatnya
volume yang dipompakan ke ventrikel dalam satu kali kontraksi
(stroke volume) dan juga meningkatnya heart rate. Hal ini akan
menyebabkan meningkatnya kebutuhan oksigen pada miokard. Syok
kardiogenik ditandai dengan gangguan pada perfusi jaringan dan
penghantaran oksigen ke jaringan. Yang khas pada syok kardiogenik
oleh infark miokardium akut adalah hilangnya 40% atau lebih
jaringan otot pada ventrikel kiri. Sehingga adanya kerusakan pada
metabolisme sel dan juga ditemukannya nekrosis lokal yang
merupakan akibat dari ketidakseimbangan antara kebutuhan dan
suplai oksigen miokardium. Pembuluh koroner yang terserang juga
tidak mampu meningkatkan alian darah secara memadai sebagai
respon terhadap peningkatan beban kerja dan kebutuhan oksigen
jantung oleh aktivitas respon kompensatorik seperti perangsangan
saraf simpatik. Sebagai akibat dari proses infark, kontraktilitas
ventrikel kiri dan kinerjanya menjadi sangat terganggu. Ventrikel
kiri gagal bekerja sebagai pompa dan tidak mampu menyediakan
curah jantung yang memadai untuk mempertahankan perfusi
jaringan. Maka dimulailah siklus berulang. Siklus dimulai dengan
terjadinya infark yang berlanjut dengan gangguan fungsi
miokardium.
Gangguan fungsi miokardium yang berat akan menyebabkan
menurunnya curah jantung dan hipotensi arteria. Akibatnya
terjadinya asidosis metabolik dan menurunnya perfusi koroner, yang
lebih lanjut mengganggu fungsi ventrikel dan menyebabkan
terjadinya aritmia yang akan menyebabkan syok kardiogenik
(Anderson & Wilson, 1995).
3. Klasifikasi berdasarkan etiologi
Komplikasi mekanik akibat infark miokard akut dapat
menyebabkan terjadi syok. Diantara komplikasi tersebut adalah
ruptur septal ventrikel, ruptur atau disfungsi otot papilaris dan ruptur
miokard yang keseluruhan dapat mengakibatkan timbulnya syok
kardiogenik tersebut, sedangkan infark ventrikel kanan tanpa disertai
infark atau disfungsi ventrikel kiri pun dapat menyebabkan terjadi
syok. Hal lain yang sering menyebabkan terjadinya syok kardiogenik
adalah taki atau bradiaritmia yang rekuren, dimana biasanya terjadi
akibat disfungsi ventrikel kiri dan dapat timbul bersamaan dengan
aritmia supraventrikular ataupun ventrikular. Syok kardiogenik juga
dapat timbul sebagai manifestasi tahap akhir dari disfungsi miokard
yang progresif, termasuk akibat penyakit jantung iskemia, maupun
kardiomiopati hipertrofik dan restriktif. Penyebab tersering dari
syok kardiogenik pada umumnya adalah infark miokard untuk itu
akan dijelaskan lebih lanjut (Kasron, 2012).
AMI (Acute Miocard Infarc) terjadi ketika iskemia yang terjadi
berlangsung cukup lama yaitu lebih dari 30-45 menit sehingga
menyebabkan kerusakan seluler yang ireversibel. Bagian jantung yang
terkena infark akan berhenti berkontraksi selamanya. Iskemia yang
terjadi paling banyak disebabkan oleh penyakit arteri koroner /coronary
artery disease (CAD). Pada penyakit ini terdapat materi lemak
(plaque) yang telah terbentuk dalam beberapa tahun di dalam lumen
arteri koronaria (arteri yang mensuplai darah dan oksigen pada jantung)
Plaque dapat ruptur sehingga menyebabkan terbentuknya bekuan darah
pada permukaan plaque. Jika bekuan menjadi cukup besar, maka bisa
menghambat aliran darah baik total maupun sebagian pada arteri
koroner. Terbendungnya aliran darah menghambat darah yang kaya
oksigen mencapai bagian otot jantung yang disuplai oleh arteri tersebut.
Kurangnya oksigen akan merusak otot jantung. Jika sumbatan itu tidak
ditangani dengan cepat, otot jantung yang rusak itu akan mulai mati.
Selain disebabkan oleh terbentuknya sumbatan oleh plaque ternyata
infark juga bisa terjadi pada orang dengan arteri koroner normal (5%).
Spasme arteri koroner yang terjadi bisa dipicu oleh beberapa hal antara
lain : mengkonsumsi obat-obatan tertentu, stress emosional, merokok,
dan paparan suhu dingin yang ekstrim. Spasme bisa terjadi pada
pembuluh darah yang mengalami aterosklerotik sehingga dapat
menimbulkan oklusi kritis dan menimbulkan infark jika terlambat
dalam penangananya. Letak infark ditentukan juga oleh letak sumbatan
arteri koroner yang mensuplai darah ke jantung. Terdapat dua arteri
koroner besar yaitu arteri koroner kanan dan kiri. Kemudian arteri
koroner kiri bercabang menjadi dua yaitu desenden anterior dan arteri
sirkumfleks kiri. Arteri koronaria desenden anterior kiri berjalan
melalui bawah anterior dinding ke arah apeks jantung. Bagian ini
menyuplai aliran dua pertiga dari septum intraventrikel, sebagaian besar
apeks, dan ventrikel kiri anterior. Sedangkan cabang sirkumfleks kiri
berjalan dari koroner kiri ke arah dinding lateral kiri dan ventrikel kiri.
Daerah yang disuplai meliputi atrium kiri, seluruh dinding posterior,
dan sepertiga septum intraventrikel posterior. Selanjutnya arteri koroner
kanan berjalan dari aorta sisi kanan arteri pulmonal ke arah dinding
lateral kanan sampai ke posterior jantung. Bagian jantung yang disuplai
meliputi : atrium kanan, ventrikel kanan, nodus SA, nodus AV, septum
interventrikel posterior superior, bagian atrium kiri, dan permukaan
diafragmatik ventrikel kiri. Berdasarkan hal diatas maka dapat
diketahui jika infark anterior kemungkinan disebabkan gangguan pada
cabang desenden anterior kiri, sedangkan infark inferior bisa
disebabkan oleh lesi pada arteri koroner kanan. Berdasarkan ketebalan
dinding otot jantung yang terkena maka infark bisa dibedakan menjadi
infark transmural dan subendokardial. Kerusakan pada seluruh lapisan
miokardiom disebut infark transmural, sedangkan jika hanya mengenai
lapisan bagian dalam saja disebut infark subendokardial. Infark
miokardium akan mengurangi fungsi ventrikel karena otot yang
nekrosis akan kehilangan daya kotraksinya begitupun otot yang
mengalami iskemi (disekeliling daerah infark).
Secara fungsional infark miokardium menyebabkan perubahan-
perubahan sebagai berikut : daya kontraksi menurun, gerakan dinding
abnormal (daerah yang terkena infark akan menonjol keluar saat yang
lain melakukan kontraksi), perubahan daya kembang dinding ventrikel,
penurunan volume sekuncup, penurunan fraksi ejeksi. Gangguan
fungsional yang terjadi tergantung pada beberapa faktor dibawah ini :
ukuran infark jika mencapai 40% bisa menyebabkan syok kardiogenik,
lokasi Infark dinding anterior mengurangi fungsi mekanik jantung lebih
besar dibandingkan jika terjadi pada bagian inferior, Sirkulasi kolateral
berkembang sebagai respon terhadap iskemi kronik dan hiperferfusi
regional untuk memperbaiki aliran darah yang menuju miokardium
sehingga semakin banyak sirkulasi kolateral, maka gangguan yang
terjadi minimal, mekanisme kompensasi bertujuan untuk
mempertahankan curah jantung dan perfusi perifer.
Gangguan akan mulai terasa ketika mekanisme kompensasi jantung
tidak berfungsi dengan baik.
4. Faktor Resiko
Faktor yang dapat meningkatkan risiko syok kardiogenik
seseorang antar lain (Kasron, 2012) :
a. Diabetes
Pada penderita diabetes biasanya terjadi hiperinsulinemia, hal
ini yang nantinya menyebabkan terjadi penyumbatan di arteri
koroner dan akan menghambat kerja jantung karena semakin
banyak sel yang harus disuplai oksigen sedangkan asupan oksigen
menurun akibat dari pemompaan jantung yang tidak efektif.
b. Hipertensi
Hipertensi menyebabkan meningkatnya after load yang secara
tidak langsung akan meningkatkan beban kerja jantung. Kondisi
seperti ini akan memicu hipertrofi ventrikel kiri sebagai
kompensasi dari meningkatnya after load yang pada akhirnya
meningkatkan kebutuhan oksigen jantung.
c. Merokok
Nikotin dalam rokok merangsang pelepasan hormon yang
menyebabkan jantung berdetak lebih cepat dan menyempitkan
pembuluh darah. Menghirup karbon monoksida bisa menurunkan
kandungan oksigen pada otot jantung. Karbon monoksida dan
nikotin juga bisa meningkatkan viskositas trombosit dan
kemungkinan pembentukan plak, yang pada akhirnya bisa
merusak dinding dalam pembuluh darah dan meningkatkan risiko
pengerasan arteri.
d. Kurangnya aktivitas fisik
Olahraga bisa meningkatkan elastisitas pembuluh darah dan
mengurangi kemungkinan mengerasnya pembuluh darah.
e. Usia Tua
Seiring bertambahnya usia kerja jantung akan semakin menurun.
f. Pola makan
Konsumsi lemak, makanan asin atau manis atau minuman
beralkohol secara berlebihan akan meningkatkan kadar
kolesterol dalam darah, mengeraskan pembuluh darah, dan
mengakibatkan tekanan darah tinggi dan penyakit jantung.
5. Gejala & Tanda
1) Nyeri dada
Pada pemeriksaan ditemukan pengukuran tekanan darah
sistolik < 80-90 mmHg.
2) Kulit berwarna keabu-abuan atau bisa juga sianosis. Suhu kulit
dingin dan bisa muncul gambar mottled skin pada ekstremitas.
3) Nadi cepat dan halus/lemah serta dapat juga disertai dengan
irama yang tidak teratur jika terdapat aritmia .
4) Distensi vena jugularis dan ronkhi basah di paru biasanya ada
namun tidak harus selalu. Edema perifer juga biasanya dapat
dijumpai.
5) Suara jantung terdengar agak jauh, bunyi jantung III dan IV
bisa terdengar .
6) Tekanan nadi lemah dan pasien biasanya dalam keadaan
takikardia.
7) Tampak pada pasien tanda-tanda hipoperfusi misalnya
perubahan status mental dan jumlah urine .
8) Murmur sistolik biasanya terdengar pada pasien dengan
regurgitasi mitral, murmur biasanya terdengar di awal sistol.
9) Dijumpainya thrill parasternal menandakan adanya defek
septum ventrikel.
6. Penegakan Diagnosis
a. Anamnesis
Pada saat anamnesis keluhan yang timbul berkaitan
dengan etiologi syok kardiogenik antara lain infark miokard
akut merasakan nyeri dada yang muncul tiba-tiba seperti diperas
atau ditimpa beban berat di substernal.
Nyeri ini dapat menyebar hingga ke lengan kiri atau leher. Nyeri
dada bisa saja tidak khas, terutama jika lokasinya hanya di
epigastrium, leher atau lengan. Kualitas nyerinya bisa seperti
terbakar, seperti ditusuk-tusuk atau seperti ditikam. Gejala-
gejala lain yang berkaitan antara lain : diaforesis, sesak nafas
saat beraktifitas, sesak nafas saat beristrahat. Presinkop, sinkop,
palpitasi, ansietas generalisata serta depresi. Yang perlu
dilakukan adalah menggali ciri-ciri dari gejala utama tersebut,
seperti onset, progresifitas, maupun derajatnya.
b. Pemeriksaan fisik
Dapat dilakukan inspeksi, palpasi, auskultasi, tekanan
darah, dan pemeriksaan dada. Hal-hal dari hasil pemeriksaan
antara lain : ditemukan pengukuran tekanan darah sistolik < 80-
90 mmHg, denyut jantung biasanya meningkat stimulasi
simpatis, frekuensi pernapasan meningkat sebagai akibat dari
kongesti paru, pemeriksaan dada akan menunjukkan adanya
ronki, sistem kardiovaskuler yang dapat dielevasi seperti vena-
vena dileher seringkali meningkat distensinya, intensitas bunyi
jantung akan menurun jauh pada efusi perikardial, irama gallop
dapat timbul yang menunjukkan adanya disfungsi ventrikel kiri,
adanya bunyi bising atau murmur, dan pada pasien gagal
jantung kanan akan menunjukkan beberapa tanda-tanda antara
lain : pembesaran hati, pulsasi di liver akibat regurgitasi
triskupid, pulsasi arteri di ektremitas perifer akan menurun
intensitasnya, sianosis dan ekstremitas yang teraba dingin
menunjukkan terjadinya penurunan perfusi ke jaringan (Alwi &
Nasution, 2009).
c. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium meliputi pemeriksaan darah
lengkap terutama berguna untuk mengeksklusikan anemia.
Peningkatan jumlah leukosit hitung menandakan
kemungkinan adanya infeksi, sedangkan jumlah platelet yang
rendah mungkin disebabkan oleh koagulopati yang
disebabkan oleh sepsis. Pemeriksaan biokimia darah
termasuk elektrolit, fungsi ginjal, fungsi hati, bilirubin,
aspartate aminotransferase (AST), alanine aminotransferase
(ALT), laktat dehidrogenase (LDH), dapat dilakukan untuk
menilai fungsi organ-organ vital. Pemeriksaan enzim jantung
perlu dilakukan termasuk kreatinin kinase dan subklasnya,
troponin, myoglobin, dan LDH untuk mendiagnosa infark
miokard. Kreatinin kinase merupakan pemeriksaan yang
paling spesifik namun dapat menjadi positif palsu pada
keadaan myopathy, hipotroidisme, gagal ginjal, serta injuri
pada otot rangka. Nilai myoglobin merupakan pemeriksaan
yang sensitif pada infark miokard, nilainya dapat meningkat 4
kali lipat dalam 2 jam. Nilai LDH dapat meningkat pada 10
jam pertama setelah onset infark miokard dan mencapai
kadar puncak pada 24-48 jam, selanjutnya kembali ke kadar
normal dalam 6-8 hari. Troponin T dan I banyak digunakan
dalam mendiagnosa infark miokard. Jika kadar troponin
meningkat namun tidak dijumpai adanya bukti klinis iskemik
jantung, maka harus segera dicari kemungkinan lain dari
kerusakan jantung misalnya miokarditis. Kadar troponin T
meningkat dalam beberapa jam setelah onset infark miokard.
Kadar puncak dicapai dalam 14 jam setelah onset, mencapai
kadar puncak kembali pada beberapa hari setelah onset
(kadar puncak bifasik) dan tetap akan menunjukkan nilai
abnormal dalam 10 hari. Hal ini menyebabkan kombinasi
troponin T dan CK-MB menjadi parameter diagnostik
retrospektif yang amat bermanfaat bagi pasien yang
datangnya terlambat dari onset penyakit. Troponin T juga
merupakan suatu indikator prognostik independen sehingga
dapat digunakan sebagai stratifikator resiko pada pasien
angina tidak stabil dan infark miokard gelombang non-Q.
pemeriksaan analisa gas darah dapat melihat homeostasis
asam basa secara keseluruhan serta tingkat oksigenasi darah
di arteri. Peningkatan defisit basa di darah berhubungan
dengan keparahan syok dan sebagai marker dalam
pemantauan selama resusitasi terhadap pasien syok.
Pemeriksaan laktat serial bermanfaat sebagai marker
hipoperfusi dan indikator dari prognosis. Meningkatnya kadar
laktat pada pasien dengan adanya gejala hipoperfusi
menunjukkan prognosis yang buruk. Meningkatnya kadar
laktat selama proses resusitasi menunjukkan mortalitas yang
sangat tinggi. Kadar brain natriuretic peptide (BNP) berguna
sebagai pertanda adanya gagal jantung kongestif dan
merupakan suatu indikator prognostik yang independen. Nilai
BNP yang rendah dapat menyingkirkan syok kardiogenik
pada keadaan hipotensi. Namun demikian, nilai BNP yang
meningkat tidak serta merta dikatakan syok kardiogenik.
Pemeriksaan saturasi oksigen juga bermanfaat khususnya
dapat mendeteksi defek septum ventrikel.
2. Pencitraan
1) Echocardiography. Harus dilakukan secepatnya untuk
menetapkan penyebab syok kardiogenik.
Echocardiography mampu memberikan informasi
tentang fungsi sistolik global dan regional serta disfungsi
diastolik. Selain itu, pemeriksaan ini juga dapat
mendiagnosa dengan cepat penyebab mekanik syok
seperti defek septum ventrikel akut, ruptur dinding
miokardium, tamponade perikard, serta ruptur muskulus
papilaris yang menyebabkan regurgitasi miokardial akut.
Selain itu, dapat pula ditentukan area yang mengalami
diskinetik atau akinetik pada pergerakan dinding
ventrikular atau dapat juga memperlihatkan disfungsi
katup-katup. Fraksi ejeksi juga dapat dinilai pada
echocardiography. Jika ditemukan hiperdinamik pada
ventrikel kiri, maka penyebab lain harus ditelusuri
seperti syok sepsis atau anemia.
2) Radiografi toraks. Sangat penting dilakukan untuk
mengeksklusikan penyebab lain syok atau nyeri dada.
Mediastinum yang melebar mungkin adalah suatu
diseksi aorta. Tension pneumothorax atau
pneumomediastinum yang mudah ditemukan pada foto
toraks dapat bermanifestasi syok dengan low-output.
Gambaran radiologis pasien syok kardiogenik
kebanyakan memperlihatkan gambaran kegagalan
ventrikel kiri berupa redistribusi pembuluh darah
peulmonal, edema paru interstisial, bayangan hilus
melebar, dijumpai garis kerley-B, kardiomegali serta
effusi pleura bilateral. Edema alveolar tampak pada foto
toraks berupa opasitas perihilar bilateral (butterfly
distribution).
3) Ultrasonografi. Dapat menjadi panduan dalam
manajemen cairan. Pada pasien yang bernafas spontan,
vena kava inferior yang kolaps saat respirasi
menandakan adanya dehidrasi. Sedangkan jika tidak
maka status cairan intravaskular adalah euvolume.
4) Angiografi arteri koroner. Perlu dilakukan segera pada
pasien dengan iskemik atau infark miokard yang
mengalami syok kardiogenik. Angiografi penting untuk
menilai anatomi arteri koroner dan tindakan
revaskularisasi segera jika diperlukan.
Pada kasus dimana ditemukan kelainan yang luas pada
angiografi, maka respon kompensasi berupa hiperkinetik
tidak dapat berlangsung akibat beratnya aterosklerosis
arteri koroner. Penyebab tersering syok kardiogenik
adalah infark miokard yang luas atau infark yang lebih
kecil pada pasien yang sebelumnya telah mengalami
dekompensasi ventrikel kiri.
3. Pemantauan hemodinamik
Penggunaan kateter Swan-Ganz untuk mengukur tekanan
arteri pulmunal dan tekanan baji pembuluh kapiler paru
sangat berguna, khususnya untuk memastikan diagnosis dan
etiologi syok kardiegenik, serta sebagai indikator evaluasi
terapi yang diberikan. Pasien syok kardiogenik akibat gagal
ventrikel kiri yang berat, akan terjadi peningkatan tekanan
baji paru. Bila pengukuran ditemukan tekanan baji pembuluh
darah lebih dari 18 mmHg pada pasien infark Miokard akut
menunjukkan bahwa volume intravaskular pasien tersebut
cukup adekuat. Pasien dengan gagal ventrikel kanan atau
hipovolemia yang signifikan, akan menunjukkan tekanan baji
pembuluh paru yang normal atau lebih rendah. Pemantauan
parameter hemodinamik juga membutuhkan perhitungan
afterload (resistensi vaskular sistemik). Minimalisasi
afterload sangat diperlukan, karena bila terjadi peningkatan
afterload akan menimbulkan efek penurunan kontraktilitas
yang akan menghasilakan penurunan curah jantung.
4. Saturasi oksigen
Pemantauan saturasi oksigen yang sangat bermanfaat dan
dapat dilakukan pada saat pemasagan kateter Swan-Ganz,
yang juga dapat mendeteksi adanya defek septal ventrikel.
Bila terdapat pintas darah yang kaya oksigen dari ventrikel
kiri ke ventrikel kanan maka akan terjadi saturasi oksigen
yang step-up bila dibandingkan dengan saturasi oksigen vena
dari vena cava dan arteri pulmonal.
b. Terapi Farmakologi
Anderson, S., & Wilson, L. (1995). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit
(IV ed., Vol. I). Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Antono, D., & Ismail, D. (2009). Penyakit Arteri Perifer. In A. W. Sudoyo, Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam FK UI (V ed., Vol. III, p. 381). Jakarta: Interna Publishing.
Aryani, E., Nugroho HS, K. H., & Margawati, A. (2016). Hubungan Antara Dislipidemia
Dengan Status Penyakit Arteri Perifer (PAP) Pada Pasien Diabetes Melitus
Tipe 2 Terkontrol Sedang. Diponegoro University Institutional Repository.
Kasron. (2012). Buku Ajar Gangguan Sistem Kardiovaskuler. Jakarta: Nuha Medika.
Mescher, A. L. (2011). Histologi Dasar Junqueira Teks & Atlas (12 ed.). (F. Dany,
Trans.) Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Paulsen, F., & Waschke, J. (2012). Sobotta : Atlas Anatomi Manusia Oragn-Organ
Dalam (23 ed., Vol. 2). (B. U. Pendit, Trans.) Jakarta: Buku Kedokteran EGC.