Anda di halaman 1dari 22

TOKSOPLASMOSIS

PENDAHULUAN
Pada akhir - akhir ini banyak masyarakat yang resah akibat penyakit yang ditularkan
oleh akibat mengkonsumsi produk hewani. Salah satu penyakit yang diresahkan tersebut adalah
toksoplasmosis. Selain masyarakat umum, banyak para dokter, dokter hewan ataupun ilmuwan
yang mulai tertarik dengan keberadaan dari penyakit tersebut baik untuk kesehatan hewan
ataupun manusia.
Akibat yang ditimbulkan tidak sedikit apabila ditinjau dari segi ekonomi karena penyakit
ini dapat menyebabkan terjadinya abortus ataupun sampai kematian khususnya pada hewan
domba dan hewan domestikasi lain. Dari segi kesehatan manusia parasit ini juga sangat
berakibat fatal khususnya bagi ibu – ibu hamil, anak- anak ataupun penderita imunocompromise.
Diperkirakan bahwa 30 – 50 % populasi manusia didunia ini telah terinfeksi oleh Toxoplasma
dan secara klinik mengandung kista walaupun tidak jelas dan lebih dari 1000 bayi yang lahir
terinfeksi oleh Toxoplasma ( anonim , 2001a; anonim 2001b ).
Toksoplasmosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh Toxoplasma gondii. Parasit
ini merupakan golongan protozoa dan hidup dialam bebas serta bersifat parasit obligat.
Toxoplasma gondii pertama kali ditemukan pada limpa dan hati hewan pengerat ( rodensia )
Ctenodactyles gondii ( gundi ) di Sahara Afrika Utara ( Anonim, 2001; Sciammarella, 2001).
Toxoplasma termasuk dalam phylum Apicomplexa , kelas Sporozoa dan Subkelas Coccidia
(Dubey, 1999; anonim, 2001c). Parasit yang termasuk dalam phylum ini mempunyai tiga
karakteristik utama yaitu bersifat obligat intraseluler, siklus hidup yang komplek baik secara
seksual ataupun aseksual dan mempunyai host spesifik yang sangat tinggi. Genus Toxoplasma
hanya terdiri dari satu spesies yaitu Toxopasma gondii, parasit ini mempunyai sifat yang tidak
umum dibandingkan dengan genus lain, diantaranya dapat menginfeksi inang antara dalam
kisaran yang sangat luas ( tidak bersifat host spesifik ). Inang antara yang mudah terinfeksi
antara lain adalah hewan berdarah panas, manusia dan burung (Smith dan Rebuck, 2000;
Sciammarella, 2001).
Inang perantara dapat terinfeksi oleh parasit ini dengan jalan menelan ookista yang
infektif yang ada dalam feses kucing ( inang definitif ), kista yang mengkontaminasi pada

1
daging khususnya daging babi dan kambing, ataupun melalui plasenta pada wanita hamil (
Dubey, 1999; Lopez, 2000 ).
Menurut March of Dimer, bahwa 40 % wanita hamil yang mengidap toxoplasmosis pada
permulaan awal kebuntingan janin yang dilahirkan akan terinfeksi, sedang apabila wanita hamil
terinfeksi pada trimester pertama kebuntingan maka 15 % janin akan terinfeksi.dan
menyebabkan abortus ataupun kelahiran dini. Walaupun 90% bayi yang terinfeksi lahir dengan
normal tetapi 80 – 90% bayi tersebut akan menderita gannguan penglihatan setelah beberapa
bulan atau beberapa tahun dan 10% akan mengalami gangguan pendengaran.

DEFINISI
Toksoplasmosis adalah penyakit zoonosis, disebabkan oleh parasit Toksoplasma gondii.
Toksoplasma gondii pada tahun 1908 pertama kali ditemukan pada binatang mengerat, yaitu
Ctenodactylus gundi, di suatu laboratorium di Tunisia pada seekor kelinci di suatu laboratorium
di brazil. Pada tahun 1973 parasit ini ditemukan pada neonates dan ensefalitis. Walupun
transmisi intrauterine secara transplasental sudah diketahui, tetapi baru pada tahun 1970 daur
hidup parasit menjadi jelas, ketika ditemukan daur seksualnya pada kucing (Hutchison)
(Herdiman, 2007, Gandahusada, 1998).
Toksoplasmosis (Yunani : berbentuk seperti panah) adalah sebuah genus tersendiri.
Infeksi akut yang didapat setelah lahir dapat bersifat asimptomatik, namun lebih sering
menghasilkan kista jaringan yang menetap kronik. Baik toksoplasmosis akut maupun kronik
menyebabkan gejala klinis termasuk limfadenopati, ensefalitis, miokarditis dan pneumonitis
(Herdiman, 2007).

EPIDEMIOLOGI
Di Indonesia prevalensi zat anti T.gondii yang positif pada manusia berkisar antara 2%
dan 63%. Sedangkan pada orang Eskimo prevalensinya 1% dan di El Salvidor, Amerika Tengah
90% (Herdiman, 2007).
Penyebaran dari toxoplasma gondii sangat luas yaitu dari daerah Alaska sampai dengan
Australia. Distribusi yang sangat luas ini mungkin menjadi suatu bagian dalam mekanisme
penularan. Kejadian toksoplasmosis pernah dilaporkan pada 35.940 wanita hamil di Norwegia
antara tahun 1992 – 1994. Di Indonesia pernah dilaporkan oleh Gandahusada pada tahun 1995,

2
bahwa angka prevalensi dari toksoplasmosis pada manusia berkisar antara 2- 63 %, kucing 35 –
73%, anjing 75%, babi 11-36%, kambing 11-61 %, sedangkan sapi/kerbau kurang dari 10%
(Chandra, 2001 ). Menurut Hartono dalam Chandra tahun 2001 bahwa terjadinya keguguran
spontan yang ada di RS. Dr. Ciptomangunkusumo dan RS. Hasan Sadikin, setelah sampel
plasenta diisolasi pada hewan percobaan menunjukkan 81 dari 101 sampel (80,2%) positif
terhadap kista toxoplasma. Sedangkan dari keseluruhan sampel yaitu 178 memperlihatkan
52,25% positif dengan menggunakan metode Elisa.

MORFOLOGI dan DAUR HIDUP


T.gondii adalah suatu spesies dari Coccidia yang mirip dengan Isospora. Dalam sel epitel
usus kecil kucing berlangsung daur aseksual (skizogoni) dan daur seksual (gametogoni,
sporogoni) yang menghasilkan ookista yang dikeluarkan bersama tinja. Ookista menghasilkan 2
sporokista yang masing – masing mengandung 4 sporozoit. Bila ookista ini tertelan oleh mamalia
lain atau burung (hospes perantara), maka pada berbagai jaringan hospes perantara ini dibentuk
kelompok – kelompok trofozoit yang membelah secara aktif dan disebut takizoit (bentuk yang
membelah cepat). Kecepatan takizoit Toxoplasma gondii membelah berkurang secara berangsur
dan terbentuklah kista yang mengandung bradizoit (bentuk yang membelah perlahan), masa ini
dalah masa infeksi klinis menahun yang biasanya merupakan infeksilaten. Pada hospes perantara
tidak dibentuk stadium seksual, tetapi dibentuk stadium istirahat, yaitu kista jaringan (Murat, 2009
; Anonim, 2009).
Bila kucing sebagai hospes definitif makan hospes perantara yang terinfeksi, maka
terbentuk lagi berbagai stadium seksual di dalam sel epitel usus kecilnya. Bil hospes perantara
mengandung kista jaringan Toxoplasma, maka masa prapaten (sampai dikeluarkan ookista)
adalah 3-5 hari, sedangkan bila kucing makan tikus yangmengandung takizoit, masa prapaten
biasanya 5-10 hari. Tetapi bila ookista langsung tertelan oleh kucing, maka msa prapaten adalah
20-24 hari. Kucing lebih mudah terinfeksi oleh kista jaringan daripada ookista. (Murat, 2009 ;
Anonim, 2009)

3
Di berbagai jaringan tubuh kucing juga ditemukan trofozoit dan kista jaringan. Pada
manusia takizoit ditemukan pada infeksi akut dan dapat memasuki tiap sel yang berinti. Bentuk
takizoit menyerupai bulan
sabit dengan satu ujung
yang runcing dan ujung
yang lain agak membulat.
Panjangnya 4-8mikron dan
mempunyai satu inti yang
letaknya kira-kiradi tengah.
Takizoit pada manusia
adalah parasit obligat
intraselular (Murat, 2009 ;
Anonim, 2009).
Takizoit berkembang
biak dalam sel secara
endodiogeni. Bila sel penuh
dengan takizoit, maka sel
menjadi pecah dan takizoit memasuki sel-sel di sekitarnya atau difagositosis oleh sel makrofag.
Kista jaringan dibentuk di dalam sel hospes bila takizoit yang membelah telah membentuk
dinding. Kista jaringan ini dapat ditemukan di dalam hospes seumur hidup terutama di otak, otot
jantung, dan otot lurik. Di otak kista berbentuk lonjong atau bulat, sedangkan di otot kista
mengikuti bentuk sel otot (Murat, 2009 ; Anonim, 2009 ; Gandahusada, 1998).

PATOGENESIS
Toxoplasma gondii merupakan suatu prasit intraselular dan reproduksi terjadi didalam
sel. Kebanyakan kasus toksoplasmosis pada manusia didapat karena mengkonsumsi jaringan
yang mengandung kista yang ada pada daging yang proses pemasakannya kurang sempurna atau
daging mentah. Selain itu kontak langsung dengan tanah atau air yang terkontaminasi oleh feses
kucing yang mengandung ookista yang secara tidak langsung kontak dengan makanan atau
minuman. Penularan bentuk lain adalah melalui plasenta ibu hamil yang menderita
toksoplasmosis ( Dubey, 1999; Anonim, 2001a). Bradizoit yang ada dalam jaringan ataupun

4
tropozoit yang lepas dari ookista akan melakukan penetrasi ke sel epitel usus dan melakukan
multiplikasi. Toxoplasma akan menyebar secara lokal pada limfoglandula mesenterika usus dan
melalui pembuluh limfe dan darah akan menyebar ke seluruh organ. Sebelum organ lain
menjadi rusak, nekrosis akan terjadi lebih dahulu pada usus dan limfoglandula mesenterika,
baru kemudian terjadi focal necrosis terjadi pada organ lain.
Gambaran klinis akan tampak segera setelah beberapa waktu jaringan mengalami
kerusakkan khususnya organ mata, jantung, dan kelenjar adrenal. Kejadian nekrosis pada organ
– organ tersebut diakibatkan oleh adanya multiplikasi intraselular dari takizoit ( Dubey, 1999;
Dubey, 1999 ). Limabelas sampai 85% populasi anak – anak didunia secara kronis terinfeksi
oleh toxoplasma dipengaruhi oleh kondisi geografi ( Fuentes, 2001 ) temperatur ataupun
kelembaban (Anonim, 2001a ). Dengan adanya faktor kelembaban dan temperatur yang sesuai
ookista akan mampu bertahan beberapa bulan sampai lebih dari satu tahun. Lalat, cacing,
kecoak dan serangga lain mungkin dianggap sebagai agen mekanis dalam penyebaran parasit
ini. Faktor lain yang berpengaruh adalah umur, menurut penelitian yang dilakukan oleh Martin
dalam Lawrence tahun 1995, bahwa usia berpengaruh secara serologi pada orang yang
mengkonsumsi daging babi yang proses pemasakannya tidak sempurna dan pada orang yang
selalu menangani daging mentah.
Tingkat mortalitas dan morbiditas dari parasit ini cukup tinggi pada pasien yang
imunocompromise ( AIDS, kanker, transplantasi ) dan pada anak – anak yang tertular melalui
ibunya ( Dubey, 1999 ; Smith dan Rebuck, 2000 ). Kondisi yang muncul pada penderita
imunocompromise tersebut biasanya berupa peradangan selaput otak ataupun adanya abses yang
sifatnya multiganda.

CARA INFEKSI
1. pada toksoplasma kongenital transmisi Toxoplasma kepada janin terjadi in utero melalui
plasenta, bila ibunya mendapat infeksi primer waktu ia hamil.
2. Pada toksoplasmosis akuisitas infeksi dapat terjadi, bila makan daging mentah atau
kurang matang (misalnya sate), kalau daging tersebut mengandung kista jaringan atau
takizoit Toxoplasma. Pada orang yang tidak makan daging pun dapat terjadi infeksi bila
ookista yang dikeluarkan dengan tinja kucing tertelan.

5
3. Infeksi juga dapat terjadi di laboratorium pada orang yang bekerja dengan binatang
percobaan yang diinfeksi dengan T.gondii, melalui jarum suntik dan alat laboratorium
lain yang terkontaminasi dengan T.gondii. wanita hamil tidak dianjurkan untuk bekerja
dengan T.gondii yang hidup. Infeksi dengan T.gondii juga pernah terjadi waktu
mengerjakan autopsi.
4. Infeksi dpat terjadi dengan transplantasi organ dari donor yang menderita toksoplasmosis
laten.
5. Transfusi darah lengkap juga dapat menyebabkan infeksi.
Kucing merupakan inang definitif yaitu sebagai inang pejamu dan ookista yang
dihasilkan selain akan berkembang menjadi bradizoit maka akan diekskresikan melalui feses.
Feses ini kemudian akan mencemari air, tanah dan pakan ternak yang terbuka (Lawrence, 1995 ;
Weigel etal , 1999 ; dubey, 1998), sehingga dapat menular kemanusia. Dilaporkan bahwa
kotoran kucing yang mencemari air, tanah dan pakan babi di peternakan babi di Illinois yang
didalamnya juga banyak ditemukan kucing, menunjukkan bahwa ookista ditemukan di feses dan
bulu kucing ,tanah, air dan pakan babi yang terbuka yang ada dilingkungan peternakan tersebut.
Selain ditemukan adanya ookista tersebut ditemukan juga adanya hasil positif toksoplasmosis
pada sampel darah dari orang – orang yang menangani pemrosesan daging babi ( 92%),
penanganan pakan babi dan kucing 74% dari 174 pekerja ( Weigel et al, 1999 ). Menurut
European multicentre case control study, perbandingan antara penularan melalui kista yang ada
di daging dan ookista dari feses kucing ke manusia 5-10 kali lebih tinggi resikonya pada orang
yang mengkonsumsi daging ( anonim, 2001 ).
Daging merupakan rute penularan yang banyak dilaporkan pada tahun – tahun terakhir
ini. Babi, kambing dan domba merupakan ternak yang sangat penting sebagai sumber penularan
terhadap Toxoplasma gondii . Selain ternak tersebut juga pada sapi, unggas dan hewan buruan
(Figueiredo, 2001). Diperkirakan bahwa 50% orang yang terinfeksi Toxoplasma gondii di
Amerika Serikat karena mengkonsumsi daging atupun daging unggas (Roghmann, 1999),
sehingga mendapat perhatian yang lebih tinggi dibandingkan foodborne patogen lain, karena
penurunan produktifitas dan peningkatan biaya kesehatan (Robert dan Frenkel, 1990) . Menurut
Dubey dalam Figueiredo, 2001 bahwa kambing yang terinfeksi oleh Toxoplasma gondii pada
mucosa vaginal, air liur , sekresi nasal, urine dan air susu yang diekskresi mengandung takizoit.
Penularan terjadi karena menelan kista yang ada pada jaringan otak, daging, jantung ataupun

6
organ lain asal ternak tersebut yang proses pemasakkanya dilakukan kurang sempurna ataupun
proses pengasapan yang kurang. Dari hasil penelitian serologi pada 1000 wanita hamil di eropa
menunjukkan bahwa antara 30 – 63 persen terinfeksi toksoplasma karena mengkonsumsi daging
yang penangannanya kurang sempurna dalam pemasakan ataupun pengasapan (Gilbert, 2000)
dan 17% tertular karena kontak dengan ookista yang ada dalam tanah. Resiko tertular oleh
Toxoplasma juga berasal dari wanita yang mempersiapkan daging mentah untuk dimasak,
minum susu yang tidak dipasteurisasi khususnya susu kambing, telur mentah ataupun orang
yang selalu kontak dengan hewan, makan sayuran ataupun buah yang tidak dicuci.
Seroprevalensi terhadap toxoplasma ditemukan tinggi pada orang – orang Nepal yang
mempunyai kebiasan makan daging mentah dan memelihara kucing didalam rumah. Dalam
penelitian ini dibandingkan antar distrik, dan distrik yang mempunyai kebiasaan mengkonsumsi
daging mentah tersebut yang menunjukkan seroprevalen tinggi dibanding distrik yang tidak
mengkonsumsi ( Rai et al, 1999 , Anonim ,2001a). Menurut Roghmann dkk tahun 1999, Bahwa
orang orang Adventist di Maryland yang tidak biasa makan, daging dan produknya ataupun
ikan dibandingkan dengan kontrol yaitu orang yang selalu mengkonsumsi produk daging
menunjukkan hasil yang signifikan. Menurt penelitian selain kebiasaan mengkonsumsi daging,
faktor umur, ras, kekebalan tubuh juga sangat berperan dalam penularan toksoplasmosis
(Dubey, 1998; Roghmann, 1999; Weigel, 1999). Seroprevalensi kejadian toksoplasmosis
didunia sangat bervariasi yaitu dijepang 12 %, 21-36% di Inggris dan Amerika, sedangkan di
Perancis dan El Salvador sangat tinggi yaitu 84 – 90 % (Smith dan Rebuck, 2000).
Menurut Gilbert tahun 2001, bahwa wanita hamil yang menderita toksoplasmosis 25%
akan menularkan kejaninnya. Penularan toksoplasmosis kongenital terjadi apabila infeksi pada
saat gestasi dan menyebabkan abortus pada trimester pertama kehamilan (Dubey, 1999 ; Smith
dan Rebuck, 2000), selain itu juga dapat menyebabkan terjadinya kelahiran dini, gangguan
pada bayi yang dilahirkan berupa, lahir dengan berat badan yang abnormal, kebutaan,
kehilangan pendengaran, gangguan perkembangan mental ( Frenkel, 1990 ; Weigel, 1999 ),
sedang apabila wanita hamil terinfeksi pada trimester kedua atau ketiga kehamilan maka bayi
yang dilahirkan akan mengalami pembesaran kepala ( hidrochepalus ), atau lesi pada retina mata
yang khas dan otak ( Lawrence, 1995; Dubey, 1999 ; Sciammarella, 2001 ) .

7
MANIFESTASI KLINIS
Setelah invasi yang biasanya terjadi di usus, maka parasit memasuki sel atau
difagositosis. Sebagaian parasit mati setelah difagositosis, sebagaian lain berkembang biak dalam
sel, menyebabkan sel hospes pecah dan menyerang sel-sel lain. Dengan adanya parasit di dalam
makrofag dan limfosit, maka penyebaran secara hematogen dan limfogen ke seluruh badan
mudah terjadi. Parasetemia berlangsung selama beberapa minggu. T.gondii dapat menyerang
semua organ dan jaringan tubuh hospes, kecuali sel darah merah (tidak berinti). (Herdiman,
2007)
Kista jaringan dibentuk bila sudah ada kekebalan dan dapat ditemukan di berbagai alat
dan jaringan, mungkin untuk seumur hidup. Kerusakan yang terjadi pada jaringan tubuh,
tergantung pada : 1). Umur, pada bayi kerusakan lebih berat daripada orang dewasa ; 2).
Virulensi strain Toksoplasma ; 3). Jumlah parasit ; 4). Organ yang diserang. (Herdiman, 2007)
Lesi pada susunan saraf pusat dan mata biasanya lebih berat dan permanen, oleh karena
jaringan ini tidak mempunyai kemampuan berregnerasi. Kelainan pada susunan saraf pusat
berupa nekrosis yang disertai dengan kalsifikasi. Penyumbatan akuaduktus sylvii oleh karena
ependimitis mengakibatkan hidrosefalus pada bayi. (Herdiman, 2007)
Pada infeksi akut di retina ditemukan reaksi peradangan fokal dengan edema dan
infiltrasi leukosit yang dapat menyebabkan kerusakan total dan pada proses penyembuhan
menjadi sikatriks dengan atrofi retina dan koroid, disertai pigmentasi. Di otot jantung dan otot
bergaris dapat ditemukan T.gondii tanpa menimbulkan peradangan. Di alat tubuh lainnya, seperti
limpa dan hati, parasit ini lebih jarang ditemukan. (Herdiman, 2007)
Diperkirakan bahwa lebih dari 3000 orang yang menderita toksoplasmosis kongenital di
Amerika Serikat tiap tahun tidak menunjukkan gejala. Gejala akan muncul dan sifatnya adalah
individual. Gejala serius muncul pada bayi yang dilahirkan abortus dan lahir dini ( 1 : 10 bayi
yang terinfeksi ) ( Anonim, 2001a) dengan ditemukan gejala infeksi mata, pembesaran hati dan
limpa, kuning pada mata dan kulit dan pneumonia ,ensepalopati dan diikuti kematian. Sedangkan
pada bayi yang lahir normal, gejala akan tampak setelah beberapa minggu, bulan atau tahun
setelah lahir. Gejala ini banyak dijumpai setelah usia pubertas misalnya adanya gangguan pada
mata sampai terjadi kebutaan, kegagalan pada sistem syaraf, gangguan pendengaran ( bisu- tuli),
deman, kuning akibat gangguan hati,erupsi kulit, gangguan pernafasan ( Anonim, 2001b ). Pada
bentuk laten biasanya berupa kerusakan psikomotor, konvulsi dan pembesaran kepala

8
(hidrosepalus ). Pada 69% kasus berkaitan dengan korioretinitis dengan peningkatan volume otak
( Chandra, 2001 ). Pada penderita imunocompromise, yaitu penderita AIDS, kanker ataupun
transplantasi organ gejala akan cepat terlihat yaitu adanya gangguan sistem syaraf, encepalitis,
pembesaran limfoglandula, gangguan mata, pendengaran, gangguan pernafasan dan gangguan
jantung dan angka kematian pada penderita diatas cukup tinggi ( Anonim, 2001b; Smith dan
rebuck, 2000; Theobald 2001 ).
Untuk kemudahan dalam penanganan klinis, toksoplasmosis dapat dibagi ke dalam 4
kategori, yaitu : 1). Infeksi pada pasien imunokompeten (didapat/acquired, baru dan kronik) ; 2)
Infeksi pada imunodefisiensi (didapat dan reaktivitas) ; 3) Infeksi mata (ocular) ; 4) Infeksi
Kongenital. (Herdiman, 2007)

Infeksi Akut Pada Pasien Imunokompeten


Pada orang dewasa, hanya 10-20% kasus toksoplasmosis yang menunjukan gejala.
Sisanya asimptomatik dan tidak sampai menimbulkan gejala konstitusional. Tersering adalah
limfadenopati leher, tetapi mungkin juga didapatkan pembesaran getah bening mulut atau
pembesaran satu gugus leher. Kelenjar-kelenjar biasanya terpisah atau tersebar, ukurannya jarang
lebih besar dari 3 cm, tidak nyeri, kekenyalan bervariasi, dan tidak bernanah. (Herdiman, 2007)
Gejala dan tanda-tanda yang mungkin dijumpai adalah demam, malaise, keringat malam,
nyeri otot, sakit tenggorok, eritema makulopapular, hepatomegali dan splenomegali. Gambaran
klinis umum seperti yang disebabkan infeksi virus mungkin juga dijumpai. (Herdiman, 2007)
Korioretinitis dapat terjadi pada infeksi akut yang baru, biasanya unilateral. Berbeda
dengan korioretinitis bilateral pada toksoplasmosis kongenital. Perjalanan penyakit pada pasien
imunokompeten seperti yang diterangkan terdahulu membatasi diri (self limiting). Gejala-gejala
bila ada, menghilang dalam beberapa minggu atau bulan dan jarang di atas 12 bulan. (Herdiman,
2007)
Limfadenopati dapat bertambah atau menyusut atau menetap dalam waktu lebih dari satu
tahun. Karena manifestasi klinis toksoplasmosis tidak khas, diagnosis banding limfadenopati
yang perlu diperhatikan adalah tuberculosis, limfoma, mononucleosis infeksiosa, infeksi virus
sitomegalo, penyakit gigitan kucing (cat bite fever, tularemia), penyakit cakaran kucing (cat
stratch fever), sarkoidosis. (Herdiman, 2007)

9
Toksoplasmosis yang melibatkan banyak organ tubuh dapat menyerupai gambaran
peyakit hepatitis, miokarditis, polimiositis, dengan penyebab lain atau demam berkepanjangan
yang tidak diketahui (F.O.U). limfadenopati kurang banyak diingat sebagai diagnosis banding,
pada toksoplasmosis merupakan 7-10% dari limfedenopati yang klinis jelas. Titer tes serologi
untuk diagnosis toksoplasmosis akut biasanya didapatkan sesudah biopsi kelenjar. (Herdiman,
2007)

Infeksi Akut Toksoplasmosis pada Pasien Imunodefisiensi


Pasien imunodefisiensi mempunyai risiko tinggi untuk mengidap toksoplasmosis yang
berat dan sering fatal akibat infeksi baru maupun reakifitas. Penyakitnya dapat berkembang
dalam berbagai bentuk penyakit susunan saraf pusat seperti ensefalitis, meningoensefalitis, atau
pneumonitis (Herdiman, 2007).
Pada pasien HIV, manifestasi klinis terjadi bila limfosit CD4 <100/ ml. manifestasu
klinis yang tersering pada pasien HIV/AIDS adalah ensefalitis. Ensefalitis terjadi pada sekitar
80% kasus. Pada pasien ET, gejala-gejala yang serig terjadi adalah gangguan mental (75%),
deficit neurologic (70%), sakit kepala (50%), demam (45%), tubuh terasa lemah serta gangguan
nervus kranialis. Gejala lain yang juga sering terdapat yaitu gejala Parkinson, focal dystonia,
rubral tremor, hemikorea-hemibalismus dan gangguan paa batang otak(Herdiman, 2007).
Pneumonitis akibat toksoplasma gondii juga makin meningkat akibat kurangnya
penggunaan obat antiretroviral serta profilaksis pengobatan toksoplasmosis pada penderita
HIV/AIDS. Pneumonitis ini biasanya terjadi pada pasien dengan gejala AIDS yang sudah lanjut
dengan gejala demam yang berkepanjangan dengan batuk dan sesak nafas. Gejala klinis tersebut
terkadang susah dibedakan dengan pneumonia akibat penumonitis carinii dengan angka kematian
sekitar 35% meski sudah diterapi dengan baik (Herdiman, 2007).
Korioretinitis, adalah gejala lain yang dapat timbul. Gejalanya seperti penurunan tajam
penglihatan , rasa nyeri pada mata, melihat benda beterbangan, setra fotofobia. Pada pemeriksaan
funduskopi terdapat daerah nekrosis yang multifokal atau bilateral. Keterlibatan n.optikus terjadi
pada 10% kasus (Herdiman, 2007).
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan pembesaran KGB yang kenyal, tidak nyeri,
berkonfluens, dan paling sering timbul didaerah servikal. Pemeriksaan fisik lain biasanya
menunjukkan hepatosplenomegaly dan timbul rash pada kulit. Pada pemeriksaan funduskopi

10
menunjukkan multipel yellowish white, bercak menyerupai wol dengan batas yang tidak jelas
didaerah kutub posterior. Pada ensefalitis toksoplasma pemeriksaan fisik yang yang mendukung
adalah gangguan status mental, kejang, kelemahan otot, gangguan nervus cranialis, tanda-tanda
gangguan cerebelum, meningismus, serta movement disorder (Herdiman, 2007).

Toksoplasmosis Mata Pada Orang Dewasa


Infeksi toksoplasmosis menyebabkan korioretinitis. Bagian terbesar kasus korioretinitis
ini merupakan akibat infeksi kongenital. Pasien-pasien ini biasanya tidak menunjukkan gejala-
gejala sampai usia lanjut. Korioretinitis pada infeksi baru bersifat khas unilateral, sedang
korioretinitis yang terdiagnosa waktu lahir khasnya bilateral. Gejala-gejala korioretinitis akut
adalah : penglihatan kabur, skotoma, nyeri, fotofobia dan epifora. Gangguan atau kehilangan
sentral terjadi bila terkena makula. Dengan menbaiknya peradangan, visus pun membaik, namun
sering tidak sempurna. Panuveitis dapat menyertai korioretinitis. Papilitis dapat ditemukan
apabila ada kelainan susunan saraf pusat yang jelas. Diagnosis banding adalah tuberkulosis,
sifilis, lepra atau histoplasmosis (Herdiman, 2007).

Infeksi Kongenital
Toksoplasmosis yang didapat dalam kehamilan dapat bersifat asimptomatik atau dapat
memberikan gejala setelah lahir. Risiko toksoplasmosis kongenital bergantung pada saat
didapatnya infeksi akut ibu. Transmisi T.gondii meningkat seiring dengan usia kehamilan (15-
25% dalam trimester 1, 30-54% dalam trimester II, 60-65% dalam trimester III). Sebaliknya,
derajat keparahan penyakit kongenital meningkat jika infeksi terjadi pada awal kehamilan.
Tanda-tanda infeksi saat persalinan ditemukan pada 21-28% dari mereka yang terinfeksi pada
trimester II, dan kurang dari 11% pada trimester III. Ringkasnya 10% mengalami infeksi berat
(Herdiman, 2007).
Manifestasi klinis toksoplasmosis kongenital termasuk strabismus, korioretinitis,
ensefalitis, mikrosefalus, hidrosefalus, retardasi psikomotor, kejang, anemia, ikterus, hipotermia,
trombositopenia, diare dan pneumonitis. Trias karakteristik yang terdiri dari hidrosefalus,
kalsifikasi serebral, dan korioretinitis berakibat retardasi mental, epilepsi dan gangguan
penglihatan. Hal ini merupakan bentuk ekstrim dan paling berat dari penyakit ini (Herdiman,
2007).

11
Korioretinitis pada pasien imunokompeten hampir selalu akibat sekunder dari infeksi
kongenital. Diperkirakan 2/3 individu dengan infeksi kongenital asimptomatik mengalami
korioretinitis dalam hidupnya (biasanya dalam 4 dekade). Lebih dari 30% mengalami relaps
setelah terapi (Herdiman, 2007).

DIAGNOSIS
Untuk melakukan diagnosa terhadap penyakit toksoplasmosis dapat dilakukan beberapa
cara yaitu bisa menggunakan cara serologi ataupun pemeriksaan histopatologi. Dengan hanya
melihat gejala klinik maka diagnosa kurang bisa ditegakkan karena gejala yang tampak tidak
spesifik ( Dubey, 1999 ). Pemeriksaan langsung bisa dilakukan dengan cara melihat adanya
dark spot pada retina, melakukan pemeriksaan darah untuk melihat apakah parasit sudah
menyebar melalui darah dengan melihat perubahan yang terjadi pada gambaran darahnya, serta
bisa menggunakan CT scan, MRI untuk menemukan lesi akibat parasit tersebut. Pemeriksaan
juga bisa dilakukan dengan biopsi dan dari sampel biopsi tersebut bisa dilakukan pengujian
dengan menggunakan PCR ( Theobald, 2001; Fuentes, 2001 ), isolasi pada hewan percobaan
ataupun pembuatan preparat histopatologi ( Dubey, 1999).
Metode diagnosa lain yang sering digunakan adalah dengan menggunakan Indirect
haemaglutination (IHA), Immunoflourescence (IFAT) ataupun dengan Enzym Immunoassay
(Elisa) ( Figueiredo et al, 2001 ).
Diagnosis toksoplasmosis akut dapat dipastikan bila menemukan takizoit dalam biopsi
otak atau sumsum tulang, cairan serebrospinal dan ventrikel.

12
Gambar 2 : Takizoit Toxoplasma gondii dengan pewarnaan giemsa, terlihat
bentuk crescent dengan inti di tengah.

Gambar 3 : kista toksoplasma gondii dari jaringan otak yang diwarnai dengan
hematoxilin dan eosin. Dengan pembesaran 100x.

Tes serologi dapat menunjang diagnosis toksoplasmosis. Tes yang dapat dipakai adalah
tes warna Sabin Fiedlman (Sabin-Feldman dye test) dan tes hemaglutinasi tidak langsung (IHA),
untuk deteksi IgG, tes zat anti flouresen tidak langsung (IFA) dan tes ELISA untuk deteksi IgG
dan IgM. Tes sabin-fieldman didasarkan pada rupturnya T,gondii yang hidup dengan antibodi
spesifik dan komplemen di dalam serum yang diperiksa. Pemeriksaan ini masih merupakan

13
rujukan pemeriksaan serologi. Hasil serologi menjadi positif dalam 2 minggu setelah infeksi dan
menurun setelah 1-2 tahun.

A B

Gambar 4 : A: Formalin-fixed Toxoplasma gondii tachyzoites, diwarnai dengan


immunofluorescence (IFA). Ini adalah reaksi positif dari takizoit + antibody terhadap
Toxoplasma + FITC-labelled antihuman IgG = fluorescence.
B: IFA negatif untuk antibodi T. gondii.

Serologi IgG banyak digunakan untuk infeksi lama. Awalnya Ig M muncul terlebih
dahulu sebelum IgG, kemudian menurun cepat dan merupakan petanda infeksi dini. Pada kasus
limfedenopati toksoplasmosis, 90% diantaranya memiliki IgM positif saat diperiksa dalam 4
bulan setelah onset limfedenopati, 22 % diantaranya tetap positif saat diperiksa lebih dari 12
tahun setelah onset. Pada beberapa kasus, IgM reaktif tidak dapat terdeteksi. Anti-IgE
imunosorbent agglutination assay diduga merupakan pemeriksaan yang lebih akurat untuk
mendetksi toksoplasmosis akut. Namun, pemeriksaan ini masih perlu penelitian lebih lanjut.

14
Pemeriksaan CT scan otak pada pasien dengan Ensefalitis Toksoplasmosis (ET)
mununjukan gambaran menyerupai cincin yang multiple pada 70-80% kasus. Pada pasien
dengan AIDS yang telah terdeteksi dengan IgG Toksoplasma gondii dan gambaran cincin yang
multiple pada CT Scan sekitar 80% merupakan TE. Lesi tersebut terutama berada pada ganglia
basal dan corticomedullary junction (Herdiman, 2007).
Penggunaan Polymerase Chain Reaction (PCR) dalam mendeteksi Toksoplasma gondii
telah digunakan dewasa ini. Dengan teknik ini dapat dibuat diagnosis dini yang cepat dan tepat
untuk toksoplasmosis congenital prenatal dan postnatal dan infeksi toksoplasmosis akut pada
wanita hamil dan penderita imunokompramais. Specimen tubuh yang digunakan adalah cairan
tubuh termasuk cairan serebrospinal, cairan amnion, dan darah. Jose E Vidal mendapatkan
bahwa PCR memiliki sensitivitas yang tinggi yaitu 100% dengan spesifitas 94,4%. Lamoril J et
al menunjukan bahwa PCR memiliki spesifitas yang rendah (16%) bila bahan yang diambil

15
berasal dari darah. PCR juga menjadi negatif apabila sebelum dilakukan PCR pasien telah
diberikan pengobatan (Herdiman, 2007).

PENATALAKSANAAN
Obat-obat yang dipakai sampai saat ini hanya membunuh bentuk takizoit T.gondii dan
tidak membasmi bentuk kistanya, sehingga obat-obat ini dapat memberantas infeksi akut, tetapi
tidak dapat menghilangkan infeksi menahun, yang dapat menjadi aktif kembali (Herdiman,
2007).
Piremetamin dan sulfonamide bekerja secara sinergistik, maka dipakai sebagai kombinasi
selama 3 minggu atau sebulan. Piremetamin menekan hemopoiesis dan dapat menyebabkan
trombositopenia dan leukopenia. Untuk mencegah efek samping ini, dapat ditambahkan asam
folinik atau ragi. Piremetamin bersifat teratogenik, maka obat ini tidak dianjurkan untuk wanita
hamil (Herdiman, 2007).
Piremetamin diberikan dengan dosis 50-75 mg sehari untuk dewasa selama 3 hari dan
kemudian dikurangi menjadi 25 mg sehari (0,5-1 mg/kgBB/hari) selama beberapa minggu pada
penyakit berat. Karena half-lifenya adalah 4-5 hari, piremetamin dapat diberikan 2 kali/hari atau
3-4 kali sekali. Asam folinik diberikan 2-4 mg sehari. Sulfonamide dapat menyebabkan
trombositopenia dan hematuria, diberikan dengan dosis 50-100 mg/KgBB/hari selama beberapa
minggu atau bulan (Herdiman, 2007).
Spiramisin adalah antibiotik makrolid, yang tidak menembus plasenta, tetapi ditemukan
dengan konsentrasi tinggi di plasenta. Spiramisin diberikan dengan dosis 100mg/KgBB/hari
selama 30-45 hari. Obat ini dapat diberikan pada wanita hamil yang mendapat infeksi primer,
sebagai obat profilatik untuk mencegah transmisi T.gondii ke janin dalam kandungannya
(Herdiman, 2007).
Klindamisin efektif untuk pengobatan toksoplasmosis, tetapi dapat menyebabkan kolitis
pseudomembranosa atau kolitis ulserativa, maka tidak dianjurkan untuk pengobatan rutin pada
bayi dan wanita hamil. Kortikosteroid digunakan untuk mengurangi peradangan pada mata,
tetapi tidak dapat diberikan sebagai obat tunggal (Herdiman, 2007).
Obat makrolid yang efektif terhadap T.gondii adalah klaritromisin dan azitromisin yang
diberikan bersama piremetamin pada penderita AIDS dengan ensefalitis toksoplasmik. Obat
yang baru adalah hidroksinaftokuinon (atovaquone) yang bila dikombinasi dengan sulfadiazine

16
atau obat lain yang aktif terhadap T.gondii, dapat membunuh kista kista jaringan pada mencit.
Tetapi hasil penelitian pada manusia masih ditunggu. Toksoplasmosis akuista yang asimtomatik
tidak perlu diberikan pengobatan. Penderita imunokompramais (AIDS, keganasan) yang
terjangkit toksoplasmosis akut harus diberikan pengobatan (Herdiman, 2007).

Infeksi Kehamilan dan Kongenital


Pada toksoplasmosis kehamilan, pengobatan dapat dianjurkan untuk ibu, janin atau bayi
baru lahir. Spiramisin merupakan antibiotik makrolid yang terkonsentrasi di plasenta, sehingga
mengurangi infeksi plasenta sebesar 60%. Obat ini secara terus-menerus melalui barier plasenta
dan digunakan untuk mengurangi transmisi vertikal. Spiramisin 3g/hari dalam dosis terbagi 3
selama 3 minggu diberikan pada wanita hamil yang mengalami infeksi akut sejak diagnosis
ditegakan hingga kelahiran, kecuali terbukti terjadi infeksi pada janin. Pada kasus demikian,
regimen terapi diubah ke sulfadiazine 4 g dan piremetamin 25 mg, serta asam folat 15 mg/hari
hingga persalinan. Risiko mengidap penyakit serius pada kehamilan dini membawa risiko efek
teratogenik antifolat. Semua bayi baru lahir yang terinfeksi harus mendapat pengobatan anti
T.gondii (sulfadiazine 50mg/kg 2 kali/hari dan piremetamin 1 mg/kgBB/hari, serta asam folat 5
mg/kgBB/hari selama sedikitnya 6 bulan). Belum ada pengobatan yang menurunkan angka
kejadian korioretinitis (Herdiman, 2007).
Untuk memastikan terjadinya infeksi janin, diperlukan pemeriksaan USG dan cairan
amnion untuk pemeriksaan PCR T.gondii dan kultur. Pengambilan darah janin dengan
kordosentesis telah sering digunakan untuk mendeteksi antibody janin dan kultur T.gondii
(Herdiman, 2007).
Pengakhiran kehamilan biasanya ditawarkan pada wanita serokonversi dalam 8 minggu
pertama kehamilan dan mereka yang mengalami infeksi dalam 22 minggu pertama jika infeksi
janin terbukti. Pendekatan yang lebih konservatif untuk menganjurkan aborsi adalah hanya jika
pada USG didapat hidrosefalus, meski hanya kasus dalam presentasi kecil mengalami gangguan
neurologic pada saat lahir (Herdiman, 2007).

Infeksi pada pasien Imunokompromais


Pasien AIDS harus diterapi untuk toksoplasmosisnya, karena pada pasien
imunokompramais infeksi dapat menjadi fatal bila tidak diobati. Regimen untuk pasien dengan

17
ensefalitis adalah piremetamin (dosis awal 200 mg, lanjutan 50-75 mg/hari) dan sulfadiazine (4-6
g/hati dosis terbagi 4) selama 4-6 minggu sampai tampak perbaikan radiologik. Leucovorin
dengan piremetamin. Baik piremetamin maupun sulfadiazine melewati sawar darah otak.
Komplikasi obat ini antara lain gangguan hematologic, kristaluria, hematuria dan batu ginjal
radiolusen dan nefrotoksisitas (Herdiman, 2007).
Piremetamin dan sulfadiazin hanya aktif untuk takizoit, sehingga pada pasien
imunokompramais terapi awal harus diberikan selama 4-6 minggu. Mereka juga harus mendapat
terapi supresif seumur hidup dengan piremetamin (25-50 mg/hari) dan sulfadiazine (2-4 g/hari).
jika sulfadiazin tidak dapat ditoleransi, kombinasi piremetamin (75 mg/hari) dan klindamisin
(450 mg 3x/hari) dapat digunakan (Herdiman, 2007).
Dapsone (diaminodiphenysulfone) merupakan alternatif efektif pengganti sulfadiazin
karena memiliki waktu paruh lebih lama dan berkurangnya toksisitas. Spiramisin diberikan untuk
mengurangi transmisi plasenta. Klindamisin diabsorbsi baik oleh saluran cerna dan kadar puncak
dalam serum tercapai 1-2 jam setelah pemberian. Kombinasi piremetamin oral (25-75 mg/hari)
beserta klindamisin intravena (1200-4800 mg/hari) terbukti efektif untuk pasien AIDS dengan
ensefalitis toksoplasmosis. Efek samping klindamisin adalah mual, muntah, netropenia, ruam dan
colitis pseudomembranosa (Herdiman, 2007).
Penelitian menunjukan bahwa makrolid tunggal tidak efektif, namun kombinasi
piremetamin dan klaritromisin tampaknya efektif. Atovaquone (750 mg 3-4 x/hari) merupakan
pilihan bagi mereka yang intoleransi obat lain. Glukokortikoid dapat digunakan untuk terapi
edema intraserebral. Antikonvulsan kadang diperlukan untuk mengatasi kejang, namun harus
diperhatikan interaksi potensial antara sulfadiazine dan fenitoin. Regimen kotrimoksazol atau
dapson berserta pirimetamin dengan leukovorin dapat mencegah perkembangan ensefalitis pada
pasien HIV dengan seropositif T.gondii setelah jumlah limfosit CD4 berkurang hingga mencapai
100/ul (Herdiman, 2007).

PENCEGAHAN
Prinsip pencegahan yang dilakukan agar tidak terkena toksoplasmosis adalah dengan
memutus rantai penularan, sehingga ookista maupun kista tidak masuk ke dalam tubuh manusia.
Dari cara penularan toksoplasmosis ke manusia, dapat terlihat jelas bahwa jalan utama masuk T.

18
gondii ke dalam tubuh manusia adalah melalui mulut, atau dengan kata lain melalui makanan
yang tercemar oleh trofozoit, ookista atau kista. Kista akan masuk ke tubuh manusia, jika makan
daging yang tidak dimasak sempurna (setengah matang), sedangkan ookista akan masuk ke
tubuh manusia melalui makan sayuran, buah, air minum dan lalapan segar yang tercemar ookista
melalui lingkungan, trofozoit bisa masuk setelah tangan kontak dengan daging tercemar
kemudian makan tanpa cuci tangan, bisa juga melalui air susu yang tercemar atau air seni dari
kucing yang kena toksoplasmosis, tropozoit bisa masuk tubuh apabila kecelakaan di
laboratorium. Berangkat dari cara masuknya T. gondii ke tubuh manusia melalui makanan, maka
pencegahan toksoplasmosis dapat dilakukan dengan melalui pola makan, dan kebiasaan hidup
yang dapat menghindari masuknya kista, ookista dan trofozoit ke dalam tubuh. Dengan
memotong siklus hidup T. gondii agar tidak dapat masuk ke dalam tubuh manusia, maka manusia
akan dapat terhindar dari bahaya yang disebabkan oleh infeksi T. Gondii (Herdiman, 2007).
Pola makan dan kebiasaan hidup sehat yang dapat mencegah masuknya T. gondii ke
dalam tubuh manusia antara lain adalah sebagai berikut:
1. Menghindari makan daging setengah matang. Semua masakan atau makanan yang
mengandung daging, pastikan daging telah dimasak dengan baik (T. Gondii bentuk
trofozoit akan mati pada pemanasan 65ºC). Kemungkinan terbesar infeksi T. gondii pada
manusia berasal dari makan daging yang kurang masak, misalnya sate setengah matang
atau jenis masakan yang menggunakan daging tidak dimasak sempurna. Kebiasaan orang
membuat rendang dapat menghindari diri dari kemungkinan terinfeksi toksoplasmosis.
2. Mencuci semua sayuran, buah, dan lalapan dengan bersih. Usahakan pencucian
mengunakan air yang mengalir. Kemungkinan tercemarnya sayuran, buah, dan lalapan
oleh ookista sangat besar, karena makanan tersebut dari ladang yang tidak bisa terhindar
dari pencemaran lingkungan, termasuk adanya ookista.
3. Mencuci tangan sebelum makan, menggunakan air dan sabun.
4. Berkebun sebaiknya memakai sarung tangan. Apabila terpaksa tidak memakai sarung
tangan, sehabis berkebun harus mencuci tangan dengan air dan sabun.
5. Anak-anak sehabis bermain dengan pasir/tanah harus mencuci tangan dengan air dan
sabun.
6. Mencegah kontaminasi makanan terhadap lalat dan kecoa. Usahakan makanan selalu
ditutup.

19
PROGNOSIS
Toksoplasma akut untuk pasien imunokompeten mempunyai prognosis yang baik.
Toksoplasmosis pada bayi dan janin dapat berkembang menjadi retinokoroiditis. Toksoplasmosis
kronik asimptomatik dengan titer antibodi persisten, umumnya mempunyai prognosis yang baik
dan berhubungan erat dengan imunitas seseorang. Toksoplasmosis pada pasien imunodefisiensi
mempunyai prognosis yang buruk (Herdiman, 2007).

20
DAFTAR PUSTAKA

 Anonim. 2009. DPDx Laboratory Identification of Parasites of Public Health Concern.


Parasites and Health : Toxoplasmosis.
 Anonim,2001.Toxoplasmosis and Cat. Newsletter. http://www.HCF%20Newsletter.htm
 Anonim, 2001a. Toxoplasmosis Public health Education Information Sheet. March of
Dimer. Ask NOAH About : Pregnancy Fact Sheet WHO.
http://www.noah.health.org/toxoplas.html
 Anonim, 2001b. Toxoplasmosis in Cat. Cornell Feline Health Center. Cornell Veterinary
Medicine. http://web.vet.cornell.edu/public/FHC/toxo.html
 Anonim, 2001c. Toxoplasma gondii ( Toxoplasmosis ). http://www.toxoplasma.gondii
(toxoplasmosis)
 Chandra G, 2001. Toxoplasma gondii : Aspek Biologi, Epidemiologi,Diagnosis, dan
Penatalaksanaannya. Medika (5) Tahun XXVll
 Dubey JP, Lindsay DS, Speer CA, 1998. Structures of Toxoplasma gondii Tachyzoites,
Bradyzoites, and Sporozoites and Biology and Development of Tissue Cysts. Clin.
Microbiol. Rev. p. 267-299
 Dubey JP, 1999. Toxoplasma gondii. http://www.medimicrochapter84.htm
 Figueiredo JF, Silva DAO Cabral DD, Mineo JR, 2001. Seroprevalence of Toxoplasma
gondii in Goats by the Indirect Haemagglutination, Immunoflourescence and
Immunoenzymatic Test in the Region of Uberlandia, Brazil. Memorias do instituto
Oswaldo Cruz On-line. Vol 96(5).
 Fuentes I, Rubio JM, Ramirez C and Alvar J, 2001. Genotypic Characterization of
Toxoplasma gondii Strains Associated with Human Toxoplasmosis in Spain : direct
Analysis from Clinical Samples. J. Clin. Microbiol. P. 1566-1570
 Gandahusada, 1998. Srisasi. Parasitologi kedokteran. Edisi ke-3. FKUI..jakarta.
 Gilbert RE, 2000. Undercooked Meats is Chief Cause of Parasite Infection in Pregnancy.
BMJ 2000, 312 : 142-147
 Herdiman T Pohan, 2007. Toksoplasmosis Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 3 Edisi
IV. FKUI. Jakarta.

21
 Lopez L, 2000. Toxoplasmosis. http://www.medicine.com
 Lawrence V, 1999. Toxoplasmosis and Raw Meat.
http://www.he.net/virginia/00000035.htm
 Murat, Hokelek. Toksoplasmosis. Department of Clinical Microbiology, Ondokuz Mayıs
University Medical School, Turki. 2009
 Rai SK, Matsumura T, Ono K, Abe A, Hirai K, Rai G, Sumi K, Kubota K, Uga S,
Shrestha HG, 1999 High Toxoplasma Seroprevalence associated with meat Eating
Habits of Locals in Nepal. Asia Pac J Public Health. 11(2) (abstact )
 Roberts T, Frenkel JK, 1990. Estimating Income Losses and Other preventable costs
Caused by Congenital Toxoplasmosis in The United State. J Am Vet Med Assc 196 :
249-256
 Roghmann MC, Faulkner CT, Lefkowitz A, Patton S, Zimmerman J and Morris,JR JG,
1999. Decreased Seroprevalence for Toxoplasma gondii in Sevent Day Adventists in
Maryland. Am. J.Trop.Med. Hyg. 60(5) p. 790-792
 Sciammarella J, 2001. toxoplasma gondii. http://www.emedicine.com
 Smith JE and Rebuck N, 2000. Toxoplasma gondii Strain Variation and Phatogenecity.
In. Microbial Foodborne disease. Cary JW, JE linz and D. Bhatnagar (Eds). Technomic
Co. Inc. USA. P. 405-431
 Theobald D, 2001. What is Toxoplasmosis. http://www.toxoplasmosis.htm
 Weigel RM, Dubey JP, Dyer D and Siegel AM, 1999. Risk Factors of Infection with
Toxoplasma gondii for Residents and Workers on Swine Farms in Illinois. Am. J. Trop.
Med. Hyg. 60(5). p.793-798

22

Anda mungkin juga menyukai