Anda di halaman 1dari 18

MANIFESTASI KLINIS

Walaupun gejala AR dapat timbul berupa serangan poliartritis akut yang


berkembang cepat dalam beberapa hari, pada umumnya gejala penyakit ini
berkembang secara perlahan dalam masa beberapa minggu. Dalam keadaan dini,
AR dapat bermanifestasi sebagai palindromic rheumatism yaitu timbulnya gejala
monoartritis yang hilang timbul yang berlangsung antara 3-5hari dan diselingi
dengan masa remisi sempurna sebelum bermanifestasi sebagai AR yang khas.
Dalam keadaan ini AR juga dapat bermanifestasi sebagai pauciarticular
rheumatism, yaitu gejala poliartritis yang melibatkan 4 persendian atau kurang.
Kedua gambaran klinis seperti ini seringkali menyebabkan kesukaran dalam
menegakkan diagnosis AR dalam masa dini.

Manifestasi Artikular

Manifestasi artikular AR dibagi menjadi 2 kategori: Gejala inflamasi


akibat aktivitas sinovitis yang bersifat reversibel dan gejala akibat kerusakan
struktur persendian yang bersifat ireversibel. Adalah sangat penting untuk
membedakan kedua hal ini karena penatalaksanaan klinis kedua kelainan tersebut
sangat berbeda. Sinovitis merupakan kelainan yang umumnya bersifat reversibel
dan dapat diatasi dengan pengobatan medikamentosa atau pengobatan non
surgical lainnya. Pada pihak lain kerusakan struktur persendian akibat kerusakan
rawan sendi atau erosi tulang periartikular merupakan proses yang tidak dapat
diperbaiki lagi dan memerlukan modifikasi mekanik atau pembedahan
rekonstruktif.

Gejala klinis yang berhubungan dengan aktivitas sinovitis adalah kaku


pagi hari. Kekakuan pada pagi hari merupakan gejala yang selalu dijumpai pada
AR aktif. Berbeda dengan rasa kaku yang dapat dialami oleh pasien osteoartrosis
atau kadang-kadang oleh orang normal, kaku pagi hari pada AR berlangsung lebih
lama, yang pada umumnya lebih dari 1 jam. Lamanya kaku pagi hari pada AR
agaknya berhubungan dengan lamanya imobilisasi pada saat pasien sedang tidur
serta beratnya inflamasi. Gejala kaku pagi hari akan menghilang jika remisi dapat
tercapai. Faktor lain penyebab kaku pagi hari adalah inflamasi akibat sinovitis.
Inflamasi akan menyebabkan terjadinya imobilisasi persendian yang jika
berlangsung lama akan mengurangi pergerakan sendi baik secara aktif maupun
secara pasif. Otot dan tendon yang berdekatan dengan persendian yang mengalami
peradangan cenderung untuk mengalami spasme dan pemendekan. Fenomena ini
terutama jelas terlihat pada otot intrinsik tangan yang berjalan sepanjang
persendian metacarpophalangeal (MCP) dan otot peroneus anterior yang berjalan
sepanjang persendian talonavikularis pada arkus pedis.

Deformitas persendian pada AR dapat terjadi akibat beberapa mekanisme


yang berhubungan dengan terjadinya sinovitis dan pembentukan pannus. Sinovitis
akan menyebabkan kerusakan rawan sendi dan erosi tulang periartikular sehingga
menyebabkan terbentuknya permukaan sendi yang tidak rata. Jika kerusakan
rawan sendi terjadi pada daerah yang luas dan imobilisasi berlangsung lama, akan
terjadi fusi tulang-tulang yang membentuk persendian. Lebih jauh pannus yang
menginvasi jaringan kolagen serta proteoglikan rawan sendi dan tulang dapat
menghancurkan struktur persendian sehingga terjadi ankilosis. Ligamen yang
dalam keadaan normal berfungsi untuk mempertahankan kedudukan persendian
yang stabil dapat pula menjadi lemah akibat sinovitis yang menetap atau
pembentukan pannus yang memiliki kemampuan melarutkan kolagen tendon,
ligament atau rawan sendi. Gangguan stabilitas persendian dapat jelas terlihat
pada subluksasio persendian MCP akibat terjadinya perubahan arah gaya tarik
tendon sepanjang aksis rotasi sehingga menyebabkan terbentuknya deviasi ulnar
yang khas dan AR. Walaupun peran sinovitis dalam menyebabkan deformitas
persendian berlaku bagi semua persendian, terdapat beberapa aspek khusus yang
berhubungan dengan sendi tertentu.

Vertebra Servikalis

Walaupun AR jarang melibatkan segmen vertebralis lainnya, vertebra servikalis


merupakan segmen yang sering terlibat pada AR. Proses inflamasi ini melibatkan
persendian diartrodial yang tidak tampak atau teraba oleh pemeriksaan. Gejala
dini AR pada vertebra servikalis umumnya bermanifestasi sebagai kekakuan pada
seluruh segmen leher disertai berkurangnya lingkup gerak sendi secara
menyeluruh. Tenosivitis ligament transversum C1 yang mempertahankan
kedudukan prosesus odontoid yang menyebabkan pengenduran dan ruptur
ligamen sehingga menimbulkan penekanan pada medulla spinalis. Gangguan
stabilitas sendi akibat peradangan dan kerusakan permukaan sendi apofiseal dan
pengenduran ligament juga dapat menyebabkan terjadinya subluksasio yang
sering dijumpai pada C4-C5 atau C5-C6.

Gelang bahu

Peradangan gelang bahu akan mengurangi lingkup gerak sendi gelang bahu.
Karena dalam aktivitas sehari-hari gerakan bahu tidak memerlukan lingkup gerak
yang luas, umumnya pada keadaan dini pasien tidak merasa terganggu dengan
keterbatasan tersebut. Walaupun demikian, tanpa latihan pencegahan akan mudah
terjadi kekakuan gelang bahu yang berat yang disebut frozen shoulder syndrome.

Siku

Karena letak superficial, sinovitis artikulatio kubiti dapat dengan mudah teraba
oleh pemeriksa. Sinovitis dapat menimbulkan penekanan pada nervus ulnaris
sehingga menimbulkan gejala neuropati tekanan. Gejala ini bermanifestasi sebagai
parestesia jari 4 dan 5 akan kelemahan otot fleksor jari 5.

Tangan

Berlainan dengan persendian distal interphalangeal (DIP) yang relatif jarang


dijumpai, keterlibatan persendian pergelangan tangan, MCP dan PIP hampir selalu
dijumpai pada AR. Gambaran swan neck deformities akibat fleksi kontraktur
MCP, hiperekstensi PIP dan fleksi DIP serta boutonniere akibat fleksi PIP dan
hiperekstensi DIP dapat terjadi akibat kontraktur otot serta tendon fleksor dan
introseus merupakan deformitas patognomonik yang banyak dijumpai di AR.
Selain gejala yang berhubungan dengan sinovitis, pada AR juga dapat dijumpai
nyeri atau disfungsi persendian akibat penekanan nervus medianus yang
terperangkap dalam rongga karpalis yang mengalami sinovitis sehingga
menyebabkan gejala carpal tunnel syndrome. Walaupun jarang, nervus ulnaris
yang berjalan dalam kanal Guyon dapat pula mengalami penekanan dengan
mekanisme yang sama. AR dapat pula menyebabkan terjadinya tenosinovitis
akibat pembentukan nodul rheumatoid sepanjang sarung tendon yang dapat
menghambat gerakan tendon dalam sarungnya. Tenosinovitis pada AR dapat
menyebabkan terjadinya erosi tendon dan mengakibatkan terjadinya ruptur tendon
yang terlibat.

Panggul

Karena sendi panggul terletak jauh di dalam pelvis, kelainan sendi panggul akibat
AR umumnya sulit dideteksi dalam keadaan dini. Pada keadaan dini keterlibatan
sendi panggul mungin hanya dapat terlihat sebagai keterbatasan gerak yang tidak
jelas atau gangguan ringan pada kegiatan tertentu. Walaupun demikian, jika
destruksi rawan sendi telah terjadi, gejala gangguan sendi panggul akan
berkembang lebih cepat dibandingkan gangguan pada persendian lainnya.

Lutut

Penebalan synovial dan efusi lutut umumnya mudah dideteksi pada pemeriksaan.
Herniasi kapsul sendi ke arah posterior dapat menyebabkan terjadinya kista Baker.

Kaki dan Pergelangan Kaki

Keterlibatan persendian MTP, talonavikularis dan pergelangan kaki merupakan


gambaran khas AR. Karena persendian kaki dan pergelangan kaki merupakan
struktur yang menyangga berat badan, keterlibatan ini akan menimbulkan
disfungsi dan rasa nyeri yang lebih berat dibandingkan dengan keterlibatan
ektremitas atas. Peradangan pada sendi talonavikularis akan menyebabkan spasme
otot yang berdekatan sehingga menimbulkan deformitas berupa pronasio dan
eversio kaki yang khas pada AR. Walaupun jarang, nervus tibialis posterior dapat
pula mengalami penekanan akibat sinovitis pada rongga tarsalis (tarsal tunnel)
yang dapat menimbulkan gejala parestesia pada telapak kaki.
Manifestasi Ekstraartikuler

Kulit

Walaupun jarang dijumpai di Indonesia, di negara barat nodul reumatoid


merupakan suatu gejala AR yang patognomonik. Nodul reumatoid umumnya
timbul pada fase aktif dan terbentuk di bawah kulit terutama pada lokasi yang
banyak menerima tekanan seperti olekranon permukaan ekstensor lengan dan
tendon Achilles.

Vaskulitis seringkali bermanifestasi sebagai lesi purpura atau ekimosis


pada kulit dan nekrosis kuku. Jika vaskulitis menyebabkan iskemia pada daerah
yang cukup luas, kelainan ini dapat menyebabkan terbentuknya gangren atau
ulkus terutama pada ekstremitas bawah.

Mata

Kelainan mata yang sering dijumpai pada AR adalah keratokonjungtivitis


sicca yang merupakan manifestasi sindrom sjogren. Pada keadaan dini gejala ini
seringkali tidak dirasakan pasien. Untuk itu pada setiap pasien AR kemungkinan
terdapatnya kelainan mata harus selalu dicari secara aktif agar kerusakan mata
yang berat dapat dicegah. Pada AR umumnya dapat dijumpai beberapa episode
episkleritis yang umumnya sangat ringan dan akan sembuh secara spontan.
Walaupun demikian, pada AR dapat dijumpai gejala skleritis yang secara
histologis menyerupai nodul reumatoid dan dapat menyebabkan terjadinya erosi
sclera sampai pada lapisan koroid serta menimbulkan gejala skleromalasia
perforans yang dapat menyebabkan kebutaan.

Sistem Respiratorik

Peradangan pada sendi krikoaritenoid tidak jarang dijumpai pada AR.


Gejala keterlibatan saluran nafas atas ini dapat berupa nyeri tenggorokan, nyeri
menelan, atau disfonia yang umumnya terasa lebih berat pada pagi hari.
Walaupun jarang menunjukkan gejala klinis yang berat, paru merupakan
organ yang sering terlibat pada AR. Umumnya keterlibatan paru yang ringan
hanya dapat diketahui dari hasil autopsy berupa pneumonitis interstisial. Akan
tetapi pada AR yang lanjut dapat pula dijumpai efusi pleura dan fibrosis paru yang
luas

Sistem Kardiovaskular

Seperti halnya pada sistem respiratorik, pada AR jarang dijumpai gejala


perikarditis berupa nyeri dada atau gangguan faal jantung. Akan tetapi pada
beberapa pasien dapat pula dijumpai gejala perikarditis konstriktif yang berat.
Lesi inflamatif yang menyerupai nodul reumatoid dapat dijumpai pada
miokardium dan katup jantung. Lesi ini dapat menyebabkan disfungsi katup,
fenomen embolisasi, gangguan konduksi, aortitis, dan kardiomiopati.

Sistem Gastrointestinal

Umumnya pada AR tidak pernah dijumpai kelainan traktus gastrointestinalis yang


spesifik selain daripada xerostomia yang berhubungan dengan sindrom sjogren
atau komplikasi gastrointestinal akibat vaskulitis. Kelainan traktus gastrointestinal
yang sering dijumpai pada AR adalah gastritis dan ulkus peptik yang merupakan
komplikasi utama penggunaan obat anti inflamasi non steroid (OAINS) atau obat
pengubah perjalanan penyakit/disease modifying anti rheumatoid drugs
(DMARD) yang merupakan faktor penyebab morbiditas da mortalitas utama pada
AR.

Ginjal

Berbeda dengan SLE, pada AR jarang sekali dijumpai kelainan glomerular, jika
pada pasien AR dijumpai proteinuria, umumnya hal tersebut lebih sering
disebabkan karena efek samping pengobatan seperti garam emas dan d-
penisilamin atau terjadi sekunder akibat amiloidosis. Walaupun kelainan ginjal
interstisial dapat dijumpai pada sindrom sjogren, umumnya kelainan tersebut lebih
banyak berhubungan dengan penggunaan OAINS. Penggunaan OAINS yang tidak
terkontrol dapat sampai menimbulkan nekrosis papilar ginjal.

Sistem Syaraf

Komplikasi neurologis yang sering dijumpai pada AR umumnya tidak


memberikan gambaran yang jelas sehingga sukar untuk membedakan komplikasi
neurologis akibat lesi artikular dan lesi neuropatik. Patogenesis komplikasi
neurologis AR umumnya berhubungan dengan mielopati akibat instabilitas
vertebra, servikal, neuropati jepitan atau neuropati iskemik akibat vaskulitis.

Sistem Hematologis

Anemia akibat penyakit kronik yang ditandai dengan gambaran eritrosit


normositik normokromik (atau hipokromik ringan) yang disertai dengan kadar
besi serum yang rendah serta kapasitas pengikatan besi yang normal atau rendah
merupakan gambaran umum yang sering dijumpai pada AR. Anemia akibat
penyakit kronik ini harus dibedakan dari anemia defisiensi besi yang juga dapat
dijumpai pada AR akibat penggunaan OAINS atau DMARD yang menyebabkan
erosi mukosa lambung.

Pada pasien AR yang berat dengan HLA-DR4 positif sering dijumpai


sindrom felty yang merupakan gabungan dari gejala AR, splenomegali,
leukopenia dan ulkus pada tungkai. Sindrom felty umumnya juga sering disertai
dengan limfadenopati dan trombositopenia. Selain sindrom felty, trombositopenia
juga dapat timbul sebagai komplikasi akibat penekanan sumsum tulang pada
penggunaan obat imunosupresif atau berhubungan dengan proses autoimun pada
penggunaan garam emas, d-penisilamin atau sulfasalazin.

KONSE PENGOBATAN AR

Walaupun hingga kini belum berhasil didapatkan suatu cara pencegahan dan
pengobatan AR yang sempurna, saat ini pengobatan pada pasien AR ditujukan
untuk:
 Menghilangkan gejala inflamasi aktif baik local maupun sistemik

 Mencegah terjadinya destruksi jaringan

 Mencegah terjadinya deformitas dan memelihara fungsi persendian agar


tetap dalam keadaan baik

 Mengembalikan kelainan fungsi organ dan persendian yang terlibat agar


sedapat mungkin menjadi normal kembali

PENATALAKSANAAN

Penggunaan OAINS

Obat anti inflamasi non steroid (OAINS) umumnya diberikan pada pasien
AR sejak masa dini penyakit yang dimaksudkan untuk mengatasi nyeri sendi
akibat inflamasi yang seringkali dijumpai walaupun belum terjadi proliferasi
sinovial yang bermakna. Selain dapat mengatasi inflamasi, OAINS juga
memberikan efek analgesik yang sangat baik.

OAINS terutama bekerja dengan menghambat enzim siklooksigenase


sehingga menekan sintesis prostaglandin. Masih belum jelas apakah hambatan
enzim lipooksigenase juga berperanan dalam hal ini, akan tetapi jelas bahwa
OAINS bekerja dengan cara:

 Memungkinkan stabilisasi membran lisosomal

 Menghambat pembebasan dan aktivitas mediator inflamasi (histamin,


serotonin, enzim lisosomal dan enzim lainnya)

 Menghambat migrasi sel ke tempat peradangan

 Menghambat proliferasi selular

 Menetralisasi radikal oksigen


 Menekan rasa nyeri

Selama ini telah terbukti bahwa OAINS dapat sangat berguna dalam pengobatan
AR. Hal ini disebabkan karena golongan OAINS tidak memiliki khasiat yang
dapat melindungi rawan sendi dan tulang dari proses destruksi akibat AR. Untuk
mengatasi proses destruksi tersebut masih diperlukan obat lain yang termasuk
dalam golongan DMARD.

Efek samping OAINS

Semua OAINS secara potensial umumnya bersifat toksik. Toksisitas


OAINS yang umum dijumpai adalah efek sampingnya pada traktus
gastrointestinalis, terutama jika OAINS digunakan bersama obat-obatan lain,
alkohol, kebiasaan merokok atau dalam keadaan stress. Usia juga merupakan
suatu faktor risiko untuk mendapatkan efek samping gastrointestinal akibat
OAINS. Pada pasien yang sensitif dapat digunakan preparat OAINS yang berupa
suppositoria, prodrugs, enteric coated, slow release, atau non-acidic. Akhir-akhir
ini telah banyak digunakan OAINS yang bersifat selektif pada jalur COX-2
metabolisme asam arakidonat. OAINS yang selektif terhadap jalur COX-2
umumnya kurang berpengaruh buruk pada mukosa lambung dibandingkan dengan
preparat OAINS biasa.

Efek samping lain yang mungkin dijumpai antara lain reaksi


hipersensitivitas, gangguan fungsi hati, dan ginjal serta penekanan sistem
hematopoetik. Karena faktor seperti khasiat antiinflamasi, efek analgesic, beratnya
efek samping atau biaya dari berbagai jenis OAINS saat ini umumnya masih tidak
jauh berbeda, sejak beberapa tahun terakhir ini pilihan OAINS lebih banyak
bergantung pada faktor kenyamanan pasien dan kepatuhan pasien dalam
menggunakan OAINS.

Penggunaan DMARD
Pada dasarnya terdapat dua cara pendekatan pemberian DMARD pada pasien AR.
Cara pertama adalah pemberian DMARD tunggal yang dimulai dari saat yang
dini. Pendekatan ini didasarkan pada pemikiran bahwa destruksi sendi pada AR
terjadi pada masa dini penyakit.

Cara pendekatan lain adalah dengan menggunakan 2 atau lebih DMARD secara
simultan atau secara siklik seperti penggunaan obat imunosupresif pada
pengobatan penyakit keganasan. Kecenderungan menggunakan kombinasi
DMARD timbul sejak dekade silam karena banyak ahli yang beranggapan bahwa
terapi DMARD secara sekuensial, pada jangka panjang tidak berhasil mencegah
terjadinya kerusakan sendi yang progresif.

 Klorokuin

Merupakan DMARD yang paling banyak digunakan di Indonesia. Hal ini


disebabkan karena klorokuin sangat mudah didapat dengan biaya yang
amat terjangkau. Sebagai DMARD, klorokuin memiliki beberapa
keterbatasan. Banyak di antara para ahli berpendapat bahwa khasiat dan
efektivitas klorokuin agaknya lebih rendah dibandingkan DMARD
lainnya. Klorokuin dapat digunakan dengan aman jka dilakukan
pemantauan yang baik selama penggunaannya dalam jangka waktu yang
panjang. Pada penelitian, telah didapatkan bahwa toksisitas klorokuin pada
retina hanya bergantung pada dosis harian saja dan bukan dosis
kumulatifnya. Dosis yang dianjurkan adalah klorokuin fosfat 250mg/hari
atau hidroksiklorokuin 400mg/hari. Pada dosis ini jarang sekali terjadi
komplikasi penurunan ketajaman penglihatan. Efek samping lain yang
mungkin dijumpai pada penggunaan anti malaria adalah dermatitis
makulopopular, nausea, diare, dan anemia hemolitik. Walaupun sangat
jarang dapat pula terjadi diskrasia darah atau neuromiopati pada beberapa
pasien.

 Sulfazalazine
Untuk pengobatan AR sulfasalazine dalam bentuk enteric coated tablet
digunakan mulai dari dosis 1x500 mg/hari, untuk kemudian ditingkatkan
500mg setiap minggu sampai mencapai dosis 4x500mg. Setelah remisi
tercapai dengan dosis 2g/hari, dosis diturunkan kembali sehingga
mencapai 1g/hari untuk digunakan dalam jangka panjang sampai remisi
sempurna terjadi. Jika sulfasalazine tidak menunjukkan khasiat yang
dikehendaki dalam 3 bulan, obat ini dapat dihentikan dan digantikan
DMARD lain atau tetap digunakan dalam bentuk kombinasi dengan
DMARD lainnya. Kurang lebih 20% pasien AR menghentikan pengobatan
karena mengalami nausea, mual, muntah atau dyspepsia. Gangguan
susunan syaraf pusat seperti pusing atau iritabilitas dapat pula dijumpai.
Neutropenia, agranulositosis dan pansitopenia yang reversibel pernah
dilaporkan terjadi pada pasien yang mendapat ini. Ruam kulit terjadi
kurang lebih 1-5%. Penurunan jumlah sel spermatozoa yang reversibel
juga pernah dilaporkan walaupun belum pernah dilaporkan adanya
peningkatan abnormalitas fetus.

 D-penicillamine

Umumnya diperlukan waktu pengobatan kurang lebih satu tahun untuk


dapat mencapai keadaan remisi yang adekuat dan rentang waktu ini
dianggap terlalu lama bagi sebagian besar pasien AR. Digunakan dalam
dosis 1x250 sampai 300 mg/hari kemudian dosis ditingkatkan setiap 2
sampai 4 minggu sebesar 250-300mg/hari untuk mencapai dosis total
4x250 sampai 300 mg/hari.

Efek sampingnya antara lain adalah ruam kulit urtikarial atau morbilformis
akibat reaksi alergi, stomatitis, dan pemfigus. Dapat juga menyebabkan
trombositopenia, leucopenia, dan agranulositosis. Pada ginjal dapat
menyebabkan timbulnya proteinuria ringan yang reversibel sampai pada
suatu sindrom nefrotik. Efek samping lain yang juga dapat timbul adalah
lupus like syndrome, polimiositis, neuritis, miastenia gravis, gangguan
mengecap, nausea, muntah, kolestasis intrahepatik, dan alopesia.

 Garam Emas

Aura Sodium Thiomalate (AST) intramuscular telah dianggap


sebagai suatu gold standard bagi DMARD sejak 20 tahun terakhir. AST
(Tauderon ampul 10,20, dan 50 mg) diberikan secara intramuscular yang
dimulai dengan dosis percobaan pertama sebesar 10mg, disusul dengan
dosis percobaan kedua sebesar 20mg setelah 1 minggu kemudian. Setelah
1 minggu, dosis penuh diberikan sebesar 50mg/minggu selama 20 minggu.
Jika respons pasien belum memuaskan setelah 20 minggu, pengobatan
dapat dilanjutkan denagn pemberian dosis tambahan sebesar 50 mg setiap
2 minggu sampai 3 bulan. Kalau masih diperlukan AST kemudian dapat
diberikan dalam dosis sebesar 50 mg setiap 3 minggu sampai keadaan
remisi yang memuaskan dapat tercapai.

Efek samping antara lain adalah pruritus, stomatitis, proteinuria,


trombositopenia, dan aplasia sumsum tulang.Efek samping AST agaknya
terjadi lebih sering pada pengemban HLA-DR3A. Jika timbul efek
samping yang ringan, dosis AST dapat dikurangi atau dihentikan untuk
sementara. Jika gejala efek samping tersebut menghilang, AST kemudian
dapat diberikan lagi dalam dosis yang lebih rendah.

Ridaura (auranofin tablet 3mg) adalah preparat garam emas oral


dan dianggap sebagai DMARD yang berlainan sifatnya dari AST.
Walaupun obat ini terbukti berkhasiat,lebih mudah digunakan serta tidak
memerlukan pemantauan yang ketat seperti AST, banyak para ahli
berpendapat bahwa khasiat auranofin tidaklah lebih baik dari AST.
Auranofin sangat berguna bagi pasien AR yang menunjukkan efek
samping terhadap AST. Diberikan dalam dosis 2x3mg/hari. Efek samping
proteinuria dan trombositopenia lebih jarang dijumpai disbanding AST.
Pada awal penggunaan auranofin, banyak pasien yang mengalami diare,
yang dapat diatasi dengan menurunkan dosis pemeliharaan yang
digunakan.

 Methotrexate

Adalah suatu sitostatika golongan antagonis asam folat. Obat ini


sangat mudah digunakan dan rentang waktu yang dibutuhkan untuk dapat
mulai bekerja relative lebih pendek (3-4 bulan) jika dibandingkan dengan
DMARD yang lain. Dalam pengobatan penyakit keganasan, MTX bekerja
dengan menghambat sintesis thymidine sehingga menyebabkan hambatan
pada sintesis DNA dan proliferasi selular. Pemberian MTX umumnya
dimulai dalam dosis 7,5mg (5mg untuk orang tua) setiap minggu.
Walaupun dosis efektif MTX sangat bervariasi, sebagian besar pasien
sudah akan merasakan manfaatnya dalam 2-4 bulan setelah pengobatan.
Jika tidak terjadi kemajuan dalam 3-4 bulan maka dosis MTX harus segera
ditingkatkan.

Efek samping dalam dosis rendah umumnya jarang dijumpai akan


tetapi juga dapat timbul berupa kerentanan terhadap infeksi, nausea,
vomitus, diare, stomatitis, intoleransi gastrointestinal, gangguan fungsi
hati, alopesia, aspermia atau leucopenia. Efek samping ini biasanya dapat
diatasi dengan mengurangi dosis atau menghentikan pemberian MTX.
Kelainan hati dapat dicegah dengan tidak menggunakan MTX pada pasien
yang obese, diabetic, peminum alcohol, atau pasien yang sebelumnya telah
memiliki kelainan hati.

Pada pasien yang menunjukkan respon baik terhadap MTX,


pemberian asam folinat (Leucovorin) dapat mengurangi beratnya efek
samping yang terjadi. Diberikan dalam dosis 6 sampai 15mg/m2 luas
permukaan berat badan setiap 6 jam selama 72 jam jika terdapat efek
samping MTX yang dapat membahayakan pasien. MTX sebaiknya hanya
diberikan pada pasien AR yang progresif dan gagal dikontrol dengan
DMARD standar lainnya.
 Cyclosporin-A

Adalah suatu undecapeptida siklik yang memiliki efek sebagai


antibiotika dan imunosupresan yang diisolasi dari jamur
Tolypocladium inflatum.

CS-A memiliki efek nefrotoksik yang umumnya bergantung pada


dosis dan bersifat reversibel. Pada beberapa kasus, dapat menyebabkan
terjadinya peningkatan ureum, kreatinin, dan asam urat darah. Hipertensi
sangat mungkin disebabkan langsung oleh sifat nefrotoksik CS-A yang
menyebabkan terjadinya peningkatan aktivitas renin plasma. Pada AR,
diberikan dalam dosis awal 2,5-3,5 mg/kgBB/hari yang dibagi dalam
2dosis. Setelah 4-8 minggu dosis dapat ditingkatkan 0,5-1,0mg/kgBB/hari
setiap 1-2 bulan sehingga mencapai 5mg/kgBB/hari. Jika dosis maksimal
yang dapat ditolerir tercapai dan pasien telah berada dalam keadaan stabil
sekurang-kurangnya 3 bulan, dosis harus dikurangi setiap1 atau 2 bulan
sebesar 0,5mg/kgBB/hari. Jika tidak dijumpai respons klinis setelah
penggunaan CS-A dalam dosis maksimal yang dapat ditolerir selama 3
bulan, CS-A harus dihentikan. Kontraindikasi pada keadaan terdapatnya
atau riwayat penyakit keganasan serta hipertensi yang tidak terkontrol.

Penggunaan CS-A harus dilakukan secara hati-hati pada:

o Usia di atas 65 tahun

o Hipertensi terkontrol

o Infeksi aktif

o Kondisi premalignant: leukoplakia, myelodisplasia

o Kehamilan dan menyusui


o Penggunaan obat-obatan lain seperti antiepilepsi, ketokonazole,
fluconazole, trimethoprim, erythromiycin, verapamil, diltiazem,
OAINS, dan agen alkilasi seperti siklofosfamide

Sebelum pengobatan dimulai sebaiknya dilakukan anamnesis,


pemeriksaan fisik,m dan pemeriksaan sebagai berikut:

o Pemeriksaan tekanan darah sekurang-kurangnya 3 kali

o Pemeriksaan bilirubin dan enzim hati

o Pemeriksaan kadar kalium, magnesium, dan asam urat darah

o Pemeriksaan protein urin

Gangguan fungsi ginjal dapat dihindari dengan melakukan eksklusi pasien


dengan faktor risiko potensial, membatasi dosis maksimal sapai
5mg/kgBB/hari, dan pemantauan fungsi ginjal yang sering & teliti.

 Leflunomide

Dalam percobaan klinis, diketahui bahwa khasiatnya dapat


disetarakan dengan MTX, sehingga baik sekali untuk digunakan pada
pasien yang gagal diobati dengan MTX atau yang tidak dapat mentolerir
MRX. Mekanisme kerja diduga berhubungan dengan kemampuannya
menekan aktivitas enzim tyrosine kinase dan menghambat biosintesis
pirimidin de novo melalui hambatan pada enzim dihidroorotat
dehidrogenase. Penelitian in vitro juga menunjukkan Lef menghambat
proses mitogen dan sel T yang dirangsang oleh IL-2. Waktu paruh
metabolit obat ini adalah 15 hari. Lef dan metabolit aktifnya berikatan
dengan protein secara ekstensif dan akan mengalami metabolisme lebih
lanjut sebelum dieksresi melalui urine dan ekskresi bilier langsung melalui
feces. Untuk mencapai keadaan steady state obat ini dianjurkan untuk
digunakan dalam dosis awal 100mg/hari selama 3 hari berturut-turut dan
kemudian dilanjutkan dalam dosis 10-20mg/hari. Onset dapat dicapai
dalam waktu 4 sampai 8 minggu. Efek samping adalah peningkatan enzim
transaminase yang dapat diatasi dengan penghentian penggunaan obat.
Harus dilakukan pemantauan rutin darah perifer dan fungsi hati setiap 2
minggu pada bulan pertama dan setiap bulan untuk selanjutnya. Efek
toksik lainnya meliputi diare, nyeri lambung, dan alopesia yang pada
umumnya sangat ringan sehingga tidak memerlukan penghentian
penggunaan obat. Karena obat ini memiliki potensi bersifat teratogenik,
wanita yang ingin hamil terlebih dahulu harus menggunakan cholestiramin
3x8gr/hari selama 11 hari berturut-turut sampai kadar Lef dalam darah
yang diukur pada 2 kali pemeriksaan selang 14 hari menunjukkan kadar
yang kurang dari 0,02mg/L.

 Modulator Inflamasi biologis/inhibitor TNFα

TNFα adalah sitokin proinflamasi yang diproduksi oleh makrofag dan


limfosit. TNF dapat dijumpai dalam jumlah yang besar dalam sendi pasien
AR yang diproduksi secara lokal oleh sel makrofag dan limfosit yang
menginfiltrasi ruang synovial. Efek sampingnya adalah peningkatan
prevalensi infeksi, penyakit keganasan hingga kini belum dapat dipastikan.
Harganya tinggi.

o Etanercept (Eta)

Versi rekombinan dari reseptor TNFα yang larut dan terikat pada
bagian Fc dari IgG1 manusia. Eta merupakan protein yang terdiri
dari urutan asam amino manusia murni sehingga sangat kecil
potensinya untuk membentuk antibodi anti etanercept. Obat ini
bekerja dengan mengikat TNFα dalam sirkulasi secara kompetitif
sehingga TNFα tidak dapat menempati reseptornya pada
permukaan sel secara kompetitif, dan dengan demikian aktivitas
biologis TNFα akan terhambat. Eta sangat baik digunakan sebagai
kombinasi bersama MTX karena dapat mempercepat perbaikan
radang sendi pada AR. Eta memiliki onset yang sangat cepat
dimana penggunaannya dapat menimbulkan perbaikan radang
sendi dalam waktu 1-2 minggu saja. Jika Eta tidak menunjukkan
terjadinya perbaikan dalam waktu 12 minggu, agaknya penggunaan
obat ini yang lebih lama juga tidak banyak berguna lagi. Pengaruh
Eta akan bertahan selama kurang lebih 4 minggu setelah
dihentikan.

Eta memiliki masa paruh panjang (70jam) dan terdapat dalam


bentuk larutan obat suntik dalam vial 25 mg dan diberikan sebagai
suntikan subkutan 1 vial dalam interval dua kali seminggu. Efek
samping yang lazim dijumpai adalah reaksi kulit pada situs
suntikan , peningkatan frekuensi infeksi saluran napas atas ringan.
Penggunaan Eta dan MTX tidak menunjukkan terdapatnya
peningkatan efek toksik.

o Infliximab (IFX)

Merupakan antibodi monoclonal yang mengikat TNFα dengan


afinitas tinggi. IFX bekerja dengan mengikat TNFα dalam sirkulasi dan
mencegah terjadinya interaksi antara TNFα dengan reseptornya pada sel
inflamasi dan akhirnya dapat membersihkan TNFα dari sirkulasi. Seperti
Etanercet, IFX juga menghambat aktivitas TNFα. IFX umumnya
digunakan bersama MTX untuk mengatasi gejala AR dan menghambat
progresi kerusakan structural pada pasien AR aktif yang tidak
menunjukkan respons yang adekuat pada pengobatan tunggal dengan
MTX. Sebagai dosis pertama IFX digunakan dalam larutan infuse dalam
dosis 3mg/kgBB yang diberikan selama 2 jam, dan kemudian diulangi
kembali pada minggu ke 2 dan ke 6 dan selanjutnya setiap 8 minggu.
Reaksi umum penggunaan antibodi monoclonal yang dikenal sebagai
cytokine release syndrome seperti demam, menggigil, dan sakit kepala
dapat dijumpai. Penggunaan IFX dapat pula menyebabkan terbentuknya
anti-dsDNA seperti yang terdapat pada penyakit SLE. Infeksi berat seperti
sepsis dan tuberculosis diseminata pernah dilaporkan. Dengan demikian
penggunaan IFX harus dipertimbangkan dengan baik jika akan digunakan
pada pasien yang menggunakan obat-obatan imunosupresif, pasien infeksi
kronik atau pasien dengan riwayat infeksi berulang.

Bridging therapy

Adalah pemberian glukokortikoid dalam dosis rendah (setara dengan


prednisone 5-7,5 mg/hari) sebagai dosis tunggal pada pagi hari. Walaupun
pemberian glukokortikoid dosis rendah tidak menimbulkan perubahan
yang bermakna kadar dan irama kortisol plasma atau growth hormone,
pemberian glukokortikoid dosis rendah ini akan sangat berguna untuk
mengurangi keluhan pasien sebelum DMARD yang diberikan dapat
bekerja.

Pengobatan AR Eksperimental

Pengobatan eksperimental AR ini antara lain meliputi penggunaan


plasmaferesis, thalidomide, A-interferon, inhibitor IL-1.

Peran dietetik

AR adalah suatu penyakit inflamasi sistemik kronik dan bukan suatu


penyakit metabolic. Walaupun beberapa jenis modifikasi dietetik, antara
lain berupa suplementasi asam lemak omega 3 seperti asam
eikosapentanoat pernah dicoba dalam beberapa penelitian, ternyata
hasilnya sangat bersifat kontroversial. Dengan demikian hingga saat ini
sebagian besar para ahli berpendapat bahwa selain untuk mencapai berat
badan ideal, agaknya modifikasi dietetic saat ini belum jelas kegunaannya
dalam merubah riwayat alamiah penyakit ini.

Anda mungkin juga menyukai