Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. T
Agama : Islam
Umur : 49 tahun
Alamat : Jl. Kompleks IDI Pettarani
Jenis Kelamin : Perempuan
Suku : Bugis
Status : Menikah
Pekerjaan : IRT
Tgl. Masuk : 12 Desember 2017

II. ANAMNESIS
Keluhan Utama : Bibir mencong
Anamnesis Terpimpin :
Pasien datang ke poli syaraf RS Haji mengeluh bibir mencong ke arah kiri.
Bibir mencong dialami 2 hari sebelum masuk rumah sakit yang dialami secara tiba-
tiba dan hanya dirasakan di satu sisi. Pasien merasa kaku pada wajah sebelah
kanannya. Pasien baru pertama kali merasakan keluhan tersebut. Pasien mengeluh
bahwa air merembes keluar ketika ia berkumur kumur pada saat berwudhu di subuh
hari. Pasien juga merasakan mata kirinya sering mengeluarkan air mata dan sulit
dirapatkan. Pada awalnya pasien merasa nyeri pada daerah sekitar belakang
telingannya dan terasa kebas pada wajah sebelah kanannya. Ia juga mengeluh nyeri
kepala yang terasa berdenyut dikedua sisi kepala. Pasien selama ini tidur diruangan
yang berAC dan ruangannya selalu dingin. Pasien tidak mengeluhkan kelumpuhan
pada tungkai atas dan bawah. Riwayat hipertensi (+), riwayat DM (-), riwayat
stroke (-), riwayat trauma (-).

1
 Anamnese sistematis
Demam (-),Sakit kepala (-), Batuk (-), Mual (-), Muntah (-), BAK warna
kuning kesan cukup, BAB warna kuning kesan biasa.

III. PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan Umum
Kesan : Sakit sedang Nadi : 80x/menit, kuat angkat,
Kesadaran : Composmentis reguler
Gizi : Cukup Pernapasan : 20x/menit
Tekanan Darah : 170/100 mmHg Suhu : 37˚C
Anemi :-
TORAKS :
Paru-paru :
a. Inspeksi : Dinding thoraks simetris saat statis atau dinamis, retraksi otot
dinding dada (-)
b. Palpasi : Simetris antara kiri dan kanan
c. Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru
d. Auskultasi : Suara napas vesikuler, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Jantung
a. Inspeksi : Tidak tampak iktus cordis
b. Palpasi : Tidak teraba iktus cordis
c. Perkusi : Batas jantung – paru dalam batas normal
d. Auskultasi : Bunyi jantung 1 dan 2 reguler, mur-mur (-)

ABDOMEN :
a. Inspeksi : Massa (-), Ascites (-)
b. Palpasi : Tidak ada nyeri tekan. Massa abnormal (-). Distensi abdomen (-)
c. Perkusi : Dalam batas normal

2
d. Auskultasi : Peristaltik normal
EKSTREMITAS :
a. Atas : akral hangat, CRT < 2 detik, edema (-/-), sianosis(-/-)
b. Bawah : akral hangat, CRT < 2 detik, edema (-/-),sianosis(-/-)

Status Neurologis : GCS = 15 (E4 M6 V5)


1. Kepala :
Posisi : Di tengah
Penonjolan : massa (-)
Bentuk/ukuran : Normocephal
Auskultasi :-
2. Saraf kranial : Kanan Kiri
N. I (Olfaktorius)
Subyektif : - -
Dengan bahan (kopi bubuk) : Tidak dilakukan pemeriksaan
N. II (Optikus)
Tajam penglihatan : Tidak dilakukan pemeriksaan
Lapang penglihatan : dalam batas normal
Melihat warna : dalam batas normal
Fundus okuli : tidak dilakukan pemeriksaan
N. III (Okulomotorius)
Celah mata : simetris
Posisi bola mata : di tengah di tengah
Pergerakan bola mata : dalam batas normal
Strabismus : - -
Nistagmus : - -
Exophtalmos : - -
Pupil : Besarnya : 2,5 mm 2,5 mm
Bentuknya : Bulat Bulat
Refleks cahaya langsung : + +
Refleks cahaya tidak langsung: + +

3
Melihat ganda : - -
N. IV (Troklearis)
Pergerakan mata : dalam batas normal
(ke bawah-ke dalam)
Sikap bola mata : Tengah Tengah
Melihat ganda : - -
N.V (Trigeminus)
Membuka mulut : dalam batas normal
Mengunyah : dalam batas normal
Menggigit : dalam batas normal
Refleks kornea : +
Sensibilitas muka : dalam batas normal
N. VI (Abdusen)
Pergerakan mata (ke lateral) : dalam batas normal
Sikap bola mata : Tengah Tengah
Melihat ganda : - -
N. VII (Fasialis)
Mengerutkan dahi : - +
Menutup mata : - +
Memperlihatkan gigi : - +
Perasaan lidah (2/3 anterior) : dalam batas normal
N. VIII (Vestibulocochlearis)
Suara berbisik : sulit dinilai
Tes schwabach : tidak dilakukan
Tes rinne : tidak dilakukan
Tes weber : tidak dilakukan
Vertigo : (-)
Nistagmus : (-)
N. IX (Glosofaringeus)

4
Perasaan lidah (1/3 posterior) : dalam batas normal
Sensibilitas faring : dalam batas normal
N. X (Vagus)
Arkus faring : dalam batas normal
Menelan : dalam batas normal
Refleks muntah : dalam batas normal
N. XI (Aksesorius)
Mengangkat bahu : dalam batas normal
Memalingkan muka : dalam batas normal
N.XII (Hipoglossus)
Atrofi lidah : tidak ada
Kekuatan : dalam batas normal
Gerak spontan : dalam batas normal
Posisi diam : dalam batas normal
Posisi dijulurkan : dalam batas normal

3. Leher:
Tanda-tanda perangsangan selaput otak:
 Kaku kuduk : tidak ada
 Kernig’s sign : tidak ada
Kelenjar limfe : Tidak teraba
Arteri karotis :
 Palpasi :Teraba, kuat angkat
 Auskultasi : Bruit (-)
Kelenjar gondok : Tidak teraba

4. Abdomen
Refleks kulit dinding perut : Ada

5
5. Kolumna vertebralis:
Inspeksi : Gibbus (-), Skoliosis (-)
Pergerakan : Normal
Palpasi : Nyeri tekan (-)
Perkusi : Tidak Dilakukan

6. Ekstremitas: Superior Inferior


Kanan Kiri Kanan Kiri
Motorik
Pergerakan : Normal Normal Normal Normal
Kekuatan : 5 5 5 5
Tonus otot : Normal Normal Normal Normal
Bentuk otot : Normal Normal Normal Normal
Otot yang terganggu: -

Refleks Fisiologis
 Biceps : normal/normal
 Triceps : normal/normal
 Radius : N/N
 Ulna : N/N
Klonus
 Lutut : tidak ada
 Kaki : tidak ada

Refleks Patologis
 Hoffman – Trommer : -/-  Gordon : -/-
 Babinsky : -/-  Schaffer : -/-
 Chaddock : -/-  Oppenheim : -/-

6
Sensibilitas Kanan Kiri
Taktil : Normal Normal
Nyeri : Normal Normal
Suhu : Normal Normal
Diskriminan 2 titik : Normal Normal
Lokalis : Normal Normal

7. Gangguan koordinasi :
 Tes jari hidung : normal
 Tes pronasi-supinasi : normal
 Tes tumit : Tidak dilakukan pemeriksaan
 Tes pegang jari : Tidak dilakukan pemeriksaan

8. Gangguan Keseimbangan
 Tes Romberg : Tidak dilakukan pemeriksaan

9. Gait : Tidak dilakukan pemeriksaan


10. Pemeriksaan nyeri : Tidak dilakukan pemeriksaan

11. Pemeriksaan fungsi luhur :


 Memori : dbn
 Fungsi Bahasa : dbn
 Visuospasial : dbn
 Fungsi Eksekutif : dbn
 Fungsi Psikomotor : dbn
 Kalkulasi : dbn
 Gnosis : db

7
IV. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
-

V. PEMERIKSAAN RADIOLOGIK DAN PEMERIKSAAN LAIN-LAIN:


-

VI. RESUME
Seorang pasien wanita berusia 49 tahun datang ke poli syaraf RSKD Haji
Makassar mengeluh bibir mencong ke arah kiri dialami 2 hari sebelum masuk
rumah sakit yang dialami secara tiba-tiba dan hanya dirasakan di satu sisi.
Pasien merasa kaku pada wajah sebelah kanannya. Pasien baru pertama kali
merasakan keluhan tersebut. Pasien mengeluh bahwa air merembes keluar
ketika ia berkumur kumur pada saat berwudhu di subuh hari. Pasien juga
merasakan mata kirinya sering mengeluarkan air mata dan sulit dirapatkan.
Pada awalnya pasien merasa nyeri pada daerah sekitar belakang telingannya
dan terasa kebas pada wajah sebelah kanannya. Ia juga mengeluh nyeri kepala
yang terasa berdenyut dikedua sisi kepala. Pasien selama ini tidur diruangan
yang berAC dan ruangannya selalu dingin. Riwayat hipertensi (+). Dari
pemeriksaan fisis didapatkan tanda vital TD: 170/100 mmHg, Nadi: 80x/menit,
Pernapasaan: 20x/menit, Suhu: 370C, kesadaran Compos Mentis (E4M6V5),
pemeriksaan nervus cranialis didapatkan kelemahan pada n. Facialis dextra
(tidak terdapat kerutan pada dahi sebelah kanan, terdapat lagoftalmus pada mata
kanan, sulcus nasolabialis dextra tidak terlihat ketika pasien tersenyum).

VII. DIAGNOSA
 Diagnosa klinis : Parese facialis dextra tipe perifer
 Topis : N. Cranialis VII perifer dextra
 Etiologi : Bell’s palsy

8
VIII. DIAGNOSA BANDING
Ramsay-Hunt Syndrome

IX. TERAPI
 Medikamentosa :
- Amlodipin 5mg 1-0-0
- Micardis 80mg 0-0-1
- Prednison 5mg 3x4 selama 3 hari (tapering off hingga 14 hari)
- Ranitidin 150mg 2x1
- Acyclovir 400mg 3x1
- Mecobalamin 500mcg 1x1

X. PROGNOSIS
Qua Ad Vitam : Dubia et bonam
Qua Ad Sanationam : Dubia et bonam
Ad Fungsionam : Dubia et bonam

9
XI. DISKUSI
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisis didapatkan penderita dengan
diagnosis Bell’s Palsy. Bell’s palsy adalah kelemahan atau kelumpuhan saraf perifer
wajah (nervus fasialis) secara akut pada sisi sebelah wajah. Kondisi ini
menyebabkan ketidakmampuan penderita menggerakkan separuh wajahnya secara
sadar (volunter) pada sisi yang sakit.

Anamnesis
Seorang pasien wanita berusia 49 tahun datang ke poli syaraf RSKD Haji
Makassar dengan keluhan bibir mencong ke arah kiri dialami 2 hari sebelum masuk
rumah sakit yang dialami secara tiba-tiba dan hanya dirasakan di satu sisi. Insiden
terjadinya Bell’s palsy adalah 20-300 kasus dalam 100.000 penduduk dan
menyumbang 60-70% dari semua kasus unilateral pheripheral facial palsy.
Penyakit ini dapat mengenai semua umur, dengan usia median 40 tahun. Insiden
lebih rendah pada umur dibawah 10 tahun dan meningkat pada usia diatas 70
tahun.1 Data yang dikumpulkan dari 4 buah Rumah sakit di Indonesia menunjukkan
bahwa frekuensi Bell’s palsy sebesar 19,55 % dari seluruh kasus neuropati. Istilah
Bell’s palsy biasanya digunakan untuk kelumpuhan nervus VII jenis perifer yang
timbul secara akut, yang penyebabnya belum diketahui, tanpa adanya kelainan
neurologik lain.2

Pasien mengeluh bahwa air merembes keluar ketika ia berkumur kumur


pada saat berwudhu di subuh hari. Pasien juga merasakan mata kirinya sering
mengeluarkan air mata dan sulit dirapatkan. Hal ini penyebabnya kemungkinan
adalah serabut sekretorik yang beregenerasi yang ditujukan untuk glandula salivaria
telah mengambil jalur yang salah di sepanjang selubung sel Schwann serabut yang
berdegenerasi yang mempersarafi glandula lakrimalis, sehingga beberapa impuls

untuk salivasi justru menginduksi lakrimasi.3 Gejala tersebut juga timbul

dikarenakan konjungtiva bulbi yang tidak dapat penuh ditutupi oleh kelopak mata

yang lumpuh sehingga mudah terdapat iritasi angin, debu dsb.4 Otot-otot wajah

juga diinervasi oleh saraf fasialis. Kerusakan pada saraf fasialis di meatus akustikus

10
internus (karena tumor), di telinga tengah (karena infeksi atau operasi), di kanalis
fasialis (perineuritis,bell’s palsy) atau dikelenjar parotis (karena tumor) akan
menyebabkan distorsi wajah, dengan penurunan kelopak mata bawah dan sudut
mulut pada sisi wajah yang terkena. Nervus fasialis berada di dalam kelenjar liur
parotis setelah meninggalkan foramen stylomastoideus. Saraf memberikan cabang
terminal di batas anterior kelenjar parotis. Cabang-cabang ini menuju otot-otot
mimik di wajah dan regio scalp. Cabang buccal untuk muskulus buccinator. Cabang

cervicalis untuk muskulus platysma dan muskulus depressor anguli oris.5

Pada awalnya pasien merasa nyeri pada daerah sekitar belakang telingannya
dan terasa kebas pada wajah sebelah kanannya. Ia juga mengeluh nyeri kepala yang
terasa berdenyut dikedua sisi kepala. Pasien selama ini tidur diruangan yang berAC
dan ruangannya selalu dingin. Riwayat hipertensi (+). Pada pasien ini penyebab
terjadinya kelumpuhan pada saraf fasialis tidak diketahui (idiopatik). Lima
kemungkinan (hipotesis) penyebab Bell’s Palsy yaitu iskemik vaskular, virus,
bakteri, herediter dan imunologi. Hipotesis virus lebih banyak dibahas sebagai
etiologi penyakit ini. Sebuah penelitian mengidentifikasi genom virus herpes
simpleks (HSV) di ganglion genikulatum seorang pria usia lanjut yang meninggal
enam minggu setelah mengalami Bell’s Palsy. Etiologi Bell’s Palsy terbanyak
diduga adalah karna infeksi virus. Mekanisme pasti yang terjadi akibat infeksi ini
yang menyebabkan penyakit belum diketahui. Inflamasi dan edema diduga muncul
akibat infeksi. Faktor resiko lainnya yaitu adanya infeksi terutama virus (HSV tipe
1), penyakit autoimun, Diabetes melitus, Hipertensi, Kehamilan.6

Pemeriksaan fisis
Dari pemeriksaan fisis didapatkan tanda vital TD: 170/100 mmHg, Nadi:
80x/menit, Pernapasaan: 20x/menit, Suhu: 370C, kesadaran Compos Mentis
(E4M6V5), pemeriksaan nervus cranialis didapatkan kelemahan pada n. Facialis
dextra (tidak terdapat kerutan pada dahi sebelah kanan, terdapat lagoftalmus pada
mata kanan, sulcus nasolabialis kanan tidak terlihat ketika pasien tersenyum). Otot-
otot dahi mendapatkan persarafan supra nuklear dari kedua hemisfer serebri, tetapi

11
otot-otot ekspresi wajah lainnya hanya dipersarafi secara unilateral, yaitu korteks
presentralis kontralateral. Jika jaras supra nuklear desendens terganggu hanya pada
satu sisi, misalnya oleh infark serebri, kelumpuhan wajah yang ditimbulkan tidak
mengganggu otot-otot dahi. Pasien masih dapat menaikkan alisnya dan
memejamkan matanya dengan kuat. Jenis kelumpuhan wajah ini disebut
kelumpuhan nervus fasialis sentral. Namun, pada lesi nuklear atau lesi perifer
semua otot ekspresi wajah pada sisi lesi menjadi lemah.3 Sehingga dapat
disimpulkan bahwa pada pasien ini mengalami kelumpuhan nervus fasialis perifer.
Kelumpuhan fasialis melibatkan semua otot wajah sesisi, dengan test yang
tersebut dibawah ini mudah dibuktikan. Bila dahi dikerutkan, lipatan kulit dahi
hanya tampak pada sisi yang sehat saja. Bila orang sakit disuruh memejamkan
kedua matanya, maka sisi yang tidak sehat kelopak mata tidak dapat menutupi bola
mata dan berputarnya bola mata ke atas. Fenomena tersebut disebut tanda bell. Pada
observasi sudah dapat disaksikan juga bahwa gerakan kelopak mata yang tidah
sehat lebih lambat jika dibandingkan dengan kelopak mata yag sehat. Fenomen
tersebut dikenal dengan lagoftaslmuos. Lipatan nasolabial pada sisi kelumpuhan
mendatar. Dalam mengembungkan pipi terlihat bahwa pada sisi yang lumpuh tidak
mengembung. Dalam menjungurkan bibir, gerakann bibir tersebut menyimpang ke
sisi yang tidak sehat. Bila orang sakit diminta untuk memperlihatkan gigi-geliginya
atau disuruh meringis, sudut mulut sisi yang lumpuh tidak terangkat, sehingga
mulut tampak mencong ke arah yang sehat. Selain kelumpuhan otot wajah sesisi
tidak didapati gangguan lain yang mengiringinya, bila paresisnya benar-benar
bersifat Bell’s palsy.4,6

Pemeriksaan penunjang
Pada pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan penunjang. Tidak ada tes
diagnostik khusus untuk Bell’s palsy, meskipun ada beberapa yang mungkin dapat
mengidentifikasi atau menyingkirkan penyakit lain. Misalnya pemeriksaan glukosa
darah atau kadar HbA1C untuk mendiagnosis penderita diabetes, karena orang
dengan diabetes memiliki resiko 29% lebih tinggi untuk terserang Bell’s palsy

12
dibandingkan orang normal. Sallvary flow test, schimer blotting test, nerve
excitability test, CT scan, MRI, EMG, dll.7

Klasifikasi
Sistem grading ini dikembangkan oleh House and Brackmann dgn skala I sampai
VI.
1. Grade I adalah fungsi fasial normal.
2. Grade II disfungsi ringan. Karakteristiknya adalah sebagai berikut:
a. Kelemahan ringan saat dilakukan inspeksi secara detil.
b. Sinkinesis ringan dapat terjadi.
c. Simetris normal saat istirahat.
d. Gerakan dahi sedikit sampai baik.
e. Menutup mata sempurna dapat dilakukan dengan sedikit usaha.
f. Sedikit asimetri mulut dapat ditemukan.
3. Grade III adalah disfungsi moderat, dengan karekteristik:
a. Asimetri kedua sisi terlihat jelas, kelemahan minimal.
b. Adanya sinkinesis, kontraktur atau spasme hemifasial dapat
ditemukan.
c. Simetris normal saat istirahat.
d. Gerakan dahi sedikit sampai moderat.
e. Menutup mata sempurna dapat dilakukan dengan usaha.
f. Sedikit lemah gerakan mulut dengan usaha maksimal.
4. Grade IV adalah disfungsi moderat sampai berat, dengan tandanya sebagai
berikut:
a. Kelemahan dan asimetri jelas terlihat.
b. Simetris normal saat istirahat.
c. Tidak terdapat gerakan dahi.
d. Mata tidak menutup sempurna.
e. Asimetris mulut dilakukan dengan usaha maksimal.
5. Grade V adalah disfungsi berat. Karakteristiknya adalah sebagai berikut:
a. Hanya sedikit gerakan yang dapat dilakukan.

13
b. Asimetris juga terdapat pada saat istirahat.
c. Tidak terdapat gerakan pada dahi.
d. Mata menutup tidak sempurna.
e. Gerakan mulut hanya sedikit.
6. Grade VI adalah paralisis total. Kondisinya yaitu:
a. Asimetris luas.
b. Tidak ada gerakan otot otot wajah.
Dengan sistem ini, grade I dan II menunjukkan hasil yang baik, grade III
dan IV terdapat disfungsi moderat, dan grade V dan VI menunjukkan hasil yang
buruk. Grade VI disebut dengan paralisis fasialis komplit. Grade yang lain disebut
sebagai inkomplit. Paralisis fasialis inkomplit dinyatakan secara anatomis dan dapat
disebut dengan saraf intak secara fungsional. Grade ini seharusnya dicatat pada
rekam medik pasien saat pertama kali datang memeriksakan diri5

Patofisiologi
Tanda dan gejala atipikal untuk Bell’s palsy harus dievaluasi lebih lanjut.
Pasien dengan onset berbahaya harus menjalani pencitraan dari tulang temporal.
Mereka dengan kelumpuhan bilateral atau mereka yang tidak membaik dalam
pertama dua atau tiga minggu setelah timbulnya gejala harus rujuk ke ahli saraf.(8)
Para ahli menyebutkan bahwa Bell’s Palsy terjadinya di akibatkan dari proses
inflamasi akut pada nervus fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar foramen
stilomastoideus pada nervus fasialis yang menyebabkan peningkatan diameter
nervus fasialis sehingga terjadi kompresi dari saraf tersebut pada saat melalui tulang
temporal. Perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang temporal melalui kanalis
fasialis yang mempunyai bentuk seperti corong yang menyempit pada pintu keluar
sebagai foramen mental. Dengan bentukan kanalis yang unik tersebut, adanya

inflamasi, demyelinisasi atau iskemik dapat menyebabkan gangguan dari konduksi6

Diagnosis
Anamnesa dan pemeriksaan fisik adalah hal yang paling vital pada diagnosa

14
pasien dengan Bell’s palsy. Kebanyakan kasus adalah idiopatik. Penggunaan
imaging diagnostik tidak direkomendasikan pada saat pasien pertama kali datang.
MRI (magnetic resonance imaging) mungkin menunjukkan pembesaran pada saraf
fasialis terutama di daerah ganglion geniculi, tetapi penemuan ini tidak berpengaruh

pada proses terapi.8

Diagnosis Bell’s palsy dibuat berdasarkan gejala klinis termasuk


penampilan wajah terdistorsi dan ketidakmampuan untuk bergerak otot pada sisi
yang terkena wajah dan dengan menyingkirkan kemungkinan penyebab lain dari
kelumpuhan wajah. Tidak ada uji laboratorium yang spesifik untuk
mengkonfirmasi diagnosis dari gangguan tersebut. Umumnya, dokter akan
memeriksa kelemahan otot wajah atas dan bawah. Dalam kebanyakan kasus
kelemahan ini terjadi pada salah satu sisi wajah. Sebuah tes yang disebut
electromyography (EMG) dapat mengkonfirmasi adanya kerusakan saraf dan
menentukan keparahan dan luasnya keterlibatan saraf. Tes darah kadang-kadang
bisa membantu dalam mendiagnosis masalah lainnya seperti diabetes dan infeksi
tertentu. Pencitraan resonansi magnetik (MRI) atau computed tomography (CT)
scan dapat menghilangkan penyebab struktural lainnya dari tekanan pada saraf
wajah.9

Diagnosis banding
Penyakit-penyakit berikut dipertimbangkan sebagai diagnosis banding, yaitu:
1. Stroke vertebrabasilaris (hemiparesis alternans)
2. Acoustic neuroma dan lesi cerebellopontine angle
3. Otitis media akut atau kronik
4. Sindroma Ramsay Hunt (adanya lesi vesicular pada telinga atau bibir)
5. Amiloidosis
6. Aneurisma a. vertebralis, a. basilaris, atau a. Carotis
7. Sindroma autoimun
8. Botulismus

15
9. Karsinomatosis
10. Cholesteatoma telinga tengah
11. Malformasi congenital
12. Schwannoma n. Fasialis
13. Infeksi ganglion genikulatum

14. Penyebab lain, misalnya trauma kepala.10

Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan pada fase akut Bell’s palsy meliputi strategi untuk
mempercepat pemulihan dan mencegah komplikasi kornea. Perawatan mata
termasuk patch mata dan pelumasan, tetes pelumas harus diberikan sering pada
siang hari dan salep mata harus digunakan pada malam hari. Strategi untuk
mempercepat pemulihan termasuk terapi fisik, kortikosteroid dan agen antivirus.1
Prednison. Alasan untuk penggunaan kortikosteroid dalam fase akut Bell’s
palsy adalah peradangan dan edema pada nervus facialis yang terlibat dalam
menyebabkan Bell’s palsy dan kortikosteroid memiliki kerja anti-inflamasi kuat
yang dapat meminimalkan kerusakan saraf dan dengan demikian meningkatkan

perbaikannya.9

Secara acak, doubleblind, percobaan placebo telah memberikan bukti kuat


bahwa pengobatan dengan prednisolon meningkatkan hasil pada pasien dengan
Bell’s palsy dan mempersingkat waktu untuk masa pemulihan. Prednisolon harus
digunakan pada semua pasien dengan lumpuh wajah kurang dari 72 jam yang tidak
memiliki kontraindikasi terhadap terapi steroid. Prednisolon dosis yang diberikan
ialah 60 mg per hari selama 5 hari kemudian diturunkan dengan 10 mg per hari
(untuk total waktu pengobatan 10 hari) dan 50 mg per hari (dalam dua dosis terbagi)
selama 10 hari.1
Alasan untuk penggunaan antivirus adalah bukti bahwa peradangan pada
nervus facialis pada Bell’s palsy mungkin terkait dengan virus herpes simpleks
(HSV). Dalam sebuah studi laten otopsi HSV type1 telah diisolasi dari mayoritas
sampel ganglia geniculate. HSV1 genom terdeteksi pada 79% cairan endoneurial

16
nervus facialis pada pasien dengan Bell’s palsy, tapi tidak di kontrol. Namun,
manfaat dari asiklovir atau valasiklovir, baik sebagai agen tunggal atau dalam
kombinasi dengan prednisolon di palsy Bell belum ditetapkan secara definitif.1
Fisioterapi. Berbagai jenis terapi fisik Bell’s palsy, seperti olahraga,
biofeedback, laser, elektroterapi, pijat dan termoterapi digunakan untuk
mempercepat pemulihan.9

Prognosis
Perjalanan alamiah Bell’s palsy bervariasi dari perbaikankomplit dini
sampai cedera saraf substansial dengan sekuelepermanen. Sekitar 80-90% pasien
dengan Bell’s palsy sembuhtotal dalam 6 bulan, bahkan pada 50-60% kasus
membaik dalam 3 minggu.Sekitar 10% mengalami asimetri muskulusfasialis

persisten, dan 5% mengalami sekuele yang berat, serta 8% kasus dapat rekuren11

17

Anda mungkin juga menyukai