Abstrak
Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan salah satu penyakit infeksi yang memiliki prevalensi cukup
tinggi. Berdasarkan data rekam medis RSUP dr. M. Djamil Padang pada tahun 2013, terdapat pasien
ISK sebanyak 273 orang. Tujuan penelitan ini adalah untuk menganalisis rasionalitas terapi antimikroba
parenteral serta pengelolaannya di bangsal penyakit dalam RSUP dr. M. Djamil Padang. Penelitian
ini merupakan penelitian observasional menggunakan data prospektif pada bulan April sampai Juni
2015 di bangsal penyakit dalam. Kriteria inklusi yaitu pasien ISK dewasa (>18 tahun), dirawat di
bangsal penyakit dalam RSUP dr. M. Djamil, serta mendapatkan terapi antimikroba parenteral.
Hasil analisis penggunaan antimikroba parenteral menunjukkan bahwa antibiotik sefalosporin
generasi III paling banyak digunakan (79,16%) serta dikombinasi dengan quinolon, flukonazol, dan
metronidazol. Hasil analisis rasionalitas memperlihatkan bahwa terapi telah tepat indikasi, tepat
pasien, tepat obat, dan tepat obat dan penggunaannya (94,7%). Pada proses pengelolaan sediaan
antimikroba parenteral ditemukan bahwa penyimpanannya telah tepat, namun proses rekonstitusi belum
memenuhi teknik aseptis serta prosedur yang telah ditetapkan oleh Departemen Kesehatan tahun 2009.
Penggunaan antimikroba parenteral pada pasien ISK di RSUP dr. M. Djamil Padang telah rasional,
namun proses rekonstitusinya belum memenuhi prosedur yang ditetapkan oleh Depkes tahun 2009.
Abstract
Urinary tract infection (UTI) has a high prevalence in dr. M. Djamil Padang hospital in the year of 2013.
Based on the Medical Record Data, there were 273 patients with UTI. The purpose of the study was
to analyse the rationality of parental antimicrobial preparation use and management. This prospective
observasional study used data from April to June 2015 in internal medicine wards. The inclusion criteria
include UTI adult patients (>18 years), were treated at the department of internal medicine ward dr. M.
Djamil hospital, as well as parenteral antimicrobial therapy. Results of the statistical analysis showed
that the use of antimicrobial parenteral used of third generation cephalosporin antibiotik most widely
used was (79.16%) and in combination with quinolones, fluconazole, and metronidazole. Results of the
analysis showed that the therapy, patient, frequency, dosage and precise method of drug administration
was (100%) duration of therapy was (94,7%) appropriate. As for the process management of parenteral
antimicrobial preparations was found that the storage was right, but the reconstitution process has not
complied with the procedures established by the Ministry of Health in 2009. The use of parenteral
antimicrobial in patients with UTIs at dr. M. Djamil Padang hospital has been rational, but the
reconstitution process is not appropriate the procedures established by the Ministry of Health in 2009.
Korespondensi: Putri Ramadheni, M.Farm, Apt., Sekolah Tinggi Farmasi Indonesia Yayasan Perintis, Padang,
Sumatera Barat, Indonesia, email: putriramadheni@gmail.com
Naskah diterima: 8 Agustus 2015, Diterima untuk diterbitkan: 16 Maret 2016, Diterbitkan: 1 September 2016
184
Jurnal Farmasi Klinik Indonesia Volume 5, Nomor 3, September 2016
185
Jurnal Farmasi Klinik Indonesia Volume 5, Nomor 3, September 2016
termasuk dalam kriteria inklusi ini adalah: seluruh pasien yang memenuhi kriteria inklusi
Pasien rawat inap di bangsal penyakit dalam sebanyak 19 orang sehingga seluruhnya
yang menderita ISK, berumur di atas 18 tahun dijadikan sebagai sampel.
dan mendapat terapi antimikroba parenteral. Penelitian ini dilakukan dengan prosedur
Sedangkan yang dimasukkan dalam kriteria mencatat pasien yang menderita penyakit
eksklusi adalah adalah: Pasien rawat inap ISK di atas umur 18 tahun dan pasien yang
penyakit dalam yang tidak menderita ISK, mendapatkan obat antimikroba parenteral di
berumur dibawah 18 tahun, serta tidak bangsal penyakit dalam RSUP dr. M. Djamil.
mendapat terapi antimikroba parenteral. Padang. Selanjutnya, dilakukan follow up/
Populasi dalam penelitian ini adalah monitoring sejak pasien dirawat hingga pasien
seluruh pasien yang menderita ISK yang di pulang, yang sesuai dengan kriteria inklusi
bangsal penyakit dalam RSUP dr. M. Djamil dan melengkapi informasi dari perawat
Padang. Sampel penelitian yang akan diambil tentang cara merekonstitusikan antimikroba
sesuai dengan rumus: parenteral. Terakhir, dilakukan analisis data
N yang meliputi perhitungan persentase pasien
n= berdasarkan usia, jenis kelamin, kondisi
N x d2 + 1
saat keluar rumah sakit, dan penggunaan
Keterangan: antimikroba (rute, lama terapi, kombinasi).
n: Jumlah sampel Selain itu, data yang diperoleh dianalisis
N: Jumlah populasi. kerasionalannya berdasarkan Pedoman dan
D: Presisi Terapi RSUP dr. M. Djamil Padang tahun
2007, Pedoman Pelayanan Kefarmasian
Jumlah sampel minimum yang diperlukan untuk Terapi Antibiotik, Pedoman
adalah 18 orang. Tetapi dalam penelitian ini Pencampuran Obat, Suntik dan Penanganan
Tabel 1 Pasien Penderita ISK di Bangsal Penyakit Dalam RSUP dr. M. Djamil Padang
Kategori Jumlah Persentase (%)
Jenis Kelamin
Laki-laki 6 31,58
Perempuan 13 68,42
Usia
18–25 2 10,52
26–65 13 68,42
>65 4 21.05
Lama terapi
1–4 hari 12 50
5–8 hari 4 16,67
9–12 hari 6 25
>12 hari 2 8,33
Kondisi keluar
Izin pulang 12 63,15
Pulang paksa 2 10,53
Meninggal 5 26,32
Diagnosis
ISK 6 31,58
Pielonefritis 11 57,90
Sistitis 2 10,52
186
Jurnal Farmasi Klinik Indonesia Volume 5, Nomor 3, September 2016
187
Jurnal Farmasi Klinik Indonesia Volume 5, Nomor 3, September 2016
di dalam vial yang dilakukan oleh perawat, tidak hanya memperhatikan jenis pelarut
bervariasi pada setiap individu dan proses dan volume pelarut saja tetapi juga harus
penggunaan sediaan antimikroba oleh memperhatikan proses rekonstitusi untuk
perawat ditunjukkan oleh Tabel 5 dan Tabel 6. injeksi kering yang telah di tetapkan oleh
Proses pengerjaan sediaan parenteral Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
188
Jurnal Farmasi Klinik Indonesia Volume 5, Nomor 3, September 2016
189
Jurnal Farmasi Klinik Indonesia Volume 5, Nomor 3, September 2016
pada waktu yang pendek, sedangkan infus rendah sehingga membutuhkan volume yang
intermitten yaitu injeksi intravena melalui lebih besar daripada yang dapat diberikan
infus dengan waktu pemberian antara 20 melalui injeksi. Tujuan pemberian secara
menit hingga 4 jam. Penggunaan infus lambat adalah untuk menghindari terjadinya
antimikroba ditemukan paling sedikit jika pengendapan obat di dalam darah, flebitis,
dibandingan bentuk sediaan parenteral dan toksisitas sistemik.15
lainnya, karena penggunaan infus hanya Lama terapi merupakan lama seorang
dibatasi untuk obat yang terlalu toksik penderita menjalani pengobatan. Lama
atau mengiritasi pada pemberian injeksi, terapi antimikroba tergantung kepada tingkat
atau obat-obat yang mempunyai kelarutan keparahan dan jenis infeksi. Pada penelitian
190
Jurnal Farmasi Klinik Indonesia Volume 5, Nomor 3, September 2016
ini, persentase lama terapi yang paling banyak hari. Namun, menurut Gilbert durasi terapi
dari semua pasien adalah 1–4 hari. Hal ciprofloxasin pada pasien disfungsi ginjal
ini disebabkan karena secara umum terapi tidak diketahui pasti.19
antimikroba dapat diberikan tiga hari apabila Terdapat tiga pasien yang mendapatkan
gejala-gejala infeksi hilang maka dapat terapi kombinasi. Kombinasi antimikroba
dihentikan. Pemantauan dilakukan setelah biasanya digunakan untuk mencapai
terapi dimulai, yaitu untuk menentukan apakah efektifitas kerja obat. Selain itu kombinasi
penderita sudah mendapat antimikroba yang diberikan untuk mencapai efek sinergistik dan
tepat sehingga dapat ditentukan apakah dosis menghambat timbulnya resistensi terhadap
pengobatan perlu ditingkatkan, diturunkan antimikroba yang digunakan. Kombinasi
atau pengobatan diganti dengan antimikroba yang digunakan menurut indikasi yang tepat
lain dengan spektrum yang lebih luas atau akan memberikan manfaat klinik yang besar.
yang lebih sempit dan spesifik.16 Kombinasi sefalosporin, floroquinolon, dan
Menurut Kemenkes RI (2011), disebutkan metronidazol menghasilkan efek sinergis,
bahwa berdasarkan efikasi klinis untuk yaitu kombinasi antimikroba floroquinolon
eradikasi mikroba atau sesuai protokol terapi, yang memiliki aktivitas yang sangat baik
lama pemberian antimikroba untuk sistitis terhadap bakteri gram negatif dan beraktivitas
adalah tiga hari dan pielonephritis adalah sedang hingga baik terhadap bakteri gram
dua minggu (14 hari). Lamanya pemberian positif dan sefalosporin yang memiliki
antimikroba empiris adalah dalam jangka aktivitas spektrum yang luas terhadap bakteri
waktu 48–72 jam (2–3 hari). Selanjutnya gram negatif tetapi tidak aktif terhadap
harus dilakukan evaluasi berdasarkan data enterococci dan memiliki aktivitas terbatas
mikrobiologis dan kondisi klinis pasien serta Pseudomonas aeruginosa.20
data penunjang lain namun, peneliti tidak Berdasarkan penelitian yang telah
menemukan data kultur pada seluruh pasien dilakukan diketahui bahwa rasionalitas obat
ISK yang menjadi sampel penelitian.17 Tidak yang diberikan kepada 19 pasien ISK sudah
semua antimikroba harus diberikan selama tepat indikasi. Pasien diberikan obat dengan
tiga hari. Terapi amoksisilin dan sefalosporin indikasi yang benar sesuai diagnosis dokter.
memberikan outcome yang lebih jelek bila Terapi parenteral untuk pasien ISK menurut
diberikan tiga hari dibandingkan dengan Dipiro et al., adalah golongan aminoglikosida,
pemberian 7–10 hari.18 Menurut pedoman penisillin, sefalosporin, karbapenem, dan
terapi di RSUP dr. M. Djamil, antimikroba oral floroquinolon.19 Pada penelitian ini umumnya
direkomendasikan untuk ISK uncomplicated pasien mendapatkan terapi sefalosporin.
(tanpa komplikasi) adalah selama 7–10 Namun menurut Gilbert antibiotik yang
hari pada perempuan dan 10–14 hari pada direkomendasikan untuk terapi empiris pada
laki‑laki. Antimikroba parenteral untuk ISK ISK adalah fluoroquinolon (ciprofloksasin
komplikasi dengan lama pemberian tidak dan levofloksasin) karena dapat mencapai
kurang dari 14 hari. Lama pemberian obat kadar yang diharapkan baik di serum ataupun
antimikroba di bangsal penyakit dalam tidak di urin. Namun, meningkatnya resistensi
dapat dievaluasi karena setelah pasien pulang, antibiotik ciprofloksasin hingga 50% mulai
penggunaan antimikroba oral sulit dipantau. menimbulkan permasalahan.11,18,20,21 Food
Terdapat satu pasien yang mendapatkan and Drug Administration (FDA) tidak
antimikroba levofloxacin dengan lama menganjurkan terapi antibiotik sefalosporin
pemberian 18 hari dengan standar untuk untuk terapi ISK karena, selain tidak ada
infeksi saluran kemih diberikan selama 7–10 keuntungan yang utama, harganya mahal,
191
Jurnal Farmasi Klinik Indonesia Volume 5, Nomor 3, September 2016
kurang aktif untuk kuman enterococci, serta sehingga adanya keterbatasan peneliti dalam
kosentrasinya dalam urin cenderung rendah pemilihan terapi di RSUP dr. M. Djamil yang
kecuali sefazolin dan seftriakson yang memiliki tidak dapat dijelaskan dengan baik.19
kosentrasi yang cukup tinggi di urin.3,19,20 Terdapat beberapa obat antimikroba
Penggunaan antibiotik amoksisilin dan parenteral dalam bentuk sediaan injeksi
ampisilin secara teori dapat menjadi pilihan kering sehingga harus dilarutkan terlebih
pada kasus ISK. Namun, menurut Schaeffer, dahulu dengan pelarut. Pelarut yang
antibiotik ampisilin dan amoksisilin memiliki digunakan adalah steril water for injection
resistensi yang tinggi terhadap bakteri E. Coli (SWFI). Di ruangan ini semua antimikroba
(81,82%).22 Antibiotik golongan sefalosporin parenteral dilarutkan dengan menggunakan
generasi kedua efektif terutama terhadap SWFI dengan volume 25 mL dalam kemasan
bakteri Gram negatif sedangkan sefalosporin botol plastik dan bervolume 20 mL dalam
generasi ketiga aktif dan mempunyai spektum kemasan botol vial. Selain SWFI dapat
yang luas terhadap Enterobacteriaceae yang digunakan pelarut lain seperti dekstrose 5%,
merupakan bakteri dominan pada kasus dektrose 10%, dekstrose 5% ½ normal salin,
ISK komunitas. Namun, penelitian Endriani dekstrose 5% ¼ normal salin, dekstrose 5%
menunjukkan angka resistensi seftriakson normal Salin, normal salin 0,9%, ringer laktat,
yang cukup tinggi terhadap E. coli (25%), sesuai dengan kompatibilitas pelarut dengan
Klebsiella (88,89%), Pseudomonas (100%), sediaan obatnya. Untuk volume pelarut yang
Enterobacter (100%), dan S. epidermidis digunakan bervariasi seperti 10 mL dan 5 mL
(75%).11,13,23 sesuai dengan aturan masing-masing sediaan
Berdasarkan data yang telah diperoleh obat. Pada penyimpanan obat antimikroba
ditemukan bahwa 94,7% pasien mengalami parenteral, sudah sesuai dengan standar.
penurunan fungsi ginjal. Hal ini tentu Pada ruang bangsal penyakit dalam,
membutuhkan perhatian khusus baik dari pemberian antimikroba parenteral dilakukan
segi pemilihan antibiotik, dosis, dan regimen melalui dua cara yaitu bolus lambat dan infus
terapi. Fluoquinolon merupakan terapi empiris intermitten. Seftriakson 1 g/vial, sefotaksim
terpilih pada ISK, namun dikenal juga sebagai 1 g/vial, dan sefoperazon 1 g/vial diberikan
antibiotik yang sifatnya nefrotoksik. Namun ecara bolus lambat. Untuk siprofloksasin 200
menurut beberapa literatur tidak ditemukan mg/100 mL, levofloksasin 500 mg/100 mL,
kontraindikasi penggunaan fluoquinolon flukonazol 200/100 mL dan metronidazol 500
pada pasien dengan disfungsi ginjal. Bahkan mg/100 mL diberikan melalui infus intermitten
penggunaannya pada polikista ginjal tetap sebanyak ±25 tetes/menit yang mengunakan
dapat mencapai kosentrasi efektif pada cairan infus set dengan faktor tetesan 15 tetes/
sistitis. Kebalikannya penisilin, sefalosporin, mL, atau ±32 tetes/menit yang mengunakan
dan aminoglikosida tidak dapat mencapai infus set dengan faktor tetesan 20 tetes/mL
kosentrasi yang cukup pada cairan sistitis. selama ±60 menit. Menurut Schull (2009)
Penggunaannya fluoroquinolon dinyatakan seftriakson 1 g/vial, sefotaksim 1 g/vial, dan
perlu mempertimbangkan penurunan dosis sepoferazon 1 g/vial diberikan bolus lambat
atau modifikasi regimen dosis pada pasien sselama ±3–5 menit, untuk infus intermitten
disfungsi ginjal. Pada penelitian ini ditemukan siprofloksasin 200 mg/100 mLselama ±60
pasien yang didiagnosis gagal ginjal staging menit, levofloksasin 500 mg/100 mL selama
5 yang mendapatkan terapi fluoroquinolon ±60–90 menit, flukonazol 200/100 mL selama
dan pasien lainnya dengan kondisi yang sama ±60 menit, dan metronidazol 500 mg/100 mL
namun mendapatkan terapi sefalosporin,
192
Jurnal Farmasi Klinik Indonesia Volume 5, Nomor 3, September 2016
selama ±60 menit. Cara dan lama pemberian serta ketepatan regimen mencapai 94,7%. Cara
ini sudah sesuai dengan standar. rekonstitusi sediaan obat injeksi belum dapat
Hasil pengamatan mengenai cara dilakukan secara benar dan aseptis karena
melarutkan obat serbuk injeksi di dalam sarana untuk tindakan aseptis belum memadai.
vial yang dilakukan oleh perawat bervariasi
pada setiap individu, seperti menggerakkan Ucapan Terima Kasih
ke arah horizontal (mendatar), kearah
vertikal (tegak), memutar mutar vial dalam Tim peneliti mengucapkan terimakasih
genggaman. Menurut Depkes RI (2009), kepada direktur RSUP dr. M. Djamil, kepala
cara melarutkan obat harus dilakukan dengan SMF Penyakit Dalam yang telah mengizinkan
gerakan horizontal (mendatar) perlahan‑lahan kami mengambil data penelitian, sehingga
memutar. Kemudian dijumpai serbuk penelitian ini dapat diselesaikan dengan baik.
obat yang tidak dilarutkan dengan volume
yang sesuai dengan aturannya misalnya Sumber Pendanaan
serbuk obat tersebut seharusnya dilarutkan
dengan volume pelarut 10 mL tetapi hanya Penelitian ini merupakan penelitian dosen
dilarutkan dengan 5 mL pelarut. Hal ini akan pemula yang semua pendanaannya bersumber
mempengaruhi konsentrasi dari obat, yang dari direktorat jenderal pendidikan tinggi.
kemungkinan dapat menyebabkan flebitis
pada kulit. Pada saat melarutkan serbuk Konflik Kepentingan
obat tidak dilarutkan dengan sempurna
sehingga masih ada serbuk obat yang Seluruh penulis menyatakan tidak terdapat
belum larut, sehingga dapat memengaruhi potensi konflik kepentingan dengan
dosis obat yang diberikan.24 Hal ini sejalan penelitian, kepenulisan (authorship), dan
dengan salah satu penelitian yang menilai atau publikasi artikel ini.
pencampuran obat parenteral di beberapa
rumah sakit di Sumatera Barat yang ternyata Daftar Pustaka
juga belum memperhatikan teknis aseptis.24
Berdasarkan pedoman pencampuran 1. Oelschlaeger TA, Fünfstück R. Recurrent
obat suntik dan penanganan obat sitostatika urinary tract infections in women.
(Depkes RI, 2009), pencampuran obat Virulence of pathogens and host reaction
dilakukan di dalam ruang aseptik. Akan tetapi [in German]. Urologe A. 2006; 45(4):412,
sarana tersebut belum ada di bangsal penyakit 414–6, 418–20. doi: 10.1007/s00120-
dalam sehingga dilakukan di ruangan di atas 006-1020-z
meja khusus untuk rekonstitusi. Hasil ini 2. Harrison. Nefrologi dan gangguan asam
hampir sama dengan penelitian Surrahman basa. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
dkk. (2008) yang menunjukkan bahwa EGC; 2013.
penyiapan sediaan intravena pada suatu 3. Nicolle L.E. Short-term therapy for
rumah sakit swasta di Bandung belum urinary tract infection: success and failure.
dilakukan dengan teknik aseptis yang baik.16 Int J Antimicrob Agents. 2008;1:40–5.
doi: 0.1016/j.ijantimicag.2007.07.040
Simpulan 4. Funfstuck R, Ott U, Naber KG. The
interaction of urinary tract infection and
Terapi pada 19 orang pasien ISK telah tepat renal insufficiency. Int J Antimicrob
pemilihan obat, tepat indikasi, tepat pasien, Agents. 2007;1:72–7. doi: 10.1016/j.
193
Jurnal Farmasi Klinik Indonesia Volume 5, Nomor 3, September 2016
194
Jurnal Farmasi Klinik Indonesia Volume 5, Nomor 3, September 2016
195