Anda di halaman 1dari 9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dismenore Pada Remaja Putri


Remaja mengalami perubahan-perubahan baik secara biologis, kognitif,
maupun psikologis. Perubahan biologis yang mendasar pada remaja disebut
pubertas. Pada perempuan, pubertas ditandai dengan terjadinya menstruasi. Pada
saat menstruasi sering muncul keluhan, khususnya pada perempuan usia produktif.
Keluhan ini tidak hanya mengganggu masalah kesehatan reproduksi, tetapi dapat
juga mengganggu produktivitas perempuan sehari-hari. Gangguan menstruasi yang
sering dialami perempuan seperti nyeri perut bagian bawah, menstruasi yang tidak
teratur, nyeri pinggang, dan salah satunya yaitu dismenore (Sarwono, 2011).
Dismenore nyeri kram atau tegang di daerah perut, mulai terjadi pada 24
jam sebelum terjadinya pendarahan menstruasi dan dapat bertahan 24-36 jam
meskipun beratnya hanya berlangsung 24 jam pertama (Hendrik,
2014).Dismenore dapat diartikan sebagai suatu ketidaknyamanan tertentu
selama hari-hari pertama atau kedua menstruasi yang umum terjadi dan
ditandai dengan kram perut, nyeri abdomen, sakit punggung dan pegal pada
kaki (Wong, 2010). Dismenore adalah haid yang nyeri yang terjadi tanpa
tanda-tanda infeksi atau penyakit panggul (Corwin, 2009). Sedangkan menurut
Bobak, et al. (2010), dismenore adalah menstruasi yang menimbulkan nyeri
dan merupakan salah satu masalah ginekologis yang paling umum dialami
wanita dari berbagai tingkat usia.
Astrida (2012) melakukan penelitian tentang gambaran derajat dismenore
dan upaya penanganannya. Hasil penelitian ini menggambarkan siswi
mengalami dismenore derajat nyeri ringan sebanyak 60 orang (46,5%), nyeri
sedang 44 (34,1%) dan nyeri berat 25 (19,4%). Pada penelitian ini terdapat
sebagian kecil siswi mengalami dismenore berat, dismenore berat terjadi
karena adanya peningkatan prostaglandin berlebih sehingga menyebabkan
sangat nyeri dan kemungkinan dapat terjadi karena adanya kelainan pada organ
genitalia dalam rongga pelvis sehingga seseorang yang mengalami dismenore

8
9

nyeri berat sebaiknya melakukan pemeriksaan pada tenaga kesehatan agar


diketahui penyebab dari terjadinya dismenore berat.
Manorek (2015) juga meneliti tentang kejadian dismenore pada remaja
putri, menemukan proporsi kejadian PMS pada remaja putri Berdasarkan
kejadian dismenore yang mengalami dismenore sebanyak 72 responden
(75,8%) dan yang tidak mengalami dismenore sebanyak 23 responden (24,2%).
Menurut Prawirohardjo (2011) ,dismenore dapat diklasifikasikan
menjadi:
1. Dismenore Primer yaitu nyeri haid tanpa ditemukan keadaan patologi pada
panggul. Dismenore primer secara langsung berkaitan dengan terjadinya
ovulasi sebelumnya serta ada hubungan antara kontraksi otot uterus dan
sekresi prostaglandin. Dismenore primer biasanya terjadi dalam 6-12 bulan
pertama setelah menarche segera setelah siklus ovulasi teratur dan pada
umumnya timbul setelah 1-2 tahun dari menarche.
2. Dismenore sekunder yaitu nyeri haid yang berhubungan dengan berbagai
keadaan patologis di organ genitalia, misalnya endometriosis,
adenomiosis, mioma uteri, stenosis serviks, penyakit radang panggul,
perlekatan panggul, atau irritable bowel syndrome. Dismenore sekunder
adalah dismenore yang disebabkan karena adanya masalah patologis di
rongga panggul. Dismenore sekunder terjadi apabila ketidaknyamanan
menyertai endometriosis, infeksi, adhesi akibat peritonitis, atau penyakit
pelvis lainnya. Dismenore sekunder paling sering muncul di usia 20-an
atau 30-an setelah bertahun-tahun menstruasi normal atau siklus tanpa
nyeri.
Tanda dan gejala dari dismenore yaitu nyeri pada perut bagian bawah
menjalar sampai ke pinggang dan paha, rasa mual bahkan sampai muntah, sakit
kepala, perasaan mau pingsan dan cepat marah (Prawirohardjo, 2011). Menurut
Kasdu (2010) gejala-gejala umum dismenore primer adalah nyeriperut (kram),
malaise, fatigue, mual dan muntah, diare, nyeri punggung bawah, sakit kepala
terkadang disertai vertigo, perasaan cemas, gelisah, dan bahkan kolaps.
10

Menurut Potter & Perry (2010) nyeri abdomen dapat mulai beberapa jam
sampai satu hari mendahului keluarnya darah haid. Nyeri biasanya paling kuat
sekitar 12 jam setelah mulai timbulnya keluar darah haid, saat pelepasan
endometrium maksimal. Dismenore juga memiliki ciri khas yaitu nyeri pelvis
atau perut bawah dimulai sejak keluar haid dan berakhir 8-72 jam, nyeri
punggung, nyeri paha di medial atau anterior, sakit kepala, diare, mual atau
muntah (serta konsentrasi buruk (Bobak, et al., 2010).
Ada beberapa faktor resiko yang dapat dihubungkan dengan kejadian
dismenore primer sebagai berikut: usia menarche yang terlalu dini, usia
dibawah 25 tahun, periode menstruasi yang terlalu panjang, banyak darah beku
(stolsel) yang keluar pada saat menstruasi, obesitas, gangguan pada hubungan
sosial, merokok, dan konsumsi alkohol, riwayat keluarga dengan dismenore
serta diet tinggi lemak (Prawirohardjo, 2011).
Penelitian Manorek (2015) menemukan ada hubungan antara status gizi
dengan kejadian dismenore sebesar 0,014. Penelitian ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Sophia dkk (2013) tentang Faktor- faktor yang
berhubungan dengan dismenore pada siswi SMK 10 Medan menunjukkan
terdapat hubungan antara status gizi dengan kejadian dismenore. Penelitian
Utami (2014) menemukan faktor usia menarche, keteraturan siklus
menstruasi, lama menstruasi dan status gizi tidak berhubungan dengan
kejadian dismenorea.
Penanganan dismenore pada umumnya dibagi menjadi 2 yaitu
penanganan secara farmakologis maupun secara non farmakologis
1. Penanganan farmakologis
Menurut Wiknjonosastro (2010), penanganan secara farmakologis yang
dapat digunakan pada dismenore antara lain adalah pemberian analgetik,
terapi hormonal, terapi dengan obat nonsteroid antiprostaglandin
2. Penanganan Non Farmakologis
Menurut Laila (2011) dalam dalam Aryanie (2014), ada beberapa cara
untuk mengatasi nyeri non farmakologis, yaitu : kompres hangat, istirahat,
11

olahraga, minum air putih, pemijatan, teknik relaksasi, akupunktur atau pun
akupresure .
Penelitian yang dilakukan oleh Marlinda, dkk (2013) tentang upaya
penanganan nonfarmakologis pada remaja putri yang mengalami dismenore
didapatkan hasil dari 12 responden tentang cara menangani nyeri menstruasi
diantaranya, minum obat pereda nyeri sebanyak 5 orang (42%), tidur
sebanyak 2 orang (17%), mengoles minyak kayu putih sebanyak 1 orang
(8%), minum air putih sebanyak 1 orang (8%), dan tidak melakukan apa-apa
sebanyak 3 orang (25%). Penelitian Astrida (2013) tentang upaya
penanganan derajat dismenore melalui upaya penanganan non farmakologi
sebagian besar adalah melakukan teknik distraksi sebanyak 65 orang
(50,4%), upaya penanganan farmakologi dengan obat anti nyeri dari warung
dilakukan sebanyak 16 orang (12,4%) dan tidak ada satu pun siswi
menangani dismenore dengan obat anti nyeri dari resep dokter. Penelitian
Sari (2014) menemukan baik terapi non-farmakologis dan terapi
farmakologis memiliki efektivitas yang sama dalam mengurangi nyeri haid.
Sehingga terapi farmakologis kompres hangat dan aromaterapi dapat
menjadi alternatif terapi non-obat untuk mengurangi nyeri haid.

B. Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan
terjadi melalui pancaindra manusia, yakni indera penglihatan,
pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. (Notoadmodjo, 2010).
Pengetahuan muncul ketika seseorang menggunakan indera atau akal
budinya untuk mengenali benda atau kejadian tertentu yang belum pernah
dilihat atau dirasakan sebelumnya (Meliono, Irmayanti, 2013).
Rivai (2013 dalam penelitiannya mengatakan pengetahuan kesehatan
reproduksi sebaiknya dilakukan sejak remaja, karena seseorang akan dapat
mengenali kelainan pada kesehatan reproduksinya sedini mungkin,
terutama tentang masalah disminore. Oleh karena itu, mengetahui secara
12

rinci sistem reproduksi perempuan serta memahami permasalahan


kesehatan yang melingkupinya dan solusi yang tepat untuk penanganannya
akan sangat membantu setiap perempuan untuk mengatasi disminore.
Rahmawati (2016) dalam penelitiannya mengatakan bahwa pengetahuan
tentang dismenorea mahasiwi dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor
internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi: pendidikan,
pekerjaan dan umur, sedangkan faktor eksternal meliuti: faktor lingkungan
dan faktor sosial budaya.

Purnamayanthi (2017) yang meneliti tentang hubungan antara


tingkat pengetahuan tentang menstruasi dengan perilaku penanganan
dismenorrhea. Menemukan hubungan yang signifikan antara tingkat
pengetahuan siswi tentang menstruasi dengan perilaku penanganan
dismenorrhea memiliki keeratan hubungan rendah. Purnamayanthi (2017)
mengatakan alasan pengetahuan memiliki kontribusi penting terhadap
perilaku karena seseorang yang memiliki pengetahuan yang baik akan
memahami cara untuk menghadapi masalah yang dihadapinya. Masalah
yang dialami oleh remaja putri berhubungan dengan repoduksinya adalah
masalah menstruasi dan dismenorrhea yang datang setiap bulan, sehingga
responden yang memiliki pengetahuan yang baik tentang menstruasi maka
dirinya akan memahami bagaimana cara mengatasi keluhan menstruasi
seperti dismenorrhea. Hal ini dibenarkan melalui teori yang dikemukakan
oleh Sudijono, bahwa pengetahuan merupakan domain bagi tindakan
seseorang.
Purnamayanthi (2017) juga mengatakan hubungan yang rendah
dikarenakan perilaku penanganan dismenorrhea tidak hanya dipengaruhi
oleh pengetahuan semata namun banyak faktor pembentuk yang
melatarbelakanginya. Hal ini sesuai dengan teori Green yang dikemukakan
oleh Notoatmodjo, bahwa perilaku kesehatan dipengaruhi oleh beberapa
faktor yaitu: faktor predisposisi, faktor pendukung, dan faktor pendorong.
Faktor predisposisi terdiri dari pengetahuan, sikap, keyakinan, dan nilai.
13

Faktor pendukung terdiri dari ketersediaan fasilitas atau sarana kesehatan,


dan faktor pendorong terdiri dari tenaga kesehatan, tokoh masyarakat,
teman sebaya, dan dukungan ibu. Berdasarkan cara responden dalam
mengatasi dismenorrhea yang kurang mengindikasikan faktor-faktor
tersebut tidak kondusif, seperti pada faktor predisposisi tingkat
pengetahuan yang kurang maksimal tentang cara mengatasi dismenorrhea,
sikap yang rendah, keyakinan yang kurang, dan nilai yang rendah. Pada
faktor pendukung, kurang tersedianya fasilitas dan sarana kesehatan yang
dapat mengatasi keluhan dismenorrhea. Pada faktor pendorong, yaitu
kurangnya tenga kesehatan, tidak optimalnya dukungan tokoh masyarakat,
teman dan dukungan ibu.
Penelitian Purba (2016) tentang hubungan pengetahuan dengan
perilaku penanganan dismenore. Hasil penelitian diperoleh nilai p = 0,000
dengan tingkat kemaknaan α = 0,05 maka p < 0,05. Sehingga hasil
penelitian ini menunjukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan
antara pengetahuan dengan perilaku penanganan dismenore. Penelitian
Paramitha (2014) tentang hubungan tingkat pengetahuan tentang
dismenorea dengan penanganan dismenorea. Hasil penelitian diapatkan
nilai probability (p) = 0,000 menunjukkan ada hubungan tingkat pengetahuan
tentang dismenorea dengan. Semakin baik pengetahuan tentang dismenorea
yang dimiliki siswi, maka perilaku yang ditunjukkan untuk menangani
dismenorea juga semakin baik. Dengan pengetahuan yang baik akan
mempengaruhi sikap siswi untuk menangani dismenorea dengan tepat. karena
pengetahuan seseorang tentang sesuatu hal akan mempengaruhi sikapnya.
Sikap positif maupun negatif tergantung dari pemahaman individu tentang
suatu hal tersebut, sehingga sikap ini selanjutnya akan mendorong individu
melakukan perilaku tertentu pada saat dibutuhkan, tetapi kalau sikapnya
negatif, justru akan menghindari untuk melakukan perilaku tersebut.
14

C. Sikap
Sikap merupakan reaksi yang masih tertutup dari seseorang terhadap
stimulus disebut sikap. Sikap belum merupakan suatu tindakan nyata,
tetapi masih berupa persepsi dan kesiapan seseorang untuk bereaksi
terhadap stimulus yang ada di sekitarnya. Sikap dapat diukur secara
langsung dan tidak langsung. Pengukuran sikap merupakan pendapat yang
diungkapkan oleh responden terhadap objek (Notoatmodjo, 2010).
Menurut Sunaryo (2012) faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
terbentuknya sikap meliputi : Faktor internal seperti kepribadian,
intelegensi, bakat, minat, perasaan serta kebutuhan dan motivasi anak
untuk memelihara kesehatan gigi dan mulut. Faktor eksternal terdiri dari
lingkungan, pendidikan, agama, ekonomi, dan kebudayaan.
Sikap remaja berhubungan dengan tindakan dalam penanganan
dismenorea, hal ini sesuai dengan penelitian Sitorus (2015) yang meneliti
tentang hubungan tingkat pengetahuan dan sikap remaja putri tentang
dismenorea dan tindakan dalam penanganan dismenorea di SMP Swasta
Kualuh Kabupaten Labuhan Batu Utara. Populasi dalam penelitian ini
adalah seluruh remaja putri yang mengalami dismenorea sebanyak 53
orang. Sampel penelitian adalah remaja putri yang mengalami dismenorea
sebanyak 53 orang. Metode pengambilan sampel menggunakan teknik
total sampling. Teknik pengumpulan data dari data primer menggunakan
metode wawancara berupa kuesioner. Hasil penelitian didapatkan tingkat
sikap responden sebagian besar dalam kategori tidak baik sebanyak 34
orang (64,2%). Hasil uji chi-square diperoleh nilai p = 0,045 (p<0,05)
maka dapat disimpulkan ada hubungan yang bermakna antara tingkat sikap
dengan tindakan dalam penanganan dismenorea artinya bahwa sikap
remaja sangat berhubungan dengan tindakan dalam penanganan
dismenorea.
Khotimah (2015) dalam penelitiannya yang berjudul pengetahuan
remaja putri tentang menstruasi dengan sikap menghadapi dismenore kelas
XI di SMA Muhammadiyah 7, Yogyakarta. Jumlah sampel dalam
15

penelitian sebanyak 71 orang dengan teknik total sampling. Hasil penelitan


sikap remaja putri dalam menghadapi dismenore paling banyak dalam
kategori sikap positif yaitu sebanyak 39 orang (54,9%). Terdapat
hubungan yang signifikan antara pengetahuan remaja putri tentang
menstruasi dengan sikap menghadapi dismenore (nilai p<0,05
(p=0,018<0,05). Hasil penelitian yang menunjukkan sikap yang positif
mengindikasikan bahwa faktor pembentukan sikap sudah kondusif
terbentuknya sikap yang mendukung. Hal ini juga berhubungan dengan
pengetahuan responden yang baik tentang menstruasi itu sendiri. Sikap
yang positif terhadap dieminorhea akan berdampak pada siapnya
responden dalam menghadapi dieminorhea sehingga dapat mengurangi
stres pre menstruasi yang dapat mengakibatkan penarikan diri dari
lingkungan.
Purnomo (2014) yang meneliti tentang hubungan pengetahuan dan
sikap remaja putri dengan penanganan keluhan nyeri haid (dysmenorhe) di
SMPN 09 Kelas VIII Kota Pekalongan. Sampel dalam penelitian ini
sejumlah 64 remaja putri. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik
purposive sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 40
(62,5%) siswi memiliki sikap yang baik untuk menangani dysmenorhe.
Sikap terhadap penanganan dysmenorhe tersebut ditunjukkan dari
kesadaran siswi untuk menanggapi atau merespon adanya keluhan nyeri
haid (dysmenorhe) yang dialami. Sikap positif dalam penelitian ini
ditunjukkan responden dengan tidak menyembunyikan rasa sakit dan
melakukan apa yang harus dilakukan, meminum obat, dan memperbanyak
minum air putih. Hasil analisis Chi Square didapatkan P value = 0,000 (p
< 0,05). Artinya ada hubungan signifikan antara sikap remaja putri dengan
penanganan keluhan nyeri haid (dysmenorhe). Hal ini menunjukkan sikap
yang baik dan kurang terbentuk dari komponen pengetahuan dan hal ini
akan mempengaruhi perilaku seseorang. Semakin banyak pengetahuan
yang didapat tentang dysmenorhe maka sikap remaja putri dalam
16

menangani dysmenorhe juga semakin baik. Jadi ada hubungan antara sikap
dengan penanganan keluhan nyeri haid (dysmenorhe).

Anda mungkin juga menyukai