Anda di halaman 1dari 41

REFERAT

ASUHAN KEPERAWATAN PADA TN. S


DENGAN DIAGNOSA MEDIS KARSINOMA LARING
STAGE KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DI RUANG TERATAI
RSUD Dr. SOETOMO SURABAYA

Tanggal, 12 Maret – 17 Maret 2018

Oleh :
KELOMPOK 8
Muhammad Roziqin, S.Kep 131723143023
Yumiati Tuwa Ringu, S.Kep 131723143044
Ezra L.S. Sinaga, S.Kep 131723143050
Akhmad Ismail, S.Kep 131723143081
Tuti Kurniati, S.Kep 131723143092

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2018

1
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan akhir stage Keperawatan Medikal Bedah Program Studi


Pendidikan Profesi Ners angkatan B19 dengan judul “Asuhan Keperawatan Pada
Tn. S dengan Diagnosa Medis Karsinoma Laring di Ruang Teratai RSUD Dr.
Soetomo Surabaya”, telah disetujui untuk presentasikan pada Seminar Kasus
Stage Keperawatan Medikal Bedah pada hari Rabo, 04 April 2018 di RSUD Dr.
Soetomo Surabaya.

Surabaya, 23 Maret 2018

Menyetujui

Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik

Praba Diyan R, S.Kep.Ns., M.Kep Nazirotul Khoiriah, S.Kep., Ns


NIP. 198611092015042002 NIP. 196505031987032013

Mengetahui,
Kepala Ruangan

Nazirotul Khoiriah,S. Kep., Ns


NIP. 196505031987032013

2
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Karsinoma laring adalah keganasan pada laring yang berasal dari sel

epitel laring. Lebih dari 90% penderita karsinoma laring memiliki gambaran

histopatologi karsinoma sel skuamosa dengan varian yang terdiri dari

verrucous carcinoma, spindle carcinoma, basaloid squamous cell carcinoma

dan adenosquamous carcinoma dengan tingkat diferensiasi sel baik, sedang,

dan buruk.

Karsinoma laring merupakan keganasan yang sering terjadi pada usia

pertengahan dan usia tua dengan puncak insiden terjadi pada dekade

keenam sampai dekade kedelapan (Ratiola, 2000). Pada tahun 2009 dan

2011 di Inggris, 25% dari kasus didiagnosis pada usia 75 tahun keatas, dan

74% didiagnosis pada usia 60 tahun keatas.

Insiden tertinggi karsinoma laring ini lebih banyak terjadi pada laki-

laki dibandingkan dengan perempuan yaitu sekitar 5:1 (Lee, 2003). Menurut

Cancer Research UK tahun 2014, ditemukan kasus baru pada tahun 2011

sebanyak 1.932 (82%) pada laki-laki dan 428 (18%) pada perempuan

dengan total kasus 2.360. Jadi, di Inggris menunjukkan bahwa terdapat

enam kasus baru karsinoma laring untuk setiap 100.000 laki-laki dan 1

untuk setiap 100.000 perempuan. Di bagian THT-KL RS Dr Soetomo,

karsinoma laring menduduki urutan kedua setelah karsinoma nasofaring.

1
2

Penyebab karsinoma laring belum sepenuhnya diketahui secara pasti,

namun diperkirakan berkaitan dengan kebiasaan merokok, konsumsi

alkohol berlebihan, paparan radiasi serta infeksi HPV (Human Papiloma

Virus) pada sebagian kecil kasus (Maitra dan Kumar, 2007). Menurut

Ramroth et al (2011), terdapat beberapa etiologi lain terjadinya karsinoma

laring diantaranya karena terpapar bahan atau substansi berbahaya misalnya

asbes dan Polycyclic Aromatic Hydrocarbons. Peningkatan risiko terjadinya

karsinoma laring adalah terdapatnya keluarga yang memiliki riwayat

menderita kanker kepala dan leher.

Gejala klinis karsinoma laring ini bermacam-macam sesuai dengan

sruktur laring yang terkena (Johnson, 2012). Tanda dan gejala klinis yang

dialami penderita karsinoma laring diantaranya suara serak, disfagia,

hemoptisis, adanya massa di leher, nyeri tenggorok, nyeri telinga, gangguan

saluran nafas dan aspirasi (Concus et al, 2008).

Sekitar 60% dari karsinoma laring berasal dari glotis, sementara

sekitar 35% berkembang didaerah supraglotis. Sisanya berasal dari subglotis

atau tumpang tindih lebih dari satu area (transglotis) sehingga sulit untuk

mengatakan berasal dari bagian yang mana. Karsinoma laring yang

terbentuk pada glotis sering menyebabkan suara serak atau perubahan suara

yang dapat ditemukan pada stadium dini. Sedangkan untuk karsinoma laring

yang terbentuk pada supraglotis dan subglotis biasanya tidak menyebabkan

perubahan pada suara, dan karena itu lebih sering ditemukan pada stadium

lanjut saat telah menyebar ke glotis dan kelenjar getah bening (American

Cancer Society, 2015).


3

Terdapat tiga cara penatalaksaaan yang lazim dilakukan, yakni

pembedahan, radiasi, obat sitostatiska. Di ruang perawatan teratai rumah

sakit Dr Soetomo Surabaya kanker laring merupakan kasus penyakit

terbanyak kedua yang ditemukan setelah karsinoma nasofaring.

Berdasarkan uraian diatas, gejala klinis karsinoma laring sering tidak

khas, sebagian besar penderitanya datang pada stadium lanjut dengan

keadaan yang buruk, serta tatalaksana yang tidak terjangkau oleh pasien,

sehingga prognosis pasien menjadi buruk. Dengan mengetahui gambaran

klinis karsinoma laring di rumah sakit Dr Soetomo diharapkan dapat

diberikan asuhan keperawatan yang lebih baik.

1.2 Tujuan Penulisan

1.2.1 Tujuan Umum

Setelah penyusunan laporan ini mahasiswa mampu memberikan

asuhan keperawatan yang aman dan efektif sesuai dengan standar

keperawatan dan etika keperawatan padaklien usia dewasa yang

mengalami masalah kesehatan pada sistem persepsi sensori (THT-KL).


4

1.2.2 Tujuan Khusus

1. Mampu memahami konsep dasar kanker laring

2. Menjelaskan etiologi, patofisologi dan terapi kanker laring

3. Melakukan pengkajian pada pasien dengan kanker laring

4. Merumuskan diagnosa keperawatan berdasarkan pengkajian yang

dilakukan

5. Menentukan rencana keperawatan berdasarkan prioritas masalah dan

diagnosa.

6. Mengimplementasikan rencana keperawatan

7. Mengevaluasi asuhan keperawatan yang diberikan.


BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI LARING

Laring adalah organ khusus yang mempunyai sphincter pelindung

padapintu masuk jalan napas dan berfungsi dalam pembentukan suara. Di

atas, laring terbuka ke dalam laryngopharynx dan di bawah laring berlanjut

ke trakea (Derrickson, 2009)

Kerangka yang menyusun laring berjumlah sembilan kartilago yang

saling dihubungkan oleh ligament, membran dan otot serta disusun oleh

epitel respiratori dan squamosa berlapis. Terdapat tiga kartilago tunggal

yaitu thyroid, cricoid, dan epiglottis serta tiga lainnya merupakan kartilago

berpasangan yaitu arytenoid, corniculata, dan kueniformis. Kartilago

thyroidea merupakan kartilago terbesar di antara enam kartilago lainnya,

terdiri dari dua lamina yang bersatu di bagian depan dan mengembang

kearah belakang. Kartilago krikoid terletak di belakang kartilago tiroid

merupakan tulang rawan yang paling bawah dari laring. Di setiap sisi tulang

rawan krikoid melekat ligamentum krikoaritenoid, otot krikoaritenoid lateral

dan di bagian belakang melekat otot krikoaritenoid. Kartilago arytenoidea

merupakan kartilago kecil, dua buah, dan berbentuk seperti piramida.

Keduanya terletak di belakang laring, pada pinggir atas lamina kartilago

krikoidea.

Kartilago corniculata adalah dua buah nodulus kecil yang bersendi

dengan apeks cartilaginis arytneoidea dan merupakan tempat lekat plica

aryepiglotica. Kartilago kuneiformis merupakan dua krtilago kecil

5
6

berbentuk batang yang terletak sedemikian rupa sehingga masing-masing

terdapat di dalam satu plica aryepiglottica. Epiglotis adalah sebuah kartilago

elastis berbentuk daun yang terletak di belakang radiks lingua. Di sini,

terdapat plica glossoepiglotica mediana dan plica glossoepiglotica lateralis.

Vallecuale adalah cekungan pada membrane mukosa di kanan dan kiri

glossoepiglotica.

Kavitas larings terbentang dari aditus sampai ke pinggir bawah

kartilago cricoidea, dan dapat dibagi menjadi tiga bagian; (1) bagian atas

atau vestibulum, (2) bagian tengah, dan (3) bagian bawah.

Vestibulum larynges terbentang dari aditus larynges sampai ke plica

vestibularis. Plica vestibularis yang bewarna merah muda menonjol ke

medial. Rima vestibule adalah celah di antara plica vestibularis.

Ligamentum vestibularis yang terletak di dalam setiap plica vestibularis

merupakan pinggir bawah membrane quadrangularis yang menebal.

Ligamentum ini terbentang dari kartilago thyroidea sampai ke kartilago

arytenoidea.(3,4)

Laring bagian tengah terbentang dari plica vestibularis sampai setinggi

plica vocalis. Plica vocalis bewarna putih dan berisi ligamentum vocale.

Rima glottides adalah celah di antara plica vocalis di depan dan prosessus

vocalis kartilaginis arytneoidea di belakang.

Laring di bagian bawah terbentang dari plica vocalis sampai ke

pinggir bawah kartilago cricoidea. Membran mukosa laring melapisi kavitas

laryngeus dan ditutupi oleh epitel silindris bersilia. Namun, pada plica
7

vocalis, tempat membrane mukosa sering mengalami trauma saat fonasi,

maka membrane mukosanya dilapisi oleh epitel berlapis gepeng.

Gambar 1.1 Anatomi struktur penyangga laring (Brueckner, 2009)

Otot-otot laring dapat dibagi menjadi dua kelompok; (1) ekstrinsik

dan (2) intrinsik. Otot-otot ekstrinsik dapat dibagi dalam dua kelompok

yang berlawanan, yaitu kelompok elevator laring dan depressor laring.

Laring tertarik ke atas selama proses menelan dan ke bawah sesudahnya.

Karena os hyoideum melekat pada kartilago thyroidea melalui membrane

thyroihyoidea, gerakan os hyoideum akan diikuti oleh gerakan laring.

Otot-otot elevator laring meliputi m. digastricus, m. stylohyoideus,

m.geniohyoideus. m.stylopharyngeus, m.salphingopharyngeus, dan

m.palatopharyngeus yang berinsersio pada pinggir posterior lamina

kartilaginis thyroidea juga mengangkat laring.


8

Otot depressor laring meliputi m.sternohyoideus, m.sternothyroideus,

dan m.momohyoideus. Kerja otot-otot ini dibantu oleh daya pegas trakea

yang elastis.

Otot-otot intrinsik dapat dibagi menjadi dua kelompok; kelompok

yang mengendalikan aditus laringis dan kelompok yang menggerakkan plica

vocalis. Terdapat dua sphincter pada laring yaitu (1) pada aditus larynges

dan (2) pada rima glottis. Sphincter pada aditus larynges hanya berfungsi

pada saat menelan. Ketika bolus makanan dipindahkan ke belakang di

antara lidah dan palatum durum, laring tertarik ke atas di bawah bagian

belakang lidah. Aditus larynges menyempit akibat kontraksi m.artynoideus

obliqus dan m.aryepiglotica. Epiglotis didorong ke belakang oleh lidah dan

berfungsi sebagai sungkup di atas aditus larynges. Bolus makanan atau

cairan kemudian masuk ke dalam esophagus dengan berjalan di atas

epiglottis atau turun ke bawah lewat alur pada sisi-sisi aditus larynges, yaitu

melalui fossa piriformis.

Gambar 1.2 Topografi laring (Brueckner, 2009)

Ketika batuk atau bersin, rima glotidis berfungsi sebagai sphincter.

Setelah inspirasi, plica vocalis mengalami adduksi, dan otot-otot ekspirasi


9

berkontraksi dengan kuat. Akibatnya, tekanan di dalam toraks meningkat,

dan dalam waktu yang sama plica vocalis mendadak adduksi. Pelepasan

mendadak dari udara yang terkompresi seringkali diikuti pula keluarnya

partikel asing atau mucus dari saluran pernapasan dan selanjutnya masuk ke

faring. Disini, partikel-partikel ini akan ditelan atau dikeluarkan.

Pada keadaan abdomen tegang seperti saat miksi, defekasi dan

melahirkan, udara sering ditahan sesaat di saluran pernapasan dengan cara

menutup rima glotidis. Sesudah inspirasi dalam, rima glotidis ditutup.

Kemudian otot-otot dinding anterior abdomen berkontraksi dan gerakan

naik dari diafragma dicegah oleh adanya udara yang tertahan di saluran

pernapasan. Setelah usaha yang cukup lama, orang tersebut sering

melepaskan sejumlah udara dengan membuka rima glotidisnya sekejap dan

menimbulkan suara mengeluh.

Pelepasan udara ekspirasi secara terputus-putus melalui plica vocalis

yang sedang adduksi akan menggetarkan plica tersebut dan menimbulkan

suara. Frekuensi atau tinggi suara ditentukan oleh perubahan panjang dan

tegangan ligamentum vocale. Kualitas suara tergantung pada resonator di

atas laring, yaitu faring, mulut dan sinus paranasalis. Kualitas dikendalikan

oleh otot-otot palatum molle, lidah, dasar mulut, pipi, bibir, dan rahang.

Bicara normal tergantung pada kemampuan modifikasi suara menjadi

konsonan-konsonan dan vokal yang dikenali dengan menggunakan lidah,

gigi, dan bibir. Bunyi vokal biasanya murni dari mulut dengan palatum

molle terangkat; yaitu udara disalurkan melalui mulut dan bukan melalui
10

hidung. Dokter menguji mobilitas palatum molle dengan meminta pasien

mengucapkan ‘ah’ dengan mulut terbuka.

Gambar 1.3 Otot-otot intrinsik laring (Brueckner, 2009)

Bicara melibatkan pelepasan udara ekspirasi secara terputus-putus

melalui plica vocalis yang teradduksi. Menyanyi satu nada membutuhkan


11

pelepasan udara ekspirasi yang lebih lama lewat plica vocalis yang

teradduksi. Pada berbisik, plica vocalis teradduksi, tetapi kartilago

arytneoidea terpisah; vibrasi terjadi akibat getaran udara ekspirasi secara

tetap melalui bagian posterior rima glotidis.

Maka secara ringkas dapat dikatakan terdapat satu otot abduktor, tiga

aduktor dan tiga otot tensor seperti yang diberikan seperti berikut:

ABDUKTOR ADDUKTOR TENSOR


Krikotiroideus Interaritenoideus Krikotiroideus
posterior Krikoaritenoideus (eksterna)
lateralis Vokalis (interna)
Krikoaritenoideus Tiroaritenoideus
(interna)

Laring dipersarafi oleh saraf sensorik yang mempersarafi membrane

mukosa laring di atas plica vocalis dan berasal dari n.laryngeus internus,

cabang dari n.laryngeus superior (cabang n. vagus). Di bawah plica vocalis,

membrane mukosa dipersarafi oleh n. laryngeus recurrens. Saraf motorik ke

otot-otot intrinsik laring berasal dari n. laryngeus recurrens, kecuali m.

cricothyroideus yang dipersarafi oleh ramus laryngeus externus dari n.

laryngeus superior (n.vagus).


12

Gambar 1.4 Persarafan pada laring (Brueckner, 2009)

Suplai arteri ke setengah bagian atas laring berasal dari ramus

laryngeus superior a. thyroidea superior. Setengah bagian bawah laring

didarahi oleh ramus laryngeus inferior a. thyroidea inferior.

Gambar 1.5 Suplai darah arteri pada laring (Brueckner, 2009)


13

Pembuluh limfe bermuara ke dalam nodi lymphoidei cervicalis

profunda. Terdapat dua sistem drainase terpisah, superior dan inferior,

dimana garis pemisah adalah korda vokalis sejati. Disebelah superior, aliran

limfe menyertai pedikulus neurovaskuler superior untuk bergabung dengan

nodi limfatisis superior dari rangkaian servikalis profunda setinggi os

hioideus. Drainase subglotis lebih beragam, yaitu ke nodi limfatisi

pretrakeales (satu kelenjar terletak tepat didepan krikoid dan disebut nodi

Delphian), kelenjar getah bening servikalis profunda inferior, nodi

supraklavikularis dan bahkan nodi mediastinalis superior. Laring

mempunyai 3 (tiga) sistem penyaluran limfe, yaitu:

1. Daerah bagian atas pita suara sejati, pembuluh limfe berkumpul

membentuk saluran yang menembus membrana tiroidea menuju

kelenjar limfe cervical superior profunda. Limfe ini juga menuju ke

superior dan middle jugular node.

2. Daerah bagian bawah pita suara sejati bergabung dengan sistem limfe

trakea, middle jugular node, dan inferior jugular node.

3. Bagian anterior laring berhubungan dengan kedua sistem tersebut dan

system limfe esofagus. Sistem limfe ini penting sehubungan dengan

metastase karsinoma laring dan menentukan terapinya.


14

Gambar 1.6 Kelenjar limfe pada bagian leher (Brueckner, 2009)

2.2 FISIOLOGI LARING

Laring mempunyai 3 (tiga) fungsi dasar yaitu fonasi, respirasi dan

proteksi disamping beberapa fungsi lainnya seperti terlihat pada uraian

berikut:

1. Fungsi Fonasi.

Pembentukan suara merupakan fungsi laring yang paling

kompleks. Suara dibentuk karena adanya aliran udara respirasi yang

konstan dan adanya interaksi antara udara dan pita suara. Nada suara

dari laring diperkuat oleh adanya tekanan udara pernafasan subglotik

dan vibrasi laring serta adanya ruangan resonansi seperti rongga

mulut, udara dalam paru-paru, trakea, faring, dan hidung. Nada dasar

yang dihasilkan dapat dimodifikasi dengan berbagai cara. Otot


15

intrinsic laring berperan penting dalam penyesuaian tinggi nada

dengan mengubah bentuk dan massa ujung- ujung bebas dan tegangan

pita suara sejati.

2. Fungsi Proteksi.

Benda asing tidak dapat masuk ke dalam laring dengan adanya

reflek otot otot yang bersifat adduksi, sehingga rima glotis tertutup.

Pada waktu menelan, pernafasan berhenti sejenak akibat adanya

rangsangan terhadap reseptor yang ada pada epiglotis, plika

ariepiglotika, plika ventrikularis dan daerah interaritenoid melalui

serabut afferen N. Laringeus Superior. Sebagai jawabannya, sfingter

dan epiglotis menutup. Gerakan laring ke atas dan ke depan

menyebabkan celah proksimal laring tertutup oleh dasar lidah.

Struktur ini mengalihkan makanan ke lateral menjauhi aditus dan

masuk ke sinus piriformis lalu ke introitus esofagus.

3. Fungsi Respirasi.

Pada waktu inspirasi diafragma bergerak ke bawah untuk

memperbesar rongga dada dan M. Krikoaritenoideus Posterior

terangsang sehingga kontraksinya menyebabkan rima glotis terbuka.

Proses ini dipengaruhi oleh tekanan parsial CO2 dan O2 arteri serta

pH darah. Bila pO2 tinggi akan menghambat pembukaan rima glotis,

sedangkan bila pCO2 tinggi akan merangsang pembukaan rima glotis.

Hiperkapnia dan obstruksi laring mengakibatkan pembukaan laring

secara reflektoris, sedangkan peningkatan pO2 arterial dan


16

hiperventilasi akan menghambat pembukaan laring . Tekanan parsial

CO2 darah dan pH darah berperan dalam mengontrol posisi pita suara.

4. Fungsi Menelan.

Terdapat 3 (tiga) kejadian yang berhubungan dengan laring pada

saat berlangsungnya proses menelan, yaitu : Pada waktu menelan

faring bagian bawah (m. Konstriktor faringeus superior, m.

palatofaringeus dan m. stilofaringeus) mengalami kontraksi sepanjang

kartilago krikoidea dan kartilago tiroidea, serta menarik laring ke atas

menuju basis lidah, kemudian makanan terdorong ke bawah dan

terjadi pembukaan faringoesofageal. Laring menutup untuk mencegah

makanan atau minuman masuk ke saluran pernafasan dengan jalan

menkontraksikan orifisium dan penutupan laring oleh epiglotis.

Epiglotis menjadi lebih datar membentuk semacam papan penutup

aditus laringeus, sehingga makanan atau minuman terdorong ke lateral

menjauhi aditus laring dan masuk ke sinus piriformis lalu ke hiatus

esofagus.

2.3 DEFINISI KARSINOMA LARING

Definisi Karcinoma Laring adalah keganasan pada laring yang meliputi

bagian supra glotik, glotik dan sub glotik (Suddart and Bunner,2001).

Dimana ditemukan 60-65% merupakan tipe glotik, 30-35% supra glotik dan

5% merupakan tipe sub/infra glotik (Brithis Jurnal of Cancer, 1997).

Karsinoma sel skuamosa merupakan jenis tumor ganas laring primer yang

paling sering ditemukan, yaitu lebih dari 95% kasus.


17

2.4 ETIOLOGI KARSINOMA LARING

Etiologi karsinoma laring masih belum diketahui secara pasti.

Penelitian epidemologi mengidentifikasi beberapa faktor resiko yang

dikaitkan dengan kejadian carcinoma laring, antara lain:

1. Asap rokok dan alcohol

Dikatakan oleh para ahli bahwa perokok dan peminum alkolhol

merupakan kelompok orang-orang dengan risiko tinggi terhadap

karsinoma laring. Penelitian epidemiologik menggambarkan beberapa

hal yang diduga menyebabkan terjadinya karsinoma laring yang kuat

adalah rokok alkohol dan terpajan oleh sinar radioaktif.

2. Karsinogen lingkungan

Arsen (pabrik, obat serangga), asbes (lingkungan, pabrik, tambang), gas

mustar (pabrik), serbuk nikel (pabrik, lingkungan), polisiklik

hidrokarbon(pabrik, lingkungan), vinil klorida (pabrik), dan nitrosamin

(makanan yang diawetkan, ikan asin).

3. Human papilloma virus (HPV)

Predileksi di korda vokalis. Awalnya tumbuh jaringan berupa papil-

papil (papiloma) kemudian terjadi perubahan maligna menjadi

karsinoma verukosa (verrucous carcinoma).

2.5 MANIFESTASI KLINIS

Sesuai pembagian anatomi, lokasi tumor laring dibagi menjadi 3

bagian yakni supraglotis, glottis dan subglotis. Manifestasi klinis yang

timbul pada karsinoma laring sesuai dengan lokasi tumor tersebut. Berikut

klasifikasi letak tumor laring:


18

1. Tumor supraglotik

Terbatas pada daerah mulai dari tepi atas epiglotis sampai batas atas

glotis termasuk pita suara palsu dan ventrikel laring. Keluhan yang

mungkin timbul pada tumor supraglotik adalah dysphagia.

2. Tumor glotik

Mengenai pita suara asli. Batas inferior glotik adalah 10 mm dibawah

tepi bebas pita suara, 10 mm merupakan batas inferior otot-otot

intrinsik pita suara. Oleh karena itu, tumor glotik dapat mengenai 1

atau kedua pita suara, dapat meluas ke subglotik sejauh 10 mm, dan

dapat mengenai komisura anterior atau posterior atau prosesus vokalis

kartilago adenoid. Keluhan yang mungkin timbul pada tumor glotik

adalah dysphonia.

3. Tumor subglotik

Tumbuh lebih dari 10 mm di bawah tepi bebas pita suara asli sampai

batas krikoid. Keluhan yang mungkin timbul adalah gejala obstruksi

jalan nafas.

4. Tumor ganas transglotik adalah tumor yang menyeberangi ventrikel

mengenai pita suara asli dan pita suara palsu, atau meluas ke subglotik

lebih dari 10 mm. keluhan yang mungkin timbul adalah gabungan dari

ketiga keluhan diatas yaitu dysphagia, dysphonia dan gejala obstruksi

jalan nafas.
19

Gambar 1.7 Gambaran letak tumor dan gejala yang biasa timbul dari
letaknya (Deschler DG. 2013)

Manifestasi klinis yang mungkin timbul pada pasien dengan

Karsinoma Laring sebagai berikut:

1. Suara serak: Merupakan gejala utama Ca laring dan merupakan gejala

dini tumor pita suara. Hal ini disebabkan karena gangguan fungsi

fonasi laring. Kualitas nada sangat dipengaruhi oleh besar celah

glotik, besar pita suara, ketajaman tepi pita suara, kecepatan getaran

dan ketegangan pita suara.Pada tumor ganas laring, pita suara gagal

berfungsi secara baik disebabkan oleh ketidak teraturan pita suara,


20

oklusi atau penyempitan celah glotik, terserangnya otot-otot vokalis,

sendi dan ligament krikoaritenoid dan kadang-kadang menyerang

saraf. Adanya tumor di pita suara akan mengganggu gerak maupun

getaran kedua pita suara tersebut. Serak menyebabkan kualitas suara

menjadi semakin kasar, mengganggu, sumbang dan nadanya lebih

rendah dari biasa. Kadangbisa afoni karena nyeri, sumbatan jalan

nafas atau paralisis komplit. Hubungan antara serak dengan tumor

laring tergantung pada letak tumor. Apabila tumor laring tumbuh pada

pita suara asli, serak merupakan gejala dini dan menetap. Apabila

tumor tumbuh di daerah ventrikel laring, dibagian bawah plika

ventrikularis atau dibatas inferior pita suara, serak akan timbul

kemudian. Pada tumor supraglotis dan subglotis, serak dapat

merupakan gejala akhir atau tidak timbul sama sekali. Pada kelompok

ini, gejala pertama tidak khas dan subjektif seperti perasaan tidak

nyaman, rasa ada yang mengganjal di tenggorok. Tumor hipofaring

jarang menimbulkan serak kecuali tumornya eksentif.

2. Suara bergumam (hot potato voice): fiksasi dan nyeri menimbulkan

suara bergumam.

3. Dispnea dan stridor: Gejala yang disebabkan sumbatan jalan nafas

dan dapat timbul pada tiap tumor laring. Gejala ini disebabkan oleh

gangguan jalan nafas oleh massa tumor, penumpukan kotoran atau

secret maupun oleh fiksasi pita suara. Pada tumor supraglotik dan

transglotik terdapat kedua gejala tersebut.Sumbatan yang terjadi


21

perlahan-lahan dapat dikompensasi. Pada umunya dispnea dan stridor

adalah tanda prognosis yang kurang baik.

4. Nyeri tenggorok: Keluhan ini dapat bervariasi dari rasa goresan

sampai rasa nyeri yang tajam.

5. Disfagia: Merupakan ciri khas tumor pangkal lidah, supraglotik,

hipofaring dan sinus piriformis. Keluhan ini merupakan keluhan yang

paling sering pada tumor ganas postkrikoid.Rasa nyeri ketika menelan

(odinofagia): menandakan adanya tumor ganas lanjut yang mengenai

struktur ekstra laring.

6. Batuk dan hemoptisis: Batuk jarang ditemukan pada tumor ganas

glotik, biasanya timbul karena tertekanya hipofaring disertai secret

yang mengalir ke dalam laring. Hemoptisis sering terjadi pada tumor

glotik dan tumor supraglotik.

2.6 PATOFISIOLOGI

Lebih dari 90% pasien dengan karsinoma laring memiliki riwayat

merokok berat dan konsumsi alkohol. Merokok, secara khusus merupakan

faktor risiko utama terjadinya karsinoma pada laring. Kombinasi dari rokok

dan konsumsi alkohol memberi efek karsinogenik yang lebih besar pada

laring. Faktor risiko lain telah diketahui. Infeksi laring yang disebabkan oleh

virus human papilloma virus (HPV) mengakibatkan laryngeal papilomatosis

dimana berawal dari jinak, tetapi terkhusus tipe 16 dan 18 ternyata diketahui

mampu berdegenerasi menjadi karsinoma sel skuamosa (SCC). Refluks

gastroesofageal juga dicurigai menyebabkan karsinoma laring; meski

hubungan langsung antara keduanya masih belum jelas walaupun terapi


22

yang berguna dalam menurunkan kadar asam lambung dikatakan mampu

menurunkan rekurensi karsinoma laring. Paparan okupasi yang

beranekaragam dan inhalasi bercaun (seperti asbestos dan gas mustad),

defisiensi nutrisi, serta riwayat radiasi leher juga memiliki hubungan dengan

karsinoma laring.

Gambar 1.9 Model skematik perkembangan sel karsinoma dengan


berbagai penyebab pada laring (British Journal of Cancer.
1977).

Karsinogenesis pada traktus aerodigestif digambarkan mengalami

proses yang berlipat. Agen ekosgenous yang berbahaya (tembakau, alkohol,

asbes, dll) menyebabkan injuri epitel dan memicu terjadinya respon berupa

(hiper) regenerasi (hyperplasia) dan/atau hyperkeratosis.


23

Gambar 1.10 Evolusi sel karsinoma (Dhillon RS. 2001)

2.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Laringoscopy Direct (LD), yaitu pemeriksaan dengan cara melihat secara

langsung laring, pita suara dan hipofaring dengan alat bantu optic.

2. Pemeriksaan laboratorium darah (tumor marker)

3. Pemeriksaan radiologik.

a. Foto toraks; diperlukan untuk menilai keadaan paru, ada atau tidaknya

proses spesifik dan metastasis diparu. Foto jaringan lunak (soft tissue)

leher dari lateral kadang–kadang dapat menilai besarnya dan letak

tumor, bila tumornya cukup besar.

b. CT scan laring; dapat memperlihatkan keadaan tumor dan laring lebih

seksama, misalnya penjalaran tumor pada tulang rawan tiroid dan

daerah pre-epiglotis serta metastase kelenjar getah bening leher.


24

c. Magnetic Resonance Imaging (MRI); memiliki beberapa kelebihan

dari pada CT yang mungkin membantu dalam perencanaan pre-

operasi.

4. Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan patologi-anatomik (PA)

dari bahan biopsi laring, dan biosi jarum-halus pada pembesaran kelenjar

limfe dileher. Dari hasil patologi anatomik yang terbanyak adalah

karsinoma sel skuamosa.

2.8 PENATALAKSANAAN

Secara umum ada 3 jenis penanggulangan karsinoma laring yaitu

pembedahan, radiasi dan sitostatika, ataupun kombinasi, tergantung pada

stadium penyakit dan keadaan umum pasien.

1. PEMBEDAHAN

Tindakan operasi untuk keganasan laring terdiri dari:

a. LARINGEKTOMI

1) Laringektomi parsial. Tumor yang terbatas pada pengangkatan

hanya satu pita suara dan trakeotomi sementara yang di lakukan

untuk mempertahankan jalan napas. Setelahsembuh dari

pembedahan suara pasien akan parau.

2) Hemilaringektomi atau vertikal. Bila ada kemungkinana kanker

pita suara. Bagian ini diangkat sepanjang kartilago aritenoid dan

setengah kartilago tiroid. Trakeostomi sementara dilakukan dan

suara pasien akan parau setelah pembedahan.

3) Laringektomi supraglotis atau horisontal. Bila tumor berada

pada epiglotis, dilakukan diseksi leher radikal dan trakeotomi.


25

Suara pasien masih utuh atau tetap normal. Karena epiglotis

diangkat maka resiko aspirasi akibat makanan peroral

meningkat.

4) Laringektomi total. Karsinoma tahap lanjut yang melibatkan

sebagian besar laring, memerlukan pengangkatan laring, tulang

hiod, kartilago krikoid,2-3 cincin trakea, dan otot penghubung

ke laring.Mengakibatkan kehilangan suara dan sebuah lubang

(stoma) trakeostomi yang permanen. Dalam hal ini tidak ada

bahaya aspirasi makanan peroral, dikarenakan trakea tidak lagi

berhubungan dengan saluran udara–pencernaan. Suatu sayatan

radikal telah dilakukan dileher pada jenis laringektomi ini. Hal

ini meliputi pengangkatan pembuluh limfatik, kelenjar limfe di

leher, otot sternokleidomastoideus, vena jugularis interna, saraf

spinal asesorius, kelenjar salifa submandibular dan sebagian

kecil kelenjar parotis.

Gambar 1.11 Pasien dengan post operasi Total


Laringectomy
26

Operasi ini akan membuat penderita tidak dapat bersuara atau

berbicara. Tetapi kasus yang dermikian dapat diatasi dengan

mengajarkan pada mereka berbicara menggunakan esofagus

(esofageal speech), meskipun kualitasnya tidak sebaik bila

penderita berbicara dengan menggunakan organ laring. Untuk

latihan berbicara dengan esofagus perlu bantuan seorang

binawicara.

b. DISEKSI LEHER RADIKAL

Tidak dilakukan pada tumor glotis stadium dini (T1 – T2)

karena kemungkinan metastase ke kelenjar limfe leher sangat

rendah. Sedangkan tumor supraglotis, subglotis dan tumor glotis

stadium lanjut sering kali mengadakan metastase ke kelenjar limfe

leher sehingga perlu dilakukan tindakan diseksi leher. Pembedahan

ini tidak disarankan bila telah terdapat metastase jauh.

2. RADIOTERAPI

Radioterapi digunakan untuk mengobati tumor glotis dan

supraglotis T1 dan T2 dengan hasil yang baik (angka kesembuhannya

90%). Keuntungan dengan cara ini adalah laring tidak cedera sehingga

suara masih dapat dipertahankan.

3. KEMOTERAPI

Diberikan pada tumor stadium lanjut, sebagai terapi adjuvant

ataupun paliatif. Pilihan obat bat yang bisa diberikan adalah cisplatinum

80–120 mg/m2 dan 5 FU 800–1000 mg/m2 atau Paxus (Paclitaxel) 175

mg/m2.
27

4. REHABILITASI SUARA

Laringektomi total yang dikerjakan untuk mengobati karsinoma

laring menyebabkan cacat pada penderita. Dengan dilakukannya

pengangkatan laring beserta pita-suara yang ada dalamnya, maka

penderita akan menjadi afonia dan bernafas melalui stoma permanen di

leher. Untuk itu diperlukan rehabilitasi terhadap pasien, baik yang

bersifat umum, yakni agar pasien dapat memasyarakat dan mandiri

kembali, maupun rehabilitasi khusus yakni rehabilitasi suara (voice

rehabilitation), agar penderita dapat berbicara (bersuara), sehingga

berkomunikasi verbal. Rehabilitasi suara dapat dilakukan dengan

esophageal speech, yaitu suara yang dihasilkan dari esophagus melalui

proses belajar atau dengan bantuan alat bantu suara semacam vibrator

yang ditempelkan di daerah submandibular. Banyak faktor yang

mempengaruhi suksesnya proses rehabilitasi suara ini, tetapi dapat

disimpulkan menjadi 2 faktor utama, ialah faktor fisik dan faktor psiko-

sosial.

2.9 PROGNOSIS

Tergantung dari stadium tumor, pilihan pengobatan, lokasi tumor dan

kecakapan tenaga ahli. Secara umum dikatakan five years survival rate pada

karsinoma laring stadium I 90–98% stadium II 75–85%, stadium III 60–

70% dan stadium IV 40–50%. Adanya metastase ke kelenjar limfe regional

akan menurunkan five year survival rate sebesar 50%.


28

2.10 WOC (Web Of Causation)

FAKTOR RESIKO :

 Merokok  Karsinogen lingkungan/  Infeksi HPV


 Alkohol kerja/polusi, radioaktif,
radiasi
Predileksi di korda vokalis
Tumbuh jaringan papiloma

Paparan karsinogen Perubahan Maligna menjadi


berulang karsinoma verukosa

Karsinoma laring

Diferensiasi dan poliferasi abnormal pada sel skuamosa laring

Mutasi serta perubahan fungsi dan karakteristik sel

Terganggunya struktur DNA normal

Pertumbuhan tak terkendali sel abnormal

B1 B2 B3

 Masa tumor Masa tumor yang Masa tumor metastase


menutup jalan nafas mudah berdarah ke ekstra laring
 Penumpukan sekret
dijalan nafas
Gesekan dengan Mendesak ujung saraf
makanan padat +
Dispnea + stridor rangsangan batuk
Pelepasan mediator
kimia
MK. Ketidakefektifan Hemoptoe
Bersihan Jalan Nafas
Pengeluaran bradikinin
MK. Resiko dan sitokinin
Keluhan berlanjut Perdarahan
Pengeluaran bradikinin
dan sitokinin
29

Ketidak seimbangan Merangsang s.medula


ventilasi – perfusi spinalis

MK. Gangguan MK. Nyeri Akut/


Pertukaran Gas Kronis

Keluhan berlanjut,
terjadi hypoxia berat

MK. Resiko Gangguan B5 B6


Sirkulasi Spontan

Masa tumor pada Poliferasi terus


Urgent trakeostomi supraglotik menerus mengambil
suplay O2 dan nutrient
sel sehat
Pre op Obstruksi lumen
esophagus progesif
Pemecahan sumber
MK. Ansietas enegi berlebih
Dysphagia progesif

Post op
Kesulitan menelan General weakness
makanan padat & fatigue
MK. Resiko Infeksi

MK. Resiko Aspirasi MK. Intoleransi


MK. Gangguan Aktivitas
Komunikasi Verbal
Berkurangnya intake
nutrisi
MK. Kesiapan
Peningkatan
Manajemen Kesehatan MK. Defisit Nutrisi
(perawatan trakeostomi
di rumah)

Gambar 1.12 Gambar Web Of Causation Karsinoma Laring


30

2.11 KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

1. FOKUS PENGKAJIAN

a. KELUHAN UTAMA

 Suara serak merupakan gejala utama Ca. Laring

 Dispnea dan stidor mungkin ditemukan jika masa tumor

menutup jalan nafas

 Disfagia mungkin ditemukan jika masa tumor pada supra glotik

dan keluhan odinofagia (nyeri telan) jika masa tumor mengenai

struktur ekstra laring

b. RIWAYAT KESEHATAN

 Riwayat merokok dan konsumsi alkohol, merupakan temuan

studi epidemologi terbanyak dikaitkan dengan karsinoma laring.

 Riwayat terpapar karsinogen lingkungan atau radiasi secara

terus-menerus.

 Riwayat infeksi Human papilloma virus (HPV).

 Riwayat keluarga dengan keganasan.

c. PEMERIKSAAN FISIK

 Pada pemeriksaan fisik tidak didapatkan adanya tanda yang khas

dari luar, terutama pada stadium dini.

 Perubahan kontur leher dapat ditemukan jika tumor telah

metastase ke kelenjar limfe dileher.

 Diagnosis pasti karsinoma laring ditegakkan dengan

pemeriksaan patologi-anatomi (PA) dari bahan biopsy laring.


31

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN

Diagnosa keperawatan yang mungkinn ditemukan pada pasien dengan

karsinoma laring antara lain:

a. Ketidak efektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan

hyperplasia dinding jalan nafas dan sekresi yang tertahan

b. Nyeri kronis berhubungan dengan agen cidera fisiologis (neoplasma)

c. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan hambatan fisik

(terpasang tarkeostomi) atau pengangkatan pita suara (pada kasus

Total Laringectomy)

d. Defisit nutrisi (resiko/aktual) berhubungan dengan intake yang

kurang karena keluhan dysphagia progessif (masa tumor pada

supraglotik)

e. Ansietas berhubungan krisis situasional (tindakan operasi urgent

trakeostomy/Laringectomy)

f. Resiko infeksi berhubungan dengan efek prosedur infasif

(Trakeostomy/Laringectomy)

g. Resiko Perdarahan berhubungan dengan masa tumor yang mudah

berdarah bergesekan dengan makanan padat/rangsangan batuk.

h. Kesiapan peningkatan manajemen kesehatan (perawatan trakeostomi

di rumah)

3. INTERVENSI KEPERAWATAN

a. Diagnosa Keperawatan: Ketidak efektifan bersihan jalan nafas

berhubungan dengan hyperplasia dinding jalan nafas dan sekresi

yang tertahan
32

Tujuan: Respiratory status : Airway patency

Kreteria Hasil:

 Menunjukkan jalan nafas paten (frekuensi dan irama pernafasan

dalam rentang normal, tidak ada suara nafas abnormal)

 Mampu mendemostrasikan batuk efektif

 Tidak ada sianosis dan dyspneu (mampu mengeluarkan sputum,

mampu bernafas dengan mudah, tidak ada pursed lips)

Intervensi Keperawatan:

Airway Management:

 Bebaskan jalan nafas, dan pertahankan jalan nafas terbuka (patent)

 Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi

 Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan nafas buatan

(trakeostomy)

 Lakukan fisioterapi dada jika perlu

 Keluarkan sekret dengan batuk atau suction jika perlu

 Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan

 Berikan bronkodilator bila perlu

 Berikan pelembab udara Kassa basah NaCl Lembab

 Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan.

 Monitor respirasi dan status O2

Airway suction

 Identifikasi kebutuhan oral / tracheal suctioning

 Auskultasi suara nafas sebelum dan sesudah suctioning.


33

 Informasikan pada klien dan keluarga tentang suctioning

 Minta klien nafas dalam sebelum suction dilakukan.

 Berikan O2 dengan menggunakan nasal untuk memfasilitasi

suksion nasotrakeal

 Gunakan alat yang steril sitiap melakukan tindakan

 Anjurkan pasien untuk istirahat dan napas dalam setelah kateter

dikeluarkan dari nasotrakeal

 Monitor status oksigen pasien

 Ajarkan keluarga bagaimana cara melakukan suksion

 Hentikan suksion dan berikan oksigen apabila pasien menunjukkan

bradikardi, peningkatan saturasi O2, dll.

b. Diagnosa Keperawatan: Nyeri kronis berhubungan dengan agen

cidera fisiologis (neoplasma)

Tujuan: Pain Level, Pain control, Comfort level

Kreteria Hasil:

 Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu

menggunakan tehnik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri,

mencari bantuan)

 Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan

manajemen nyeri

 Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda

nyeri)

 Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang


34

 Tanda vital dalam rentang normal

Intervensi Keperawatan:

Pain Management

 Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi,

karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi

 Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan

 Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui

pengalaman nyeri pasien

 Kaji kultur yang mempengaruhi respon nyeri

 Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau

 Evaluasi bersama pasien dan tim kesehatan lain tentang

ketidakefektifan kontrol nyeri masa lampau

 Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan

dukungan

 Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu

ruangan, pencahayaan dan kebisingan

 Kurangi faktor presipitasi nyeri

 Pilih dan lakukan penanganan nyeri (farmakologi, non farmakologi

dan inter personal)

 Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi

 Ajarkan tentang teknik non farmakologi

 Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri

 Evaluasi keefektifan kontrol nyeri

 Tingkatkan istirahat
35

 Kolaborasikan dengan dokter jika ada keluhan dan tindakan nyeri

tidak berhasil

 Monitor penerimaan pasien tentang manajemen nyeri

Analgesic Administration:

 Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan derajat nyeri sebelum

pemberian obat

 Cek instruksi dokter tentang jenis obat, dosis, dan frekuensi

 Cek riwayat alergi

 Pilih analgesik yang diperlukan atau kombinasi dari analgesik

ketika pemberian lebih dari satu

 Tentukan pilihan analgesik tergantung tipe dan beratnya nyeri

 Tentukan analgesik pilihan, rute pemberian, dan dosis optimal

 Pilih rute pemberian secara IV, IM untuk pengobatan nyeri secara

teratur

 Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgesik

pertama kali

 Berikan analgesik tepat waktu terutama saat nyeri hebat

 Evaluasi efektivitas analgesik, tanda dan gejala (efek samping)

c. Diagnosa Keperawatan: Kerusakan komunikasi verbal

berhubungan dengan hambatan fisik (terpasang trakeostomy) atau

pengangkatan pita suara (pada kasus Total Laringectomy)

Tujuan: Komunikasi efektif (dua arah)


36

Kreteria Hasil:

 Komunikasi: penerimaan, intrepretasi dan ekspresi pesan lisan,

tulisan, dan non verbal meningkat

 Komunikasi ekspresif (kesulitan berbicara) : ekspresi pesan verbal

dan atau non verbal yang bermakna

 Mampu memanajemen kemampuan fisik yang di miliki

Intervensi Keperawatan:

Communication Enhancement : Speech Deficit

 Dorong pasien untuk berkomunikasi secara perlahan dan untuk

mengulangi permintaan

 Dengarkan dengan penuh perhatian

 Gunakan kertas, pensil, bahasa tubuh, gambar dan sumberdaya lain

untuk memfasilitasi komunikasi dua arah yang optimal

 Konsultasikan dengan dokter kebutuhan terapi bicara

 Ajarkan bicara dari esophagus pada kasus pengangkatan pita suara

(pada kasus Total Laringectomy)

 Beri anjuran kepada pasien dan keluarga tentang penggunaan alat

bantu bicara (misalnya, prostesi trakeoesofagus dan laring buatan)

 Berikan pujian positive jika diperlukan

 Anjurkan pada pertemuan kelompok

 Anjurkan kunjungan keluarga secara teratur untuk memberi

stimulus komunikasi

 Anjurkan ekspresi diri dengan cara lain dalam menyampaikan

informasi (bahasa isyarat)


BAB 4

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Laring atau organ suara adalah struktur epitel kartilago yang

menghubungkan laring dan trakea. Fungsi utama laring adalah untuk

memungkinkan terjadinya vokalisasi. Laring juga melindungi jalan nafas

bawah dari obstruksi benda asing dan memudahkan batuk. Laring sering

disebut sebga kontak suara dan terdiri dari epiglotis, glotis, kartiligo tiroid,

kartiligo trikoid, kartiligo aritenoide.

Laring biasanya disebut sebagai kotak suara (voice box). Laring

menghubungkan saluran napas atas (faring) dan bawah (trakea). Laring

terletak anterior esophagus atas. Sembilan kartilago membentuk laring, tiga

buah kartilago tunggal yang besar (epiglotis, tiroid, krikoid), dan tiga pasang

kartilago yang lebih kecil (aritenoide, kornikulata, kuneiformis). Kartilago

melekat pada tulang tiroid di sebelah atas dan di sebelah bawah melekat pada

trakea oleh otot dan ligamen, untuk struktur ini mencegah laring mengalami

kolaps selama inspirasi dan menelan.

Tanda peringatan awal kanker laring bergantung pada lokasi tumor.

Secara umum, suara serak yang berlangsung lebih dari 2 minggu harus

dievaluasi. Serak terjadi ketika tumor menginvasi otot dan kartilago di sekitar

laring, menyebabkan kekakuan pita suara. Tumor pada glotis mencegah

penutupan selama berbicara yang akan menyebabkan suara serak atau

perubahan suara.

37
38

4.2 Saran

Diharapkan kepada tenaga kesehatan khusunya perawat dapat

memberikan pendidikan kesehatan tentang pengenalan, pecegahan, perawatan

pasien kanker laring di rumah sakit melalui pasien dan keluarga maupun

masyarakat. Agar masalah keperawatan pada pasien kanker laring dapat

teratasi dengan baik, hendaknya para perawat menerapkan asuhan

keperawatan dirumah sakit sesuai dengan sistematika proses keperawatan.

Untuk mempercepat proses penyembuhan pada pasien kanker laring

hendaknya memperhatikan prosedur pelaksanaan tindakan


DAFTAR PUSTAKA

Bulechek, G.M., Butcher, H & Dochterman, J M. 2013. Nursing Intervention


Classification (NIC). sixth edition.United kingdom. Elsevier

Cohen James I. 1997. Anatomi dan Fisiologi laring. Boies Buku Ajar Penyakit
THT. Edisi ke-6. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC. P. 369-76

Deschler DG, Day T. 2013. TNM Staging of Head and Neck Cancer and Neck
Dissection Classification. In: Descher DG, Day T, editors. Pocket Guide to
TNM Staging of Head and Neck Cancer and Neck Dissection Classification:
Head and Neck Surgery Commitee. p. 11-23.

Dhillon RS, East CA. 2001. Laryngeal Neoplasia. In: Dhillon RS, East CA,
editors. Ear, Nose and Throat and Head and Neck Surgery. 3 ed: Elsevier.
p.98-101.

Moorhead, Sue., Johnson Marion., Mass Meridean, L., Swanson, Elisabeth, 2013,
Nursing Outcomes Classification (NOC), fifth edition, United Kingdom,
Elsevier.

NANDA International. 2015. Nursing Diagnoses ; Defitions and Classification


2015 – 2018. Edisi Sepuluh, Jakarta, EGC.

Netter FH. 2006. Head and Neck. In: Brueckner JK, Carnichael SW, editors. Atlas
of Human Anatomy. 4 ed. Pennysylvania: Elsevier. p. 69-79.

Soepardi.E.A, N.Iskandar, J.Bashiruddin, R.D.Restuti. 2011. Buku Ajar Ilmu


Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Vol VI(6). Jakarta
: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Sasaki CT, Kim Y-H. 2003. Anatomy and Physiology of the Larynx. In: Snow JB,
Ballegner JJ, editors. Ballenger's Otolaryngology Head and Neck Surgery.
16 ed. London: Becker Inc. p. 1090-107.

Simarak S, Breslow N, Dahl CJ. 1997. Cancer of the Oral Cavity, Pharynx/larynx
and Lung in North Thailand: Case-Control Study and Analysis of Cigar
Smoke. British Journal of Cancer; 36(130):1-11.

PPNI. 2015. Standart diagnosis Keperawatan Indonesia, Edisi Satu, Jakarta, DPP
PPNI

39

Anda mungkin juga menyukai