PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pada saat ini dengan kemajuan teknologi bidang medis, hampir setiap hari
perhatian media massa difokuskan pada masalah ilmu pengetahuan medis berikut
aplikasinya atau perkembangan baru (Transplantasi organ tubuh, pembuahan in
vitro, jantung buatan, sirkumsisi pada wanita dan sebagainya) yang mau tidak
mau dapat menimbulkan masalah baru mungkin sebanyak seperti yang telah
diselesaikannya terutama dari segi etik.
1
B. RUMUSAN MASALAH
C. TUJUAN PENULISAN
2
BAB II
TINJAUAN TEORI
Etik atau ethics berasal dari bahasa Yunani, yaitu etos yang artinya adat
kebiasaan, perilaku, atau karakter. Sedangkan menurut Webster, etik adalah suatu
ilmu yang mempelajari tentang apa yang baik dan buruk secara moral. Dari
pengertian diatas, etika adalah ilmu tentang kesusilaan yang menentukan
bagaimana sepatutnya manusia hidup di dalam masyarakat yang menyangkut
aturan-aturan atau prinsip-prinsip yang menentukan tingkah laku yang benar,
yaitu baik dan buruk dan kewajiban dan tanggung jawab.
Moral, istilah ini berasal dari bahasa Latin yang berarti adat dan kebiasaan.
Pengertian moral adalah perilaku yang diharapkan oleh masyarakat yang
merupakan standar perilaku dan nilai-nilai yang harus diperhatikan bila seseorang
menjadi anggota masyarakat di mana ia tinggal.
Etiket atau adat merupakan sesuatu yang dikenal, diketahui, diulang, serta
menjadi suatu kebiasaan di dalam suatu masyarakat, baik berupa kata-kata atau
suatu bentuk perbuatan yang nyata.
Ketiga isilah di atas – etika, moral, dan etiket – sulit untuk dibedakan, hanya dapat
dilihat bahwa etika lebih menitik-beratkan pada aturan-aturan, prinsip-prinsip
yang melandasi perilaku yang mendasar dan mendekati aturan-aturan, hukum, dan
undang-undang yang membedakan benar atau salah secara moralitas.
Jadi, etika dalam keperawatan merupakan prinsip yang mengatur perilaku para
insan keperawatan agar senantiasa selalu dalam koridor aturan yang ada.
3
B. Tujuan Etika Keperawatan
C. Tipe Etik
1. Bioetik
Bioetika merupakan suatu filosofi yang mempelajari tentang kontroversi dalam
etik, menyangkut masalah biologi dan pengobatan. Lebih lanjut, bioetika
difokuskan pada pertanyaan etik yang muncul tentang hubungan antara ilmu
kehidupan, bioteknologi, pengobatan, politik, hukum, dan theology. Isu dalam
bioetik adalah: peningkatan mutu genetik, etika lingkungan, dan pemberian
pelayanan kesehatan.
Etik klinik merupakan bagian dari bioetik yang lebih memperhatikan pada
masalah etik selama pemberian layanan pada klien. Contoh clinical ethics: adanya
persetujuan atau penolakan dan bagaimana seseorang sebaiknya merespon
permintaan medis yang kurang bermanfaat.
Bagian dari bioetik, yang merupakan studi formal tentang isu etik dan
dikembangkan dalam tindakan keperawatan serta dianalisis untuk mendapatkan
keputusan etik. Etika keperawatan dapat diartikan sebagai filsafat yang
mengarahkan tanggung jawab moral yang mendasari pelaksanaan praktek
keperawatan. Inti falsafah keperawatan adalah hak dan martabat manusia,
4
sedangkan fokus etika keperawatan adalah sifat manusia yang unik (k2-nurse,
2009).
1. Asas Otonomi
Otonomi merupakan suatu bentuk kebenaran dalam bertindak, di mana seseorang
mengambil keputusan sesuai dengan rencana yang ditentukannya sendiri.
Walaupun demikian, kendati otonomi itu penting dan memegang peranan yang
5
menentukan dalam bioetik, kita tetap harus menghayati otonomi dalam konteks
komunitas dan tanggung jawab moral lain yang kita miliki.
2. Asas Tidak Merugikan (Nonmaleficence)
Asas ini merupakan cara teknis untuk menyatakan bahwa kita berkewajiban tidak
mencelakakan orang lain, salah satu yang paling tradisional dari etik kedokteran.
PRIMUM NON-NOCERE (yang utama adalah jangan merugikan), suatu prinsip
dasar tradisi hipokratik. Jika kita tidak dapat berbuat sesuatu terhadap seseorang,
maka setidaknya kita wajib untuk tidak merugikan orang.
5. Persetujuan
Hal ini berhubungan dengan pengertian informed consent, persetujuan yang
diberikan berdasarkan informasi sebelumnya. Dengan “persetujuan yang
6
berdasarkan informasi yang telah diberikan sebelumnya” dilakukan tindakan
medis tertentu dan persetujuan diberikan dalam kaitannya dengan tindakan medis
tertentu, sebelum tindakan tertentu atau pengobatan itu diberikan. Dalam hal ini
terkandung empat unsur sebagai berikut
a.Kompetensi, menunjuk pada kemampuan seseorang dalam mengambil
keputusan.
b. Penyampaian informasi, tindakan atau perlakuan apa saja yang akan dilakukan
itu sebelumnya sudah harus dijelaskan kepada pasien.
c. Pengertian, pasien tidak cukup memperoleh informasi sehingga pasien harus
mengerti segala sesuatu tentang informasi tersebut dari segi positif ataupun
negatif.
d. Didasarkan pada sifat sukarela, agar yang bersangkutan sanggup untuk
menentukan pilihannya terhadap beberapa alternatif kemungkinan tanpa adanya
paksaan dari siapapun.
7
F. Tanggung Jawab Perawat Terhadap Klien
8
kebangsaan, kesukuan, warna kulit, umur, jenis kelamin, aliran politik, dan
agama yang dianut serta kedudukan sosial.
2. Perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan senantiasa memelihara
suasana lingkungan yang menghormati nilai-nilai budaya, adat istiadat dan
kelangsungan hidup beragama dari klien.
3. Tanggung jawab utama perawat adalah kepada mereka yang membutuhkan
asuhan keperawatan.
4. Perawat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui sehubungan dengan
tugas yang dipercayakan kepadanya kecuali jika diperlukan oleh yang
berwenang sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
9
BAB III
PEMBAHASAN KASUS
A. Kasus
Ny. Mita, seorang pendatang yang baru tiba, baru-baru ini melahirkan seorang
bayi perempuan dan datang ke Klinik Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak. Selama
kunjungan kedua ke klinik, Ny. Mita mengaku pada perawat bahwa ia sedang
ditekan oleh masyarakat setempat agar anaknya ‘disunat’. Dia menjelaskan
bahwa jika bayi perempuannya tidak disunat maka akan dibenci, diejek, dan
akhirnya dikucilkan oleh masyarakat setempat. Ny. Mita kemudian meminta
perawat jika ia bisa merekomendasikan seorang ahli bedah lokal yang bisa
melakukan prosedur aman untuk sunat pada anaknya, jika tidak ada ahli bedah
lokal untuk melakukan operasi, putrinya akan ditinggalkan kepada belas maka
terpaksa dia akan melakukan sunat pada anaknya pada dukun bayi. Ny. Mita
seorang wanita berpendidikan, untuk menghindari stigma buruk yang akan
menimpa putrinya akan melaksanakan sunat pada putrinya walau putrinya baru
berusia tiga minggu. Bagaimana seharusnya respon perawat untuk situasi ini ?
B. Pertanyaan
10
C. Penjelasan
Sunat telah dilakukan sejak zaman prasejarah walaupun pada zaman ini tidak
diketahui alasan yang jelas mengenai tindakan ini, namun teori-teori
memperkirakan bahwa tindakan ini merupakan bagian dari ritual pengorbanan
atau persembahan, tanda penyerahan pada Yang Maha Kuasa, langkah menuju
kedewasaan atau upaya untuk mengubah estetika atau seksualitas. Sunat pada
laki-laki diwajibkan pada agama Islam. Praktik ini juga terdapat di kalangan
mayoritas penduduk Korea Selatan, Amerika, dan Filipina.
Sunat pada bayi telah didiskusikan pada beberapa dekade terakhir. American
Medical Association menyatakan bahwa perhimpunan kesehatan di amerika
Serikat, Australia, Kanada, dan negara-negara Eropa sangat tidak
merekomendasikan sunat pada bayi.
Menurut litertur AMA tahun 1999, orang tua di AS memilih untuk melakukan
sunat pada anaknya terutama disebabkan alasan sosial atau budaya dibandingkan
karena alasan kesehatan. Akan tetapi survei tahun 2001 menunjukkan bahwa
23,5% orang tua melakukannya dengan alasan kesehatan.
Para pendukung integritas genital mengecam semua tindakan sunat pada bayi
karena menurut mereka itu adalah bentuk mutilasi genital pria yang dapat
disamakan dengan sunat pada wanita yang dilarang di AS.
Sunat atau khitan atau sirkumsisi adalah suatu tindakan yang sudah sangat umum
dikenal dan diakui oleh agama-agama di dunia. Khitan dapat dilakukan pada pria
11
dan wanita. Namun khitan wanita atau dalam WHO dikenal dengan Female
Genital Mutilation merupakan tindakan yang banyak menuai kontroversi. Berikut
adalah pernyataan dari WHO :
“Sunat pada wanita secara internasional dikenal sebagai pelanggaran hak asasi
manusia terhadap anak-anak wanita dan wanita dewasa. Sejak sunat ini hampir
selalu dilakukan walaupun sedikit, hal ini juga merupakan pelanggaran terhadap
hak asasi anak.”
a. Klitoridektomi
Menghilangkan klitoris (bagian genital wanita yang kecil, sensitif, dan hanya pada
bagian erektil) sebagian atau total dan atau dalam kasus jarang hanya pada
preputium (lipatan kulit di sekitar klitoris).
b. Eksisi (Pemotongan)
Menghilangkan sebagian atau total klitoris dan labia minora, dengan atau tanpa
eksisi labia minora (labia adalah bibir yang mengelilingi vagina).
c. Infibulasi
Sunat wanita menuai berbagai konsekuensi. Dari sisi kesehatan, sunat wanita
tidak memiliki keuntungan. Tindakan yang dilakukan hanya merusak genital
wanita yang sudah dalam keadaan normal dan natural. Bahkan hanya
menimbulkan efek samping dan risiko seperti dibawah ini.
1) Risiko kesehatan yang segera Nyeri berat, syok, pendarahan berlebih, sepsis,
infeksi, kematian.
12
3) Komplikasi obstetrik : Seksio caesaria, pendarahan post partum, resustasi
neonatus dll.
13
diatur oleh negara, dikhawatirkan sunat perempuan yang sudah menjadi tradisi
sebagian masyarakat secara turun temurun itu justru dapat membahayakan
kesehatan perempuan. MUI justru meminta seluruh RS hingga Puskesmas untuk
melayani sunat perempuan untuk melindungi perempuan dari praktek sunat ilegal
tanpa dasar ilmu medis.
Menurut MUI, khitan merupakan bagian dari ajaran Islam. MUI sendiri telah
mengeluarkan Fatwa Nomor 9.A tahun 2008 yang intinya khitan perempuan
adalah Makrumah, yaitu salah satu bentuk ibadah yang dianjurkan. Seperti
mencukur rambut disekitar kemaluan, memotong kumis, mencukur bulu ketiak,
dan menggunting kuku, khitan adalah fitrah manusia. MUI menjelaskan, bahwa
Islam telah mengatur tata cara khitan perempuan. Khitan perempuan dalam Islam
cukup dengan menghilangkan selaput yang menutupi klitoris, bukan dengan
memotong atau melukainya, berbeda dengan definisi WHO mengenai female
genital mutilation ataupun praktik sunat perempuan di Afrika.
Nilai-nilai prinsip etik yang sangat penting bagi seorang perawat untuk
memberikan respon terhadap Ny. Mita menurut penyusun adalah
a. Kebenaran (Veracity) Perawat harus memberikan respon atau
tanggapan sesuai kebenaran yang ada kepada Ny.Mita tanpa harus
berbohong atau dibuat-buat.
b. Legalitas Legalitas praktik sunat sangat penting pada kasus ini.
Perawat harus memberitahu bagaimana hukum legalitasnya, yang tertuang
didalam Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1636 tahun 2010 yang
telah dihapus dan dengan demikian sebenarnya dokter dan tenaga medis
tidak lagi memiliki standar operating procedur untuk melakukan khitan
perempuan, meskipun atas permintaan dari orangtua.
14
c. Beneficience Hal ini berkaitan dengan upaya seorang perawat
memberikan respon terhadap Ny. Mita untuk memberikan pencegahan dari
kesalahan sunat pada seorang dukun yang mungkin akan mengakibatkan
kerugian fisik bagi anaknya tersebut bila sampai sunat pada seorang
dukun.
d. Aspek Budaya Pada kasus ini, Perawat harus memperhatikan budaya
dari Ny. Mita, perawat tidak boleh berkata secara gamblang bahwa
tindakan sunat pada wanita itu salah, tidak sesuai medis dan
mendiskriminasi suatu budaya tersebut. Akan tetapi, perawat dapat
menggunakan prinsip Transcultural Nursing, dimana perawat
menggabungkan budaya perawat ataupun petugas kesehatan dengan
budaya yang ada pada lingkungan Ny. Mita.
e. Otonomi Setelah perawat memberikan respon sesuai dengan prinsip
etik yang ada. Maka, perawat harus mengembalikan keputusan kepada Ny.
Mita. Karena pada prinsipnya, orang dewasa dapat menentukan nasib
kesehatannya sendiri dan perawat harus menghargai keputusan Ny. Mita
dengan asas Human Right.
Menurut penyusun, Pada kasus Ny. Mita, sangatlah berkaitan dengan kebudayaan,
prinsip kesehatan, prinsip agama, dan juga legalitas berkaitan dengan praktik
sunat pada perempuan yang menimbulkan dilema etik terhadap seorang perawat
atau petugas kesehatan lainnya. Di setiap perspektif memiliki prinsip dan
pandangannya masing-masing. Arti penting perawat dari konflik pada kasus
adalah bagaimana perawat harus memiliki banyak pengetahuan dan relasi untuk
memberikan informasi yang benar dalam praktik sunat ini terutama dari segi
kesehatan dengan tidak melakukan judgement terhadap suatu budaya yang berada
dalam masyarakat dan juga menghargai kebudayaan Ny. Mita dan lingkungannya,
serta merespon Ny. Mita tersebut dengan komunikasi terapeutik dan standar etik
yang sesuai kode etik keperawatan.
Sebagai seorang wanita yang berpendidikan, Ny. Mita akan mampu menerima
penjelasan atau respon yang diberikan oleh perawat dan dapat memilih keputusan
15
terbaik untuk putrinya tersebut, agar tidak dikucilkan atau didiskriminasi dan
tidak juga mendapat ancaman fisik.
Contoh komunikasi terapeutik : “Mengenai keluhan ibu, apakah ibu sudah lama
ditekan seperti itu ? dan seberapa sering ibu ditekan seperti itu? Apa di
lingkungan ibu sebelum pindah itu ada tradisi menyunat bayi perempuan juga bu
?” (Pertanyaan seperti ini menunjukkan sikap perawat yang peduli terhadap
kliennya/ Ny. Mita). Kemudian melanjutkan penjelasan. “Baik ibu, saya akan
menjelaskan terlebih dahulu masalah sunat pada bayi perempuan. Jadi, memang
tindakan praktik sunat banyak menuai kontrovesi bu, yang saya tahu memang
beberapa perspektif memiliki pandangan masing-masing. Menurut WHO (World
Health Organization menyatakan bahwa tidak ada keuntungannya sunat pada
wanita dari segi medis justru menyebabkan faktor risiko seperti pendarahan,
infeksi dan miskinnya rangsangan seksual saat dewasa, karena WHO beranggapan
bahwa sunat adalah Female genital mutilation yang berarti ada pemotongan pada
daerah genitalia bayi yang dinamakan klitoris dan dianggap melanggar hak asasi
manusia. Namun, di Indonesia sendiri memiliki peraturan, yakni Peraturan
Menteri Kesehatan RI Nomor 1636 tahun 2010 tentang sunat perempuan maka
sunat perempuan hanya dapat dilakukan oleh Tenaga Kesehatan tertentu, yaitu
dokter, bidan, dan perawat yang telah memilki izin praktik. Dan yang dimaksud
sunat disini hanyalah menggores kulit yang menutupi bagian depan klitoris,
tanpa melukai klitoris. Persyaratan dan prosedur tindakan juga telah diatur
16
dalam Peraturan ini. Namun, dalam Permenkes No.6/2014 tersebut ditetapkan
bahwa Permenkes No. 1636/MENKES/PER/XII/2010 tentang Sunat Perempuan,
kini telah dicabut dan tidak berlaku lagi semenjak ditetapkannya Permenkes
No.6/2014. Dengan pertimbangan bahwa sunat perempuan hingga saat ini bukan
merupakan tindakan kedokteran, karena pelaksanaannya tidak berdasarkan
indikasi medis dan belum terbukti bermanfaat bagi kesehatan. Jadi setelah
ditetapkan Permenkes terbaru, maka dokter dan tenaga medis tidak lagi memiliki
standar operating procedur untuk melakukan khitan perempuan, meskipun atas
permintaan dari orangtua bu, seperti itu.”
Contoh komunikasi terapeutik : “Seperti yang sudah saya jelaskan tadi bu, bahwa
saat ini sebenarnya kami (tim kesehatan) sudah tidak bisa melakukan sunat wanita
karena sudah tidak memiliki standart operating procedure lagi, walaupun sunat
wanita di Indonesia ini bukan seperti sunat di negara Afrika yang harus memotong
klitoris. Akan tetapi saya pun tidak menganjurkan ibu untuk datang ke dukun
untuk melaksanakan sunat, mengapa? Karena kita tidak tahu bagaimana alat yang
digunakan untuk melakukan tindakan tersebut apakah steril atau hanya bersih, dan
mungkin dukun pun tidak tahu standar operasi prosedur dalam proses
pembedahan. Hal itu dapat menimbulkan faktor risiko yang paling sering adalah
infeksi, pendarahan terus-menerus dan mungkin ada masalah-masalah lain saat
17
setelah anak ibu dewasa kelak, sehingga hanya akan merugikan anak ibu. Maka
seperti ini bu, setiap rumah sakit memiliki Protap (Prosedur tahapan) pada sisi
atau kasus khusus yang berbeda-beda. Saya akan mencoba menghubungi berbagai
rumah sakit yang mungkin ada yang memiliki protap untuk melaksanakan bedah
sunat wanita pada anak ibu. Untuk selanjutnya ibu dan anak ibu akan kami rujuk
ke rumah sakit tersebut. Mungkin ibu bisa menghubungi saya kembali atau datang
kesini, tiga hari lagi ya bu.”
3. Pemberian Otonomi Hal ini perawat berikan karena setiap orang memiliki
hak untuk menentukan nasibnya sendiri. Disini penyusun bagi dua kondisi, yakni
Kondisi kedua adalah kondisi perawat tidak menemukan rumah sakit yang
menyediakan layanan bedah sunat wanita.
18
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada saat ini dengan kemajuan teknologi bidang medis, hampir setiap hari
perhatian media massa difokuskan pada masalah ilmu pengetahuan medis berikut
aplikasinya atau perkembangan baru (Transplantasi organ tubuh, pembuahan in
vitro, jantung buatan, sirkumsisi pada wanita dan sebagainya) yang mau tidak
mau dapat menimbulkan masalah baru mungkin sebanyak seperti yang telah
diselesaikannya terutama dari segi etik.
19
DAFTAR PUSTAKA
Amir, Amri dan Hanafiah M Jusuf. 1999. Etika Kedokteran dan Hukum
Kesehatan. Jakarta: EGC
Soeparto, Pitono dkk. 2006. Etik dan Hukum di Bidang Kesehatan edisi kedua.
Surabaya: Airlangga University Pers
20