Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pada saat ini dengan kemajuan teknologi bidang medis, hampir setiap hari
perhatian media massa difokuskan pada masalah ilmu pengetahuan medis berikut
aplikasinya atau perkembangan baru (Transplantasi organ tubuh, pembuahan in
vitro, jantung buatan, sirkumsisi pada wanita dan sebagainya) yang mau tidak
mau dapat menimbulkan masalah baru mungkin sebanyak seperti yang telah
diselesaikannya terutama dari segi etik.

Perawat dalam melaksanakan pengabdiannya senantiasa berpedoman pada


tanggung jawab yang bersumber dari adanya kebutuhan akan keperawatan
individu, keluarga, masyarakat. Perawat dalam melaksanakan pengabdiannya di
bidang keperawatan senantiasa memelihara suasana lingkungan yang
menghormati nilai-nilai budaya, adat istiadat dan kelangsungan hidup beragama
dari individu, keluarga, dan masyarakat. Perawat dalam melaksanakan kewajiban
bagi individu, keluarga, dan masyarakat senantiasa dilandasi dengan rasa tulus
ikhlas sesuai dengan martabat dan tradisi luhur keperawatan. Perawat senantiasa
menjalin hubungan kerja sama dengan individu, keluarga, dan masyarakat dalam
mengambil prakasa dan mengadakan upaya kesehatan serta upaya kesejahteraan
umum sebagai bagian dari tugas kewajiban bagi kepentingan masyarakat.

Seorang perawat dalam mengambil keputusan harus mempertimbangkan beberapa


asas atau prinsip, yakni asas otonomi, asas tidak merugikan (non maleficence),
asas berbuat baik (beneficience), dan asas keadilan (justice).

1
B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana prinsip etik keperawatan ?


2. Bagaimana pandangan dan peraturan/legalitas mengenai sirkumsisi pada
wanita ?
3. Bagaimana penyelesaian kasus yang terkait sirkumsisi pada wanita ?

C. TUJUAN PENULISAN

1. Menjelaskan mengenai etik keperawatan.


2. Memberikan informasi mengenai pandangan dan peraturan/legalitas mengenai
sirkumsisi pada wanita dari berbagai perspektif.
3. Memberikan gambaran penyelesaian kasus terkait sirkumsisi pada wanita.

2
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Pengertian Etika Keperawatan

Etik atau ethics berasal dari bahasa Yunani, yaitu etos yang artinya adat
kebiasaan, perilaku, atau karakter. Sedangkan menurut Webster, etik adalah suatu
ilmu yang mempelajari tentang apa yang baik dan buruk secara moral. Dari
pengertian diatas, etika adalah ilmu tentang kesusilaan yang menentukan
bagaimana sepatutnya manusia hidup di dalam masyarakat yang menyangkut
aturan-aturan atau prinsip-prinsip yang menentukan tingkah laku yang benar,
yaitu baik dan buruk dan kewajiban dan tanggung jawab.

Moral, istilah ini berasal dari bahasa Latin yang berarti adat dan kebiasaan.
Pengertian moral adalah perilaku yang diharapkan oleh masyarakat yang
merupakan standar perilaku dan nilai-nilai yang harus diperhatikan bila seseorang
menjadi anggota masyarakat di mana ia tinggal.

Etiket atau adat merupakan sesuatu yang dikenal, diketahui, diulang, serta
menjadi suatu kebiasaan di dalam suatu masyarakat, baik berupa kata-kata atau
suatu bentuk perbuatan yang nyata.

Ketiga isilah di atas – etika, moral, dan etiket – sulit untuk dibedakan, hanya dapat
dilihat bahwa etika lebih menitik-beratkan pada aturan-aturan, prinsip-prinsip
yang melandasi perilaku yang mendasar dan mendekati aturan-aturan, hukum, dan
undang-undang yang membedakan benar atau salah secara moralitas.

Jadi, etika dalam keperawatan merupakan prinsip yang mengatur perilaku para
insan keperawatan agar senantiasa selalu dalam koridor aturan yang ada.

3
B. Tujuan Etika Keperawatan

Tujuan dari etika keperawatan yakni:

1. Mengidentifikasi, mengorganisasikan, memeriksa dan membenarkan tindakan-


tindakan kemanusiaan dengan menerapkan prinsip-prinsip tertentu.

2. Menegaskan tentang kewajiban-kewajiban yang diemban oleh perawat dan


mencari informasi mengenai dampak-dampak dari keputusan perawat.

C. Tipe Etik

1. Bioetik
Bioetika merupakan suatu filosofi yang mempelajari tentang kontroversi dalam
etik, menyangkut masalah biologi dan pengobatan. Lebih lanjut, bioetika
difokuskan pada pertanyaan etik yang muncul tentang hubungan antara ilmu
kehidupan, bioteknologi, pengobatan, politik, hukum, dan theology. Isu dalam
bioetik adalah: peningkatan mutu genetik, etika lingkungan, dan pemberian
pelayanan kesehatan.

2. Clinical ethics atau etik klinik

Etik klinik merupakan bagian dari bioetik yang lebih memperhatikan pada
masalah etik selama pemberian layanan pada klien. Contoh clinical ethics: adanya
persetujuan atau penolakan dan bagaimana seseorang sebaiknya merespon
permintaan medis yang kurang bermanfaat.

3. Nursing ethics atau etik perawatan

Bagian dari bioetik, yang merupakan studi formal tentang isu etik dan
dikembangkan dalam tindakan keperawatan serta dianalisis untuk mendapatkan
keputusan etik. Etika keperawatan dapat diartikan sebagai filsafat yang
mengarahkan tanggung jawab moral yang mendasari pelaksanaan praktek
keperawatan. Inti falsafah keperawatan adalah hak dan martabat manusia,

4
sedangkan fokus etika keperawatan adalah sifat manusia yang unik (k2-nurse,
2009).

D. Nilai dan Moral

Pengertian Nilai dalam praktek keperawatan

Nilai (value) adalah suatu keyakinan seseorang tentang penghargaan terhadap


suatu standar atau pegangan yang mengarah pada sikap/perilaku seseorang.
Sistem nilai dalam suatu organisasi adalah rentang nilai-nilai yang dianggap
penting dan sering diartikan sebagai perilaku personal. Valaues (nilai-nilai) yang
ideal atau idaman, konsep yang sangat berharga bagi seseorang yang dapat
memberikan arti dalam hidupnya. Values merupakan sesuatu yang berharga bagi
seseorang, dan dan bisa mempengaruhi persepsi, motivasi, pilihan dan
keputusannya.

Pengertian Moral dalam praktek keperawatan

Praktek Keperawatan menurut Henderson dalam bukunya tentang teori


keperawatan, yaitu segala sesuatu yang dilakukan perawat dalam mengatasi
masalah keperawatan dengan menggunakan metode ilmiah, bila membicarakan
praktek keperawatan tidak lepas dari fenomena keperawatan dan hubungan pasien
dan perawat.

Fenomena keperawatan merupakan penyimpang/tidak terpenuhinya kebutuhan


dasar manusia (bio-psiko-sosial-spiritual), mulai dari tingkat individu untuk
sampai pada tingkat masyarakat yang juga tercermin pada tingkat sistem organ
fungsional sampai subseluler (Henderson, 1978,lih, Ann Mariner, 2003).

E. Prinsip Dasar Etik

1. Asas Otonomi
Otonomi merupakan suatu bentuk kebenaran dalam bertindak, di mana seseorang
mengambil keputusan sesuai dengan rencana yang ditentukannya sendiri.
Walaupun demikian, kendati otonomi itu penting dan memegang peranan yang

5
menentukan dalam bioetik, kita tetap harus menghayati otonomi dalam konteks
komunitas dan tanggung jawab moral lain yang kita miliki.
2. Asas Tidak Merugikan (Nonmaleficence)
Asas ini merupakan cara teknis untuk menyatakan bahwa kita berkewajiban tidak
mencelakakan orang lain, salah satu yang paling tradisional dari etik kedokteran.
PRIMUM NON-NOCERE (yang utama adalah jangan merugikan), suatu prinsip
dasar tradisi hipokratik. Jika kita tidak dapat berbuat sesuatu terhadap seseorang,
maka setidaknya kita wajib untuk tidak merugikan orang.

3. Asas Berbuat Baik (Beneficience)


Asas ini merupakan segi positif dari prinsip “tidak merugikan”. Kewajiban untuk
berbuat baik menuntut bahwa kita harus membantu orang lain dalam memajukan
kepentingan mereka, jika kita dapat melakukannya tanpa risiko bagi diri kita
sendiri. Dengan demikian di sini diperlukan pertimbangan yang bijaksana
mengenai risiko dan manfaat.

4. Asas Keadilan (Justice)


Keadilan adalah pembagian manfaat dan beban menurut standar yang adil. Dalam
keadilan dapat dibedakan dua tipe dasar, keadilan komparatif dan keadilan
nonkomparatif. Pada keadilan komparatif, apa yang diterima oleh satu orang atau
kelompok ditentukan dengan membandingkannya dengan orang atau kelompok
lain yang berhak juga. Dalam rangka keadilan komparatif, apa yang diterima
seseorang ditentukan dengan mempertimbangkan situasi atau kebutuhannya dan
bagaimana hubungannya dengan sejenis atau terhadap orang lain sesama warga
masyarakat. Keadilan nonkomparatif menentukan pembagian berdasarkan standar
yang tidak bergantung pada tuntutan orang lain. Dalam rangka keadilan
nonkomparatif, alokasi, pembagian, atau perlakuan terhadap seseorang ditentukan
berdasarkan prinsip, bukan kebutuhan.

5. Persetujuan
Hal ini berhubungan dengan pengertian informed consent, persetujuan yang
diberikan berdasarkan informasi sebelumnya. Dengan “persetujuan yang

6
berdasarkan informasi yang telah diberikan sebelumnya” dilakukan tindakan
medis tertentu dan persetujuan diberikan dalam kaitannya dengan tindakan medis
tertentu, sebelum tindakan tertentu atau pengobatan itu diberikan. Dalam hal ini
terkandung empat unsur sebagai berikut
a.Kompetensi, menunjuk pada kemampuan seseorang dalam mengambil
keputusan.
b. Penyampaian informasi, tindakan atau perlakuan apa saja yang akan dilakukan
itu sebelumnya sudah harus dijelaskan kepada pasien.
c. Pengertian, pasien tidak cukup memperoleh informasi sehingga pasien harus
mengerti segala sesuatu tentang informasi tersebut dari segi positif ataupun
negatif.
d. Didasarkan pada sifat sukarela, agar yang bersangkutan sanggup untuk
menentukan pilihannya terhadap beberapa alternatif kemungkinan tanpa adanya
paksaan dari siapapun.

6. Asas Kebenaran (Veracity)


Prinsip veracity berarti penuh dengan kebenaran. Nilai ini diperlukan oleh
pemberi pelayanan kesehatan untuk menyampaikan kebenaran pada setiap klien
dan untuk meyakinkan bahwa klien sangat mengerti. Prinsip veracity
berhubungan dengan kemampuan seseorang untuk mengatakan kebenaran.
Informasi harus ada agar menjadi akurat, komprehensif, dan objektif untuk
memfasilitasi pemahaman dan penerimaan materi yang ada, dan mengatakan yang
sebenarnya kepada klien tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan
keadaan dirinya selama menjalani perawatan.

7. Asas Kesetiaan (Fidelitiy)


Prinsip fidelity dibutuhkan individu untuk menghargai janji dan komitmennya
terhadap orang lain. Perawat setia pada komitmennya dan menepati janji serta
menyimpan rahasia klien. Ketaatan, kesetiaan, adalah kewajiban seseorang
perawat untuk mempertahankan komitmen yang dibuatnya kepada pasien.

7
F. Tanggung Jawab Perawat Terhadap Klien

Dalam memberikan pelayanan keperawatan kepada individu, keluarga, atau


komunitas, perawat sangat memerlukan etika keperawatan yang merupakan
filsafat yang mengarahkan tanggung jawab moral yang mendasar terhadap
pelaksanaan praktik keperawatan, dimana inti dari filsafah tersebut adalah hak dan
martabat manusia. Karena itu, fokus dari etika keperawatan ditujukan terhadap
sifat manusia yang unik. Untuk memelihara dan meningkatkan kepercayaan
masyarakat, diperlukan peraturan tentang hubungan antara perawat dengan
masyarakat, yaitu sebagai berikut.
1. Perawat dalam melaksanakan pengabdiannya, senantiasa berpedoman pada
tanggung jawab yang bersumber dari adanya kebutuhan terhadap keperawatan
individu, keluarga, dan masyarakat.
2. Perawat dalam melaksanakan pengabdian di bidang keperawatan, memelihara
suasana lingkungan yang menghormati nilai-nilai budaya, adat istiadat dan
kelangsungan hidup beragama dari individu, keluarga dan masyarakat.
3. Perawat dalam melaksanakan kewajibannya terhadap individu, keluarga, dan
masayarakat, senantiasa dilandasi rasa tulus ikhlas sesuai dengan martabat dan
tradisi keperawatan.
4. Perawat menjalin hubungan kerja sama dengan individu, keluarga, dan
masyarakat, khususnya dalam mengambil prakarsa dan mengadakan upaya
kesehatan, serta upaya kesejahteraan pada umumnya sebagai bagian dari tugas dan
kewajiban bagi kepentingan masyarakat.

G. Hubungan Perawat Dengan Klien

Berdasarkan kode etik keperawatan, hubungan perawat dengan klien adalah


sebagai berikut :

1. Perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan menghargai harkat


martabat manusia, keunikan klien, dan tidak terpengaruh oleh pertimbangan

8
kebangsaan, kesukuan, warna kulit, umur, jenis kelamin, aliran politik, dan
agama yang dianut serta kedudukan sosial.
2. Perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan senantiasa memelihara
suasana lingkungan yang menghormati nilai-nilai budaya, adat istiadat dan
kelangsungan hidup beragama dari klien.
3. Tanggung jawab utama perawat adalah kepada mereka yang membutuhkan
asuhan keperawatan.
4. Perawat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui sehubungan dengan
tugas yang dipercayakan kepadanya kecuali jika diperlukan oleh yang
berwenang sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

9
BAB III

PEMBAHASAN KASUS

A. Kasus

Ny. Mita, seorang pendatang yang baru tiba, baru-baru ini melahirkan seorang
bayi perempuan dan datang ke Klinik Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak. Selama
kunjungan kedua ke klinik, Ny. Mita mengaku pada perawat bahwa ia sedang
ditekan oleh masyarakat setempat agar anaknya ‘disunat’. Dia menjelaskan
bahwa jika bayi perempuannya tidak disunat maka akan dibenci, diejek, dan
akhirnya dikucilkan oleh masyarakat setempat. Ny. Mita kemudian meminta
perawat jika ia bisa merekomendasikan seorang ahli bedah lokal yang bisa
melakukan prosedur aman untuk sunat pada anaknya, jika tidak ada ahli bedah
lokal untuk melakukan operasi, putrinya akan ditinggalkan kepada belas maka
terpaksa dia akan melakukan sunat pada anaknya pada dukun bayi. Ny. Mita
seorang wanita berpendidikan, untuk menghindari stigma buruk yang akan
menimpa putrinya akan melaksanakan sunat pada putrinya walau putrinya baru
berusia tiga minggu. Bagaimana seharusnya respon perawat untuk situasi ini ?

B. Pertanyaan

Dalam kasus diatas timbul pertanyaan sebagai berikut :

1. Apa pentingnya nilai –nilai yang terlibat ?


2. Apa arti penting dari konflik kepada pihak-pihak yang terlibat ?

10
C. Penjelasan

1. Pengertian Sirkumsisi (Sunat)

Sunat atau khitan atau sirkumsisi (Inggris : Circumcision) adalah tindakan


memotong atau menghilangkan sebagian atau seluruh kulit penutup depan dari
penis. Frenulum dari penis dapat juga dipotong secara bersamaan dalam prosedur
yang dinamakan frenektomi. Kata sirkumsisi berasal dari bahasa latin circum
(memutar) dan caedere (memotong).

Sunat telah dilakukan sejak zaman prasejarah walaupun pada zaman ini tidak
diketahui alasan yang jelas mengenai tindakan ini, namun teori-teori
memperkirakan bahwa tindakan ini merupakan bagian dari ritual pengorbanan
atau persembahan, tanda penyerahan pada Yang Maha Kuasa, langkah menuju
kedewasaan atau upaya untuk mengubah estetika atau seksualitas. Sunat pada
laki-laki diwajibkan pada agama Islam. Praktik ini juga terdapat di kalangan
mayoritas penduduk Korea Selatan, Amerika, dan Filipina.

Sunat pada bayi telah didiskusikan pada beberapa dekade terakhir. American
Medical Association menyatakan bahwa perhimpunan kesehatan di amerika
Serikat, Australia, Kanada, dan negara-negara Eropa sangat tidak
merekomendasikan sunat pada bayi.

Menurut litertur AMA tahun 1999, orang tua di AS memilih untuk melakukan
sunat pada anaknya terutama disebabkan alasan sosial atau budaya dibandingkan
karena alasan kesehatan. Akan tetapi survei tahun 2001 menunjukkan bahwa
23,5% orang tua melakukannya dengan alasan kesehatan.

Para pendukung integritas genital mengecam semua tindakan sunat pada bayi
karena menurut mereka itu adalah bentuk mutilasi genital pria yang dapat
disamakan dengan sunat pada wanita yang dilarang di AS.

2. Pandangan WHO tentang Sunat pada Wanita

Sunat atau khitan atau sirkumsisi adalah suatu tindakan yang sudah sangat umum
dikenal dan diakui oleh agama-agama di dunia. Khitan dapat dilakukan pada pria

11
dan wanita. Namun khitan wanita atau dalam WHO dikenal dengan Female
Genital Mutilation merupakan tindakan yang banyak menuai kontroversi. Berikut
adalah pernyataan dari WHO :

“Sunat pada wanita secara internasional dikenal sebagai pelanggaran hak asasi
manusia terhadap anak-anak wanita dan wanita dewasa. Sejak sunat ini hampir
selalu dilakukan walaupun sedikit, hal ini juga merupakan pelanggaran terhadap
hak asasi anak.”

Jenis-jenis sunat wanita yaitu :

a. Klitoridektomi

Menghilangkan klitoris (bagian genital wanita yang kecil, sensitif, dan hanya pada
bagian erektil) sebagian atau total dan atau dalam kasus jarang hanya pada
preputium (lipatan kulit di sekitar klitoris).

b. Eksisi (Pemotongan)

Menghilangkan sebagian atau total klitoris dan labia minora, dengan atau tanpa
eksisi labia minora (labia adalah bibir yang mengelilingi vagina).

c. Infibulasi

Menyempitkan pintu vagina melalui kreasi yang menutupinya, dan lain-lain.

Sunat wanita menuai berbagai konsekuensi. Dari sisi kesehatan, sunat wanita
tidak memiliki keuntungan. Tindakan yang dilakukan hanya merusak genital
wanita yang sudah dalam keadaan normal dan natural. Bahkan hanya
menimbulkan efek samping dan risiko seperti dibawah ini.

1) Risiko kesehatan yang segera  Nyeri berat, syok, pendarahan berlebih, sepsis,
infeksi, kematian.

2) Risiko kesehatan jangka panjang  Perlu pembedahan, masalah perkemihan


dan menstruasi, nyeri saat hubungan seksual dan miskinnya kualitas seksual, nyeri
kronik, infeksi (misal : sistitis, abses, dan ulkus genital, infeksi pelvis kronis,
infeksi traktus urinarius), keloid, infeksi saluran reproduksi dll.

12
3) Komplikasi obstetrik : Seksio caesaria, pendarahan post partum, resustasi
neonatus dll.

Selain konsekuensi kesehatan, sunat wanita juga menuai konsekuensi sosial.


Beberapa penelitian mengidentifikasik konsekuensi yang negatif untuk keluarga,
anak, dan wanita dewasa dari tindakan ini. Praktik ini dilakukan karena adanya
norma sosial yang kuat ditengah masyarakat. Jika tindakan ini tidak dilakukan
oleh seseorang atau anggota keluarga, maka akan terjadi diskriminasi, seperti
tidak dianggap sebagai anggota masyarakat tertentu. Sampai-sampai mereka
menyadari bahwa risiko sosial lebih besar daripada risiko kesehatan fisik dan
mental yang dialami oleh wanita.

3. Legalitas Sunat Wanita di Indonesia

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1636 tahun 2010 tentang


sunat perempuan maka sunat perempuan hanya dapat dilakukan oleh Tenaga
Kesehatan tertentu, yaitu dokter, bidan, dan perawat yang telah memilki izin
praktik. Tenaga kesehatan ini pun diutamakan perempuan. Yang dimaksud sunat
perempuan dalam hal ini adalah tindakan menggores kulit yang menutupi bagian
depan klitoris, tanpa melukai klitoris. Persyaratan dan prosedur tindakan juga
telah diatur dalam Peraturan ini. Namun, dalam Permenkes No.6/2014 tersebut
ditetapkan bahwa Permenkes No. 1636/MENKES/PER/XII/2010 tentang Sunat
Perempuan, kini telah dicabut dan tidak berlaku lagi semenjak ditetapkannya
Permenkes No.6/2014. Dengan pertimbangan bahwa sunat perempuan hingga saat
ini bukan merupakan tindakan kedokteran, karena pelaksanaannya tidak
berdasarkan indikasi medis dan belum terbukti bermanfaat bagi kesehatan.

Terlepas dari kontroversi yang ada, dengan diberlakukannya Permenkes terbaru,


maka dokter dan tenaga medis tidak lagi memiliki standar operating procedur
untuk melakukan khitan perempuan, meskipun atas permintaan dari orangtua.
Lepas cabut Permenkes yang mengatur sunat perempuan ini sesungguhnya sudah
lama terjadi sejak tahun 2007. Pada awalnya pemerintah telah menetapkan
larangan sunat perempuan. Namun MUI bersama sejumlah organisasi
kemasyarakatan Islam tak setuju apabila sunat perempuan dilarang. Apabila tidak

13
diatur oleh negara, dikhawatirkan sunat perempuan yang sudah menjadi tradisi
sebagian masyarakat secara turun temurun itu justru dapat membahayakan
kesehatan perempuan. MUI justru meminta seluruh RS hingga Puskesmas untuk
melayani sunat perempuan untuk melindungi perempuan dari praktek sunat ilegal
tanpa dasar ilmu medis.

Menurut MUI, khitan merupakan bagian dari ajaran Islam. MUI sendiri telah
mengeluarkan Fatwa Nomor 9.A tahun 2008 yang intinya khitan perempuan
adalah Makrumah, yaitu salah satu bentuk ibadah yang dianjurkan. Seperti
mencukur rambut disekitar kemaluan, memotong kumis, mencukur bulu ketiak,
dan menggunting kuku, khitan adalah fitrah manusia. MUI menjelaskan, bahwa
Islam telah mengatur tata cara khitan perempuan. Khitan perempuan dalam Islam
cukup dengan menghilangkan selaput yang menutupi klitoris, bukan dengan
memotong atau melukainya, berbeda dengan definisi WHO mengenai female
genital mutilation ataupun praktik sunat perempuan di Afrika.

D. Pembahasan Terkait Pertanyaan Kasus

1. Apa pentingnya nilai-nilai yang terlibat ?

Nilai-nilai prinsip etik yang sangat penting bagi seorang perawat untuk
memberikan respon terhadap Ny. Mita menurut penyusun adalah
a. Kebenaran (Veracity)  Perawat harus memberikan respon atau
tanggapan sesuai kebenaran yang ada kepada Ny.Mita tanpa harus
berbohong atau dibuat-buat.
b. Legalitas  Legalitas praktik sunat sangat penting pada kasus ini.
Perawat harus memberitahu bagaimana hukum legalitasnya, yang tertuang
didalam Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1636 tahun 2010 yang
telah dihapus dan dengan demikian sebenarnya dokter dan tenaga medis
tidak lagi memiliki standar operating procedur untuk melakukan khitan
perempuan, meskipun atas permintaan dari orangtua.

14
c. Beneficience  Hal ini berkaitan dengan upaya seorang perawat
memberikan respon terhadap Ny. Mita untuk memberikan pencegahan dari
kesalahan sunat pada seorang dukun yang mungkin akan mengakibatkan
kerugian fisik bagi anaknya tersebut bila sampai sunat pada seorang
dukun.
d. Aspek Budaya  Pada kasus ini, Perawat harus memperhatikan budaya
dari Ny. Mita, perawat tidak boleh berkata secara gamblang bahwa
tindakan sunat pada wanita itu salah, tidak sesuai medis dan
mendiskriminasi suatu budaya tersebut. Akan tetapi, perawat dapat
menggunakan prinsip Transcultural Nursing, dimana perawat
menggabungkan budaya perawat ataupun petugas kesehatan dengan
budaya yang ada pada lingkungan Ny. Mita.
e. Otonomi  Setelah perawat memberikan respon sesuai dengan prinsip
etik yang ada. Maka, perawat harus mengembalikan keputusan kepada Ny.
Mita. Karena pada prinsipnya, orang dewasa dapat menentukan nasib
kesehatannya sendiri dan perawat harus menghargai keputusan Ny. Mita
dengan asas Human Right.

2. Apa arti penting dari konflik kepada pihak-pihak yang terlibat ?

Menurut penyusun, Pada kasus Ny. Mita, sangatlah berkaitan dengan kebudayaan,
prinsip kesehatan, prinsip agama, dan juga legalitas berkaitan dengan praktik
sunat pada perempuan yang menimbulkan dilema etik terhadap seorang perawat
atau petugas kesehatan lainnya. Di setiap perspektif memiliki prinsip dan
pandangannya masing-masing. Arti penting perawat dari konflik pada kasus
adalah bagaimana perawat harus memiliki banyak pengetahuan dan relasi untuk
memberikan informasi yang benar dalam praktik sunat ini terutama dari segi
kesehatan dengan tidak melakukan judgement terhadap suatu budaya yang berada
dalam masyarakat dan juga menghargai kebudayaan Ny. Mita dan lingkungannya,
serta merespon Ny. Mita tersebut dengan komunikasi terapeutik dan standar etik
yang sesuai kode etik keperawatan.

Sebagai seorang wanita yang berpendidikan, Ny. Mita akan mampu menerima
penjelasan atau respon yang diberikan oleh perawat dan dapat memilih keputusan

15
terbaik untuk putrinya tersebut, agar tidak dikucilkan atau didiskriminasi dan
tidak juga mendapat ancaman fisik.

E. Penyelesaian Kasus oleh Kelompok

Menurut kelompok/penyusun, respon yang harus dilakukan perawat dalam kasus


ini tentunya berkaitan dengan peran perawat sebagai edukator dan konselor, serta
advokat klien. Perawat tentunya memberikan pandangan kepada Ny. Mita
menggunakan komunikasi terapeutik, prinsip etik dan tentunya konsep
Transcultural Nursing karena berkaitan dengan budaya Ny. Mita.

Yang harus dilakukan perawat :

1. Edukator dan konselor  Memberikan informasi secara benar mengenai sunat


pada wanita dari berbagai perspektif.

Contoh komunikasi terapeutik : “Mengenai keluhan ibu, apakah ibu sudah lama
ditekan seperti itu ? dan seberapa sering ibu ditekan seperti itu? Apa di
lingkungan ibu sebelum pindah itu ada tradisi menyunat bayi perempuan juga bu
?” (Pertanyaan seperti ini menunjukkan sikap perawat yang peduli terhadap
kliennya/ Ny. Mita). Kemudian melanjutkan penjelasan. “Baik ibu, saya akan
menjelaskan terlebih dahulu masalah sunat pada bayi perempuan. Jadi, memang
tindakan praktik sunat banyak menuai kontrovesi bu, yang saya tahu memang
beberapa perspektif memiliki pandangan masing-masing. Menurut WHO (World
Health Organization menyatakan bahwa tidak ada keuntungannya sunat pada
wanita dari segi medis justru menyebabkan faktor risiko seperti pendarahan,
infeksi dan miskinnya rangsangan seksual saat dewasa, karena WHO beranggapan
bahwa sunat adalah Female genital mutilation yang berarti ada pemotongan pada
daerah genitalia bayi yang dinamakan klitoris dan dianggap melanggar hak asasi
manusia. Namun, di Indonesia sendiri memiliki peraturan, yakni Peraturan
Menteri Kesehatan RI Nomor 1636 tahun 2010 tentang sunat perempuan maka
sunat perempuan hanya dapat dilakukan oleh Tenaga Kesehatan tertentu, yaitu
dokter, bidan, dan perawat yang telah memilki izin praktik. Dan yang dimaksud
sunat disini hanyalah menggores kulit yang menutupi bagian depan klitoris,
tanpa melukai klitoris. Persyaratan dan prosedur tindakan juga telah diatur

16
dalam Peraturan ini. Namun, dalam Permenkes No.6/2014 tersebut ditetapkan
bahwa Permenkes No. 1636/MENKES/PER/XII/2010 tentang Sunat Perempuan,
kini telah dicabut dan tidak berlaku lagi semenjak ditetapkannya Permenkes
No.6/2014. Dengan pertimbangan bahwa sunat perempuan hingga saat ini bukan
merupakan tindakan kedokteran, karena pelaksanaannya tidak berdasarkan
indikasi medis dan belum terbukti bermanfaat bagi kesehatan. Jadi setelah
ditetapkan Permenkes terbaru, maka dokter dan tenaga medis tidak lagi memiliki
standar operating procedur untuk melakukan khitan perempuan, meskipun atas
permintaan dari orangtua bu, seperti itu.”

(Penjelasan tersebut menunjukkan sikap perawat memberikan informasi secara


benar dan pada kenyataan yang ada pada saat ini).

2. Advokat klien Sebagai advokat klien, perawat berfungsi sebagai


penghubung antara Ny. Mita dengan tim kesehatan lain dalam upaya pemenuhan
kebutuhannya, membela kepentingannya dan Ny. Mita dapat memahami semua
informasi dan upaya kesehatan yang diberikan oleh perawat dengan pendeketan
tradisional maupun profesional. Peran advokasi sekaligus mengharuskan perawat
bertindak sebagai narasumber dan fasilitator dalam tahap pengambilan keputusan
terhadap upaya keselamatan yang harus dijalani oleh Ny. Mita dan anaknya.
Dalam menjalankan peran sebagai advokat (pembela klien) perawat harus dapat
melindungi dan memfasilitasi Ny. Mita dan anaknya dalam pelayanan
keperawatan.

Contoh komunikasi terapeutik : “Seperti yang sudah saya jelaskan tadi bu, bahwa
saat ini sebenarnya kami (tim kesehatan) sudah tidak bisa melakukan sunat wanita
karena sudah tidak memiliki standart operating procedure lagi, walaupun sunat
wanita di Indonesia ini bukan seperti sunat di negara Afrika yang harus memotong
klitoris. Akan tetapi saya pun tidak menganjurkan ibu untuk datang ke dukun
untuk melaksanakan sunat, mengapa? Karena kita tidak tahu bagaimana alat yang
digunakan untuk melakukan tindakan tersebut apakah steril atau hanya bersih, dan
mungkin dukun pun tidak tahu standar operasi prosedur dalam proses
pembedahan. Hal itu dapat menimbulkan faktor risiko yang paling sering adalah
infeksi, pendarahan terus-menerus dan mungkin ada masalah-masalah lain saat

17
setelah anak ibu dewasa kelak, sehingga hanya akan merugikan anak ibu. Maka
seperti ini bu, setiap rumah sakit memiliki Protap (Prosedur tahapan) pada sisi
atau kasus khusus yang berbeda-beda. Saya akan mencoba menghubungi berbagai
rumah sakit yang mungkin ada yang memiliki protap untuk melaksanakan bedah
sunat wanita pada anak ibu. Untuk selanjutnya ibu dan anak ibu akan kami rujuk
ke rumah sakit tersebut. Mungkin ibu bisa menghubungi saya kembali atau datang
kesini, tiga hari lagi ya bu.”

3. Pemberian Otonomi  Hal ini perawat berikan karena setiap orang memiliki
hak untuk menentukan nasibnya sendiri. Disini penyusun bagi dua kondisi, yakni

Kondisi pertama adalah kondisi perawat menemukan rumah sakit yang


menyediakan layanan bedah sunat wanita.

Komunikasi terapeutik : “Alhamdulillah bu, saya menemukan RS. X yang bisa


membantu ibu untuk menyunat bayi ibu, saya pun sudah menghubungi dokter
bedahnya. Baik selanjutnya saya akan merujuk ibu pada RS tersebut jika ibu
bersedia.”

Kondisi kedua adalah kondisi perawat tidak menemukan rumah sakit yang
menyediakan layanan bedah sunat wanita.

Komunikasi terapeutik : “Maaf ibu, kami sudah menghubungi seluruh RS yang


memungkinkan untuk kami rujuk tetapi di RS tersebut tidak menyediakan layanan
bedah sunat wanita. Mungkin ada beberapa ahli bedah yang mau membantu ibu,
namun harus menyetujui dan menandatangani suatu formulir persetujuan
melakukan sunat pada anak ibu yang jika terjadi apa-apa bukan salah ahli bedah
tersebut, tetapi tentunya ahli bedah tersebut akan melakukannya dengan penuh
tanggung jawab dan sesuai prosedur bedah yang ada. Jika ibu bersedia, saya
akan menghubungi ahli bedah tersebut.”

Kata yang ditebalkan menunjukkan bahwa perawat telah memberikan otonomi


untuk pengambilan keputusan oleh Ny. Mita.

18
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pada saat ini dengan kemajuan teknologi bidang medis, hampir setiap hari
perhatian media massa difokuskan pada masalah ilmu pengetahuan medis berikut
aplikasinya atau perkembangan baru (Transplantasi organ tubuh, pembuahan in
vitro, jantung buatan, sirkumsisi pada wanita dan sebagainya) yang mau tidak
mau dapat menimbulkan masalah baru mungkin sebanyak seperti yang telah
diselesaikannya terutama dari segi etik.

Perawat dalam melaksanakan tugasnya harus memegang panduan hukum yakni


kode etik keperawatan. Dalam menghadapi kondisi-kondisi dilema etik seperti ini
perawat harus benar-benar mengetahui aspek legal suatu tindakan, peraturan yang
mengaturnya, tidak boleh mendiskriminasi setiap budaya yang masih dianut
masyarakat mengenai kesehatan, dan tentunya berikan yang terbaik untuk klien
dengan tidak melanggar kode etik keperawatan yan ada.

19
DAFTAR PUSTAKA

Amir, Amri dan Hanafiah M Jusuf. 1999. Etika Kedokteran dan Hukum
Kesehatan. Jakarta: EGC

Ismani, Nila. 2001. Etika Keperawatan. Jakarta: Widya Medika

Soeparto, Pitono dkk. 2006. Etik dan Hukum di Bidang Kesehatan edisi kedua.
Surabaya: Airlangga University Pers

20

Anda mungkin juga menyukai