Anda di halaman 1dari 64

EVALUASI KERUSAKAN FORMASI.

4.1. Produktivitas Formasi


4.1.1. Pengertian Produktivitas Formasi
Produktivitas formasi adalah kemampuan reservoir untuk mengalirkan fluida dari formasi ke
sumur-sumur produksi
Kemampuan reservoir untuk mengangkat fluida ke permukaan tidak berlangsung terus menerus
sampai seluruh fluida yang terdapat direservoir tersebut terangkat habis, akan tetapi menurun
sejalan dengan tekanan reservoir. Produktivitas formasi dapat dinilai berdasarkan perbandingan
antara laju produksi terhadap perbedaan tekanan antara tekanan static formasi dengan tekanan
alir dasar sumur. Dapat pula ditentukan secara grafis yang biasanya disebut Inflow Performance
Relationship (kurva IPR)
Faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas formasi, antara lain tekanan reservoir (Ps dan
Pwf), kerusakan formasi, sifat fisik batuan, sifat fisik fluida, dimensi dari sistem yaitu drainage
radius (re) dan ketebaln formasi.

4.1.2. Penentuan Produktivity Index (PI).


Produktivity indeks (PI) adalah indeks yang digunakan untuk menyatakan kemampuan dari suatu
sumur untuk berproduksi, pada suatu kondisi tertentu secara kwalitatif.. Secara definisi PI adalah
perbandingan antara laju produksi (q) suatu sumur pada suatu hatga tekanan alir dasar sumur
tertentu (Pwf) dengan perbedaan tekanan statik formasi (Ps). Secara matematis dapat dituliskan
dalam persamaan :
……………………..……...….…………….(4-1)
Keterangan :
q = Laju produksi, bbl/day
ps = Tekanan static reservoir, psi
pwf = Tekanan alir dasar sumur, psi
PI = Produktivity index, bbl/day.psi
Faktor-faktor yang mempengaruhi harga PI dapat ditentukan dengan penurunan persamaan PI
dari persamaan Darcy, untuk aliran radial dapat berbentuk:
………………………....…….……..…..…...(4-2)
Jika yang dialirkan minyak, maka persamaan menjadi :
........................................................................................(4-3)
Bila yang dialirkan terdiri dari minyak dan air maka pesamaan menjadi
............................................................(4-4)
Keterangan :
K = Permeabilitas, md
Ko = Permeabilitas minyak, md
Kw = Permeabilitas air, md
μo = Viscositas minyak, cp
μw = Viscositas air, cp
Bo = Faktor volume vormasi minyak, bbl/STB
Bw = faktor folume formasi air,bbl/STB
re = Jari-jari pengurasan, ft
rw = Jari-jari sumur, ft
h = Ketebalan formasi, ft
Bentuk lain yang sering digunakan untuk mengukur produktivitas sumur adalah Specific
Produktivity Indeks (SPI) yaitu perbandingan antara PI dengan ketebalan. Bisa dirumuskan
sebagai berikut
....................................................................................................(4-5)
Keterangan :
h = ketebalan, ft
PI = Produktivitas formasi
SPI ini biasanya digunakan untuk membandingkan produktivitas formasi pada sumur-sumur
yang berbeda tetapi masih dalam satu lapangan.
Untuk perencanaan suatu sumur atau untuk melihat ulah laku suatu sumur untuk berproduksi,
maka hubungan antara kapasitas produksi minyak dengan tekanan alir dasar sumur biasanya
digambarkan secara grafis dan sering disebut sebagai kurva Inflow Performance Relationship
(IPR). Untuk aliran fluida, jika tekanan alira lebih besar dari tekanan gelembung maka harga PI
akan tetap, kurva IPR dapat dibuat dengan persamaan :
..............................................................................................(4-6)
Berdasarkan dari persamaan diatas maka secara grafis dapat dapat diperoleh garis lurus seperti
yang terlihat pada Gambar 4.1, maka qo = PI x Ps dan harga laju produksi ini merupakan harga
yang maksimum yang disebut sebagai potensial sumur an merupakan laju produksi maksimum
yang diperbolehkan dari suatu sumur. Harga PI merupakan kemiringan dari garis IPR.

Gambar 4.1
Grafik IPR yang Linear

Bentuk dari garis IPR akan linear jika fluida yang mengalir satu fasa, tapi jika fluida yang
mengalir terdiri dari dua fasa (fasa minyak dan fasa air) maka bentuk grafik IPR akan
melengkung, dan harga PI tidak konstan lagi. Karena kemiringan grafik IPR akan berubah
secara kontinyu untuk setiap harga Pwf , maka dalam hal ini Vogel memberikan pemecahannya
yaitu dengan mengeplot IPR antara Pwf/Ps vs q/qmax. Persaman yang diberikan oleh Vogel
adalah sebagai berikut :
...............................................................(4-7)
Keterangan :
qo = Laju produksi minyak, bbl
qo max = Laju produksi maksimum, bbl
Pwf = Tekanan alir dasr sumur, psi
Pr = Tekanan rata-rata reservoir,psi
Gambar 4.2
Grafik IPR untuk Aliran Dua Fasa

Faktor yang mempengaruhi PI :


1. Turbulensi yang terjadi pada laju aliran tinggi
Ini tejadi karena aliran fluida terlalu cepat sehingga friksi antar fluida menjadi naik dan pressure
loss bertambah besar atau energi yang dibutuhkan lebih besar dari laju alir fluida. Gejala ini
menyebabkan penurunan kapasitas aliran, sehingga harga PI turun, karena
2. Penyimpangan Harga Permeabilitas
Dari persamaan 4.1 dapat dilihat jika harga k semakin kecil, maka harga PI akan kecil atau turun.
Dalam hal ini faktor-faktor penyebab penyimpangan permeabilitas juga perlu diketahui, karena
secara tidak langsung akan mempengaruhi harga PI. Faktor-faktor tersebut adalah:
• Pengaruh energi pengaliran fluida, yaitu semakin besar tekanan pengaliran yang dialami maka
harga k semakin beasar dan jika tekanan pengaliran kecil maka harga k juga kecil.
• Efek cairan reaktif, yaitu pada formasi yang mengandung unsur-unsur yang menyebabkan
terjadinya reaksi didalam batuan, yaitu seperti shaly sand. Pada batuan ini jika terkena fresh
water secara tiba-tiba maka batuan tersebut akan cenderung mengembang , sehingga akan
mempengaruhi permeabilitas batuan menjadi kecil.
• Pengaruh overburden, yaitu besarnya k akan dipengaruhi oleh porositas batuan, dan porositas
sendiri akan dipengaruhi oleh overburden pressure yang identik dengan kedalaman. Sehingga
semakin besar tekanan overburden maka formasi tersebut makin dalam dan mempunyai
porositas yang kecil. Dengan demikian, semakin besar tekanan overburden maka permeabilitas
akan kecil dan permeabilitas berkurang karena adanya kompresibilitas batuan yang besar.
• Pengaruh satuarasi, yaitu suatu fluida akan mengalir bila fluida tersebut telah memiliki
kemampuan pengaliran atau permeabilitas yang merupakan fungsi saturasi fluida. Bila suatu
sumur telah lama diproduksikan, maka saturasi fluidanya akan mengalami penurunan, hal ini
akan menyebabkan permeabilitasnya juga turun.
• Sifat kebasahan batuan, yaitu sifat kebasahan akan menentukan akan mempengaruhi
permeabilitasnya. Untuk batuan yang basah air, kenaikan permeabilitas minyak akan lebih cepat
dengan bertambah kecilnya saturasi air dibandingkan dengan batuan yang sama yang basah
minyak.
• Turunnya permeabilitas akibat timbulnya gas bebas dalam sumur, yaitu untuk tekanan reservoir
yang lebih kecil dari tekanan gelembung, maka tidak mengakibatkan perubahan terhadap
permeabilitas karena fluida yang mengalir masih terdiri satu fasa dan jika tekanan reservoirnya
lebih kecil dari tekanan gelembung maka akan mengakibatkan permeabilitasnya berkurang
karena adanya saturasi gas yang menghambat aliran minyak ke permukaan dan fasa gas
tersebut akan membentuk gelembung yang nantinya akan mengisi ruang pori-pori batuan yang
akan menghalangi.
3. Pengaruh Viskositas
Jika viskositas besar maka akan mempengaruhi penurunan harga PI dan jika viskositas kecil
maka harga PI akn besar.
4.1.3. Penentuan Tekanan Reservoir
Tekanan reservoir adalah tekanan yang diberikan oleh zat yang mengisi rongga reservoir baik
berupa gas, minyak, atau air.Tekanan reservoir ini hanya diderita atau diberikan oleh fluida yang
ada dan bergerak dalam pori-pori batuan. Dengan adanya tekanan reservoir ini akan
menyebabkan terjadinya aliran fluida didalam formasi kedalam lubang sumur yang mempunyai
tekanan relatif rendah dan besarnya tekanan reservoir ini akan berkurang jika adanya kegiatan
produksi.
Tekanan yang bekerja didalam reservoir pada dasarnya disebabkan oleh tiga hal, yaitu :
1. Tekanan Hidrostatis
Adalah tekanan yang berasal dari fluida yang berada didalam pori-pori batuan formasi. Faktor
yang mempengaruhi tekanan hidrostatik adalah jenis dari fluida itu sendiri dan kondisi geologi.
Persamaan yang digunakan untuk mencari tekanan ini adalah :
................................................................................................(4-8)
Keterangan :
Pf = tekanan hidrostatis, psi
Gr = gradien tekanan formasi, psi/ft
D = kedalaman, ft
Gradien tekanan fluida disebut normal bila berharga antara 0.433 psi/ft sampai 0.465 psi/ft.
Tetapi jika harga Gf lebih besar dari 0.465 disebut tekanan abnormal, sedangkan bila Gf lebih
kecil dai0.433 psi/ft disebut tekanan subnormal.

2. Tekanan Kapiler
Tekanan kapiler disebabkan oleh adanya gaya-gaya yang dipengaruhi tegangan antar
permukaan antar fluida yang bersinggungan, besar volume dan bentuk pori serta sifat
kebasahan batuan reservoi.Tekanan kapiler dapat dihitung dengan persamaan:
.....................................................................................(4-9)
Keterangan :
Pc = tekanan kapiler, psi
h = ketinggian dari bidang diantara minyak dan air dimana tekanan kapiler sama dengan nol
pada WOC, ft
ρo = densitas minyak, lb/cuft
ρw = densitas air, lb/cuft

3. Tekanan Overburden
Tekanan overburden adalah tekanan yang diderita oleh formasi akibat berat batuan yang berada
diatas formasi trsebut. Secara matematis tekanan overburden (Po) dapat ditulis sebagai berikut :

..........................................................................(4-10)
Keterangan :
D = kedalaman vertikal lapisan, ft
= porositas batuan formasi
Gmb = berat matrik batuan formasi
Gft = berat fluida yang terkandung dalam batuan formasi
Ρft = densitas fluida ,lb/cuft
Ρma = densitas matrik batuan, lb/cuft
Besarnya pertambahan tekanan overburden sebanding dengan bertambahnya kedalaman.

4.1.4. Flow Efficiency


Flow efficiency adalah perbandingan antara selisih tekanan statik reservoir dengan tekanan alir
reservoir jika disekitar lubang tidak terjadi perubahan permeabilitas (ideal drawdown) terhadap
besarpenurunan sebenarnya (actual drawdown). Secara matematis dinyatakan sebagai berikut :
…………………..………………..…………….............. (4-11)
Dimana :
………………..……..…………………....…………(4-12)
…………........………………….…..….…......(4-13)
Sehingga :
…………..…………….....................................(4-14)
dimana ΔPskin = kehilangan tekanan pada zone damage
Dengan mengetahui harga FE maka dapat diperkirakan kondisi formasi di sekitar lubang bor
yaitu dengan adanya kerusakan formasi, maka besarnya FE akan berkurang. Harga laju
produksi maksimum yang dihasilkan adalah harga laju produksi maksimum pada harga skin
sama dengan nol, bukan laju produksi pada harga FE yang dimaksud. Untuk menghitung harga
laju produksi maksimum pada harga FE yang dimaksud, maka harga tekanan alir dasar sumur
besarnya harus sama dengan nol sehingga diubah menjadi tekanan alir dasar sumur pada
kondisi ideal, kemudian dihitung laju produksinya.

4.1.5. Penentuan Perubahan Skin.


Adalah suatu besaran yang menunjukkan ada tidaknya kerusakan pada formasi sebagai akibat
dari operasi pemboran.Biasanya ini diakibatkan oleh adnya filtrat lumpur pemboran yang masuk
kedalam formasi atau adanya endapan lumpur (mud cake) disekeliling lubang bor pada formasi
produktif tersebut. Secara matematis besarnya perubahan skin dapat dinyatakan dengan
persamaan berikut ini :
...............(4-15)
Biasanya harga dipilih satu (1) jam, sehingga Pws pada persamaan 4.3menjadi P1jam. P1jam ini
harus diambil pada garis lurus atau garis ekstrapolasinya. Kemudian faktor log dapat diabaikan
sehingga :
..........................................(4-16)
dimana harga m harus berharga positif
Apabila s berharga positif maka dalam formasi produktif tersebut terjadi kerusakan (damaged),
bila S = 0 maka tidak terdapat kerusakan maupun perbaikan pada formasinya, dan bila S
berharga negatif maka formasi produktif tersebut menunjukkan adanya perbaikan (stimulated)
yang biasanya setelah dilakukan pengasaman (acidizing) atau suatu perekahan hidraulik
fracturing).

4.2. Kerusakan Formasi.


Kerusakan formasi adalah turunnya produktifitas sumur akibat tersumbatnya lubang bor, lubang
perforasi, pori-pori dekat lubang bor atau rekahan yang berhubungan langsung dengan lubang
bor. Kerusakan formasi ini dapat terjadi pada saat operasi pemboran, komplesi maupunselama
operasi produksi. Kerusakan formasi tersebut akan merugikan karena permeabilitas formasi
tersebut menjadi lebih kecil dari permeabilitas batuan mula-mula, sehingga hal ini akan
mempengaruhi terhadap produktifitas formasi.
Kerusakan formasi disebabkan oleh hubungan antara formasi dengan fluida tau padatan asing,
seperti fluida pemboran, fluida komplesi, fluida reservoir sendiri yang telah mengalami
perubahan atau pengembangan partikel clay pada formasi yang mengandung partikel-partikel
clay. Menurut Carl Gatlin ada beberapa kemungkinan mekanisme terjadinya kerusakan formasi :
1. Penyumbatan oleh partikel padatan
Penyumbatan tersebut dapat terjadi di sekitar lubang bor, pada daerah perforasi maupun pada
formasi. Padatan infasi tersebut dapat berupa material pada lumpur pemboran, clay, aditif-aditif
yang digunakan untuk meningkatkan viscositas, material loss circulation, cutting hasil pemboran,
partikel semen dan partikel hasil runtuhan perforasi.
1. Penyumbatan oleh filtrat fluida
Fluida filtrat adalah air dengan konsentrasi ion negatif dan positif serta surfactan.Fluida filtrat
pendorong masuk ke dalam formasi karena adanya beda tekanan pada kolom lumpur dengan
tekanan formasi, dan bila tekanan kolom lumpur lebih besar dari tekanan formasi maka filtrat ini
akan masuk kedalam formasi yang akan menyebabkan penyumbatan seperti terjadinya water
blockage dan pembentukan emulsi yang akan memperkecil harga permeabilitas akibat
penyumbatan oleh fluida filtrat tersebut.
Berdasarkan mekanismenya maka kerusakan formasi dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
- Penurunan permeabilitas absolut formasi, akibat dari penyumbatan ronga pori-pori batuan oleh
partikel-partikel yang masuk ke dalam rongga pori tersebut.
- Penurunan permeabilitas relatif minyak, akibat dari meningkatnya saturasi air dalam formasi.
- Meningkatnya viscositas fluida reservoir akibat emulsi atau fluida treating berviscositas tinggi
yang digunakan atau ditambahkan ke dalam material yang digunakan pemboran maupun
komplesi.

4.2.1. Sebab Kerusakan Formasi


Sebab terjadinya kerusakan formasi dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu akibat aktivitas
pemboran , akibat aktivitas komplesi dan akibat aktivitas produksi.

4.2.1.1. Akibat Aktivitas Pemboran


Penyebab terjadinya kerusakan formasi pada saat aktifitas pemboran disebabkan oleh efek dari
invasi fluida lumpur pemboran, pengaruh komposisi kimia filtrat lumpur pemboran, pengaruh
partikel padatan dari lumpur pemboran dan adanya clay dalam formasi yang sabgat sensitif
terhadap fluida pemboran.

4.2.1.1.1. Efek Infasi Lumpur Pemboran


Operasi pemboran biasa dilakukan dengan menggunakan lumpur pemboran, pengontrolan
tekanan lumpur (hydrostatic pressure) sering dilakukan sepanjang kedalaman pemboran dan
menyesuaikan dengan perubahan tekanan formasi dan jenis batuan yang ditembus mata bor.
Oleh karena itu, biasanya fluida pemboran dibuat sedemikian rupa agar dapat memberikan
tekanan hidrostatik yang lebih besar dari tekanan formasi. Tekanan yang lebih ini diperlukan
untuk menahan endapan lumpur pada dinding lubang bor agar jangan terlalu banyak cairan dari
fluida pengebor masuk ke dalam formasi dari fluida pemboran dan untuk menahan well kick yang
dapat menyebabkan blow out.
Jika tekanan lumpur lebih besar dari tekanan formasi (Ph > Pf), menyebabkan partikel dan filtrat
akan menginvasi ke formasi produktif. Selain itu disebabkan pula oleh rate penetrasi yang lebih
besar dari sirkulasi lumpur, sehingga menyebabkan sebagian cutting akan tergilas kembali oleh
bit dan menginvasi ke formasi. Partikel-partikel material yang terkandung dlam fluida pemboran
seperti clay, cutting, material pemberat, dan material loss sirkulasi akan menyebabkan
kerusakan formasi. Material-material tersebut akan mengisi pori-pori batuan reservoir yang dapat
menyebabkan terjadinya penurunan permeabilitas batuan tersebut. Invasi fluida pemboran ke
formasi disebabkan oleh :
- Ukuran rongga yang lebih besar dari ukuran partikel yang menginvasi.
- Adanya perekahan alamiah dari reservoir
- Laju pemboran yang rendah yang dapat menyebabkan kerusakan mud cake sehingga terjadi
invasi fluida keformasi.
- Densitas fluida yang besar menyebabkan tekanan overbalanced yang tinggi.
- Komposisi lumpur yang digunakan.
I. Mekanisme Invasi Lumpur Pemboran ke dalam Lapisan Produktif
Dalam sistem lumpur bor, Gatlin membagi 2 (dua) komponen utama yaitu: filtrat lumpur (mud
filtrate) dan partikel padatan (solid particle). Kedua komponen ini berperan dalam pembentukan
kualitas mud cake yang terbentuk pada dinding sumur dan memberikan tingkat perubahan
kondisi sekitar zona produktif atau dikenal sebagai kerusakan formasi.
Masuknya filtrat lumpur bor ke dalam formasi yang tidak mengandung clay (clean sand) tidak
menimbulkan masalah rumit, karena pada clean sand filtrat lumpur pemboran akan didesak lagi
keluar oleh minyak pada waktu sumur diproduksi. Tetapi masalah akan timbul jika formasi
mengandung clay (dirty sand). Dimana filtrat lumpur pemboran tidak bisa diatasi oleh minyak
yang diproduksikan.
Invasi filtrat lumpur oleh Ferguson dibagi ke dalam 2 (dua) fasa, yaitu:
a. Filtrasi Dinamik
Filtrasi dinamik adalah filtrasi yang terjadi pada saat adanya sirkulasi lumpur pemboran dan
berputarnya rangkaian batang bor (drill string). Filtrasi ini merupakan invasi filtrat lumpur paling
besar yaitu sekitar 70-90 % dari volume filtratnya. Beberapa faktor yang mempengaruhi filtrasi
dinamik, yaitu:
- Kecepatan filtrasi
- Jenis lumpur yang digunakan
- Tekanan filtrasi
- Viskositas dan temperatur
Selama sirkulasi lumpur pemboran dan rotasi drill string berlangsung, maka lumpur bor dalam
keadaan dinamik. Dalam keadaaan demikian akan merusak sifat gel dari lumpur dan mengikis
lapisan transisi pada shear strength rendah antara mud cake dengan lumpur.
Semakin tebal kerak lumpur (filtrate cake) menyebabkan filtrasi yang melalui zone transisi
menurun sampai mencapai keadaan seimbang antara hydrodynamic shear strength dengan mud
cake. Hal ini menyebabkan pengendapan dan pengikisan menjadi seimbang sampai ukuran mud
cake mencapai ketebalan yang konstan.
Pada umumnya lumpur emulsi, limestarch dan lumpur minyak mempunyai kenaikan kapasitas
kesetimbangan kerak filter dengan bertambahnya kecepatan lumpur. Sedangkan untuk lumpur
bentonit, filtrasinya diukur dengan sirkulasi lumpur pada kecepatan sirkulasi lumpur dengan
kecepatan antara 2.25 - 3.5 ft/sec. Dengan bertambahnya kecepatan sirkulasi gradien tekanan
filtrasi sampai pada zona transisi mendekati gradien hidrodinamis sehingga kerak lumpur yang
terbentuk akan semakin tebal.

b. Filtrasi Statik
Filtrasi statik adalah filtrasi dimana tidak adanya sirkulasi lumpur bor dan drill string tidak
berotasi. Beberapa faktor yang mempengaruhi filtrasi statik, antara lain:
- Jenis lumpur yang dipakai
- Tekanan filtrasi
- Viskositas dan temperatur lumpur
Pada filtrasi statik, mud cake dapat terbentuk secara sempurna, akibatnya invasi filtrat lumpur
lebih kecil dibandingkan dengan filtrasi dinamik. Untuk menentukan jumlah volume invasi filtrat
lumpur pada kondisi statik dapat ditentukan dengan teori klasik, yaitu:
V = C T 0.5 .............(4-17)
Dari Persamaan (4-22) dapat diubah menjadi besaran yang berlaku untuk filtrat lumpur dinamik,
yaitu:
(V + Vo) = C (T + To)............................................................................(4-18)
Keterangan:
V = volume filtrat, ml/in2
Vo = volume filtrat dinamik/statik awal, ml/in2
To = waktu filtrasi selama Vo, detik
Terinvasinya filtrat lumpur yang terserap ke dalam formasi adalah saat permulaan dimana mud
cake belum terbentuk, peristiwa ini disebut “surge loss”. Glenn, Slusser & Huitt memberikan
ukuran besarnya surge loss pada berbagai ukuran partikel lumpur seperti Gambar 4.3
Glen, Slusser dan Huitt membagi masa filtrasi ke dalam tiga tahapan:
1. Periode surge, merupakan masa sebelum mud cake terbentuk pada dinding.
2. Periode transisi, merupakan masa filter cake sudah terbentuk tetapi belum sempurna
(seragam) atau gradien tekanan belum konstan
3. Periode gradien tekanan konstan, merupakan masa volume filtrat sudah konstan atau
pembentukan kerak lumpur sudah konstan

Gambar 4.3
Besarnya Surge Loss untuk Berbagai Ukuran Partikel Lumpur
(Carl Gatlin; “Petroleum Engineering Drilling and Well Completions”)

Periode filtrasi dapat ditentukan dengan persamaan sebagai berikut:


t = m V2 + n V .....................................................................................(4-19)
Keterangan :
t = waktu filtrasi, detik
V = volume kumulatif air tapisan, cm3/in2
m = koefisien karakteristik kerak lumpur
n = konstanta yang tergantung pada kertas saring atau formasi berpori
Pada awal filtrasi harga m = 0, sehingga belum terbentuk kerak filter. Tidak lama kemudian
partikel-partikel pemboran mulai menyumbat pori-pori batuan dan meningkatkan ketahanan
dinding lubang bor terhadap aliran lumpur dan filtratnya. Periode surge loss berakhir pada saat
ketahanan kerak filter terhadap filtrasi sudah cukup besar selama pembentukan kerak lumpur
akibat ketidakseragaman dalam ketebalan. Pada saat ini harga m naik cepat dan akhirnya tetap,
dan periode ini disebut dengan periode gradient tekanan konstanta.

II. Pengaruh Komposisi Kimia dari Filtrat Lumpur


Selalu ditemukannya invasi filtrat lumpur saat pemboran adalah fenomena alamiah. Filtrat yang
terinvasi ini sangat mempengaruhi pori-pori dan permeabilitas formasi, karena pada umumnya
batuan formasi mengandung lempung (clay). Clay sifatnya hiperaktif terhadap air tawar (fresh
water).
Dari matrik seperti clay, kalsit dan fine sand, ditinjau dari lokasi clay di dalam batuan sedimen
diperoleh dengan cara pengisian rongga (pore filling) dimana butir-butir lempung mengisi rongga
pori (biasanya kaolinit) dan melapisi butiran (pore lining) dimana lempung melekat atau menutupi
butiran.
Chilingarian mengelompokkan clay menurut sifat fisik seperti pada Tabel 4.1. Dari keempat jenis
clay, hanya montmorillonite yang memiliki kemampuan mengembang, jika kontak dengan air
khususnya fresh water. Sedangkan montmorillonite clay atau disebut juga bentonit terbagi
menjadi dua jenis, yaitu Na-bentonit dan Ca-bentonit. Sodium (Na)-bentonit lebih mudah
mengembang bila dibandingkan dengan Ca-montmorillonite, karena mampu mengembang
sampai 8 kali bila dicampur dengan air. Kemampuan mengembang (swelling) yang besar
diantara tipe lempung yang lainnya, montmorillonite clay akan membentuk suatu larutan dengan
viskositas yang cukup besar, hal ini penting untuk pembersihan dasar.

Tabel IV-1.
Sifat Fisik Beberapa Jenis Clay
(Chilingarian, G.V. & Vorabuar, D.; “Drilling and Drilling Fluid”)

Jenis Luas Permukaan


(Surface Area)
(m2/gram) Rentang
Cation Exchange Capacity (CEC)
Montmorillonite 82 80 - 150
Illite 113 10 - 40
Kaolinite 22 3 - 15
Chlorite - 10 - 40

Fresh water sebagai fasa kontinu dalam water base mud, invasi mud filtrate menyebabkan
lempung mengembang dalam pori batuan sehingga pori-pori batuan mengalami clay blocking.
Lempung (clay) adalah material dari tanah dengan ukuran koloid yang mengembang bila basah
dan bersifat mengabsorbsi terhadap air. Oleh karena itu disebut hydrophilic, sedangkan
perbedaan clay dengan shale adalah kalau clay bersifat hydrophilic sedangkan shale bersifat
hydrophobic (mempunyai sifat dapat menghidrat). Bentuk partikel lempung adalah mirip
timbunan dari plat-plat datar yang tipis yang bentuknya menyerupai mika. Plat-plat ini terdiri atas
lapisan molekul yang terikat satu diatas lainnya. Kisi-kisinya terikat secara kovalen dan sulit
terputuskan. Untuk berbagai kation Na+ dan Ca++ atau ion-ion lainnya terikat lemah di antara
plat-plat tersebut.
Ikatan antara ion terjadinya karena adanya gaya Van der Wall yang begitu lemah dan mudah
berputar sehingga menyebabkan molekul-molekul air masuk ke dalam ruang antara plat-plat.
Hal ini menyebabkan partikel-partikel clay akan terdispersi bila bertemu dengan air. Proses ini
menyebabkan terhidrasi dan mengembang pada clay. Air yang terperangkap diantara plat-plat,
begitu terikat akan mengandung sebagian besar dari total air yang ditahan oleh sistem koloid
clay.
Banyaknya air yang diserap oleh partikel clay tergantung pada sifat-sifat ikatan ionnya. Na
adalah kation monovalen oleh karena itu, ion-ion ini terikat begitu lemah pada batas-batas
permukaan memungkinkan masuknya air lebih banyak yang menyebabkan clay lebih mudah
mengembang.

III. Efek Invasi Partikel Padatan dari Lumpur Pemboran


Invasi filtrat lumpur ke dalam formasi membawa pula partikel-partikel padatan lumpur pemboran
ke formasi produktif. Adanya partikel-partikel padatan dalam lumpur pemboran dapat
menimbulkan penyumbatan dalam pori-pori batuan dan sangat mempengaruhi permeabilitasnya.
Partikel-partikel padat bisa berasal dari weighting materials, clay, fluid loss control material,
drilled solids dan cement particles.
Untuk dapat masuk ke dalam pori-pori batuan, partikel-partikel padatan harus mempunyai
ukuran butir lebih kecil daripada pori-pori batuan. Radius invasi solids particle lebih dekat
daripada radius invasi mud filtrate. Krueger & Vogel menyebutkan bahwa invasi partikel padatan
lumpur mencapai 12 inchi atau lebih dalam dari core, batuan yang mempunyai permeabilitas
350-550 md dalam waktu 5 hari. Selain itu kerusakan formasi akan turun pada jarak yang jauh
dari lubang bor (Glenn dan Slusser, 1957). Lubang bor yang mengandung partikel padatan
berukuran sama dengan ukuran pori-pori batupasir akan membentuk bridging yang lebih cepat.
Bridge mulai terbentuk ketika dua partikel yang besar-besar akan lebih dahulu masuk dalam
waktu yang sama dan memberikan tempat antara yang satu dengan yang lainnya. Kemudian
partikel lebih kecil akan menutup ruang yang terdapat di antara partikel-partikel yang lebih besar
sehingga partikel yang besar sehingga partikel yang besar akan tertutup.
Jika ukuran partikel padatan sama dengan pori-pori batuan, maka akan berjalan terus sampai
semua ruang pori batuan yang ada menjadi lebih kecil untuk dapat ditembus oleh padatan.
Dalam keadaan seperti ini hanya mud filtrate yang mampu melewati mud cake, secara teori jika
partikel-partikel berukuran kecil lebih banyak mengisi ruang pori batuan, maka ruang pada filter
cake menjadi lebih kecil, sekalipun molekul seperti air akan dapat menembusnya.

4.2.1.2. Kerusakan Formasi Akibat Penyelesaian Sumur


Selain dari aktifitas pemboran kerusakan formasi juga dapat tejadi pada saat komplesi sumur
dilakukan.
4.2.1.2.1. Kerusakan Formasi pada Operasi Penyemenan
Semen sebagai bahan dan operasi penyemenan sebagai aktivitas ternyata memiliki potensi
untuk menimbulkan kerusakan formasi. Penyemenan yang tidak sempurna dapat menyebabkan
aliran dan invasi fluida antar zona. Hal ini dapat dideteksi dengan teknologi akuisisi data
(perbandingan antara interpretasi cased dan open hole). Adapun faktor-faktor yang
memungkinkan terjadinya invasi filtrat semen adalah:
 Rate sirkulasi yang tinggi
 Mud cake tidak ada karena sebelum dilakukan cementing, mud cake terhilangkan
 Mutu dari semen yang dipakai
 Tekanan hidrostatik kolom semen
 Viskositas semen
Beberapa mekanisme penyebab kerusakan formasi selama aktivitas penyemenan antara lain :
1. Filtrat semen, fluid spacer, preflush fluid yang masuk ke dalam formasi akan meningkatkan
saturasi fluida di sekitar lubang bor dan mempengaruhi ikatan alami lempung.
2. Tambahan beban, seperti gerakan naik turun maupun putaran pipa, pemakaian scratcher dan
centralizer akan meningkatkan hilangnya filtrat ke dalam formasi.
3. Semen yang kurang sempurna menyebabkan komunikasi fluida antar zona (yang seharusnya
terisolasi) selama produksi maupun pada waktu treatment sumur.
4. Gas dalam semen dapat menyebabkan komunikasi antar zona.
5. Semen dengan berat berlebihan dapat menyebabkan rekahnya formasi sehingga
menyebabkan komunikasi antar zona.
6. Fluid loss (biasanya air) selama squezee cementing yang umumnya kotor, dapat mengurangi
permeabilitas formasi, baik secara fisika maupun kimiawi.
Partikel-partikel semen yang berukuran 20 – 100 mikron terlalu besar untuk dapat masuk ke
dalam sebagian besar ukuran pori atau rekahan alami. Oleh karenanya semen sendiri biasanya
tidak menyebabkan kerusakan formasi, tetapi filtrat yang masuk ke dalam formasi selama
penyemenan yang merupakan sumber kerusakan.

4.2.1.2.1.1 Pengaruh Filtrat Semen


Pada kondisi statik, fluid loss terjadi setelah semen berada di tempatnya, yaitu di annulus antara
dinding sumur dengan casing. Kelebihan kandungan air dalam semen akan menyebabkan invasi
air ke dalam formasi saat semen kering. Bila kelebihan air dalam adonan semen tidak banyak,
maka jumlah air yang terinvasi hanya sedikit begitu juga sebaliknya. Umumnya volume air yang
menginvasi formasi selama operasi penyemenan lebih sedikit dibandingkan dengan water loss
selama operasi pemboran atau pendorongan lumpur sewaktu penyemenan. Ini menunjukkan
penetrasi filtrat semen lebih dangkal dari invasi filtrat lumpur bor.
Jumlah air maksimum sebagai air bebas (free water) yang masih mungkin ditambahkan ke
dalam adonan semen tidak lebih dari 1.5 %. Jumlah air optimum pada adonan semen harus
memenuhi persyaratan adonan baik, dapat dipompakan dan menghasilkan volume semen kering
maksimum tanpa air bebas. Kelebihan air akan mengurangi viskositas semen, kurangnya
kekuatan semen dan daya hambat korosi yang rendah. Dengan jumlah air yang optimum atau
menggunakan additif untuk mengikat kelebihan air, maka hanya sejumlah kecil air yang dapat
menyebabkan kerusakan formasi.
Dynamic fluid loss dari semen terjadi pada waktu semen melewati zona permeabel yang
memungkinkan akumulasi semen dalam jumlah yang cukup banyak. Jika pre-flush atau usaha
mekanik lainnya dilakukan untuk membersihkan filter cake, maka akan cukup banyak filtrat
semen hilang masuk ke dalam formasi. Fluid loss ini memungkinkan semen mengalami dehidrasi
prematur dan menyebabkan kesulitan tambahan dalam penyelesaian operasi penyemenan.
Karenanya, penambahan filtrate loss additives harus dilakukan agar kemungkinan kerusakan
tersebut dapat diminimasi.
Sebagai kesimpulan, fluid loss selama proses penempatan dan pengerasan semen relatif tidak
berati jika dibandingkan dengan potensi kerusakan formasi oleh mekanisme lainnya. Hal yang
perlu diwaspadai adalah pengaruh filtrat semen (berupa air tawar/fresh water) terhadap lempung
dalam formasi. Hidrasi lempung merupakan kemungkinan kerusakan utama dari formasi yang
terinvasi oleh filtrat semen.

4.2.1.2.1.2 Pengaruh Penyemenan yang Tidak Sempurna


Salah satu fungsi utama penyemenan adalah mengisolasi zona produktif, yang berarti
mengeliminasi kemungkinan fluida reservoir yang tidak dikehendaki masuk ke dalam sumur.
Kerusakan formasi dapat terjadi dalam zona produktif yang disebabkan air dari zona lain
mengalir ke dalam zona produktif minyak dan gas, baik melalui belakang casing produksi
maupun dari dalam sumur (back-flow ke dalam zona bertekanan lebih rendah dari tekanan
sumur). Komunikasi antar zona akibat penyemenan tidak sempurna yang dapat menyebabkan
kerusakan formasi:
1. Air masuk ke dalam zona minyak dan gas memungkinkan terjadinya water block, emulsion
block, clay dan scale.
2. Invasi minyak dari suatu zona ke dalam zona minyak lainnya dapat menimbulkan endapan
aspalt atau parafin.
3. Invasi minyak ke dalam zona gas akan menurunkan permeabilitas relatif terhadap gas.
4. Daya/kemampuan bahan kimia stimulasi/treatment untuk mencegah scale atau parafin akan
berkurang akibat bahan kimia tersebut keluar dari
formasi disebabkan adanya komunikasi antar zona.
Komunikasi di belakang casing setelah penyemenan umumnya disebabkan mud channel yang
tertinggal di dalam lubang dan kemudian terdisplace oleh fluida stimulasi atau oleh fluida
terproduksi. Hal ini semakin mungkin terjadi pada sumur dengan kemiringan tinggi karena
kesulitan untuk menempatkan pipa agar berada tepat di tengah. Evaluasi terhadap beberapa
sistem pre-flush dan spacer menghasilkan berbagai rekomendasi mengenai campuran adonan
semen yang dapat meningkatkan keberhasilan pekerjaan penyemenan. Desain centralizers,
scratchers, rotasi pipa, gerakan naik turun pipa dan aliran turbulen yang baik akan memperbaiki
pendesakan lumpur dan ikatan semen.

4.2.1.2.2. Kerusakan Formasi Selama Perforasi


Tujuan pengerjaan perforasi adalah menghubungkan zona produktif dengan lubang sumur agar
terjadi aliran fluida formasi. Hal ini baru efektif bila perforasi dapat menembus zona terinvasi
(zona dimana terdapat kerusakan formasi). Dalam hal tertentu, upaya perforasi justru menambah
kerusakan meskipun secara teoritis perforasi didesain agar selalu dapat menembus zona
terinvasi. Masalahnya terletak pada jumlah perfotrasi yang efektif (berhasil) dan jumlah
kegagalan (tidak sempurna/berhasil baik) atau bahkan menghambat aliran. Setiap analisis
tingkat keefektifan perforasi harus dilatarbelakangi oleh analisis pengaruh dari kerusakan formasi
sebelumnya (pre-analysis) terhadap kinerja perforasi.
Pengujian terhadap Core Flow Efficiency (CFE) memperlihatkan bahwa dengan menggunakan
fluida perforasi yang bersih, tidak merusak dan beda tekanan negatif maka akan didapatkan
kerusakan formasi minimum akibat pekerjaan perforasi. Contoh teoritis efektivitas pengamatan di
atas ditunjukkan dalam Tabel 4.2.
Tabel IV-2.
Pengaruh Kondisi Perforasi pada Produktivitas Sumur
(OH-Potential 800 BOPD)
(S.Sudomo; “Mitigasi Kerusakan Formasi”)

Perforating Conditions Well Productivity BPD, Perforation Depth


CFE Fluid Pressure 4 in 8 in
0.3 Hi solids, mud in hole Overbalance 115 0.18 154 0.19
0.5 Unfilterred salt water Overbalance 253 0.39 330 0.42
0.7 Filterred salt water Overbalance 429 0.66 569 0.71
0.8 Filterred salt water Underbalance 538 0.82 689 0.87
0.9 Clean non damaging fluid Underbalance 653 1.00 792 1.00

Tabel tersebut memperlihatkan perbedaan produktivitas sumur dan sebagai acuannya adalah
kasus dimana fluida perforasi bersih, tidak merusak dan perforasi underbalance. Kesimpulan
adalah perforasi underbalance lebih baik dari overbalance, dan penggunaan fluida perforasi
bersih, tidak merusak meminimasi kerusakan formasi. Sehingga direkomendasikan untuk selalu
mengacu pada kombinasi penggunaan fluida perforasi bersih, tidak merusak dan perforasi
underbalance.
Faktor-faktor utama yang paling besar pengaruhnya terhadap produktivitas formasi dalam
kaitannya dengan upaya meminimasi kerusakan formasi dari sisi pandang perforasi dan fluida
komplesi adalah sebagai berikut:
1. Fluida perforasi/komplesi
2. Crushed (compacted) zone dan pecahan perforasi (perforation debris)
3. Besar dan arah beda tekanan antara sumur formasi sewaktu perforasi
4. Jangkauan penetrasi dengan ekstensi kerusakan
5. Diameter dari lubang perforasi
6. Jumlah spf (shot per foot, shot density)
7. Fase penembakan (shot pashing)

Meskipun sulit untuk mempelajari faktor-faktor tersebut secara terpisah, tetapi pengaruhnya
perlu dimengerti sehingga hasil perforasi dari sumur dapat dioptimalkan.
1. Fluida Perforasi/Komplesi
Setiap fluida yang kontak dengan formasi mempunyai potensi untuk merusak. Pengaruh ini akan
semakin besar bila fluida terinvasi melalui perforasi sehingga mencapai kedalaman tertentu.
Lumpur bor dan semen mungkin mengandung aditif yang dimaksudkan untuk mengurangi fluid
loss ke dalam formasi, tetapi fluid loss additive di dalam fluida perforasi dapat menyumbat
lubang perforasi dan sulit dihilangkan.
Tindakan mitigasi yang harus dilakukan untuk menghindari penyumbatan perforasi dan pori
formasi dengan jalan membersihkan secara keseluruhan casing, rangkaian peralatan dan alat-
alat permukaan dengan bahan kimia pencuci, asam, caustic serta bahan abrasive sebelum
casing diperforasi. Sumur harus diisi dengan fluida yang bersih dan telah disaring. Jika setelah
perforasi, fluid loss terlihat berlebihan, maka densitas dari fluida harus diturunkan seminimum
mungkin dalam kadar aman. Fluid loss additive berupa padatan harus dihindari, untuk itu hanya
padatan yang cukup kasar yang dipakai agar invasinya minimal dan harus larut dengan air,
asam atau minyak agar mudah dihilangkan.
2. Pecahan Perforasi, Compacted dan Crushed Zone
Kerusakan formasi pada saat perforasi menembus suatu formasi akibat injeksi material dari
perforating gun. Tembaga, timbal (lead) dan karbon merupakan komponen-komponen pecahan
yang paling banyak dijumpai dari pengujian Jet Perforating Gun.
Bila peluru perforasi ditembakkan, maka peluru perforasi akan menembus casing, semen,
formasi dan membuat lubang. Material pada alur peluru tidak hilang, sebagian logam dan semen
mengalami disintegrasi/hancur dan sebagian lainnya dalam bentuk pecahan.
3. Underbalance Perforation
Ekstensi compacted zone dan permeabilitasnya tergantung pada sifat fisik batuannya,
perforating charge dan kerusakan sebelum perforasi. Perforasi underbalance dapat mengurangi
pengaruh kerusakan dengan jalan memecah compacted zone tersebut, dengan kata lain
semakin kuat suatu batuan, semakin tinggi beda tekanan yang dibutuhkan
4. Surging perforation
Perorasi kadang-kadang dilakukan pada saat sumur sedang flowing, akan tetapi hal ini tidak
memberikan cukup tenaga untuk memecah compacted zone pada beberapa formasi. Cara lain
yang lebih baik digunakan adalah menggunakan surge tool, dengan chamber bertekanan
atmosfer. Cara ini berhasil baik dalam penyiapan sumur-sumur gravel packing dan dipakai untuk
perforasi balance atau overbalance.
5. Kedalaman Penetrasi
Saucier menyimpulkan bahwa kedalaman penetrasi dari suatu perforasi tidak dipengaruhi oleh
beda tekanan selama perforasi. Kedalaman dan diameter perforasi ditentukan oleh ukuran dan
desain dari perforating gun, ukuran charge, jarak gun dengan dinding casing dan kekuatan
formasi. Kinerja sumur meningkat bila dipakai perforating gun yang penetrasinya melampaui
zona terinvasi dan perforasi terbatas dan dalam lebih efektif dibanding dengan perforasi banyak
tapi dangkal.
6. Diameter Perforasi
Untuk ukuran gun dan charge tetap, maka penetrasi akan berkurang bila diameter bertambah.
Diameter lebih dipentingkan pada formasi pasir unconsolidated, karena penetrasi akan dalam
jika batuannya lunak dan aliran melewati perforasi gravel pack akan makin baik jika diameter
perforasinya lebih besar. Pada formasi keras, penetrasi lebih dipentingkan dibanding diameter,
sehingga lubang perforasi cenderung 3/8 inci atau lebih kecil.
7. Densitas Perforasi
Well Flow Analysis atau Nodal Analysis (Mach) adalah cara yang paling baik untuk menghitung
pengaruh shot density terhadap kapasitas produksi sumur. Dua uji analisis hasil, pertama
memberikan data se-realistik mungkin dan hitung kinerja perforasi optimum. Kedua menghitung
perforation density berdasar kondisi ideal dan usahakan mencapai sedekat mungkin dengan
hasil sebelumnya (matched) dengan meminimalkan kerusakan formasi dan memaksimalkan
keefektifan perforasi.
4.2.1.3. Kerusakan Formasi Akibat Produksi
Yang dimaksudkan kerusakan formasi akibat produksi adalah kerusakan yang diakibatkan oleh
adanya pengecilan permeabilitas yang disebabkan oleh adanya perpindahan butiran formasi dan
pengembangan clay.

4.2.1.3.1. Clay
Clay sebagian besar dapat ditemukan di semua batuan reservoir. Clay mempunyai sifat dan
karakter yang spesifik sehingga perlu dipelajari. Clay dapat menimbulkan pengaruh negatif baik
dalam reservoir, operasi pemboran maupun dalam operasi produksi. Lapisan clay dapat berupa
lapisan tebal atau lapisan tipis berselang-seling dengan lapisan batupasir atau lapisan karbonat.
Clay tersebar dalam batupasir sebagai butiran-butiran yang mengisi celah antar butiran pasir
yang bertindak sebagai semen.
Clay umumnya terdapat di dalam batu pasir. Di dalam batuan karbonat clay tidak bereaksi dalam
jumlah yang besar. Material yang dapat diklasifikasikan ke dalam clay adalah butiran yang
mempunyai ukuran lebih kecil dari pada 5 mikron. Clay bisa mempunyai bermacam-macam
komposisi kimia, reaktivitas yang berbeda terhadap pori batuan dan secara fisik mempunyai
banyak susunan. Clay mempunyai sifat plastis, dengan perkataan lain ia dapat mengisap air dan
dapat dibentuk suatu benda yang dapat dibentuk sesuka hati (seperti lempung). Sifat plastik clay
bila basah tidak akan menghidrat (inerd solid) dan akan mempengaruhi viscositas dan densitas
bahkan dapat membentuk gumpalan. Clay terdiri dari mineral-mineral silika, aluminium, dengan
kation-kation alkali tanah seperti Na, K, Ca, Mg dan Ba.
Kenampakan clay tidak berarti bahwa akan terjadi masalah selama produksi berlangsung. Clay
akan menjadi masalah apabila dalam reservoir terdapat dalam jumlah yang besar dan bereaksi
terhadap aliran fluida yang melalui pori-pori batuan. Tabel 4.3 menunjukkan komponen
penyusun utama clay yang umum terjadi pada sumur produksi. Luas permukaan clay per unit
berat menggambarkan pentingnya analisa clay terhadap sumbatan yang ditimbulkan pada
sumur.
Tabel IV-3.
Komposisi Penyusun Utama Clay pada Masing-masing Tipe Clay
(King, George E.; “Acidizing Concepts-Matrix vs Fracturing Acidizing”, JPT)

Particle Major Components Common Surface Area


m2/gm
Quartz Si,O 0.000015
Kaolinite Al,Si,O,H 22
Chlorite Mg,Fe,Al,Si,O,H 60
Illite K,Al,Si,O,H 113
(Smectile or Montmorillonite) Na,Mg,Ca,Al,Si,O,H 82
(From Davies)
Perbandingan antara massa dan luas permukaan dari clay membuat clay menjadi sangat
penting. Clay dapat dilibatkan dalam penyerapan dan reaksi kimia.

4.2.1.3.2. Kepasiran
Kepasiran adalah peristiwa ikut terproduksinya pasir bersama-sama dengan fluida produksi dari
formasi yang mengandung pasir itu sendiri ke dalam lubang sumur. Problem kepasiran terjadi
akibat rusaknya kestabilan ikatan antar butir-butir pasir. Hal ini disebabkan karena adanya gaya
gesekan serta tumbukan yang ditimbulkan oleh suatu aliran fluida, dimana laju alir yang terjadi
melampaui batas maksimum dari laju alir kritis yang diperbolehkan, sehingga butiran-butiran
pasir akan ikut terproduksi ke permukaan.
Butiran-butiran pasir yang terkumpul dalam suatu sistem akan membentuk suatu ikatan antar
butiran-butiran itu sendiri dalam suatu ikatan sementasi. Semakin besar harga faktor sementasi,
maka akan semakin kuat ikatan antar butiran. Demikian sebaliknya, semakin rendah faktor
sementasinya, maka tingkat konsolidasi antar butiran pasir juga semakin rendah dan akhirnya
butiran-butiran pasir tersebut akan mudah lepas.
Faktor-faktor yang menyebabkan ikut terproduksinya pasir unconsolidated, pasir friable dan
sandstone adalah:
1. Hydrodinamic drag
Partikel-partikel sandstone yang tersemen lemah dapat terlepas dan bergerak bebas kemudian
tertransportasikan oleh adanya gaya gesekan hidrodinamik yang berlebihan sebagai akibat
penurunan tekanan yang tinggi, rate aliran yang tinggi atau akibat viskositas fluida reservoir yang
besar. Mekanisme gerakan pasir ini hampir sama dengan migrasi fines yang bergerak bebas
oleh karena gaya gesek hidrodinamik melampaui kekuatan koloidal antara partikel pasir
(Gambar 4.22). Pada formasi yang unconsolidated memiliki berat jenis (gravity) yang rendah,
sehingga crude oil yang memiliki viscositas yang tinggi akan berada bersama-sama dengan
butiran pasir.
2. Penurunan kekuatan formasi akibat kenaikan saturasi air, hal ini sering dihubungkan dengan
produksi air karena akan melarutkan material penyemen atau pengurangan gaya kapiler dengan
meningkatnya saturasi air.
3. Penurunan tekanan reservoir akibat penurunan permeabilitas relatif hidrokarbon, dengan
penurunan ini akan mengganggu sifat semen antar batuan.
4. Peningkatan kekuatan kompaksi yang dihasilkan dari penurunan tekanan pori reservoir.
Penurunan tekanan pori reservoir selama produksi, matriks batuan di dekat sumur bor
berpengaruh menyebabkan kenaikan vertikal beban intergranular, akibat butiran pasi
terkompaksi dan menjadi tidak stabil.
5. Penurunan silika selama operasi thermal recovery dengan uap panas. Kontak butiran pasir
dengan kondesat staem pH tinggi selama thermal recovery pada pasir yang mengandung
minyak berat dapat menimbulkan produksi pasir
Identifikasi problem kepasiran dilakukan dengan analisa core spesial yang akan diperoleh harga
faktor sementasinya. Harga faktor sementasi yang diperoleh dapat digunakan untuk
mengidentifikasikan adanya kemungkinan problem kepasiran yang akan timbul. Secara umum,
problem kepasiran dapat diindikasikan dengan kriteria parameter sebagai berikut :
a. Faktor sementasi batuan yang relatif kecil (kurang dari 1.8)
b. Kekuatan formasi yang relatif kecil (kurang dari 0.8 x 1012 psi 2)
c. Laju produksi yang besar (lebih besar dari laju produksi kritis) menyebabkan gaya seret fluida
yang besar. Hal ini mengakibatkan lengkungan kestabilan pasir menjadi runtuh.
d. Pertambahan saturasi air akan menyebabkan clay yang ada dalam formasi mengembang. Hal
ini mengakibatkan lengkungan kestabilan pasir menjadi berkurang, sehingga lengkungan
kestabilan pasir mudah runtuh.

4.2.2. Dampak Kerusakan Formasi


Dengan terjadinya peristiwa mengecilnya permeabilitas formasi di sekitar lubang sumur,
tentunya akan mengakibatkan bertambah besar resistensi aliran fluida ke lubang sumur. Formasi
disekeliling lubang sumur yang mengalami kerusakan disebut zonal skin dan pressure drop pada
zonal skin disebut dengan “skin effect”. Harga skin dinyatakan dengan simbol (S).
4.2.2.1. Skin Factor
Dalam membahas kerusakan formasi ini hanya akan dibicarakan pressure drop yang terjadi di
dalam formasi sampai lubang sumur. Persamaan aliran fluida unsteady state dari sumur yang
telah berproduksi dengan rate produksi constan (q), selam waktu t maka persamaan tersebut
dapat dinyatakan dalam :
.......................................................(4-20)
Keterangan :
Pe = Tekanan reservoir mula-mula, psi-1
Pwf = Tekanan alir dasar sumur, psi-1
q = Laju produksi, bbl/day
ke = Permeabilitas formasi, mD
h = Tebal formasi, ft
rw = jari-jari sumur, ft
c = Kompresibilitas fluida, psi-1
t = Waktu, dt
μ = Viscositas fluida
= Porositas formasi
Persamaan diatas dikembangkan tanpa memperhatikan pertambahan pressure drop yang
disebabkan oleh kerusakan formasi. Apabila permeabilitas formasi disekitar lubang bor
mengalami penurunan, maka akan terjadi kenaikan pressure drop. Untuk mencakup kenaikan
pressure drop, maka harus ditambah dengan besaran yang tidak berdimensi atau dengna skin
faktor, sehingga diperoleh persamaan :
......................................................(4-21)
Dimana :
∆Pt = Pressure drop total, psi
Besarnya pressure disebabkan oleh kerusakan formasi dengan pendekatan persamaan aliran
fluida incompressible steady state sebagai berikut :
..............................................................(4-22)
....................................................................................(4-23)
Keterangan :
Ps = Pressure drop akibat kerusakan formasi, psi-1
Rs = radius zonal damage, ft
ks = Permeabilitas pada zonal damage, mD
ke = Permeabilitas formasi, mD
................................(4-24)
Dengan membandingkan persamaan (4.-22) (4-23).dan (4-24) maka dapat diperoleh harga skin
factor sebagai berikut :
..................................................................................(4-25)
Jika harga :
S > 0 , maka sumur terjadi kerusakan atau damage
S = 0 , maka sumur tidak terjadi kerusakan atau perbaikan
S < 0 , mak sumur mengalami perbaikan 4.2.2.2. Productivity Ratio, Damage Ratio dan Damage
Factor Dengan pendekatan persamaan aliran fluida imcompressible steady state, maka
permeabilitas rata-rata antara zonal damage dan zonal eksternal dapat dinyatakan dengan
persamaan sebagai berikut : .....................................................................(4-26) Keterangan :
kavg = Permeabilitas rata-rata, mD ks = Permeabilitas pada zonal damage, mD ke =
Permeabilitas formasi, mD rs = Radius zonal damage, ft re = Radius atau jari-jari pengurasan, ft
rw = Jari-jari sumur, ft Productivity Ratio (PR) adalah perbandingan antara permeabilitas rata-
rata dengan permeabilitas alamiah formasi : ..........................................................(4-27) dengan
mensubstitusika ke ln pada persamaan 4.25 ke dalam persamaan 4.27 maka diperoleh
persamaan : ......................................................................................(4-28) Damage Ratio
dinyatakan sebagai kebalikan dari PR (Productivity Ratio) : ......................................................(4-
29) Sehingga diperoleh persamaan besarnya Damage Factor (DF), yaitu :
.................................................................(4-30) Keterangan : DF = Damage Faktor PR =
Productivity Ratio ∆Ps = Selisih pressure drop akibat formsition damage, psi Pe = Tekanan
reservoir, psi Pwf = Tekanan alir dasar sumur, psi Ps = Pressure drop akibat formation damage,
psi. 4.2.3. Pencegahan Kerusakan Formasi Kerusakan formasi yang terjadi akibat kegiatan
pemboran, produksi, komplesi sumur perlu dicegah agar menurunnya produktivitas formasi tidak
terlalu besar karena rusaknya permeabilitas di sekitar lubang sumur akibat adanya penyumbatan
pada pori-pori dan saluran pori, sehingga produksi minyak di permukaan yang diinginkan dapat
dicapai. 4.2.3.1. Pada Saat Kegiatan Pemboran Aspek praktis dan upaya pencegahan
kerusakan formasi selama pemboran, antara lain: 1. Keselamatan dan keamanan Faktor
keselamatan dan keamanan dalam pemboran harus tetap diperhatikan tanpa mengabaikan
upaya perolehan hasil optimum dan minimasi kerusakan formasi yang ditimbulkan. 2. Desain
sistem lumpur Untuk meminimasi kerusakan formasi maka sistem lumpur yang ideal adalah yang
dapat memberikan membran tipis-impermeabel pada permukaan formasi. Maka lumpur harus
memiliki fluid loss rendah, spurt loss rendah dan salinitas filtrat yang serupa dengan air formasi.
3. Operasi pemboran Laju pemboran harus maksimum dengan WOB tinggi dan RPM rendah
untuk meminimasi turbulensi di sekitar mata bor dan waktu kontak dari lumpur dengan zona
produktif. Berat lumpur harus dipertahankan pada batas minimum aman (overbalance minimal).
Pemakaian barite harus dihindari karena tidak larut dalam asam dan kimiawi lain di lapangan.
Berat lumpur dapat dinaikkan dengan aditif yang larut dalam asam/air, seperti garam-garam
karbonat (kalsium besi) dan oksida besi. 4. Penggunaan oil base Oil base mengurangi masalah
pemboran pada formasi lempungan dan disarankan penggunaannya pada formasi ini, karena
invert emulsion menghasilkan filter cake tipis (dengan filtrat minyak). Namun oil emulsion mud
bila menghadapi zone tekanan tinggi memerlukan bahan pemberat yang lebih banyak yang
dapat menimbulkan kerusakan formasi, terutama bila menggunakan barite. Bila perlu pemboran
memakai udara atau gas untuk mencegah kerusakan formasi, tetapi hal ini berlaku bila keadaan
lubang bor dapat dikontrol dan tidak menimbulkan semburan liar (blowout). 4.2.3.1.1.
Pencegahan Terjadinya Invasi Air Filtrat Aktivitas pemboran dan komplesi sumur selalu
mengakibatkan invasi filtrat dan padatan ke dalam formasi produktif yang disebabkan oleh
tekanan hidrostatik kolom fluida pada lubang bor lebih besar daripada tekanan formasi. Filtrasi
yang terlalu besar menghasilkan invasi air filtrat yang besar, hal ini tidak diinginkan sehingga
perlu pencegahan segera mungkin Beberapa cara untuk mencegah terjadinya kerusakan formasi
yang diakibatkan oleh invasi air filtrat ke dalam formasi produktif, antara lain: 1. Menggunakan
additif yang bersifat menurunkan laju alir filtrat (filtration loss) pada lumpur pemboran dan fluida
stimulasi. 2. Mengurangi perbedaan tekanan yang terjadi antara tekanan hidrostatik kolom
lumpur dan tekanan formasi sampai pada harga yang aman. 3. Menggunakan fluida pemboran
atau komplesi sumur yang sesuai dengan kondisi tiap-tiap formasi produktif, sehingga air filtrat
yang masuk ke dalam formasi tidak mengganggu kesetimbangan antara fluida dan batuan yang
ada dalam formasi. 4. Menggunakan lumpur pemboran udara atau gas untuk mencegah invasi
air filtrat yang mengganggu kestabilan formasi. 4.2.3.1.2. Pencegahan Terjadinya Invasi Padatan
Gatlin memberikan beberapa cara untuk mencegah terjadinya kerusakan formasi akibat invasi
padatan asing ke dalam formasi, antara lain: 1. Penambahan padatan koloid secara tepat agar
pembentukan sumbat (bridge) yang efisien segera tercapai. 2. Mengurangi perbedaan tekanan
yang terjadi antara tekanan hidrostatik kolom lumpur dan tekanan formasi sampai pada harga
yang aman. 3. Menggunakan fluida pemboran udara atau gas pada sumur-sumur tertentu.
4.2.3.2. Pencegahan Kerusakan Formasi Pada Kegiatan Penyemenan Untuk mengurangi
dampak negatif kerusakan formasi akibat kehilangan filtrat maupun padatan selama proses
penyemenan, disarankan hal-hal sebagai berikut: 1. Fluid loss diminimasi dengan penambahan
material pencegah fluid loss. 2. Penggunaan water wetting surfactants agar formasi permeabel
yang diinvasi fluida menjadi water wet. 3. Penggunaan partikel pengikis yang berukuran cukup
besar agar tidak masuk ke dalam pori formasi. Dianjurkan menggunakan pasir/sintered-bauxite
berukuran minimum 100 mesh. 4. Penambahan ammonium klorida dan kalium klorida ke dalam
air untuk mengurangi pengaruhnya terhadap lempung formasi dengan catatan garam tersebut
kompatibel dengan lumpur dan semen. 5. Hindari pemakaian bahan pemberat, kecuali mutlak
diperlukan dengan syarat harus larut dalam air, minyak atau asam. 4.2.3.3. Pencegahan
Kerusakan Formasi Pada Kegiatan Perforasi Untuk meminimasi kerusakan formasi pada
kegiatan perforasi dianjurkan untuk mengkombinasikan penggunaan fluida perforasi yang bersih
atau tidak merusak dan perforasi underbalance dengan perbedaan tekanan maksimum aman.
Perforasi underbalance dapat mengurangi pengaruh kerusakan dengan jalan memecah
compacted zone. Dengan catatan, semakin kuat suatu batuan maka semakin tinggi beda
tekanan yang dibutuhkan. Penggunaan fluid loss additive disarankan yang dapat larut dan
berada dalam kontak dengan asam atau minyak sehingga dapat dihilangkan dengan disertai
catatan bahwa meskipun lubang perforasi bersih oleh asam atau minyak tersebut, perforasi tetap
dapat tersumbat oleh aditif. Dengan demikian aditif tetap termasuk sebagai sumber potensial
kerusakan formasi. Tindakan mitigasi yang harus dilakukan untuk menghindari penyumbatan
perforasi dan pori formasi dengan jalan membersihkan secara keseluruhan casing, rangkaian
peralatan dan alat-alat permukaan dengan bahan pencuci, asam, caustic serta bahan abrasive
sebelum casing diperforasi. Sumur harus diisi dengan fluida yang bersih dan telah disaring. Jika
setelah perforasi, fluida loss terlihat berlebihan, maka densitas dari fluida harus diturunkan
seminimum mungkin dalam kadar aman, meskipun kadang-kadang diperlukan suatu fluida
dengan viskositas tinggi (kental, viscous pill). Fluid loss additive berupa padatan harus dihindari
kecuali merupakan jalan terakhir; untuk itu hanya padatan yang cukup kasar yang dipakai agar
invasinya minimal dan harus larut dengan air, asam atau minyak agar mudah dihilangkan.
Anjuran praktis: Gunakan HEC dengan konsentrasi 4.2 lb/bbl brine untuk memperoleh kondisi
minimum fluid loss. Pada konsentrasi ini viskositas akan pecah secara perlahan dan mencapai
10 % dari viskositas awalnya setelah 24 jam pada 200 0F. Penggunaan konsentrasi 5 lb/bbl HEC
dalam brine sebagai fluid loss control pill memberikan dampak viskositas terlalu tinggi, meskipun
akan tetap stabil selama kurang lebih tiga hari pada temperatur 200 0F. Satu keuntungan dari
HEC pill adalah setiap fluida yang bocor dari pill selama pemakaiannya memberikan efek
minimal terhadap permeabilitas formasi. HEC adalah polimer yang paling kurang daya rusaknya
bagi industri saat ini. 4.2.3.4. Pencegahan Kerusakan Formasi Pada Kegiatan Komplesi
Penggunaan fluida komplesi dan kerja ulang yang kotor atau dengan garam berkualitas rendah
cenderung mengandung padatan yang dapat menyumbat formasi produktif, sehingga akan
menurunkan kemampuan alir/permeabilitasnya. Untuk itu, penggunaan fluida komplesi dan kerja
ulang yang bersih dan berkualitas tinggi merupakan keharusan untuk meminimasi dampak
negatifnya terhadap kemampuan alir alaminya. Dari manapun sumber air dan garam, setiap
brine sebelum digunakan harus disaring dan disaring kembali sebelum dire-sirkulasi. Semua
fluida komplesi dan kerja ulang harus yang dipakai di dalam sumur harus diuji kompabilitasnya
terhadap fluida formasi dan matriks formasi. Semua fluida komplesi dan kerja ulang harus
mengandung oxygen scavenger, biocide dan water wetting surfactant penurun tegangan muka
untuk mencegah pengendapan padatan di dalam formasi, water block dan untuk membuat
permukaan formasi water wet. Aditif lain yang harus disertakan di dalam fluida komplesi dan
kerja ulang adalah corrosion inhibitor, clay stabilizer, viscofier, fluid loss control dan demulsifying
surfactant. 4.2.3.5. Pencegahan Terjadinya Pengembangan Clay (Clay Swelling) Clay berisikan
partikel-partikel silikon dan aluminium oksida di dalamnya. Dalam clay terdapat muatan positif
(aluminium) dan muatan negatif (oksigen). Anion dikelilingi oleh kation, setiap partikel saling
tolak menolak dan cenderung akan saling berpindah, bila salah satu partkel clay memisahkan
diri maka mereka dapat menempati ruang pori di dalam batuan dan menurunkan permeabilitas.
Pemisahan partikel-partikel di dalam clay itu biasanya disebabkan bertemunya air dengan clay
sehingga clay mengembang. Salah satu cara untuk mencegah terjadinya pengembangan clay,
pada kegiatan stimulasi di dalam fluida perekahnya ditambahkan clay stabilizer. Jenis clay
stabilizer ada beberapa macam, salah satunya adalah clay stabilizer yang tidak permanen (KCl,
NaCl dan NH4Cl). Di antara ketiga garam tersebut yang sering digunakan sebagai clay stabilizer
dalam fluida perekah adalah KCl. K+ merupakan clay stabilizer yang terbaik melawan desakan
air dan menjaga swelling clay. Clay stabilizer yang lebih permanen (inorganic polynuclear cation,
material ini antara lain zirconium oxichloride dan hydroxy aluminium). Kedua material tersebut
cukup efektif menetralisir perubahan permukaan pada clay. Kelemahan dari inorganic
polynuclear cation adalah dibatasi dengan penggunaan pH yang tinggi pada fluida perekah.
4.2.3.6. Pencegahan Problem Kepasiran Usaha yang dilakukan untuk mencegah terjadinya
kepasiran adalah dengan cara memproduksikan minyak pada laju optimum tanpa terjadi
kepasiran. Sand free flow rate merupakan besarnya laju produksi kritis, dimana apabila sumur
diproduksikan melebihi laju kritisnya akan menimbulkan masalah kepasiran. Maximum sand free
flow rate atau laju produksi maksimum tanpa menimbulkan kepasiran dapat ditentukan dengan
suatu anggapan bahwa gradien tekanan maksimum di permukaan kelengkungan pasir, yaitu
suatu laju produksi maksimum tanpa kepasiran berbanding langsung dengan kekuatan formasi.
Dengan kata lain jika produksi menyebabkan tekanan kelengkungan pasir lebih besar dari
kekuatan formasi, maka butiran pasir formasi akan ikut bergerak. Selain tindakan di atas, usaha
yang perlu dilakukan adalah sand control, yaitu menahan gerak pasir ke arah lubang sumur
dengan menggunakan sand screen, gravel packing dan gravel consolidated. Gravel pack adalah
suatu cara untuk menanggulangi pasir yang masuk ke lubang sumur dengan memasang gravel
atau kerikil di depan formasi produktif. Gravel-gravel tersebut akan membentuk suatu packing
yang berfungsi sebagai penyaring sehingga dapat menahan butiran pasir yang lepas. Metode ini
terdiri dari pipa saringan dan gravel, dimana ukuran celah pipa saringan tergantung dari ukuran
gravel yang dipakai, sedangkan gravel ditentukan besarnya dari ukuran keseragaman butir
formasi yang terikut. Ukuran celah pipa saringan harus lebih kecil dari ukuran gravel terkecil, bila
lebih besar dari ukuran gravel terkecil, maka untuk gravel yang mempunyai sorting baik, akan
terproduksi sejumlah gravel secara bersamaan sampai di celah pipa saringan. Ada dua cara
pemasangan gravel, yaitu: 1. Open Hole Gravel Pack Sebelum pipa saringan dipasang, diameter
dasar lubang sumur diperbesar dengan menggunakan under reamer atau hole opener untuk
mendapatkan ruang yang cukup untuk meletakkan gravel. Selanjutnya lubang bor dibersihkan
dengan dengan fluida polymer sampai bersih, dan siap untuk dilakukan proses penempatan
gravel. Pipa saringan dipasang dan butiran gravel ditempatkan di antara formasi dengan pipa
saringan. Tipe ini umumnya dipakai untuk sumur dengan productivity index yang tidak
mengalami penurunan yang besar selama berproduksi. 2. Inside Casing Gravel Pack Pipa
saringan dipasang pada casing yang diperforasi, dilanjutkan dengan menempatkan pipa gravel
di antara saringan dan perforasi produktif. Pemasangan gravel pack dengan cara ini diterapkan
pada formasi produktif yang berlapis. Perforasi di sini berperan sangat penting, dimana perforasi
harus bersih dari material-material yang tertinggal yang akan menghambat aliran fluida yang
masuk ke dalam lubang sumur. Penempatan gravel dilakukan dengan metode satu tahap (one
stage method) dan metode dua tahap (two stage method).  Single Stage Method Pada metode
ini dilakukan dengan menggunakan suatu rangkaian screen yang diturunkan dengan
menggunakan packer pada puncak susunan crossover dan wash pipe. Alat ini mampu
melakukan squeeze dan pemadatan gravel sekaligus.  Two Stage Method Pada metode ini,
tahap pertama dilakukan dengan menekan gravel ke daerah perforasi dengan menggunakan
tekanan squeeze. Kemudian tahap kedua, berhubungan dengan sirkulasi gravel ke dalam
annulus casing dan pipa saringan. 4.2.4. Penanggulangan Kerusakan Formasi Stimulasi pada
sumur-sumur produksi adalah salah satu usaha untuk merangsang formasi agar berproduksi
lebih besar lagi atau dengan kata lain bertujuan untuk mengembalikan atau memperbaiki
produktifitas formasi. Stimulasi dilakukan bilamana produktifitas sumur turun sebagai akibat
turunnya permeabilitas formasi atau naiknya viscositas fluida formasi (minyak) sebagai dampak
dari kerusakan formasi yang terjadi.Persamaan untuk produktifitas adalah :
.....................................................................................(4-35) Keterangan : PI = Produktifitas
Indeks Ko = Permeabilitas minyak. mD h = Ketebalan atau kedalaman lapisan, ft = Viscositas
minyak, cp Bo = faktor Volume Formasi Minyak, bll/STB re = Jari-jari pengurasan sumur, ft rw =
Jari-jari sumur,ft Dari persamaan diatas maka bisa dilihat besarnya produktifitas dipengaruhi oleh
permeabilitas (k) dan viscositas fluida (μ). Dengan demikian bila permeabilitas besar maka
produktifitas akan besar dan jika viscositas kecil maka produktifitas sumur tersebut juga akan
besar. Oleh karena itu stimulasi dilakukan pada dasarnya untuk memperbesar permeabilitas dan
memperkecil viscositas fluida. Stimulasi yang dilakukan untuk mengatasi problem kerusakan
formasi dapat dibagi menjadi : - Acidizing (pengasaman) - Acid Fracturing - Hydraulic Fracturing
4.2.4.1. Acidizing Acidizing adalah penginjeksian asam ke dalam pori-pori batuan formasi pada
tekanan injeksi di bawah tekanan rekah batuan formasi tersebut. Pengasaman ini dilakukan
untuk menghilangkan pengaruh penurunan permeabilitas formasi di sekitar lubang sumur
dengan cara memperbesar pori-pori batuan dan melarutkan partikel-partikel lumpur pemboran
yang menutupi ruang pori tersebut. Asam yang di injeksikan mengalir dari lubang sumur secara
radial ke dalam formasi dan bereaksi dengan matriks batuan ataupun partikel-partikel lumpur
pemboran. Terjadinya penurunan produktifitas disebabkan oleh terjadinya proses pemboran,
komplesi, dan produksi yang menyebabkan kerusakan formasi atau penyumbatan pori-pori
lubang perforasi. Tujuan dilakukan pengasaman adalah untuk meningkatkan atau memperbaiki
permeabilitas formasi di sekitar lubang sumur yang mengalami kerusakan dengan cara injeksi
larutan asam ke dalam formasi produktif. Jenis-jenis asam : Asam mempunyai sifat terurai
menjadi ion dan anion hidrogen jika tercampur dengan air. Ion hidrogen akan bereaksi dengan
batuan karbonat (gamping, dolomit) akan membentuk air dan karbon dioksida. Jenis-jenis asam
yang umum digunakan untuk pengasaman pada sumur-sumur yang ada di lapangan, yaitu : 1.
Asam hydrochlorida (HCL) Jenis asam ini sering dipakai di lapangan minyak atau gas. Asam ini
merupakan larutan Hydrogen Chlorida yang berupa gas di dalam air dengan berbagai
konsentrasi. Asam hydrochlorida dengan konsentrasi 15% HCL dikenal dengan nama reguler
acids dan paling banyak digunakan di lapangan. Reguler acids biasanya digunakan untuk
pengasaman batu gamping dan dolomit. Keuntungan dari asam ini adalah mempunyai daya
reaksi yang cukup tinggi terhadap batu gamping dan dolomit, serta harganya murah.
Kerugiannya adalah dapat bereaksi dengan logam-logam di dalam lubang sumur atau dengan
kata lain daya korosi sangat tinggi dan biasanya pada kondisi temperatur di atas 250o F, untuk
itu maka diperlukan pertimbangan yang baik supaya temperaturnya tidak melebihi 250o Fatau
melebihi tingkat korosinya. 2. Asam Lumpur (mud Acids) Adalah asam yang terdiri dari
campuran antara asam hydrochloric dengan perbandingan komposisi 12% HCL dan 3% HF. HF
ini diperoleh dengan menambah NH4F2 ke dalam larutan asam HCL. Dimana asam ini tidak
akan bereaksi dengan batuan pasir, mud cake dan juga sisa-sisa silikon dari semen dapat
dihilangkan dengan HF. Asam lumpur khusus digunakan untuk pengasaman matriks yang
digunakan untuk melarutkan lempung alamiah maupun lempung yang bermigrasi dalam formasi
lubang sumur. Kerusakan permeabilitas akan terjadi bila asam lumpur ini dipergunakan pada
formasi batuan dolomite. Pada campuran asam ini biasanya ditambahkan corrosion inhibitor,
weting agent dan emulsion preventer. Kadang-kadang juga dimasukkan seguestering agent agar
ion besi (Fe) tidak terendapkan. 3. Asam Organik Asam organik yang sering digunakan dalam
pengasaman di lapangan adalah Asam Acetic (HC2H3O2 atau CH3COOH) dan asam formic
(HCHO2 atau CHOOH). Kekurangan asam ini lebih lemah dibandingkan dengan asam inorganik
dan kecepatannya lebih lambat, tetapi keuntungan dari asam ini adalah tidak menimbulkan
kerusakan yang dapat terjadi pada pipa yang dilapisi dengan allumuniaum atau chrome. Asam
acetic merupakan satu-satunya asam yang tidak menimbulkan kerusakan karena asam ini
termasuk melakukan stimulasi sumur. Karena sifat yang demikian asam acetic pada umumnya
digunakan sebagai fluida perforasi untuk membersihkan sumur produksi dari lapisan batuan
gamping. Untuk melakukan stimulasi sumur dimana konsentrasi asam acetic biasanya
digunakan sebesar 10% berat asam dalam air. Disamping itu kekurangan yang lainnya adalah
harganya yang relatif mahal dibandingkan asam HCL sehingga terbatas penggunaan
dilapangan. Asam formic ini lebih kecil berat molekulnya, lebih mudah daya larut batuannya dan
lebih kuat asamnya dibandimgkan dengan asam acetic. Keuntungan dari asam ini adalah dapat
digunakan pada temperatur tinggi sekitar 400 oF dan juga harganya lebih murah.. Keburukan
dari asam ini yaitu sulit mencegah korosinya.walaupun lebih korosif dari asam acetic, tetapi lebih
rendah derajat korosinya dibandingkan dengan HCL.Pada operasi pengasaman sumur minyak
konsentrasi yang dipergunakan untuk asam formic sekitar 8% sampai 10%. 4. Asam sulfanic
(HSO2NH2) Adalah asam yang tidak mudah mengalami penguapan, berbebtuk kristal dengan
warna putih, dimana asam ini cepat mengalami pelarutan di dalam air. Keuntungan dari
menggunakan asam ini adalah : 1. Asam ini tidak susah untuk di bawa ke lokasi karena asm ini
berbentuk padatan. 2. Laju reaksinya cepat seperti asam HCL 3. Asam ini kurang korosif
dibanding dengan asam HCL Kerugian dari asam ini adalah : 1. Asam ini tidak dapat melarutkan
oksida besi. 2. Asam ini tidak dapat digunakan pada temperatur lebih dari 180o F, karena akan
menghidrolisis membentuk asam sulfat (H2SO4), dan bila asam ini bereaksi dengan batuan
karbonat membentuk endapan CaSO4 3. Asam ini harganya lebih mahal 5. Asam Retarder Laju
reaksi asam dapat diperlambat dengan cara, seperti mengejelkan atau mengemulsikan asam
dengan hidrocarbon. Jenis asam retarder dapat dibagi menjadi : a. Asam Gelled Berfungsi untuk
memperlambat laju reaksi asam yang terjadi sewaktu terjadinya perekahan pengasaman pada
formasi batuan karbonat. b. Asam Retarder kimiawi Asam ini banyak mengandung surfactan oil-
wet yang berfungsi untuk membentuk halangan fisik agar asam tidak kontak dengan batuan
pada formasi yang mengalami perawatan. c. Asam Emulsified Asam ini dapat mengandung
suatu asam yang dapat terjadi pada bagian internal maupun eksternal. Oil exsternal Emulsion
merupakan suatu susunan fluida hidrokarbon yang merupakan suatu tahap perantara dan HCL
yang merupakan suatu tahap internal, dari asam ini maka didisain supaya terjadi suatu
perlambatan reaksi kimia HCL pada batuan karbonat, dengan jumlah kecil dapat digunakan pada
operasi pengasaman yang konvensional. Sedangkan untuk Acid External Emulsion, tersusun
dari asam sebagai tahap eksternal, dimana dilakukan pemilihan asam yang tergantung pada
kondisi sumur tersebut. Banyaknya asam yang digunakan dapat mencapai 80% sampai 90%
dari volume total. Penggunaan sistem asam ini terutama untuk membersihkan material
hidrokarbon seperti parafin, minyak yang mengalami pembekuan dan terdapatnya endapan lain
agar asam kontak dengan material larutan asam. Bahan-Bahan Tanbahan (additive) Kegunaan
dari additive pada operasi pengasaman, yaitu : - untuk memecah emulsi pada formasi - untuk
mengubah wettabilitas yang terjadi pada formasi agar pembersihan dan daya kerja asam lebih
baik. - untuk mengurangi terjadinya gesekan di sepanjang pipa pada laju pemompaan yang
tinggi. - untuk mengurangi terjadinya fluid loss dari formasi yang rekah. - untuk mengalirkan
asam dari suatu zone ke zone yang lainnya dengan lebih merata. - untuk mengurangi laju korosi.
- untuk menghindari terjadinya pengendapan material yang larut tidak larut dalam asam. Macam-
macam additive yang ditambahkan : 1. Corrosion Inhibitor Additive ini ditambahkan untuk
mengurangi atau mencegah terjadinya korosi. Ada dua macam corrosion inhibitor yaitu : a.
Organic corrosion Inhibitor, ini dapat digunakan pada berbagai konsentrasi asam, tapi akan lebih
effektif bila digunakan pada temperatur 250o F. b. Inorganic Corrosion Inhibitor, sangat effektif
untuk pengasaman pada sumur-sumur bertemperatur tinggi, tetapi kekurangannya adalah
sifatnya yang beracun dan tidak dapat dipakai pada konsentrasi HCL yang tinggi karena
effektifitas inhibitor akan menurundan dapat berbentuk padatan yang dapat menimbulkan
kerusakan pada formasi. 2. Surfactant Surfactan active agent digunakan pada operasi stimulasi
pengasaman untuk mencegah terjadinya pembentukan emulsi asam dan minyak, mengurangi
tegangan permukaan, memperbaiki kebasahan formasi dan mempercepat pembersihan formasi.
3. Mutual solvent Adalah material yang mempunyai kelarutan yang baik di dalam minyak
ataupun air. Dalam operasi pengasaman mutual solven diharapkan dapat berfungsi sebagai: -
Menurunkan tegangan antar permukaan dan interfacial di gunakan untuk memperlambat
pembersihan. - Untuk memisahkan lapisan minyak dari material asam - Untuk mencegah
terjadinya pembentukan emulsi dan juga untuk mencegah terjadinya emulsi. - Untuk membantu
mencegah terjadinya water block. 4. Friction Reducer Asam ini terdiri dari polymer sintetis,
biasanya digunakan pada operasi pengasaman dengan perekahan untuk mengurangi horse
power (HP) pompa untuk keperluan injeksi asam. 5. Fluid Loss Controlle Agent Biasanya
digunakan untuk mengurangi terjadinya kehilangan asam yang tidak di gunakan biasanya pada
acid fracturing. Apabila banyak rekahan kecil juga digunakann pasir merah 100 MESH 6.
Diverting Agent Biasanya ditambahkan pada asam untuk memperoleh stimulasi yang seragam
pada waktu operasi pengasaman. Diverting agent digunakan untuk menghalangi aliran asam
masuk ke daerah yang lebih permeabel dan mengarah aliran tersebut ke arah yang kurang
permeabel, jika permeabel formasi tidak seragam. 7. Complexing Agent Complexing agent yang
dipakai terdiri dari asam acetic, citric dan lactic. Bahan ini digunakan untuk mencegah terjadinya
pengendapan ion-ion besi ke dalam larutan asam yang tersisa. Sering digunakan pada sumur-
sumur yang tubingnya telah mengalami pengaratan. Pemilian jenis asam ditinjau dari jenis
batuannya dibagi menjadi dua, yaitu pengasaman matriks formasi batuan pasir dan pengasaman
matriks formasi karbonat : I. Pengasaman Matriks Formasi Batu Pasir Pada pengasaman
reservoir batu pasir, alasan utama dilakukan acidizing adalah untuk meningkatkan permeabilitas
yang kecil akibat mineral clay. Clay ini berasal dari formasi itu sendiri, akibat praktek pemboran,
well completion. Asam yang digunakan pada formasi batu pasir adalah campuran dari
hydrochloric acid dengan hydrofluoric acid yang dinaakan “mud acid”. Asam jenis ini cukup
reaktif untuk melarutkan clay dari batu pasir yang tersemen dengan karbonat. Reaksi dari
hydrochloric acid dengan batu pasir yang tersemen dengan karbonatadalah sebagai berikut :
CaCO3 + 2 HF CaF2 + CO2 + H2O Sedangkan reaksi HF terhadap batu pasir dan clay adalah
sebagai berikut : SiO2 + 6 HF H2SiF + H2O (sand) (Fluosilicic acid) Al2Si2O10(OH)2 + 36 HF
4H2SiF6 + 12H2O + 2H3AlF6 (Clay) (Fluosilicic acid) (fluoluminic acid) Dalam perencanaan
perbaikan dengan menggunakan asam HF untuk mengatasi masalah clay, faktor-faktor utama
yang harus dipertimbangkan adalah kedalaman kerusakan dan persen berat dari clay alam yang
terjadidi dalam formasi ditambah dengan berat clay yang telah dipindahkan ke dalam formasi
porous di sekitar lubang bor. Additif yang biasa digunakan dalam pengasaman batu pasir adalah
surfactant, corrosion inhibitor dan mutual solvent. Operasi pengasaman untuk batu pasir
umumnya terdiri dari tahap-tahap yang sesuai dengan fluida yang diinjeksikan seperti preflush,
HCL - HF ataupu overflush. a. Preflush Preflush adalah fluida yang digunakan pada tahap awal
operasi pengasaman dan dipompakan sebelum campuran asam utama diinjeksikan (main acid).
Fungsi dari fluida preflush adalah : 1. Menghilangkan calcite di daerah sekitar lubang sumur agar
calcite tidak bereaksi dengan asam HF. 2. Membentuk suatu penghalang antara campuran asam
HCL—HF dan air formasi. Fluida preflush yang sering digunakan antara lain : 1. larutan HCL 5 –
15 % dan asam acetic yang berfungsi untuk melarutkan limestone atau dolomite dan dapat
mengurangi terbentuknya calcium fluoride, penghalang antara fluida formasi dengan asam HF
(karena flida formasi mengandung unsur K, Na dan Ca) dan menghancurkan karbonat sehingga
memperkecil endapan CaF2. 2. Larutan NH4CL 3 % digunakan sebagai fluida preflush jika
CaCl2 telah digunakan sebagai Fluida workover. b. Main Acid Treatment Setelah fluida preflush
diinjeksikan dalam operasi pengasaman adalah campuran asam HCL-HF (main acid). Campuran
yang umum di gumakan adalah campuran asam 12 % dan HF 3 %. Asam HF akan bereaksi
dengan Clay, pasir, partikel lumpur penboran atau filtrat semen di sekitar lubang sumur.
Sedangkan HCL tidak bereaksi, hanya berfungsi untuk mempertahankan Ph supaya tetap
rendah dan mempertahankan asam HF agar tidak kehilangan fungsinya. Beberapa
konsentrasidari main acid treatment yang umum digunakan adalah : 1. HCL 12 % - Hf 3 %,
merupakan konsentrasi yang normal untuk digunakan dalam menghilangkan kerusakan suatu
formasi clay yang rendah atau formasi quartz yang tinggi. 2. HCL 13,3 % - HF 1,5 %, digunakan
untuk formasi feldspar yang tinggi. 3. HCL 6,5 % - HF 1 %,digunakan untuk formasi dengan
kandungan clay yang tinggi. 4. HCL 3 – 7 % - HF 0,5 %, digunakan untukformasi ketat dimana
permeabilitasnya lebih kecil dari dari 1 md. Prosedur standar yang biasanya digunakan untuk
menginjeksi asam HCL 12 % - HF 3% pada batuan pasir adalah sebesar 200 gal/ft dan dibawah
tekanan rekah formasi, untuk pasir yang sangat impermeabel atau pasir dengan kerusakan clay
yang luas, maka digunakan treatment lebih besar dari 200 gal/ft. c. Overflush Merupakan tahap
akhir dari suatu operasi pengasaman matriks pada formasi batu pasir. Tujuan dari overflush
adalah : 1. Pemindahan asam HF yang tidak bereaksi dengan matriks batuan ke dalam formasi.
2. Pembersihan hasil reaksi antara asam HF dan mtriks batuan formasi yang keluar dari lubang
sumur. 3. Sebagai penyeinbang clay dan serpih. 4. Sebagai penyeimbang saturasi minyak atau
gas di sekitar lubang bor. Tujuan utama darioverflush adalah untuk mendorong main acid lebih
dari 4 ft dari lubang sumur. Jika overflush tidak dilakukan, maka endapan hasil dari asam yang
telah diinjeksikan akan mengurangi laju produksi. Umumnya overflush digunakan untuk : - Sumur
minyak seperti dengan minyak diesel atau HCL 15 % - Sumur-sumur injeksi air dengan HCL -
Sumur-sumur gas, baik denagn asam atau gas (H2 atau gas alam) Mekanisme bekerjanya asam
pada formasi batuan pasir adalah bahwa penurunan permeabilitas awal disebabkan oleh
disintegrasi parsial dari matriks batu pasir dan migrasi downstrem dari serpih halus yang
menyumbat saluran aliran dalam core.Pembukaan yang terus menerus dengan asam HF dapat
menghasilkan penghancuran, oleh karena itu peningkatan permeabilitas diperkirakan berasal
dari pembersihan saluran pori yang tersumbat oleh serpih halus dan perbesaran saluran pori lain
oleh asam. II. Pengasaman Matriks Formasi Batuan Karbonat Pada pengasaman reservoir
karbonat, biasanya digunakan HCL yang diinjeksikan pada tekanan dan laju yang cukup rendah
untuk mencegah prekahan formasi. Pada formasi penggunaan hydrochloric acid (HCL) ini
didasarkan pada kemampuannya dalam melarutkan batuan karbonat (limestone dan dolomite).
Reaksi HCL dengan limestone dan dolomite adalah sebagai berikut : 1. Untuk Limestone 2.
Untuk Dolomite Hasil dari reaksi-reaksi diatas dapat larur dalam air, sehingga mudah untuk
mengalir dari formasi ke sumur. Jenis asam yang umum digunakan pada formasi karbonat
adalah : - Untuk mineral acid adalah menggunakan asam HCL (MW = 36,47) - Untuk organic
acid adalah menggunakan asam formic (MW =46,03) dan asam acetic (MW = 60,05) Semua
jenis asam tersebut jika bereaksi dengan karbonat akan membentuk karbon dioksida (CO2), air
dan calsium atau garam-garam magnesium seperti pada reaksi diatas. Dalam proses acidizing
ini diharapkan penginjeksian larutan asam masuk kedalam formasi sejauh mungkain, sehingga
daerah pengurasan (drainage area) akan bertambah luas dan memperbaiki jaringan
penghubung di dalam formasi. Kedalaman penetrasi larutan asam ke dalam formasi akan
bergantung pada kecepatan reaksi antara larutan asam tersebut dengan batuannya. Sedangkan
kecepatan reaksinya akan tergantung dari komposisi kimia batuan, tekanan formasi, temperatur
formasi dan konsentrasi larutan asam yang digunakan. Faktor pengontrol kecepatan reaksi
acidizing terhadap formasi karbonat adalah: 1. Effek dari perbandingan volume area terhadap
waktu yang dibutuhkan asam 2. Effek dari temperatur terhadap kecepatan reaksi yang
dibutuhkan asam 3. Effek dari tekanan terhadap waktu yang dibutuhkan asam. 4. Effek kekuatan
asam terhadap waktu yang dibutuhkan asam . 5. Effek dari komposisi formasi terhadap waktu
yang dibutuhkan asam. Jika asam dipompakan ke reservoir karbonat, asam akan mengalir ke
daerah yang yang mempunyai permeabilitas besar. Reaksi asam dalam pori-pori biasanya
menyebabkan formasi bersifat konduktif sepanjang zone yang rusak dan membantu dalam
perolehan asam yang tidak dapat larut akibat reaksi asam. Panjang lubang-lubang dibatasi oleh
kehilangan fluida dan bukan oleh laju reaksi. Asam yang memberikan lubang dan ratio stimulasi
yang cukup baik adalah : - Asam-asam organik - HCL - Campuran asam dan chemical retarder
acid Asam dengan additive fluid controlle akan membantu mengontrol laju kehilangan fluida ke
formasi. Tetapi dengan reservoir yang mempunyai permeabilitas yang rendah maka jenis-jenis
asam ini tidak praktis karena injektifitasnya rendah. III. metode Penempatan Asam Metode-
metode yang di gunakan untuk menempatkan asam yaitu : 1. Ball Sealler Gambar 4.25. Metode
Ball Sealler untuk Penempatan Asam (Rudirubiandini. R, 1994) Gambar 4.4. Metode Ball Sealler
untuk Penempatan Asam (Rudirubiandini . R, 1994) 2. Packer Gambar 4.5. Metode Packer untuk
Penempatan Asam (Rudirubiandini . R, 1994) 3. Sraddle Packer Metode ini menggunakan dua
buah packer Gambar 4.6. Metode Straddle Packer untuk Penempatan Asam (Rudirubiandini. R,
1994) 4. Sand Plug Gambar 4.7. Metode Sand Plug untuk Penempatan Asam (Rudirubiandini. R,
1994) 4.2.4.2. Acid Fracturing Acid fracturing adalah suatu teknik stimulasi dengan cara
menggabung antara acidizing dengan hydraulic fracturing. Alasan dilakukannya acid fracturing
adalah : 1. Permeabilitas formasi yang rendah sehingga sumur tidak dapat dapat diproduksi
dengan aliran radial dengan laju yang ekonomis. Ketika asam di pompakan ke dalam formasi
dengan kecepatan tinggi, hanya sebagian saja dari asam yang masuk ke formasi secara radial.
Untuk menanggulangi masalh tersebut maka perlu di lakukan perekahan formasi, kemudian
asam dialirkan melalui rekahan tersebut dan masu ke formasi secara rateral. Hal ini dapat dilihat
pada Gambar 4.29. 2. Untuk menanggulangi kerusakan yang luas pada kedalaman yang sulit
dijangkau dengan pengasaman matriks. Gambar 4.8. Mekanisme Teknik acidizing Fracturing
(Rudirubiandini. R, 1994) Rekahan yang terbentuk tergantung dari permeabilitas formasi. Untuk
permeabilitas tinggi (lebih dari 1 Darcy), acidizing bisa dilakukan dengan rate lebih dari 100
bbl/menit. Untuk permeabilitas lebih rendah dari 100 mD, rate acidazing adalah 20 bbl/menit.
Setelah dilakukan perekahan dan terjadi reaksi antara asam dengan batuan maka terbentuk
semacam lubang (rekahan) dan channel di formasi. Faktor yang menentukan panjang rekahan
yang terbentuk adalah : 1. Permeabilitas dari formasi. 2. Rate pemompaan asam ke dalam
formasi ( semakin tinggi pemompaan akan semakin panjang rekahan terbentuk) 3. Viscositas
dari liquid yang dipompakan. Pengasaman jenis ini biasanya dilakukan untuk stimulasi batu
gamping dan dolomite. Acid fracturing tidak dilakukan pada formasi batu pasir karena perekahan
batu pasir akan memperbesar permeabilitas vertikal alamiah sehingga dapat menembus zona
gas atau air. 4.2.4.3. Hydraulic fracturing Adalah salah satu cara teknik stimulasi sumur, yang
dilakukan untuk memperbaiki kerusakan formasi dan permeabilitas di sekitar lubang bor, dengan
jalan menginjeksikan fluida peretak ke dalam formasi sampai tekanan tertentu, yang cukup besar
untuk meretakkan formasi tersebut, hal ini dapat dilihat pada Gambar 4.30. Tujuan dilakukannya
hydraulic fracturing adalah : 1. Meningkatkan produktifitas dari sumur dengan jalan membuat
rekahan menembus reservoir. 2. Memperbaiki recovery dari sumur dengan jalan membuat
saluran (channel) ke dalam formasi. 3. Membantu dalam operasi secondary recovery. Hampir
semua sumur dilakukan perekahan pada awal komplesi, di fracturing untuk meningkatkan
produktifitas sumur setelah diproduksi. Dengan dilakukannya perekahan ini produktifitas sumur
bisa meningkat dua sampai empat kali lipat dari produksi sumur sebelum dilakukan perekahan.
Pada dasarnya hasil dari hydraulic fracturing adalah tergantung pada karakteristik batuan
reservoir, cara penyelesaian sumur dan juga parameter-parameter hydraoulic fracturing itu
sendiri, yang meliputi faktor tekanan , fluida peretak serta pengganjal untuk menahan retakan
yang terjadi. Gambar 4.9. Proses Penempatan Bahan Pengganjal yang Baik Dalam Rekahan
untuk Menghasilkan Konduktifitas Fluida yang Diharapkan. (Rudirubiandini. R,1994) I. Bahan
Pengganjal Bahan pengganjal dalam operasi hydraulic fracturing diperlukan untuk mengganjal
atau menahan retakan yang terjadi agar tetap terbuka sebagai saluran-saluran. Dengan
sendirinya pengganjal yang akan dikehendaki adalah yang baik dan dapat memberikan
konduktifitas rekahan yang besar. Untuk memilih bahan pengganjal yang baik, maka perlu
diketahui sifat-sifat bahannya. Sifat-sifat dari bahan yang diinginkan adalh : 1. Mempunyai
kebulatan dan ukuran yang seragam. 2. Mempunyai kekuatan cukup sehingga retakan tetap
terbuka. 3. Tahan terhadap semua fluida atau bahan kimia yang digunakan. 4. Mudah
diinjeksikan. 5. Mudah didapat dan murah. Semakin kecil ukuran partikel (dalam MESH).
Semakin besar beban yang dapat ditahan dan semakin besar pula permeabilitas
retakannya.Keseragaman ukuran partikel juga berpengaruh terhadap permeabilitas rekahan,
misal ukuran pasir 10 – 16 mesh, mempunyai permebilitas 50 % lebih besar dibanding pasir
yang berukuran 10 -20 mesh. Dengan adanya bahan pengganjal di dalam rekahan maka sifat
pengaliran fluida melalui rekahan akan berubah.dari hasil percobaan menunjukkan bahwa pada
distribusi “partial monolayer” akan memberikan konduktifitas rekahan tinggi dengan tidak
memerlukan rekahan yang terlalu besar dan jumlah bahan pengganjal yang sedikit. Untuk
menciptakan kondisi bahan pengganjal untuk membentuk satu lapisan atau “monolayer” dapat
digunakan dua cara Yaitu : 1. Menggunakan fluida perekah yang mempunyai sifat viscositas
tinggi dengan konsentrasi bahan pengganjal rendah serta diinjeksikan dengan cara berselang-
seling antara fluida dengan dan tanpa pengganjal. 2. Dengan menggunakan bantuan “oil soluble”
atau “water soluble spacer” dengan massa jenis dan ukuran butiran yang sama besar dengan
bahan pengganjal. Spacer yang digunakan di sini tidak larut dalam fluida perekah. Untuk
melarutkan spacer tersebut dibentuk suatu pelarut yang sengaja diinjeksikan pada akhir operasi
perekahan, sehingga dengan ini diharapkan dapat tercipta pori-pori dan permeabilitas yang
besar dalam rekahan. Spacer yang digunakan adalah :Urea (NH2CONH2), Hidrokarbon dan
Sodium Bisulfat. Pada umumnya jenis bahan pengganjal yang digunakan adalah pasir,
tempurung, serbuk gelar dan alumunium, tetapi bahan pengganjal yang sering digunakan adalah
pasir. II. Fluida Peretak Fluida peretak merupakan media penyalur tekanan untuk meretakkan
formasi dan membawa bahan penganjal ke dalam rekahan. Kebersihan hydraulic fracturing
sangat bergantung pada jenis fluida perekahnya. Dalam peranannya, maka API menyarankan
untuk setiap fluida peretak sebaiknya mempunyai sifat-sifat sebagi berikut : - mampu untuk
membawa dan menahan dalam suspensi nahan pengganjal ke dalam rekahan yang terjadi. -
Stabil pada temperatur formasi. - Dengan mudah dapat di bersihkan dari lubang sumur setelah
operasi peretakan selesai. - Tidak membebtuk emulsi yang stabil dengan fluida formasi. -
Mempunyai “friction loss” pemompaan yang rendah. - Mudah didapat dan murah. - Mempunyai
titik nyala, titik tuang dan kandungan solids yang sesuai dengan keperluan. Selain sifat-sifat
tersebut ada juga parameter lain yang sangat berpengaruh adalah sifat lapisan, viscositas dan
kehilangan cairan serta mempunyai sifat yang sepadan dengan fluida reservoir, dimana tidak
akan terjadi reaksi dengan fluida reservoir, yang akan menyebabkanpenyumbatan pori-pori
batuan dan akan mengurangi produktifitas sumur atau kerusakan formasi. Berdasarkan bahan
dasarnya, fluida perekah dapat dibagi menjadi tiga ,yaitu: 1. Fluida Peretak Bahan Dasar Minyak
Fluida peretak jenis ini sering digunakan dalam operasi hydraolic fracturing, kecuali untuk
reservoir gas karena mempunyai titik nyala yang rendah sehingga mudah terbakar. Jenis fluida
peretak ini antara lain ; - Crude oli (dengan atau tanpa additive) - Viscositas refined oil (dengan
atau tanpa additive) - Galled oil. 2. Fluida peretak Bahan Dasar Air. Penggunaan fluida jenis ini
mempunyai banyak keuntungan karena : - Dapt digunakan pada reservoir gas atau minyak. -
Mudah didapat dan murah - Mempunyai tekanan gesek yang rendah (friction rendah), sehingga
dapat menghasilkan tekanan hidrostatik yang besar. Kelemahan dari fluida peretak ini adalah : -
Tidak semua atau jenis formasi dapat diretakkan dengan fluida peretak air. - Digunakan terutama
pada formasi yang peka terhadap air. - Akan terjadi kerusakan “swelling” dari partikel clay yang
ada pada formasi tersebut. Macam bahan peretak dasar adalah : - Fresh atau salt water - Low
friction Acid (LFA) - Aquqfrac 3. Fluida Peretak Emulsi Fluida peretak emulsi ini sangat effektif
digunakan pada formasi yang mempunyai kelarutan asam yang tinggi seperti pada formasi kapur
dan dolomite. Dan pada umumnya juga digunakan untuk gabungan dengan acidizing fracturing.
Pada formasi pasir atau yang rendah kelarutan asamnya, lebih ekonomis menggunakan fluida
peretak bahan dsar air atau minyak. Contoh bahan dasar peretak nahan dasar emulsi yaitu :
Emulsified Crude dan Geofrac. III. Persiapan Sumur Sebelum dilakukan perekahan maka sumur
harus dibersihkan terlebih dahulu karena kemungkinan perforasi tertutup oleh scale, parafin atau
material lainnya. Adanya plug pada perforasi maka menyebabkan adanya tekanan yang tinggi
ketika dilakukan treatment atau juga kegagalan perekahan karena perekahan bisa terjadi pada
zona lainnya diluar target. Sebelum dilakukan perekahan sebaiknya dilakukan buil-up testing, hal
ini berguna untuk mengaetahui : - Pengurangan permeabilitas di dekat sumur. - Permeabilitas
rendah dalam reservoir. - Tekanan reservoirnya depleted. Jika tekanan reservoirnya telah
depleted maka tidak akan dilakukan hydraulic fracturing. Danm juga data analisis core dan drill
steam test dapat juga digunakan untuk membantu identifikasi penyebab rendahnya
permeabilitas IV. Teknik Perekahan A. Mekanisme Pecah Batuan Formasi dapat direkahkan
dengan menggunakn fluida bertekanan tinggi yang melebihi sress minimum dalam srtuktur
batuan. Biasanya rekahan menyebar ke arah tegak lurus terhadap stress minimum batuannya.
Untuk memulai rekah, tekanan fluida perekah harus ditransmisikan ke formasi dan untuk
mengetahui arah rekah, tekanan harus dijaga lebih besar dari stress minimum batuannya. Oleh
karena itu penggunaan fluida yang berviscositas rendah lebih baik untuk menentukan gradient
rekah formasinya. Dalam prakteknya, gradien rekah formasi ditentukan dengan leak off test. Test
ini biasanya dilakukan setelah casing shoe di bor dengan maksud untuk mengetahui gradient
lumpur maksimum yang diinjeksikan untuk trayek lubang bor berikutnya. B. Penentuan Arah
Retakan Retakan bisa diketahui pada saat dilakukan selama operasi peretakan berlangsung,
yaitu berdasarkan hasil pencatatan tekanan pemompaan cairan atau fluida perekah ke dalam
formasi. Berdasarkan tekanan yang tertinggi yang terjadi selama proses hydrauiic fracturing,
akan diketahui besarnya gradient tekanan peretak, yang mana gradien tekanan ini dapat dipakai
untuk memperkirakan arah retakan yang akan terjadi. Besarnya gradient tekanan peretak ini
dapat dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut :
..........................................................................(4-37) Keterangan : Gpf = Gradient tekanan
rekah, psi/ft Ph = Tekanan hidrostatik fluida perekah, psi Pp = Tekanan pemompaan fluida
peekah, psi Pf = Kehilangan tekanan karena gesekan dengan tubing, psi Ppf = Kehilangan
tekanan karena gesekan dengan lubang perforasi, psi D = Kedalaman formasi Dari persamaan
4.60 maka dapat ditentukan besar dan arah retakan batuan formasi yang terjadi yaitu ; Gpf ≤ 0.7
psi/ft = Arah retakannya vertikal 0.7 < Gpf < 1 psi/ft = Arah retakannya miring (membentuk sudut)
Gpf ≥ 1 psi/ft = Arah retakannya horizontal Pada umumnya untuk perekahan melalui perforasi
digunakan teknik sealing ball. Bola-bola diinjeksikan mengikuti arus dari fluida perekah
menggunakan special boll injektor. Umumnya satu bola diinjeksikan untuk satu perforasi. Ketika
injeksi di salah satu zone selesai dilakukan maka bola-bola akan menutup zone tersebut
sehingga bisa dilakukan perekahan zona lainnya. Ketika injeksi selesai dilakukan, bola akan
jatuh dengan sendirinya ke dasar sumur. Teknik perekahan dapat dilakukan dengan beberapa
cara : 1. Straddle Packer arrangement Gambar 4.10 Teknik Perekahan Denagan Sraddle Packer
arrangement (Rudirubiandini. R, 1994) 2.Single Packer Gambar 4.11 Teknik Perekahan Dengan
Single Packer (Rudirubiandini. R, 1994) 3. Stage Treatment Using Ball Seallers Gambar 4.12.
Teknik Perekahan Dengan Stage Treatment Using Ball Seallers (Rudiubiandini.R , 1994) 4.
Through Open Casing Gambar 4.13. Teknik Perekahan dengan Through open Casing
(Rudirubiandini. R, 1994) 4.2.5. Evaluasi Kerusakan Formasi Evaluasi penanganan kerusakan
formasi dimaksudkan untuk menilai tingkat keberhasilan yang telah dicapai oleh pekerjaan
tersebut dalam meningkatkan laju produksi minyak. Parameter (ukuran) keberhasilan adalah
adanya kenaikan laju total produksi harian (q), kenaikan Productivity Index (PI), kenaikan Flow
Efficiency (FE), perbaikan skin total (S) dan perubahan kurva IPR. 4.2.5.1. Water Influx Air yang
merembes masuk kedalam zona minyak disebut water influx atau dapat juga disebut water
encroachment yang diberi symbol We. Water influx ini merupakan fungsi dari penurunan tekanan
dan waktu.Dari gambar memperlihatkan suatu tangki reservoir berhubungan dengan tangki
aquifer melalui suatu pipa yang berisi pasir. Mula – mula kedua tangki diisi sampai ketinggian
dan tekanan awal Pt yang sama. Ketika reservoir diproduksikan pada rate yang konstan,
tekanan akan menurun dengan penurunan awal yang lebih cepat. Pada suatu ketika tekanan
reservoir menurun hingga suatu harga tekanan P tertentu, maka rate dari water influx dapat
sesuai dengan Hukum Darcy, dimana akan berbanding lurus dengan permeabilitas dari pasir
yang berada dalam pipa, luas pipa dan penurunan tekanan ( P1 – P ) serta berbanding terbalik
terhadap viscositas dan panjang pipa. Tekanan aquifer akan tetap konstan kalau water influx dari
tangki aquifer tergantikan atau mendekati konstan, karena tangki aquifer cukup luas disbanding
terhadap tangki reservoir. Gambar 4.14. Hydraulic analog dari Water Influx Steady State ( Craft
B.C. 1962 ) Rate maksimum dari water influx akan terjadi pada saat P = 0. Jika rate maksimum
lebih besar daripada rate pengosongan volume reservoir, maka tekanan rate dari water influx
akan sama dengan rate pengosongan sehingga tekanan reservoir akan menjadi stabil. Hal ini
analog dengan steady state water influx yang masuk kedalam reservoir yang secara analisis
seperti pada persamaan 4-38, dimana konstantanya tergantung pada permeabilitas, ukuran (
dimensi ) batuan aquifer dan viscositas rata – rata aquifer tersebut. Suatu hydraulic analog untuk
aliran unsteady state dapat dilihat pada gambar, dimana tangki reservoir sebelah kanan
dihubungkan dengan serangkaian tangki yang semakin besar diameternya melalui pipa
penghubung yang diameter dan permeabilitas konstan, tetapi semakin pendek pipa-pipa
penghubungnya ke tangki yang semakin luas. Mula-mula seluruh tangki diisi sampai pada
ketinggian tertentu dan tekanan Pt. Gambar 4.15. Hydaulic analog dari Water Influx Unsteady
State ( Craft B.C. 1976 ) Pada saat produksi dimulai, tekanan reservoir akan menurun dan
menyebabkan masuknya water influx dari tangki pertama dan tekanan pada tangki pertama pun
ikut menurun. Penurunan tekanan tangki pertama akan menyebabkan aliran dari kedua tangki
dan seterusnya. Hal ini membuktikan bahwa tekanan di tangki aquifer tidak seragam atau merata
melainkan bervariasi sesuai dengan waktu dan rate produksi. Bila ada sejumlah tangki aquifer
yang tidak terbatas banyaknya akan memperlihatkan tekanan reservoir benar-bener tidak dapat
stabil pada rate produksi yang konstan karena penambahan sebagian water influx harus dating
dari jarak yang semakin jauh. Adapun untuk menghitung water influx dapat digunakan beberapa
metode, yaitu : Metode Schilthuis dan Hurst untuk aliran steady state, sedangkan Metode Van
Everdingen dan Hurst untuk aliran unsteady state. 4.2.5.1.1. Persamaan Schilthuis pada aliran
Steady State Metode ini digunakan untuk aliran steady state dengan rumusan sebagai berikut :
We=c …………………………………………………...(4-38) Atau dalam bentuk differensial
……………………………………………………..(4-39) Keterangan : c = konstanta water influx,
bpd/psi (Pi-P) = penurunan tekanan, psi t = waktu, day 4.2.5.1.2. Persamaan Hust pada aliran
Steady State Metode ini juga digunakan untuk aliran steady state, dengan rumusan sebagai
berikut: We = c ………………………………………………….…(4-40) Keterangan : C = konstanta
water influx, bpd/psi (Pi-P) = penurunan tekanan, psi a = konstanta konversi 4.2.5.1.3.
Persamaan Van Everdingen dan Hust pada aliran Unsteady State Pada aliran Unsteady State
oleh Van Everdingen dan Hust merumuskan sebagi berikut : We = B
................................................................................(4-41) Keterangan : We = Water
encroachment, bbl B = konstanta water infux, bbl/psi = penurunan tekanan, psi Qt =
dimensioless water infux Van Everdingen dan Hust telah merumuskan persamaan diffusivitas
pada bentuk radialseperti yang disajikan dalam Tabel 4.1 dan 4.2 untuk berbagai ukuran dan
aquifer dan reservoir yang dinyatakan dalam bentuk waktu tanpa dimensi tD dan water influx
tanpa dimensi Qt. Anggapan yang dipakai Van Everdingendan Hurst pada penyelesaian
Persamaan Diffusivitas untuk bentu radial adalah : a. Aquifer berbentuk lingkaran yang
konsentrasinya meliputi lingkaran reservoir yang horizontal. b. Lapisan seragam ( uniform
stratum ) c. Tekanan mula-mula Pi merata. Tabel 4.1 dan 4.2 dapat memberikan harga water
infux tanpa dimensi yang merembes masuk kedalam reservoir sebagai akibat dari penurunan
tekanan pada suatu harga waktu tanpa dimensi tD dan dihubungkan ke waktu yang sebenarnya
dapat disajikan seperti persamaan berikut : TD = 6,323.10-3
……………………………………….….(4-42) Keterangan : K = permeabilitas, mD T = waktu, day
= porositas, fraksi = viscositas, cp Ce = kompesibitas efektif, vol/pore vol/psi = ( Cf + Cw ) rw =
jari-jari reservoir, ft 4.2.5.2. Interference Testing Interference testing mempunyai dua tujuan
utama, yaitu : (1) untuk menentukan apakah antara dua atau lebih sumur mempunyai suatu
komunikasi tekanan,dan (2) apabila terdapat komunikasi, kemudian dapat digunakan untuk
memperkirakan permeabilitas,k,dan perkalian porositas dan kompresibilitas dari sekitar sumur-
sumur yang ditest. Suatu interference test dilakukan dengan memproduksikan dari atau
menginjeksikan ke sekurang-kurangnya sebuah sumur (sumur aktip) dan dengan mengamati
respon tekanan pada sekurang-kurangnyasatu sumur lain yang ditutup (observation
wells).Gambar 4.16 menunjukan hasil pengamatan pada suatu interference test dari sebuah
sumur aktip, dan sebuah sumur pengamat. Dari gambar 4.16 dapat kita amati,yaitu pada saat
sumur aktip mulai berproduksi,tekanan reservoirnya seragam.setelah sumur aktip berproduksi
beberapa lama,terlihat tekanan pada sumur pengamat,yang terletak pada jarak r dari sumur5
aktip,mulai terasa ada responya.Sementara itu tekanan pada sumur aktip segera turun.Besarnya
respon tekanan dan lamanya diterimanya respon oleh sumur pengamat tergantung pada sifat-
sifat batuan dan fluida reservoirnya yang berada disekitar sumur-sumur aktip dan sumur-sumur
pengamatnya.Vela dan McKinley telah memperlihatkan sifat-aifat reservoir tersebut dalam
penyelidikannya pada suatu test didaerah yang berbentuk persegi panjang dimana ukuran sisi-
sisinya dan + r (lihat gambar 4.18).Dalam gambar 4.18, adalah jari-jari pengurasan yang dicapai
oleh sumur aktip (active well) selama test dan r adalah jarak antara sumur aktip dan sumur
pengamat. Dalam suatu reservoir yang infine-acting,homogen dan isotropic,penyelesaian
persamaan diffusivity dengan menunjukan bahwa perubahan tekanan pada sumur pengamat
adalah merupakan fungsi dari waktu: Pi – Pr = - 70,6 Ei Tekanan drawdown pada sumur
pengamat (observation well),dengan jarak r,adalah hasil dari produksisumur aktip dengan laju
aliran q,yang dimulai pada reservoir dengan tekanan yang seragam.Penyelesaian persamaan
untuk perubahan tekanan ini diperoleh dengan ,berdasarkan anggapan : (1) Skin factor pada
sumur aktip tidak mempengaruhi pressure drawdown pada sumur pengamat, (2) Wellbore-
storage diabaikan baik disumur aktip maupun disumur pengamat ketika persamaan di atas
digunakan pada suatu model interference test. Anggapan-anggapan tersebut dapat menhasilkan
kesalahan pada analisa test interference didalam beberapa kasus.Oleh karena itu cara yang
paling baik dalam menganalisa test interference ini yaitu dengan menggunakan cara type curve
matching. Cara ini dikembangkan oleh Earlougher,yaitu dengan menggunakan gambar 4.20
yang merupakan kurva dari Ei-function. Interference test merupakan bagian dari multiple well
testing, dimana dalam pengujiannya diperlukan sekurang-kurangnya satu sumur aktif (produksi
atau injeksi), dan sekurang-kurangnya satu sumur pengamat tekanan ( pressure observation ).
Gambar 4.16. adalah menggambarkan skematik dari dua buah sumur yang sedang digunakan
dalam suatu interference test pada suatu reservoir yang besar. Gambar 4.16. Skema Sumur
Aktif dan Observasi Pada Suatu Test Interference Pada interference test, laju aliran pada sumur
aktif ( active well ) bervariasi sementara respon tekanan pada dasar sumur diukur pada sumur-
sumur pengamatan ( observation well ). Tujuan dilakukan interference test adalah untuk
menentukan apakah antara kedua buah sumur mempunyai komunikasi maka bias digunakan
untuk memperkirakan harga permeabilitas k, storativity ( Ct h ), kontinuitas formasi, dari sekitar
sumu-sumur yang diuji. Sedangkan kegunaannya adalah untuk mengetahui tekanan,serta laju
alir produksi sumur. Disamping itu juga untuk mengetahui skin factor serta wellbore storage pada
sumur aktif yang dapat mengurangi hasil produksi maksimum. Suatu interference test dilakukan
dengan memproduksi dari atau menginjeksikan kedalam sumur aktif.dengan mengamati respon
tekanan pada sekurang-kurangnya satu sumur observasi. Gambar 4.17. Skema dari Sejarah
Rate dan Respon Tekanan Untuk Test Interference Dari gambar 4.17. dapat diamati, yaitu pada
saat sumur aktif mulai berproduksi, tekanan reservoarnya seragam. Setelah sumur aktif
berproduksi beberapa lama, terlihat tekanan pada sumur aktif berproduksi beberapa lama,
terlihat tekanan sumur pengamat yang terletak pada jarak r dari sumuraktif turun dengan segera.
Besarnya resp[on tekanan dan lama diterimanya respon oleh sumur pengamat tergantung pada
sifat-sifat batuan dan fluida reservoarnya yang berada di sekitar sumur aktif dan sumur
pengamatannya. Vela dan McKinley telah menunjukkan sifat-sifat reservoir dalam
penyelidikannya pada suatu daerah yang berbentuk persegi panjang, dimana ukuran sisinya 2r +
r, seperti ditunjukkan pada gambar 4.18. dimana ri adalah jari-jari pengurasan yang dicapai oleh
sumur aktif dan sumur pengamat. Gambar 4.18. Region investigated in interference test Apabila
telah terjadi hubungan, maka tekanan akan turun sesuai dengan laju produksi dan besarnya dan
besarnya kehilangan tekanan, seperti terlihat pada Gambar 4.19. Untuk reservoir yang infinite-
acting, homogen dan isotropic, penyelesaian persamaan diffusivitas dengan Ei-function
menunjukan bahwa perubahan tekanan pada dasar sumur pengamat adalah merupakan fungsi
dari waktu yaitu : Pi – Pwf = - 70,6 ………………………….. (4-43) Tekanan drawdown pada
sumur pengamat dengan jarak r, adalah hasil dari produksi sumur aktif dengan laju aliran q, yang
dimulai pada reservoir dengan tekanan yang seragam Pi. Penyelesaian persamaan untuk
perubahan tekanan ini diperoleh dengan Ei-function, berdasarkan asumsi : skin factor pada
sumur aktif tidak dipengaruhi pressure drawdown pada sumur pengamat, dan wellbore storage
diabaikan. Gambar 4.19. Respon Tekanan Di dalam Interference Test Asumsi-asumsi tersebut
diatas dapat menghasilkan kesalahan pada analisa uji ini didalam beberapa kasus. Oleh karena
itu cara yang paling baik dalam menganalisa uji interference adalah dengan type curva maching
yang dikembangkan oleh Earlouger yaitu dengan menggunakan Gambar 4.20. yang merupakan
kurva dari Ei-function. Persamaan (4.43) dapat ditulis secara lengkap dengan term tanpa satuan
sebagai berikut : ………………………(4-44) atau juga dapat ditulis : PD =
………………………………………………………..(4-45) Dimana : PD =
……………………………………………………………(4-46) rD =
…………………………………………………….….(4-47) tD =
……………………………………………….…...(4-48) Gambar 4.20. Kurva Untuk Penyalesaian
Integral Eksponensial Pada Interference Test Dengan menggunakan Gambar 4.20, maka data
dari test interference dapat dianalisa dengan menggunakan langkah-langkah sebagai berikut : 1.
Plot tekanan drawdonw yang diperoleh dari sumur pengamat ( observation well ). = Pi – Pr
versus waktu t ( elapses time ) pada kertas grafik log – log yang mempunyai ukuran skala yang
sama dengan kurva pada Gambar 4.20. 2. Geserkan data yang diplot tersebut diatas, yang
terletak diatas kurva, sehingga diperoleh kesesuaian dengan tipe kurvanya ( pergeseran hanya
dapat dilakukan secara horizontal atau secara vertical ). 3. Catat tekanan dan waktu pada mact
pointnya, yaitu : ( PD )MP, ( P )MP, dan [ ( tD/rD2 )MP, tMP ] 4. Hitung harga permeabilitas k dari
tekanan mact point : K = 141.2 ............................................................(4-49) 5. Hitung harga dari
pada ( )dari waktu mact point : = …………………………..(4-50) 4.2.5.2.1. Single-Well
Interferance Tests Tipe heterogenitas yang paling umum adalah adanya perlapisan-pelapisan
yang tidak homogen (anisotrophi).Hal yang patut dipertimbangkan dalam mengesploitasi
reserfoir ini adalah ada-tidaknya komunikasi fluida dan tekanan antar perlapisan. Umumnya efek
anisotropis vertikal merupakan hasil dari suatu proses sedimentasi dan kompaksi pasca
pengendapan pada suatu lingkngan pengendapan.secara mikroskopis disebabkan oleh
rendahnya permaebilitas vertikal antar pori,dan secara makroskopis dicirikan oleh adanya
perlapisan silang-siur ( interbedded ) antara batupair dan shale. Gambar 4.21. Skema Alat
Vertical Interference dan Pulse Test 4.2.5.2.2. Penentuan Permeabilitas Vertikal Transient test
yang digunakan untuk maengestimasi permaebilitas vertikal,KZ umumnya diklasifikasikan
sebagai vertikal testing atau vertiasl pulsa testing. Sebelum test dilakukan,sumur terlebih dahulu
dikomplesi dan diperforasi.Perforasi pertama diproduksikan atau diijeksi (yang aktif) dan
perforasi yang lainya digunakan untuk obserfasi. A. Vertical Pulsa Testing Test ini
memanfaatkan suatu urutan-urutan pulsa waktu pendek pada sumur aktif.Pulsa umumnya
merupakan perioda-perioda produksi ( atau injeksi ) dan penutupan sumur (shut-in) yang silih
berganti.Respon tekanan dari pulsa diukur pada observasi.gambar 4.20 memperlihatkan skema
vertikal test ,dimana test ini diterapkan pada sumur-sumur yang mana secara lateral jauh dari
batas reservoirnya misalnya pitchout. Gambar 4.22. Sejarah Rate dan Tekanan Plse Test
Kebaikan test ini dalah test yang singkat ( short duration ) sehingga pengaruh batas resevoir
diabaikan kecuali jika unuk waktu test yyang sangat panjang.Resepresenatasi dari respon
tekanan dan sejarah produksinya seperti pada gambar 4.22.Langkah pertama dalamanalisa
vertical pulsa test dalah menentukan besarnya pulsa faktor geometri uintuk penggunaan kurva-
kurva korelasi.Faktor geometri tersebut adalah : - Primal geometric factor GP : ZP /
ZR………………………………………………………………..( 4-51 ) - Reciprocal geometric factor
GR : ( h/ ZR ) – GP - 1………………………………………………….....( 4-52 ) Untuk system
Infinite-Acting ( GP > 2, GR >2 )
Permaebilitas vertikal untuk sistem ini ( dianggap bahwa ( tL )00 : tL ),dapat diestimasi dengan
persamaan :
KZ = …………………………………………...( 4-53 )
Sedang permeabilitas arah horizontal dihitung dengan persamaan :
KR = ………………………………………………..(4-54)
Keterangan :
Kv = permeabilitas vertikal, mD
Kr = permeabilitas arah vertikal, mD
( ZR ) = jarak vertikal antara perforasi atas dan bawah, ft
( tPDV ) = dimensioles pulse time, diperoleh dari gambar 4.24
tp = waktu setiap pulsa, jam
( PDV )m = dimensionless respone pulse amplitude untuk system infinit, dari gambar 4.23
P = amplitudo tekanan respon, psi

Gambar 4.23. Hubungan panjang Pulsa Tak berdimensi dan Amplitudo Respon

Gambar 4.24. Hubungan Panjang Pulsa Tak Berdimensi dan Time Lag

B. Vertical Interference Testing


Menurut Prats, plot antara tekanan observasi vs waktu awal injeksi (produksi) maka akan
menghasilkan suatu garis lurus dengan slope m dan intercept P1 jam pada t = 1 jam ( Gambar
4.25).
Permeabilitas horizontal dapat diestimasi dari slope tersebut dengan persamaan :
KR = ............................................................................(4-55)

Gambar 4.25. Plot Pws vs t Pada Vertical Interference Test

Sedang permeabilitas vertical dapat diestimasi dari slope dan intercept garis tersebut:
KZ = ……(4-56)
Keterangan :
G* = faktor geometri, diperoleh dari gambar 4.26

Pada analisa Prats ini, sumur harus membutuhkan stabilisasi sebelum dilakukan test.
Gambar 4.26. Faktor Geometri Pada Vertical Interference Test

5.3. Evaluasi Penanganan Kerusakan Formasi


Evaluasi penanganan kerusakan formasi dimaksudkan untuk menilai tingkat keberhasilan yang
telah dicapai oleh pekerjaan tersebut dalam meningkatkan laju produksi minyak. Parameter
(ukuran) keberhasilan adalah adanya kenaikan laju total produksi harian (q), kenaikan
Productivity Index (PI), kenaikan Flow Efficiency (FE), perbaikan skin total (S) dan perubahan
kurva IPR.

5.3.1. Evaluasi Keberhasilan Berdasarkan Parameter Laju Produksi


Dalam mengevaluasi keberhasilan penanggulangan kerusakan formasi pertama-tama adalah
mengamati laju hariannya. Bila laju produksi harian setelah tindakan lebih besar dibanding
sebelum tindakan, maka dapat dikatakan penanganan terhadap kerusakan formasi tersebut
berhasil.

5.3.2. Evaluasi Keberhasilan Berdasarkan Parameter Indeks Produktivitas


Produktivity Index adalah indeks yang menyatakan kemampuan suatu formasi untuk
mengalirkan fluidanya ke dasar sumur pada drawdown tertentu. Penanganan terhadap
kerusakan formasi dikatakan berhasil jika terjadi kenaikan
indeks produktivitas. Secara matematis PI dinyatakan:
PI = (4-57)
Keterangan :
q=
Ps = tekanan statik, psi
Pwf = tekanan alir dasar sumur, psi
Besarnya Pwf dipengaruhi oleh adanya faktor hambatan (skin), maka terdapat dua tipe indeks
produktivitas, yaitu PIideal (dengan anggapan tanpa
pengaruh skin) dan PIactual (yang memperhitungkan skin).
(4-58)
(4-59)
Menurut Kermit E. Brown (1967) batasan terhadap tingkat produktivitas sumur adalah:
 PI rendah jika PI < 0.5  PI sedang jika 0.5 < PI < 1.5  PI tinggi jika PI > 1.5

5.3.3. Evaluasi Keberhasilan Berdasarkan Parameter Faktor Skin


Hurst dan Van Everdingen memberikan hubungan untuk menentukan faktor skin, yaitu:
S = 1.151 (4-60)
Keterangan :
P1 jam = pembacaan tekanan dari bentuk linier pada kurva PBU selama
1 jam penutupan, psi
Pwf = tekanan sumur sesaat sebelum penutupan, psi
m = kemiringan slope pada bagian linier dari grafik
µo = viskositas minyak, centipoises
 = porositas, fraksi
k = permeabilitas efektif minyak, mD
Ct = kompressibilitas batuan, psi-1
h = ketebalan formasi produktif, ft
rw = jari-jari sumur, ft
Kerusakan formasi akibat faktor skin dapat dilihat dari penyimpangan harga S terhadap titik nol,
yang secara kumulatif dinyatakan sebagai berikut:
 S > 0, berarti ada kerusakan di sekeliling lubang bor pada formasi produktif
yang kita amati.
 S = 0, berarti kerusakan formasi di sekeliling lubang bor diabaikan.
 S < 0, berarti ada perbaikan di sekeliling lubang bor pada formasi produktif yang kita amati.
5.3.4. Evaluasi Keberhasilan Berdasarkan Parameter Efisiensi Aliran Flow Efficiency (FE) adalah
suatu konstanta yang menunjukkan pengertian identik dengan adanya skin di sekitar sumur pada
formasi produktif .(4-70) (4-71) (4-72)  Harga maksimum FE = 1, jika tidak ada kerusakan
dalam lubang sumur.  FE < 1, jika ada kerusakan dalam lubang sumur.  FE > 1, jika terjadi
perbaikan permeabilitas di sekitar lubang sumur.

5.3.5. Evaluasi Keberhasilan Berdasarkan Parameter Perubahan Kurva IPR


Grafik kurva performance yang disebut Inflow Performance Relationship (IPR) merupakan grafik
kemampuan suatu sumur selama produksi, yang menunjukkan hubungan antara kualitas
produksi dengan tekanan alir dasar sumur.

Gambar 4.27
Kurva Perbandingan Sebelum dan Sesudah Pengasaman
( ____________; “Diktat Kuliah Kerja Ulang dan Stimulasi”)

Dari hasil pengamatan terhadap kurva IPR dari suatu sumur sebelum dan sesudah pengasaman
dapat diketahui sukses tidaknya operasi penanganan terhadap kerusakan formasi. Penanganan
dikatakan berhasil bila pada drawdown (Ps - Pwf) yang sama akan diperoleh laju produksi yang
berbeda, yaitu laju produksi setelah penanganan mengalami peningkatan.
Metode yang digunakan untuk menentukan kinerja aliran fluida dari formasi ke lubang sumur
yang berbentuk kurva IPR, antara lain dikembangkan oleh Vogel dan Pudjo Sukarno.
Untuk sumur yang mempunyai water cut tinggi dan fluida yang mengalir 3 fasa, dipergunakan
metode Pudjo Sukarno. Metode ini dipergunakan untuk mengembangkan kurva IPR gas-minyak.
Anggapan yang dilakukan pada metode ini adalah gas, minyak dan air berada dalam satu
lapisan dan mengalir bersama-sama secara radial.
Kadar air dalam produksi total dapat dinyatakan dengan menggunakan parameter tambahan
yang disebut water cut, yaitu perbandingan laju produksi air dengan laju produksi cairan total.
Hasil simulasi menunjukkan bahwa pada harga tekanan reservoir tertentu, harga water cut
berubah sesuai dengan perubahan tekanan alir dasar sumur. Dengan demikian perubahan water
cut sebagai fungsi dari tekanan alir dasar sumur perlu ditentukan.
Pembuatan kurva IPR dengan metode Pudjo Sukarno merupakan hasil analisa regresi yaitu plot
antara qo/qt max terhadap Pwf/Ps dimana qt max merupakan laju aliran cairan total maksimum.
Dari analisa regresi diperoleh hasil sebagai
berikut:
(4-73)
dimana:
An (n = 0, 1 dan 2) adalah konstanta persamaan yang harganya berbeda untuk water cut yang
berbeda.
Hubungan antara konstanta tersebut dengan water cut yang berbeda. Hubungan antara
konstanta tersebut dengan water cut ditentukan pula secara analisa regresi,
dan diperoleh persamaan sebagai berikut:
An = C0 + C1 (water cut) + C2 (water cut)2 (4-74)
dimana:
Cn (n = 0, 1 dan 2) untuk masing-masing harga An ditunjukkan dalam Tabel 4.4 sebagai berikut :

Tabel IV-4
Konstanta Cn untuk masing-masing An
( __________; “Diktat Kuliah Teknik Produksi II”)

An C0 C1 C2
Ao 0.980321 - 0.115661 x 10-1 0.179050 x 10-4
A1 - 0.414360 0.392799 x 10-2 0.237075 x 10-5
A2 - 0.564870 0.762080 x 10-2 - 0.202079 x 10-4

Telah diuraikan sebelumnya bahwa water cut berubah sesuai dengan perubahan tekanan alir
dasar sumur pada satu harga tekanan reservoir, maka perlu dibuat hubungan antara tekanan alir
dasar sumur dengan water cut. Hubungan ini dinyatakan sebagai hubungan Pwf terhadap WC /
(WC @ Pwf ≈ Ps). Analisa regresi
menghasilkan persamaan sebagai berikut:
.(4-75)
P1 dan P2 tergantung dari harga water cutnya, dari analisa regresi diperoleh
hubungan sebagai berikut:
P1 = 1.6062070 – 0.130447 ln (water cut) (4-76)
P2 = - 0.517792 + 0.110604 ln (water cut) (4-77)
Dimana water cut dinyatakan dalam persen (%).

Untuk mencari produktivitas indeks (PIactual) menggunakan persamaan sebagai


berikut:
(4-78)
dimana:
(4-79)
.. (4-80)
Dengan memasukkan Persamaan (4.72), (4.79) dan (4.80) ke Persamaan (4.78)
akan diperoleh persamaan baru sebagai berikut:
.. (4-81)
Untuk analisa keberhasilan sand control dapat diketahui dengan menghitung laju produksi
setelah pemasangan gravel pack. Laju alir setelah gravel sangat dipengaruhi oleh penurunan
tekanan akibat media gravel, sehingga besarnya laju
aliran setelah gravel:
Qa = PIa {Ps – (Pwf + ΔPgravel)} (4-82)
Dimana :
Qa = laju produksi setelah gravel pack, bbl/day
PIa = Productivity Index setelah gravel, bpd/psi
Pwf = tekanan alir dasar sumur sebelum gravel, psi
ΔPgravel = perbedaan tekanan pada media gravel, psi
Lumpur Pemboran

Fluida pemboran merupakan suatu campuran (liquid) dari beberapa unsur yang terdiri dari

air (air tawar atau asin), minyak, tanah liat, bahan – bahan kimia, gas, busa maupun detergen.

Lumpur merupakan salah satu bagian terpenting dari sistem pemboran, atau lazim disebut

“darahnya pemboran” yang berfungsi untuk membantu sistem pemutar dalam operasi

pemboran sumur.

2.1. Fungsi lumpur

Lumpur (mud) merupakan penunjang yang paling utama dari operasi pemboran dan

mempunyai fungsi. Lumpur dapat menanggulangi masalah - masalah yang ada sekaligus juga

menimbulkan masalah dalam operasi pemboran. Fungsi lumpur pemboran, antara lain:

2.1.1. Mendinginkan dan melumasi pahat

Karena adanya gesekan pada putaran pahat (bit) pada formasi dan rangkaian maka akan

timbul panas. Disaat inilah peran dari lumpur pemboran, panas yang timbul akan diserap

secara konduksi sehingga gesekan dan panas akan berkurang.

2.1.2. Mengangkat cutting ke permukaan

Serbuk bor (Cutting) cenderung tidak terbawa oleh aliran lumpur karena adanya beda

tekanan, sehingga cutting akan bertumpuk pada dasar lubang. Pencegahannya adalah

mengurangi perbedaan tekanan yang terlalu tinggi dan aliran lumpur yang merata ke seluruh

lubang bor sehingga serbuk bor dapat terangkat ke permukaan bersama dengan lumpur. Sifat

dasar lumpur juga tidak kalah penting dalam proses pengangkatan serbuk bor, berat jenis
(densitas) dan kekentalan (viskositas) harus dikendalikan sehingga dapat mengangkat serbuk

bor dengan sempurna.

2.1.3. Membersihkan dasar lubang

Lumpur mengalir melalui pipa pemboran masuk ke pahat dan keluar

melalui nozzlemenimbulkan daya sembur yang sangat kuat sehingga dasar lubang bersih dari

serbuk bor. Dalam fungsi ini sangat dibutuhkan perhitungan gpm pompa dan kekuatan

formasi.

2.1.4. Mengontrol tekanan formasi

Mengontrol tekanan formasi merupakan hal yang sangat penting dalam operasi

pemboran untuk mencegah terjadinya semburan liar (blow out) atau lost circulation. Blow

out adalah berat lumpur lebih kecil dari tekanan formasi yang ada. Lost Circulation adalah

kondisi dimana berat lumpur terlalu besar dari tekanan formasi sehingga lumpur masuk ke

dalam formasi.

2.1.5. Menahan serbuk bor dan material pemberat saat sirkulasi dihentikan

Kemampuan lumpur bor untuk menahan atau mengapungkan serbuk bor saat tidak ada

sirkulasi tergantung pada gel strength-nya. Fungsi ini sangat dibutuhkan untuk mencegah

menumpuknya serbuk bor di anulus yang akan menyebabkan rangkaian terjepit.

2.1.6. Menghantar daya hidrolika ke pahat

Lumpur adalah media untuk menghantarkan daya hidrolika dari permukaan ke dasar

lubang. Daya hidrolika lumpur harus ditentukan dalam membuat progam pengeboran
sehingga laju sirkulasi dan tekanan permukaan menjadi balance sehingga dapat

membersihkan lubang dan mengangkat serbuk bor.

2.1.7. Mencegah terjadinya caving dan kontaminasi pada formasi

Terjadinya kontaminasi pada formasi akan mempersulit operasi pemboran. Untuk itu

sangat dihindari menggunakan lumpur yang tidak bereaksi dengan formasi. Terutama untuk

formasi yang mempunyai pemeabilitas 100 – 150md. Caving terjadi pada formasi shale yang

mudah menghidrasi.

2.1.8. Mencegah dan menghambat laju korosi

Gas CO2 dan H2S yang terkandung dalam formasi akan menaikan laju korosi pada

peralatan pemboran dibawah permukaan. Untuk mengurangi terlarutnya gas – gas tersebut

harus menjaga PH lumpur. Zat pengikat oksigen (oxygen scavenger) atau zat penghambat

kerak (scale inhibitor) dapat menjadi solusi untuk menghambat laju korosi.

2.1.9. Melindungi dinding lubang bor

Lumpur akan membuat mud cake atau lapisan padat dan tipis di permukaan formasi

yang permeable. Pembentukan mud cake akan mengakibatkan aliran fulida menuju formasi

tertahan. Cairan yang masuk ke formasi disebut filtrate. Mud cake diharapkan adalah tipis

dan padat dengan demikian lubang bor tidak menyempit.

2.2. Sifat – sifat fisik lumpur pemboran

Agar fungsi – fungsi yang diterangkan diatas dapat berjalan dengan baik maka sifat –

sifat lumpur bor harus dijaga dan diamati dengan teliti dalam setiap operasi pemboran.
terdapat beberapa sifat fisik lumpur pemboran., yaitu berat jenis (density), viskositas, gel

strength serta laju tapisan dll.

2.2.1. Berat jenis lumpur pemboran

Berat jenis adalah berat fluida di bagi volume pada temperature dan tekanan tertentu.

Satuan atau dimensi yang dipakai adalah kg/l, gr/cc dan lb/gal.

Berat jenis lumpur harus dijaga agar dapat memberikan tekanan hidrostatik yang

cukup untuk mencegah masukanya cairan formasi ke dalam lubang bor, tetapi tekanan

tersebut jangan terlalu besar, karena akan formasi pecah dan lumpur akan masuk ke dalam

formasi. Tekanan hidrostatik lumpur di dasar lubang akan mempengaruhi kemampatan dari

pada formasi di bawahnya yang akan di bor. Semakin besar tekanan hiodrostatik lumpur

maka lapisan akan semakin mampat di lapangan pengeboran pengukuran berat jenis lumpur

dapat diukur dengan menggunakan mud balance.

2.2.2. Viskositas lumpur pemboran

Viskositas adalah tahanan fluida terhadap aliran atau gerakan yang disebabkan oleh

adanya gesekan antara partikel pada fluida yang mengalir. Pada lumpur

bor, viskositas merupakan tahanan terhadap aliran lumpur disaat dilakukan sirkulasi, hal ini

dapat terjadi karena adanya pergeseran antara partikel – partikel dari lumpur bor tersebut.

Viskositas menyatakan kekentalan dari lumpur bor, dimana viskositaslumpur

memegang peranan dalam pengangkatan serbuk bor makin baik. Bila lumpur tidak cukup

kental maka pengangkatan serbuk bor kurang sempurna dan akan mengakibatkan serbuk bor

tertinggal di dalam lubang bor.

2.2.3. Plastic viscosity


Plastic Viscosity suatu tahanan terhadap aliran yang disebabkan oleh adanya gesekan

– gesekan antara padatan di dalam lumpur, padatan cairan dan gesekan antara lapisan cairan

dimana plastic viscosity merupakan hasil torsi dari pembacaan pada alat viscometer.

2.2.4. Yield point

Yield point adalah mengukur gaya elektrokimia antara padatan – padatan, cairan –

cairan, cairan – padatan pada zat kimia dalam kondisi dinamis yang berhubungan dengan

pola aliran, pengangkatan serpihan, kehilangan tekanan dan kontaminasi. Apparent

Viscosity adalah keadaan dimana fluida non newtonian pada shear rate tertentu seolah – olah

mempunyai kekentalan (viscositas) seperti pada fluida newtonian.

2.2.5. Gel strength

Gel Strength pada saat sirkulasi dihentikan maka lumpur akan menjadigel. Hal ini

disebakan adanya gaya tarik – menarik antara partikel – partikel padatan lumpur, daya inilah

yang disebut gel strength. Pada saat sirkulasi berhenti lumpur harus mempunyai gel strength

yang dapat menahan serbuk bor tidak jatuh ke dasar lubang. Apabila gel strength terlalu besar

maka akan mengakibatkan kerja pompa terlalu berat untuk memulai kembali sirkulasi.

2.2.6. Laju tapisan

Laju tapisan lumpur pemboran terdiri dari komponen padat dan cair. Karena pada

umumnya dinding lubang sumur mempunyai pori-pori, maka komponen cair dari lumpur

akan masuk ke dalam dinding lubang bor. Dimana indikasi jumlah cairan yang masuk ke

formasi yang tergantung pada suhu, tekanan, dan padatan yang disebut laju tapisan. Area

yang terinfiltrasi lumpur disebut invaded zone sedangkan zat cair yang masuk disebut filtrate.

Kegunaan laju tapisan adalah membentuk mud cake pada dinding lubang bor. Mud cakeyang
baik adalah yang tipis untuk mengurangi kemungkinan terjepitnya pipa bor dan kuat untuk

membantu kestabilan lubang bor serta padat agar filtrate yang masuk kedalam formasi tidak

terlalu berlebih. Mud cake yang tebal akan menjepit pipa pemboran sehingga sulit diangkat

dan diputar sedangkan filtrate yang masuk keformasi akan merusak formasi dan dapat

menimbulkan kerusakan pada formasi.

Di dalam proses filtrasi-nya, maka laju tapisan dapat dibagi menjadi dua bagian,

yaitu:

 Statik filtrasi, merupakan filtrasi yang terjadi pada saat lumpur pada keadaan diam (tidak

ada sirkulasi)

 Dinamik filtrasi, filtrasi yang terjadi dalam keadaan ada sirkulasi dan pipa bor berputar dan

harus diamati ketika proses pemboran berlangsung. Cairan yang masuk kedalam formasi pada

dinding lubang bor akan menyebabkan akibatnegatif, yaitu lubang bor akan runtuh, water

blocking, differential sticking.

 Dinding lubang bor akan runtuh

Bila formasi yang dimasuki oleh zat cair yang masuk tersebut adalah air, maka ikatan antara

partikel formasi akan lemah, sehingga dinding lubang bor runtuh.

 Water Blocking

Filtrat yang berupa air akan menghambat aliran minyak dari formasi ke dalam lubang sumur

jika filtrate dari lumpur banyak.

 Differential Sticking

Seiring dengan banyaknya laju tapisan maka mud cake dari lumpur akan tebal. Di waktu

sirkulasi berhenti ditambah dengan berat jenis lumpur yang besar, maka drill collar akan

cenderung terjepit, karena mud cake akan menahan drill collar yang terbenam di dalam mud

cake. Laju tapisan yang besar dapat menyebabkan terjadinya formation damage dan lumpur

akan kehilangan banyak cairan. Invasi filtrate yang masuk kedalam formasi produktif dapat
menyebabkan produktivitas menurun. Perlu adanya pengaturan laju filtrasi, yaitu dengan

membatasi cairan yang masuk ke dalam formasi.

2.2.7. Tebal ampas

Tebal ampas berhubungan dengan presentasi padatan, sifat kimia, dan kestabilan

lumpur. Hal ini dapat menyebabkan gesekan, torsi atau terjepitnya rangkaian serta berfungsi

untuk melindungi formasi dan melapisi formasi.

2.2.8. Alkanity Pf dan Mf

Sifat ini menunjukan ukuran konsentrasi dari ion OH-, ion karbonat danion

biocarbonate yang ada dalam fasa air. Sifat ini juga menunjukan kestabilan dari sifat – sifat

kimia lumpur.

2.2.9. Kesadahan total Ca2+ dan Mg2+

Sifat ini berhubungan dengan besarnya konsentrasi Ca2+ dan Mg2+ berhubangan

dengan kontaminasi padatan semen. Sifat ini juga penting untuk mengetahui kesadahan air

bahan dasar lumpur. Air yang mengandung banyakcalcium dan magnesium digolongkan ke

dalam hard water. Air ini akan berbusa dan untuk mencapai yield dan gel tertentu akan

banyak memerlukan bentonite.

2.3. Sifat-sifat lumpur pemboran lainnya

Selain mempunyai sifat-sifat fisik lumpur pemboran juga mempunyai sifat-sifat lain,

dimana sifat-sifat lumpur pemboran harus diatur sedemikian rupa sehingga tidak

menimbulkan problem selama pemboran sedang berlangsung.


2.3.1. PH lumpur bor

PH dipakai untuk menentukan tingkat kebasaan dan keasaman dari lumpur yang

dipakai, berkisar antara 9 – 12. Jadi lumpur pemboran yang digunakan adalah suasana basa.

Jika lumpur yang digunakan dalam suasana asam maka serbuk bor yang keluar dari lubang

bor akan halus dan hancur, sehingga tidak dapat ditentukan batuan apa yang ditembus oleh

mata bor selain itu peralatan yang dilalui oleh lumpur saat sedang sirkulasi atau tidak akan

mudah berkarat. Kalau lumpur bor terlalu basa terlalu basa juga tidak baik karena dapat

menaikkan kekentalan dan gel strength dari lumpur.

2.3.2. Kadar pasir (Sand Content)

Yang dimaksud dengan Sand content adalah besarnya kadar pasir di dalam lumpur bor.

Kadar pasir harus seminimal mungkin untuk mengurangi sifat abrasive. Pasir tidak boleh

terlalu banyak dalam lumpur bor, karena dapat merusakan peralatan yang dilalui pada saat

sirkulasi dan akan menaikkan berat jenis dari lumpur bor itu sendiri. Maksimal kadar pasir di

dalam lumpur bor yang diperbolehkan ± adalah 2% volume.

2.3.3. Kadar garam (CI content)

Kadar garam berhubungan langsung dengan besarnya ion chloride yang terkandung di

dalam lumpur bor. Kontaminasi ion chloride ini mungkin berasal dari air formasi. Kandungan

Cl- ditentukan untuk mengetahui kadar garam dari lumpur akan mempengaruhi

interpretasi logging listrik atau tidak. Kadar garam yang besar akan menyebabkan daya

hantarnya besar pula. Pembacaan resestivity dari cairan formasi akan terpengaruh.
2.3.4. Fasa padatan-cairan (Solid content)

Solid content adalah kandungan padatan di dalam lumpur pemboran. Padatan tidak

boleh terlalu banyak yang terkandung di dalam lumpur pemboran karena dapat menimbulkan

masalah – masalah di dalam pemboran. Kandungan padatan yang baik di dalam lumpur

sekitar 8% - 12% volume lumpur. Untuk menentukan kandungan padatan di dalam lumpur

digunakan alat Mud Retort.

2.4. Karakteristik yang mempengaruhi sifat fisik lumpur pemboran

Sebelum membuat lumpur pemboran yang baik, terlebih dahulu harus memperkirakan

keadaan dan kondisi dari formasi yang akan ditembus. Ada beberapa yang dapat

mempengaruhi sifat lumpur pemboran, yaitu :

1. Suhu formasi

2. Tekanan formasi

3. Kandungan clay dan garam

2.4.1. Suhu formasi

Semakin dalam formasi yang akan ditembus maka suhu formasi juga semakin

meningkat. Dengan meningkatnya suhu formasi tersebut akan mempengaruhi keseimbangan

dari fluida pemboran.

Pada saat lumpur dalam keadaan diam, maka semakin bertambah tinggi suhunya akan

semakin tinggi juga daya untuk menjadi gel dan penggumpalan gel dalam batas tertentu dapat

diatasi dengan mengaduk lumpur hingga encer kembali.

2.4.2. Tekanan formasi


Sebelum menentukan jenis fluida pemboran apa yang digunakan, maka kita harus

mengetahui sekurang – kurangnya memperkirakan tekanan formasi terlebih dahulu. Hal ini

bertujuan untuk menentukan densitas fluida pemboran yang diperbolehkan.

Densitas fluida pemboran didapat dari tekanan formasi ditambah dengan faktor

keamanan (safety factor) yang telah ditentukan sehingga fluida pemboran tersebut cukup

mampu menahan tekanan formasi.

Untuk formasi yang bertekanan rendah digunakan berat jenis rendah, sehingga

tekanan hidrostatis lumpurnya rendah, jika digunakan dengan berat jenis besar maka akan

menyebabkan formasi pecah dan kehilangan sirkulasi.

2.4.3. Kandungan clay dan garam

Pada formasi yang mengandung clay dimana secara terus - menerus akan menghisap

air sehingga mengembang dan gugur ke lubang akan menimbulkan problem pipa terjepit.

Untuk formasi yang mengandung garam kuat atau lapisan – lapisan garam serta

adanya abondant salt water yang berada di daerah payau atau lokasi pengeboranon-

shore atau off-shore, dianjurkan menggunakan salt water mud atau oil in water

emulsion dalam operasi pemboran. Pemakaian lumpur ini akan memperlihatkan mud

cakeyang tebal dan filtration loss yang besar jika tidak ditambah organik koloid dan

pembuihan yang terjadi dapat dikurangi dengan penambahan surfactant ke dalam sistem

lumpur.
2.5. Macam – macam kontaminasi

2.5.1. Padatan pemboran

Padatan pemboran terdiri dari padatan aktif dan padatan in-aktif. Padatan aktif

misalnya clay dan padatan in-aktif misalnya silt, sand, limestone, chaert.

2.5.2. Evaporit salt

Jenis kontaminasi ini ada beberapa macam yaitu sodium chloride (NaCl),potassium

chloride (KCI), calcium chloride(CaCl2), magnesium chloride (MgCl2), dananhydrite

(CaSO4). Namun yang paling umum terjadi adalah kontaminan garam (NaCl),anhydrite,

dan gypsum. Sodium chloride yang mengkontaminasi lumpur pemboran biasanya terjadi

pemboran menembus salt dome, lapisan batuan garam, evaporate, dan lapisan – lapisan

lainnyayang mengandung garam, sedangkan anhydrite dan gypsumterdapat pada suatu batuan

keras atau batuan antara formasi shale dan limestone.

2.5.3. Formasi water influk

Air formasi yang masuk dalam sistem lumpur juga berpengaruh pada sifat fisik

lumpur pemboran yang berarti juga berpengaruh pada keberhasilan fungsi lumpur pemboran.

2.6. Pengaruh kontaminasi terhadap lumpur pemboran


Kontaminan dapat berubah secara langsung maupun tidak langsung pada sistem

lumpur pemboran yang digunakan. Kontaminasi yang masuk dalam sistem lumpur dapat

merubah sifat fisik lumpur pemboran, menurunkan kinerja lumpur pemboran yang akhirnya

dapat menimbulkan masalah pemboran.

2.7. Bahan – bahan adiktif lumpur pemboran

Di dalam suatu sistem lumpur terdapat material – material tambahan yang berfungsi

mengontrol dan memperbaiki sifat – sifat lumpur agar sesuai dengan keadaan dan kondisi

formasi yang dihadapi selama operasi pemboran. Berikut ini adalah beberapa bahan kimia

yang berguna untuk menaikkan berat jenis lumpur, menaikkan viskositas,

menurukan viskositas, dan menurunkan filtration loss dan sebagainya.

2.7.1. Bahan pemberat (Weighting agent)

Bahan pemberat digunakan untuk menaikkan densitas lumpur. Bahan yang paling

umum digunakan adalah barite dan kalsium karbonat, serta hematite untuk berat jenis

(densitas) tinggi.

2.7.1.1. Viscosifier

Viscosifier adalah bahan yang digunakan untuk menaikkan kekentalan (viskositas)

yang biasanya mempunyai fungsi sekunder sebagai fluid loss reducer. Ada dua

macam viscofier, antara lain :

1. Tipe mineral clay, misalnya bentonite

2. Tipe polimer, misalnya XCD polimer dan Guar Gum polimer


2.7.1.2. Fluid loss reducer

Bahan ini berguna untuk menurunkan fluid loss dan hampir semua bahannya

berfungsi juga seperti viscosifier misalnya CMC dan PAC. Sedangkan yang berfungsi sebagai

thinner adalah lignit. Penggunaan formulasi yang menggunakan polimer hendaknya

memperhatikan suhu, karena pada umumnya jenis – jenis polimer tidak tahan terhadap suhu

tinggi.

2.7.1.3. Shale stabilizer

Bahan ini berfungsi untuk menstabilkan formasi shale agar tidak gugur ke dalam

lubang bor.

2.7.1.4. Pola coating

Prinsip kerja pada pola ini yaitu bahan kimia tambahan (aditif) akan menyelimuti

partikel – partikel dari shale, sehingga kontak dengan fluida dapat dikurangi dengan

demikian kemungkinan terjadinya reaksi antara shaledengan lumpur dapat dikurangi.

2.7.1.5. Pola chosa

Pada pola ini yaitu menggunakan garam –garam terlarut untuk mengadsorbsi air dari

dalam shale.

2.7.1.6. Suhu stabilizer

Bahan ini berfungsi untuk mengontrol rheologi lumpur pada suhu tinggi, karena pada

suhu tinggi lumpur biasanya akan mengalami gelation, yaitu naiknya viskositas lumpur jauh

diatas normal.
2.7.1.7. Garam – garam elektrolit

Garam adalah komponen utama dalam pembuatan fluida komplesi danwork-over.

Disamping itu dalam jumlah tertentu juga sering dicampurkan ke dalam sistem pemboran.

Garam - garam yang sering digunakan antara lain KCl, NaCl, dan CaCl2.

2.8. Mineral clay

Terdapat beberapa mineral yang berperan sebagai pembentuk clay antara lain:

1. Montmorillonite

Monmorillonite yang mempunyai rumus kimia [(OH)4Si8O20xH2O] terdiri dari tiga

lapisan struktur, satu buah struktur alumina octahedral dan dua buah struktur silica

tetrahedral yang merupakan Si4O10 ikatan ini tidak dapat dipisahkan dari kandungan O2-nya

secara langsung.

2. Kaolonite

Kaolonite terdiri dari dua lapisan struktur, satu lapisan SIOP4 dan alumunium

hidrosil dengan ruangan yang sangat rapat tidak seperti pada montmorillonite.

Pertukarannya ion silica alumina oleh elemen tidak diperlukan.

3. Illite

Illite hidrous mika memiliki pola dasar seperti montmorillonite, kecuali kation K+

yang mempunyai posisi air antara pola lapisan. Illite lebih komplek karena adanya pertukaran

ion K+ yang berlebihan pada air, sehingga tidak menunjukkan adanya sifat pengembangan.
4. Chlorite

Struktur octahedral layer tunggal memberikan keseimbangan muatan terhadap ketiga

layer lainnya. Sehingga struktur clay yang terjadi bersifat netral. Tidak ada kesempatan untuk

terjadinya pertukaran ion, sehingga clay jenis ini tidak memiliki sifatswelling.

2.9. Lumpur polimer

Lumpur polimer adalah sistem lumpur dimana proses pengeringan (hidrasi) dari

formasi shale yang ditembus diusahakan stabil. Ada beberapa cara untuk mencapai hal

tersebut, yang paling umum adalah membatasi jumlah air yang bereaksi dengan clay, dengan

cara menyelimuti serbuk bor (cutting) clay ini dengan polimer sesegera mungkin untuk rekasi

lebih lanjut. Non Dispersed Polymer terdiri dari anionic dannonionic polymer. Sistem ini

harus punya polymer yang cukup dalam lumpur untuk pembungkusan clay dan mineral lain

untuk mengatasi hilangnya polymer ini oleh solid control system.

Biasanya kegagalan dalam pemakaian lumpur polimer adalah karena tidak mampu untuk

menjaga low gravity solid, yang disebabkan kurang baiknya peralatan solid control yang

digunakan. Kegagalan lain juga biasanya disebabkan karena tidak cukup

tersedianya polimer dalam sistem atau karena filtrat chemistry tidak terjaga dengan baik.

2.10. Lumpur KCL polimer

Lumpur KCL polimer merupakan sistem lumpur yang paling umum digunakan dalam

pemboran. Dasar dari sistem ini adalah anionic pengkapsulan (encapsulating) polymer

fluid yaitu polymer membungkus serbuk bor (cutting) pada saat pembersihan lubang.

KCL dalam air akan terurai menjadi ion k+ dan Cl-. Dalam menstabilkan mineral shale,

ion – ion k+ akan menggantikan kedudukan ion Na+. Sehingga di dalam plate shale ion k+

akan terikat jauh lebih kuat dibandingkan antara ion Na+ dengan plate clay antara clay
dengan air, sehingga daya tolak – menolak antara partikel plate clay di dalam air akan

berkurang. Semakin kuat daya tarik menarik antar clay maka akan semakin banyak air yang

terbebas antara clay ke luar sistem. Hal ini disebabkan karena adanya ion k+ memiliki jari –

jari atom yang besar, yang dapat menutup microfracture shale dan mencegah masuknya air

ke dalam microfracture sehingga mengurangi pengeringan (hidrasi) shale.

Polimer mudah larut dalam lumpur yang mengandung elektrolit dan adanya muatan

negatif pada bagian yang terhidrolisa sehingga meningkatkan daya rekat dan absorpsi

polimer. Dalam upaya mengurangiswelling shale, maka tergantung dari konsentrasi KCL dan

polimer yang digunakan di dalam suatu sistem lumpur. Jumlah ion k+ yang dibutuhkan di

dalam luimpur tergantung dari tipe clay atau shale yang akan di bor yaitu termasuk reaktif

atau tidak reaktif terhadap air. Semakin reaktif maka konsentrasi dari kcl dan polimer harus

dinaikkan. Konsentrasi KCL optimum yang digunakan adalah 3% yaitu sebesar 10.5 gr dan

fungsi dari KCL ini dibantu dengan bahan kimia tambahan (aditive) pengontrol shale
LUMPUR PEMBORAN

Lumpur pemboran dapat didefinisikan sebagai semua jenis fluida (cairan-cairan berbusa, gas
bertekanan) yang dipergunakan untuk membantu operasi pemboran dengan membersihkan dasar
lubang dari serpih bor dan mengangkatnya kepermukaan, dengan demikian pemboran dapat berjalan
dengan lancar. Lumpur pemboran yang digunakan sekarang pada mulanya berasal dari
pengembangan penggunaan air untuk mengangkat serbuk bor. Kemudian dengan berkembangnya
teknologi pemboran, lumpur pemboran mulai digunakan. Selain lumpur pemboran, digunakan pula
gas atau udara sebagai fluida pemboran.

2.1 Fungsi Lumpur Pemboran


Pada awal penggunaan pemboran berputar, fungsi utama fluida pemboran hanyalah
mengangkat serpih dari dasar sumur ke permukaan. Tetapi saat ini fungsi utama lumpur pemboran
adalah:
1. Pengangkatan Serpih Bor (Cutting Removal)
Lumpur yang disirkulasi membawa serpih bor menuju permukaan dengan adanya pengaruh gravitasi
serpih cenderung jatuh, tetapi dapat diatasi oleh daya sirkulasi dan kekentalan lumpur. Dalam
melakukan pemboran serbuk bor (cutting) dihasilkan dari pengikisan formasi oleh pahat, harus
dikeluarkan dari dalam lubang bor. Hal ini berdasarkan atas keberhasilan atau tidaknya lumpur untuk
mengangkat serbuk bor. Apabila serbuk bor tidak dapat dikeluarkan maka akan terjadi penumpukan
serbuk bor didasar lubang, jika hal ini terjadi maka akan terjadi masalah seperti terjepitnya pipa oleh
serbuk bor.
Serbuk bor dapat diangkat jika lumpur mempunyai kemampuan untuk mengangkatnya. Kemampuan
serbuk bor untuk terangkat hingga kepermukaan tergantung yield point lumpur itu sendiri. Jika lumpur
sudah memiliki yield point yang memadai maka dengan melakukan sirkulasi serbuk bor dapat
terangkat keluar bersama–sama dengan lumpur untuk dibuang melalui alat pengontrol solid (Solid
Control Equipment) berupa shale shaker, desander, mud cleaner, dan centrifuge.
2 Mendinginkan dan Melumasi Pahat
Panas yang cukup besar terjadi karena gesekan pahat dengan formasi maka panas itu harus
dikurangi dengan mengalirkan lumpur sebagai pengantar panas kepermukaan. Semakin besar
ukuran pahat, semakin besar juga aliran yang dibutuhkan. Kemampuan melumasi dan mendinginkan
pahat dapat ditingkatkan dengan menambahkan zat–zat lubrikasi (pelincir) misalnya : minyak,
detergent, grapite, asphalt dan zat surfaktan khusus, serbuk batok kelapa bahkan bentonite juga
berfungsi sebagai pelincir karena dapat mengurangi gesekan antara dinding dan rangkaian bor.
3. Membersihkan Dasar Lubang (Bottom Hole Cleaning)
Ini adalah fungsi yang sangat penting dari lumpur bor, lumpur mengalir melalui corot pahat (bit
nozzles) menimbulkan daya sembur yang kuat sehingga dasar lubang dan ujung–ujung pahat
menjadi bersih dari serpih atau serbuk bor. Ini akan memperpanjang umur pahat dan akan
mempercepat laju pengeboran.
Laju sembur (jet velocity) minimum 250 fps untuk tetap menjaga daya sembur yang kuat kedasar
lubang. Laju sembur yang optimal sebaiknya harus memperhitungkan kekuatan formasi atau daya
kemudahan formasi untuk dibor (formation drillability). Kalau laju sembur terlalu besar pada formasi
yang lunak, dan akan mengakibatkan pembesaran lubang (hole enlargement) karena kikisan
semburan. Sedangkan pada formasi keras akan terjadi pengikisan pahat dan menyia–nyiakan horse
power
4. Melindungi Dinding Lubang Supaya Stabil
Lumpur bor harus membentuk deposit dari ampas tapisan (filter cake) pada dinding lubang sehingga
formasi menjadi kokoh dan menghalang-halangi masuknya fluida (filtrat) kedalam formasi.
Kemampuan ini akan meningkat jika fraksi koloid dari lumpur bertambah, misalnya dengan
menambahkan attapulgite atau zat kimia yang dapat meningkatkan pendispersian padatan. Dapat
pula dengan menambahkan zat–zat poliner sehingga viskositas dari filtrat (air tapisan) meningkat,
dengan demikian mobilitas filtrat didalam filter cake dan formasi akan berkurang.
5. Menjaga atau Mengimbangi Tekanan Formasi
Pada kondisi normal gradien tekanan normal : 0.465/ft, 0.107-ksc/ft. Berat dari kolom lumpur yang
terdiri dari fase air, partikel–partikel padat lainnya cukup memadai untuk mengimbangi tekanan
formasi. Tetapi jika menjumpai daerah yang bertekanan abnormal dibutuhkan materi pemberat
khusus (misal : XCD-polimer) yang mempunyai berat jenis tinggi untuk menaikkan tekanan hidrostatis
dari kolom lumpur agar dapat mengimbangi dan menjaga tekanan formasi. Besarnya tekanan
hidrostatik tergantung dari berat jenis fluida yang digunakan dan tinggi kolom yang dapat dihitung
dengan persamaan :
Hp = 0.052 x Mw (ppg) x D = Psi
= 0,00695 x Mw (pcf) x D = Psi
dimana :
Hp = Tekanan hidrostatic lumpur, psi.
Mw = Densitas lumpur, ppg/pcf
D = Kedalaman, ft.
6. Menahan Serpih / Serbuk Bor dan Padatan Lainnya Jika Sirkulasi Dihentikan
Kemampuan lumpur bor untuk menahan atau mengapungkan serpih bor pada saat tidak ada sirkulasi
tergantung sekali pada daya agarnya (gel strengt). Daya agar adalah suatu sifat fluidathixotropis yang
mempunyai kemampuan mengental dan mengagar jika didiamkan (static condition) dan kembali lagi
mencair jika diaduk atau digerak–gerakkan. Sifat pengapungan atau penahan serpih didalam lumpur
sangat diinginkan untuk mencegah turunnya serpih kedasar lubang atau menumpuk di anulus yang
akan memungkinkan terjadinya rangkaian bor terjepit. Tetapi daya agar ini tidak boleh terlalu tinggi
supaya mengalirnya kembali lumpur tidak membutuhkan tekanan awal yang terlalu besar.
7. Sebagai Media Logging
Data-data dari sumur yang diselesaikan sangat penting untuk dasar evaluasi sumur yang
bersangkutan, juga penting untuk dasar pembuatan program dan evaluasi sumur-sumur yang akan di
bor selanjutnya. Data-data tersebut diatas didapat dari analisa cutting dan pengukuran langsung
dengan wire logging. Untuk itu lubang bor harus bersih dari cutting.
8. Menunjang (Support) Berat Dari Rangkaian Bor dan Selubung
Makin dalam pengeboran, maka berarti makin panjang pula rangkain pipa atau casing, sehingga
beban yang harus ditahan menara rig akan bertambah besar, dengan adanya bouyancy effect dari
lumpur akan menyebabkan beban efektif menjadi lebih kecil sehingga dengan kemampuan yang ada
mampu melakukan pengeboran yang lebih dalam. Faktor yang mempengaruhi dalam hal ini adalah
berat jenis dari lumpur.
9. Menghantarkan Daya Hidrolika Kepahat
Lumpur pemboran adalah media untuk menghantarkan daya hidrolika dari permukaan kedasar
lubang. Daya hidrolika lumpur harus ditentukan didalam membuat program pengeboran sehingga laju
sirkulasi lumpur dan tekanan permukaan dihitung sedemikian agar pendayagunaan tenaga (power)
menjadi optimal untuk membersihkan lubang dan mengangkat serpih bor. Kemampuan untuk
membersihkan serbuk bor dari bit itu didapat karena adanya tenaga hidrolik yang harus disalurkan
dari permukaan menuju bit melalui media lumpur yang disebut sebagai Bit Hydraulic Horsepower
10. Mencegah dan Menghambat Laju Korosi
Korosi dapat terjadi karena adanya gas-gas yang terlarut seperti oksigen CO2, dan H2S. Juga karena
pH lumpur yang terlalu rendah atau adanya garam-garam di dalam. Untuk menghindari hal - hal
tersebut diatas, ke dalam lumpur dapat ditambahkan bahan – bahan pencegah korosi atau
diusahakan untuk mencegah pencemaran yang terjadi.

2.2 Sifat-Sifat Penting Lumpur Pemboran


Dalam suatu operasi pemboran semua fungsi lumpur pemboran haruslah berada dalam kondisi yang
baik sehingga operasi pemboran dapat berlangsung dengan baik. Hal ini dapat dicapai apabila sifat
lumpur selalu diamati dan dijaga secara kontinyu dalam setiap tahap operasi pemboran. Selain hal
tersebut di atas pengukuran dan pengamatan sifat - sifat kimia juga harus dilakukan dengan
seksama.Hal ini dimaksudkan untuk menjaga kestabilan sifat – sifat lumpur pemboran.
2.2.1 Berat Jenis
Sifat ini berhubungan dengan tekanan hidrostatik yang ditimbulkan oleh suatu kolom lumpur,
karenanya harus selalu di jaga guna mendapatkan tekanan hidrostatik yang sesuai dengan tekanan
yang dibor. Lumpur yang terlalu ringan akan menyebabkan enterusi fluida formasi kedalam lubang
dan hal ini akan menyebabkan kerontokan dinding lubang, kick dan blow out. Lumpur yang terlalu
berat akan dapat menyebabkan problema Lost Circulation.
2.2.2 Rheology dan Gel – Strength
1. Viscositas
Viscositas adalah tahanan terhadap aliran atau gerakan yang penting untuk laminar flow. Alat untuk
mengukur viscositas lumpur ialah Marsh Funnel.
2. Plastic Viscosity (Pv)
Plasctic viscosity merupakan tahanan terhadap aliran yang disebabkan oleh gesekan antara sesama
benda padat didalam lubang bor dan merupakan salah satu parameter kenaikan solid yang ada
dalam lumpur.
3. Yield Point (Yp)
Yield point merupakan tahanan terhadap aliran yang disebabkan oleh gaya elektrokimia antara
padatan – padatan, cairan – cairan dan padatan – cairan.
4. Gel – Strength
Gel – strength adalah sifat dimana benda cair menjadi lebih kental bila dalam keadaan diam, dan
makin lama akan bertambah kental. Sifat ini dikenal juga sebagai sifat “THIXOTOPIC”.
2.2.3 Sand Content
Penentuan kadar pasir pada lumpur pemboran adalah untuk mencegah abrasi
Pada pompa dan peralatan pengeboran lainnya, juga untuk mencegah penebalan mud cake dan drill
pipe sticking.
2.2.4 Solid Control
Kandungan solid di dalam lumpur bila tidak dikontrol dengan baik akan mempunyai akibat – akibat
yang buruk antara lain :
 Memperlambat peneteration rate
 Susah mengatur sifat – sifat rheologi
 Bit dan peralatan lainnya cepat aus.
 Treatment menjadi lebih mahal.
Solid dapat berasal dari penambahan weighting agent dapat pula berasal dari drilled cutting formasi.
2.2.5 Alkalinity Filtrate
Tujuan pemeriksaan alkalinity filtrate adalah untuk mengetahui kontaminan – kontaminan terhadap
lumpur. Kontaminan – kontaminan ini dapat berasal dari formasi yang di bor maupun dari air yang
digunakan untuk pembuatan lumpur.

2.2.6 Fluid (Water) Loss


Bila suatu campuran padat – cair, seperti lumpur berada dalam kontak dengan media porous seperti
dinding lubang bor dengan adanya tekanan yang bekerja padanya, makan akan terjadi perembesan
zat cair kedalam media porous tesebut.
2.2.7 PH
PH menyatakan konsentrasi dari gugus hidroxil (OH¯) yang terdapat dalam lumpur yang akan
mempengaruhi kereaktifan bahan – bahan kimia yang digunakan dalam lumpur.

2.3 Komposisi Lumpur Pemboran


Komposisi dari lumpur pemboran disusun dari berbagai bahan kimia yang masing-masing
mempunyai fungsi secara individual, dan diharapkan saling bekerja secara sinergik untuk
mendapatkan sifat-sifat lumpur yang di harapkan Bahan-bahan kimia penyusun lumpur tidak hanya
berfungsi tunggal melainkan dapat berfungsi ganda. Fungsi pertama disebut primary fungtion
sedangkan fungsi keduanya disebut secondary fungtion.
Lumpur pemboran yang paling banyak digunakan adalah lumpur pemboran dengan bahan
dasar air (water base mud) dimana air sebagai fasa cair kontinyu dan sebagai pelarut atau penahan
materi–materi didalam lumpur.
Empat macam komposisi atau fasa yang umum digunakan di dalam lumpur pemboran adalah
sebagai berikut :
1. Fasa cair (air atau minyak)
2. Reactive solids (padatan yang bereaksi dengan air membentuk koloid )
3. Inert solids (zat padat yang tidak bereaksi)
4. Fasa kimia
Dari keempat komponen ini dicampurkan sedemikian rupa sehingga didapatkan lumpur
pemboran yang sesuai dengan keadaan formasi yang ditembus.
2.3.1 Fasa Cair
Fasa cair adalah komponen utama lumpur pemboran. Fungsi dari fasa cair adalah sebagai fasa
dasar yang dapat menyebabkan lumpur dapat mengalir. Disamping itu bila bereaksi dengan reaktif
solid akan membentuk koloid yang viscositasnya tertentu sehingga lumpur dapat mengangkat serpih
bor. Fasa cair yang digunakan disesuaikan dengan kondisi lapangan dan kondisi formasi yang yang
dibor. Fasa cair yang biasa digunakan adalah air tawar, air garam, minyak dan emulsi antara minyak
dan air.
2.3.2 Reactive Solids
Padatan ini bereaksi dengan sekelilingnya untuk membentuk koloidal. Dalam hal ini clay air
tawar seperti bentonite mengisap (absorp) air tawar dan membentuk lumpur. Istilah “yield” digunakan
untuk menyatakan jumlah barrel lumpur yang dapat dihasilkan dari satu
ton clay agar viskositaslumpurnya 15 cp.
Bentonite digunakan antara lain sebagai bahan dasar lumpur pemboran, pada dasarnya
Bentonite dibuat dari bahan lempung ( clay ) yang besifat Na-Monntmorillonite dan Ca-
Monntmorillonit. Na-Monntmorillonite sangat baik digunakan sebagai bahan dasar lumpur pemboran
karena mampu mengembang ( Swelling ) sampai 8 kali jika direndam dalam air. Kemampuan
mengembang yang cukup besar, akan membentuk suatu larutan dengan viscositas yang cukup
besar, hal ini penting untuk membersihkan dasar lubang sumur dan juga membentuk suatu lapisan
dinding yang elastic yang akan melindungi dinding lubang agar tidak runtuh.
Bentonite merupakan gabungan lempung ( Clay ) yaitu kumpulan mineral dan bahan bahan
seperti illit, kaolinit, siderite dan terbanyak adalah montmorillnite ( 85 – 90 % ) dan logam alkali tanah.
Untuk salt water clay (attapulgite), swelling akan terjadi baik di air tawar atau di air asin dan
karenanya digunakan untuk pemboran dengan “salt water muds”. Baik bentonite atau attapulgiteakan
memberikan kenaikan viskositas pada lumpur. Untuk oil base mud, viskositas dinaikkan dengan
penaikan kadar air dan penggunaan asphalt.
2.3.3 Inert Solids
Inert solid adalah padatan yang tidak bereaksi dengan air dan dengan komponen lainnya dalam
lumpur, dimana material ini tidak tersuspensi. Fungsi utama dari material ini adalah berkaitan erat
dengan densitas lumpur berguna untuk menambah berat ata berat jenis dari lumpur, yang tujuannya
untuk menahan tekanan dari tekanan formasi dan tidak banyak pengaruhnya dengan sifat fisik lumpur
yang lain. Material inert ini antara lain adalah barite atau barium sulfate (BaSO4), besi
oxida (Fe2O3), calcite atau calsium sulfate (CaSO4) dan galena (PbS), dimana kebanyakan dari zat-
zat ini berfungsi sebagai material pemberat.
Inert solid dapat pula berasal dari formasi-formasi yang dibor dan terbawa oleh lumpur
sepertichert, pasir atau clay-clay non swelling, padatan seperti ini bukan disengaja untuk
menaikkandensitas lumpur dan perlu dibuang secepat mungkin (dapat menyebabkan abrasi dan
kerusakan pompa).
Sebagai contoh yang umum digunakan sebagai inert solid dalam lumpur bor, adalah :
• Barite (BaSO4)
• Oksida Besi (Fe2O3)
• Kalsium Karbonat (CaCO3)
• Galena (PbS)
2.3.4 Fasa Kimia
Zat kimia merupakan bagian dari sistem yang digunakan untuk mengontrol sifat – sifat lumpur
misalnya menyebarkan partikel- partikel clay (disepertion), menggumpalkan partikel – partikel clay
(flocculation) yang akan berefek pada pengkoloidan partikel clay itu sendiri. Banyak sekali zat kimia
yang dapat digunakan untuk menurunkan kekentalan, mengurangi water loss, mengontrol fasa kolid
yang disebut dengan surface active agent.
Zat kimia yang dapat menurunkan kekentalan dan mendispersi partikel clay biasa disebut
thiner. Thiner yang dapat menurunkan kekentalan atau mengencerkan partikel clay diantaranya
adalah :
1. Quobracho (dispersant)
2. Phosphate
3. Sodium Tannate (kombinasi caustic soda dan tannium)
4. Lignosulfonate
5. Lignite
Sedangkan zat-zat yang dapat menaikkan kekentalan antara lain :
1. C.M.C
2. Starch
3. Drispac
Zat-zat kimia tersebut diatas bereaksi dan mempengaruhi lingkungan sistem lumpur tersebut,
misalnya dengan menetralisir muatan – muatan listrik clay, menyebabkan dispertion dan lain
sebagainya.

2.4 Jenis Lumpur Pemboran


Pada umumnya lumpur pemboran dibagi dalam dua sistem, yaitu lumpur bor dengan bahan
dasar air (water base mud) dan lumpur bor dengan bahan dasar minyak (oil base mud). Lumpur bor
berdasarkan fasa cairnya yaitu air dan minyak dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Water base mud
Lumpur jenis ini yang paling banyak digunakan, karena biayanya relatif murah. Lumpur ini terbagi
atas fresh water mud dan salt water mud, dan apabila dilihat dari komposisinya lumpur ini terbagi lagi
sebagai berikut :
a) Gel spud mud
Komposisinya adalah sebagai berikut :
- 20 – 25 lb/bbl bentonite
- 0.25 – 0.5 lb/bbl caustic soda
Lumpur ini digunakan pada awal pemboran dimana pemeliharaannya dengan cara
menjalankan desander dan desilter secara terus menerus selama sirkulasi lumpur.
b) Lignosulfonate mud
Lumpur ini dalah salah satu jenis fluida pemboran yang serba guna, dan dalam prakteknya lumpur ini
akan menajadi optimal bilamana beberapa syarat penting harus kita perhatikan, antara lain :
 Berat Jenis tinggi ( > 14ppg )
 Tahan Panas ( 121 – 150o )
 Toleransi padatan yang tinggi
 Tapisan yang rendah ( < 10 cc )
 Toleransi terhadap garam, anhydrite, gypsum
 Tahan kontaminasi semen
Komponen dasarnya meliputi air tawar atau air asin, bentonite, Chrome Lignosulfonat, lignite, caustic
soda, CMC, atau modified Starch. Ada beberapa faktor yang harus diperhatikan di dalam
penggunaan lumpur Lignosulfonat :
 Sifat inhibitive akan rusak paa suhu 300o F
 Sifat pengontrolan laju tapisan akan rusak pada temperatur 350o F
 Pada temperatur > 400o F lignosulfonat akan pecah
 Viscositas akan berkurang seiring kenaikan temperatur
 Lignosulfonate tidak efektif dalam menstabilkan shale
 Filtrat lumpur Lignosulfonat dianggap mempinya peranan merusak formasi yang produktif
 Lumpur Lignosulfonat yang sudah terkontaminasi semen akan mengental
Tergolong lumpur medium sampai berat, temperatur kerja 250 – 300 °F, mempunyai toleransi tinggi
terhadap konsentrasi garam, anhidrit gipsum dan semen.
Komposisinya adalah sebagai berikut :
- Bentonite 20 – 25 lb/bbl
- Spersene 2 lb/bbl
- Xp – 20 1 lb/bbl
- Barite secukupnya sesuai dengan kebutuhan
c) Polimer mud
Komposisinya adalah sebagai berikut :
- Menggunakan air tawar
- 0.25 lb/bbl soda ash
- Bentonite
- Caustic soda
d) Sea water mud
Adalah lumpur lignosulfonate yang mempergunakan prehydrated bentonite untuk dasar pengental
didalam air asin, formulasinya berkisar 2 ppb caustic soda, 1.5 ppb kapur (lime), 2-4
ppb lignosulfonate, 1-2 ppb lignite dan larutan prehydrated bentonitesecukupnya. Biasanya alkalinity
pf 1.3-3.00 cc dijaga dengan caustic soda, pm 3.0-8.0 cc dengan kapur dan tapisan dipembuat
lumpur. Konsentrasi garam dalam air laut berkisar 30-35,000 ppm dengan berbagai ion-ion lain (Mg+2,
Ca+2).
2. Oil base mud
Lumpur ini mengandung minyak sebagai fasa kontinyunya, komposisinya diatur agar kadar
airnya rendah (3-5% volume). Relatif lumpur ini tidak sensitif terhadap contaminant. Tetapi airnya
adalah contaminant karena memberikan efek negatif bagi kestabilan lumpur ini. Untuk
mengontrol viskositas, gel strength, mengurangi efek kontaminasi air dan mengurangi filtrate loss,
perlu ditambahkan zat-zat kimia.
Faedah oil base mud didasarkan pada kenyataan bahwa filtratnya adalah minyak, karena itu
tidak akan menghidratkan shale atau clay yang sensitif baik terhadap formasi biasa maupun formasi
produktif. Kegunaan terbesar dari oil base nud ini adalah pada completion dan work over sumur.
Kegunaan yang lain adalah untuk melepaskan drill pipe yang terjepit , mempermudah pemasangan
casing dan liner. Oil base mud ini harus ditempatkan pada suatu tanki besi untuk menghindarkan
kontaminasi air. Rig harus dipersiapkan supaya tidak kotor dan bahaya api berkurang.
Kerugian penggunaan oil base mud adalah :
- dapat mengkontaminasi lingkungan terutama untuk daerah operasi offshore.
- solid kontrol sulit dilakukan bila dibandingkan dengan water base mud.
- Elektrik logging tidak dapat dilakukan.
- Biayanya relatif lebih mahal.
3. Emulsion mud
Terbagi atas oil in water emulsion dan water in oil emulsion tergantung dari fasa apa yang
terdispersi. Fungsi lumpur ini adalah untuk menambah ROP, mengurangi filtration loss, menambah
pelumasan dan mengurangi torque, dimana lumpur ini banyak digunakan dalam directional drilling.
Komposisinya adalah lumpur dasar ditambah minyak mentah atau minyak solar 2-15% atau lumpur
dengan dasar minyak ditambahkan air 24-45% air.

2.5 Faktor Utama Dalam Pemilihan Lumpur Bor


Dalam menentukan lumpur bor yang akan digunakan dalam operasi pemboran harus
diperhatikan beberapa faktor utama untuk memilih lumpur bor tersebut, yaitu :
 Bahan dasar pembuatannya air tawar, air asin dan minyak.
 Sifat formasi yang akan ditembus.
 Problem yang akan terjadi dan yang berhubungan dengan lumpur diusahakan sekecil mungkin.
 Dibutuhkan atau tidaknya peralatan pengontrol padatan yang efektif.
 Kestabilan terhadap temperatur dan kontaminasi yang terjadi (misalnya semen, air tawar).
 Pengaruh terhadap total biaya pemboran.

2.6 Pemakain Polimer Pada Lumpur Dasar Air Tawar


Pemakaian polimer pada lumpur bor adalah yang dapat berfungsi sebagai
 Penggumpal ( flocculants )
Floculant berfungsi untuk mengikat cutting agar mudah dipisahkan dari
lumpur. Semua floculant tersusun dari polymer, contoh :
1. PHPA : ( Partially Hidrolized Polyacril Amide )
2. SPA : ( Sodium Poly Acrilate )
 Pemecah gumpalan ( deflocculants )
Bahan ini berfungsi untuk menurunkan viscositas dan pada umumnya mempunyai second fungtion
sebagai fluid loss reducer.
 Pengontrol kehilangan lumpur ( fluid loss control agent )
Bahan ini berfungsi sebagai viscofier seperti cmc dan pac – polymer,
sedangkan yang berfungsi sebagai thinner adalah lignite.penggunaan formulasi yang menggunakan
polymer hendaknya memeperhatikan temperatur, karena pada umumnya jenis – jenis polymer tidak
tahan temperatur tinggi.
 Pengental ( viscosifier )
Viscosifier adalah bahan yang digunakan untuk menaikkan viskositas yang biasanya mempunyai
secondary fungtion sebagai fluid loss reducer.
Ada dua macam viscosifier yaitu :
 Tipe clay mineral
 Tipe polymer seperti XCD polymer dan guard gum polymer

 Meningkatkan daya guna bentonite ( bentonite extender )


Polimer dengan anion tinggi mampu meningkatkan viskositas dan gel strength di dalam konsentrasi
padatan 4% dan konsentrasi <20 ppb. Polimer jenis ini mampu menempel pada ujung – ujung
lempung dan mengembang, sehingga luas permukaan akan bertambah dan dengan sendirinya
viskositas juga akan meningkat.
 Penstabil shale ( shale stabilization agents )
Bahan ini berfungsi untuk menstabilkan shale formasi agar tidak gugur kedalam lubang bor. Dengan
pola kerja adalah sebagai berikut :
 Pola Coating
Bahan akan menyelimuti partikel – partikel shale sehingga kontaknya dengan fluida dapat dikurangi.
 Pola Osmosa
Pada pola ini mengandalkan garam – garam terlarut untuk mengabsorbsi air dari dalam shale.
 Penstabil pada suhu tinggi ( temperature stabilization )
Mengontrol rheologi lumpur pada temperatur tinggi, karena pada temperatur tinggi lumpur biasanya
akan terjadi gelation, yaitu naiknya viskositas lumpur jauh diatas normal, jadi pada dasarnya bahan ini
adalah defloculant untuk temperatur tinggi.
 Mencegah korosi ( corrosion inhibitor )
Bahan ini berguna untuk mencegah terjadinya korosi pada drill string maupun pada peralatan
pengeboran lainnya.
 Detergen
Detergen berfungsi untuk mencegah terjadinya balling oleh clay pada bit dan drill string. Di samping
itu juga berfungsi untuk menurunkan tegangan permukaan lumpur , sehingga cutting lebih mudah
diendapkan di settling pit.
 Lubricant
Lubricant adalah bahan untuk mengurangi gesekan / torsi antara rangkain pipa dengan dinding
lubang dan pada umumnya di buat dari senyawa – senyawa derivat fatty acid.

2.7 Kandungan Garam


Kandungan Cl‾ ditentukan untuk mengetahui kadar garam dari lumpur. Kadar garam dari lumpur
akan mempengaruhi interprestasi logging listrik. Kadar garam yang besar aka menyebabkan daya
hantarnya besar pula. Pembacaan resistivity dari cairan formasi akan terpengaruh. Naiknya kadar
garam dari lumpur disebabkan cutting garam yang masuk kedalam lumpur disaat menembus formasi
yang mengandung garam, dengan kata lain lumpur terkontaminasi oleh garam.

2.8 Kontaminasi Lumpur Bor


Kontaminasi adalah suatu problem yang dapat muncul dengan gejala yang perlahan-lahan
ataupun dengan segera dan cepat, dan biasanya diamati suatu fluktuasi sifat-sifat lumpur yang
tadinya normal saja menjadi naiknya yield point, naiknya daya agar, viskositas yang berlebih dan laju
tapisan yang tidak terkontrol.
Kontaminan didefinisikan semua jenis zat (padat, cairan ataupun gas) yang dapat menimbulkan
pengaruh merusak terhadap sifat-sifat fisika atau kimiawi dari fluida pemboran. Semua jenis lumpur
mempunyai satu kontaminan umum yaiut padatan berat jenis rendah (Low Solid Gravity), baik yang
berasal dari serbuk bor ataupun dari pemakaian bentonite yang terlalu berlebihan.
2.8.1 Kontaminasi Sodium Chlorida
Kontaminasi ini terjadi saat pemboran menembus kubah garam (salt dome), lapisan garam,
lapisan batuan yang mengandung konsentrasi garam yang cukup tinggi atau akibat air formasi yang
berkadar garam tinggi dan masuk kedalam sistim lumpur. Akibat adanya kontaminasi ini, akan
mengakibatkan berubahnya sifat lumpur seperti viscositas, yield point, gel strengt dan filtration loss.
Kadang-kadang penurunan pH dapat pula terjadi bersamaan dengan kehadiran garam pada sistim
lumpur.
2.8.2 Kontaminasi Gypsum dan Anhydrit
Hanya sedikit daerah didunia dimana tidak dijumpai formasi gypsum (CaSO 4), pilihan yang
diambil dalam mengatasi ini adalah dengan mengendapkan ion Ca +2 atau merubah sisitim lumpur
kapur (dasar kalsium). Gejala mula-mula dari kontaminasi gypsum adalah viskositas yang tinggi, daya
agar tinggi dan laju tapisan bertambah.
2.8.3 Kontaminasi Semen
Kemungkinan untuk kontaminasi semen itu selalu ada pada setiap sumur pemboran. Semen
tidak menjadi kontaminan hanya jika fluida yang dipakai air jernih, air garam, lumpur kalsium dan
lumpur minyak. Parah atau tidaknya kontaminasi ini tergantung pada faktor-faktor seperti konsentrasi
padatan dalam lumpur dan keras atau lunaknya semen pada lubang.
Gejala kontaminasi semen adalah viskositas yang tinggi, yield point yang abnormal, daya agar yang
besar dan tapisan yang tidak terkontrol, ini disebabkan reaksi ion Ca +2 dari semen dengan lempung
dan tingginya pH larutan.

2.9 Sistem Lumpur Non Disperse Dengan Padatan Rendah


Sistem lumpur non dispersi dengan padatan rendah dipergunakan untuk memperoleh laju
penembusan yang lebih cepat tanpa merusak stabilitas lubang bor. Hal ini dapat ditanggulangi
dengan pemakain bahan kimiadan cara – cara mekanis seperti :
- Menjaga lumpur dengan kadar padatan rendah dengan total kumulatif
dibawah 6%.
- Partikel koloid diperkecil di bawah 1 mikron.
Lumpur ini menggunakan bentonite dengan polimer untuk mencapai hasil yang dikehendaki dan
sifat kehilangan cairan yang terkontrol. Untuk pemberat lumpur ini dapat dipakai barite.
Jika lumpur ini dibuat dengan komposisi yang tepat dan terus dipelihara maka pemakaian
dispersane atau pengencer dapat dihindarkan. Jika koloid dan keseluruhan kandungan tetap dijaga
dalam batas – batas yang dapat diterima maka pengaturan sifat – sifat aliran dapat dibuat dengan
memakai sistem polyacrylate.
Lumpur tersebut memberikan beberapa keuntungan diantaranya adalah dapat memudahkan
pembersihan padatan dengan kandungan rendah, meningkatkan daya hidrolik, mempercepat laju
penembusan, pemeliharaan yang mudah sehingga secara keseluruhan membuat pelaksanaan
operasi pemboran akan berjalan lebih efisien.
Pemakaian lumpur polimer non dispersi dengan padatan rendah sering digunakan pada operasi
pemboran dengan tingkat tinggi keberhasilan yang cukup tinggi. Dengan manfaat yang terdapat
dalam lumpur tersebut maka modifikasi dari lumpur ini menjadi tipe fluida pemboran yang layak
dipergunakan.
Faktor ekonomis dari pemakaian lumpur non dispersi dengan padatan rendah menjadi salah
satu faktor yang harus dipertimbagkan, terutama pada daerah dengan kemampuan laju penembusan
formasi 1 – 30 ft/jam. Dengan lumpur jenis ini maka laju penembusan akan meningkat bahkan pada
formasi batuan keras, sehingga dari segi biaya pemakaian lumpur ini lebih menguntungkan.
Untuk penggunaan lumpur ini pada formasi sedang dengan laju penembusan ( 30 – 50 ft/jam ),
didapat keuntungan pada usia pakai pahat bor, sehingga biaya pemboran dapat lebih rendah.
Pada laju penembusan 50 – 75 ft/jam penggunaan lumpur ini akan memberikan nilai
keekonomisan yang cukup baik. Dengan catatan digunakannya menara bor ( rig ) yang memiliki alat
pengontrol padatan untuk membersihkan serbuk bor.
Pada kondisi luar biasa dengan kecepatan penembusan 75 – 200 ft / jam, lumpur polimer non
dispersi ini tidak dapat dipergunakan karena akan menghasilkan serbuk bor dalam jumlah besar.

2.10 Sistem Lumpur Dispersi


Lumpur pemboran dispersi yang paling sederhana adalah lumpur air tawar yang tercampur
hidrat lempung secara alami apabila mata bor menembus formasi. Lumpur pemboran dispersi ini
disebut juga lumpur alami dan dipakai dalam pemboran dangkal atau untuk pemboran bagian atas
dari sumur yang dalam.
Pemboran dimulai dengan sirkulasi air tawar,dimana reaksi padatan lempung dalam formasi
yang sedang di bor menjadi hidrat dan menyebar ( dispersi ). Sifat kekentalan lumpur pemboran juga
diperlukan untuk pengangkatan serbuk bor kepermukaan.
Untuk meningkatkan viskositas, bentonite bisa ditambahkan sebagai pelengkap lempung, dan
jika peningkatan viskositas lebih cepat secara berlebihan maka lumpur pemboran diencerkan dengan
air. Pengencer ini terus berlanjut untuk tahap berikutnya sehingga menjadi tidak praktis karena
banyaknya volume lumpur yang perlu diperhatikan.
Tahap berikutnya adalah mempertahankan dan memlihara jenis lumpur tersebut dengan
membersihkan bebrapa padatan pemboran atau serbuk bor dengan perlengkapan mekanis dan
pengolahan bahan kimia.
Senyawa fosfat, asam sodium pyrofosfat, sodium tetrafosfat merupakan zat - zat utama yang
dipakai dalam mengontrol kondisi lumpur. Pengontrolan padatan pemboran didalam lumpur dilakukan
melalui penambahan bahan kimia ( additive) pengenceran lumpur dengan air dan peralatan
pembersih padatan bor.

Keuntungan Dan Kerugian Sistem Fluida Pemboran Disperse


Keuntungan dan kerugian yang didapat dengan menggunakan sistem fluida pemboran disperse
( Lumpur Lignosulfonate ) antara lain :
 Keuntungan :
 Mudah dalam pembuatan dan relatif lebih sedikit menggunakan bahan kimia.
 Mempunyai efek penurunan laju penembusan ( karena memiliki banyak partikel yang berukuran < 1
mikron ).
 Sesuai untuk lumpur dengan berat jenis tinggi.
 Dapat dipakai pada temperatur tinggi.

 Kerugian :
 Tidak dapat dipakai pada pemboran formasi batuan yang keras.
 Tidak dapat dipakai pada operasi pemboran yang cepat karena terlalu banyak serbuk bor yang
dihasilkan.

Anda mungkin juga menyukai