Anda di halaman 1dari 20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. TUBERCULOSIS

2.1.1. Definisi Tuberculosis

Tuberkulosis adalah penyakit infeksius, yang terutama menyerang parenkim paru


tidak termasuk pleura. TB dapat juga ditularkan ke bagian tubuh lainnya, TB yang
menyerang paru disebut tuberculosis paru dan yang menyerang selain paru disebut
tuberculosis ekstra paru termasuk meninges, ginjal, tulang, dan nodus limfe.1

2.1.2. Etiologi Tuberculosis

Disebabkan oleh infeksi kuman Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang lurus atau
sedikit melengkung, tidak berspora dan tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar 0,3 – 0,6
μm dan panjang 1 – 4 μm. Dinding M.tuberculosis sangat kompleks, terdiri dari lapisan
lemak cukup tinggi (60%). Penyusun utama dinding sel M.tuberculosis ialah asam mikolat,
lilin kompleks (complex-waxes), trehalosa dimikolat yang disebut “cord factor”, dan
mycobacterial sulfolipids yang berperan dalam virulensi. Asam mikolat merupakan asam
lemak berantai panjang (C60 – C90) yang dihubungkan dengan arabinogalaktan oleh ikatan
glikolipid dan dengan peptidoglikan oleh jembatan fosfodiester. Unsur lain yang terdapat
pada diniding sel bakteri tersebut adalah polisakarida seperti arabinogalaktan dan
arabinomanan. Struktur dinding sel yang kompleks tersebut menyebebkan bakteri
M.tuberculosis bersifat tahan asam.2

2.1.3. Epidemiologi Tuberculosis

TB paru masih menjadi permasalah kesehatan masyarakat secara global, dikarenakan


jumlah kasusnya yang terus mengalami peningkatan. Laporan WHO menyatakan terdapat 9
juta penduduk dunia menderita TB, dan terjadi peningkatan pada tahun 2014 menjadi 9,6 juta
penduduk. Pada tahun 2015 Indonesia merupakan negara penyumbang kedua kasus TB di
dunia setelah negara India dan diikuti negara China urutan ketiga.3

Pada tahun 2015 ditemukan jumlah kasus TB sebanyak 330.910 kasus, meningkat bila
dibandingkan semua kasus TB yang ditemukan pada tahun 2014 hanya 324.539 kasus. Kasus
TB tertinggi terdapat di Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah dengan kasus BTA +
hampir sebesar 40% dari jumlah kasus di Indonesia.4
Tabel 1.Cakupan Tuberkulosis Paru BTA positif sembuh, pengobatan lengkap dan angka
keberhasilan pengobatan (succses rate) menurut provinsi tahun 2016

Dilihat dari angka Case Detection Rate (CDR) Kasus TB Paru BTA ( +) di Indonesia
terjadi peningkatan yaitu pada tahun 2009 (73,1%), tahun 2010 (78,3%), tahun 2011 (83,5%).
WHO menetapkan standar angka penemuan kasus sebesar 70% dengan demikian penemuan
kasus untuk TB Paru BTA (+) sudah mencapai target.

Pada tahun 2015 jumlah seluruh kasus TB sebanyak 1.068 kasus dan 693 diantaranya
adalah TB paru BTA positif. Sedangkan persentase kesembuhan mencapai 90,11 % dari 809
pasien BTA positif yang diobati pada tahun 2014. Cakupan kesembuhan tersebut sudah
memenuhi target MDGs 2015 sebesar 85%.

Grafik 1. Perkembangan penderita TB Paru di Kabupaten Probolinggo Tahun 2011-


2015
2.1.4. Faktor Risiko Tuberculosis
Faktor risiko TB dibagi menjadi faktor host dan faktor lingkungan :
1. Faktor host terdiri dari:
a. Umur
Umur merupakan faktor predisposisi terjadinya perubahan perilaku yang dikaitkan
dengan kematangan fisik dan psikis penderita TB paru. umur berperan dalam kejadian
penyakit TB paru. Dari hasil penelitian yang di laksanakan di New York pada panti
penampungan orang-orang gelandangan menunjukkan bahwa kemungkinan mendapat
infeksi TB paru aktif meningkat secara bermakna sesuai umur. Prevalensi TB paru
tampaknya meningkat seiring dengan peningkatan usia. Pada wanita prevalensi
mencapai maksimum pada usia 40-50 tahun dan kemudian berkurang sedangkan pada
pria prevalensi terus meningkat sampai sekurang-kurangnya mencapai usia 60 tahun.5
b. Jenis kelamin
Merupakan salah satu variabel untuk membedakan presentasi penyakit antara laki-
laki dan perempuan . Pada tahun 2012 WHO melaporkan bahwa di sebagian besar
dunia lebih banyak laki-laki dari pada perempuan yang terdiagnosa TB paru. Hal ini
dikarenakan sebagian besar laki-laki memiliki kebiasaan merokok sehingga
memudahkan terjangkitnya TB paru.
c. Status gizi
Perilaku gizi makanan dan minuman dapat memelihara dan meningkatkan
kesehatan seseorang, bahkan dapat mendatangkan penyakit.Status nutrisi, seseorang
dengan berat badan kurang atau gizi buruk akan berpengaruh terhadap kekuatan, daya
tahan dan respon imun terhadap serangan penyakit sehingga memiliki risiko yang lebih
tinggi untuk terkena salah satunya TB paru.
d. Imunisasi BCG
Berhubungan dengan kekebalan (status imunisasi) bersamaan dengan kejadian TB
paru, bahwa pada anak yang telah divaksinasi BCG memiliki risiko yang lebih rendah
untuk terinfeksi TB paru, dibandingkan dengan anak-anak yang belum divaksin.
Walaupun sebenarnya imunisasi BCG tidak mencegah infeksi TB paru namun dapat
mengurangi risiko TB yang berat.
e. Pendidikan
Menggambarkan perilaku seseorang dalam kesehatan, semakin rendah pendidikan
maka pengetahuan di bidang kesehatan semakin berkurang. Maka tingkat pendidikan
secara langsung maupun tidak dapat mempengaruhi lingkungan fisik,lingkungan
fisiologis dan lingkungan sosial yang merugiakn kesehatan dan dapat mempengaruhi
tingginya kasus penyakit salah satunya TB paru yang ada.Pendidikan yang rendah
mempengaruhi program pengobatan yang dijalani dan sangat erat kaitannya dengan
ketidakteratuaran dalam berobat.
f. Pengetahuan
Pengetahuan penderita yang baik tentang penyakit TB paru dan pengobatannya
akan meningkatkan keteraturan penderita, dibandingkan dengan penderita yang kurang
akan pengetahuan TB paru dan pengobatannya.sehingga bimbingan dan pengawasan
yang dilakukan oleh PMO akan lebih terarah dan baik. Sehingga diharapkan dapat
meningkatkan keteraturan penderita dalam pengobatan tersebut dan menurunkan angka
penularan
g. Status ekonomi
Berpengaruh terhadap perilaku dalam menjaga kesehatan perindividu dan dalam
keluarga. Status ekonomi mempengaruhi pendidikan dan pengetahuan seseorang dalam
mencari pengobatan, mempengaruhi asupan makanan, mempengaruhi lingkungan
tempat tinggal seperti keadaan rumah dan bahkan kondisi pemukiman yang ditempati.
Sekitar 90% penderita TB paru di dunia menyerang kelompok dengan sosial ekonomi
yang menengah kebawah.
h. Pekerjaan
Penyakit TB paru erat kaitannya dengan pekerjaan. Secara umum peningkatan
angka kematian yang di pengaruhi rendahnya tingkat sosial ekonomi yang berhubungan
dengan pekerjaan merupakan penyebab tertentu yang didasarkan pada tingkat
pekerjaan.
i. Kebiasaan merokok
Merokok adalah membakar tembakau yang kemudian di hisap isinya, definisi
menurut WHO adalah mereka yang merokok setiap hari untuk jangka waktu minimal 6
bulan selama hidupnya. Dan merupakan penyebab utama penyakit paru yang bersifat
kronis dan obstruktif sehingga kebiasaan rokok ini meningkatkan resiko untuk terkena
TB paru sebanyak 2,2 kali.
2. Faktor lingkungan
Sanitasi lingkungan adalah status kesehatan suatu lingkungan yang mencakup
perumahan, pembuangan kotoran, penyediaan air bersih dan sebagainya.Lingkungan
rumah adalah segala sesuatu yang berada di dalam rumah.Lingkungan rumah terdiri
dari lingkungan fisik yaitu ventilasi, suhu, kelembaban,lantai, dinding serta
lingkungan sosial yaitu kepadatan penghuni. Rumah yang ruangan terlalu sempit atau
terlalu banyak penghuninya akan kekurangan oksigen menyebabkan menurunnya
daya tahan tubuh yang memudahkan terjadinya penyakit sehingga penularan penyakit
saluran pernapasan seperti TB paru akan mudah terjadi di antara penghuni rumah.7
 Kepadatan Penghuni Rumah
Cepat lambatnya penularan penyakit salah satunya ditentukan oleh faktor
kepadatan yang ditentukan oleh jumlah dan distribusi penduduk. Dalam hal ini
kepadatan hunian yang apabila tidak dapat suplai rumah sehat yang memadai dan
terjangkau, dapat menyebabkan timbulnya berbagai penyakit seperti penyakit TB
paru.Orang yang tinggal serumah dengan seorang penderita TB akan berisiko untuk
terkena TB. Kepadatan merupakan pre-requisite untuk proses penularan penyakit,
semakin padat maka perpindahan penyakit khususnya penyakit melalui udara akan
semakin mudah dan cepat. Oleh sebab itu kepadatan hunian dalam rumah merupakan
variabel yang berperan dalam kejadian penyakit TB paru.
 Pencahayaan
Rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup, tidak kurang dan tidak
terlalu banyak, kurangnya cahaya yang masuk ke dalam ruangan rumah, terutama
cahaya matahari disamping kurang nyaman, juga merupakan media atau tempat yang
baik untuk hidup dan berkembangnya bibit-bibit penyakit. Sebaliknya terlalu banyak
cahaya didalam rumah akan menyebabkan silau, dan akhirnya dapat merusakan mata.
Pencahayaan dapat dibedakan menjadi 2, yakni :
Cahaya alamiah, yakni matahari. Cahaya matahari ini sangat penting, karena dapat
membunuh bakteri-bakteri patogen di dalam rumah, misalnya basil Mycobacterium
tuberculosis. Oleh karena itu, rumah yang sehat harus mempunyai jalan masuk cahaya
yang cukup.
Cahaya buatan, yaitu menggunakan sumber cahaya yang bukan alamiah, seperti
lampu minyak tanah, listrik, api dan sebagainya. Kualitas dari cahaya buatan
tergantung dari terangnya sumber cahaya (brighness of thesource).
Rumah dengan pencahayaan yang buruk sangat berpengaruh terhadap kejadian
penyakit TB paru. Bakteri Mycobacterium tuberculosis dapat bertahan hidup pada
tempat yang sejuk, lembab dan gelap tanpa sinar matahari bertahun-tahun lamanya,
dan mati bila terkena sinar matahari, lisol, sabun, karbon dan kapas api, bakteri ini
akan mati dalam waktu dua jam. Rumah yang tidak masuk sinar matahari
2.1.5. Gejala Klinis Tuberculosis

Pada stadium awal penyakit TB Paru tidak menunjukan tanda dan gejala yang
spesifik. Namun seiring dengan perjalanan penyakit akan menambah kerusakan jaringan
paru, sehingga dapat meningkatkan produksi sputum yang ditunjukkan dengan seringnya
penderita batuk sebagai bentuk kompensasi pengeluaran dahak. Selain itu, penderita dapat
merasa letih, lemah, dan di tandai dengan berkeringat pada malam hari tanpa melakukan
aktivitas dan mengalami penurunan berat badan yang berarti.
Gejala klinis TB dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan gejala
sistemik. Bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal ialah gejala respiratorik.6
a. Gejala Respiratorik
Gejala respiratorik sangat bervariasi dari mulai tidak bergejala sampai gejala yang
cukup berat bergantung dari luas lesi. Gejala respiratorik terdiri dari:
 Batuk ≥ 3 minggu
Batuk baru timbul apabila proses penyakit telah melibatkan bronkus. Batuk mula-
mula terjadi oleh karena iritasi bronkus, selanjutnya akibat adanya peradangan pada bronkus,
batuk akan menjadi produktif dengan kata lain sifat batuk dimulai dari batuk kering (non
produktif) kemudian setelah timbul peradangan menjadi batuk produktif (sputum).
 Batuk darah
Batuk darah terjadi akibat pecahnya pembuluh darah. Berat dan ringannya batuk
darah yang timbul, tergantung dari besar kecilnya pembuluh darah yang pecah.
 Sesak napas
Pada penyakit ringan belum ditemukan atau dirasakan. Sesak akan terjadi pada
penyakit yang sudah lanjut, yang infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru-paru.
 Nyeri dada
Gejala ini jarang ditemukan, gejala ini timbul apabila sistem persyarafan yang
terdapat di pleura terkena sehingga menimbulkan pleuritis, gejala ini bersifat lokal
b. Gejala Sistemik
 Demam
Demam merupakan gejala pertama dari tuberkulosis paru, biasanya timbul pada sore
dan malam hari disertai dengan keringat mirip demam influenza yang segera mereda.
Tergantung dari daya tahan tubuh penderita dan virulensi kuman. Serangan demam yang
berikut dapat terjadi setelah 3 bulan, 6 bulan, dan 9 bulan. Demam seperti influenza ini hilang
timbul dan semakin lama makin panjang masa serangannya. Demam dapat mencapai suhu
tinggi yaitu 40°−41°C.
 Malaise
Karena tuberkulosis bersifat radang menahun. maka dapat terjadi rasa tidak enak
badan, pegal-pegal, nafsu makan berkurang, badan makin kurus, sakit kepala, mudah lelah
dan pada wanita kadang-kadang dapat terjadi gangguan siklus haid.

2.1.6. Klasifikasi Tuberculosis


1. Berdasar hasil pemeriksaan dahak (BTA)
TB paru dibagi dalam :
a. Tuberkulosis Paru BTA (+)
• Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA positif.
• Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan kelainan
radiologik menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif.
• Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakan
positif.
b. Tuberkulosis Paru BTA (-)
• Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinik dan
kelainan radiologik menunjukkan tuberkulosis aktif serta tidak respons dengan
pemberian antibiotik spektrum luas.
•Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan
M.tuberculosis positif.
• Jika belum ada hasil pemeriksaan dahak, tulis BTA belum diperiksa.
2.Berdasarkan Tipe Penderita
Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya, ada beberapa
tipe penderita yaitu :
a. Kasus baru
Adalah penderita yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau
sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian).
b. Kasus kambuh (relaps)
Adalah penderita tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian
kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif.
Bila hanya menunjukkan perubahan pada gambaran radiologik sehingga dicurigai lesi
aktif kembali, harus dipikirkan beberapa kemungkinan :
• Infeksi sekunder
• Infeksi jamur
• TB paru kambuh
c. Kasus pindahan (Transfer In)
Adalah penderita yang sedang mendapatkan pengobatan di suatu kabupaten
dan kemudian pindah berobat ke kabupaten lain. Penderita pindahan tersebut harus
membawa surat rujukan/pindah.
d. Kasus lalai berobat
Adalah penderita yang sudah berobat paling kurang 1 bulan, dan berhenti 2
minggu atau lebih, kemudian datang kembali berobat. Umumnya penderita tersebut
kembali dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif.
e. Kasus Gagal
• Adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif
pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan).
• Adalah penderita dengan hasil BTA negatif gambaran radiologik positif menjadi
BTA positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan dan atau gambaran radiologik ulang
hasilnya perburukan.
f. Kasus kronik
Adalah penderita dengan hasil pemeriksaan dahak BTA masih positif setelah
selesai pengobatan ulang kategori 2 dengan pengawasan yang baik.
g. Kasus bekas TB
• Hasil pemeriksaan dahak mikroskopik (biakan jika ada fasilitas) negatif dan
gambaran radiologik paru menunjukkan lesi TB inaktif, terlebih gambaran radiologik
serial menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan OAT yang adekuat
akan lebih mendukung.
• Pada kasus dengan gambaran radiologik meragukan lesi TB aktif, namun setelah
mendapat pengobatan OAT selama 2 bulan ternyata tidak ada perubahan gambaran
radiologik.2

Gambar 1. Skema Klasifikasi Tuberkulosis Paru


2.1.7. Patogenesis Tuberculosis
Kebanyakan infeksi TB terjadi melalui udara, yaitu melalui inhalasi droplet saluran
nafas yang mengandung kuman – kuman basil tuberkel yang berasal dari orang yang
terinfeksi. Basil tuberkel yang mencapai permukaan alveolus biasanya diinhalasi sebagai
suatu unit yang terdiri dari satu sampai tiga basil. Setelah berada dalam ruang alveolus,
biasanya dibagian bawah lobus atas paru atau dibagian atas lobus bawah, basil tuberkel
membangkitkan reaksi peradangan. Leukosit polimorfonuklear tampak pada tempat tersebut
dan memfagosit bakteri tersebut, namun tidak membunuh organisme tersebut.
Sesudah hari-hari pertama, leukosit diganti oleh makrofag. Alveoli yang terserang
akan mengalami konsolidasi. Bakteri terus difagositatau berkembang biak di dalam sel. Basil
juga menyebar melalui getah bening menuju ke kelenjar getah bening regional. Makrofag
yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan
sebagian bersatu sehingga membentuk sel tuberkel epiteloid, yang dikelilingi oleh limfosit.
Reaksi ini biasanya membutuhkan waktu 10 sampai 20 hari.
Kuman yang bersarang di jaringan paru akan berbentuk sarang tuberkulosis pneumoni kecil
dan disebut sarang primer atau fokus Ghon. Dari sarang primer akan timbul peradangan
saluran getah bening menuju hilus dan juga diikuti pembesaran kelenjar getah bening hilus.
Semua proses ini memakan waktu 3-8 minggu. Kompleks primer ini selanjutnya dapat
menjadi :
a. Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat.
b. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis fibrotik, kalsifikasi
di hilus dan dapat terjadi reaktivasi lagi karena kuman yang dormant.
c. Berkomplikasi dan menyebar.
Kuman yang dormant akan muncul bertahun-tahun kemudian sebagai infeksi endogen
menjadi tuberkulosis dewasa. TB sekunder ini dimulai dengan sarang dini yang berlokasi di
region atas paru. Sarang dini ini mula-mula juga berbentuk tuberkel yakni suatu granuloma
yang dikelilingi oleh sel-sel limfosit dan berbagai jaringan ikat. Sarang dini yang meluas
sebagai granuloma berkembang menghancurkan jaringan ikat sekitar dan bagian tengahnya
mengalami nekrosis menjadi lembek membentuk perkejuan. Bila jaringan perkejuan
dibatukkan, akan menimbulkan kavitas.

Gambar 2. Patogenesis Tuberkulosis Paru


2.1.8. Diagnosis Tuberculosis
Diagnosis TB dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik, pemeriksaan fisik/jasmani,
pemeriksaan bakteriologik, radiologik dan pemeriksaan penunjang lainnya.
o Gejala klinik
• batuk ≥ 3 minggu
• batuk darah
• sesak napas
• nyeri dada, demam, malaise
o Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisis, kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior
terutama daerah apeks dan segmen posterior, serta daerah apeks lobus inferior. Pada
pemeriksaan fisis dapat ditemukan antara lain suara nafas bronkial, amforik, suara napas
melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma, dan mediastinum.2
o Pemeriksaan Bakteriologik
Bahan – bahan untuk pemeriksaan bakteriologik ini dapat berasal dari dahak, cairan
pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung,nkurasan bronkoalveolar
(bronchoalveolar lavage/BAL), urin,faeces dan jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum
halus/BJH).
Cara pengambilan dahak 3 kali, setiap pagi 3 hari berturutturut atau dengan cara:
• Sewaktu/spot (dahak sewaktu saat kunjungan)
• Dahak Pagi ( keesokan harinya )
• Sewaktu/spot ( pada saat mengantarkan dahak pagi)
Cara pemeriksaanya dapat dengan Pemeriksaan Mikroskopik atau dengan Pemeriksaan
Biakan.
 Pemeriksaan mikroskopik:
Mikroskopik biasa :Pewarnaan Ziehl-Nielsen
Pewarnaan Kinyoun Gabbett
Mikroskopik fluoresens :Pewarnaan auramin-rhodamin
(khususnya untuk screening)
lnterpretasi hasil pemeriksaan mikroskopik dari 3 kali pemeriksaan ialah bila :
 2 kali positif, 1 kali negatif → Mikroskopik positif
 1 kali positif, 2 kali negatif → ulang BTA 3 kali , kemudian
bila 1 kali positif, 2 kali negatif → Mikroskopik positif bila 3 kali negatf →
Mikroskopik negatif
Untuk interpretasi pemeriksaan mikroskopis dahak pasien dapat dibaca dengan skala
IUATLD (rekomendasi WHO). Skala IUATLD (International Union Against Tuberculosis
and Lung Disease) yaitu:
 Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif
 Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman yang
ditemukan
 Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + atau (1+)
 Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ atau (2+)
 Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ atau (3+)
 Pemeriksaan biakan kuman:
Pemeriksaan biakan M.tuberculosis dengan metode konvensional ialah dengan cara :
 Egg base media (Lowenstein-Jensen, Ogawa, Kudoh)
 Agar base media : Middle brook
Melakukan biakan dimaksudkan untuk mendapatkan diagnosis pasti, dan dapat
mendeteksi Mycobacterium tuberculosis dan juga Mycobacterium other than tuberculosis
(MOTT).
o Pemeriksaan radiologi
Pada pemeriksaan radiologi, gambaran yang dicurigai sebagai lesi TB aktif adalah :
1. Bayangan berawan atau nodular disegmen apikal dan posterior lobus atas paru dan
segmen superior lobus bawah.
2. Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular.
3. Bayangan bercak milier.
4. Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang).2
o Pemeriksaan penunjang
Salah satu masalah dalam mendiagnosis pasti tuberkulosis adalah lamanya waktu
yang dibutuhkan untuk pembiakan kuman tuberkulosis secara konvensional. Dalam
perkembangan kini ada beberapa teknik baru yang dapat mengidentifikasi kuman
tuberkulosis secara lebih cepat.
 Polymerase chain reaction (PCR):
Pemeriksaan PCR adalah teknologi canggih yang dapat mendeteksi DNA, termasuk
DNA M.tuberculosis. Salah satu masalah dalam pelaksanaan teknik ini adalah kemungkinan
kontaminasi.
 Pemeriksaan serologi, dengan berbagai metoda Enzym linked immunosorbent assay
(ELISA).
Teknik ini merupakan salah satu uji serologi yang dapat mendeteksi respon humoral
berupa proses antigen-antibodi yang terjadi. Beberapa masalah dalam teknik ini antara lain
adalah kemungkinan antibodi menetap dalam waktu yang cukup lama.

Gambar 3. Alur diagnosis TB paru


2.1.9. Penatalaksanaan Tuberculosis
Penyakit TB paru termasuk penyakit yang serius jika tidak ditangani secara cepat dan
tepat, sehingga untuk mencegah terjadinya peningkatan kasus TB paru, maka pasien dengan
terdiagnosis TB paru harus melakukan pengobatan secara teratur dengan waktu kurang lebih
6 bulan untuk pasien baru, dan pengobatan selama 8 bulan untuk pasien yang kambuh, gagal
pengobatan dan dropout. Pengobatan TB paru disebut juga sebagai OAT (obat anti TB).
Pengobatan pasien TB paru ini memiliki beberapa tujuan diantaranya :
a. Menyembuhkan pasien dan memperbaiki produktivitas serta kualitas hidup.
b. Mencegah terjadinya kematian oleh karena TB atau dampak buruk selanjutnya.
c. Mencegah terjadinya kekambuhan TB.
d. Menurunkan penularan TB.
e. Mencegah terjadinya dan penularan TB resisten obat.
Pengobatan TB paru harus selalu meliputi :
 Pengobatan tahap awal
Tahap dimana pasien TB paru untuk minum obat setiap hari. Panduan
pengobatan pada tahap ini adalah dimaksudkan untuk secara efektif menurunkan
jumlah kuman yang ada dalam tubuh pasien dan meminimalisir pengaruh dan
sebagian kecil kuman yang mungkin pada semua pasien baru, harus diberikan selama
2 bulan pada umumnya dengan pengobatan secara teratur dan tanpa adanya penyulit,
daya penularan sudah sangat menurun setelah pengobatan selama 2 minggu.
 Pengobatan tahap lanjutan
Tahap yang penting untuk membunuh sisa-sisa kuman yang masih ada dalam
tubuh khususnya kuman persisten sehingga pasien dapat sembuh dan mencegah
terjadinya kekambuhan.8

WHO dan ISTC merekomendasikan pengobatan TB paru di Indonesia dengan


panduan OAT yang terbagi menjadi kategori 1 dan kategori 2 yang disediakan dalam bentuk
paket obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT-KDT ini terdiri dari kombinasi 2
atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Panduan
ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien. Selain itu, paket kombipak adalah paket obat
lepas yang terdiri dari Isoniazid, Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam
bentuk blister. Panduan OAT ini disediakan program untuk digunakan dalam pengobatan
pasien yang terbukti mengalami efek samping pengobatan dengan OAT-KDT sebelumnya.
A. Kategori 1 (2RHZE/4H3R3)
Diberikan untuk pasien baru yang terdiagnosis TB paru, penderita TB paru BTA
negatif dan rontgen positif, penderita TB ekstra paru berat. Berikut merupakan dosis dan
lamanya pengobatan kategori 1 OAT-KDT yang disesuaikan dengan berat badan pasien.
Berat Badan Tahap Intensif tiap hari Tahap Lanjutan 3 kali
selama 56 hari RHZE seminggu selama 16
(150/75/400/275) minggu RH (150/150)
30-37 kg 2 tablet 4 KDT 2 tablet 2 KDT
38-58 kg 3 tablet 4 KDT 3 tablet 2 KDT
55-70 kg 4 tablet 4 KDT 4 tablet 2 KDT
>71 kg 5 tablet 4 KDT 5 tablet 2 KDT
Tabel 2. Dosis Paduan OAT-KDT Kategori 1

Panduan OAT tidak hanya diberikan dalam bentuk kombinasi dosis tepat (KDT).
Namun, bisa diberikan dengan panduan OAT kombipak.
Tahap Lama Dosis per hari/kali Jumlah
pengobatan pengobatan hari/kali
menelan
obat
Tablet Kaplet Tablet Tablet
Isoniazid Rifampisin Pirazinamid Etambutol
@300 @450 mg @500 mg @250 mg
mg
Intensif 2 bulan 1 1 3 3 56

Lanjutan 4 bulan 2 1 - - 4
Tabel 3. Dosis Paduan OAT Kombipak Kategori 1

B. Kategori 2 (2RHZES/RHZE/5R3H3E3)
Pada kategori 2 OAT diberikan untuk pasien TB BTA positif yang diobati
sebelumnya (pengobatan ulang) yang diberikan pada pasien kambuh, pasien gagal
pengobatan dengan panduan OAT kategori 1 sebelumnya dan pasien yang diobati kembali
setelah putus berobat (lost to follow up). Pada kategori 2 OAT diberikan selama 8 bulan
kepada pasien. Berikut merupakan dosis dan lamanya pengobatan kategori 2 OAT-KDT yang
disesuaikan dengan berat badan pasien.
Berat Badan Tahap Intensif tiap hari Tahap lanjutan 3 kali
RHZE(150/75/400/275)+S seminggu
RH(150/150)+E(400)
Selama 56 hari Selama 28 hari Selama 20 hari
30-37 kg 2 tab 4 KDT + 500 mg 2 tab 4 KDT 2 tab 2 KDT + 2 tab
Streptomisin inj. Etambutol
38-54 kg 3 tab 4 KDT + 750 mg 3 tab 4 KDT 3 tab 2 KDT + 3 tab
Streptomisin inj. Etambutol
55-70 kg 4 tab 4 KDT + 1000 mg 4 tab 4 KDT 4 tab 2 KDT + 4 tab
Streptomisin inj. Etambutol
>71 kg 5 tab 4 KDT + 1000 mg 5 tab 4 KDT 5 tab 2 KDT + 5 tab
Streptomisin inj. Etambutol
Tabel 4. Dosis Paduan OAT-KDT Kategori 2

Selain panduan OAT –KDT kategori 2, paduan OAT kombipak kategori 2 juga
diberikan pada pasien gagal pengobatan, kambuh maupun dropout.

Tahap Lama Tablet Kaplet Tablet Etambutol Streptomisin Jumlah


pengobatan pengobatan Isoniazid Rifampisin Pirazinamid injeksi hari/kali
@300 mg @450 mg @500 mg menelan
obat
Tablet Tablet
@250 @ 400
mg mg
Tahap awal 2 bulan 1 1 3 3 - 0,75 gr 56
(dosis
harian) 1 bulan 1 1 2 2 28

Tahap
lanjutan 5 bulan 2 1 - 1 2 - 60
(dosis 3x
seminggu)

Tabel 5. Dosis Paduan OAT Kombipak Kategori 2

Pemantauan kemajuan dan hasil pengobatan pada orang dewasa dilaksanakan dengan
pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis. Pemeriksaan dahak secara mikroskopis lebih
baik dibandingkan dengan pemeriksaan radiologis dalam memantau kemajuan pengobatan.
Untuk memantau kemajuan pengobatan dilakukan pemeriksaan dua contoh uji dahak
(sewaktu dan pagi). Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila ke 2 uji dahak tersebut negatif.
Bila salah satu uji positif atau keduanya positif maka hasil pemeriksaan ulang dahak tersebut
dinyatakan positif.
Pemeriksaan ulang dahak pasien TB BTA positif merupakan suatu cara terpenting
untuk menilai hasil kemajuan pengobatan. Setelah pengobatan tahap awal, tanpa
memperhatikan hasil pemeriksaan ulang dahak apakah masih tetap BTA positif atau sudah
menjadi BTA negatif, pasien harus memulai pengobatan tahap lanjutan (tanpa pemberian
OAT sisipan apabila tidak mengalami konversi). Pada semua pasien TB BTA positif,
pemeriksaan ulang dahak selanjutnya dilakukan pada bulan ke 5. Apabila hasilnya negatif,
pengobatan dilanjutkan hingga seluruh dosis pengobatan selesai dan dilakukan pemeriksaan
ulang dahak kembali pada akhir pengobatan.8
Efek samping obat anti tuberkulosis (OAT)
Menurut Kemenkes (2014) dalam Pedoman Nasional Pengendalian Tubekulosis,
sebagian besar penderita TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa
mengalami efek samping OAT. Namun beberapa penderita dapat mengalami efek samping
yang merugikan ataupun berat, oleh karena itu pemantauan kemungkinan terjadinya efek
samping sangat penting dilakukan selama pengobatan. Efek samping berat yaitu efek
samping yang dapat menjadi sakit serius. Dalam kasus TB Paru, maka pemberian obat harus
dihentikan dan penderita harus segera dirujuk ke UPK spesialistik. Sedangkan efek samping
ringan yaitu hanya menyebabkan sedikit perasaan yang tidak enak. Gejala yang menyebabkan
perasaan tidak enak tersebut dapat ditanggulangi dengan obat sederhana. Dalam hal ini,
pemberian OAT dapat diteruskan.

Efek samping OAT Penyebab Penanganan


Tidak nafsu makan, mual, Rifampisin Obat diminum pada malam
sakit perut hari sebelum tidur
Nyeri sendi Pirazinamid Beri aspirin
Kesemutan dan rasa terbakar Isoniazid Beri vitamin
di kaki B6(100mg/hari)
Waktu kemerahan pada urin Rifampisin Hanya perlu diberi
penjelasan
Tabel 6. Efek samping ringan OAT

Efek samping OAT Penyebab Penanganan


Gatal dan kemerahan kulit Semua jenis OAT Ikuti petunjuk penanganan
Tuli Streptomisin Streptomisin dihentikan,
ganti dengan Etambutol
Gangguan keseimbangan Streptomisin Streptomisin dihentikan,
ganti dengan Etambutol
Kekuningan (ikterus) tanpa Hampir semua OAT Hentikan semua OAT
penyebab sampai ikterus menghilang
Bingung dan muntah-muntah Hampir semua OAT Hentikan semua OAT, segera
(penularan ikterus karena lakukan test fungsi hati
obat)
Gangguan penglihatan Etambutol Hentikan Etambutol
Purpura dan renjatan (syok) Rifampisin Hentikan Rifampisin
Tabel 7.Efek samping berat OAT
2.1.10. Pencegahan Tuberculosis
Pencegahan dapat dilakukan baik perorangan maupun kelompok. Tujuan mendeteksi
dini seseorang dengan infeksi TB adalah untuk mengidentifikasi siapa saja yang akan
memperoleh keuntungan dari terapi pencegahan untuk menghentikan perkembangan TB yang
aktif secara klinis.
Hal-hal yang dapat dilakukan untuk mencegah penularannya adalah:
 Kebersihan ruangan dalam rumah terjaga terutama kamar tidur dan setiap ruangan
dalam rumah dilengkapi jendela yang cukup untuk pencahayaan alami dan ventilasi
untuk pertukaran udara serta usahakan agar sinar matahari dapat masuk ke setiap
ruangan dalam rumah melalui jendela atau genting kaca, karena kuman TBC mati
dengan sinar matahari yang mengandung sinar ultraviolet.
 Menjemur kasur dan bantal secara teratur.
 Pengidap TBC diminta menutupi hidung dan mulutnya apabila mereka batuk atau
bersin dan menggunakan masker.
 Minum obat secara teratur sampai selesai, gunakan Pengawas Minum Obat (PMO)
untuk menjaga keteraturan minum obat.
 Jangan meludah disembarang tempat karena ludah yang mengandung Mycobacterium
Tuberculosis akan terbawa udara dan dapat terhirup orang lain.
 Gunakan tempat penampungan dahak seperti kaleng atau sejenisnya yang
ditambahkan air sabun atau karbol/lysol.
 Cuci dan bersihkan barang-barang yang digunakan oleh penderita. Seperti alat makan
dan minum, atau perlengkapan lain.
 Melakukan imunisasi BCG pada bayi.
 Makan makanan yang bergizi seimbang sehingga daya tahan tubuh meningkat untuk
membunuh kuman TBC.
DAFTAR PUSTAKA
1.Depkes RI, Ditjen PP dan PL. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis dan
Standar Internasional Untuk Pelayanan Tuberkulosis; 2008
2.Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia.
3. (WHO 2015)
4. kemenkes RI 2016
5. Crofton, Jhon, et al.Clinical Tuberculosis. Hongkong :McMillan Education, Ltd;2002
6. Aditama,T.Yoga.Tuberkulosis:Diagnosa, Terapi dan Masalahnya Edisi IV.Jakarta:Yayasan
Penerbitan Ikatan Dokter Indonesia;2002
7. Notoatmodjo, S. Ilmu Kesehatan Masyarakat, Prinsip-prinsip Dasar. Jakarta:Rineka
Cipta;2011
8. kemenkes RI 2014

Anda mungkin juga menyukai