Anda di halaman 1dari 16

1.

Sistem Pendidikan Kejuruan


A. Pengertian Pendidikan Kejuruan
Ditinjau secara sistemik, pendidikan kejuruan pada dasarnya merupakan
subsistem dari sistem pendidikan. Terdapat banyak definisi yang diajukan oleh
para ahli tentang pendidikan kejuruan dan definisi-definisi tersebut berkembang
seirama dengan persepsi dan harapan masyarakat tentang peran yang harus
dijalankannya (Muchlas Samani, 1992:14)
Evans & Edwin (1978:24) mengemukakan bahwa: “pendidikan kejuruan
merupakan bagian dari sistem pendidikan yang mempersiapkan individu pada
suatu pekerjaan atau kelompok pekerjaan”. Sementara Harris dalam Slamet
(1990:2), menyatakan: ”Pendidikan kejuruan adalah pendidikan untuk suatu
pekerjaan atau beberapa jenis pekerjaan yang disukai individu untuk kebutuhan
sosialnya”.
Menurut House Committee on Education and Labour (HCEL) dalam
(Oemar H. Malik, 1990:94) bahwa: “pendidikan kejuruan adalah suatu bentuk
pengembangan bakat, pendidikan dasar keterampilan, dan kebiasaan-kebiasaan
yang mengarah pada dunia kerja yang dipandang sebagai latihan keterampilan”.
Dari definisi tersebut terdapat satu pengertian yang bersifat universal seperti yang
dinyatakan oleh National Council for Research into
Vocational Education Amerika Serikat (NCRVE, 1981:15), yaitu bahwa
“pendidikan kejuruan merupakan subsistem pendidikan yang secara khusus
membantu peserta didik dalam mempersiapkan diri memasuki lapangan kerja”.
Dari batasan yang diajukan oleh Evans, Harris, HCEL, dan NCRVE
tersebut dapat disimpulkan bahwa salah satu ciri pendidikan kejuruan dan yang
sekaligus membedakan dengan jenis pendidikan lain adalah orientasinya pada
penyiapan peserta didik untuk memasuki lapangan kerja.
Agak berbeda dengan batasan yang diberikan oleh Evans, Harris, HCEL,
dan NCRVE, Finch & Crunkilton (1984:161) menyebutkan: “pendidikan kejuruan
sebagai pendidikan yang memberikan bekal kepada peserta didik untuk bekerja
guna menopang kehidupannya (education for earning a living)”.
Selanjutnya dari definisi yang diajukan oleh Evans & Edwin, Harris,
HCEL, NCRVE maupun Finch & Crunkilton dapat disimpulkan bahwa
pendidikan kejuruan mempersiapkan peserta didik untuk dapat bekerja pada
bidang tertentu, berarti pula mempersiapkan mereka agar dapat memperoleh
kehidupan yang layak melalui pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan masing-
masing serta norma-norma yang berlaku.

B. Ciri Pembelajaran Pendidikan Kejuruan


Ciri pendidikan kejuruan yang utama adalah sebagai persiapan untuk
memasuki dunia kerja. Secara historis, menurut Evans & Edwin (1978:36)
pendidikan kejuruan sesungguhnya merupakan perkembangan dari latihan dalam
pekerjaan (on the job training) dan pola magang (apprenticeship).
Pada pola latihan dalam pekerjaan, peserta didik belajar sambil langsung
bekerja sebagai karyawan baru tanpa ada orang yang secara khusus ditunjuk
sebagai instruktur, sehingga tidak ada jaminan bahwa peserta didik akan
mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan. Walaupun
demikian, menurut Elliot (1983:15), pola latihan dalam pekerjaan memiliki
keunggulan karena peserta didik dapat langsung belajar pada keadaan yang
sebenarnya sehingga mendorong dia belajar secara inkuiri.
Pada pola magang terdapat seorang karyawan senior yang secara khusus
ditugasi sebagai instruktur bagi karyawan baru (peserta didik) yang sedang
belajar. Instruktur tersebut bertanggungjawab untuk membimbing dan
mengajarkan pengetahuan serta keterampilan yang sesuai dengan tugas karyawan
baru yang menjadi asuhannya. Dengan demikian pola magang relatif lebih
terprogram dan jaminan bahwa karyawan baru akan dapat memperoleh
pengetahuan dan keterampilan tertentu lebih besar dibanding pola latihan dalam
pekerjaan (Evans & Edwin, 1978:38).
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang makin canggih
membawa pengaruh terhadap pola kerja manusia. Pekerjaan menjadi kompleks
dan memerlukan bekal pengetahuan dan keterampilan yang makin tinggi,
sehingga pola magang dan latihan dalam pekerjaan kurang memadai karena tidak
memberikan dasar teori dan keterampilan sebelum peserta didik memasuki
lapangan kerja sebagai karyawan baru. Oleh karena itu kemudian berkembang
bentuk sekolah dan latihan kejuruan yang diselenggarakan oleh sekolah kejuruan
bekerja sama dengan kalangan industri, dengan tujuan memberikan bekal teori
dan keterampilan sebelum peserta didik memasuki lapangan kerja.

C. Tujuan Pendidikan Kejuruan


Ditinjau dari tujuannya, menurut Thorogood (1982:328) pendidikan
kejuruan bertujuan untuk:
(1) memberikan bekal keterampilan individual dan keterampilan yang laku di
masyarakat, sehingga peserta didik secara ekonomis dapat menopang
kehidupannya, (2) membantu peserta didik memperoleh atau mempertahankan
pekerjaan dengan jalan memberikan bekal keterampilan yang berkaitan dengan
pekerjaan yang diinginkannya, (3) mendorong produktivitas ekonomi secara
regional maupun nasional, (4) mendorong terjadinya tenaga terlatih untuk
menopang perkembangan ekonomi dan industri, (5) mendorong dan
meningkatkan kualitas masyarakat.
Agak berbeda dengan Thorogood, Evans seperti yang dikutip oleh
Wenrich & Wenrich (1974:63) menyebutkan bahwa pendidikan kejuruan
bertujuan untuk: “(1) menghasilkan tenaga kerja yang diperlukan oleh
masyarakat, (2) meningkatkan pilihan pekerjaan yang dapat diperoleh oleh setiap
peserta didik, dan (3) memberikan motivasi kerja kepada peserta didik untuk
menerapkan berbagai pengetahuan yang diperolehnya.”
Dari tujuan pendidikan kejuruan yang diajukan oleh Thorogood dan Evans di atas,
dapat disimpulkan bahwa di samping mengemban tugas pendidikan secara umum,
pendidikan kejuruan mengemban misi khusus, yaitu memberikan bekal
pengetahuan dan keterampilan kepada peserta didik untuk memasuki lapangan
kerja dan sekaligus menghasilkan tenaga kerja terampil yang dibutuhkan oleh
masyarakat.
Di samping tujuan khusus yang diajukan oleh Thorogood dan Evans di
atas, Crunkilton (1984:25) menyebutkan bahwa: ”salah satu tujuan utama
pendidikan kejuruan adalah meningkatkan kemampuan peserta didik sehingga
memperoleh kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya”. Menurut Miner
(1974:48-56) bekal yang dipelajari dalam pendidikan kejuruan akan merupakan
bekal untuk mengembangkan diri dalam bekerja. Dengan bekal kemampuan
mengembangkan diri tersebut diharapkan karier yang bersangkutan dapat
meningkat dan pada gilirannya kehidupan mereka akan makin baik (Karabel &
Hasley, 1977:14). Penelitian yang dilakukan Mulyani A. Nurhadi (1988) dan
Samani (1992) ternyata memperkuat pendapat Miner serta Karabel dan Hasley
tersebut.
Bagi masyarakat Indonesia misi pendidikan kejuruan, seperti diungkapkan
oleh Crunkilton tersebut, sangat penting karena pada umumnya siswa sekolah
kejuruan berasal dari masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi rendah (Suprapto
Brotosiswoyo, 1991:8), sehingga apabila sekolah kejuruan berhasil mewujudkan
misinya berarti akan membantu menaikan status sosial ekonomi masyarakat
D. Pengelompokan Pendidikan Kejuruan
Pendidikan kejuruan dapat dikelompokkan berdasarkan jenjang dan
menurut struktur programnya. Pengelompokan berdasarkan jenjang dapat
didasarkan atas jenjang kecanggihan keterampilan yang dipelajari atau jenjang
pendidikan formal yang berlaku (Zulbakir dan Fazil, 1988:7)
Jenjang pendidikan formal yang berlaku dikenal pendidikan kejuruan tingkat
sekolah menengah (secondary) atau sekolah menengah kejuruan (SMK) dengan
berbagai program keahlian seperti Listrik, Elektronika Manufaktur, Elektronika
Otomasi, Metals, Otomotif, Teknik Pendingin, Gambar Bangunan, Konstruksi
Baja, Tata Busana, Tata Boga, Travel and Tourism, penjualan, akuntansi,
manajemen perkantoran dan sebagainya serta tingkat di atas sekolah
menengah (post secondary) misalnya politeknik (IEES, 1986:124)
Berdasarkan struktur programnya, khususnya dalam kaitan dengan bagaimana
sekolah kejuruan mendekatkan programnya dengan dunia kerja, Evans seperti
yang dikutip oleh Hadiwiratama (1980:60-69) membagi sekolah kejuruan menjadi
lima kategori, yaitu (1) program pengarahan kerja (pre vocational guidance
education), (2) program persiapan kerja (employability preparation education),
(3) program persiapan bidang pekerjaan secara umum (occupational area
preparation education), (4) program persiapan bidang kerja
spesifik (occupational specific education), dan (5) program pendidikan kejuruan
khusus (job specific education).
Pada program pengarahan kerja, sekolah memberikan pengetahuan dasar
dan umum tentang berbagai jenis pekerjaan di masyarakat sekaligus
menumbuhkan apresiasi terhadap berbagai pekerjaan tersebut, sedangkan pada
program persiapan kerja, sekolah memberikan dasar-dasar sikap dan keterampilan
kerja, meskipun masih bersifat umum. Dengan program ini diharapkan peserta
didik mempunyai peluang yang lebih besar untuk mendapatkan pekerjaan,
meskipun tentunya masih harus melalui latihan di dalam pekerjaan.
Untuk program persiapan bidang pekerjaan secara umum, sekolah
memberikan bekal guna meningkatkan kemampuan bekerja untuk bidang
pekerjaan yang memerlukan pengetahuan, peralatan yang sejenis. Dengan
program ini diharapkan peserta didik mempunyai pilihan lapangan pekerjaan yang
lebih jelas dan lebih cepat mengikuti latihan di dalam pekerjaan.
Program persiapan kerja yang spesifik memberikan bekal yang sudah
mengarah kepada jenis pekerjaan tertentu, meskipun belum pada suatu perusahaan
tertentu. Lebih khusus lagi adalah program pendidikan kejuruan khusus yang
sudah terarah pada pekerjaan khusus, yaitu mendidik siswa untuk memenuhi
persyaratan yang diminta oleh suatu perusahaan tertentu.
Perjenjangan kedekatan pendidikan kejuruan yang disebutkan oleh Evans
di atas berarti juga kesiapan lulusan dalam memasuki lapangan kerja. Makin
khusus jenis pendidikan kejuruan akan makin siap lulusannya memasuki lapangan
kerja, tetapi juga makin sempit bidang pekerjaan yang dapat dimasuki. Walaupun
demikian, kecuali untuk keperluan tertentu pendidikan kejuruan yang khusus (job
specific education) sangat sulit diterapkan di Indonesia, mengingat jenis industri
di Indonesia sangat bervariasi. Di sini mulai timbulnya dilema antara siap pakai
atau siap latih dalam pendidikan kejuruan.
Dalam kaitan dengan hal tersebut, menurut Semiawan (1991:6), yang
penting adalah kesiapan mental untuk mengembangkan dirinya serta keterampilan
dasar untuk setiap kali dapat menyesuaikan diri kembali pada perubahan
tertentu (retrain ability). Dengan bekal tersebut diharapkan lulusan sekolah
menengah kejuruan tidak hanya terpancang pada jenis pekerjaan yang ada, tetapi
juga terdorong untuk mewujudkan lapangan kerja baru dengan mengembangkan
prakarsa dan kreativitasnya secara optimal.
Sejalan dengan itu Tilaar (1991:12) menegaskan bahwa: “pendidikan
formal (sekolah kejuruan) seharusnya menghasilkan lulusan yang memiliki
kualifikasi siap latih yang kemudian diteruskan dengan program pelatihan, baik di
dalam industri atau lembaga pelatihan tertentu”.
tingkat bawah. Dengan kata lain sekolah kejuruan dapat membantu meningkatkan
mobilitas vertikal dalam masyarakat (Elliot, 1983:42).
E. Pengertian Sistem
Sistem berasal bari bahasa Yunani systema, yang berarti sehimpunan
bagan atau komponen yang saling berhubungan secara teratur dan merupakan
suatu keseluruhan . Istilahsistem adalah suatu konsep yang abstrak. Defnisi
tradisional menyatakan bahwa sistem adalah seperangkat komponen atau unsur-
unsur yang saling berinteraksi untuk mencapai satu tujuan.
Sistem adalah suatu kesatuan unsur-unsur yang saling berinteraksi
fingsional yang memperoleh masukan menjadi keluaran. Kesamaan lain dapat
dilihat melalui ciri-cirinya sebagaimana disebutkan dalam buku akta mengajar
V Depdikbud, 1984) yang meliputi :
a. adanya tujuan
b. adanya fungsi untuk mencapai tujuan
c. ada bagian komponen yang melaksanakan rungsi-fungsi tersebut
d. adanya interaksi antara komponen satu saling hubungan
e. adanya penggabungan yang menimbulkan jalinan keterpaduan
f. adanya proses transformasi
g. adanya proses umpan balik untuk perbaikan
h. adanya daerah batasan dan lingkungan.

F. Teori Sistem (Karakteristik Dan Model)


Teori Sistem yaitu suatu kerangka yang terdiri dari beberapa elemen / sub
elemen / sub system yang saling berinteraksi dan berpengaruh. Konsep system
digunakan untuk menganalisis perilaku dan gejala sosial dengan berbagai system
yang lebih luas maupun dengan sub system yang tercakup di dalamnya.
Contohnya adalah interaksi antar keluarga disebut sebagai system, anak
merupakan sus system dan masyarakat merupakan supra system, selain kaitannya
secara vertikal juga dapat dilihat hubungannya secara horizontal suatu system
dengan berbagai system yang sederajat. Dalam pandangan Talcott Parsons,
masyarakat dan suatu organisme hidup merupakan system yang terbuka yang
berinteraksi dan saling mempengaruhi dengan lingkungannya. System kehidupan
ini dapat dianalisis melaui dua dimensi yaitu:
interaksi antar bagian-bagian / elemen-elemen yang membentuk system dan
interaksi / pertukaran antar system itu dengan lingkungannya. Talcott Parsons
membangun suatu teori system umum / Grand Theory yang berisi empat unsure
utama yang tercakup dalam segala system kehidupan, yaitu : Adaptation, Goal
Attainment, Integration dan Latent Pattern Maintenance. Talcott Parsons
mengemukakan teori sebagai berikut:
Sitem Sosial
Sistem Budaya ==> Individu ==> Perilaku
Karakteristik Sistem yaitu :
 Keseluruhan bersifat primer,bagian-bagian bersifat sekunder
 Integrasi adalah kondisi saling hubungan antara bagian-bagian
 Bagian-bagian membentuk sebuah keseluruhan
 Bagian-bagian memainkan peranan mereka dalam kesatuannya untuk
mencapai tujuan dari keseluruhan
G. Pendidikan Sebagai Suatu System
Pendidikan merupakan sebuah sistem yaitu komponen yang saling
berhubungan secara teratur dan merupakan suatu keseluruhan, dengan tujuan
untuk memberikan pelayanan pendidikan kapada yang membutuhkan. Pendidikan
merupakan suatu usaha untuk mencapai tujuan pendidikan. Suatu usaha
pendidikan menyangkut tiga unusur pokok, yaitu unsur masukan, unsur proses
usaha itu sendiri, dan unsur hasil usaha. Hubungan ketiga unsur itu dapat
digambarkan sebagai berikut:
H. Proses Pendidikan Sebagai Suatu Sistem
Masukan usaha pendidikan ialah peserta didik dengan berbagai ciri-ciri
yang ada pada diri peserta didik itu (antara lain bakat, minat, kemampuan,
keadaan jasmani,). Dalam proses pendidikan terkait berbagai hal, seperti pendidik,
kurikulum, gedung sekolah, buku, metode mengajar, dan lain-lain, sedangkan
hasil pendidikan dapat meliputi hasil belajar (yang berupa pengetahuan, sikap, dan
keterampilan) setelah selesainya suatu proses belajar mengajar tertentu. Dalam
rangka yang lebih besar, hasil proses pendidikan dapat berupa lulusan dari
lembaga pendidikan (sekolah) tertentu.
I. Pendidikan sebagai sutu sistem dapat di lihat dari 2 hal :
1. Sistem pendidikan secara mikro
Secara mikro, pendiddikan dapat di lihat pada beberapa komponen
pokok yaitu :

 Tujuan
 Bahan
 Pendidik
 Peserta didik
 Proses
 Hasil
 Balikan

2. Sistem pendidikan secara makro


Secara makro, sistem pendidikan menyangkut berbagai hal atau
komponen yang lebih luas :
a) Masukan (input), ada 4 jenis masukan pendidikan, yaitu :
 Sistem nilai dan pengetahuan, misalnya falsafah negara, tujuan
pendidikan nasional, dan sebagainya.
 Sumber daya manusia, termasuk di dalamnya masyarakat, peserta
didik, pendidik dan sebagainya.
 Masukan instrumental seperti, perangkat kurikulum, panduan, dan
silabi.
 Masukan sarana termasuk di dalamnya fasilitas dan sarana
pendidikan yang harus di siapkan.
b) Proses yaitu segala sesuatu yang berkaitan denganproses belajar mengajar
atau prose pembelajaran di sekolah atupun di luar sekolah, dalam
komponen proses ini termasuk di dalamnya telaah kegiatan belajar dengan
segala dinamika dan unsur yang mempengaruhinya, serta telaah kegiatan
pembelajaran yang di lakukan pendidik dalam kerangka memberi
kemudahan kepada peserta diddik untuk terjadinya proses pembelajaran.
c) Keluaran (output ), hasil yang di peroleh pendidikan bukan hanya
terbentuknya pribadi lulusan/ peserta didik yang memiliki pengethuan,
sikap dan keterampilan sesuai dengan yang di harapkan dalam tujuan yang
ingin di capai.
Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan (1979) menjelaskan bahwa
pendidikan merupakan suatu sistem yang mempunyai unsur-unsur tujuan sasaran
pendidikan, peserta didik, pengelola pendidikan, struktur atau jenjang, kurikulum
dan fasilitas. Setiap sistem pendidikan ini saling mempengaruhi.
PH Combs (1982) mengemukakan dua belas komponen pendidikan sebagai
berikut:
1) Tujuan dan Prioritas adalah fungsi mengarahkan kegiatan. Hal ini merupakan
informasi apa yang hendak dicapai oleh sisitem pendidikan dan urutan
pelaksanaanya
2) Peserta didik adalah fungsinya belajar diharapkan peserta didik mengalami
proses perubahan tingkah laku sesuai dengan tujuan sistem pendidikan
3) Manajemen atau pengelolan adalah fungsinya mengkoordinasi, mengarahkan
dan menilai sistem pendidikan
4) Struktur dan jadwal waktu adalah mengatur pembagian waktu dan kegiatan
5) Isi dan bahan pengajaran adalah mengambarkan luas dan dalamnya bahan
pelajaran yang harus dikuasai peserta didik.
6) Guru dan pelaksanaan adalah menyediakan bahan pelajaran dan
menyelengarakan proses belajar untuk peserta didik
7) Alat bantu belajar adalah fungsi membuat proses pendidikan yang lebih
menarik dan bervariasi
8) Fasilitas adalah fungsinya untuk tempat terjadinya proses pembelajaran
9) Teknologi adalah fungsi memperlancar dan meningkatkan hasil guna proses
pendidikan
10) Pengawasan mutu adalah fungsi membina peraturan dan standar pendidikan
11) Penelitian adalah fungsi memperbaiki dan mengembangkan ilmu
pengetahuan
12) Biaya adalah fungsinya memperlancar proses pendidkan
Menurut UU republik Indonesia no.2 tahun 1989 tentang sistem pendidikan
nasional adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui bimbingan
, pengajaran, atau latihan bagi peranannya dimasa yang akan datang.
Pendidikan sebagai suatu sistem dapat pula digambarkan dalam bentuk
model dasar input-output berikut ini : “Segala sesuatu yang masuk dalam sistem
dan berperan dalam proses pendidikan disebut masukan pendidikan. Lingkungan
hidup menjadi sumber masukan pendidikan. Faktor-faktor yang berpengaruh
dalam pendidikan diantaranya: filsafat negara, agama, sosial, kebudayaan,
ekonomi, politik, dan demografi. Ketujuh faktor ini merupakan supra sistem
pendidikan.
Jadi, pendidikan sebagai suatu sistem berada bersama, terikat, dan tertenun di
dalam supra sistemnya yang terdiri dari tujuh sistem tersebut. Berarti membangun
suatu lembaga pendidikan baru atau memperbaiki lembaga pendidikan lama, tidak
dapat memisahkan diri dari supra sistem tersebut”

2. SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL


A. Pengertian sistem pendidikan nasional
Sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan
yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.
Pengertian yang 1ebih jelas mengenai pendidikan, pendidikan na-siona1 dan
sistem pendidikan nasiona1 dapat dijumpai dalam Undang-undang No. 20 tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam undang-undang
ini pendidikan didefinisikan sebagai "Usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkansuasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara” ( Pasal 1, ayat 1 ).
Pendidikan nasional didefinisikan sebagai "pendidikan yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap
terhadap tuntutan perubahan zaman. (pasal 1 ayat 2 ). Sedangkan yang dimaksud
dengan sistem pendidikan nasional adalah "keseluruhan komponen pendidikan
yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional”
(pasal 1 ayat 3 ). Jadi dengan demikian, sistem (pendi-dikan nasiona1 dapat
dianggap sebagai jaringan satuan-satuan pendidikan yang dihimpun secara
terpadu dan dikerahkan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
B. Unsur-unsur Pokok Sistem Pendidikan nasional
Kazik (1969:1) mendefinisikan sistem sebagai "organisme yang
dirancang dan dibangun strukturnya secara sengaja, yang terdiri dari komponen-
kumponen yang berhubungan dan berinteraksi satu sama lain yang harus
berfungsi sebagai suatu kesatuan yang utuh untuk mencapai tujuan khusus yang
telah ditetapkan sebelumnya". Suatu sistem memiliki tiga unsur pokok: (1) tujuan,
(2) isi atau komponen, dan (3) proses. Kalau pendidikan nasional kita benar-
benar merupakan suatu sistem, maka ia setidak-tidaknya memiliki tiga unsur
pokok tersebut. Di samping itu, komponen-komponen sistem tersebut harus
berhubungan dan berinteraksi secara terpadu. Adapun komponen pokok dalam
sistem pendidikan yaitu : tujuan dan prioritas, anak didik ( siswa ), pengelolaan,
struktur dan jadwal, isi kurikulum, pendidik (guru alat bantu belajar, fasilitas,
teknologi, pengawasan mutu, penelitian dan biaya.
C. Tujuan Pendidikan Nasional
Dalam Undang-Undang RI nomor 20 tahun 2003 tentang sistem
pendidikan nasional disebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggunng
jawab.
D. Realisasi Sistem Pendidikan Nasional dan Permasalahannya
 Realisasi Sistem Pendidikan Nasional
Realisasi pelaksanaan undang-undang mengenai sistem
pendidikan nasional secara utuh akan masih memerlukan
waktu. Perlu disadari bahwa UU No. 20 Tahun 2003 tidak mungkin
dapat mengatur semua kegiatan pendidikan yang terjadi di
lapangan. Undang-undang pendidikan nasional hanya mampu
memberikan arah, dan mem-berikan prinsip-prinsip dasar untuk
menuju arah tersebut, serta mengatur prosedurnya secara umum.
Realitas pe1aksanan pendidikan di lapangan akan banyak ditentukan
oleh petugas yang berada di barisan paling depan, yaitu guru, kepala
sekolah dan tenaga-tenaga kependidikan lainnya.
 Masalah-Masalah Pendidikan Yang Ada Sekarang
Pendidikan kita sekarang ini setidak-tidaknya sedang
dihadapkan pada empat masalah besar: masalah mutu, masalah
pemerataan, masalah motivasi, dan masalah keterbatasan sumber
daya dan sumber dana pendidikan.
 Usaha-usaha ke arah pemecahan masalah .
Usaha untuk mendemokratiskan serta memeratakan
kesempatan memperoleh pendidikan yang berkualitas antara lain
dapat dilakukan dengan menstandardisasikan fasilitas lembaga
penyelenggara pendidikan dan menye1enggarakan kewajiban
belajar. Semua lembaga pendidikan yang sejenis perlu diusahakan
agar memiliki fasilitas pendidikan yang setara dan seimbang: antara
lain dalam bentuk gedung yang memadai, perlengkapan serta
peralatan belajar yang mencukupi, kualifikasi guru dan satuan
pembiayaan yang sesuai dengan kebutuhan nyata. Standarisasi
fasilitas dan kondisi pendidikan diharapkan dapat menghasilkan
standarisasi mutu. Dengan cara ini pada saatnya nanti , anak-anak
yang berdomisili di luar Jawa tidak banyak lagi yang menginginkan
bersekolah di Jawa, karena mutu pendidikan di daerah mereka setara
atau malahan lebih tinggi dibandingkan dengan mutu pendidikan di
Jawa.
Kewajiban belajar merupakan upaya lain untuk mendemokratiskan
kesempatan memperoleh pendidikan. Melalui kewajiban belajar yang dise-
lenggarakan dan dibiayai oleh negara, semua anak Indonesia akan mempe-roleh
kesempatan untuk rnengikuti pendidikan sampai pada usia atau tingkat pendidikan
tertentu. Melalui kewajiban belajar usaha untuk menaikkan tingkat pendidikan
sebagian besar warga-negara dapat dilakukan secara lebih cepat.
Fungsi pendidikan nasional yaitu :
 Alat pembangun pribadi, pengembangan warga negara, pengembangan
kebudayaan dan pengembangan bangsa indonesia
 Menurut UU RI No.2 1989 ”pendidikan nasional berfungsi untuk
mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan
martabat bangsa indonesia dalam upaya mewuhutkan tujuan nasional
E. Kelembagaan, Program Dan Pengelolaan Pendidikan
1. Kelembagaan Pendidikan
Ditinjau dari segi kelembagaan maka penyelenggaraan
pendidikan di indonesia melalui dua jalur yaitu:

 Jalur pendidikan Sekolah


 Jalur pendidikan luar sekolah

2. Jenis Program Pendidikan


Jenis pendidikan yang termasuk pendidikan sekolah yaitu:

 Pendidikan Umum
 Pendidikan Kejuruan
 Pendidikan Luar Biasa
 Pendidikan kedinasan
 Pendidikan Keagamaan
 Pendidikan akademik
 Pendidikan Propesional

3. Jenjang Pendidikan
 Pendidiksn Prasekolah
 Pendidikan Dasar
 Pendidikan Menegah
 Pendidikan Tinggi
F. Kurikulum
Untuk mencapai tujuan Pendidikan nasional disusunlah kurikulum yang
memperhatikan tahap perkembangan peserta didik dan kesesuaian
dengan lingkugan, perkembangan ilmu pengetahuan, sesuai dengan jenjang
masing-masing satuan pendidikan
Menurut Simanjuntak (1989) mengemukakan bahwa dalam menyusun kurikulum
perlu memperhatikan :
1. Dasar dan tujuan sisitem pendidikan nasional
2. Dasar dan tujuan lembaga pendidikan
3. Tujuan kurikuler komponen pendidikan
4. Tujuan dan Struktur instruksional/ pengajaran
5. Keperluan pembaruan aspek-aspek yang diperlukan
6. tahap-tahap perkembangan anak didik
DAFTAR PUSTAKA
Muchlas Samani. 1992. Keefektifan Program Pendidikan STM: Studi Penelitian
Pelacakan terhadap Lulusan STM Rumpun Mesin Tenaga dan Teknologi
Pengerjaan Logam di Kotamadya Surabaya tahun 1986 dan 1987.
Evans, R. N. & Edwin, L. H. 1978. Foundation of Vocational Education.
Columbus, Ohio: Charles E. Merrill Publishing Company.
Oemar H. Malik. 1990. Pendidikan Tenaga Kerja Nasional, Kejuruan,
Kewiraswastaan, dan Manajemen. Bandung: PT. Citra Aditya Bhakti.
Elliot, Janet. 1983. The Organization of Productive Work In Secondary Technical
and Vocational Education The United Kingdom. London: Unesco.
Thorogood, Ray. 1982. Current Themes in Vocational Education and Training
Policies, Part I. Industrial and Commercial Training 9, pp. 328-331.
Wenrich, Ralph C. & Wenrich, William J. 1974. Leadership in Administration
of Vocational Education. Columbus, Ohio: Charles E. Merrill Publishing Co.
Miner, Jacob. 1974. Family Investment in Human Capital: Earning of Woman.
Journal of Political Economy 82 (2). Pp. 48-56.
Mulyani A. Nurhadi,. 1988. The Effects of Schooling Factor on Personal Earning
Within the Context of Internal Labor Market in PT. Petrokimia Gresik (Persero)
Indonesia. Yogyakarta: PPS IKIP Yogyakarta.
Zulbakir & Fazil. 1988. Program Pendidikan Menengah Teknologi dan
Perkembangan IPTEK di Indonesia. Makalah disampaikan pada Konvensi
Nasional Pendidikan Juli 1988, Bandung
IEES .1986.. Indonesia Education and Human Resources Sector Review. Chapter
VII-Vocational/Technical Education. Jakarta: Depdikbud and USAID
Suprapto Brotosiswoyo,. 1991. Pendidikan Menengah. Makalah Pengantar
Diskusi Kelompok Rapat Kerja Nasional. Agustus 1991. Jakarta: Depdikbud
Tilaar, H.A.R. 1991. Sistem Pendidikan Yang Modern Bagi Pembangunan
Masyarakat Industri Modern Berdasarkan Pancasila.

Anda mungkin juga menyukai