Anda di halaman 1dari 34

Laporan Kasus

CONGESTIVE HEART FAILURE (CHF)


et causa
HYPERTENSION HEART DISEASE (HHD)

Disusun Oleh:
Ekky Wibisono
1508438055

Pembimbing :
dr. Lia Valentina Astari, Sp.JP-FIHA

KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ILMU PENYAKIT JANTUNG DAN PEMBULUH DARAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2016
1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gagal Jantung / heart failure adalah suatu sindroma dengan gejala dan

tanda yang khas (nafas yang pendek, pembengkakan di kaki, kelelahan,

peningkatan tekanan vena jugularis (jugularis venous pressure, JVP), ronki

pulmonal dan lokasi apeks jantung yang berpindah) yang disebabkan oleh

ketidaknormalan struktur dan fungsi jantung.1 Gagal jantung kongestif (CHF) juga

merupakan suatu pathophysiological state dimana fungsi jantung yang abnormal

bertanggung jawab sebagai penyebab ketidakmampuan jantung memompakan

darah dalam jumlah normal untuk kebutuhan metabolisme jaringan.2

CHF menyumbang angka mortalitas sebesar 34% dalam kasus

kardiovaskuler.3 Di Indonesia penyakit jantung dan pembuluh darah terus

meningkat dan akan memberikan beban kesakitan, kecacatan dan beban sosial

ekonomi bagi keluarga penderita, masyarakat, dan negara. Prevalensi penyakit

gagal jantung di Indonesia tahun 2013 berdasarkan diagnosis dokter yaitu sebesar

0.13%.4 Selain itu, data dari WHO pada tahun 2013 menyatakan lebih dari 17,3

juta orang meninggal karena penyakit kardiovaskuler dan 80%-nya terjadi di

negara miskin dan berkembang.4

Prognosis penderita gagal jantung sangat dipengaruhi oleh perbaikan

penyakit yang mendasarinya, seperti penyakit arteri koroner, penyakit katup

jantung, hipertensi dan diabetes.5 Apabila penyakit dasar tidak terkoreksi maka

penderita memiliki prognosis yang buruk. Penegakkan diagnosis dan pemilihan


2

penatalaksanaan yang tepat pada penderita CHF sangat mempengaruhi kualitas

dan kelangsungan hidupnya.6 Angka harapan hidup dalam satu bulan sebesar
7
89.6%, satu tahun 78%, dan dalam lima tahun hanya sebesar 57.7%. Untuk

keadaan gagal jantung berat lebih dari 50%, pasien akan meninggal dalam tahun

pertama.3
3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Congestif Heart Failure (CHF)

2.1.1 Definisi

CHF adalah kelainan struktur dan fungsi jantung sehingga jantung gagal

memompakan oksigen untuk kebutuhan metabolisme jaringan pada tekanan yang

normal atau mampu memenuhi rnetabolisme jaringan tetapi pada tekanan

pengisian yang meningkat.1 CHF merupakan suatu sindroma klinis yang

dikarakteristikkan dengan gejala sesak napas, kelelahan, dan tanda - tanda

kelebihan volume cairan dalam tubuh (udema perifer dan ronki pulmonal).7

2.1.2 Etiologi

Etiologi gagal jantung terbanyak adalah penyakit arteri koroner, hipertensi,

idiopatik kardiomiopati dan penyakit katup jantung. Gagal jantung yang

disebabkan oleh penyakit arteri koroner mencapai angka kejadian sebesar 60 –

70% (gagal jantung sistolik) dan penyakit arteri koroner merupakan prediktor

untuk progresifitas disfungsi sistolik ventrikel kiri dari asimptomatis menjadi

simptomatis. Hipertensi dan penyakit katup jantung juga merupakan faktor resiko

yang cukup signifikan dalam menyebakan gagal jantung yaitu dengan angka

kejadian sebesar 1.4 – 1.6%. Diabetes melitus, DM, meningkatkan resiko gagal

jantung yang disebabkan oleh kardiomiopati menjadi dua kali lipat dan pada

wanita, DM menjadi faktor resiko utama terjadinya penyakit arteri koroner yang

juga bisa berakibat menjadi gagal jantung. Merokok, pola hidup inactive, dan
4

obesitas juga termasuk faktor resiko yang harus diperhatikan, karena banyak

faktor lain yang meningkatkan resiko gagal jantung.7

Secara rinci, penyebab gagal jantung kongestif antara lain:8

1) Kelainan otot jantung

Gagal jantung sering terjadi pada penderita kelainan otot jantung,

disebabkan menurunnya kontraktilitas jantung. Kondisi yang mendasari

penyebab kelainan fungsi otot mencakup ateriosklerosis koroner,

hipertensi arterial, dan penyakit degeneratif atau inflamasi.

2) Aterosklerosis koroner

Mengakibatkan disfungsi miokardium karena terganggunya aliran darah ke

otot jantung. Terjadi hipoksia dan asidosis (akibat penumpukan asam

laktat). Infark miokardium (kematian sel jantung) biasanya mendahului

terjadinya gagal jantung. Peradangan dan penyakit miokardium

degeneratif, berhubungan dengan gagal jantung karena kondisi yang secara

langsung merusak serabut jantung, menyebabkan kontraktilitas menurun.

3) Hipertensi sistemik atau pulmonal

Meningkatkan beban kerja jantung dan pada gilirannya mengakibatkan

hipertrofi serabut otot jantung.

4) Peradangan dan penyakit miokardium degenerative

Berhubungan dengan gagal jantung karena kondisi ini secara langsung

merusak serabut jantung menyebabkan kontraktilitas menurun.

5) Penyakit jantung lain

Gagal jantung dapat terjadi sebagai akibat penyakit jantung yang

sebenarnya, yang secara langsung mempengaruhi jantung. Mekanisme


5

biasanya terlibat mencakup gangguan aliran darah yang masuk jantung

(stenosis katup semiluner), ketidakmampuan jantung untuk mengisi darah

(tamponade, perikardium, perikarditif konstriktif, atau stenosis AV),

peningkatan mendadak afterload.

2.1.3 Klasifikasi

Klasifikasi CHF terdiri atas klasifikasi berdasarkan New York Heart

Association, NYHA, (berdasarkan kemampuan seseorang dalam menjalankan

aktivitas fungsionalnya atau melakukan kegiatan sehari-hari) dan klasifikasi oleh

American College of Cardiology (ACC) atau American Heart Association (AHA)

(berdasarkan perkembangan dan progresifitas dari penyakit).

New York Heart Association Functional Classification of Heart Failure1

3
Terjadi limitasi 4
2
1 aktivitas fisik. Setiap aktivitas
Sedikit limitasi
Saat istirahat, fisik yang
Tanpa limitasi aktivitas fisik,
tidak ada dilakukan
aktivitas fisik. hilang saat
keluhan. menimbulkan
Aktivitas fisik istirahat.
Aktivitas fisik gejala CHF,
yang biasa tidak Aktifitas fisik
yang lebih ringan bahkan saat
menimbulkan yang biasa
dari aktifitas fisik istirahat juga
gejala CHF menimbulkan
biasa menimbulkan
gejala CHF
menimbulkan keluhan
gejala CHF
6

Klasifikasi CHF berdasarkan ACCF/AHA9

Stadium ACCF/AHA
A : Beresiko terjadinya CHF tanpa kelainan struktur jantung atau gejala dari CHF
B : Kelainan struktural jantung ada, gejala dari CHF tidak ada
C : Kelainan struktural jantung ada, gejala dari CHF ada
D : Gejala yang berat dari CHF dan perlu intervensi spesialisasi

Klasifikasi lain yang penting adalah berhubungan dengan left ventricular

ejection fraction (LVEF), apakah tergolong preserved (>50%) atau reduced LVEF

(<50%). Pada gagal jantung sistolik dengan reduced LVEF, mortalitasnya

meningkat, dan pada gagal jantung diastolik justru sebagian besar (40 – 50%)

adalah preserved LVEF.7

2.1.4 Patofisiologi

Patofisiologi gagal jantung sangat kompleks dan melibatkan berbagai

mekanisme.7 Istilah gagal jantung pun bisa dibedakan berdasarkan bermacam

masalah, yaitu :

a. Berdasarkan perjalanan waktu penyakit

 Gagal jantung akut

 Gagal jantung kronis

b. Berdasarkan curah jantung

 Gagal jantung low output

 Gagal jantung high output

c. Berdasarkan lokasi gagal jantung

 Gagal jantung kanan

 Gagal jantung kiri

 Kegagalan biventrikel / CHF

d. Berdasarkan fungsi yang terganggu


7

 Gagal jantung diastolik

 Gagal jantung sistolik

Gagal jantung paling sering mencerminkan adanya kelainan fungsi kontraktilitas

ventrikel (suatu bentuk gagal sistolik) atau adanya gangguan relaksasi ventrikel

(suatu bentuk gagal diastolik).10,11

a. Disfungsi sistolik

Pada disfungsi sistolik, kontraktilitas miokardium mengalami gangguan

(dapat disebabkan oleh rusaknya miosit, abnormalitas fungsi miosit atau fibrosis,

serta akibat pressure overload yang menyebabkan resistensi atau tahanan aliran),

sehingga isi sekuncup ventrikel berkurang, adanya penurunan curah jantung dan

volume akhir sistolik meningkat Akibat dari peningkatan volume akhir sistolik,

saat darah dari vena pulmonalis kembali ke jantung yang sedang terganggu,

dimana ventrikel dikosongkan secara tidak sempurna, akan mengakibatkan

volume diastoliknya meningkat lebih besar, sehingga tekanan dan volume akhir

diastolik lebih tinggi dari normal (terjadi peningkatan tekanan darah).

b. Disfungsi diastolik

Terdapat gangguan pada relaksasi diastolik dini (suatu proses yang aktif

dan bergantung pada energi), peningkatan kekakuan dinding ventrikel (bersifat

pasif) atau kedua-duanya yang paling sering disebabkan oleh penyakit jantung

koroner, hipertensi dengan hipertrofi ventrikel kiri dan kardiomiopati hipertrofi.

Dalam fase diastol, pengisian ventrikel menyebabkan tekanan diastolik

meningkat, karena adanya kenaikan volume yang menyebabkan peningkatan

tekanan yang lebih besar. Tekanan diastolik meningkat akan diteruskan ke atrium
8

kiri kemudian ke vena dan kapiler paru. Kenaikan tekanan hidrostatik di kapiler

paru yang cukup tinggi (>20mmHg), dapat menyebabkan transudasi cairan

kedalam intersisium paru dan menimbulkan keluhan - keluhan kongesti paru.

Gagal jantung kongestif terjadi pada kondisi gagal jantung kiri jangka panjang

yang diikuti dengan gagal jantung kanan atau sebaliknya, namun kebanyakan

didahului oleh gagal jantung kiri.


9

Mekanisme kompensasi pada gagal jantung adalah: 11

 Mekanisme Frank Starling  penambahan panjang serat menyebabkan

kontraksi menjadi lebih kuat sehingga curah jantung meningkat.

 Perubahan neurohormonal  peningkatan aktivitas simpatis

merupakan mekanisme paling awal untuk mempertahankan curah

jantung. Katekolamin menyebabkan kontraksi otot jantung yang lebih

kuat (efek inotropik positif) dan peningkatan denyut jantung. Sistem

saraf simpatis juga turut berperan dalam aktivasi sistem renin

angiotensin aldosteron (RAA) yang bersifat mempertahankan volume

darah yang bersirkulasi dan mempertahankan tekanan darah. Selain itu

dilepaskan juga counter-regulator peptides dari jantung seperti

natriuretic peptides yang mengakibatkan terjadinya vasodilatasi

perifer, natriuresis dan diuresis serta turut mengaktivasi sistem saraf

simpatis dan sistem RAA.

 Remodeling dan hipertrofi ventrikel  bertambahnya beban kerja

jantung akibat respon terhadap peningkatan kebutuhan maka terjadi

berbagai macam remodeling termasuk hipertrofi dan dilatasi. Bila

hanya terjadi peningkatan muatan tekanan ruang jantung atau pressure

overload (misalnya pada hipertensi, stenosis katup), hipertrofi ditandai

dengan peningkatan diameter setiap serat otot. Pembesaran ini

memberikan pola hipertrofi konsentrik yang klasik, dimana ketebalan

dinding ventrikel bertambah tanpa penambahan ukuran ruang jantung.

Namun, bila pengisian volume jantung terganggu (misalnya pada


10

regurgitasi katup atau ada pirau) maka panjang serat jantung juga

bertambah yang disebut hipertrofi eksentrik, dengan penambahan

ukuran ruang jantung dan ketebalan dinding (gambar 2.3)

Gambar 2.3 Gambaran jantung normal dan kelainan – kelainan pada jantung

2.1.5 Diagnosis

Diagnosis gagal jantung dapat ditegakkan dari anamnesis yang teliti,

pemeriksaan fisik lengkap dan pemeriksaan penunjang yang sesuai, sebagai

berikut : 1,7

a. Anamnesis

Tanyakan keluhan sesak saat bekerja, berbaring (ortopneu), saat malam

hari (sampai terbangun), cepat lelah, tidak tahan dengan latihan berat,

riwayat bengkak di perut, kaki, dll (tabel 2.1).


11

Tabel 2.1 Gejala dan tanda gagal jantung1

b. Pemeriksaan fisik

Dapat ditemukan kelainan khas gagal jantung seperti peningkatan tekanan

vena jugularis, refluks hepatojuguler, udema ekstremitas, bradikardi /

takikardi, berpindahnya lokasi ictus cordis, adanya bising jantung (gallop /

murmur), ronki basal paru, kesulitan bernafas, dan sianosis.

c. Pemeriksaan penunjang

i. Pemeriksaan laboratorium

 Pemeriksaan level B-type natriuretic peptide

 Pemeriksaan elektrolit serum

 Pemeriksaan darah lengkap (anemia ada / tidak)


12

 Pemeriksaan fungsi hati dan ginjal

 Pemeriksaan urin rutin

 Pemeriksaan hormon tiroid

ii. Pemeriksaan rontgen toraks

Rontgen toraks harus diperiksa sejak awal untuk membedakan

penyebab keluhan antara jantung atau paru. Adanya kongestif

pulmonal dan udema intersisial paru semakin memperkuat diagnosis

gagal jantung, serta ditambah dengan adanya cardiomegali (CTR

>50%).

iii. EKG

EKG sangat diperlukan untuk mengetahui penyakit yang mendasari

terjadinya gagal jantung. Perubahan pada EKG seperti left branch

bundle block (LBBB), left ventriculer hypertrophy (LVH), infark

miocard akut atau kronis, dan atrial fibrilation dapat diidentifikasi dan

mungkin juga mengarahkan untuk perlunya dilakukan pemeriksaan

lanjutan seperti echocardiography (ECG), stress testing atau konsul

kepada kardiolog.

iv. Echocardiography (ECG)

Pemeriksaan echo saat ini telah menjadi metode diagnostik umum

digunakan untuk menilai anatomi dan fungsi jantung, miokardium dan

perikadium.Fitur yang paling penting pada evaluasi gagal jantung

adalah penilaian Left-ventricular ejection fraction (LVEF), beratnya

remodelling ventrikel kiri, dan perubahan pada fungsi diastolik.


13

Alur penegakkan diagnosis tersebut dapat disimpulkan sesuai alur pada

gambar 2.2 berikut :7

Dalam menegakkan diagnosis gagal jantung, terdapat dua kriteria yang

dipakai sebagai panduan, yaitu kriteria Framingham dan Boston, sebagai berikut :
14

Tabel 2.2 Diagnosis CHF

Framingham7 Boston12
Kriteria Mayor : Kategori I : Riwayat
- Paroksismal nokturnal dispnea atau ortopnea - Dispnea saat istirahat (4)
- Peningkatan JVP - Ortopnea (4)
- Ronki basah - Paroksismal nokturnal dispnea (3)
- Edema pulmonary akut - Sesak saat naik tangga (2)
- Bunyi S3 Gallop - Sesak saar memanjat (1)
- Peningkatan tekanan vena
- Refluks hepatojugular Kategori II : Pemeriksaan Fisik
- Denyut jantung yang abnormal (1-
Kriteria Minor 2)
- Edema tungkai - Peningkatan JVP (1-2)
- Batuk malam hari - Suara paru crackles (1-2)
- Dispnea on effort - Wheezing (3)
- Hepatomegali - Bunyi S3 (3)
- Efusi pleura
- Kapasitas vital berkurang Kategori 3 : Radiologi
1/3 dari maksimum - Edema alveolus paru (4)
- Takikardi - Edema intersisial paru (3)
- Efusi pleura bilateral (3)
Kriteria mayor atau minor : - CRT >50% (3)
Kehilangan berat badan >4,5 kg dalam - Retribusi aliran di zona atas (2)
5 hari pengobatan
Nilai 8-12 : pasti CHF
Diagnosis ditegakkan jika 2 kriteria mayor Nilai 5-7 : mungkin CHF
atau 1 kriteria mayor + 2 kriteria minor Nilai <5 : bukan CHF

2.1.6 Penatalaksanaan

Pemberian terapi pada CHF harus disesuaikan dengan penyakit yang

mendasarinya. Untuk CHF sendiri, algoritma penatalaksanaannya selalu

diperbarui berdasarkan penelitian – penelitian yang dilakukan, seperti guideline

tatalaksana CHF terbaru yaitu berdasarkan AHA 2013 serta berdasarkan alur
terapi oleh American Family Physician (AAFP) 2010 seperti yang ditampilkan di bawah ini:
16

Pada dasarnya, prinsip dalam penanganan CHF adalah: 13

1. Pengurangan preload (beban awal)

Beban awal jantung dapat dikurangi dengan membatasi asupan garam

dalam makanan, bila perlu beri diuretik untuk mengantisipasi retensi

natrium dan air (jika gejala menetap). Vasodilatasi vena dapat

menurunkan beban awal dari jantung melalui retribusi darah dari sentral

ke sirkulasi perifer. Vasodilatasi menyebabkan aliran darah mengalir ke

perifer dan mengurangi aliran balik vena ke jantung.

2. Pengurangan afterload (beban akhir)

Mekanisme kompensasi pada gagal jantung adalah teraktivasinya

sistem RAAS dan simpatis yang menyebabkan vasokonstriksi dan

meningkatkan tahanan terhadap ejeksi ventrikel (resistensi perifer) dan

afterload. Afterload yang meningkat menyebabkan kerja jantung

semakin bertambah berat dan cardiac output menurun. Pemberian

vasodilator dapat menghambat efek negatif ini, umumnya dipakai

vasodilator yang bekerja dengan cara dilatasi langsung otot polos

pembuluh darah (seperti: Isosorbid dinitrat/ISDN), dan obat yang

menghambat kerja angiotensin (seperti: ACE-Inhibitor).

3. Meningkatkan kontraktilitas miokardium

Obat inotropik positif akan meningkatkan kontraksi miokardium,

sehingga memperbaiki fungsi ventrikel dalam memompakan darah

lebih baik, cardiac output dapat lebih besar pada volume dan tekanan

diastolik tertentu.
17

Gambar 2.3. Strategi pengobatan tatalaksana gagal jantung sistolik kronik

(NYHA fc II – IV)

2.2. Penyakit Jantung Hipertensi 14,15

Hipertensi adalah kenaikan tekanan sitolik besar atau sama dengan 140
mmHg dan tekanan diastolik besar atau sama dengan 90 mmHg. Patofisiologi dari
hipertensi menyebakan gagal jantung dapat dilihat pada gambar di bawah:
18

Gambar 2.4 Patofisiologi penyakit jantung hipertensif

Pencegahan gagal jantung pada kasus hipertensi dapat dilakukan sesuai


dengan hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Mostered dkk (1999)
menunjukkan bahwa pengobatan hipertensi yang efektif dapat menurunkan angka
kejadian hipertrofi ventrikel kiri dan angka kematian kardiovaskular, sehingga
menurunkan insidensi gagal jantung sebesar 35 sampai 50%. Secara klinis derajat
hipertensi dapat diklasifikasikan sesuai dengan rekomendasi dari “The Seventh
Report of The Join National Committee, Prevention, Detection and Treatment of
High Blood Pressure “ (JNC – VII, 2003) sebagai berikut :

Tabel 2.3. Klasifikasi Tekanan Darah Menurut JNC 7


Klasifikasi Tekanan
TDS (mmHg) TDD (mmHg)
Darah
Normal <120 dan <80
Prahipertensi 120 – 139 atau 80 - 89
Hipertensi derajat 1 140 – 139 atau 90 - 99
Hipertensi derajat 2 > 160 atau > 100
19

Terdapat 3 tatalaksana yang dapat dilakukan, yaitu:

1. Modifikasi gaya hidup

Modifikasi gaya hidup termasuk penurunan berat badan dengan

mempertahankan BB normal (IMT = 18,5 – 24,9 kg/m2), perencanaan

makan DASH, mengurangi asupan natrium, meningkatkan asupan kalium,

latihan jasmani serta membatasi konsumsi alkohol bagi yang

mengkonsumsi alkohol yang semuanya dapat membantu menurunkan

tekanan darah sistolik.

2. Pengaturan pola makan

Menu makanan yang dianjurkan oleh JNHC 7 tahun 2004 dan AHA tahun

2006 yaitu DASH (dietary approach to stop hypertension). Prinsip DASH

yaitu banyak mengkonsumsi buah dan sayuran, susu rendah lemak dan hasil

olahnya seperti kacang-kacangan. Konsumsi garam natrium dan minuman

beralkohol sebaikny juga dibatasi.


20

3. Pengobatan
Untuk obat- obatan preventif terjadinya gagal jantung pada
hipertensi yang terbukti menurunkan angka mortalitas :
 Diuretik
 Beta bloker (bisoprolol fumarate, metoprolol succinate, and
carvedilol)
 ACE Inhibitor (seperti enalapril)
 ARB (candesartan)
 Antagonis aldosteron (spironolakton)
21

BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas pasien


Nama : Ny. R N

Umur : 48 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Jl. Gabus Tangkerang Raya, Pekanbaru

Tgl Masuk RS : 31-10-2016

3.2 Anamnesis
3.2.1 Keluhan utama
Sesak nafas memberat sejak 6 jam SMRS.

3.2.2 Riwayat penyakit sekarang


- Sejak 3 bulan SMRS pasien sering mengeluhkan sesak napas, sesak
dirasakan hilang timbul, muncul saat beraktifitas seperti mencuci pakaian
dan hilang jika pasien beristirahat. Sesak tidak dipengaruhi oleh cuaca
dingin, debu, atau makanan dan sesak tidak diawali dengan demam.
Keluhan sesak juga menyebabkan pasien sering terbangun malam hari dan
merasa nyaman bila tidur dengan bantal yang ditinggikan. Pasien juga
mengeluhkan kedua kakinya sering sembab, terutama di sore hari, sulit
membuka mata saat bangun pagi hari disangkal. Pasien diketahui memiliki
riwayat Hipertensi sejak 3 tahun yang lalu. Pasien baru rutin
mengkonsumsi obat penurun tensi sejak 6 bulan terakhir.
- 15 hari SMRS pasien kembali mengeluhkan sesak, sesak muncul saat
berjalan ke kamar mandi dan sedikit berkurang jika dibawa berbaring.
Pasien tidak dapat berbaring telentang dan lebih nyaman dengan posisi
setengah duduk. Selain itu, pasien juga mengeluhkan perut nya tampak
membesar dan kedua tungkainya terlihat sembab. Nyeri dada (-), batuk
pada malam hari (+), batuk bercampur darah (-), demam (-). BAK masih
lancar serta BAB tidak ada keluhan. Pasien kemudian berobat ke poliklinik
22

jantung RSUD Arifin Achmad, mendapat obat, lalu pulang, setelah itu
sesak masih dirasakan hilang timbul, membaik dengan istirahat.
- 6 jam SMRS pasien mengeluh sesak semakin memberat, mengigil dan
keringat dingin. Pasien sesak saat ke kamar mandi dan bila dibawa
beristirahat sesak masih terasa. Sesak juga disertai dengan keluhan batuk,
berdahak dengan dahak berwarna putih, tidak berbuih dan tidak bercampur
darah. Selain itu, perut semakin membesar dan kedua tungkai semakin
sembab. Setelah konsumsi obat, sesak berkurang, kemudian pasien masih
sempat berobat ke Poliklinik Jantung RSUD AA.

3.2.3 Riwayat penyakit dahulu


 Riwayat hipertensi diketahui sejak 3 tahun yang lalu dan baru rutin
mengkonsumsi obat dalam 6 bulan terakhir.
 Riwayat diabetes disangkal
 Riwayat nyeri dada kiri yang menjalar ke bahu sebelumnya tidak ada
 Riwayat asma tidak ada

3.2.4 Riwayat penyakit dalam keluarga


 Riwayat hipertensi serta diabetes pada ibu kandung serta saudara-
saudara kandung
 Riwayat serangan jantung pada ibu kandung
 Riwayat asma tidak ada

3.2.5 Riwayat pekerjaan, sosial ekonomi, kejiwaan dan kebiasaan


 Pasien seorang ibu rumah tangga
 Pasien sudah tidak pernah berolahraga lagi saat ini
 Pasien mengatakan sehari makan 3 kali, lebih banyak sayur mayur.
 Riwayat merokok dan minum alkohol disangkal.

3.3 Pemeriksaan fisik


3.3.1 Pemeriksaan umum
23

Tanda – tanda vital


Kesadaran : Composmentis
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
TD : 190/100 mmHg
Nadi : 112x /menit
RR : 32 x/menit
Suhu : 36,80C
Keadaan Gizi : Overweight
TB : 156 Cm
BB : 70 Kg
BMI : 29,13 ( pra-obesitas)
Kepala dan leher
Mata : Mata cekung (-), Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-),
pupil bulat, isokor diameter 3mm/3mm. refleks cahaya (+/+)
KGB : tidak ada pembesaran KGB
Tiroid : tidak ada pembesaran tiroid
JVP : 5+3 cmH2O

Toraks Paru
Inspeksi : Gerakan dinding dada simetris kanan dan kiri saat statis dan
dinamis, tidak ada retraksi
Palpasi : Vokal fremitus kesan tidak ada peningkatan kanan dan kiri
Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru
Auskultasi : SP: Vesikuler (+/+),vesikuler melemah (-), ST: Ronki (-/-),
Wheezing (-/-)

Toraks Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat, jaringan lemak tebal
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba
Perkusi : Batas jantung kanan  SIK V linea parasternal dextra
Batas jantung kiri  SIK VI linea aksilaris anterior
Auskultasi : S1 dan S2 regular, gallop (-), murmur (-)
24

Abdomen
Inspeksi : Perut distensi, striae (+), masa (-)
Auskultasi : Bising usus positif
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), pembesaran hepar & lien sulit dinilai
Perkusi : Timpani, shifting dullness (+)

Ekstremitas : Pitting Edema (+/+), sianosis (-), clubbing finger (-)


Akral hangat, CRT <2 detik

3.4 Pemeriksaan penunjang


Pemeriksaan kimia darah (1/11/16) Pemeriksaan darah rutin
Glukosa darah : 96 mg/dl (1/11/16)
Kolesterol : 231 mg/dL Leukosit : 6.500 /uL
HDL : 32 mg/dL Hb : 8,7 mg/dL
TG : 196 mg/dL Ht : 25,2 %
LDL : 159,8 mg/dL Trombosit : 328.000 /uL
BIL indirek : 0,32 mg/dL
BIL Direk : 0,06 mg/dL Elektrolit (2/11/2016)
BIL Tot : 0,38 mg/dL Na : 141,8 mmol/L
ureum : 71 mg/dL K : 5,48 mmol/L
creatinin : 3.08 mg/dL Cl : 105,1 mmol/L
AST : 11 U/L
ALT : 18 U/L
ALB : 2,6 g/dL
URI : 7,3 mg/dL
25

EKG

- Irama sinus
- Frekuensi 100 x/i
- Gelombang P normal
- Interval PR 0,12 detik
- Axis normal
- Komplek QRS 0,06 detik
- Gel S-V1+ RV5/V6 < 35
- ST-T change (-)
- Q patologis (-)
Kesan : Normal
26

- Foto Toraks ( tidak ada foto thoraks)


- Echocardiografi (1/11/2016)
27

3.5 Kesimpulan
Ny R N, 48 tahun, sejak 3 bulan SMRS pasien mulai mengeluhkan sesak
napas, sesak dirasakan hilang timbul, muncul saat aktifitas dan hilang jika pasien
istirahat. Sesak tidak dipengaruhi oleh cuaca dingin, debu, atau makanan. Sesak
tidur malam hari (+),tidur dengan bantal ditinggikan (+). Pasien diketahui
memiliki riwayat Hipertensi serta DM sejak 3 tahun yang lalu. Pasien baru rutin
mengkonsumsi obat penurun tensi serta obat minum untuk DM sejak 6 bulan
terakhir. 15 hari SMRS pasien kembali mengeluhkan sesak, sesak muncul saat
berjalan ke kamar mandi dan sedikit berkurang jika dibawa berbaring, perut nya
tampak membesar dan kedua tungkainya terlihat sembab. Nyeri dada (-),batuk
bercampur darah (-), demam (-). 6 jam SMRS pasien mengeluh sesak semakin
memberat, mengigil dan keringat dingin. Pasien sesak saat ke kamar mandi dan
bila dibawa beristirahat sesak masih terasa. Sesak disertai dengan batuk,
berdahak dengan dahak berwarna putih, tidak berbuih dan tidak bercampur
darah, perut semakin membesar dan kedua tungkai semakin sembab. Setelah
konsumsi obat, sesak berkurang, kemudian pasien masih sempat berobat ke
Poliklinik Jantung RSUD AA.
Pemeriksaan fisik di dapatkan TD 190/100 mmhg, HR 112x/i, RR 32x/i.
Peningkatan JVP (+), Ascites (+), Edema tungkai (+/+). Dari pemeriksaan
laboratorium darah didapatkan anemia, peningkatan kadar ureum dan creatinin
serum, penurunan kadar albumin serta dislipidemia. Dari pemeriksaan penunjang
EKG diperoleh kesan: normal, dari Echocardiografi didapatkan Ejection Fraction
(EF) = 16 % dengan kesimpulan fugsi sistolik LV turun dan moderate LVH.

3.6 Daftar masalah


- CHF NYHA grade III AHA stadium C et causa HHD
- CKD

3.7 Rencana pemeriksaan


Rontgen thoraks PA

3.8 Penatalaksanaan
28

3.8.1 Non Farmakologis


- Bedrest, membatasi aktifitas fisik sehari-hari
- Diet rendah garam dan rendah lemak (DASH diet)
3.8.2 Farmakologis
- O2 4 lpm via nasal canul
- Infus Nacl 0,9% 12 tpm
- ISDN 10 mg/8 jam p.o
- Injeksi Lasix (furosemid) 40 mg/8 jam i.v
- Candesartan 1 x 16 mg p.o
- Bisoprolol 1 x 2,5 mg p.o
- Simvastatin 1 x 20 mg p.o
- Inbumin 3 x 1
- Aspar K 1 x 1 p.o
29

BAB IV
PEMBAHASAN

Ny RN, 48 tahun, didiagnosis sebagai gagal jantung kongestif NYHA


grade III/AHA stadium C e.c penyakit jantung hipertensif didasarkan kepada
klinis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Dari klinis didapatkan
keluhan sesak nafas yang mulai dirasakan sejak 3 bulan SMRS, sesak bersifat
hilang timbul, muncul saat aktifitas dan hilang jika pasien istirahat. Sesak yang
tidak dipengaruhi oleh cuaca dingin, debu atau makanan menunjukkan gejala
sesak nafas tidak disebabkan oleh alergi. Selain itu sesak juga tidak diawali
dengan demam serta batuk yang produktif menunjukkan sesak tidak berasal dari
infeksi di saluran pernafasan. Keluhan sesak yang sering dirasakan pada saat tidur
malam hari atau Paroxysimal nocturnal dyspnea (PND) dan merasa nyaman bila
tidur posisi yang ditinggikan atau ortopnea merupakan manifestasi klinis yang
termasuk ke dalam kriteria mayor gagal jantung menurut Frimingham dan
merupakan tanda gagal jantung kiri. Selain itu, terdapat pula sesak saat aktivitas
atau dyspneu on effort dan sembab atau edema tungkai yang merupakan kriteria
minor gagal jantung menurut framingham. Dari pemeriksaan fisik didapatkan
peningkatan JVP serta ascites yang menunjukkan adanya bendungan di sistem
vena akibat gagal jantung kanan. Sehingga pada pasien ini ditemukan klinis baik
gagal jantung kiri ataupun kanan. Berdasarkan hal tersebut kemudian pasien
didiagnosis sebagai gagal jantung kongestif.
Pasien diklasifikasikan sebagai NYHA grade III berdasarkan anamnesis
berupa keluhan sesak nafas yang mulanya muncul saat aktivitas seperti mencuci,
beberapa waktu kemudian sesak muncul saat pasien beraktivitas sehari-hari yakni
saat pergi ke kamar mandi dan sesak berkurang dengan istirahat. Hal ini sekaligus
dapat menunjukkan progresivitas dari penyakit yang dialami pasien. Pada
pemeriksaan penunjang berupa echocardiografi didapatkan gangguan struktural
jantung berupa penurunan ejection fraction left ventricle (EFLV) dan perbesaran
ventrikel kiri sehingga pasien dikategorikan ke dalam stadium C menurut
klasifikasi ACCF/AHA.
30

Penyebab CHF pada pasien ini diperkirakan akibat penyakit hipertensi


yang diketahui sejak 3 tahun yang lalu, tetapi pasien baru rutin mengkonsumsi
obat sejak 6 bulan terakhir. Penyebab gagal jantung akibat penyakit arteri koroner
pada pasien ini dapat disingkirkan karena tidak ditemukan adanya riwayat keluhan
nyeri dada yang khas serta dari EKG tidak ditemukan adanya gelombang Q
patologis yang menunjukkan tidak terjadi disfungsi miokard akibat riwayat
sindroma koroner akut sebelumnya. Dari hasil pemeriksan TD terakhir pasien
menunjukkan TD belum mencapai target yang ditetapkan yaitu TDS < 140
mmHg. Hipertensi dan penyakit katup jantung merupakan faktor resiko yang
cukup signifikan dalam menyebakan gagal jantung dengan angka kejadian sebesar
1.4 – 1.6% dan merupakan penyebab terbanyak nomor 2 setelah penyakit arteri
koroner. Gagal jantung kongestif pada pasien dengan hipertensi terjadi akibat
beban tekanan jantung meningkat karena tingginya tekanan di perifer sehingga
jantung melakukan kompensasi dengan cara menambah jumlah serabut-serabut
otot ventrikel kiri agar saat ventrikel berkontraksi dihasilkan tekanan yang lebih
besar dari tekanan di perifer sehingga perfusi sistemik tetap terjaga yang
kemudian, apabila mekanisme kompensasi tidak dapat dicapai lagi, dapat
menyebabkan terjadinya disfungsi sistolik atau gagal jantung kiri dan seterusnya
terjadi backward failure yang lama kelamaan menyebabkan bendungan di sistem
pulmoner sehingga turut berperan dalam menyebabkan gagal jantung kanan (gagal
jantung kongestif)
Pasien ini mendapat terapi farmakologis berupa furosemide (diuretik),
candesartan (ARB) serta bisoprolol (b-blocker). Berdasarkan strategi pengobatan
pada pasien gagal jantung kronik simptomatik menurut ESC guidlines tahun
201216, pada pasien gagal jantung kronik, pemberian diuretik, ACEI/ARB serta
penambahan b-blocker merupakan terapi lini pertama dan harus diberikan pada
pasien gagal jantung simtomatik dengan EF < 40% kecuali ditemukan
kontraindikasi. Diuretik diberikan untuk mengurangi tanda kongesti, pada pasien
ini tanda kongesti dapat ditemukan dari klinis dan pemeriksaan fisik. Pada pasien
ini ditemukan kontraindikasi pemberian ACEI yaitu serum kreatinin > 2,5 mg/dL
sehingga pasien diberikan ARB. Setelah pemberian ARB pasien diberikan
31

golongan beta blocker dan hal ini sesuai dengan rekomendasi menurut ESC tahun
2012.
Pada pasien ini tidak diberikan terapi antagonis aldosteron seperti
spironolakton meskipun pasien ini diindikasikan mendapat terapi antagonis
aldosteron karena EF < 40% dan gejala fungsional kelas III.16 Hal ini diperkirakan
akibat ditemukannya gangguan fungsi ginjal pada pasien seperti peningkatan
kadar kalium dan kreatinin serum yang merupakan salah satu kontraindikasi dari
pemberian Antagonis aldosteron. Pemberian ISDN diindikasikan bila gejala
menetap meski telah mendapat terapi ACEI, b-blocker, ARB atau Antagonis-
aldosteron.16 Hal ini diperkirakan menjadi alasan pemberian ISDN pada pasien ini
mengingat pasien sudah mengeluh sesak nafas sejak lebih dari seminggu yang lalu
dan telah berobat ke poliklinik jantung, dengan asumsi telah mendapat obat-
obatan lini pertama, tetapi gejala tidak berkurang sehingga diindikasikan
mendapat terapi ISDN.
Penanganan komorbiditas (penyakit penyerta) merupakan hal penting pada
tatalaksana gagal jantung karena sebagian besar penyakit penyerta berhubungan
dengan klinis dan prognosis dari gagal jantung. Pada pasien ditemukan adanya
tanda-tanda penurunan fungsi ginjal yaitu dari pemeriksaan laboratorium
didapatkan adanya anemia, peningkatan kadar kreatinin serum serta hiperkalemia
(kalium > 5,5 mmol/L) sehingga pemberian obat golongan ACEI/ARB atau obat-
obat penghambat sistem renin-angiotensin-aldosteron perlu dipertimbangkan
akibat efek obat yang dapat menurunkan fungsi ginjal.
32

DAFTAR PUSTAKA

1. McMurray JJ, Adamopoulos S, Anker SD, Auricchio A, Bohm M,


Dickstein K, et all. ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of
acute and chronic heart failure 2012. European Heart Jurnal. 2012.
2. Remme WJ, Swedberg K. Guidelines for the diagnosis and treatment of
chronic heart failure. In: European heart journal. 2001; 22, 1527-60
3. Emedicine.medscape.com [homepage on internet]. New York. WebMD.
Dumitru I, et al. Heart Failure. [cited on 3 Nov 2016]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/163062-overview#a0156.
4. www.depkes.go.id [homepage on internet]. Kementrian kesehatan
Republik Indonesia. Lingkungan sehat, Jantung sehat. Published Oct
7,2014 [cited on 3 Nov 2014]. Available from:
http://www.depkes.go.id/article/view/201410080002/lingkungan-sehat-
jantungsehat.html#sthash.qGmdNjJ3.dpuf
5. Fadi shamsham, M.D, Judith mitchell, M.D. State University of New York
Health Science Center at Brooklyn, Brooklyn, New York Am Fam
Physician. 2000 Mar 1;61(5):1319-1328.
6. Colucci WS, Braunwald E. Pathophysiology of heart failure. In
Baunwald’s Heart Disease. A Textbook of cardiovascular medicine. 7th
edition. Elsevier Saunders. Philadelphia.2005
7. www. aafp.org [homepage on internet]. King M, Kingery J,Casey.
Diagnosis and evaluation heart failure. In: American family physician.
2012 jun 15(85):12 p 1161-1168 [cited on 3 Nov 2016]. Available from:
http://www.aafp.org/afp/2012/0615/p1161.html#afp20120615p1161-b3
8. Kumalasari EY. Angka kematian gagal jantung kongestif di HCU dan ICU
di RSUP dr.Kariadi Semarang. 2016
9. Yancy CW, Jessup M, Bozkurt B, Butler J, Casey DE, Drazner MH,
Fonarow GC, et all. 2013 ACCF/AHA Guideline for the Management of
Heart Failure. American College of Cardiology Foundation and American
Heart Association. 2013 Roger VL. Epidemiology of heart failure. PMC.
2014.
10. Irmalita. Gagal jantung kongestif. Dalam: Rilantono LI, Baraas F, Karo
SK, Roebiono PS, editors. Buku Ajar Kardiologi. Jakarta: Balai Penerbit
Fakulras Kedokteran Universitas Indonesia, 2002.
11. Fauzi MG. Hubungan anttara merokok dengan angka mortalitas gagal
jantung akut di 5 RS di Indonesia. [cited on 4 Nov 2016]. Available from:
http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/125516-S09130fk-Hubungan%20antara-
Literatur.pdf.
12. Roger VL. Epidemiology of heart failure. PMC. 2014
33

13. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit.
alih bahasa Pendit BU, et. al. editor edisi bahasa Indonesia, Hartanto H. Ed
6. Vol 1. Jakarta. EGC; 2004.
14. Emedicine.medscape.com [homepage on internet]. Madhur MS, Riaz K,
Dreisbach W A. Hypertension. [cited on 4 Nov 2016]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/241381overview#aw2aab6b2b3aa.
15. Kresnawan T. Asuhan gizi pada hipertensi. Instalasi gizi RSCM. [cited on
4 Nov 2016]. Available from:
http://ejournal.persagi.org/go/index.php/Gizi_Indon/article/viewFile/110/
107.
16. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia. Pedoman
tatalaksana gagal jantung. Ed 1. Jakarta:2015

Anda mungkin juga menyukai