Triono
Program Studi Hubungan Internasional,Universitas Megou Pak Tulang Bawang
E-mail: triono.sr@gmail.com
ABSTRAK
Gagasan terselenggaranya pemilihan umum serentak 2019 membawa konsekuensi politik secara nasional dan
daerah. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 perkara pengujian UU Nomor 42 Tahun 2008
Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden merupakan putusan final. Pelaksanaan putusan MK
ini tentunyamembawa implikasi dan tantangan besar bagi bangsa Indonesia dalam perbaikan sistem politik
dan demokrasi yang lebih matang. Efektivitas pemilu serentak 2019 masih menjadi perdebatan publik, UU
Pemilu yang baru disahkan sebagai payung hukum Pemilu 2019 masih dalam proses uji materi di Mahkamah
Konstitusi.Secara teoritikpemilu serentak 2019 sangat memungkinkan untuk dilaksanakan apalagi jika melihat
dinamika politik Indonesia yang semakin baik sejak era reformasi. Hal utama yang harus menjadi kesepakatan
bersama adalah sistem pemilu hanyalah sebuah instrumen dalam sistem demokrasi, instrumen ini tentunya dapat
disesuaikan dan diubah tergantung dengan kondisi dan tujuan suatu negara. Pemilu 2019 akan menjadi indikator
dalam sistem demokrasi langsung dimana orang dapat berpartisipasi dalam pilihan politik mereka.
ABSTRACT
The idea of holding
elections simultaneously 2019 brings political consequences nationally and regionally.
Decision of the Constitutional Court (MK) No. 14/PUU-XI/2013 on the case of review of law No. 42 Year 2008
regarding the General Election of President and Vice President is the final decision. The implementation of the
Constitutional Court’s decision certainly brings great implications and challenges for Indonesia as a nationin
improving the more mature political and democratic system. The effectiveness of 2019 general election is
still a public debate, the election law as the basis of its legal umbrella is still in judicial review process in the
Constitutional Court. Theoretically, the 2019 election is feasibleto be implemented, consideringIndonesia’s
political dynamics getting better since the reform era. The main thing that should be commonly agreed is the
electoral system is just an instrument in a democratic system, this instrument can certainly be adjusted and
changed depending on the conditions and goals of a country. The 2019 election will be an indicator in a direct
democratic system in which people can participate in their political choices.
Pemilu sering disebut sebagai ajang pesta pelaksanaan persiapan pemilu 2014 waktu itu
demokrasi rakyat yang menjadi cerminan ikut sudah mulai berjalan. Apabila pemilu serentak
andilnya rakyat dalam menentukan pemimpin 2019 dapat dilaksanakan maka akan menjadi
dan arah perkembangan bangsa. Namun dalam sejarah Indonesia untuk pertama kalinya pemilu
perkembangannya pemilu di Indonesia masih dilaksanakan secara bersamaan.Rancangan
banyak kekurangan dan menjadi pekerjaan UU Pemilu 2019 telah disahkan oleh DPR dan
rumah yang perlu diperbaiki bersama oleh Pemerintah, banyak kalangan yang merasa
seluruh elemen bangsa.Perubahan model sistem kurang puas dengan isi undang-undang tersebut
pemilu dari pemilu ke pemilu berikutnya tentu kemudian mengajukan uji materi ke MK.
menjadi hal yang dibutuhkan, hal ini dikarenakan Sedikitnya ada lima isu-isu krusial dalam UU
perkembangan dan situasi perpolitikan bangsa Pemilu yang menjadi perdebatan elit politik
Indonesia yang terus berubah. Masih banyak pada saat paripurna di DPR yaitu: ambang batas
sebagian masyarakat yang menilai bahwa presidential (presidential threshold), ambang
selama ini pemilu hanya sebagai agenda rutinitas batas parlemen (parliamentary threshold),
lima tahunan yang menghabiskan uang rakyat, alokasi kursi anggota DPR per daerah pemilihan
sementara hasil dari pelaksanaan pemilu itu (dapil), metode konversi suara pemilu legislatif,
sendiri belum mampu menciptakan masyarakat dan sistem pemilu.
yang adil dan sejahtera. Anggapan seperti ini Ketika MK kemudian memutuskan untuk
tentunya menjadi masukan bagi penyelenggara penyelenggaraan pemilu serentak, putusan
pemilu untuk lebih baik dalam melaksanakan MK masih belum putusan operasional yang
agenda pemilu di masa yang akan datang. menjawab kerisauan-kerisauan atas banyaknya
Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi penyelenggaraan pemilu di atas. Mungkin
No. 14/PUU-XI/2013 yang mengabulkan alasan agar tidak jenuh, bisa terjawab oleh
sebagian permohonan uji materi (judicial review) pemilu serentak ini, juga mungkin soal efisiensi
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 dalam penyelenggaraan. Terlepas dari itu,
Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil penyelenggaraan pemilu serentak tahun 2019
Presiden yang diajukan Effendi Gazali dkk sesuai putusan MK masih belum mengatur
aturan pemilu serentak ini muncul, keluarnya operasionalisasi yang bisa memperkuat sistem
putusan MK ini merupakan salah satu terobosan presidensial, karena pemilu serentak putusan
hukum baru. Dimana dalam amar putusannya MK adalah pemilu yang lebih tepatnya
MK menyatakan: Pasal 3 Ayat (5), Pasal 12 diserentakkan, 5 kotak suara. Ini yang kemudian
Ayat (1) dan Ayat (2), Pasal 14 Ayat (2), dan tidak mengakibatkan munculnya coattail effect
Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun (Nuryanti, 2015). Menurut Madariaga, coattail
2008 tidak mempunyai kekuatan hukum effect ini secara teori sebenarnya mengatur
mengikat (inkonstitusional). Dari rangkaian hubungansequential dimana partai yang menjadi
ketentuan yang dinyatakan kehilangan validitas pemenang pada pemilu legislatif adalah partai
konstitusional tersebut, MK menegaskan, dimana presiden dan wakil presiden terpilih
pemilihan umum presiden dan wakil presiden berasal (Madariaga et.al., dalam Nuryanti,
harus dilaksanakan serentak dengan pemilihan 2015).
umum anggota DPR, DPD, dan DPRD. Dengan Dari berbagai persoalan diatas,pemilu
putusan ini, ketentuan bahwa Pemilihan Umum serentak 2019 tentu menjadi tantangan dan
Presiden dan Wakil Presiden (Pemilu Presiden) peluang bagi seluruh elemen bangsa dalam
dilaksanakan setelahPemilihan Umum anggota perbaikan sistem politik dan demokrasi di Indo-
DPR, DPD, dan DPRD (Pemilu Legislatif) nesia. Agar pemilu serentak 2019 dapat terlaksana
adalah inkonstitusional, dalam diktum kedua dengan baik diperlukan kesungguhan dari
dari amar putusan Mahkamah Konstitusi pemerintah dan anggota parlemen untuk tidak
menegaskan bahwa putusan pemilu serentak terjebak dalam permainan politik yang oportunis
akan diterapkan pada pemilu 2019. dan pragmatis,penyelenggaraan pemilu serentak
Putusan MK merupakan putusan final, 2019 harus menjadi referensi sistem pemilu baru
bagian yang menarik dari amar putusan MK di Indonesia. Tulisan ini dibuat sebagai upaya
tersebut adalah pelaksanaannya baru bisa melihat aspek-aspek apa yang perlu dilakukan
dilaksanakan pada pemilu 2019 mengingat dalam suksesi pelaksanaan pemilu serentak 2019.
158 Triono
presiden dipilih secara langsung oleh rakyat dibatalkannya Pasal 3 ayat (5) Undang-Undang
melalui partai politik pengusungnya kerap Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan
terjadi intervensi politik dalam penyusunan Umum Presiden dan Wakil Presiden, MK
anggota kabinet dan kebijakan politiknya. Yuda memerintahkan mulai tahun 2019 pemilihan
(2010) menyebutkan sejak masa pemerintahan umum presiden diselenggarakan secara
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan serentak dengan pemilihan umum legislatif.
Wakil Presiden Jusuf Kalla, hingga masa Syamsuddin Haris et.al. menyebutkan dengan
Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden adanya putusan ini tentu pemilu serentak antara
Jusuf Kalla saat ini. presiden dan legislatif tidak hanya bertujuan
Adanya intervensi politik tersebut ber- untuk tercapainya efisensi anggaran dan waktu,
akibat pada kurang optimalnya kinerja eksekutif, tetapi juga berimplikasi pada perubahan sistem
presiden dalam hal ini sebagai kepala eksekutif tata ketatanegaraan di Indonesia yaitu: Pertama,
sering tersandera oleh partai pendukungnya. peningkatan efektifitas pemerintahan karena
Presiden sering terlihat lemah dan lamban diasumsikan pemerintahan yang dihasilkan
dalam mensikapi isu-isu publik, hal ini yang melalui keserentakan pemilu presiden dan
terkadang membuat rakyat merasa kecewa pemilu legislatif lebih stabil sebagai akibat
dengan kinerja pemerintah. Sistem pemilu coattail effect, yakni keterpilihan calon presiden
proporsional yang dipilih Indonesia bersamaan yang dari parpol atau koalisi parpol tertentu
dengan penerapan sistem presidensial berbasis akan mempengaruhi keterpilihan anggota
sistem multipartai dirasa banyak kalangan legislatif dari parpol atau koalisi parpol tertentu
tidak mencerminkan sistem yang ideal. Hal ini pula. Dengan demikian konflik eksekutif-
dikarenakan adanya kerancuan dan tumpang legislatif, instabilitas, dan bahkan jalan buntu
tindih kepentingan politik pasca pemilu, politik sebagai komplikasi skema sistem
reaksi masyarakat terhadap pemerintah yang presidensial berbasis sistem multipartai seperti
terbagi-bagi, terpecah (divided government) kekhawatiran Juan Linz dan Scott Mainwaring
dan ketidakberdayaan pemerintah dalam diharapkan tidak menjadi kenyataan. Itu artinya,
menghadapi oposisi di parlemen. Hal ini penyelenggaraan pemilu serentak berpotensi
berakibat kepentingan masyarakat sering memperbesar dukungan politik DPR terhadap
terabaikan. presiden terpilih (Haris, et.al., 2015).
Dalam melihat kombinasi dua sistem Kedua, pembentukan koalisi politik yang
yang berbeda, setidaknya ada tiga alasan mau tidak mau harus dilakukan sebelum pemilu
mengapa kombinasi sistem presidensial dan legislatif diharapkan dapat memaksaparpol
sistem multi-partai cenderung bermasalah, mengubah orientasi koalisi dari yang bersifat
yaitu: (1) Sistem presidensial berbasis multi- jangka pendek dan cenderung oportunistik
partai cenderung mengakibatkan kebuntuan menjadi koalisi berbasis kesamaan ideologi,
hubungan eksekutif dan legislatif sehingga visi, dan platform politik. Efek berikutnya
kerja pemerintahan menjadi tidak efektif; (2) dari koalisi berbasis kesamaan ideologi ini
Sistem multipartai cenderung menciptakan adalah tegaknya disiplin parpol, sehingga
polarisasi ideologis daripada sistem dua- orientasi para politisi parpol pun diharapkan
partai; (3) Kombinasi kedua sistem tersebut bisa berubah dari perburuan kekuasaan (office-
juga berimplikasi pada sulitnya membentuk seeking) menjadi perjuangan mewujudkan
koalisi antarpartai dalam sistem presidensial; kebijakan (policy-seeking). Ketiga, pemisahan
Permasalahan yang terjadi dalam penentuan pemilu nasional serentak dan pemilu lokal
koalisi pilpres untuk mengusung calon presiden serentak diharapkan berdampak positif pada
dan wakil presiden ada pasca penetapan kursi tiga hal: (1) ada jeda waktu bagi rakyat menilai
legislatif yang fragmentatif. Lobi politik terjadi kinerja pemerintahan hasil pemilu serentak
dimana-mana, sifat pragmatis, dan singkat nasional; (2) terbuka peluang yang besar bagi
menjadi kerikil tajam yang juga kerap terjadi terangkatnya isu lokal ke tingkat nasional
dimanapun, termasuk di Indonesia. Akibatnya, yang selama ini cenderung tenggelamoleh isu
pemerintah yang terpilih menjadi tersandera nasional; (3) semakin besarnya peluang elite
baik oleh kekuatan pendukungnya sendiri dan politik lokal yang kepemimpinannya berhasil
juga oleh pihak oposisi (Haris, et.al., 2015). untuk bersaing menjadi elite politik di tingkat
Pasca keluarnya putusan MK yaitu dengan nasional(Haris, et.al., 2015).
160 Triono
Keempat, secara tidak langsung diharap- bahwa presiden tetap memerlukan dukungan
kan terjadi penyederhanaan sistem kepartaian legislatif sebab tanpa dukungan tersebut presiden
menuju sistem multipartai sederhana (moderat). akan menghadapi situasi sulit yang mengancam
Sebagai akibat terpilihnya parpol atau gabungan stabilitas pemerintahan, kecenderungan yang
parpol yang sama dalam pemilu presiden dan muncul adalah lahirnya konflik kepentingan
pemilu DPR, fragmentasi parpol di parlemen antara presiden dengan parlemen. Padahal untuk
berkurang dan pada akhirnya diharapkan untuk menjaga stabilitas pemerintahan dalam
berujung pada terbentuknya sistem multipartai struktur politik presidensial idealnya partai
moderat. Kelima, pemilu serentak nasional pendukung presiden adalah partai mayoritas,
yang terpisah dari pemilu serentak lokal yaitu partai yang didukung suara mayoritas di
diharapkan dapat mengurangi potensi politik parlemen. Tujuannya adalah untuk menjaga
transaksional sebagai akibat melembaganya stabilitas pemerintahan presiden terpilih agara
oportunisme politik seperti yang berlangsung presiden mudah mendapatkan dukungan
selama ini. Transaksi atas dasar kepentingan secara politik dari parlemen guna melancarkan
jangka pendek bisa dikurangi jika fondasi kebijakan politik yang dibuat presiden (Yuda,
koalisi politik berbasiskan kesamaan visi dan 2010).
platform politik. Keenam, pemilu serentak Pemerintahan dengan sistem presidensial
nasional yang dipisahkan dari pemilu serentak adalah suatu sistem pemerintahan dimana
lokal diharapkan dapat meningkatkan kualitas kedudukan eksekutif tidak bertanggungjawab
hasil pilihan masyarakat karena perhatian kepada badan perwakilan rakyat, dengan
pemilih tidak harus terpecah pada pilihan yang kata lain kekuasaan eksekutif berada di luar
terlampau banyak sekaligus di saat yang sangat pengawasan (langsung) parlemen (Tutik,
terbatas dalam bilik suara (Haris, et.al., 2015). 2010).Dalam tipe ini menurut Mahfud (2010)
Berdasarkan penyelenggaraan pilpres menyebutkan bahwa kedudukan eksekutif tidak
2004, 2009, dan 2014 yang dilakukan setelah tergantung kepada badan perwakilan rakyat,
pemilu legislatif, ditemukan fakta politik adapun dasar hukum kekuasaan eksekutif
bahwa presiden terpaksa harus melakukan dikembalikan kepada pemilihan rakyat.Dalam
negosiasi dan tawar-menawar politik terlebih upaya penguatan sistem presidensial Mark P.
dahulu dengan parpol, sebagai bagian dari Jones (dalam Hanan, 2015) mengungkapkan
konsekuensi logis dukungan demi terpilihnya “.... all evidences indicate the functioning of
sebagai presiden dan dukungan DPR dalam presidential system is greatly enhanced when the
penyelenggaraan pemerintahan. Hal itu tentu president is providing with a majority or near-
berakibat akan sangat mempengaruhi jalannya majority in the legislature”. Dengan demikian
roda pemerintahan di kemudian hari. Belum bahwa sistem presidensial tergantung pada
lagi negosiasi dan tawar-menawar tersebut dukungan politik yang ada di lembaga legislatif
pada kenyataannya lebih banyak bersifat taktis bagi seorang presiden. Pemilu serentak menjadi
dan sesaat ketimbang bersifat strategis dan salah satu upaya dalam memperkuat sistem
jangka panjang. Maka itu, presiden faktanya pemerintahan presidensial.
menjadi sangat tergantung parpol yang menurut
MK dapat mereduksi posisi presiden dalam Suksesi Pemilu Serentak 2019
menjalankan kekuasaan pemerintahan menurut Dalam upaya mensukseskan hajat bangsa
sistem pemerintahan presidensial (Haris, untukterselenggaranya pemilu serentak tahun
et.al., 2015). Pertimbangan MK inilah yang 2019, diperlukan kerjasama dan sinergitas
menjadi titik tolak pentingnya pemilu serentak semua pihak untuk ikut mensukseskannya.
diproyeksikan dapat memperkuat sistem Setidaknya ada 5 (lima) aspek yang perlu
presidensial. dilakukan dalam upaya suksesi pemilu serentak
Penerapan sistem presidensial yang 2019 yaitu:Pertama, perlunya undang-undang
dikombinasikan dengan sistem multipartai yang aspiratif dan aplikatif sebagai payung
berimplikasi pada minimnya dukungan yang hukum serta desain model pemilu serentak
diperoleh presiden di parlemen. Oleh karenanya 2019.Jika merujuk pada sejarah perundang-
koalisi antar partai dilakukan sebagai upaya undangan sebelum era reformasi 1998, hampir
mendapatkan dukungan di parlemen. Menurut lebih dari tiga puluh tahun dimasa Orde Baru
Giovanni (dalam Isra, 2009) mengemukakan perpolitikan bangsa mencermikan demokrasi
Menakar Efektivitas Pemilu Serentak 2019 161
yang kurang sehat, praktek demokrasi di di DPR dan/atau 25 persen suara sah nasional
Indonesia terbelenggu tanpa adanya kebebasan di pemilu sebelumnya untuk pengajuan calon
mengemukakan hak dan pendapat dimuka presiden dan wakil presiden. (b) Parliamentary
umum. Threshold sebesar 4 persen menjadi prasyarat
Hukum yang konservatif memiliki parpol untuk kader/wakilnya dapat duduk
beberapa karakteristik antara lain: (1) Proses sebagai anggota dewan. (c) Sistem Pemilu
pembuatannya sentralistik (tidak partisipatif) yang dipilih dalam pemilu 2019 adaalah sistem
karena didominasi oleh lembaga-lembaga proporsional terbuka. (d) Dapil Magnitude
negara yang dibentuk secara tidak demokrastis 3-10, yaitu alokasi daerah pemilihan yakni
pula oleh negara. Di sini peran lembaga rentang jumlah kursi anggota DPR di setiap
peradilan dan kekuatan-kekuatan masyarakat daerah pemilihan. Berdasarkan Pasal 22 ayat
sangat sumir; (2) Isinya bersifat positivist- (2) UU Nomor 8/2012 disebutkan jumlah kursi
instrumentalistik (tidak aspiratif) dalam arti di setiap dapil anggota DPR paling sedikit 3
lebih mencerminkan kehendak penguasa kursi dan paling banyak 10 kursi. (e) Metode
karena sejak semula hukum telah dijadikan konversi suara model Sainte Lague murni,
alat (instrumen) pembenar yang akan maupun metode sainte lague ini dalam melakukan
(terlanjur) dilakukan oleh pemegang kekuasaan penghitungan suara bersifat proporsional yaitu
yang dominan; (3) Lingkup isinya bersifat tidak ada pembedaan dan tidak memihak apakah
open responsive (tidak responsif) sehingga itu partai kecil ataupun partai besar. Metode
mudah ditafsir secara sepihak dan dipaksakan konversi suara ini mempengaruhi jumlah kursi
penerimanya oleh pemegang kekuasaan negara; setiap parpol yang lolos ke DPR. Metode
(4) Pelaksanaannya lebih mengutamakan sainte lague murni menerapkan bilangan
program dan kebijakan sektoral jangka pendek pembagi suara berangka ganjil seperti, 1, 3, 5,
daripada menegakkan aturan-aturan hukum 7, 9, dan seterusnya. Metode sainte lague ini
yang resmi berlaku; (5) Penegakannya lebih dalam melakukan penghitungan suara bersifat
mengutamakan perlindungan korp sehingga proporsional yaitu tidak ada pembedaan dan
tidak jarang pembelokan kasus hukum oleh tidak memihak apakah itu partai kecil ataupun
aparat dengan mengaburkan kasus pelanggaran partai besar (Detik.com, 2017).
menjadi kasus prosedur atau menampilkan Kedua, perlunya penyelenggara pemilu
kambang hitam sebagai pelaku yang harus yang kapabel dan profesional.Secara khusus
dihukum (Mahfud, 2004). komisioner KPU periode 2017-2022 memiliki
Karakteristik hukum konservatif tersebut di tanggungjawab lebih berat dalam menjalankan
atas menjadi tidak relevan dalam konteks saat ini, tugasnya, mereka akan mengambil alih proses
era reformasi menuntut hukum dan perundangan pelaksanaan pilkada serentak tahun 2018 yang
yang dibuat harus lebih aspiratif, responsif, saat ini sudah dipersiapkan oleh komisioner
dan aplikatif untuk kepentingan bangsa dan KPU sebelumnya. Tugas berat lainnya adalah
negara. Formulasi perundang-undangan harus melakukan perencanaan pelaksanaan pemilu
mampu menampung aspirasi pemikiran lapisan serentak 2019 yang belum pernah ada contoh-
masyarakat dan karakteristik bangsa Indonesia nya di negeri ini, hal ini tentu memerlukan
sehingga produk hukum yang dihasilkan dapat konsolidasi dan kekompakan internal KPU
diterima oleh seluruh lapisan masyarakat. Dengan dalammelakukan manajerial pemilu mendatang.
disahkannya UU Pemilu 2019 tentu masyarakat KPU sebagai lembaga resmi penyelenggara
berharap bahwa Pemilu 2019 dapat menjadi lebih pemilu memiliki tanggungjawab besar dalam
baik lagi dibandingkan dengan model dan sistem melaksanakan pemilu yang profesional, mandiri,
pemilu sebelumnya. UU Pemiluharus menjadi berintegrasi dan bebas dari kepentingan politik.
semangat bersama dalam membenahi sistem Komisioner KPU tidak hanya dituntut cakap
pemilu di Indonesia sehingga mutu demokrasi di dan kapabel dalam menjalankan tanggungjawab
Indonesia semakin baik. menyelenggarakanpemilu, tapi juga tuntutan
UU Pemilu 2019 telah disahkan dengan netralitas dari sikap dan pandangan politiknya.
pilihan opsi A yang berisi: (a) Presidential Dalam catatan Perludem hal lain yang
Threshold sebesar 20-25 persen, aturan ini perlu dilakukan dalam penyelenggaraan pemilu
mensyaratkan partai politik atau gabungan adalah perlunya penguatan Bawaslu sebagai
parpol harus memiliki 20 persen jumlah kursi suatu badan pengawas pemilu, yakni dengan
162 Triono
pelaksanaan pemilu serentak 2019, masyarakat 2019, penyelenggara pemilu yang kapabel dan
menjadi obyek penting dalam suksesnya profesional, efektivitas pembiayaan pemilu
pelaksanaan pemilu serentak. Masyarakat serentak yang lebih pro rakyat, kesiapan partai
sebagai pemberi mandat memiliki hak untuk politik dalam pemilu serentak, dan perlunya
tahu tentang sistem pemilu serentak. Maka sosialisasi politik dan partisipasi masyarakat.
menjadi penting adalah tentang kesiapan masya- Secara teoritik pemilu serentak 2019 sangat
rakat dalam pemilu serentak 2019. Menurut memungkinkan untuk dilaksanakan dalam
Pahlevi et.al. (2015) kesiapan yang dimaksud satu hari dan pada hari yang sama yakni untuk
adalah kesadaran politik yang lebih baik pemilu legislatif anggota DPR, DPD, DPRD,
serta tingkat partisipasi masyarakat dalam dan pemilu presiden dan wakil presiden.
penyelenggaraan pemilu. Jika dikatakan bahwa Namun, yang perlu menjadi kesepakatan
masyarakat sekarang sudah pintar tetapi bersama adalah pemilu hanya sebuah
dimaknai bahwa siapa saja yang memberikan instrumen dalam sistem demokrasi, instrumen
iming-iming akan diterima tetapi ketika ini tentunya dapat disesuaikan dan diubah
memilih adalah urusan pribadi, harus diubah tergantung dengan kondisional dan tujuan
bahwa kesadaran politik itu benar-benar dimulai suatu negara. Hal yang perlu dijunjung tinggi
sejak awal tahapan pemilihan hingga akhir pada bersama adalah kepentingan bangsa dan NKRI
saat memilih bahwa tidak ada istilah menolerir harus menjadi tujuan dan prioritas yang paling
money politic dalam bentuk apapun. Penting utama.
kiranya sejak awal membangun kesadaran
politik masyarakat dalam melahirkan pemilu DAFTAR PUSTAKA
yang bersih dan jurdil, adanya sosialisasi
politik yang terencana dan terprogram secara Antaranews.com. (2013, Maret 15). Rp 16
kontinuakanmeningkatkan partisipasi politik Triliun Biaya Pemilu 2014. Retrieved
masyarakat untuk ambil bagian dalam suksesi Juli 22, 2017, from https://www.
pemilu serentak 2019. antaranews.com/berita/363483/rp16-
triliun-biaya-pemilu2014
SIMPULAN Asshiddiqie, J. (2007). Pokok-Pokok Hukum
Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi.
Pelaksanaan pemilu serentak 2019 masih sekitar Jakarta: Buana Ilmu Populer.
dua tahun lagi. Namun masih banyak persoalan
pemilu serentak yang belum terselesaikan, ____________. (2010). Konstitusi dan Konsti-
banyaknya persoalan yang harus diselesaikan tusionalisme Indonesia. Jakarta: Sinar
membutuhkan kesolidan dan sinergitas dari Grafika.
seluruh anak bangsa. Bagaimana konsep dan Bisariyadi, (2012). “Komparasi Mekanisme
model pemilu serentak 2019 yang paling efektif Penyelesaian Sengketa Pemilu di
untuk dilaksanakan serta bagaimana kesiapan Beberapa Negara Penganut Paham
dari penyelenggaraan pemilu menjadi persoalan Demokrasi Konstitusional. Jurnal
utama yang harus dicari solusinya. Undang- Konstitusi. 9 (3).
undang Pemilu 2019 yang telah disahkan
bersama antara DPR dan Pemerintah menjadi Gressnews.com. (2014, Januari 24). Lima
pertaruhan sinergitas eksekutif dan legislatif Titik Rawan Korupsi Dana Pemilu
dalam meningkatkan mutu dan kualitas sistem 2014. Retrieved April 1, 2017, from
pemilu di Indonesia. Apapun hasil keputusan http://www.gresnews.com/Berita/
MK terkait UU Pemilu yang saat ini masih Politik/1830241-Lima-Titik-Rawan-
dalam proses uji materi harus diterima dengan Korupsi-Dana-Pemilu 2014/0/
legowo oleh semua pihak dalam menjaga Hanan, D. (2015). “Memperkuat Presidensi-
keamanan dan suksesnya Pemilu serentak 2019. alisme Multipartai di Indonesia: Pemi-
Efektivitas pemilu serentak 2019 dapat dilak- lu sentak,SistemPemilu,danSistem-
sanakan dengan baik setidaknya dengan Kepartaian”.http://www.puskapol.
memperkuat 5 aspek utama yaitu: UU Pemilu ui.ac.id/wpcontent/uploads/2015/02/
yang aspiratif dan aplikatif sebagai payung Makalah Djayadi-Hanan.pdf
hukum serta desain model pemilu serentak
164 Triono