TB Raja Doc 1
TB Raja Doc 1
DOKTER INTERNSIP
TUBERKULOSIS PADA ANAK
Oleh:
dr. Raja M. Simatupang
Pembimbing:
dr. Agus Sinolinggi, Sp.A
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “Tuberkulosis
pada Anak”. Laporan ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat untuk
menyelesaikan Program Internsip Dokter Indonesia Periode 2 Tahun 2016 di
RSUD dr. Soeroto Kabupaten Ngawi
Penyusunan laporan kasus ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, oleh
karena itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak
yang telah membantu.
Penulis juga menerima segala kritik dan saran yang membangun dari semua
pihak demi kesempurnaan laporan kasus ini. Semoga laporan ini bermanfaat bagi
pembaca.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
iv
B. Anamnesis .......................................................................................................... 24
1. Keluhan Utama .......................................................................................... 24
2. Riwayat Penyakit Sekarang ....................................................................... 25
3. Riwayat Penyakit Dahulu .......................................................................... 25
4. Riwayat Penyakit Keluarga ....................................................................... 25
5. Riwayat Pengobatan .................................................................................. 25
6. Riwayat Persalinan .................................................................................... 25
7. Riwayat Pasca Lahir .................................................................................. 26
8. Riwayat Imunisasi...................................................................................... 26
9. Riwayat Makan dan Minum ...................................................................... 26
10. Riwayat Tumbuh Kembang ....................................................................... 26
11. Silsilah Keluarga .........................................Error! Bookmark not defined.
12. Keadaan Sosial, Ekonomi, Kebiasaan dan Lingkungan ............................ 27
13. Anamnesis Sistemik ................................................................................... 28
C. Pemeriksaan Fisik ............................................................................................. 28
D. Pemerisaan Penunjang ..................................................................................... 32
E. Resume ............................................................................................................... 34
F. Diagnosis Kerja ................................................................................................. 34
G. Tatalaksana ............................................................. Error! Bookmark not defined.
H. Prognosis ............................................................................................................ 35
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................... 36
v
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Resiko sakit tuberkulosis pada anak yang terinfeksi Tuberkulosis................ 7
Tabel 2. Tahapan Tuberkulosis pada anak ................................................................... 7
Tabel 3. Sistem Skoring (Scoring System) Gejala dan Pemeriksaan Penunjang TB. 11
Tabel 4. Obat antituberkulosis (OAT) yang biasa dipakai dan dosisnya ................... 17
Tabel 5. Panduan OAT Kategori Anak ...................................................................... 18
Tabel 6. Dosis kombinasi pada TB anak .................................................................... 19
Tabel 7. Riwayat imunisasi ........................................................................................ 26
Tabel 8. Pemeriksaan Fisik Paru ................................................................................ 31
Tabel 9. Hasil Laboratorium ...................................................................................... 32
Tabel 10. Hasil Skoring TB Anak .............................................................................. 34
vi
DAFTAR GAMBAR
vii
RINGKASAN
Tempat Presentasi:
Obyektif Presentasi:
Deskripsi:
Anak perempuan usia 3 tahun dengan keluhan demam sumer-sumer. Demam sudah 3 minggu yang
turun degan obat penurun panas namun seringkali kambuh lagi. Berat badan sulit naik. Terdapat
benjolan di sekitar leher kiri.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan status gizi kurang, demam subfebris, benjolan pada regio colli
sinistra, multinodul, tidak nyeri tekan.
Tujuan:
Diagnosis dan Manajemen Kasus Tuberkulosis pada Anak
viii
BAB I. PENDAHULUAN
A Latar Belakang
Tuberkulosis (TB) pada anak merupakan masalah khusus yang berbeda
dengan TB pada orang dewasa. Perkembangan penyakit TB pada anak saat ini
sangat pesat. Sekurang-kurangnya 500.000 anak di dunia menderita TB setiap
tahun.
Data TB anak di Indonesia menunjukkan proporsi kasus TB Anak di antara
semua kasus TB pada tahun 2010 adalah 9,4%, kemudian menjadi 8,5% pada tahun
2011 dan 8,2% pada tahun 2012. Apabila dilihat data per provinsi, menunjukkan
variasi proporsi dari 1,8% sampai 15,9%. Hal ini menunjukan kualitas diagnosis
TB anak masih sangat bervariasi pada level provinsi. Kasus TB Anak
dikelompokkan dalam kelompok umur 0-4 tahun dan 5-14 tahun, dengan jumlah
kasus pada kelompok umur 5-14 tahun yang lebih tinggi dari kelompok umur 0-4
tahun. Kasus BTA positif pada TB anak tahun 2010 adalah 5,4% dari semua kasus
TB anak, sedangkan tahun 2011 naik menjadi 6,3% dan tahun 2012 menjadi 6%.
Untuk menangani permasalahan TB anak telah diterbitkan berbagai panduan
tingkat global. TB pada anak saat ini merupakan salah satu komponen penting
dalam pengendalian TB, dengan pendekatan pada kelompok risiko tinggi, salah
satunya adalah anak mengingat TB merupakan salah satu penyebab utama
kematian pada anak dan bayi di negara endemis TB.
B Tujuan
Penulisan laporan kasus ini bertujuan untuk mengetahui :
1. Cara penularan dan patogenesis dari infeksi TB pada anak
2. Diagnosis penyakit TB pada anak
3. Managemen dan tatalaksana farmakologis maupun non-farmakologi pada
kasus infeksi TB pada anak
C Manfaat
Diharapkan dengan penulisan laporan kasus ini penulis dan pembaca dapat :
1. Mencegah penularan infeksi TB khususnya pada anak
2. Dapat mendiagnosis anak yang menderita infeksi TB
3. Dapat melaksanakan managemen pada kasus TB anak.
1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
B. Patogenesis
Paru merupakan port d’entree lebih dari 98% kasus infeksi TB. Kuman TB
dalam percik renik (droplet nuclei) yang ukurannya sangat kecil (<5 μm), akan
terhirup dan dapat mencapai alveolus. Pada sebagian kasus, kuman TB dapat
dihancurkan seluruhnya oleh mekanisme imunologis nonspesifik, sehingga tidak
terjadi respons imunologis spesifik. Akan tetapi, pada sebagian kasus lainnya, tidak
seluruhnya dapat dihancurkan. Pada individu yang tidak dapat menghancurkan
seluruh kuman, makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB yang sebagian
besar dihancurkan. Akan tetapi, sebagian kecil kuman TB yang tidak dapat
dihancurkan akan terus berkembang biak di dalam makrofag, dan akhirnya
menyebabkan lisis makrofag. Selanjutnya, kuman TB membentuk lesi di tempat
tersebut, yang dinamakan fokus primer Ghon.
Dari fokus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju
kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke
lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran
limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus
primer terletak di lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah
kelenjar limfe parahilus (perihiler), sedangkan jika fokus primer terletak di apeks
paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Gabungan antara fokus primer,
limfangitis, dan limfadenitis dinamakan kompleks primer (primary complex).
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya
kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Hal ini berbeda
dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang
diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa
inkubasi TB bervariasi selama 2−12 minggu, biasanya berlangsung selama 4−8
minggu. Selama masa inkubasi tersebut, kuman berkembang biak hingga mencapai
jumlah 103–104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas
selular
Pada saat terbentuknya kompleks primer, TB primer dinyatakan telah terjadi.
Setelah terjadi kompleks primer, imunitas selular tubuh terhadap TB terbentuk,
yang dapat diketahui dengan adanya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein,
yaitu uji tuberkulin positif. Selama masa inkubasi, uji tuberkulin masih negatif.
Pada sebagian besar individu dengan sistem imun yang berfungsi baik, pada saat
sistem imun selular berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Akan tetapi,
2
sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas selular
telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera
dimusnahkan oleh imunitas selular spesifik (cellular mediated immunity, CMI).
Setelah imunitas selular terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya
akan mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi
setelah terjadi nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga
akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak
sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan
menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini, tetapi tidak menimbulkan gejala
sakit TB.
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi akibat fokus di paru atau
di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat membesar dan menyebabkan
pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian
tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan
rongga di jaringan paru (kavitas).
Kelenjar limfe hilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal pada
awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut, sehingga
bronkus dapat terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal
menimbulkan hiperinflasi di segmen distal paru melalui mekanisme ventil (ball-
valve mechanism). Obstruksi total dapat menyebabkan atelektasis. Kelenjar yang
mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi
dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula.
Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga
menyebabkan gabungan pneumonitis dan atelektasis, yang sering disebut sebagai
lesi segmental kolaps-konsolidasi.
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas selular, dapat terjadi
penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar
ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer, atau berlanjut menyebar
secara limfohematogen. Dapat juga terjadi penyebaran hematogen langsung, yaitu
kuman masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya
penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit
sistemik.
Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk
penyebaran hematogenik tersamar (occult hematogenic spread). Melalui cara ini,
kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak
menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di
seluruh tubuh, bersarang di organ yang mempunyai vaskularisasi baik, paling
sering di apeks paru, limpa, dan kelenjar limfe superfisialis. Selain itu, dapat juga
bersarang di organ lain seperti otak, hati, tulang, ginjal, dan lain-lain. Pada
umumnya, kuman di sarang tersebut tetap hidup, tetapi tidak aktif (tenang),
demikian pula dengan proses patologiknya. Sarang di apeks paru disebut dengan
fokus Simon, yang di kemudian hari dapat mengalami reaktivasi dan terjadi TB
apeks paru saat dewasa.
3
Bentuk penyebaran hematogen yang lain adalah penyebaran hematogenik
generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini,
sejumlah besar kuman TB masuk dan beredar di dalam darah menuju ke seluruh
tubuh. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara
akut, yang disebut TB diseminata. Tuberkulosis diseminata ini timbul dalam waktu
2−6 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan
virulensi kuman TB yang beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran.
Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak adekuatnya sistem imun pejamu (host)
dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada anak bawah lima tahun (balita)
terutama di bawah dua tahun.
Bentuk penyebaran yang jarang terjadi adalah protracted hematogenic
spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkijuan di dinding
vaskuler pecah dan menyebar ke seluruh tubuh, sehingga sejumlah besar kuman TB
akan masuk dan beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran
tipe ini tidak dapat dibedakan dengan acute generalized hematogenic spread.
4
*Catatan:
1. Penyebaran hematogen umumnya terjadi secara sporadik (occult
hematogenic spread). Kuman TB kemudian
membuat fokus koloni di berbagai organ dengan
vaskularisasi yang baik. Fokus ini berpotensi
mengalami reaktivasi di kemudian hari.
2. Kompleks primer terdiri dari fokus primer (1), limfangitis (2), dan
limfadenitis regional (3).
3. TB primer adalah kompleks primer dan komplikasinya.
4. TB pasca primer terjadi dengan mekanisme reaktivasi fokus lama TB
(endogen) atau reinfeksi (infeksi sekunder) oleh
kuman TB dari luar (eksogen), ini disebut TB
tipe dewasa (adult type TB)
5
1) Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau berat badan tidak naik
dengan adekuat atau tidak naik dalam 1 bulan setelah diberikan upaya
perbaikan gizi yang baik.
2) Demam lama (≥2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas
(bukan demam tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-lain).
Demam umumnya tidak tinggi. Keringat malam saja bukan merupakan
gejala spesifik TB pada anak apabila tidak disertai dengan gejala-gejala
sistemik/umum lain.
3) Batuk lama ≥3 minggu, batuk bersifat non-remitting (tidak pernah reda
atau intensitas semakin lama semakin parah) dan sebab lain batuk telah
dapat disingkirkan.
4) Nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau berkurang, disertai gagal tumbuh
(failure to thrive).
5) Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain.
6) Diare persisten/menetap (>2 minggu) yang tidak sembuh dengan
pengobatan baku diare.
6
awal terjadinya infeksi TB, dapat dijumpai demam yang tidak tinggi dan
eritema nodosum, tetapi kelainan kulit ini berlangsung singkat sehingga jarang
terdeteksi. Sakit TB primer dapat terjadi kapan saja pada tahap ini.
Tuberkulosis milier dapat terjadi setiap saat, tetapi biasanya berlangsung
dalam 3-6 bulan pertama setelah infeksi Tb, begitu juga dengan meningitis TB.
Tuberkulosis pleura terjadi dalam 3-6 bulan pertama setelah infeksi TB.
Tuberkuloma sistem skeletal terjadi pada tahun pertama, walaupun dapat
terjadi pada tahun kedua dan ketiga. Tuberkulosis ginjal biasanya terjadi lebih
lama, yaitu 5-25 tahun setelah infeksi primer. Sebagian besar manifestasi klinis
sakit Tb terjadi pada 5 tahun pertama, terutama 1 tahun pertama, dan 90%
kematian karena TB terjadi pada tahn pertama setelah diagnosis TB.
Secara Singkat resiko sakit TB pada anak yang terinfeksi TB dapat
dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 1. Resiko sakit tuberkulosis pada anak yang terinfeksi Tuberkulosis
Resiko Sakit
Umur saat infeksi
Primer (tahun) TB Diseminata
Tidak Sakit TB Paru
(milier, meningitis)
<1 50% 30 – 40% 10 – 20%
1–2 75 – 80% 10 – 20% 2 – 5%
2–5 95% 5% 0,5%
5 – 10 98% 2% <0,5%
>10 80 – 90% 10 – 20% <0,5%
* pada 50% anak dengan tuberkosis paru didapatkan pemeriksaan fisik yang normal
1
kalsifikasi atau granuloma kecil diartikan infeksi, bukan penyakit
2
pada beberapa anak dengan tuberkulosis paru tidak didapatkan kelainan pada foto polos dada
7
apusanlangsung atau biopsi jaringan untuk menemukan BTA dan pemeriksaan
biakan kuman TB. Pada anak dengan gejala TB, dianjurkan untuk melakukan
pemeriksaan mikrobiologi. Pemeriksaan serologi yang sering digunakan tidak
direkomendasikan oleh WHO untuk digunakan sebagai sarana diagnostik TB
dan Direktur Jenderal BUK Kemenkes telah menerbitkan Surat Edaran pada
bulan Februari 2013 tentang larangan penggunaan metode serologi untuk
penegakan diagnosis TB. Pemeriksaan mikrobiologik sulit dilakukan pada
anak karena sulitnya mendapatkan spesimen. Spesimen dapat berupa sputum,
induksi sputum atau pemeriksaan bilas lambung selama 3 hari berturut-turut,
apabila fasilitas tersedia. Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan
adalah pemeriksaan histopatologi (PA/Patologi Anatomi) yang dapat
memberikan gambaran yang khas. Pemeriksaan PA akan menunjukkan
gambaran granuloma dengan nekrosis perkijuan di tengahnya dan dapat pula
ditemukan gambaran sel datia langhans dan atau kuman TB.
1) Berdahak
Pada anak lebih dari 5 tahun dengan gejala TB paru, dianjurkan
untuk melakukan pemeriksaan dahak mikroskopis, terutama bagi anak
yangmampu mengeluarkan dahak. Kemungkinan mendapatkan hasil
positif lebih tinggi pada anak >5 tahun.
2) Bilas lambung
Bilas lambung dengan NGT (Naso Gastric Tube) dapat dilakukan
pada anak yang tidak dapat mengeluarkan dahak. Dianjurkan spesimen
dikumpulkan selama 3 hari berturut-turut pada pagi hari.
8
3) Induksi Sputum
Induksi sputum relatif aman dan efektif untuk dikerjakan pada
anak semua umur, dengan hasil yang lebih baik dari aspirasi lambung,
terutama apabila menggunakan lebih dari 1 sampel. Metode ini bisa
dikerjakan secara rawat jalan, tetapi diperlukan pelatihan dan peralatan
yang memadai untuk melaksanakan metode ini.
Berbagai penelitian menunjukkan organ yang paling sering
berperan sebagai tempat masuknya kuman TB adalah paru karena
penularan TB sebagai akibat terhirupnya kuman M.tuberculosis melalui
saluran nafas (inhalasi). Atas dasar hal tersebut maka baku emas cara
pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis TB adalah dengan cara
menemukan kuman dalam sputum. Namun upaya untuk menemukan
kuman penyebab TB pada anak melalui pemeriksaan sputum sulit
dilakukan oleh karena sedikitnya jumlah kuman dan sulitnya
pengambilan spesimen sputum.
Guna mengatasi kesulitan menemukan kuman penyebab TB anak
dapat dilakukan penegakan diagnosis TB anak dengan memadukan
gejala klinis dan pemeriksaan penunjang lain yang sesuai. Adanya
riwayat kontak erat dengan pasien TB menular merupakan salah satu
informasi penting untuk mengetahui adanya sumber penularan.
Selanjutnya, perlu dibuktikan apakah anak telah tertular oleh kuman TB
dengan melakukan uji tuberkulin. Uji tuberkulin yang positif
menandakan adanya reaksi hipersensitifitas terhadap antigen
(tuberkuloprotein) yang diberikan. Hal ini secara tidak langsung
menandakan bahwa pernah ada kuman yang masuk ke dalam tubuh anak
atau anak sudah tertular. Anak yang tertular (hasil uji tuberkulin positif)
belum tentu menderita TB oleh karena tubuh pasien memiliki daya tahan
tubuh atau imunitas yang cukup untuk melawan kuman TB. Bila daya
tahan tubuh anak cukup baik maka pasien tersebut secara klinis akan
tampak sehat dan keadaan ini yang disebut sebagai infeksi TB laten.
Namun apabila daya tahan tubuh anak lemah dan tidak mampu
mengendalikan kuman, maka anak akan menjadi menderita TB serta
menunjukkan gejalaklinis maupun radiologis. Gejala klinis dan
radiologis TB anak sangat tidak spesifik, karena gambarannya dapat
menyerupai gejala akibat penyakit lain. Oleh karena itulah diperlukan
ketelitian dalam menilai gejala klinis pada pasien maupun hasil foto
toraks.
Pemeriksaan penunjang utama untuk membantu menegakkan
diagnosis TB pada anak adalah membuktikan adanya infeksi yaitu
dengan melakukan uji tuberkulin/mantoux test. Tuberkulin yang tersedia
di Indonesia saat ini adalah PPD RT-23 2 TU dari Staten Serum Institute
Denmark produksi dari Biofarma. Namun uji tuberkulin belum tersedia
9
di semua fasilitas pelayanan kesehatan. Cara melaksanakan uji tuberkulin
terdapat pada lampiran.
Pemeriksaan penunjang lain yang cukup penting adalah
pemeriksaan foto toraks. Namun gambaran foto toraks pada TB tidak
khas karena juga dapat dijumpai pada penyakit lain. Dengan demikian
pemeriksaan foto toraks saja tidak dapat digunakan untuk mendiagnosis
TB, kecuali gambaran TB milier. Secara umum, gambaran radiologis
yang menunjang TB adalah sebagai berikut:
a. Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat
(visualisasinya selain dengan foto toraks AP, harus disertai foto toraks
lateral)
b. Konsolidasi segmental/lobar
c. Efusi pleura
d. Milier
e. Atelektasis
f. Kavitas
g. Kalsifikasi dengan infiltrat
h. Tuberkuloma
10
secara cermat terhadap respon klinis pasien. Apabila respon klinis terhadap
pengobatan baik, maka OAT dapat dilanjutkan sedangkan apabila didapatkan
Parameter 0 1 2 3 Skor
Laporan
keluarga, BTA (-)
Kontak TB Tidak jelas - BTA (+)
/ BTA tidak jelas/
tidak tahu
Positif ≥10 mm
Uji tuberkulin
Negatif - - atau ≥5 mm pada
(Mantoux)
imunokompromais
Klinis gizi
BB/TB<90%
Berat Badan/ buruk atau
- atau -
Keadaan Gizi BB/TB<70%
BB/U<80%
atau BB/U<60%
Demam yang
tidak
- ≥2 minggu - -
diketahui
penyebabnya
Batuk kronik - ≥3 minggu - -
Pembesaran
≥1 cm, lebih
kelenjar limfe
- dari 1 KGB, - -
kolli, aksila,
tidak nyeri
inguinal
Pembengkaka
n tulang/sendi Ada
- - -
panggul, lutut, pembengkakan
falang
Gambaran
Normal/
sugestif
Foto toraks kelainan - -
Catatan: (mendukung)
tidak jelas
TB
Parameter Sistem Skoring:
Skor Total
o Kontak dengan pasien pasien TB BTA positif diberi skor 3 bila ada bukti
tertulis hasil laboratorium BTA dari sumber penularan yang bisa diperoleh
dari TB 01 atau dari hasil laboratorium.
o Penentuan status gizi:
Berat badan dan panjang/ tinggi badan dinilai saat pasien datang
(moment opname).
Dilakukan dengan parameter BB/TB atau BB/U. Penentuan status gizi
untuk anak usia <5 tahun merujuk pada buku KIA Kemenkes,
sedangkan untuk anak usia >5 tahun merujuk pada kurva CDC 2000.
11
Bila BB kurang, diberikan upaya perbaikan gizi dan dievaluasi selama
1 bulan.
o Demam (≥2 minggu) dan batuk (≥3 minggu) yang tidak membaik setelah
diberikan pengobatan sesuai baku terapi di puskesmas
o Gambaran foto toraks menunjukkan gambaran mendukung TB berupa:
pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat,
atelektasis, konsolidasi segmental/lobar, milier, kalsifikasi dengan infiltrat,
tuberkuloma.
13
1) TB dengan konfirmasi bakteriologis
Pada anak kuman TB sangat sulit ditemukan disamping karena
sulitnya mendapatkan spesimen pemeriksaan, TB anak bersifat
paucibacillary (kuman sedikit). Sehingga tidak ditemukannya kuman TB
pada pemeriksaan dahak tidak menyingkirkan diagnosis TB anak. TB
dengan konfirmasi bakteriologis terdiri dari hasil positif baik dengan
pemeriksaan BTA, biakan maupun tes cepat.
2) Tuberkulosis Meningitis
Tuberkulosis meningitis, merupakan salah satu bentuk TB pada
Sistem Saraf Pusat yang sering ditemukan pada anak, dan merupakan TB
dengan gejala klinis berat yang dapat mengancam nyawa, atau
meninggalkan gejala sisa pada anak.
Anak biasanya datang dengan keluhan awal demam lama, sakit
kepala, diikuti kejang berulang dan kesadaran menurun khususnya jika
terdapat bukti bahwa anak telah kontak dengan pasien TB dewasa BTA
positif. Apabila ditemukan gejala-gejala tersebut, harus segera dirujuk ke
fasilitas pelayanan kesehatan rujukan. Pada keadaan ini, diagnosis
dengan sistem skoring tidak direkomendasikan.
3) TB Milier
Tuberkulosis milier termasuk salah satu bentuk TB dengan gejala
klinis berat dan merupakan 3—7% dari seluruh kasus TB, dengan angka
kematian yang tinggi (dapat mencapai 25% pada bayi). TB milier terjadi
oleh karena adanya penyebaran secara hematogen dan diseminata, bisa
ke seluruh organ, tetapi gambaran milier hanya dapat dilihat secara kasat
mata pada foto torak. Terjadinya TB milier dipengaruhi oleh 3 faktor,
yaitu
a. Kuman M. tuberculosis (jumlah dan virulensi),
b. Status imunologis pasien (nonspesifik dan spesifik), seperti infeksi
HIV, malnutrisi, infeksi campak, pertusis, diabetes melitus, gagal
ginjal, keganasan, dan penggunaan kortikosteroid jangka lama
c. Faktor lingkungan (kurangnya paparan sinar matahari, perumahan
yang padat, polusi udara, merokok, penggunaan alkohol, obat bius,
serta sosioekonomi).
4) Tuberkulosis Tulang/ Sendi
Tuberkulosis tulang atau sendi merupakan suatu bentuk infeksi TB
ekstrapulmonal yang mengenai tulang atau sendi. Insidens TB sendi
berkisar 1—7% dari seluruh TB. Tulang yang sering terkena adalah:
tulang belakang (spondilitis TB), sendi panggul (koksitis), dan sendi
lutut (gonitis).
5) Tuberkulosis Kelenjar
14
Infeksi TB pada kelenjar limfe superfisial, yang disebut dengan
skrofula, merupakan bentuk TB ekstrapulmonal pada anak yang paling
sering terjadi, dan terbanyak pada kelenjar limfe leher. Kebanyakan
kasus timbul 6—9 bulan setelah infeksi awal M. tuberculosis, tetapi
beberapa kasus dapat timbul bertahun-tahun kemudian. Lokasi
pembesaran kelenjar limfe yang sering adalah di servikal anterior,
submandibula, supraklavikula, kelenjar limfe inguinal, epitroklear, atau
daerah aksila.
Kelenjar limfe biasanya membesar perlahan-lahan pada stadium
awal penyakit. Pembesaran kelenjar limfe bersifat kenyal, tidak keras,
discrete, dan tidak nyeri. Pada perabaan, kelenjar sering terfiksasi pada
jaringan di bawah atau di atasnya. Limfadenitis ini paling sering terjadi
unilateral, tetapi infeksi bilateral dapat terjadi karena pembuluh limfatik
di daerah dada dan leher-bawah saling bersilangan. Uji tuberkulin
biasanya menunjukkan hasil positif, Gambaran foto toraks terlihat
normal.
6) Tuberkulosis Pleura
Efusi pleura adalah penumpukan abnormal cairan dalam rongga
pleura. Salah satu etiologi yang perlu dipikirkan bila menjumpai kasus
efusi pleura di Indonesia adalah TB. Efusi pleura TB bisa ditemukan
dalam 2 bentuk, yaitu (1) cairan serosa, bentuk ini yang paling banyak
dijumpai ; (2) empiema TB, yang merupakan efusi pleura TB primer
yang gagal mengalami resolusi dan berlanjut ke proses supuratif kronik.
7) Tuberkulosis Kulit
Skrofuloderma merupakan manifestasi TB kulit yang paling khas
dan paling sering dijumpai pada anak. Skrofuloderma terjadi akibat
penjalaran perkontinuitatum dari kelenjar limfe yang terkena TB.
Manifestasi klinis skrofuloderma sama dengan gejala umum TB anak.
Skrofuloderma biasanya ditemukan di leher dan wajah, dan di tempat
yang mempunyai kelompok kelenjar limfe, misalnya di daerah parotis,
submandibula, supraklavikula, dan daerah lateral leher. Selain itu,
skrofuloderma dapat timbul di ekstremitas atau trunkus tubuh, yang
disebabkan oleh TB tulang dan sendi.
8) Tuberkulosis Abdomen
TB abdomen mencakup lesi granulomatosa yang bisa ditemukan di
peritoneum (TB peritonitis), usus, omentum, mesenterium, dan hepar. M
tuberculosis sampai ke organ tersebut secara hematogen ataupun
penjalaran langsung. Peritonitis TB merupakan bentuk TB anak yang
jarang dijumpai, yaitu sekitar 1—5% dari kasus TB anak. Umumnya
terjadi pada dewasa dengan perbandingan perempuan lebih sering dari
laki-laki (2:1).
15
D. Pengobatan TB Anak
Tatalaksana medikamentosa TB Anak terdiri dari terapi (pengobatan) dan
profilaksis (pencegahan). Terapi TB diberikan pada anak yang sakit TB, sedangkan
profilaksis TB diberikan pada anak yang kontak TB (profilaksis primer) atau anak
yang terinfeksi TB tanpa sakit TB (profilaksis sekunder).
Beberapa hal penting dalam tatalaksana TB Anak adalah:
o Obat TB diberikan dalam paduan obat tidak boleh diberikan sebagai
monoterapi.
o Pemberian gizi yang adekuat.
o Mencari penyakit penyerta, jika ada ditatalaksana secara bersamaan.
16
o Paduan OAT Kategori Anak diberikan dalam bentuk paket berupa obat
Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari
kombinasi 2 atau 3 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan
berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien.
o OAT untuk anak juga harus disediakan dalam bentuk OAT kombipak untuk
digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT
KDT.
17
Dosis
Dosis harian
Nama Obat maksimal Efek samping
(mg/kgBB/ hari)
(mg /hari)
Isoniazid (H) 10 (7-15) 300 Hepatitis, neuritis perifer,
hipersensitivitis
18
5 Kombinasi dosis tetap OAT KDT (FDC=Fixed Dose Combination)
Untuk mempermudah pemberian OAT sehingga meningkatkan
keteraturan minum obat, paduan OAT disediakan dalam bentuk paket KDT/
FDC. Satu paket dibuat untuk satu pasien untuk satu masa pengobatan. Paket
KDT untuk anak berisi obat fase intensif, yaitu rifampisin (R) 75mg, INH (H)
50 mg, dan pirazinamid (Z) 150 mg, serta obat fase lanjutan, yaitu R 75 mg
dan H 50 mg dalam satu paket. Dosis yang dianjurkan dapat dilihat pada tabel
berikut.
Tabel 6. Dosis
Keterangan:
R: Rifampisin; H: Isoniasid; Z: Pirazinamid
o Bayi di bawah 5 kg pemberian OAT secara terpisah, tidak dalam bentuk
kombinasi dosis tetap, dan sebaiknya dirujuk ke RS rujukan
o Apabila ada kenaikan BB maka dosis/jumlah tablet yang diberikan,
menyesuaikan berat badan saat itu
o Untuk anak obesitas, dosis KDT menggunakan Berat Badan ideal (sesuai
umur). Tabel Berat Badan berdasarkan umur dapat dilihat di lampiran
o OAT KDT harus diberikan secara utuh (tidak boleh dibelah, dan tidak
boleh digerus)
o Obat dapat diberikan dengan cara ditelan utuh, dikunyah/dikulum
(chewable), atau dimasukkan air dalam sendok (dispersable).
o Obat diberikan pada saat perut kosong, atau paling cepat 1 jam setelah
makan
o Apabila OAT lepas diberikan dalam bentuk puyer, maka semua obat tidak
boleh digerus bersama dan dicampur dalam satu puyer
19
6 Pemantauan dan Hasil Pengobatan TB Anak
1) Pemantauan pengobatan pasien TB Anak
Pada fase intensif pasien TB anak kontrol tiap minggu, untuk
melihat kepatuhan, toleransi dan kemungkinan adanya efek samping
obat. Pada fase lanjutan pasien kontrol tiap bulan. Setelah diberi OAT
selama 2 bulan, respon pengobatan pasien harus dievaluasi. Respon
pengobatan dikatakan baik apabila gejala klinis berkurang, nafsu makan
meningkat, berat badan meningkat, demam menghilang, dan batuk
berkurang. Apabila respon pengobatan baik maka pemberian OAT
dilanjutkan sampai dengan 6 bulan. Sedangkan apabila respon
pengobatan kurang atau tidak baik maka pengobatan TB tetap
dilanjutkan tetapi pasien harus dirujuk ke sarana yang lebih lengkap.
Sistem skoring hanya digunakan untuk diagnosis, bukan untuk menilai
hasil pengobatan.
Setelah pemberian obat selama 6 bulan, OAT dapat dihentikan
dengan melakukan evaluasi baik klinis maupun pemeriksaan penunjang
lain seperti foto toraks. Pemeriksaan tuberkulin tidak dapat digunakan
sebagai pemeriksaan untuk pemantauan pengobatan, karena uji
tuberkulin yang positif masih akan memberikan hasil yang positif.
Meskipun gambaran radiologis tidak menunjukkan perubahan yang
berarti, tetapi apabiladijumpai perbaikan klinis yang nyata, maka
pengobatan dapat dihentikan dan pasien dinyatakan selesai.
Pada pasien TB anak yang pada awal pengobatan hasil
pemeriksaan dahaknya BTA positif, pemantauan pengobatan dilakukan
dengan melakukan pemeriksaan dahak ulang sesuai dengan alur
pemantauan pengobatan pasien TB BTA pos.
20
Ketidakpatuhan minum OAT pada pasien TB merupakan penyebab
kegagalan terapi.
o Jika anak tidak minum obat >2 minggu di fase intensif atau > 2
bulan di fase lanjutan DAN menunjukkan gejala TB, beri
pengobatan kembali mulai dari awal.
o Jika anak tidak minum obat <2 minggu di fase intensif atau <2 bulan
di fase lanjutan DAN menunjukkan gejala TB, lanjutkan sisa
pengobatan sampai selesai.
Pada pasien dengan pengobatan yang tidak teratur akan
meningkatkan risiko terjadinya TB kebal obat.
E. Imunisasi BCG
Pengontrolan penyakit TB bergantung pada pencegahan dengan imunisasi
Bacille-Calmete-Guerin (BCG) atau terapi kemoprofilaksis, serta pengobatan tepat
dengan sistem pendekatan directly observed therapy short course (DOTS). Vaksin
BCG berasal dari bakteri Mycobacterium bovis hidup yang dilemahkan .
21
perlu didahului oleh uji tapis (uji tuberklin). Sebaliknya, pada usia > 3 bulan,
sebaiknya dilakukan uji tuberkulin terlebih dahulu. Hal ini dimaksudkan untuk
mengurangi komplikasi yang terjadi akibat pemberian BCG, akibat telah adanya
imunitas terhadap antigen Mycobacterium. Pada bayi kontak erat dengan pasien TB
BTA positif, sebaiknya diberikan isoniazid (INH) profilaksis terlebih dahulu, lalu
bila kontak sudah tenang dilakukan uji tuberkulin dan apabila hasilnya negatif,
dapat diberikan BCG.
2 Efektivitas
Vaksinasi BCG dapat diberikan secara bersamaan dengan vaksin hidup
lainnya, tetapi bila kedua vaksin tersebut tidak diberikan pada saat yang bersamaan,
maka sebaiknya diberikan jarak minimal 4 minggu antara BCG dan vaksin virus
hidup lainnya. Vaksinasi lain tidak boleh diberikan pada lengan yang sama dengan
BCG, paling sedikit selama 3 bulan, karena dapat meningkatkan resiko
limfadenitis.
Banyak penelitian yang telah menunjukan hasil yang konsisten akan peranan
BCG dalam proteksi terhadap meningitis TB dan TB milier. Proteksi BCG
ditemukan bervariasi antara 0% - 80%. Sebuah meta-analisis menunjukkan proteksi
yang sama untuk vaksinasi saat bayi. Bukti-bukti untuk kemampuan proteksi BCG
terhadap penyakit TB paru anak tidak terlalu konsisten, tetapi ditemukan hasil yang
cukp baik, yaitu berkisar 60-80%, baik dinegara berkembang maupu negara maju,
baik untuk TB paru maupun TB ekstrapulmoner; meskipun ditemukan tingkat
proteksi yang lebih rendah pada daerah tropis.
Suatu meta-analisis lain terhadap lia studi prospektif dan 11 studi kasus
kontrol mendapatkan bahwa vaksinasi BCG pada saat bayi dapat menurunkan
resiko TB paru, Meningitis TB, TB milier, dan kematian akibat TB.
Efek proteksi BCG timbul 8 – 12 minggu setelah vaksinasi. Lamanya
proteksi BCG juga belum dapat diketahui dengan pasti. Suatu studi oleh Sterne
dkk, menemukan bahwa efektivitas BCG mennurun seiring dengan berjalannya
waktu sejak vaksinasi. Selain itu juga tidak ditemukan bahwa BCG dapat
memberikan perlindungan setelah lebih dari 10 tahun sejak vaksinasi. Akan tetapi,
studi terakhir di Amerika berhasil menemukan bahwa efektivitas dosis tunggal
BCG dapat bertahan hingga 50 – 60 tahun.
22
berdiameter 4-8 mm. Orangtua dianjurkan untuk mengkompres ulkus dengan
cairan antiseptik bila ulkus mengeluarkan cairan dan diminta untuk datang ke
dokter apabila cairan bertambah banyak, koreng membesar, atau terjadi
pembesaran kelenjar limfe regional (aksila). Apabila pada lei terjadi infeksi
sekunder dapat diberikan eritromisin.
Limfadenitis supuratif di aksila atau leher dapat terjadi, tetepi biasanya
sembuh sendiri sehinga tidak perlu diobati bila timbul fistula harus dilakukan
drainase dan pemberian OAT langsung ke lesi. BCG juga mungkin menyebabkan
abses lokal akibat kesalahan teknik penyuntikan.
Efeksamping sistemik seperti BCG-itis diseminasi, osteomielitis, dan eritema
multiformis merupakan efeksamping yang parah, tetapi sangat jarang terjadi dan
biasanya berhubungan dengan imunodefisiensi berat. Efeksamping ini harus diatasi
dengan kombinasi OAT.
4 Kontraindikasi
Di Indonesia, vaksin BCG tidak boleh diberikan pada mereka yang :
1. Pernah menderita TB
2. Uji tuberkulin > 5 mm
3. Sedang hamil
4. Dalam keadaan imunokompremais (atau keungkinan imunokompremais)
seperti pasien HIV atau beresiko tinggi infeksi HIV, dalam pengobatan
imunosupresan, kortikosteroid, radiasi, penyakit keganasan pada sumsum
tulang atau sistem limfe.
5. Gizi buruk
6. Sedang demam tinggi
7. Infeksi kulit yang luas
BCG boleh diberikan pada bayi-bayi pramature, karena didapatkan efikasi
yang baik pada bayi-bayi pramature dan divaksinasi pada umur gestasi 34-35
minggu (umur rata-rata pemulangan bayi pramature), serta tidak didapatkan
perbedaan bermakna tingkat reaksi BCG antara bayi-bayi dengan berbagai tingkat
umur gestasi.
23
BAB III. LAPORAN KASUS
A. Identitas
1 Identitas Pasien
Nama : An. A
Umur : 3 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Jl. Sorong-makbon Km.12
Suku : Papua
Agama : Kristen Protestan
Status :-
Pendidikan : Belum sekolah
Pekerjaan :-
Tanggal Pemeriksaan : 4 April 2018
No RM : 11 35 26
Ibu
Nama : Ny. N
Umur : 27 Tahun
Pekerjaan : IRT
Pendidikan : SMP
B. Anamnesis
Dilakukan secara alloanamnesis kepada ibu pasien pada hari Rabu tanggal 4
JApril 2018 di Ruang IGD RSUD Sele Be Solu Kota Sorong
1. Keluhan Utama
Demam sumer-sumer >7 hari.
24
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Ibu pasien menjelaskan bahwa selama 3 minggu terakhir pasien sering
mengalami demam sumer. Demam dirasakan terutama lebih tinggi pada
malam hari dibandingkan dengan siang hari. Pada saat malam hari pasien
juga sering rewel. Namun terdapat keringat dingin pada malam hari.
Ibu pasien sudah memberikan obat penurun panas pada pasien namun
sering kambuh lagi bila sudah tidak minum penurun panas. Demam tidak
disertai menggigil dan tidak sampai mengalami kejang.
Selain itu ibu pasien juga mengeluhkan berat badan anaknya beberapa
bulan ini sulit naik. Nafsu makan anakanya dirasa kurang dibandingkan
sebelumnya. Sehari makan 3 kali. Sekali makan pasien hanya memakan
sekitar 2-3 sendok saja.
Ibu pasien menjelaskan jika di rumah terdapat kakek pasien yang sering
batuk namun dikatakan batuk biasa dan hanya diberi obat batu dari
puskesmas. Belum pernah diperiksakan dahak maupun foto rotgen kakek
pasien.
Untuk riwayat batuk, ibu menjelaskan bila pasien hanya batuk pilek
biasa dan tidak sering kambuh.
Buang air besar (BAB) dan buang air kecil (BAK) pasien normal tidak
ada keluhan.
5. Riwayat Pengobatan
Parasetamol syrup
Antibiotik, namun ibu pasien tidak ingat nama antibiotiknya
6. Riwayat Persalinan
Pasien lahir dari ibu G1P0A0, dilahirkan spontan belakang kepala
dibantu oleh bidan RS, usia kehamilan cukup bulan, lahir langsung menangis,
warna ketuban jernih, berat badan lahir 3100 gr.
25
7. Riwayat Pasca Lahir
Tali pusat dirawat oleh bidan, bayi tidak kuning, tidak terjadi
perdarahan pasca kelahiran pada bayi, ibu rutin membawa pasien ke
posyandu.
8. Riwayat Imunisasi
Usia Imunisasi
9 bulan Campak 1
24 bulan Campak 2
26
Riwayat Perkembangan
PSIKOMOTOR
0 - 6 bulan : mampu tengkurap, mengangkat kepala dan dada bertopang
pada tangan
6 bulan : mampu untuk duduk
9 bulan : mampu merangkak
1 - 2 tahun : berjalan perlahan, memegang krayon, bisa makan sendiri
3 tahun : dapat berlari bebas, mulai belajar naik sepeda roda tiga
BAHASA
0-3 bulan : Mengoceh spontan/merespon dengan mengoceh
3-6 bulan : tertawa dan menjerit jika diajak bermain
6-12 bulan : mengeluarkan kata-kata tanpa arti, menirukan suara
1-3 tahun : mampu menyusun kalimat singkat
SOSIAL
1 tahun : berpartisipasi permainan tepuk tangan, sembunyi-
sembunyian
1-3 tahun : memperlihakan minat kepada anak lain, bermain bersama
anak lain dan menyadari adanya lingkungan diluar
keluarganya
Mental/intelegensia
Sesuai anak seusianya
Emosi
Anak cenderung malu jika berkomunikasi dengan orang diluar keluarganya
27
Ekonomi
Ayah pasien seorang petani berusia 28 tahun dan ibu pasien bekerja
sebagai IRT.
Keadaan Lingkungan
Rumah orangtua pasien berukuran 6x6 meter, beralaskan lantai, atap
genteng, tembok beton. Memiliki ventilasi yang cukup dan sinar matahari
dapat masuk melalui jendela. Sumber air berasal dari sumur terbuka.
Memiliki WC yang disalurkan ke septiktank
Kebiasaan
Ayah pasien merupakan perokok aktif
Kesan: keadaan sosial, ekonomi, dan lingkungan baik, namun kebiasaan ayah
pasien merokok
C. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Fisik Umum
1. Keadaan umum : tampak sakit ringan
2. Kesadaran : compos mentis
3. Vital Sign
28
Frekuensi jantung : 100x/menit, regular,
Nadi : kuat angkat (+),
Frekuensi napas : 20x/menit, regular, tipe thorakal,
kedalaman normal
Suhu : 37,60C (axilla)
Waktu pengisian kembali kapiler : ≤2 detik
4. Berat Badan : 11 Kg
5. Tinggi badan : 96 cm (posyandu)
6. Status gizi :
29
11. Sendi : Tidak ada deformitas dan tidak terdapat tanda-tanda
peradangan
2. Dada
Jantung :
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Redup pada ICS II PSL D s/d ICS II PSL S
Redup pada ICS III PSL D s/d ICS IV MCL S
Auskultasi : S1-S2 tunggal, reguler, ekstra sistole (-), gallop (-),
murmur (-)
30
Paru :
Tabel 8. Pemeriksaan Fisik Paru
Kanan Kiri
3. Perut
o Inspeksi : permukaan dinding cembung,
o Auskultasi : bising usus (+) Normal
o Perkusi : redup
o Palpasi : soepel, turgor dan elastisitas kulit normal, hepatomegali (-),
splenomegali (-),nyeri tekan (-)
4. Anggota Gerak
Atas : akral hangat -/-, odema -/-, tidak ditemukan pembengkakan sendi
Bawah : akral hangat -/-, odema -/-, tidak ditemukan pembengkakak sendi
5. Anus dan kelamin
Anus : dalam batas normal, tidak ada kelainan
Kelamin : jenis kelamin perempuan, dalam batas normal, tidak ada kelainan
31
D. Pemerisaan Penunjang
Laboratorium tanggal 25/3/2018
Tabel 9. Hasil Laboratorium
Jenis Pemeriksaan Nilai Normal
Hematologi
1. Hemoglobin 7,9 12 -16 gr/dL
2. Leukosit 16,1 4,3-10,3 x109/L
Limfosit 19 20 – 40 %
4. Hematokrit 26,4 38-42%
5. Trombosit 364 150-450 x109/L
6. DDR -
E. Diagnosa
Observasi Febris + Observasi Vomitus
F. Terapi
IVFD RL 20 gtt/m
Inj. Cefotaxim 3x300 mg/iv
Inj. Gentamicin 2x30 mg/iv
Inj. Dexametazone 2x1 amp/iv
Paracetamol syr 3x1 cth (k/p)
G. Prognosis
Dubia ad Bonam
32
H. Follow up
Tanggal Subjektif Objektif Assessment Planning
26/3/2018 Demam (+) Ku Dyspepsia IVFD RL 20 gtt/m
Mual/munta :sedang, +Bacterial Inj. Cefotaxim 3x300 mg/iv
h (+) 5 kali CM Infection Inj. Gentamicin 2x30 mg/iv
Batuk (+) S: 360C Inj. Dexametazone 2x1
Thorax: amp/iv
Rh (-/+) Paracetamol syr 3x1 cth (k/p)
Abd:NTE Ambroxol syr 3x1 cth
(+)
27/3/2018 Demam (-) Ku Dyspepsia IVFD RL 20 gtt/m
Mual/munta :sedang, +Bacterial Inj. Cefotaxim 3x300 mg/iv
h (-) CM Infection Inj. Gentamicin 2x30 mg/iv
Batuk (+) S: 36,30C Inj. Dexametazone 2x1
Thorax: amp/iv
Rh (-/+) Paracetamol syr 3x1 cth (k/p)
Abd:NTE Ambroxol syr 3x1 cth
(-) Plan: Foto Thorax
28/3/2018 Demam (-) Ku TB Paru IVFD RL 20 gtt/m
Mual/munta :sedang, Inj. Cefotaxim 3x300 mg/iv
h (-) CM Inj. Gentamicin 2x30 mg/iv
Batuk (+) S: 36,30C Inj. Dexametazone 2x1
Thorax: amp/iv
Rh (-/+) Paracetamol syr 3x1 cth (k/p)
Abd:NTE Ambroxol syr 3x1 cth
(-) OAT 1x2 tab
29/3/2018 Demam (-) Ku TB Paru Paracetamol syr 3x1 cth (k/p)
Mual/munta :sedang, Ambroxol syr 3x1 cth
h (-) CM OAT 1x2 tab
Batuk (+) S: 36,30C
Thorax:
Rh (-/+)
Abd:NTE
(-)
Foto Thorak AP
33
Trakea di tengah.
Cor : tidak ada pembesaran jantung
Pulmo : terlihat gambaran infiltrat pada parahilus
Sinus kostofrenikus kanan dan kiri tajam.
Diafragma kanan dan kiri baik.
I. Resume
Anak perempuan usia 3 tahun dengan keluhan demam sumer-sumer. Demam
sudah 3 minggu yang turun degan obat penurun panas namun seringkali kambuh
lagi. Berat badan sulit naik dan napsu makan menurun.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan status gizi kurang, demam subfebris.
Pemeriksaan penunjang ditemukan gambaran engarah ke TB pada foto thorak
AP.
J. Diagnosis Kerja
Tuberkulosis Paru
Edukasi
Menjelaskan kepada Ibu pasien bahwa anaknya menderita infeksi TB, hal
ini kemungkinan didapatkan karena tertular dari anggota keluarga yang
lain.
Menyarankan untuk memeriksakan anggota keluarga yang sering
mengalami batuk yang kambuh ke poli paru RSUD untuk pemeriksaan
dahak dan foto thorak
Pengobatan pasien direncakan selama 6 bulan dan akan dievaluasi pada
akhir pengobatan
34
Obat harus diminumkan secara rutin setiap pagi hari saat perut masih
kosong dan harus segera kontrol sebelum obat habis
Obat sementara diberikan selama 2 minggu untuk mengevaluasi kepatuhan
minum obat
Perbaikan gizi anak untuk menunjang kesembuhan dari anak.
Menjelaskan bahwa penyakit ini bisa disembuhkan asal rutin minum obat
dan orang disekitar rumah yang dicurigai menderita TB paru segera
diperiksakan dan mendapat terapi yang sesuai untuk mengurangi resiko
kekambuhan pada anak
Penyakit TB paru pada anak tidak menular
K. Prognosis
Ad Vitam : dubia ad bonam
Ad Sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
35
DAFTAR PUSTAKA
36