Di sini tidak ada kriterium koalisi atau oposisi. Meskipun berasal dari partai yang
berkoalisi, anggota DPR tetap bertugas mengawasi Presiden yang didukung koalisi. Pasalnya,
power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely. Sebab siapa pun dia, begitu mereka
memegang kekuasaan maka yang berlaku adalah hukum kekuasaan: cenderung untuk korup.
Karena itu harus diawasi. Dalam konteks dan perspektif ini maka dalam sistem UUD 1945
koalisi partai-partai politik hanya bisa dilakukan di dalam satu lembaga negara, tidak bisa lintas
lembaga negara. (Hajriyanto Y Thohari, 2010).
Dalam kabinet presidensial, peranan partai politik di Indonesia kurang efektif. Hal ini
diakibatkan pemaknaan arti oposisi yang masih setengah hati. Dalam jajak pendapat yang
dilakukan Kompas menyebutkan, bahwa oposisi yang dimaui oleh publiklebih pada peran
oposisi yang soft, seperti menjadi penyeimbang, pengontrol, dan mitra kerja pemerintah.
Sebaliknya, konsep peran oposisi yang dihindari publik adalah yang agak radikal seperti
menjadi kekuatan lawanbagi pemerintah sebagaimana dikenal di negara-negara lain, atau
dalam terminologi ilmu politik.
Terdapat tiga masalah fundamental terkait ide koalisi atau oposisi di Indonesia (Sunny
Tanuwijaya, 2010) yang harus diklarifikasi dan diselesaikan sebelum koalisi politik di
Indonesia dapat stabil pada masa mendatang. Pertama, tidak jelasnya arti partai koalisi dan
partai oposisi dalam politik Indonesia. Kedua, dasar bagi koalisi pendukung pemerintah lebih
banyak terkait kepentingan politik ketimbang persamaan visi dan kebijakan. Ketiga,
mekanisme sanksi terhadap partai koalisi yang tidak jelas.
Melihat gejala di atas, publik tetap sepakat dan berharap dengan hadirnya kekuatan
oposisi. Memang haus ada kekuatan oposisi di parlemen (Dewan Perwakilan Rakyat), yang
akan melakukan fungsi kontrol terhadap pemerintah.
Kenyataan di atas menunjukkan, bahwa publik berharap parpol yang berkoalisi dengan
pemerintah jangan sampai kehilangan daya kritisnya. Di sini diharapkan parpol yang masuk
koalisi pendukung pemerintah berhak melakukan kritik dan kontrol terhadap pemerintah,
seperti halnya yang dilakukan oleh Partai Golkar dan Partai Keadilan Sejahtera belakangan ini.
Masih dalam jajak pendapat yang dilakukan Kompas, peran oposisi tidak sekadar
dimaknai sebagai kekuatan di luar pemerintah, tetapi lebih dari itu. Peran oposisi adalah
menjaga kekuasaan agar tetap berada di rel yang benar. Oposisi bukan kumpulan kekuatan
yang sakit hati karena kalah dalam pemilihan umum (pemilu) atau tidak mendapatkan kursi
kekuasaan, sehingga berbalik memusuhi pemerintah. Oposisi tidak bisa dipahami sekadar
berbeda dengan pemerintah.
Oleh karenanya, makna oposisi seharusnya lebih mulia dari itu. Jika pemerintah salah,
oposisi akan menyadarkan publik agar melakukan tekanan. Sebaliknya, jika pemerintah benar,
oposisi harus mengajak publik mendorong pemerintah tetap konsisten.
Tidak mudahnya melakukan pergantian menteri di Indonesia, selain ditentukan karakter
presiden dan partai politik, sebagian juga dilatarbelakangi oleh sistem pemerintahan yang
dianut. Sistem multipartai merupakan komplemen yang ideal bagi sistem pemerintahan
parlementer. Adapun sistem pemerintahan presidensial idelanya memang berpasangan dengan
sistem kepartaian yang dwipartai.
Nampak sekali bahwa partai-partai yang ada di Indonesia boleh dikatakan
merupakan partai yang dibentuk atas prakarsa negara. Pembentukan partai bukan atas dasar
kepentingan masing-masing anggota melainkan karena kepentingan negara. Dengan kondisi
partai seperti ini, sulit rasanya mengharapkan partai menjadi wahana artikulasi kepentingan
rakyat.
2. Masa Reformasi
Setelah reformasi, pertumbuhan Partai Politik didasari atas kepentingan yang sama
masing-masing anggotanya. Boleh jadi, Era Reformasi yang melahirkan sistem multi-partai ini
sebagai titik awal pertumbuhan partai yang didasari kepentingan dan orientasi politik yang
sama di antara anggotanya.
Kondisi yang demikian ini perlu dipertahankan, karena Partai Politik adalah alat
demokrasi untuk mengantarkan rakyat menyampaikan artikulasi kepentingannya. Tidak ada
demokrasi sejati tanpa Partai Politik. Meski keberadaan Partai Politik saat ini dianggap kurang
baik, bukan berarti dalam sistem ketatanegaraan kita menghilangkan peran dan eksistensi
Partai Politik. Keadaan Partai Politik seperti sekarang ini hanyalah bagian dari proses
demokrasi.
Dalam kondisi kepartaian yang seperti ini, Pemilihan Umum 2004 digelar dengan
bersandar kepada Undang-undang No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik. Dalam
perjalanannya, undang-undang ini di anggap belum mampu mengantarkan sistem kepartaian
dan demokrasi perwakilan yang efektif dan fungsional. Undang-undang ini juga belum mampu
melahirkan Partai Politik yang stabil dan akuntabel. Masyarakat juga masih belum percaya
pada keberadaan Partai Politik, padahal fungsi Partai Politik salah satunya adalah sebagai alat
artikulasi kepentingan rakyat. Untuk menciptakan Partai Politik yang efektif dan fungsional
diperlukan adanya kepercayaan yang penuh dari rakyat. Tanpa dukungan dan kepercayaan
rakyat, Partai Politik akan terus dianggap sebagai pembawa ketidakstabilan politik sehingga
kurang berkah bagi kehidupan rakyat.
Untuk menciptakan sistem politik yang memungkinkan rakyat menaruh kepercayaaan,
diperlukan sebuah peraturan perundang-undangan yang mampu menjadi landasan bagi
tumbuhnya Partai Politik yang efektif dan fungsional. Dengan kata lain, diperlukan perubahan
terhadap peraturan perundang-undangan yang mengatur sistem Politik Indonesia yakni
Undang-undang No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik, Undang-undang No. 12 Tahun 2003
tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, Undang-undang No. 23 tahun 2003
tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, dan Undang-undang No. 22 Tahun
2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD.
Boleh dikatakan bahwa setelah era reformasi ini peran partai sebagai penyalur aspirasi
rakyat bisa dimaksimalkan, dapat dilihat dari partai-partai yang tumbuh dan berkembang
dengan bebas tanpa intervensi dari pihak manapun. Walaupun begitu masih banyak yang harus
dibenahi partai politik kita, diantaranya adalah masih banyaknya korupsi, kolusi dan nepotisme
di dalam organisasi partai politik saat ini.