Anda di halaman 1dari 4

1.

Argumen ketidakmendasaran esensi

Berdasarkan pehamahaman materialisme :

Materialisme merupakan paham filsafat yang meyakini bahwa esensi kenyataan,


termasuk esensi manusia bersifat material atau besifat fisik. Ciri utama dari kenyataan
material atau fisik yaitu manempati ruang dan waktu. Alam spiritual atau jiwa, yang tidak
mempunyai ruang, tidak bisa disebut dengan esensi kenyataan, dan oleh karena itu ditolak
keberadaannya. Materialisme percaya bahwa setiap gejala, setiap gerak, bisa dijelaskan
menurut hukum kausalitas, hukum sebab akibat.

Para materialis juga percaya bahwa tidak ada kekuatan apa pun yang bersifat spiritual
di balik gejala atau peristiwa material itu. Kalau ada gejala atau peristiwa yang masih belum
diketahui, maka hal itu bukan berarti kekuatan yang bersifat spiritual di belakang peristiwa
tersebut, melainkan karena pengetahuan dan akal kita saja yang belum dapat memahaminya. 1

2. Argumentasi Kemendasaran eksistensi

Manakah yang lebih mendasar, pembatasan suatu mawjud ataukah isi daripada yang
dibatasi itu? Tanpa pembatasan, wujud tidak dapat dikenal, tanpa pengenalan, dianya tidak
dapat disebut ada. Sebab, satu-satunya penjamin 'ada' adalah akal. Bayangkan Anda di suatu
tempat tanpa cahaya, tidak bersandar anggota tubuh Anda pada apapun, bayangkan tidak ada
satupun yang dapat diinderai, termasuk indera yang mendasar. Premis pertama adalah akal itu
mendasar sifatnya, tapi mampukah akal bekerja dan berfungsi sehingga dapat membentuk
mahiyah tanpa sesuatu 'ada' pada realitas? Akal mampu membentuk satu konsep tanpa
adanya realitas. Sebuah kursi bisa saja tidak hadir di hadapan kita, tapi dia tetap ada dalam
konsep pikiran. Maka bila demikian, benarkah akal tidak memerlukan realita eksternal? Saya
kira tidak, konsep kursi atau apapun hanya bisa terbentuk dalam akal bila indera telah
mempersepsikannya dari realitas eksternal. Tetapi realitas eksternal sendiri adalah bentukan
akal. Atas dasar keyakinan inilah makanya para filosof menjadikan manusia, khususnya
akalnya sebagai satu satunya penjamin eksistensi. Para flosof muslim menempuh proses
bertahap dalam berusaha menjangkau wilayah ini. Pertama kali oleh Al-Farabi, mencoba
memberi perbedaan antara esensi dengan eksistensi. Selanjutnya Ibn Sina memberi status
penegasan dan pendalaman terhadap realitas eksistensi. Selanjutnya Mulla Shadra

1
Juhaya S. Praja, Aliran-Aliran Filsafat dan Etika, (Bandung: Yayasan PIARA, 1997)

1
menemukan pembuktian yang rasional tentang status kemendasaran eksistensi melalui
konsep gerak substansial. Gerak substansial, adalah strategi paling rasional untuk
membuktikan keberadaan sekaligus kemendasaran eksistensi. Hingga kini, konsep itu belum
terbantahkan. Bahkan filsuf Muslim terbesar setelah Shadra, Sir Muhammad Iqbal,
mendukung konsep ini. Sekali lagi yang perlu ditegaskan disini adalah realitas yang
menjelma bukanlah sandaran kemendasaran eksistensi (wujud). Sebab, dianya adalah
bentukan pikiran juga yang artinya dia adalah esensi (mahiyah).

3. Argumentasi gradasi eksistensi

Di bawah ini pembagian gradasi pada hakikat eksistensi.

Gradasi Diferensial (al-Tasykīk al-Tafādhulī)

Dalam pandangan Mullā Shadrā, gradasi diferensial terjadi pada eksistensi, baik pada
derajat konsep maupun derajat hakikat. Gradasi pada derajat konsep merefleksikan gradasi
pada derajat hakikat, yaitu gradasi direfensial antar instansi esksitensi terjadi dengan
eksistensinya sendiri. Kita dapat mengatakan gradasi pada derajat konsep universal eksistensi
ini adalah gradasi umum, sedangkan gradasi pada derajat hakikat eksistensi adalah gradasi
diferensial filosofis (al-tasykīk al-tafādhulī al-falsafī).

Menyangkut konsep eksistensi sebagai suatu konsep universal yang diterapkan pada
quiditas-quiditas secara univokal adalah jelas dalam pikiran kita. Kejelasan predikasi konsep
eksistensi secara univokal pada quiditas hampir mendekati jelasnya proposisi-proposisi
primer (al-awwaliyyāt). Seperti ketika kita melihat satu individu “manusia” di realitas
eksternal kita menyatakan: “Manusia ada.” Ketika kita mengatakan “manusia ada”, yang
terjadi adalah kita menangkap sisi kemanusiaan (al-insāniyyah) pada individu tersebut yang
menjadikan ia sebuah instansi esensial (al-mishdāq bi al-dzāt) dari konsep manusia (mafhūm
al-insān) yang ada dalam pikiran kita. Pada saat yang sama, kita pun mendapatkan pada
individu tersebut terdapat sisi yang menafikan ketiadaan yang menjadikannya instansi
esensial (al-mishdāq bi al-dzāt) dari konsep eksistensi yang ada dipikiran kita. Kita dengan
jelas dapat membedakan antara ada (wujūd) dan tiada (‘adam), dan tidak ada stasus antara
ada dan tiada.

2
Gradasi Kausal (al-Tasykīk al-‘Illī)/ Gradasi Vertikal (al-Tasykīk al-Thūlī)

Kausalitas dalam filsafat adalah kenyataan bahwa setiap peristiwa adalah disebabkan oleh
asal, penyebab atau prinsip. Untuk penyebab dari suatu peristiwa B harus memenuhi tiga
kondisi:
Bahwa A terjadi sebelum B.

Yang selalu terjadi adalah B.

A dan B dekat dalam ruang dan waktu.

Pengamatan, setelah beberapa kali pengamatan, kita generalisasi bahwa karena hingga
sekarang telah ditetapkan selalu terjadi B, di masa depan akan sama. Ini artinya kita
menetapkan hukum. Ide sebab telah menimbulkan sejumlah perdebatan filosofis. Dari usaha
filosofis pertama Aristoteles menyimpulkan kitabnya Posterior Analytics dengan cara
pikiran manusia pada masa datang untuk mengetahui kebenaran dasar atau tempat utama atau
prinsip-prinsip pertama, yang bukan bawaan, karena tidak mungkin kita untuk mengabaikan
sebagian besar dari hidup kita. Tidak dapat dikurangkan pengetahuan sebelumnya atau tidak
pula pada prinsip-prinsip pertama. Ia mengatakan bahwa prinsip-prinsip pertama diturunkan
dengan induksi, persepsi sensorik, yang mengimplementasikan pikiran manusia yang
universal. Ide ini berasal dari “tidak ada dalam intelek yang tidak ada pertama kali di indra”.

Dengan mempertahankan bahwa “mengetahui sifat sesuatu untuk mengetahui,


mengapa?” dan bahwa “kita memiliki pengetahuan ilmiah hal hanya bila kita tahu
penyebabnya,” didalilkan Aristoteles empat jenis penyebab utama: bagaimana identitas
sebuah objek, sebuah kasus yang memerlukan penyebab, konsisten efisien, bentukan akhir .
Seperti Hume mengatakan pada zamannya, tidak pernah ada pengamatan yang cukup untuk
menghubungkan A ke B. Pada hal Kant, yang tidak sependapat dengan Hume berpikir bahwa
ia ingin menulis teori filosofis kausalitas adalah kategori pemahaman apriori, dan kemudian
itu berasal dari kebiasaan tetapi itu adalah suatu keharusan dan universal. Hal ini
memungkinkan ilmu yang universal bertumpu pada prinsip kausalitas tidak lagi diperlukan.

4. Argumentasi esensi sebagai limitasi eksistensi

Untuk membuktikan keterbatasan dan kelemahan akal manusia, kami akan


menyinggung dua argumen utama secara jelas dan bersifat rasional, khususnya dalam
mendeteksi wujud Tuhan.. Pertama: Sehubungan dengan persoalan “Pembuktian keberadaan

3
Tuhan” kita dapati bahwa semua yang ada di alam semesta ini merupakan hasil ciptaan
Tuhan, termasuk manusia dan akalnya. Di dalam kajian ilmu filsafat telah dijelaskan secara
detail mengenai hukum kausalitas bahwa “sebab” mesti memiliki semua kesempurnaan
eksistensial “akibat”, dan bukan sebaliknya. Dengan ungkapan lain bahwa setiap “akibat”
memiliki radius batasan yang lebih sempit dibanding “sebab” nya. Mata rantai sebab-akibat
itu terus berjalan secara vertikal hingga berakhir pada satu “sebab” yang tidak memiliki
penyebab dan kewujudannya tidak disebabkan oleh sebab apapun, yaitu “sebab” yang tidak
memiliki batas dan bersifat absolut. Makhluk manusia merupakan salah satu bagian dari alam
semesta yang tidak keluar dari mata rantai penciptaan. Oleh karena itu manusia memiliki
keterbatasan dan kekurangan sesuai dengan peringkat eksistensi wujudnya. Sedang eksistensi
Tuhan jauh di atas peringkat eksistensi manusia. Dari penjelasan ringkas ini dapat diambil
kesimpulan bahwa ciptaan Tuhan yang bernama manusia dengan segala atribut yang
disandangnya memiliki keterbatasan yang sangat tebal. Kedua: Setelah Kita ketahui bahwa
manusia adalah makhluk yang bersifat terbatas, dan bukan absolut, dengan demikian maka
segala hal yang menempel pada dirinyapun tidak bersifat absolut tetapi memiliki berbagai
kekurangan dan keterbatasan. Sementara sesuatu yang tidak terbatas dan bersifat absolut itu
mustahil menempel dan bersandar pada sesuatu yang terbatas. Tidak seorangpun mengingkari
bahwa setiap manusia memiliki akal sebagai alat berpikir. Apabila telah kita buktikan bahwa
manusia itu merupakan makhluk dan ciptaan yang memiliki berbagai kekurangan dan
keterbatasan, maka -dengan demikian- dapat kita tetapkan pula bahwa akal pikiran manusia
memiliki kekurangan dan keterbatasan pula. Dengan memperhatikan secara cermat uraian
tersebut, dapat disimpulkan bahwa antara dua bentuk eksistensi terbatas tersebut, yaitu
manusia dan akalnya terdapat keserasian. Dan hal itu merupakan konsekwensi logis antara
keduanya.

Berkaitan dengan masalah Tuhan, banyak pembahasan teologis dan filosofis yang
telah menetapkan bahwa Tuhan bersifat absolut dan tidak terbatas. Sementara akal manusia
bersifat terbatas. Merupakan satu hal yang gamblang bagi semua orang bahwa mustahil
sesuatu yang terbatas itu mampu mendeteksi semua sisi yang dimiliki oleh eksistensi yang
bersifat absolut dan tidak batas. Dengan demikian hanya hal-hal yang bersifat universal dari
Tuhan saja yang dapat dideteksi oleh akal manusia. Adapun esensi sejati Tuhan, maka akal
manusia tidak mungkin mampu untuk mengenal dan mengetahuinya secara sempurna.

Anda mungkin juga menyukai