Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penelitian ini dilatar belakangi karena pengalaman pribadi peneliti pernah

bertemu dengan orang tua yang memiliki anak retardasi mental. Ibu N

mengatakan merasa ketakutan dan stress melihat anaknya setelah memasuki

masa pubertas, karena semenjak anaknya mengalami pubertas mulailah timbul

ketertarikan terhadap lawa jenisnya. Ibu N juga mengatakan anaknya sangat

centil melihat lawan jenisnya, salah satu contohnya anaknya pernah digodain

sama tukang angkot dan mau dibawa pergi dan Ibu N juga mengatakan pusing

melihat anaknya saat menstruasi karena emosinya tidak stabil . Ibu N juga

mengatakan sangat khawatir melihat anaknya dan tidak membiarkan anaknya

pergi ke luar rumah sendirian.

Studi pendahuluan dilakukan pada dua responden yang memiliki anak

retardasi mental sedang didapatlah pernyataan bahwa Ibu R yang mempunyai

anak retardasi mental usia 15 tahun, mengatakan “Sampe sekarang ibu yang

selalu memakaikan pembalutnya neng. Kalo sekarang yah neng ibu takut dan

cemas banget soalnya dia anaknya centil bangat sama laki-laki terkadang ibu

sampe dongkol ngeliatnya, dibilang cantik aja dia udah sangat senang, ibu

kwatir kayak yang di tv tv itu neng banyak yah yang memperkosa anak-anak

kayak gini, ibu sangat mengkwatirkan itu neng dia juga suka ganjen sama

laki-laki bahkan sama bapa-bapa juga neng ”.

1
2

Menurut partisipan ke 2 yaitu Ibu L yang memiliki anak retardasi mental

berumur 16 tahun mengatakan “ Aduh neng ibu mah pusing bangat melihat

anak saya sekarang suka uring-uringan apalagi kalo lagi mens, emosinya itu

gak stabi, suka marah-marah dirumah. Kalo lagi mens darahnya banyak

bangat yang keluar neng, terkadang kalo celananya tembus darah dia gak

pernah menggantinya selalu ibu yang mengganti dan memakaikan pembalut.

Terkadang ibu malu sendiri melihat tingkahnya, kayak buka baju di rumah

padahal ada kakak laki-laki sama bapanya. Kadang juga ibu ngerasa jengkel

ngeliatnya terlalu ganjen sama laki-laki, ibu takut sekali neng nanti

kedepannya dia kayak gimana.”

Berdasarkan hasil wawancara di atas menunjukkan bahwa betapa

sulitnya menjadi orang tua dari anak retardasi mental yang sedang masa

pubertas. Masa puber merupakan masa transisi dan tumpang tindih.

Dikatakan transisi karena pubertas berada dalam peralihan antara masa

kanak-kanak dengan masa remaja dan dikatakan tumpang tindih karena

beberapa ciri biologis-psikologis kanak-kanak masih dimilikinya, sementara

beberapa ciri remaja juga dimilikinya (Al Mighwar, 2006). Banyak hal yang

orang tua akan lakukan seperti menghadapi sikap anak yang emosinya tidak

stabil, memakaikan pembalut, berpakaian, merawat anak dalam

kesehariannya, sehingga hal ini membutuhkan kekuatan, ketelatenan dan

kesabaran yang lebih besar untuk orang tua yang memiliki anak retardasi

mental, agar para orang tua memberikan perhatian khusus pada anaknya,

karena anak ini memerlukan perawatan, bimbingan, serta pengawasan.


3

Retardasi mental merupakan keadaan dengan intelegensi kurang

(abnormal) atau dibawah rata-rata sejak masa perkembangan (sejak lahir atau

sejak masa kanak-kanak). Retardasi mental ditandai dengan adanya

keterbatasan intelektual dan ketidak cakapan dalam interaksi sosial sehingga

berpengaruh pada semua tingkat intelegensia yaitu kemampuan kognitif,

bahasa, motoric dan sosial sosial (Sandra, 2010). Retardasi mental dapat

terjadi dengan atau tanpa gangguan jiwa atau gangguan fisik lainnya.

(Lumbantobing, 2006). Sejalan dengan pendapat Salmioah (2010), Retardasi

mental dapat diartikan sebagai kecerdasan yang kurang dari rata-rata. Individu

yang memiliki fungsi intelektual di bawah rata-rata (IQ 70 ke bawah,

mengalami kendala dalam fungsi adaptif, dan terjadi sebelum usia 18 tahun

disebut retardasi mental. Menurut Soraya, Elfida, dan Widiningsih

bmenjelaskan bahwa retardasi mental dikelompokkan menjadi empat kategori,

yaitu ringan (mild), sedang (moderate), berat (server), dan sangat berat

(profound).

Menurut WHO (2010), retardasi mental memiliki tanda dan gejala seperti

gangguan kognitif, (pola, proses fikir), lambatnya keterampilan ekpresi dan

persepsi bahasa, gagal melewati tahap perkembangan yang utama, lingkar

kepala diatas atau dibawah normal (kadang-kadang lebi besar tau lebih kecil

dari ukuran normal), kemungkinan lambatnya petumbuhan, kemungkinan

tonus otot lemah), dan terlambatnya motorik halus dan kasar.

Beberapa kasus retardasi mental dapat disebabkan oleh masalah biologis

yang teridentifikasi, termasuk cacat genetik dan kromosom, racun yang

berasal dari lingkungan, kekurangan nutrisi pada wanita hamil dan bayi, dan
4

penyakit-penyakit yang menimpa wanita hamil, bayi dan anak-anak (Leonard

& Wen, Haugaard, 2008 dalam Adi, 2010).

Keterlambatan intelegensi pada anak retardasi mental dapat

mengakibatkan keterlambatan perkembangan sosial dan juga sosial, anak akan

mengalami kesulitan dalam mengingat apa yang dilihat, didengar sehingga

menyebabkan kesulitan dalam berbicara dan berkomunikasi (Yosiani dalam

Hartini, 2016).

Akan tetapi, terlepas dari keterbatasan intelektualnya, individu retardasi

mental maupun normal akan mengalami perkembangan biologis yang sama.

Salah satunya adalah transisi dari anak ke remaja yang ditandai dengan masa

pubertas. Pada masa pubertas, terjadi perkembangan seksual yang signifikan

pada diri individu. Secara seksual, individu retardasi mental juga memiliki

kematangan seksual yang sama dengan individu normal, sehingga mereka

membutuhkan informasi yang sama mengenai sdeksualitas (CPRI Sexual

Behavior Team, 2009 dalam Hartini, 2016).

Dalam pergaulan sosial, banyak siswi dengan hambatan kecerdasan dan

intelektual (Tunagrahita) yang kurang disukai oleh orang lain. Hal tersebut

sebagai akibat dari perilaku yang tidak sesuai dengan norma sosial seperti

membiarkan baju berdarah, karena tidak sadar bahwa mereka harus mengganti

pakaian dalam yang sudah basah oleh darah menstruasi. Perilaku lain yang

sering muncul yaitu merangkul lawan jenis bahkan mencium. Perilaku yang

tidak menyenangkan orang banyak yaitu mereka sering melakukan masturbasi

dimana saja bahkan melakukan hubungan badan. Mereka melakukan perilaku


5

tersebut karena dorongan alamiah manusia berkaitan dengan libido. Mereka

tidak bisa membedakan perilaku mana yang pantas dan mana yang tidak

pantas sebab mmereka memiliki perkembangan moral yang terlambat dan

terbatas jika dibandigkan dengan angka normal seusianya (Mimin, 2014).

Data seluruh siswa yang ada di SLB-C Sukapura tahun ajaran 2016-2017

berjumlah 58, SD 25 siswa, SMP 17 siswa dan SMA 16 siswa. Data siswa

retardasi mental di SLB-C Sukpaura berjumlah 46 siswa, 11 siswa mengalami

retardasi mental ringan dan 35 siswa mengalami retardasi mental sedang, 12

siswa mengalami autis. Dari data siswa yang didapat di SLB-C Sukapura,

siswa yang mengalamiretardasi mental sedang lebih banyak. SLB-C Sukapura

berdiri sejak tahun 2003 dibawah naungan Yayasan Sukapura dengan izin

Dinas Pendidikan Povinsi Jawa Barat dengan No. 421.9/3916-PLB status

sekolah yang terakreditasi B. Sejak tahun 2005 SLB-C Sukapura mendapat

kepercayaan menjadi Resource Center (RC), Resource Center ini merupakan

tugas yang menjadi konsultan dalam menangani ABK, sekolah binaan, antara

lain sekolah regular sekitar Kecamatan Kiaracondong.

Berdasarkan data dari Dinas Pendidikan Kota Bandung jumlah anak yang

berkebutuhaan khusus di Provinsi Jawa Barat sebanyak 21.335 jiwa yangdi

data dari anak-anak yang disekolahkan. Untuk jumlah penyandang tunagrahita

di provinsi Jawa Barat sebanyak 6.581 jiwa untuk tunagrahita ringan, 6.579

untuk tunagrahita sedang.

Prevalensi retardasi mental sekitar 1% dari populasi yang ada. Di

Indonesia, 1-3% penduduknya mengalami retardasi mental.insidennya sulit


6

diketahui karena retardasi mental sulit dikenali saat anak berusia pertengahan,

dimana retardasinya masih dalam taraf ringan. Insiden tertinggi pada masa

anak sekolah dengan puncak umur 10 sampai 14 tahun. Retardasi mental

mengenai 1,5 kali banyak pada laki-laki dibandingkan perempuan (Hamsafir,

2015).

Menurut Bank Dunia dan badan kesehatan dunia (WHO), Tercatat

sebanyak 15 persen dari penduduk dunia atau 785 juta orang mengalami

gangguan mental dan fisik (9 April 2012, www.psikologizone.com). Dan dari

berbagai macam keterbatasan fisik dan mental yang ada, retardasi mental

adalah salah satunya. Retardasi mental merupakan masalah dunia dengan

implikasi yang besar terutama pada negara-negara berkembang. Menurut

PBB, hingga tahun 2000 diperkirakan sekitar 500 juta orang di dunia

mengalami kecacatan dan 80 persen dijumpai di negara-negara

berkembang. Di Amerika serikat , setiap tahun sekitar 3000-5000 anak

penyandang retardasi mental dilahirkan.

Menurut (wila 2009; dalam Hartini 2016) mengatakan hal pertama yang

perlu diberikan kepada anak retardasi mental adalah kepercayaa diri dalam

melakukan sesuatu. Caranya, diantaranya orang-orang terdekat harus selalu

diberikan pujian atas apa yang dilakukan sudah merasa benar. Sehingga

timbul rasa percaya diri, berani tampil didepan orang lain, minimal anak

merasa di perhatikan.

Hal ini sejalan dengan pendapat Kusumaningrum (2014), untuk

mendapatkan peran orang tua yang optimal maka dibutuhkan suatu bentuk
7

ketahanan yang lebih. Namun orang tua yang memiliki anak retardasi mental

sedang sampai retardasi mental berat akan cenderung lebih pasrah dengan

keadaan anaknya sehingga cenderung tidak memiliki ketahanan yang lebih

untuk tetap berjuang dalam mengasuh anaknya. Hal ini tentunya dapat

mempengaruhi perkembangan anak tersebut oleh karena itu diperlukan

penerimaan diri dan yang lebuh dari orang tua untuk merawat, supaya anak

yang cacat dapat tumbuh dan berkembang dengan baik sehingga dapat

diterima oleh lingkungan sosialnya.

Menurut (Somantri, 2007; dalam Kusumaningrum 2014 2007), orang

yang paling banyak menanggung beban akibat retardasi mental adalah orang

tua dan keluarga anak tersebut. Selain saudara-saudara anak tersebut yang

mengalami hal emosional, retardasi mental berdampak bagi orang tua

seperti perasaan bersalah, berdosa, kurang percaya diri, terkejut/ tidak

percaya, malu, dan over protective. Orang tua yang memiliki anak retardasi

mental memiliki perasaan sedih, denial, depresi, malu, marah dan menerima

keadaan anaknya. Orang tua merasa tidak berharga karena tidak mampu

melahirkan anak normal selain perasaan malu yang dominan.

Bowden (2010) berpendapat bahwa keluarga yang memiliki anak

dengan retardasi mental menghadapi multitude of challanges. Mulai dari

isolasi sosial, stigma masyarakat, kecemburuan anggota keluarga (saudara),

disorientasi ekspektasi, hingga harapan yang pupus.

Gangguan pada anak dapat dihindari oleh orang tua dengan menyadari

perannya dalam mengoptimalkan tumbuh kembang anak dan berusaha


8

memenuhi kebutuhan fisik maupum mentalnya. Jika ternyata anak yang

terlahir didiagnosa suatu penyakit atau gangguan fisk tubuh, situasi ini tidak

dapat dihindari oleh orang tua manapun. Direktorat Pendidikan Luar Biasa

mengemukakan bahwa anak berkebutuhan khusus sebagai anak yang dalam

proses pertumbuhan atau perkembangannya mengalami kelainan atau

penyimpangannya (fisik, mental, intelektual, sosial, emosional), sehingga

memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Penyimpangan yang dimaksut

adalah tunanetra, tunarugu, tunagrahita, tunadaksa, disleksia, berbakat,

tunalaras, ADHD, dan autis (Mangunsong, 2010).

Penelitian kualitatif juga dilakukan oleh (Rianto, 2016) dalam

penelitiannya yang berjudul “Koping Emosi Negatif Pada Ibu Yang Memiliki

Anak Retardasi Mental”. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa ada emosi

Ibu yang negative beruoa rasa marah, kecewa, iri, sedih, cemas dalam diri

subjek penelitian yang memiliki anak retardasi mental.

Penelitian dengan pendekatan kualitatif lain juga dilakukan oleh (Eka,

2016) dengan judul “Dukungan Sosial Orang Tua Dalam Membentuk

Perilaku Personal Higiene Anak Tunagrahita Yang Sudah Mengalami

Menstruasi”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh informan utama

sudah memberikan dukngan informative kepada anak tunagrahita. Empat

informan memberikan dukungan emosional dan satu informan tidak

memberikan emosional karena anak sulit diajak berkomunikasi.

Berdasarkan fenomena diatas dapat disimpulkan bahwa betapa

pentingnya peran ibu dalam membimbing anak dalam menghadapi masa


9

pubertas pada anak retardasi mental. Maka dari itu, peneliti tertarik

mengambil penelitian berjudul “ Pengalaman Ibu yang memiliki anak

retardasi mental dalam masa pubertas”.

Dari hasil jurnal (Zakaria, 2015) yang berjudul “ Gambaran Harga Diri

Orang Tua Yang Mempunyai Anak Retardasi Mental”. Menunjukkan bahwa

sebagian besar orang tua yang memiliki anak retardasi mental mempunyai

harga diri rendah dan perasaan kecewa.

1.2 Perumusan Masalah Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan di atas, maka

dirumuskan “Bagaimana Pengalaman Ibu yang memiliki anak retardasi

mental dalam menghadapi masa pubertas”.

1.3 Tujuan penelitian

Mengeksplorasi lebih dalam tentang Pengalaman Ibu yang memiliki anak

retardasi mental dalam menghadapi masa pubertas.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat bagi peneliti khususnya,

dan pembaca umumnya. Adapun manfaat penelitian ini antara lain :

1.4.1 Manfaat Teoritis


10

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan acuan pemikiran

dan memperluas pengetahuan atau sebagai sumber informasi tentang

Pengalaman Ibu yang memiliki anak retardasi mental dalam

menghadapi masa pubertas. Diharapkan juga dari hasil penelitian ini

bisa digunakan sebagai referensi dalam proses belajar mengajar ilmu

keperawatan khususnya keperawatan anak.

1.4.2 Manfaat Praktis

Dengan diadakannya penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat

bagi semua pihak yang terlibat yang memiliki kepentingan dengan

masalah yang diteliti yaitu :

a. Bagi Keluarga

Diharapkan mampu memberikan informasi dan menambah

pengetahuan tentang pengalaman Ibu yang memiliki anak retardasi

mental dalam menghadapi masa pubertas.

b. Bagi Sekolah

Diharapkan mampu memberikan informasi dan menambah

pengetahuan tentang pengalaman Ibu yang memiliki anak retardasi

mental dalam menghadapi masa pubertas.


11

c. Bagi Peneliti

Menambah pengetahuan bagi peneliti tentang pengalaman Ibu

yang memiliki anak retardasi mental dalam menghadapi masa

pubertas.

Anda mungkin juga menyukai