Anda di halaman 1dari 20

Epistaksis Posterior et Causa Hipertensi

Ika Salamah

(102014151 / kelompok D6)

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida wacana

Alamat Korespondensi :

Jln. Arjuna Utara No.6 Kebon Jeruk, Jakarta Barat

E-mail: Ika.2014fk151@civitas.ukrida.ac.id

Abstrak
Epistaksis adalah perdarahan yang keluar dari lubang hidung, rongga hidung dan
nasofaring.Penyakit ini disebabkan oleh kelainan lokal maupun sistemik dan sumber
perdarahan yang paling sering adalah dari pleksus Kiessel-bach’s.Salah satu faktor risiko
yang diduga ikut berperan dalam terjadinya epistaksis adalah hipertensi. Diagnosa ditegakkan
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis, pemeriksaan laboratorium dan radiologik.Prinsip
penanganan epistaksis adalah menghentikan perarahan, mencegah komplikasi dan
kekambuhan.Epistaksis posteror diatasi dengan pemasangan tampon posterior atau tampon
Bellocq.

Kata kunci: Epistaksis, pleksus Kiessel-bach’s, penatalaksanaan

Abstract
Epistaxis is bleeding that comes out from nostril, nasal cavity and nasopharynx. Etiologies of
epistaxis are local and systemic disorder. The most common sources of bleeding is Kiessel-
bach’splexus. Hipertension has been suggested as a risk factor in epistaxis case.Diagnostic is
made by anamnesis, clinical examination, radiographs and laboratory.Management
principles of epistaxis are stop bleeding, prevent complication and recurrent. Posteror
epistaxis is treated by the installation of a posterior tampon or a Bellocq tampon.

Keywords: epistaxis, Kiessel-bach's plexus, treatment

Pendahuluan

Hidung merupakan organ penting dan merupakan salah satu organ pelindung tubuh
terpenting terhadap lingkungan yang tidak menguntungkan.Rongga hidung kita kaya dengan
pembuluh darah. Pada rongga bagian depan, tepatnya pada sekat yang membagi rongga
hidung kita menjadi dua, terdapat anyaman pembuluh darah yang disebut pleksus
Kiesselbach. Pada rongga bagian belakang jugak terdapat banyak cabang- cabang dari

1
pembuluh darah yang cukup besar antara lain dari arteri sphenopalatina. Maka dari itu sangat
sering terjadi pendarahan pada hidung atau biasa disebut epistaksis.1

Epistaksis atau perdarahan dari hidung banyak dijumpai sehari-hari baik pada anak
maupun usia lanjut. Epistaksis seringkali merupakan gejala atau manifestasi penyakit lain.
Kebanyakan ringan dan sering dapat berhenti sendiri tanpa memerlukan bantuan medis, tetapi
epistaksis yang berat, walaupun jarang, merupakan masalah kedaruratan yang dapat berakibat
fatal bila tidak segera ditangani.Epistaksis adalah masalah medis umum, dimana sekitar 60%
penduduk akan mengalami setidaknya satu kali episode epistaksis seumur hidup dan
diantaranya hanya 6% dari penderita epistaksis yang mencari bantuan medis. Prevalensi
epistaksis pada pria dan wanita umumnya adalah sama, dan distribusi umur penderita
epistaksis biasanya terjadi pada usia < 20 tahun dan > 40 tahun.2

Anamnesis
Anamnesis merupakan wawancara riwayat kesehatan pasien baik secara langsung
atau tidak langsung yang memiliki tiga tujuan utama yaitu mengumpulkan informasi,
membagi informasi, dan membina hubungan saling percaya untuk mendukung kesejahteraan
pasien.Informasi atau data yang dokter dapatkan dari wawancara merupakan data subjektif
berisi hal yang diutarakan pasien kepada dokter mulai dari keluhan utama hingga riwayat
pribadi dan sosial. Anamnesis yang diketahui pada kasus ini adalah keluhat utama, riwayat
penyakit sekarang, dan riwayat penyakit dahulu.3
Epistaksis (mimisan) berarti pendarahan dari dalam hidung.Biasanya darah berasal
dari hidung sendiri kendati pula dapat mengalir dari sinus paranasalis atau nasofaring.Biasana
riwayat medis yang disampaikan oleh pasien cukup dapat menunjukan lokasi asal
pendarahan.Walaupun demikian, pada pasien yang berada adalam posisi berbaring atau yang
pendarahannya berasal dari struktur posterior, mungkin darahnya tidak mengalir lewat lubang
hidung, tetapi mengalir ke dalam tenggorok.4
Selain itu perlu ditanyakan juga;
1. Apakah pernah mengalami hal ini sebelumnya ?
2. Onset, lokasi, lamanya, frekuensi dan jumlah perdarahan ?
3. Apakah ada trauma, korek-korek hidung?
4. Apakah darah terutama mengalir ke dalam tenggorokan (ke posterior) ataukah
keluar dari hidung depan (anterior) bila pasien duduk tegak?
5. Apak ada riwayat alergi: hidung gatal, bersin-bersin ?
6. Riwayat gangguan perdarahan dalam keluarga?

2
7. Apakah ada penyakit hipertensi, hati, leukemia?
8. Obat-obatan pengencer darah, mis., aspirin, warfarin, dll

Keluhan Utama
Keluhan utama adalah pasien 50 tahun datang ke instalagi gawat darurat dengan
keluhan mimisan.
Riwayat Penyakit Sekarang
Riwayat penyakit sekarang adalah pasien 50 tahun mengeluh mimisan sejak 3 jam
sebelum datang ke IGD.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien memiliki riwayat hipertensi.
Pemeriksaan
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, dilakukan antara lain pemeriksaan keadaan, kesadaran, tanda-tanda –
anda vital berupa tekanan darah, nadi, suhu dan frekuensi pernafasan serta pemeriksaan
hidung.5
Tanda-tanda Vital
- Keadaan umum: sakit sedang
- Kesadaran: compos mentis
- Tekanan darah: 160/ 110 mmHg
- Tekanan nadi: -
- Respiratory Rate: -
- Suhu tubuh: -
- Turgor kulit: -
Pemeriksaan hidung
Alat-alat yang diperlukan untuk pemeriksaan adalah lampu kepala, spekulum hidung
dan alat penghisap (bila ada) dan pinset bayonet, kapas, kain kasa. Untuk pemeriksaan yang
adekuat pasien harus ditempatkan dalam posisi dan ketinggian yang memudahkan pemeriksa
bekerja. Harus cukup sesuai untuk mengobservasi atau mengeksplorasi sisi dalam hidung.
Dengan spekulum hidung dibuka dan dengan alat pengisap dibersihkan semua kotoran dalam
hidung baik cairan, sekret maupun darah yang sudah membeku; sesudah dibersihkan semua
lapangan dalam hidung diobservasi untuk mencari tempat dan faktor-faktor penyebab
perdarahan. Setelah hidung dibersihkan, dimasukkan kapas yang dibasahi dengan larutan
anestesi lokal yaitu larutan pantokain 2% atau larutan lidokain 2% yang ditetesi larutan

3
adrenalin 1/1000 ke dalam hidung untuk menghilangkan rasa sakit dan membuat
vasokontriksi pembuluh darah sehingga perdarahan dapat berhenti. Sesudah 10 sampai 15
menit kapas dalam hidung dikeluarkan dan dilakukan evaluasi.1
Pasien yang mengalami perdarahan berulang atau sekret berdarah dari hidung yang
bersifat kronik memerlukan fokus diagnostik yang berbeda dengan pasien dengan perdarahan
hidung yang prioritas utamanya adalah menghentikan perdarahan.4
Pemeriksaan yang diperlukan berupa :
 Inspeksi : Bentuk luar diperhatikan apakah ada deviasi atau depresi tulang hidung.
Adakah pembengkakan di daerah hidung dan sinus paranasal.

 Palpasi : krepitasi tulang hidung pada fraktur os nasal atau rasa nyeri tekan pada
peradangan hidung atau sinus paranasal.

Rinoskopi anterior: Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara teratur dari anterior ke
posterior. Vestibulum, mukosa hidung dan septum nasi, dinding lateral hidung dan concha
inferior harus diperiksa dengan cermat.3

Gambar 1. Rhinoskopi Anterior3


Rinoskopi posterior: Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada
pasien dengan epistaksis berulang dan sekret hidung kronik untuk menyingkirkan neoplasma.
Serta amati nasi bagian belakang, ujung belakang konka inferior, medius, superior, adenoid
(pada anak), ada tidak sekret yang mengalir melalui meatus. Perhatikan pula struktur lateral
rongga nasofaring: ostium, tuba, torus tubarius, fossa Rossenmulleri.3
Pemeriksaan Tenggorok : pada kasus ini didapatkan tampak post nasal bleeding
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan adalah; pemeriksaan darah lengkap, profil
hemostasis (Masa pembekuan, masa perdarahan, TT, PT, APTT).
 Masa pembekuan (CT) menguji faktor pembekuan dan trombosit. Dengan nilai
rujukan 9-15 menit, apabila <9 menit tidak mempunyai arti

4
 Masa perdarahan (BT) menguji faktor ekstravaskular, vaskular dan trombosit
dengan cara ivy normal jika 1-6 menit.
 Waktu protrobin (PT) mengukur faktor VII, X, V, protrombin dan fibrinogen.
Nilai normal 10-14 detik Nilai PT sering diekspresikan sebagai INR
(international normalized ratio)
 aPTT mengukur faktor VII, IX, XI dan XII, selain faktor V, X, protrombin dan
fibrinogen. Nilai normal aPTTantara 30-40 detik.
 Perpanjangan dari PT dan aPTT Yang disebabkan karena difesiensi faktor
koagulasi dapat dikoreksi dengan penambahan plasma normal kedalam plasma
yang diperiksa. Apablia tidak dapat dikoreksi atau hanya sebagian terkoreksi
dicurgai kemungkinan adanya inhibitor koagulan.3
 Waktu thrombin (thrombin time, TT) cukup sensitive untuk menilai defisiensi
fibrinogen atau adanya hambatan terhadap thrombin. Nilai normal antara 14-16
detik.5

Gambar 2. Interprestasi profil hemostasis5

Pemeriksaan Radiologi
CT-Scan atau MRI penting mengenali neoplasma atau benda asing yang sulit terlihat
pada saat pemeriksaan fisik. Endoskopi hidung untuk melihat atau menyingkirkan
kemungkinan penyakit lainnya.1

5
Gambar 3. Endoskopi Epistaksis Anterior1

Gambar 4.Endoskopi Epistaksis Posterior1


Vaskularisasi Hidung
Hidung memiliki suplai vaskular yang banyak, dengan kontribusi terbesar dan
terpenting dari Arteri karotis interna dan eksterna.

Sistem arteri karotis eksterna memperdarahi hidung melalui Arteri fasialis dan
maksilaris interna. Arteri-arteri tersebut memperdarahi dasar dan bagian depan rongga hidung
dan septum anterior melalui cabang septum. Arteri fasialis bercabang menjadi Arteri labialis
superior (cabang terminal). Arteri maksilaris interna masuk melalui fosa pterigomaksilaris
dan bercabang menjadi 6 cabang yaitu Arteri alveolaris posterior superior, palatina desenden,
infraorbitalis, sfenopalatina, kanal pterigoid, dan faringeal. Arteri palatina desenden turun
melalui kanal palatina mayor dan memperdarahi dinding lateral hidung, lalu kembali ke
dalam rongga hidung melalui cabang di foramen insisivus untuk memperdari septum anterior.
Arteri sfenopalatina masuk ke dalam rongga hidung dekat dengan perlekatan posterior konka
media untuk memperdarahi dinding lateral hidung dan bercabang lagi untuk memperdarahi
septum.6

Arteri karotis interna berkontribusi terhadap vaskularitas hidung melalui Arteri


oftalmikus.Arteri ini memasuki tulang orbital melalui fisura orbital superior dan bercabang
menjadi beberapa cabang. Arteri etmoidalis posterior keluar orbit melalui foramen etmoidalis
posterior yang terletak 2-9mm di depan kanal optikus. Arteri etmoidalis anterior yang lebih
besar meninggalkan orbit melalui foramen etmoidalis anterior. Arteri etmoidalis anterior dan

6
posterior menyebrangi atap etmoid untuk masuk fossa kranialis anterior lalu turun ke dalam
rongga hidung melalui lempengan kribiformis, di sini mereka bercabang menjadi cabang
lateral dan septal untuk memperdarahi dinding lateral hidung dan septum.1

Pleksus Kiesselbach atau area Little adalah jaringan anastomosis dari pembuluh-
pembuluh darah yang terletak di septum kartilago anterior, pleksus ini menerima suplai darah
dari arteri karotis interna dan eksterna. Banyak arteri yang memperdarahi septum mempunyai
hubungan anastomosis di daerah ini yaitu Arteri etmoidalis anterior, labialis superior,
sfenopalatina, dan palatina mayor.3

Bagian atas rongga hidung

Bagian atas rongga


A. etmoidalis hidung
anterior
A. karotis Memper Dinding lateral
A. oftalmikus
interna darahi hidung
A. etmoidalis
posterior Septum anterior

Bagian bawah rongga hidung

A. palatina
desenden
A. maksilaris Bagian bawah rongga
interna hidung
A. Memper
A. karotis sfenopalatina darahi Dinding lateral
eksterna hidung
A. labialis
A. fasialis Septum anterior
superior

Gambar 5. Vaskularisasi Hidung7

7
Diagnosis
Differential Diagnosis
Epistaksis Posterior ec Hipertensi
Dapat berasal dari arteri etmoidalis posterior atau arteri sfenopalatina.Perdarahan
biasanya lebih hebat dan jarang dapat berhenti sendiri.Sering ditemukan pada pasien dengan
hipertensi, arteriosklerosis atau pasien dengan penyakit kardiovaskuler karena pecahnya arteri
sfenopalatina. Pada posisi duduk atau setengah tidur, darah mengalir ke arah
tenggorokan.1Perdarahan dari bagian posterior lebih sulit diatasi, sebab biasanya perdarahan
hebat dan sulit dicari sumbernya dengan pemeriksaan rinoskopi anterior.1

Epistaksis Anterior et causa trauma


Epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari lubang hidung, rongga hidung
atau nasofaring.Epistaksis bukan suatu penyakit,melainkan gejala dari suatu kelainan yang
hampir 90 % dapat berhenti sendiri.Perdarahan dari hidung dapat merupakan gejala yang
sangat mengganggu dan dapat mengancam nyawa.Dilihat dari asal pendarahanya, epistaksis
dibagi menjadi dua yaitu epistaksis anterior dan epistaksis posterior. Epistaksis anterior
biasanya berasal dari pleksus Kisselbach di septum bagian anterior atau dari arteri
ethmoidalis anterior. Pendarahan pada septum anterior biasanya ringan karena keadaan
mukosa yang hiperemis dan sering kali berulang dan dapat berhenti sendiri.1

Epistaksis juga biasa terjadi karena trauma ringan seperti mengorek hidung, benturan
ringan, bersin, atau mengeluarkan ingus terlalu keras, atau sebagai akibat trauma yang hebat
seperti kena pukul, jatuh, atau kecelakaan lalu lintas. Selain itu bisa juga terjadi akibat adanya
benda asing tajam atau trauma pembedahan. Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik,
didapatkan diduga pasien mengalami epistaksis anterior et causa trauma karena pasien
memiliki kebiasaan mengorek hidung dan pasien sering bersin. Diagnosa ini dibuat atas
keluhan dan pemeriksaan hidung yang telah dilakukan dan terdapat bekuan darah serta
perdarahan pada kavum nasi kanan.7

Epistkasis ec Tumor

Pendarahan pada rongga hidung dapat terjadi karena adanya tumor intranasal seperti
hemangioma, karsinoma, angiofibroma, dan lainnya. Gejala lain yang dapat timbul adalah
adanya rinorea, sakit kepala, benjolan/nyeri/baal pada daerah sekitar hidung, wajah, leher dan
lainnya, gangguan penglihatan, dan nyeri pada daerah sinus. Pemeriksaan yang bisa

8
dilakukan adalah melihat adanya benjolan pada daerah sekitar hidung, kepala, dan leher,
pembesaran kelenjar limfa, pemeriksaan radiologi kepala, leher, dan dada, nasoskopi, dan
biopsi jaringan.7

Epistaksis ec Kongenital (Von Willebrand Disease)


Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis ialah perdarahan
telangiektasis herediter.Telengiectasis hemorrhagic hereditary adalah suatu penyakit bawaan
atau keturunan dimana penderita mengalami gangguan dalam proses pembekuan darah,
karena pada penderita penyakit Von Willebrand, protein darah yang disebut dengan faktor
Von Willebrand tidak bekerja normal atau jumlanya terlalu sedikit. Penderita ini akan
diderita seumur hidup, dan hamper sebagian besar penderitanya sudah mendapatkan penyakit
ini sejak lahir, namun gejala yang ditimbulkan biasanya baru akan nampak setelah beberapa
tahun. Epistaksis yang tidak berhenti dalam waktu 10 menit, dan mudah memar jika
mengalami benturan, dan terjadi perdarahan berlebihan setelah prosedur pencabutan gigi.Jika
ada cedara jaringan, terjadi kerusakan pembuluh darah dan akan menyebabkan kebocoran
darah melalui lubang pada dinding pembuluh darah. Pembuluh dapat rusak dekat permukaan
seperti saat terpotong.Atau dapat rusak di bagian dalam tubuh sehingga terjadi memar atau
perdarahan dalam. Pengobatan untuk Von Willebrand dapat menggunakan obat golongan
antifibrinolitik yang berfungsi memperlambat proses penguraian bekuan darah seperti asam
traneksamat dan asam aminokaproat. Bagi penderita wanita, pil kontrasepsi dapat digunakan
untuk membantu untuk mengontrol perdarahan hebat saat menstruasi.Pemberian konsentrat
faktor-faktor pembeku darah yang terdiri dari faktor Willebrand dan VIII melalui infus.
Dapat dengan menggunakan desmopressin Hormon sintetis ini akan menstimulasi tubuh
untuk melepaskan lebih banyak faktor Von Willebrand yang tersimpan pada dinding
pembuluh darah.7

Etiologi
Perdarahan hidung diawali oleh pecahnya pembuluh darah di dalam selaput mukosa hidung.
Delapan puluh persen perdarahan berasal dari pembuluh darah Pleksus Kiesselbach (area
Little). Pleksus Kiesselbach terletak di septum nasi bagian anterior, di belakang
persambungan mukokutaneus tempat pembuluh darah yang kaya anastomosis. Epistaksis
dapat ditimbulkan oleh sebab-sebab lokal dan umum atau kelainan sistemik.7

9
Lokal
a. Trauma
Perdarahan dapat terjadi karena trauma ringan, misalnya mengorek hidung, benturan ringan,
bersin atau mengeluarkan ingus terlalu keras, atau sebagai akibat trauma yang lebih hebat
seperti kena pukul, jatuh atau kecelakaan lalu lintas. Trauma karena sering mengorek hidung
dapat menyebabkan ulserasi dan perdarahan di mukosa bagian septum anterior. Selain itu
epistaksis juga bisa terjadi akibat adanya benda asing tajam atau trauma pembedahan.
Epistaksis sering juga terjadi karena adanya spina septum yang tajam. Perdarahan dapat
terjadi di tempat spina itu sendiri atau pada mukosa konka yang berhadapan bila konka itu
sedang mengalami pembengkakan. Bagian anterior septum nasi, bila mengalami deviasi atau
perforasi, akan terpapar aliran udara pernafasan yang cenderung mengeringkan sekresi
hidung. Pembentukan krusta yang keras dan usaha melepaskan dengan jari menimbulkan
trauma digital. Pengeluaran krusta berulang menyebabkan erosi membrana mukosa septum
dan kemudian perdarahan. Benda asing yang berada di hidung dapat menyebabkan trauma
lokal, misalnya pada pipa nasogastrik dan pipa nasotrakea yang menyebakan trauma pada
mukosa hidung. Trauma hidung dan wajah sering menyebabkan epistaksis. Jika perdarahan
disebabkan karena laserasi minimal dari mukosa, biasanya perdarahan yang terjadi sedikit
tetapi trauma wajah yang berat dapat menyebabkan perdarahan yang banyak.7
b. Infeksi
Infeksi hidung dan sinus paranasal, rinitis, sinusitis serta granuloma spesifik, seperti lupus,
sifilis dan lepra dapat menyebabkan epistaksis. Infeksi akan menyebabkan inflamasi yang
akan merusak mukosa. Inflamasi akan menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh
darah setempat sehingga memudahkan terjadinya perdarahan di hidung.
c. Neoplasma
Epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma biasanya sedikit dan intermiten, kadang-
kadang ditandai dengan mukus yang bernoda darah, Hemangioma, angiofibroma dapat
menyebabkan epistaksis berat. Karena pada tumor terjadi pertumbuhan sel yang abnormal
dan pembentukan pembuluh darah yang baru (neovaskularisasi) yang bersifat rapuh sehingga
memudahkan terjadinya perdarahan.7
d. Kelainan kongenital
Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis ialah perdarahan telangiektasis
herediter (hereditary hemorrhagic telangiectasia / Osler's disease). Juga sering terjadi pada
Von Willendbrand disease. Telengiectasis hemorrhagic hereditary adalah kelainan bentuk
pembuluh darah dimana terjadi pelebaran kapiler yang bersifat rapuh sehingga memudahkan

10
terjadinya perdarahan. Jika ada cedara jaringan, terjadi kerusakan pembuluh darah dan akan
menyebabkan kebocoran darah melalui lubang pada dinding pembuluh darah. Pembuluh
dapat rusak dekat permukaan seperti saat terpotong. Atau dapat rusak di bagian dalam tubuh
sehingga terjadi memar atau perdarahan dalam.7
e. Pengaruh lingkungan
Misalnya tinggal di daerah yang sangat tinggi, tekanan udara rendah atau lingkungan
udaranya sangat kering. Kelembaban udara yang rendah dapat menyebabkan iritasi mukosa.
Epistaksis sering terjadi pada udara yang kering dan saat musim dingin yang
disebabkan oleh dehumidifikasi mukosa nasal,selain itu bisa di sebabkan oleh zat-zat
kimia yang bersifat
korosif yang dapat menyebabkan kekeringan mukosa sehingga pembuluh darah
gampang

Sistemik
a. Kelainan darah
Beberapa kelainan darah yang dapat menyebabkan epistaksis adalah trombositopenia,
hemofilia dan leukemia. Trombosit adalah fragmen sitoplasma megakariosit yang tidak
berinti dan dibentuk di sumsum tulang. Trombosit berfungsi untuk pembekuan darah bila
terjadi trauma. Trombosit pada pembuluh darah yang rusak akan melepaskan serotonin dan
tromboksan A (prostaglandin), hal ini menyebabkan otot polos dinding pembuluh darah
berkonstriksi. Pada awalnya akan mengurangi darah yang hilang. Kemudian trombosit
membengkak, menjadi lengket, dan menempel pada serabut kolagen dinding pembuluh darah
yang rusak dan membentuk plug trombosit. Trombosit juga akan melepas ADP untuk
mengaktivasi trombosit lain, sehingga mengakibatkan agregasi trombosit untuk memperkuat
plug. Trombositopenia adalah keadaan dimana jumlah trombosit kurang dari 150.000/ µl.
Trombositopenia akan memperlama waktu koagulasi dan memperbesar resiko terjadinya
perdarahan dalam pembuluh darah kecil di seluruh tubuh sehingga dapat terjadi epistaksis
pada keadaan trombositopenia. Hemofilia adalah penyakit gangguan koagulasi herediter yang
diturunkan secara X-linked resesif. Gangguan terjadi pada jalur intrinsik mekanisme
hemostasis herediter, dimana terjadi defisiensi atau defek dari faktor pembekuan VIII
(hemofilia A) atau IX (hemofilia B). Darah pada penderita hemofilia tidak dapat membeku
dengan sendirinya secara normal. Proses pembekuan darah berjalan amat lambat. Hal ini
dapat menyebabkan terjadinya epistaksis. Leukemia adalah jenis penyakit kanker yang
menyerang sel-sel darah putih yang diproduksi oleh sumsum tulang (bone marrow). Sumsum

11
tulang dalam tubuh manusia memproduksi tiga tipe sel darah, diantaranya sel darah putih
(berfungsi sebagai daya tahan tubuh melawan infeksi), sel darah merah (berfungsi membawa
oksigen kedalam tubuh) dan trombosit (bagian kecil sel darah yang membantu proses
pembekuan darah). Pada Leukemia terjadi peningkatan pembentukan sel leukosit sehingga
menyebabkan penekanan atau gangguan pembentukan sel-sel darah yang lain di sumsum
tulang termasuk trombosit, sehingga terjadi keadaan trombositpenia yang menyebabkan
perdarahan mudah terjadi. Obat-obatan seperti terapi antikoagulan, aspirin dan fenilbutazon
dapat pula mempredisposisi epistaksis berulang. Aspirin mempunyai efek antiplatelet yaitu
dengan menginhibisi produksi tromboksan, yang pada keadaan normal akan mengikat
molekul-molekul trombosit untuk membuat suatu sumbatan pada dinding pembuluh darah
yang rusak. Aspirin dapat menyebabkan peoses pembekuan darah menjadi lebih lama
sehingga dapat terjadi perdarahan. Oleh karena itu, aspirin dapat menyebabkan epistaksis.7,8
b. Penyakit kardiovaskuler
Hipertensi dan kelainan pembuluh darah, seperti pada aterosklerosis, sirosis hepatis, diabetes
melitus dapat menyebabkan epistaksis. Epistaksis akibat hipertensi biasanya hebat, sering
kambuh dan prognosisnya tidak baik.
 Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHG
dan tekanan darah diastolic lebih dari 90 mmhg. Epistaksis sering terjadi pada
tekanan darah tinggi karena kerapuhan pembuluh darah yang di sebabkan oleh
penyakit hipertensi yang kronis terjadilah kontraksi pembuluh darah terus
menerus yang mengakibatkan mudah pecahnya pembuluh darah yang tipis.
 Arteriosklerosis Pada arteriosklerosis terjadi kekakuan pembuluh darah. Jika
terjadi keadaan tekanan darah meningkat, pembuluh darah tidak bisa
mengompensasi dengan vasodilatasi, menyebabkan rupture dari pembuluh
darah.7,8
C. Infeksi akut (Demam berdarah)
Sebagai tanggapan terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigenantibodi selain
mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivitasi
sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah. Kedua faktor tersebut akan
menyebabkan perdarahan pada DBD. Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat dari
perlekatan kompleks antigen-antibodi pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran
ADP (adenosin diphosphat), sehingga trombosit melekat satu sama lain. Hal ini akan
menyebabkan trombosit dihancurkan oleh RES (reticuloendothelial system) sehingga terjadi

12
trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran platelet faktor III
mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif (KID = koagulasi intravaskular
deseminata), ditandai dengan peningkatan FDP (fibrinogen degredation product) sehingga
terjadi penurunan faktor pembekuan. Oleh karena itu epistaksis sering terjadi pada kasus
demam berdarah.7

d. Gangguan hormonal
Pada saat hamil terjadi peningkatan estrogen dan progestron yang tinggi di pembuluh darah
yang menuju ke semua membran mukosa di tubuh termasuk di hidung yang
menyebabkan mukosa bengkak dan rapuh dan akhirnya terjadinya epistaksis.7

Epidemiologi
Frekuensi epistaksis sulit untuk ditentukan karena sebagian besar kejadian dapat
ditangani sendiri, dan oleh karena itu, tidak dilaporkan.Namun, dari beberapa sumber
terakhir, kejadian seumur hidup dari epistaksis pada populasi umum adalah sekitar 60%,
dengan lebih sedikit dari 10% mencari pertolongan medis.Dan sekitar 90% dari total kejadian
epistaksis ialah epistaksis tipe anterior dan 10% sisanya merupakan epistaksis posterior.2
Distribusi usia bervariasi, dengan puncak pada anak-anak (2-10 tahun) dan orang
yang lebih tua (50-80 tahun). Epistaksis tidak terjadi pada bayi yang tidak terdapat
koagulopati atau patologi hidung (misalnya, atresia choanal, neoplasma).Trauma lokal tidak
terjadi sampai kemudian di tahun-tahun balita.Anak-anak dan remaja juga memiliki insiden
lebih jarang.Pertimbangkan penyalahgunaan kokain pada pasien remaja. Prevalensi epistaksis
cenderung lebih tinggi pada laki-laki (58%) daripada perempuan (42%).7

Patofisiologis
Patofisiologi Menentukan sumber perdarahan amat penting, meskipun kadang-kadang
sukar ditanggulangi.Pada umumnya terdapat dua sumber perdarahan, yaitu dari bagian
anterior dan posterior.
1. Epistaksis anterior dapat berasal dari Pleksus Kiesselbach/ Little’s area, merupakan
sumber perdarahan paling sering dijumpai pada anak-anak.Sebagian besar epistaksis (95%)
terjadi di “little area”.Bagian septum nasi anterior inferior merupakan area yang berhubungan
langsung dengan udara, hal ini menyebabkan mudah terbentuknya krusta, fisura dan retak
karena trauma pada pembuluh darah tersebut.Walaupun hanya sebuah aktifitas normal
dilakukan seperti menggosok-gosok hidung dengan keras, tetapi hal ini dapat menyebabkan

13
terjadinya trauma ringan pada pembuluh darah sehingga terjadi ruptur dan perdarahan.Hal ini
terutama terjadi pada membran mukosa yang sudah terlebih dahulu mengalami inflamasi
akibat dari infeksi saluran pernafasan atas, alergi atau sinusitis.Dapat juga berasal dari arteri
ethmoid anterior. Perdarahan dapat berhenti sendiri (spontan) dan dapat dikendalikan dengan
tindakan sederhana.10

Gambar 6.Epistaksis anterior10

2. Epistaksis posterior, berasal dari arteri sphenopalatina dan arteri ethmoid posterior.
Perdarahan cenderung lebih berat dan jarang berhenti sendiri, sehingga dapat
menyebabkan anemia, hipovolemi dan syok. Sering ditemukan pada pasien dengan
penyakit kardiovaskular.8

Gambar 7. Epistaksis posterior8

Manifestasi Klinis
Epistaksis biasanya unilateral akan tetapi dapat juga bilateral, biasanya bila
perdarahan cukup banyak maka darah akan keluar juga dari sisi sebelahnya dan akan terlihat

14
bilateral. Bila perdarahan cukup masif maka pasien akan terlihat gelisah bila begitu hebat
mungkin dapat menimbulkan risiko pada jalan napas, biasanya disebabkan oleh epistaksis
posterior, pada umumnya kelainan ini muncul sebagai akibat terdapatnya perdarahan dari
cabang arteri sphenopalatina. Epistaksis posterior biasanyasering ditemukan pada pasien yang
berusia lanjut denganriwayat komorbid yang jelas. Epistaksis pada pasien tertentu
membutuhkan pertimbangan khusus, termasuk didalamnya adalah mereka yang memiliki
riwayat hemoragik telangiektasia, neoplasma, dan pasien pascaoperasi hidung atau pasca
trauma hidung atau muka.1,11

Penatalaksanaan
Terapi ditujukan untuk memperbaiki keadaan umum, mencari dan menghentikan
sumber perdarahan.Serta mencegah berulangnya mimisan.Survei primer (jalan napas dan
tanda vital seperti tekanan darah, denyut nadi) harus menjadi perhatian pertama dan ditangani
terlebih dahulu.Posisi pasien adalah duduk, namun jika keadaan lemah sebaiknya setengah
duduk atau berbaring dengan kepala ditinggikan.Biarkan darah keluar dari hidung agar dapat
dimonitor. Bila pasien anak, posisi adalah duduk dipangku, kepala dipegangi, sementara
badan dan tangan dipeluk.1

Non-Medikamentosa
Epistaksisi anterior
 Posisikan pasien duduk tegak condong ke depan, posisi kepala terangkat, tetapi tidak
hiperektensi untuk mencegah aspirasi. Lakukan penekanan langsung dengan jari pada
kedua cuping hidung kea rah septum (lokasi pleksus Kiesselbach) selama 10-15 menit.
Biasanya perdarahan akan segera berhenti, terutama pada anak-anak. Edukasi pasien
untuk tetap bernapas melalui mulut.1
 Bila perdarahan berhenti, dengan spekuulum hidung, kavum nasi dibuka, kemudian
dibersihkan semua bekuan darah, sekret dan kotoran dibersihkan dengan alatpenghisap
(suction).
 Bila sumber perdarahan dapat dilihat dengan jelas dilakukan kaustik dengan lidi kapas
yang dibasahi dengan Nitras Argentil (AgNO3) 20-30% atau elektrokauter. Sesudah itu
area akustik diberi salep antibiotik.9
 Bila perdarahan masih berlangsung, pasang tampon adrenalin. Tampon adrenalin dibuat
dengan kassa steril yang diteteskan dengan epinefrin 0,5% 1:1000 ditambahkan

15
pantokain atau lidokain 2%. Masukan tampon ke dalam kavum nasi sebanyak 1-2 buah,
biarkan selama 10-15 menit. Evaluasi kembali, apakah perdarahan masih berlangsung.
Umumnya, perdarahan berhenti setelah 10-15 menit pemasangan tampon.1
 Jika dengan kauterisasi perdarahan tidak berhenti, atau pemberian tampon adrenalin,
pasang tampon anterior sebanyak 2-4 buah dengan pelumas vaselin atau salep antibiotik
selama 2x24 jam sembari melakukan pemeriksaan penunjang untuk mencari penyebab
epistaksis. Setelah 2 hari, tampon dikeluarkan untuk mencegah infeksi tampon. Bila
perdarahan belum berhenti, pasang tampon baru.12

Gambar 8. Tampon Anterior12

Langkah awal penanganan epistaksis yang disebutkan dalam Robert etal tahun 2013 yaitu
sebagai berikut:13

16
Gambar 9. Penanganan Tampon anterior13

Langkah keuterisasi dalam penanganan epistaksis yang disebutkan dalam Robert et


al tahun 2013 yaitu sebagai berikut:13

Gambar 10. Penanganan Kauterisasi13


Tampon Postrerior
Perdarahan posterior diatasi dengan pemasangan tampon posterior atau tampon Bellocq,
dibuat dari kasa dengan ukuran lebih kurang 3x2x2 cm dan mempunyai 3 buah benang, 2
buah pada satu sisi dan sebuah lagi pada sisi yang lainnya. Tampon harus menutup koana
(nares posterior). Tampon Bellocq Teknik Pemasangan Untuk memasang tampon Bellocq,

17
dimasukkan kateter karet melalui nares anterior sampai tampak di orofaring dan kemudian
ditarik ke luar melalui mulut.
Ujung kateter kemudian diikat pada dua buah benang yang terdapat pada satu sisi tampon
Bellocq dan kemudian kateter ditarik keluar hidung. Benang yang telah keluar melalui hidung
kemudian ditarik, sedang jari telunjuk tangan yang lain membantu mendorong tampon ini ke
arah nasofaring. Jika masih terjadi perdarahan dapat dibantu dengan pemasangan tampon
anterior, kemudian diikat pada sebuah kain kasa yang diletakkan di tempat lubang hidung
sehingga tampon posterior terfiksasi.13

Gambar 11. Pemasangan tampon posterior

Gambar 12. Tampon posterior dengan menggunakan Folly Catheter


Pencegahan
Mencegah pendarahan berulang.Setelah perdarahan, untuk sementara dapat diatasi
dengan pemasangan tampon, selanjutnya perlu dicari penyebabnya.Perlu dilakukan
pemeriksaan laboratorium darah lengkap, pemeriksaan fungsi hepar dan ginjal, gula darah,
hemostasis.Pemeriksaan foto polos atau CT scan sinus bila dicurigai ada sinusitis.Konsul ke
Penyakit Dalam atau Kesehatan Anak bila dicurigai ada kelainan sistemik.

18
Langkah-langkah sederhana tersebut meliputi:

 Berhati-hatilah saat mengorek hidung. Jangan terlalu dalam.

 Jangan membuang ingus terlalu kencang.

 Berhenti merokok. Rokok dapat mengurangi kelembapan hidung dan meningkatkan risiko
iritasi hidung.

 Diskusikan dengan dokter jika Anda pernah mimisan dan harus menggunakan obat
antikoagulan.1

Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi sebagai akibat dari epistaksisnya sendiri atau sebagai akibat
dari usaha penanggulangan epistaksis.Akibat perdarahan yang hebat dapat terjadi aspirasi
darah ke dalam saluran napas bawah, juga dapat menyebabkan syok, anemia dan gagal
ginjal.Turunnya tekanan darah secara mendadak dapat menimbulkan hipotensi, hipoksia,
iskemia serebri, insufisiensi koroner sampai infark miokard sehingga dapat menyebabkan
kematian. Dalam hal ini pemberian infus atau tranfusi darah harus dilakukan secepatnya.7
Akibat pembuluh darah yang terbuka dapat terjadi infeksi, sehingga perlu diberikan
antibiotik.Pemasangan tampon dapat menyebabkan rino-sinusitis, otitis media, septikemia
atau toxic shock syndrome.Oleh karena itu, harus selalu diberikan antibiotik pada setiap
pemasangan tampon hidung, dan setelah 2-3 hari tampon harus dicabut. Bila perdarahan
masih berlanjut dipasang tampon baru.Selain itu dapat terjadi hemotimpanum sebagai akibat
mengalirnya darah melalui tuba Eustachius, dan airmata berdarah (bloody tears), akibat
mengalirnya darah secara retrograd melalui duktus nasolakrimalis.12

Prognosis
Sembilan puluh persen kasus epistaksis anterior dapat berhenti sendiri. Pada pasien
hipertensi dengan/tanpa arteriosklerosis, biasanya perdarahan hebat, sering kambuh dan
prognosisnya buruk.1

Kesimpulan
Epistaksis sebenarnya merupakan suatu gejala bukan suatu penyakit.Penyebab
epistaksis banyak, namun yang paling sering adalah manipulasi jari atau trauma.Pada
epistaksis perlu dibedakan apakah pendarahan anterior atau posterior.Cara membedakannya

19
adalah dengan meminta pasien untuk duduk tegak, dan kemudian melihat aliran darah apakah
melalui hidung (anterior) atau tenggorokan (posterior).Maka berdasarkan keluhan utama,
pemeriksaan fisik dapat diduga bahwa pasien menderita epistaksis posterior et causa
hipertensi. Penanganannya harus dilakukan sesegera mungkin. Apabila semakin cepat dan
tepat penanganannya, maka akan semakin baik prognosisnya.
Daftar Pustaka
1. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku ajar ilmu kesehatan
telinga hidung tenggorok kepala dan leher. Edisi ke-5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;
2016. h. 2-4, 96-8, 131-135
2. Nash CM, Simon, F. Epidemiology of Epistaxis in a Canadian Emergency. Israeli
Jurnal of Emergency Medicine. 2008; 8(1):23-4.
3. Adams GL, Boies LR, Higler PH. Boies: buku ajar penyakit THT. Edisi ke-6. Jakarta:
EGC; 2013. h. 223-6.
4. Bickley LS, Szilagyi PG. Buku ajar pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan bates.
Edisi ke-8. Jakarta: EGC; 2009.h.1-9, 142-3, 162-3.n
5. Bain B J. Hematologi kurikulum inti. Jakarta: EGC;2014:h.203-7.
6. Nagel P, Gurkov R. Dasar-dasar ilmu THT. Jakarta: EGC; 2012. h. 34-7, 50-1.
7. Schlosser RJ. Epistaxis. New England Journal Of Medicine. Diunduh dari:
http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMcp0807078, 23 maret 2018
8. Nguyen QA. Epitaxis.Diunduh dari: https://emedicine.medscape.com/article/863220-
overview#a4, 23 maret 2018
9. Pope LER, Hobbs CGL. Epistaxis: An Update on Current Management. Postgrad
Med J 2005; 81: 309-14
10. Gifford TO, Orlandi RR. Epistaxis. Otolaryngol Clin North Am. 2008; 41(3):525-36.
11. Douglas R, Wormald PJ. Update on epitaxis. Curr Opin Otolaryngol Head Neck Surg.
2007; 15(3):180-3.
12. Gilyoma, Japhet M dan Phillipo L Chalya. Etiological profile and treatment outcome
of epistaxis at a tertiary care hospital in Northwestern Tanzania: a prospective review
of 104 cases. Tanzania: BMC Ear, Nose and Throat. 2011;21(2):1-6.
13. Roberts J. James R H. Clinical Procedure in Emergency Medicine. Philadelphia:
Elsevier. 2014.h.728-30.

20

Anda mungkin juga menyukai