Anda di halaman 1dari 7

Masalah Kependudukan : Pencegahan Perkawinan Dini

Filed under: Berita Desa, Hukum, Kependudukan — Leave a comment

July 24, 2013

Bertepatan dengan Hari Kependudukan Dunia pada 11 Juli 2013, United Nations Fund for Population Activities
(UNFPA) mengumumkan fokus hari kependudukan dunia adalah kehamilan remaja. Kehamilan di usia remaja dapat
membahayakan kesehatan karena tingginya resiko komplikasi kehamilan, cacat, bahkan kematian. Tidak hanya
permasalahan kesehatan, kehamilan remaja juga menjadi isu Hak Asasi Manusia. Kehamilan remaja sering berarti akhir
yang mendadak dari masa kecil, pembatasan pendidikan, dan hilangnya kesempatan.
Kehamilan remaja dapat disebabkan karena pernikahan di usia dini ataupun perilaku seksual dan kehamilan tidak
dikehendaki. Berdasar data hasil survei BKKBN tahun 2012, angka perempuan menikah usia 10-14 di Indonesia sebesar
4,2 persen. Sementara perempuan menikah usia 15-19 tahun sebesar 41,8 persen. Sehingga total anak perempuan menikah
dibawah 20 tahun ada 45 persen. Sangat tinggi.
Plan Indonesia, organisasi kemanusiaan yang fokus pada perlindungan dan pemberdayaan anak, menyampaikan
hasil temuannya mengenai pernikahan dini. Plan mencatat, 33,5 persen anak usia 13-18 tahun pernah menikah, dan rata-
rata mereka menikah pada usia 15-16 tahun. Pada tahun 2008 Bappenas mengungkapkan bahwa 34,5 persen dari
2.049.000 perkawinan tahun 2008 adalah perkawinan anak. Studi ini menunjukkan lima faktor yang memengaruhi
perkawinan anak, yaitu perilaku seksual dan kehamilan tidak dikehendaki, tradisi atau budaya, rendahnya pengetahuan
kesehatan reproduksi dan tingkat pendidikan orangtua, faktor sosio-ekonomi dan geografis, serta lemahnya penegakan
hukum.
Apabila diruntut lebih jauh, ada upaya yang dapat dilakukan untuk menekan angka kehamilan remaja. Yaitu dengan
melakukan pencegahan perkawinan usia dini.
Dasar hukum :
Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tentang batas usia melangsungkan perkawinan
Pasal 29 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang Perkawinan tentang batas usia melangsungkan perkawinan
Mengapa Perkawinan Dini Harus Dicegah?
Pernikahan dini nyatanya membawa dampak buruk bagi anak perempuan:
1. Rentan KDRT
Secara psikologi pernikahan dini berpengaruh pada kondisi mental yang masih labil serta belum adanya kedewasaan dari
si anak. Dikhawatirkan, keputusan yang diambil untuk menikah adalah keputusan remaja yang jiwa dan kondisi
psikologisnya belum stabil. Jadi keputusannya bukan orang dewasa yang belum menyadari bahwa menikah adalah suatu
keputusan besar dimana akan menimbulkan hak dan kewajiban dalam perkawinan yang dijalaninya.
Dari sisi ekonomi, perkawinan yang dilakukan di bawah umur sering kali belum mapan dalam memenuhi kebutuhan
tersebut. Sehingga ini pun dikhawatirkan akan menjadi penyebab timbulnya kekerasan dalam rumah tangga.
Menurut temuan Plan Indonesia, sebanyak 44 persen anak perempuan yang menikah dini mengalami Kekerasan Dalam
Rumah Tangga (KDRT) dengan tingkat frekuensi tinggi. Sisanya, 56 persen anak perempuan mengalami KDRT dalam
frekuensi rendah.
2. Risiko Kesehatan
Banyaknya kasus kesehatan terhadap remaja yang terpaksa melakukan pernikahan usia muda terutama wanita adalah,
anemia,komplikasi serta mengakibatkan kematian ibu saat melahirkan juga terjadi perdarahan saat persalinan. Selain itu,
wanita yang hamil pada usia muda berpotensi besar untuk melahiran anak dengan berat lahir rendah, kurang gizi dan
anemia.
Salah satu dampak pernikahan dini adalah rawan melahirkan anak kerdil atau anak stunting. Dalam masa pertumbuhan,
anak kerdil ini bakal tampak terlambat ketimbang anak normal. Bisa terlihat dari tinggi badan, berat badan, hingga ukuran
tubuh. Paling bahaya adalah volume otak anak kerdil bakal lebih kecil ketimbang anak normal. Itu bisa berdampak pada
rendahnya kualitas intelegensia anak. Selain itu, anak kerdil rawan menderita penyakit. Bahkan penyakit yang beresiko
tinggi, seperti jantung dan diabetes.
3. Risiko Kematian
Selain tingginya angka KDRT, perkawinan dini berdampak pada kesehatan reproduksi anak perempuan. Secara medis
menikah di usia tersebut dapat mengubah sel normal (sel yang biasa tumbuh pada anak-anak) menjadi sel ganas yang
akhirnya dapat menyebabkan infeksi kandungan dan kanker. Sedangkan untuk kebidanan, hamil di bawah usia 19 tahun
tentunya sangat beresiko pada kematian. Terlebih secara fisik remaja belum kuat yang pada akhirnya bisa membahayakan
proses persalinan. Anak perempuan berusia 10-14 tahun memiliki kemungkinan meninggal lima kali lebih besar, selama
kehamilan atau melahirkan, dibandingkan dengan perempuan berusia 20-25 tahun. Sementara itu, anak yang menikah pada
usia 15-19 tahun memiliki kemungkinan dua kali lebih besar.
4. Terputusnya Akses Pendidikan
Di bidang pendidikan, perkawinan dini mengakibatkan si anak tidak mampu mencapai pendidikan yang lebih tinggi.
Hanya 5,6 persen anak kawin dini yang masih melanjutkan sekolah setelah kawin.
Menyikapi Fenomena Perkawinan Dini : Sosialisasi Pencegahan Perkawinan Dini
Untuk mencegah semakin bertambahnya perkawinan dini, BKKBN akan terus memperluas sosialisasi bahaya
pernikahan dini. Termasuk meminta peran media untuk menyebarluaskan informasi ini. Pemberdayaan anak perempuan
bisa mencegah terjadinya pernikahan di bawah umur.
Plan Indonesia menambahkan, program pemberdayaan ini memberikan hasil optimal dengan juga melibatkan ayah,
saudara laki-laki, dan suami. Tak hanya perempuan, laki-laki juga perlu dilibatkan dalam menciptakan kesetaraan jender.
Program pemberdayaan tersebut meliputi ekonomi keluarga, advokasi, pendidikan dan penelitian tentang pernikahan dini,
serta kampanye pemberdayaan dan partisipasi anak perempuan.

Tags: Hukum, Kependudukan


Comment
Pentingnya Rancangan Undang-Undang Desa Sebagai
Solusi Permasalahan Desa
Filed under: Berita Desa, Hukum, Pemerintahan Desa — Leave a comment

Desa adalah pembagian wilayah administratif di Indonesia di


bawah kecamatan, yang dipimpin oleh Kepala Desa. Desa merupakan pemerintahan terkecil yang keberadaannya tidak
diakui dengan jelas dalam undang-undang ataupun peraturan pemerintah. Desa masih dianggap tidak mampu juga tidak
layak mendapat dan mengelola anggaran.
Kembali ke masa penjajahan dahulu, desa ditempatkan sebagai pemerintahan yang paling bawah, dimana desa
diwajibkan menyetorkan upeti untuk pemerintah Hindia Belanda saat itu, dan untuk keberlangsungan pemerintah juga
pembangunan, maka dilegalisasi pemungutan dari wargadesanya. Tak banyak perubahan saat ini, desa itu bagian dari
pemerintahan atau sebagai suatu komunitas. Disebut bagian pemerintahan tapi tak diberikan kewenangan pemasukan dan
pengelolaan anggaran yang layak, baik itu untuk pembangunan atau sekedar kesejahteraan para pegawainya. Kalau desa
dianggap sebagai komunitas dan tidak termasuk dalam pemerintah, kenyataannya banyak pekerjaan urusan pemerintah
yang di lakukan di tingkat desa. Bahkan standar pelayanan minimal di desa, jauh lebih baik dari pada pemerintah
diatasnya.
Mengingat pentingnya desa sebagai bagian daripada bagian dari suatu susunan pemerintahan yang berada di
tingkat paling bawah, maka pentingnya regulasi peraturan sebagai perlindungan hukum bagi desa yang didalamnya terdiri
dari masyrakat desa, perangkat desa, dan perekonomian desa. Mungkin sampai saat ini Undang-Undang tentang desa
belum ada dan sampai saat ini masih menjadi perbincangan hangant di kaum DPR. Kelahiran Undang-undang tentang
Desa sudah cukup lama dinantikan, baik oleh pemerintah desa maupun oleh warga desa itu sendiri. Realita dan harapan
pentingnya Undang-Undang tentang desa sebagai solusi atas persoalan pembangunan desa, terutama untuk mengentaskan
kemiskinan warga desa.
Dasar penyusunan dari Rancangan Undang-Undang desa itu sendiri adalah melaksanakan ketentuan UUD NRI tahun 1945
yang menegaskan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan Republik
Indonesia, yang diatur dalam undnag-undang. Pemerintah pusat berkewajiban menata kembali pengaturan mengenai desa
sehingga keberadaannya mampu mewadahi dan menyelesaikan berbagai kemasyarakatn dan pemerintah sesuai dengan
perkembangan dan dapat menguatkan identitas lokal yang berbasis pada nilai-nilai sosial budaya masyarakat setempat
dengan semangat moderniasasi, globalisasi dan demokratisasi yang terus berkembang. Melihat pertimbangan yang
diuraikan di atas maka perlunya pemerintah membentuk Undang-undang tentang desa.
Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang desa sudai mulai berjalan dan selesai dan diharapkan bisa
secepatnya diselesaikan. Semua Desa menginginkan segera disahkannya Undang-Undang Desa, terutama dalam
pengalokasian dan wewenang pengelolaan dana 10 prosen, langsung dari APBN. Selain itu tuntutan masa jabatan kepala
desa dalam satu periode menjadi 8 tahun dari 6 tahun saat ini.
Sejatinya posisi desa sebagai unit terkecil dalam sistem pemerintahan belum mendapatkan perhatian yang
memadai terkait dengan kewenangan dalam pengelolaan sumber daya dalam rangka peningkatan kesejahteraan. Maju dan
berkembangnya desa sebetulnya pada masalah penyelenggaraan pemerintahan desa. Desa sebagai miniatur Indonesia
merupakan arena politik paling dekat bagi hubungan antara masyarakat dengan pemegang kekuasaan, ada hubungan
menarik dan unik antara masyarakat desa dengan perangkat desa, yang mempengaruhi penyelenggaraan tugas kenegaraan
di level desa. Hal ini juga berkaitan dengan stagnasi pendapatan perangkat desa meski sudah diatur dengan PP No.72 /
2005 ternyata belum bisa menjawab persoalan secara merata antara satu daerah yang kaya dengan dengan daerah yang
minim. Sehingga dapat dikatakan belum ada perhatian yang cukup setimpal terhadap kepala desa dan perangkat desa.
Penghargaan terhadap kepala desa dan perangkatnya selama ini masih diserahkan sebagian besar kepada desa
itu sendiri. Di samping APBD Pemerintah Kabupaten, namun sejauh mana bantuan itu mencukupi atau belum itu masih
sangat bergantung pada kemauan baik Pemerintah Daerah. Sedangkan pembagian penghasilan dari dana perimbangan,
bantuan, retribusi desa, ADD dan lain-lain untuk mendukung keuangan Desa tidak ada kepastian dan sangat bergantung
dari Pemerintah Daerah setempat. Oleh karena itu perlu ada kebijakan kongkret atau pengaturan secara nasional terkait
penguatan status Perangkat Desa, perlindungan keuangan Pemerintah Desa yang diakomodasi APBN sebesar 10 persen.
Dalam konteks demikian, upaya untuk merenungkan dan merumuskan kembali pola relasi Pemerintah Daerah
dengan Desa menjadi sangat penting, dalam rangka mengoptimalkan pelayanan kepada masyarakat. Undang-undang desa
diharapkan natinya dapat menyusun rencana pembangunan, anggaran dan rencana alokasi anggarannya sendiri. Hal
terpenting masyarakat tetap berkarakter gotong royong.

Tags: Hukum, KKN UNDIP


Comment

Pemetaan Permasalahan Hukum


Filed under: Berita Desa, Hukum — Leave a comment
July 23, 2013
Permasalahan Hukum Menjadi Polemik Desa
Kemajuan jaman, IPTEK, dan globalisasi menuntut masyarakat untuk sadar hukum.
pengetahuan dan kesadaran hukum sangat penting dan berguna dikalangan masyarakat. Tanpa
adanya pengetahuan dan kesadaran hukum, masyarakatakan sulit berkembang. Terlebih
pengetahuan dan kesadaran hukum sekarang ini tentu saja menjadi jantung dari masyarakat untuk
hidup bermasyarakat. Maka dari itu pengetahuan dan kesadaran hukum merupakan suatu kebutuhan
di era globalisasi.
Kurangnya pengetahuan dan kesadaran hukum, menjadi problem tersendiri bagi
masyarakat, terutama kalangan masyarakat desa.hal tersebut juga didorong dengan keengganan
masyarakat untuk mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan pengetahuan hukum.Pengetahuan
yang minim dari masyarakat membuat masyarakat desa cenderung enggan untuk mengurus
berbagai kebutuhan yang berhubungan dengan administrasi negara. Mereka beranggapan bahwa
perangkat desa adalah satu-satunya pihak yang harus mengerti tentang aturan hukum dan melayani
warganya dengan pengetahuan tersebut. Hal tersebut justru berimbas pada kinerja para perangkat
desa yang semakin berat mengingat masyarakat desa yang kurang paham akan hukum itu sendiri.
Dari beberapa permasalahan hukum yang terjadi didalam masyarakat Desa Mejing, terdapat
beberapa permasalahan yang menjadi pokok permasalahan utama dari sekian banyak permasalahan
hukum yang disebabkan oleh kurangnya kesadaran dan pengetahuan akan hukum.Kurangnya
pengetahuan warga Desa Mejing akan birokrasi,koordinasi, permasalahan administratif (akta
kelahiran, akta Hak kepemilikan tanah, pendaftaran merek, pembuatan KK, pembuatan SIM, e-KTP,
pengurusan pajak), perselisihan antarwarga (supporter bola), kriminalitas (pencurian), keengganan
akan partisipasi dalam pemilihan umum, minimnya kesadaran masyarakat untuk membayar pajak,
pendidikan yang rendah, menimbulkan berbagai permasalahan tersendiri. Hal tersebut tampaknya
menghambat perkembangan potensi Desa Mejing.
Pemetaan Permasalahan Hukum
Dengan hasil survey permasalahan hukum yang telah dilakukan di 9 dusun yaitu dusun
Mejing I,Mejing II,Mejing III,Mejing IV,Mejing Va,Mejing Vb,Mejing VI,Mejing VII,Mejing VIII,di sini TIM
KKN II UNDIP 2013 mencoba untuk membuat pemetaan permasalahan yang terjadi di desa Mejing,
yaitu sebagai berikut:
1. BIROKRASI
 BLSM:
Pembagian BLSM di Desa Mejing dirasa kurang tepat sasaran oleh sebagian kalangan kepala
dusun dan masyarakat dari masing-masing dusun di Desa Mejing. Hal tersebut tentu saja
menimbulkan pertentangan antara warga dengan perangkat desa dan juga menimbulkan
kecemburuan sosial antar warga itu sendiri. Apabila kita melihat dari sisi birokrasi sebenarnya
perangkat desa sudah sangat baik dan bertanggung jawab atas pelaksanaan dan pengiriman berkas
warga Desa Mejing ke pemerintahan diatasnya untuk kemudian dilakukan penetapan siapa saja yang
berhak untuk mendapatkan BLSM. Padahal apabila kita perhatikan, kesalahan sesungguhnya
dilakukan oleh pemerintah pusat selaku panitia penetapan masing-masing individu yang berhak
mendapatkan BLSM, sehingga dalam penentuan individu yang berhak tersebut perangkat desa tidak
memiliki kewenangan untuk menentukan melainkan hanya sebagai fasilitator penyalur BLSM.
 Kurangnya Pengetahuan Birokrasi Di
Pemerintahan: Kebanyakan kepala dusun dari
Desa Mejing mengeluhkan tentang kemanakah seharusnya mereka meminta bantuan dari
pemerintah selain perangkat desa dengan tujuan untuk meningkatkan potensi dari desa itu sendiri.
Kurangnya pengetahuan yang mereka miliki dan kurangnya sosialisasi dari pemerintah kabupaten
atau kota kepada warga dan perangkat desa membuat mereka sulit untuk mengembangkan potensi
desa.
2. Administratif
 Akta Kelahiran :
Masih banyaknya warga Desa Mejing yang masih menganggap remeh pentingnya akta kelahiran bagi
anak-anak mereka. Warga menganggap bahwa akta kelahiran hanya digunakan sebagai syarat untuk
menikah saja, sehingga banyak warga baru membuat akta kelahiran saat mereka hendak menikah.
Padahal keterlambatan membuat akta kelahiran tersebut sangat merugikan warga baik dari segi
kegunaan akta itu sendiri, biaya yang dikeluarkan, dan waktu yang digunakan untuk kepengurusan
akta yang terlambat dibuat.
 Akta Kepemilikan Tanah :
Masih banyak warga yang belum memiliki akta tanah yang menunjukan bahwa tanah yang ditinggali
tersebut merupakan milik pribadi. Hal tersebut didasari oleh rendahnya kesadaran masyarakat akan
pentingnya akta hak kepemilikan tanah tersebut dan mahalnya biaya pendaftaran akta hak
kepemilikan tanah tersebut.
 Pendaftaran Merk :
Masih rendahnya minat dan kesadaran para pengusaha usaha kecil menengah di desa untuk
mendaftarkan produknya menjadi produk yang ber-merk menjadi permasalahan tersendiri. Banyak
produk-produk yang mereka hasilkan tidak ber-merk sehingga membuat harga jual dari hasil
produksi mereka rendah. Dengan begitu mereka tidak dapat mengoptimalkan hasil produksinya
menjadi produk yang berkualitas dan ber-merk.
 Pembuatan SIM :
Kebanyakan warga Desa Mejing masih belum memilki SIM, baik yang berusia 17 tahun ke atas
maupun pengendara yang masih dalam kategori usia anak. Padahal kebanyakan dari mereka
mengendarai kendaraan bermotor, baik itu kendaraan roda empat maupun kendaraan
roda dua.Hal itu biasanya didasari oleh tingginya pembuatan biaya SIM,persyaratan yang cukup
rumit, dan lokasi pembuatan SIM yang cukup jauh dijangkau oleh sebagian masyarakat desa. Selain
itu mereka juga beranggapan bahwa tidak memiliki SIM sudah cukup asalkan dapat berkendara.
 E-KTP :
Walaupun program pembuatan E-KTP sudah lama berlangsung, akan tetapi masih banyak warga
Desa Mejing yang belum melakukan pembuatan E-KTP. Sebanyak 30 % dari warga Desa Mejing
belum melakukan pembuatan E-KTP dengan berbagai alasan. Kurangnya kesadaran akan pentingnya
E-KTP membuat warga enggan untuk melakukan pembuatan E-KTP. Padahal sebagaimana kita
ketahui pembuatan E-KTP merupakan program yang tidak dipungut biaya atau gratis dari
pemerintah pusat yang tentunya sangat bermafaat bagi semua rakyat Indonesia terutama
masyarakat desa guna pengurusan administrtif penduduk.
 Pengurusan Pajak (SPPT) :
Kurangnya pengetahuan warga desa akan kepengurusan pajak terutama pengisian SPPT didasari
kurangnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya membayar pajak. Kebanyakan warga
beranggapan bahwa mereka tidak mendapatkan apapun dari membayar pajak. Padahal pajak
memang tidak memberikan kontraprestasi (timbal balik) secara langsung kepada warga desa,
melainkan kontraprestasi tersebut biasanya melalui pembangunan infrastruktur desa. Dengan begitu
apabila warga desa mengeluh akan buruknya infrastruktur yang mereka miliki, hal tersebut biasanya
dikarenakan karena mereka tidak membayar pajak secara semestinya.
3. Kriminalitas(Pencurian)
Salah satu bentuk kriminalitas yang sering terjadi di Desa Mejing,berdasarkan informasi yang
diperoleh, adalah pencurian. Salah satunya adalah pencurian berbagai fasilitas balai desa seperti
pompa air, dana sukarela, maupun perangkat komputer. Selain itu maraknya pencurian pada rumah
kosong menambah catatan tindak kriminalitas di Desa Mejing. Salah satu faktor yang menyebabkan
hal tersebut adalah minimnya intensitas patroli pihak kepolisian dan jauhnya jarak Desa Mejing
dengan kantor polisi.
4. Minimnya Kesadaran Masyarakat Untuk Membayar Pajak
Tingkat kesadaran warga berbanding lurus dengan kuantitas dan kualitas informasi yang diterima.
Ketika informasi yang diterima warga desa terbatas maka demikian pula dengan kesadaran warga,
terutama dalam hal membayar pajak. Mereka belum sepenuhnya mengerti manfaat dari membayar
pajak untuk lingkungan, negara maupun diri sendiri, sehingga masih banyak warga desa sebagai
wajib pajak yang belum membayar pajak.
Pemetaan permasalahan hukum di wilayah Desa Mejing ini diharapkan mampu menjadi perhatian
masing-masing pihak yang terkait sehingga dapat meningkatkan kepekaan warga terhadap hal-hal
yang terjadi di lingkungan sekitar terutama terkait dengan permasalahan hukum.

Anda mungkin juga menyukai