Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ilmu tentang parasit telah lama menunjukkan peran pentingnya dalam
bidang kedokteran hewan dan manusia namun masih banyak penyakit baik
pada hewan dan manusia yang merupakan masalah kesehatan di indonesia.
Pertumbuhan penduduk yang tinggi dan terjadinya urbanisasi yang diimbangi
sarana dan prasarana, telah menambah banyaknya daerah kumuh diperkotaan.
Makin berkuramgnya air bersih, pencemaran air dan tanah menciptakan
kondisi lingkungan fisik yang memungkinkan perkembanagan vektor dan
sumber infeksi termasuk oleh penyakit parasitik.
Penyakit infeksi yang disebabkan oleh cacing masih tinggi prevelansinya
terutama pada penduduk didaerah tropik seperti di Indonesia, dan merupakan
masalah yang cukup besar bagi bidang kesehatan masyarakat. Hal ini
dikarenakan Indonesia berada dalam kondisi geografis dengan temperatur dan
kelembaban yang sesuai, sehingga kehidupan cacing ditunjung oleh proses
daur hidup dan cara penularannya.
Identifikasi parasit yang tepat memerlukan pengalaman dalam
membedakan sifat sebagai spesies, parasit, telur, larva dan juga memerlukan
pengetahuan tentang berbagai bentuk pseudoparasit dan artefak yang
mungkin dikira suatu parasit. Identifikasi parasit juga bergantung pada
persiapan bahan yang baik untuk pemeriksaan baik dalam keadaan hidup
maupun sediaan yang telah dipulas. Bahan yang diperiksa tergantung dari
jenis parasitnya, untung cacing atau protozoa usus maka bahan yang akan
diperiksa adalah tinja atau feses, sedangkan parasit darah dan jaringan dengan
cara biopsi, kjerokan kulit maupun imunologis. Identifikasi parasit tergantung
dari persiapan bahan yang baik untuk memeriksa dengan mikroskop, baik
dalam keadaan hidup maupun sebagai sediaan yang telah dipulas. Hal yang
menguntungkan adalah untuk mengetahui kira-kira ukuran dari bermacam-
macam parasit tetapi perbedaan individual tidak memungkinkan membedakan
spesies hanya dengan melihat besarnya. Tinja sebagai bahan pemeriksaan

1
harus dikumpulkan didalam suatu tempat yang bersih dan kering bebas dari
urine. Identifikasi terhadap kebanyakan telur cacing dapat dilakukan dalam
beberapa hari setelah tinja dikeluarkan (Kurt, 1999).
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana cara mengidentifikasi adanya larva cacing pada sampel feses
dengan menggunakan pemeriksaan kualitatif dengan menggunakan Metode
Harada Mori.?
1.3 Tujuan Praktikum
Mengidentifikasi adanya larva cacing pada sampel feses dengan
menggunakan pemeriksaan kualitatif dengan menggunakan Metode Harada
Mori.
1.4 Manfaat Praktikum
Untuk dapat mengetahui adanya larva cacing pada sampel feses dengan
menggunakan pemeriksaan kualitatif dengan menggunakan Metode Harada
Mori.

2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Dasar Teori
Cacing merupakan salah satu parasit yang menghinggapi manusia.
Penyakit infeksi yang disebabkan oleh cacing masih tetap ada dan masih
tinggi prevalensinya, terutama didaerah yang beriklim tropis seperti
Indonesia. Hal ini merupakan masalah kesehatan masyarakat yang masih
perlu ditangani. Penyakit infeksi yang disebabkan cacing itu dapat
dikarenakan didaerah tropis khususnya Indonesia berada dalam posisi
geografis dengan temoperatur serta kelembaban yang cocok untuk
berkembangnya cacing dengan baik (Kadarsan, 2010).
Salah satu penyakit infeksi yang masih banyak terjadi pada penduduk di
Indonesia adalah yang disebabkan golongan Soil-Transmitted Helmint, yaitu
golongan nematoda usus yang dalam penularannya atrau dalam siklus
hidupnya melalui media tanah. Cacing yang tergolong dalam Soil-
Transmitted Helmint adalah Ascaris lumbrioides, Trichuris trichiura,
Strongyloides stercoralis, serta cacing tambang yaitu Necator americanus
dan Ancylostoma duodenale (Siregar, 2006).
Dalam identifikasi infeksi perlu adanya pemeriksaan, baik dalam keadaan
cacingan yang masih hidup ataupun yang telah dipulas. Cacing yang akan
diperiksa tergantung dari jenis parasitnya. Untuk cacing atau protozoa usus
akan dilakukan pemeriksaan melalui feses atau tinja (Kadarsan, 2010).
2.2 Definisi Parasit
Parasit adalah organisme yang termasuk kelompok hewan yang
membutuhkan makhluk hidup lain sebagai sumber makanan sehingga dapat
merugikan kehidupan bahkan dapat menimbulkan kematian induk (hospes)
tempatnya menumpang hidup (Putra. K, 2011).
Parasit merupakan kelompok biota yang pertumbuhan dan hidupnya
bergantung pada makhluk lain yang dinamakan inang. Iang dapat berupa
binatang atau manusia. Menurut cara hidupnya, parasit dapat dibedakan
menjadi ekstroparasit dan endoparasit. Ekstroparasit adalah jenis parasit yang
hidup di permukaan luat tubuh, sedangkan endoparasit adalah parasit yang

3
hidup di dalam tubuh inangnya. Parasit yang hidup pada inangnya dalam satu
masa/ tahap pertumbuhannya seluruh masa hidupnya sesuai masing-masing
jenisnya.
Penularan penyakit parasit disebabkan oleh tiga faktor yaitu sumber
infeksi, cara penularan dan adanya hospes yang ditulari. Efek gabungan dari
faktor ini menentukan penyebaran dan menetapnya parasit pada waktu dan
tempat tertentu. Penyakit yang disebabkan oleh parasit dapat bersifat
menahun disertai dengan sedikit atau tanpa gejala. (Noble, 1961).
2.3 Pengertian Feses
Feses adalah sisa hasil pencernaan dan absorbsi dari makanan yang kita
makan yang dikeluarkan lewat anus dari saluran cerna.Jumlah normal
produksi 100 – 200 gram / hari. Terdiri dari air, makanan tidak tercerna, sel
epitel, debris, celulosa, bakteri dan bahan patologis, Jenis makanan serta
gerak peristaltik mempengaruhi bentuk, jumlah maupun konsistensinya
dengan frekuensi defekasi normal 3x per-hari sampai 3x per-minggu.
Pemeriksaan feses ( tinja ) adalah salah satu pemeriksaan laboratorium
yang telah lama dikenal untuk membantu klinisi menegakkan diagnosis suatu
penyakit. Meskipun saat ini telah berkembang berbagai pemeriksaan
laboratorium yang modern , dalam beberapa kasus pemeriksaan feses masih
diperlukan dan tidak dapat digantikan oleh pemeriksaan lain. Pengetahuan
mengenai berbagai macam penyakit yang memerlukan pemeriksaan feses ,
cara pengumpulan sampel yang benar serta pemeriksan dan interpretasi yang
benar akan menentukan ketepatan diagnosis yang dilakukan oleh klinisi.
Pemeriksaan feses dapat dilakukan dengan metode kualitatif dan
kuantitatif. Secara kualitatif dilakukan dengan metode natif, metode apung,
metode harada mori, dan metode kato. Metode ini digunakan untuk
mengetahui jenis parasit usus, sedangkan secara kuantitatif dilakukan dengan
metode kato untuk menentukan jumlah cacing yang ada di dalam usus.
Prinsip dasar untuk diagnosis infeksi parasit adalah riwayat yang cermat dari
pasien.
Pemeriksaan feses dimaksudkan untuk mengetahui ada tidaknya telur
cacing atau larva yang infektif. Pemeriksaan feses ini juga dimaksudkan

4
untuk mendiaknosa tingkat infeksi cacing infeksi parasit usus pada orang
yang di periksa fesesnya. Prinsip dasar untuk diagnosis infeksi parasit adalah
riwayat yang cermat dari pasien. Teknik diagnostik merupakan salah satu
aspek yang penting untuk mengetahui adanya infeksi penyakit cacing, yang
dapat ditegaskan dengan cara melacak dan mengenal stadium parasit yang
ditemukan. Sebagian besar infeksi dengan parasit berlangsung tanpa gejala
atau menimbulkan gejala ringan. Oleh sebab itu pemeriksaan laboratorium
sangat dibutuhkan karena diagnosis yang hanya berdasarkan pada gejala
klinik kurang dapat dipastikan (Gandahusada, Pribadi dan Herry, 2006).
2.4 Macam-macam Pemeriksaan
Pemeriksaan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu:
1. Pemeriksaan Makroskopik
Pemeriksaan makroskopik tinja meliputi pemeriksaan jumlah, warna,
bau, darah, lendir dan parasit. Feses untuk pemeriksaan sebaiknya yang
berasal dari defekasi sfotan. Jika pemeriksaan sangat diperlukan, boleh
juga sampai tinja di ambil dengan jari bersarung dari rectum. Untuk
pemeriksaan biasa dipakai tinja sewaktu, jarang diperlukan tinja 24 jam
untuk pemeriksaan tertentu. Tinja hendaknya diperiksa dalam keadaan
segar kalau dibiarkan mungkin sekali unsur-unsur dalam tinja itu menjadi
rusak.
2. Pemeriksaan Mikroskopik
Pemeriksaan mikroskopik meliputi pemeriksaan protozoa, telur
cacing, leukosit, eritrosit, sel epitel, Kristal, makrofag dan sel ragi. Dari
semua pemeriksaan ini yang terpenting adalah pemeriksaan terhadap
protozoa dan telur cacing. Telur cacing yang mungkin di dapat yaitu
ascaris lumbricoides, necator americanus, enterobius vermicularis,
trichuris, srongyloides stercoralis dan sebagainya.
2.5 Nematoda Usus
Nematoda adalah cacing yang tidak bersegmen, bilateral simetris,
mempunyai saluran cerna yang berfungsi penuh, biasanya berbentuk silindris
serta panjangnya bervariasi dan beberapa milimeter hingga lebih dari satu
meter. Nematoda usus biasanya matang dalam usus halus, dimana sebagian

5
besar cacing dewasa melekat dengan kait oal atau lempeng pemotong. Cacing
ini menyebabkan penyakit karena dapat menyebabkan kehilangan darah,
iritasi dan alergi (Margono, 2008).
2.6 Jenis-jenis Cacing Secara Umum
1. Ascaris Lumbricoides
Cacing jantan mempunyai ukuran 10-31 cm, ekor melingkar, dan
memiliki 2 spikula. Sedangkan cacing betina mempunyai ukuran 22-35
cm, ekor lurus, pada 1/3 bagian anterior, dan memiliki cincin kopulasi.
Baik cacing jantan, maupun betina memiliki mulut terdiri atas tiga buah
bibir.
Telur yang dibuahi berukuran ± 60 × 45 mikron, berbentuk oval,
berdinding tebal dengan tiga lapisan dan berisi embrio. Sedangkan telur
yang tidak dibuahi berukuran ± 90 × 40 mikron, berbentuk bulat lonjong
atau tidak teratur, dindingnya terdiri atas dua lapisan dan dalamnya
bergranula. Selain itu terdapat pula telur decorticated, dimana telurnya
tanpa lapisan albuminoid yang lepas karena proses mekanik.

Gambar I. Telur Ascaris lumbricoides yang dibuahi

Gambar II.Telur Ascaris lumbricoides yang tidak dibuahi

6
Gambar III. Ascaris lumbricoides
2. Trichuris Trichiura
Cacing jantan mempunyai panjang ± 4 cm, bagian anteriornya halus
seperti cambuk, dengan bagian ekor melingkar. Sedangkan cacing betina
panjangnya ± 5 cm, bagian anteriornya pun halus seperti cambuk, tetapi
bagian ekor lurus berujung tumpul. Telurnya mempunyai ukuran ± 50 x 22
mikron, bentuk seperti tempayan dengan ujung menonjol, berdinding tebal
dan berisi larva.

GambarI.Gambar II. Telur Trichuris Trichiura Cacing Dewasa Trichuris


Trichiura
3. Enterobius Vermicularis
Cacing enterobius betina berukuran 8-13 mm × 0,4 mm. Pada ujung
anteriornya terdapat pelebaran seperti sayap yang disebut alae. Bulbus
esophagus nampak jelas, ekor panjang dan runcing. Uterus cacing yang
gravid melebar dan penuh telur. Seekor cacing enterobius dapat bertelur
hingga 11.000–15.000 butir telur.
Sedangkan cacing enterobius jantan berukuran 2-5 mm. cacing jantan
memiliki ekor yang melengkung yg berbentuk seperti tanda tanya.

7
Gambar II.VI Telur cacing Enterobius vermicularis
4. Wuchereria Bancrofti
Cacing dewasa berbentuk halus seperti
benang, mempunyai kutikula halus, dan
ditemukan dalam kelenjar dan saluran limfe.
Cacing jantan panjangnya kira-kira 40 mm
dan diameternya 0,1mm. Cacing betina
panjangnya 80-100 mm dan diameternya
0,24-0,30 mm. Guna melanjutkan siklus hidupnya, cacing dewasa betina
menghasilkan mikrofilaria bersarung. Panjang mikrofilarianya berkisar
dari 244 sampai 296 µm serta aktif bergerak dalam darah dan limfe.
Mikrofilarianya bersarung dan inti badannya tidak sampai ujung ekor.
Pulasan seperti Giemsa, Wright, atau hemaktosilin Delafield telah
digunakan untuk membantu membedakan gambaran morfologi dalam
menentukan spesies mikrofilaria. Mikrofilaria yang dipulas panjangnya
245-300 µm dengan lebar 7- 8 µm, ruang pada kepala (cephalic space)
yaitu panjang = lebar, memiliki inti yang teratur, lekukan badan halus
dengan sarung berwarna pucat.
Pada banyak daerah di Indonesia, mikrofilaria Wuchereria
bancrofti termasuk dalam tipe periodik nokturna. Konsentrasi tertinggi
mikrofilaria dalam peredaran darah yaitu pada malam hari umumnya
diantara jam 10 malam sampai jam 2-4 pagi.
5. Necator Americanus dan Ancylostoma Duodenale
1. Ancylostoma Duodenale

8
Memiliki panjang badan ± 1 cm, menyerupai huruf C.Dan dibagian
mulutnya terdapat dua pasang gigi. Cacing jantan mempunyai bursa
kopulatriks pada bagian ekornya. Sedangkan cacing betina ekornya
runcing.
2. Necator Americanus

Memiliki panjang badan ± 1 cm,


menyerupai huruf S. Dan bagian mulutnya
mempunyai benda kitin. Cacing jantan
mempunyai bursa kopulaptriks pada bagian
ekornya. Sedangkan cacing betina ekornya
runcing. Telurnya berukuran ± 70 x 45 mikron, bulat lonjong,
berdinding tipis, kedua kutub mendatar. Di dalamnya terdapat beberapa
sel.Larva rabditiformnya memiliki panjang ± 250 mikron, rongga mulut
panjang dan sempit, esophagus dengan dua bulbus dan menempati 1/3
panjang badan bagian anterior. Sedangkan larva filariform, panjangnya
± 500 mikron, ruang mulut tertutup, esophagus menempati ¼ panjang
badan bagian anterior. (Pelczar,1986)

6. Enterobius Vermicularis
E. vermicularis betina mempunyai ukuran
panjang 8-13 mm dengan diameter 0,3-0,5 mm
dan pada bagian posterior panjangnya kurang
lebih 1/5 dari panjang tubuh, tampak ujungnya
runcing seperti duri yang terdiri atas jaringan
hialin. Kutikulanya tipis dan pada ujung anterior
terdapat pelebaran kutikula yang bentuknya seperti sayap yang disebut
alae.Ketika di lihat bawah mikroskop nampak terlihat otot esophagus
dengan bulbus terminal yang besar.E. vermicularis betina ini mempunyai
ekor panjang dan runcing.Vulva terletak pada 1/3 bagian anterior
tubuh.Uterus cacing yang gravid melebar dan penuh telur kecuali pada
bagian ekor.Alat genital berpasangan (duplex) seta anus terletak pada 1/3
posterior tubuh. Enterobius vermicularis jantan mempunyai ukuran

9
panjang 2-5 mm dengan diameter 0,1-0,2 mm, mempunyai sayap, ekor
tumpul, melingkar sehingga berbentuk seperti tanda tanya, dan memiliki
spikulum pada ekor meskipun jarang ditemukan. Habitat E. vermicularis
dewasa biasanya di usus terutama dibagian sekum dan daerah sekitarnya
yaitu appendix, colon ascendens, dan ileum.
Enterobius vermicularis betina yang gravid mengandung 11.000-15.000
butir telur dan setiap telur mempunyai ukuran kira-kira 50-60 µm x 20-30
µm, bermigrasi ke daerah perianal jika sedang hamil atau bertelur. Karena
suhu di luar lebih rendah, E. vermicularis bertelur dan mengeluarkan
telurnya secara berkelompok di daerah perianal dan perinium dengan cara
kontraksi uterus vaginanya. Telur ini dapat melekat di kulit dan objek lain.
Telur jarang dikeluarkan di usus,dan tersembunyi dalam lipatan perianal
sehingga jarang ditemukan di dalam tinja. Telur berbentuk lonjong dengan
kulit yang tipis dan lebih datar pada satu sisi (asimetrik).Dinding telur
bening dan agak lebih tebal dari dinding telur cacing tambang dan
didalamnya berisi embrio yang terlipat. Telur menjadi matang dalam
waktu 6 jam setelah dikeluarkan. Telur resisten terhadap desinfektan dan
udara dingin.Dalam keadaan lembab telur dapat hidup sampai 13 hari.
Enterobius vermicularis dewasa merupakan cacing kecil berwarna
keputih-putihan dan halus.Pada ujung anterior terdapat pelebaran
menyerupai sayap yang disebut alae cephalic.Mulutnya dikelilingi oleh
tiga buah bibir yakni sebuah bibir dorsal dan dua buah bibir lateroventral.
(Natadisastra, 2009)

7. Taenia saginata
Taenia saginata adalah salah satu cacing pita
yang berukuran besar dan panjang terdiri
atas kepala yang disebut skoleks, leher
dan strobila yang merupakan rangkaian ruas-
ruas proglotid, sebanyak 1000 – 2000 buah.
Panjang cacing 4 – 12 meter atau
lebih. Skoleks hanya berukuran 1 – 2
milimeter, mempunyai empat batil isap dengan otot-otot yang kuat tanpa

10
kait – kait. Bentuk leher sempit, ruas-ruas tidak jelas dan didalamnya tidak
terlihat struktur tertentu. Strobila terdiri atas rangkaian proglotid yang
belum dewasa(imatur), proglotid yang dewasa (matur) dan proglotid yang
mengandung telur atau disebut gravid.
Ovarium terdiri atas dua lobus, berbentuk kipas, besarnya hampir
sama. Letak ovarium di sepertiga bagian posterior proglotid. Vitelaria
letaknya dibelakang ovarium dan merupakan kumpulan folikel yang
eliptik.
Taenia saginata memiliki Proglotid dengan Jumlah segmen mencapai
2000. Dan Segmen matur panjangnya 3-4 kali lebarnya. Segmen gravida
paling ujung panjangnya 2 cm dan lebarnya 0,5cm. cacing ini juga
mempunyai Lubang genital berada didekat ujung posterior. Uterus pada
segmen gravida berupa batang memanjang ditengah segmen, bercabang
lateral 15-30 di setiap sisi yang memenuhi ruang segmen. Segmen gravida
dilepaskan satu persatu dan dengan kekuatan sendiri mampu bergerak
keluar anus.
Morfologi dari telur cacing Taenia saginata yaitu berbentuk bulat,
memiliki ukuran 30-40 µm. kulit sangat tebal, halus, dengan garis-garis
silang. warna kulit kuning gelap-coklat. isi terang abu-abu. Berisi masa
bulat bergranula yang diliputi dengan membran yang halus, dengan tiga
pasang kait berbentuk lanset yang membias, kadang-kadang telur berada
mengambang didalam kantung yang transparan. (Sutanto,2008)
2.7 Gejala Cacingan
Secara umum berikut gejala atau ciri-ciri cacingan:
1. Badan Kurus
2. Tidak nafsu makan
3. Lemas
4. Batuk Kering
5. Terlihat pucat
6. Mual Muntah
7. Nyeri perut
8. Diare atau tinja berdarah

11
9. Mudah mengantuk (Arin,2011)
2.8 Penyebab Cacingan
1. Kurang Memelihara Kebersihan
Anak-anak tidak bisa jika diharuskan menjaga kebersihan, banyak
anak-anak yang merasa cuek dengan kebersihannya. Seperti setelah
bermain tanah anak tidak cuci tangan dan dia memasukkan makanan
menggunakan tangannya ke dalam mulut. Hal inilah yang menjadi
penyebab utama mengapa anak-anak terkena cacingan.
2. Lingkungan Yang Kotor
Lingkungan yang kotor juga menjadi penyebab anak-anak terkena
cacingan. Anak-anak bisa saja bermain di lingkungan yang kotor dan
mengandung cacing di dalamnya sehingga anak bisa rentan untuk terkena
cacingan.
3. BAB Di Sembarang Tempat
Anak jangan dibiasakan untuk membuang air besar di sembarang
tempat, hal itu dikarenakan jika BAB di sembarang tempat anak rentan
untuk terkena cacingan. Alasannya adalah penderita cacingan saat
mengeluarkan tinja cacing itu akan ikut keluar, saat tinja mengering maka
cacing itu akan hidup dan berkeliaran kembali. Alasan itulah yang tidak
boleh membiarkan anak untuk BAB secara sembarangan
4. Tidak Memakai Alas Kaki
Kebiasaan anak tidak memakai alas kaki juga dapat menyebabkan anak
terkena cacingan. Cacing jenis gelang bisa menembus permukaan kulit dan
pori-pori manusia. Cacing itu bisa bertelur dan kemudian menimbulkan
cacingan. Oleh sebab itu biasakan kepada anak-anak anda untuk selalu
memakai alas kaki saat memijak tanah. Tanah adalah sumber kuman dan
tempat tinggal cacing penyebab cacingan.
5. Makanan
Cacingan juga bisa disebabkan oleh makanan yang tercemar oleh larva
cacing. Larva itu saat berada di dalam usus kemudian bertelur dan
kemudian berkembang biak. Hal itulah yang menyebabkan anak menjadi
penyebab cacingan.

12
2.9 Metode Sedimentasi Formol Ether (ritchie)
metode formol ether merupakan metode yang cukup baaik intuk
pemeriksaan endoparasit feses tidak segar atau telah diambil beberapa hari
sebelumnya. Metode tersebut di gunakan untuk menemukan telur cacing
golongan termatoda dan Kristal protozoa. (Sandjaja, 2007)
Metode ini cocok untuk pemeriksaan tinja yang telah diambil beberapa
hari sebelumnya, misalnya kiriman dari daerah yang jauh dan tidak memiliki
sarana laboratorium(Timey, 2002).
Prinsip dari metode ini adalah gaya sentrifugal dapat memisahkan
supernatan dan suspense sehingga telur cacing dapat terendapkan. Metode
sedimentasi kurang efisien dalam mencari macam telur cacing bila
dibandingkan dengan metode flotasi (Rusmatini, 2009).

13
BAB III

METODE PRAKTIKUM
3.1 Waktu Dan Tempat
Praktikum Pemeriksaan dengan metode Sedimentasi Formol Ether dalam
Laboratorium mikrobiologi di laksanakan di STIKES Bina Mandiri Gorontalo
pada hari rabu, tanggal 25 April 2018, pukul 09.00 – 10.30 Wita.
3.2 Alat Dan Bahan
Adapun alat dan bahan yang digunakan dalam praktikum ini, yaitu :
1. Alat
Adapun alat yang digunakan dalam praktikum dengan metode
Sedimentasi Formol Ether yaitu, cover glass, mikroskop, tabung
sentrifuge, pipet Pasteur panjang, objek glas, pot plastic tempat tinja
dan kain kasa.
2. Bahan
Adapun bahan yang digunakan dalam praktikum praktikum dengan
metode Sedimentasi Formol Ether yaitu, tinja, formalin, aquadest, ether
dan iodine.
3.3 Prosedur Kerja
1. Ambil tinja 0,5 ml di campurkan dengan 1-2 ml aquadest, kocok,
kemudian tambahkan lagi 10-12 ml aquadest dan kocok.
2. Saring dengan kain kasa, cairan fltrasi di tamping dalam tabung sentrifuge
sebanyak 10 ml.
3. Putar selama 1 menit dengan putaran 1000 putaran permenit. Kemudian
cairan di atasnya di buang.
4. Tambahkan pada endapan 1 ml formalin 1% kocok, tambahkan 8 ml
formalin 10% biarkan selama 10 menit.
5. Tambahkan 3 ml ether, tabung di tutup kemudian dikocok sampai teraduk
kurang lebih 10-20 detik.
6. Putak kembali selama 1-2 menit dengan putaran 2000 putaran permenit.
7. Hati-hati, buang yang ada di atas endapan, kemudian ambil endapan
tersebut.

14
8. Pindahkan 1 tetes sedimen pada kaca objek yang sebelumnya telah di
tetesi 1 tetes larutan iodine.
9. Kemudian tutup dengan kaca tutup, amati di bawah mikroskop dengan
perbesaran 10x40.

15
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1 Hasil
Berdasarkan pemeriksaan terhadap sampel feses diperoleh hasil sebagai
berikut:

No Metode Hasil pengamatan


1 Sedimentasi Formol Ether Tidak di temukan telur cacing pada
(ritchie) feses anak-anak (-)

4.2 Pembahasan
Dari percobaan yang kami lakukan metode yang digunakan dalam
pemeriksaan feses adalah metode Sedimentasi Formol Ether Metode yang
digunakan pada pemeriksaan feses dengan menggunakan metode Sedimentasi
Formol Ether. Prinsip dari metode ini adalah gaya sentrifugal dapat
memisahkan supernatan dan suspense sehingga telur cacing dapat
terendapkan.
Pemeriksaan dengan metode Sedimentasi Formol Ether lebih banyak
digunakan untuk pemeriksaan kista protozoa, telurberoperculum dan telur
Schistosoma sp. Tetapi tidak dapat untuk mengkonsentrasikan bentuk
tropozoit pada bahan yang segar, kecuali jika dipakai bahan pemeriksaan
yang telah diawetkan dengan pengawet PVA (Poly Vinyl Alcohol).
Mengawetkan bentuk tropozoit dan kistal dari protozoa beberapa kista
mungkin akan berubah bentuknya. Pengawet untuk tinja cair,bahan
pemeriksaan dari duodenum dan colon sigmoid Sering dipakai untuk
pembuatan sediaan pewarnaan permanent. Teknik ini merupakan teknik
pilihan untuk mengkonsentrasikan bahan pemeriksaan yang diawetkan
dengan formalin. Dalam teknik inipun dipakai formalin yang berguna untuk
tetap mengawetkan bentuk parasit, sedangkan pemakaian eter bertujuan untuk
menyingkirkan lemak dan minyak yang ada pada tinja.

16
Hasil pemeriksaan tinja yang telah dilakukan dengan metode Sedimentasi
Formol Ether menunjukkan hasil yang negatif yang artinya bahwa tidak
ditemukan telur ataupun larva dalam tinja yang telah diperiksa. Hasil negatif
pada metode Sedimentasi Formol Ether yang dilaksanakan dapat disebabkan
antara lain, sampel atau feses diperoleh dari orang yang sehat (tidak terinfeksi
cacing parasit usus), dan pada saat diambil fesesnya, cacing belum bertelur
sehingga tidak ditemukkan telur pada feses.
Pemeriksaan feses pada dasrnya dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan
secara kualitatif dan pemeriksaan secara kuantitatif. Pemeriksaan feses secara
kualitatif, yaitu pemeriksaan yang didasarkan pada ditemukkan telur pada
masing-masing metode pemeriksaan tanpa dihitung jumlahnya. Pemeriksaan
feses secara kuantitatif yaitu pemeriksaan feses yang didasarkan pada
penemuan telur pada tiap gram feses.
Identifikasi parasit tergantung dari persiapan bahan yang baik untuk
memeriksa dengan mikroskop, baik dalam keadaan hidup maupun sebagai
sediaan yang telah dipulas. Hal yang menguntungkan adalah untuk
mengetahui kira-kira ukuran dari bermacam-macam parasit tetapi perbedaan
individual tidak memungkinkan membedakan spesies hanya dengan melihat
besarnya. Tinja sebagai bahan pemeriksa harus dikumpulkan didalam suatu
tempat yang bersih dan kering bebas dari urine. Identifikasi terhadap
kebanyakan telur cacing dapat dilakukan dalam beberapa hari setelah tinja
dikeluarkan. (Kurt. 1999)

17
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Pemeriksaan dengan metode harada mori bertujuan untuk menentukan
dan mengidentifikasi telur cacing dan mengetahui adanya infeksi cacing
parasit pada usus. Hasil yang di dapat dari pemeriksaan feses dengan
menggunakan metode Sedimentasi Formol Ether yaitu negative. Yang artinya
tidak ditemukan larva dalam sampel feses yang diperiksa.
5.2 Saran
Diharapkan untuk praktikum selanjutnya mahasiswa mencari feses yang
positif sehingga pada saat praktikum mahasiswa dapat melihat telur cacing.

18
DAFTAR PUSTAKA
Arin,2011. Pengertian Cacingan dan Gejala Gejalanya. http://www.e-jurnal.com/
2013/11/pengertian-cacingan-dan-gejala-gejalanya.html. Diakses pada
tanggal 13 April 2018.
Brown, H. W. 1969. Dasar Parasitologi Klinis. Gramedia, Jakarta.
Gandahusada. 2006. Parasitologi kedokteran. Fakultas kedokteran UI : Jakarata.
Kadarsan. 2010. Binatang parasit. Lembaga biologi nasional-lipi : Bogor.
Kurt. 1999. Prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam volume. Penerbit buku
kedokteran EGC : Jakarta.
Margono.S. 2008. Nematoda usus buku ajar parasitologi kedokteran. Edisi 4.
Jakarta: FK UI, 6-20
Natadisastra D. Agoes R. 2009. Parasitologi Kedokteran. Jakarta. Penerbit: Buku
kedokteran EGC
Noble, R.N. 1961. An illustrated laboratory manual of parasitology. Burgess
Publishing, Minnesota.
Pelczar.j michael. Dkk. 1986. Dasar-dasar mikrobiologi. UI: Jakarta
Putra, K. 2011. Pemeriksaan telur cacing pada feses.
Http://putrakalimas.blogspot.co.id/2011/05/ pemeriksaan-telur-cacing-pada-
feses.html diakses pada tanggal 12 april 2018
Rusmatini, T., 2009. Teknik Pemeriksaan Cacing Parasitik. Dalam: D.
Natadisastra & R. Agoes, eds. Parasitologi kedokteran:ditinjau dari organ tubuh
yang diserang. Jakarta: EGC

Sandjaja, B. 2007. Parasitologi Kedokteran. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher.

Siregar. 2006. Prinsip ilmu penyakit dalam vol 2. Penerbit buku kedokteran EGC :
Jakarta.
Tierney, L.M., McPhee, M.A. & Papadakis, 2002. Current Medical Diagnosis
and
Treatment. New York: Mc Graw Hill Company.

19
KATA PENGANTAR

Assalamu’allaikum warahmatullahi wabarakatuh..


Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa atas segala
berkat, rahmat, taufik serta hidayah-nya yang tiada terkira besarnya, sehingga
penulis dapat menyelesaikan tugas hasil laporan praktikum “Pemeriksaan
Kualitatif Metode Apung dengan sentrifuge”.
Terlepas dari semua itu, penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena
itu dengan tangan terbuka penulis menerima saran dan kritik dari pembaca agar
penulis dapat memperbaiki laporan selanjutnya.
Akhir kata penulis berharap semoga hasil laporan praktikum tentang
Pemeriksaan Kualitatif Metode Apung ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Wasalamu’allaikum warahmatullahi wabarakatuh..

Gorontalo, Maret 2018.

Penulis

20
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................... i


DAFTAR ISI ........................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................... 1
1.2 Tujuan Praktikum ................................................................................. 2
1.3 Manfaat Praktikum ............................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................... 3
2.1 Dasar Teori ........................................................................................... 3
2.2 Definisi Parasit .................................................................................... 3
2.3 Pengertian Feses .................................................................................. 4
2.4 Macam-macam Pemeriksaan .............................................................. 5
2.5 Nematoda Usus ................................................................................... 6
2.6 Jenis-jenis Cacing Secara Umum ........................................................ 6
2.7 Gejala Cacingan ................................................................................... 9
2.8 Penyebab Cacingan .................................................................................
2.9 Metode Harada Mori ...............................................................................
BAB III METODE PRAKTIKUM .................................................................... 11
3.1 Tempat dan Waktu ............................................................................ 11
3.2 Alat dan Bahan ................................................................................... 11
3.3 Prosedur Kerja ................................................................................... 11
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................... 12
4.1 Hasil .................................................................................................. 12
4.2 Pembahasan ....................................................................................... 12
BAB V PENUTUP .............................................................................................. 14
5.1 Kesimpulan ....................................................................................... 14
5.2 Saran ................................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

21
LAMPIRAN

Achylostoma Duodenale Necator Americanuss

22

Anda mungkin juga menyukai