Anda di halaman 1dari 20

DAFTAR ISI

Kata Pengantar……………………………………………………………………………… 1

Daftar
Isi…………………………………………………………………………………………………
………. 2

Bab I Pendahuluan

1.1 Latar
Belakang……………………………………………………………………………………… 3

1.2 Rumusan
Masalah…………………………………………………………………………………. 4

1.3
Tujuan……………………………………………………………………………………………
……. 4

Bab II Pembahasan

2.1 Pengertian
korupsi………………………………………………………………………………..5

2.2 Sejarah korupsi di


Indonesia………………………………………………………………….. 5

2.3 Dampak masif


korupsi………………………………………………………………………….. 7

2.4 Gambaran umum tentang korupsi di


Indonesia………………………………………… 11

2.5 Fenomena korupsi di


Indonesia………………………………………………………………12

2.6 Kebijkan pemerintah dalam pemberantasan


korupsi…………………………………..13

2.7 Peran serta pemerintah dalam memberantas


korupsi…………………………………. 14

2.8 Peran serta masyarakat dalam upaya pemberantasan korupsi………………………


14
2.9 Upaya yang dapat ditempuh dalam pemberantasan korupsi……………………….
15

2.10 Kendala-Kendala Yang Dihadapi Dalam Pemberantasan Korupsi…………….. 16

2.11 Faktor Pendorong Terjadinya Korupsi di


Indonesia…………………………………. 17

2.12 Nilai dan Prinsip Anti


Korupsi………………………………………………………………. 18

2.13 Peran dan keterlibatan Mahasiswa dalam Gerakan Anti Korupsi………………..


18

Bab III Penutup

3.1
Kesimpulan………………………………………………………………………………………
…… 20

3.2
Saran………………………………………………………………………………………………
……21

Daftar
Pustaka……………………………………………………………………………………………
……. 22

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Istilah korupsi di Indonesia pada mulanya hanya terkandung dalam khazanah


perbincangan umum untuk menunjukkan penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan
pejabat-pejabat Negara. Namun karena penyakit tersebut sudah mewabah dan terus
meningkat dari tahun ke tahun bak jamur di musim hujan, maka banyak orang
memandang bahwa masalah ini bisa mempengaruhi kelancaran tugas-tugas pemerintah
dan merugikan ekonomi Negara.

Rakyat kecil yang tidak memiliki alat pemukul guna melakukan koreksi dan memberikan
sanksi pada umumnya bersikap acuh tak acuh. Namun yang paling menyedihkan adalah
sikap rakyat menjadi apatis dengan semakin meluasnya praktik-praktik korupsi oleh
beberapa oknum pejabat lokal, maupun nasional.
Kelompok mahasiswa sering menanggapi permasalahan korupsi dengan emosi dan
demonstrasi. Tema yang sering diangkat adalah “penguasa yang korup” dan “derita
rakyat”. Mereka memberikan saran kepada pemerintah untuk bertindak tegas kepada
para koruptor. Hal ini cukup berhasil terutama saat gerakan reformasi tahun 1998.
Mereka tidak puas terhadap perbuatan manipulatif dan koruptif para pejabat. Oleh
karena itu, mereka ingin berpartisipasi dalam usaha rekonstruksi terhadap masyarakat
dan sistem pemerintahan secara menyeluruh, mencita-citakan keadilan, persamaan dan
kesejahteraan yang merata.

Persoalan korupsi di Negara Indonesia terbilang kronis, bukan hanya membudaya tetapi
sudah membudidaya. Pengalaman pemberantasan korupsi di Indonesia menunjukkan
bahwa kegagalan demi kegagalan lebih sering terjadi terutama terhadap pengadilan
koruptor kelas kakap dibanding koruptor kelas teri.

Beragam lembaga, produk hukum, reformasi birokrasi dan sinkronisasi telah dilakukan,
akan tetapi hal itu belum juga dapat menggeser kasta pemberantasan korupsi. Seandainya
saja kita sadar, pemberantasan korupsi meski sudah pada tahun keenam perayaan hari
antikorupsi ternyata masih jalan ditempat dan berkutat pada tingkat “kuantitas”.
Keberadaan lembaga-lembaga yang mengurus korupsi belum memiliki dampak yang
menakutkan bagi para koruptor, bahkan hal tersebut turut disempurnakan dengan
pemihakan-pemihakan yang tidak jelas.

Dalam masyarakat yang tingkat korupsinya seperti Indonesia, hukuman yang setengah-
setengah sudah tidak mempan lagi. Mulainya dari mana juga merupakan masalah besar,
karena boleh dikatakan semuanya sudah terjangkit penyakit birokrasi. Hal ini tentu saja
sangat memprihatinkan bagi kelangsungan hidup rakyat yang dipimpin oleh para pejabat
yang terbukti melekukan tindak korupsi. Maka dari itu, di sini kami akan membahas
tentang korupsi di Indonesia dan upaya untuk memberantasnya.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan korupsi ?


2. Gambaran umum tentang korupsi di Indonesia dan jenis – jenis korupsi ?
3. Bagaimana fenomena korupsi di Indonesia ?
4. Kebijakan pemerintah dalam pemberantasan korupsi ?
5. Peran serta semerintah dalam memberantas korupsi
6. Peran serta masyarakat dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia ?
7. Upaya – upaya yang harus di lakukan dalam pemberantasan korupsi di indonesia .?
8. Kendala/hambatan-hambatan apa saja yang dihadapi dalam pemberantasan
korupsi di Indonesia ?
9. Upaya-upaya apa saja yang harus dilakukan dalam memberantas korupsi di
Indonesia?

1.3 Tujuan

1. Mengetahui pengertian dari korupsi.


2. Mengetahui gambaran umum tentang korupsi dan jenis – jenis korupsi.
3. Mengetahui fenomena korupsi di Indonesia.
4. Mengetahui kebijakan pemerintah dalam pemberantasan korupsi.
5. Mengetahui peran serta pemerintah dalam memberantasan korupsi.
6. Mengetahui peran serta masyarakat dalam upaya pemberantasan korupsi.
7. Mengetahui upaya yang dapat ditempuh dalam pemberantasan korupsi.
8. Mengetahui kendala atau hambatan-hambatan apa saja yang dihadapi dalam
pemberantasan korupsi di Indonesia.
9. Mengetahui Upaya-upaya apa saja yang harus dilakukan dalam memberantas
korupsi di Indonesia.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian korupsi

Korupsi berasal dari kata latin Corrumpere, Corruptio, atau Corruptus. Arti harfiah dari
kata tersebut adalah penyimpangan dari kesucian (Profanity), tindakan tak bermoral,
kebejatan, kebusukan, kerusakan, ketidakjujuran atau kecurangan. Dengan demikian
korupsi memiliki konotasi adanya tindakan-tindakan hina, fitnah atau hal-hal buruk
lainnya. Bahasa Eropa Barat kemudian mengadopsi kata ini dengan sedikit modifikasi;
Inggris : Corrupt, Corruption; Perancis : Corruption; Belanda : Korruptie. Dan akhirnya
dari bahasa Belanda terdapat penyesuaian ke istilah Indonesia menjadi : Korupsi.

Kumorotomo (1992 : 175), berpendapat bahwa “korupsi adalah penyelewengan tanggung


jawab kepada masyarakat, dan secara faktual korupsi dapat berbentuk penggelapan,
kecurangan atau manipulasi”. Lebih lanjut Kumorotomo mengemukakan bahwa korupsi
mempunyai karakteristik sebagai kejahatan yang tidak mengandung kekerasan (non-
violence) dengan melibatkan unsur-unsur tipu muslihat (guile), ketidakjujuran (deceit)
dan penyembunyian suatu kenyataan (concealment).

Selain pengertian di atas, terdapat pula istilah-istilah yang lebih merujuk kepada modus
operandi tindakan korupsi. Istilah penyogokan (graft), merujuk kepada pemberian hadiah
atau upeti untuk maksud mempengaruhi keputusan orang lain. Pemerasan (extortion),
yang diartikan sebagai permintaan setengah memaksa atas hadiah-hadiah tersebut dalam
pelaksanaan tugas-tugas Negara. Kecuali itu, ada istilah penggelapan (fraud), untuk
menunjuk kepada tindakan pejabat yang menggunakan dana publik yang mereka urus
untuk kepentingan diri sendiri sehingga harga yang harus dibayar oleh masyarakat
menjadi lebih mahal.

Dengan demikian, korupsi merupakan tindakan yang merugikan Negara baik secara
langsung maupun tidak langsung. Bahkan ditinjau dari berbagai aspek normatif, korupsi
merupakan suatu penyimpangan atau pelanggaran. Di mana norma soisal, norma hukum
maupun norma etika pada umumnya secara tegas menganggap korupsi sebagai tindakan
yang buruk.

2.2 Sejarah Korupsi di Indonesia

Dalam konteks perjalanan bangsa Indonesia, persoalan korupsi memang telah


mengakar dan membudaya. Bahkan dikalangan mayoritas pejabat publik, tak jarang yang
menganggap korupsi sebagi sesuatu yang “lumrah dan Wajar”. Ibarat candu, korupsi
telah menjadi barang bergengsi yang jika tidak dilakukan, maka akan membuat “stress”
para penikmatnya. Korupsi berawal dari proses pembiasan, akhirnya menjadi kebiasaan
dan berujung kepada sesuatu yang sudah terbiasa untuk dikerjakan oleh pejabat-pejabat
Negara. Tak urung kemudian, banyak masyarakat yang begitu pesimis dan putus asa
terhadap upaya penegakan hukum untuk menumpas koruptor di Negara kita. Jika
dikatakan telah membudaya dalam kehidupan, lantas darimana awal praktek korupsi ini
muncul dan berkembang? Tulisan ini akan sedikit memberikan pemaparan mengenai asal-
asul budaya korupsi di Indonesia yang pada hakekatnya telah ada sejak dulu ketika
daerah-daerah di Nusantara masih mengenal system pemerintah feodal (Oligarkhi
Absolut), atau sederhananya dapat dikatakan, pemerintahan disaat daerah-daerah yang
ada di Nusantara masih terdiri dari kerajaan-kerajaan yang dipimpin oleh kaum
bangsawan (Raja, Sultan dll).

Secara garis besar, budaya korupsi di Indonesia tumbuh dan berkembang melalui 3
(tiga) fase sejarah, yakni ; zaman kerajaan, zaman penjajahan hingga zaman modern
seperti sekarang ini.

Mari kita coba bedah satu-persatu pada setiap fase tersebut.

1. Fase Zaman Kerajaan

Budaya korupsi di Indonesia pada prinsipnya, dilatar belakangi oleh adanya


kepentingan atau motif kekuasaan dan kekayaan. Literatur sejarah masyarakat Indonesia,
terutama pada zaman kerajaan-kerajaan kuno, seperti kerajaan Mataram, Majapahit,
Singosari, Demak, Banten dll, mengajarkan kepada kita bahwa konflik kekuasan yang
disertai dengan motif untuk memperkaya diri (sebagian kecil karena wanita), telah
menjadi faktor utama kehancuran kerajaan-kerajaan tersebut.

Coba saja kita lihat bagaimana Kerajaan Singosari yang memelihara perang antar
saudara bahkan hingga tujuh turunan saling membalas dendam berebut kekuasaan, mulai
dari Prabu Anusopati, Prabu Ranggawuni, hingga Prabu Mahesa Wongateleng dan
seterusnya. Hal yang sama juga terjadi di Kerajaan Majapahit yang menyebabkan
terjadinya beberapa kali konflik yang berujung kepada pemberontakan Kuti, Nambi, Suro
dan lain-lain.

Bahkan kita ketahui, kerajaan Majapahit hancur akibat perang saudara yang kita
kenal dengan “Perang Paregreg” yang terjadi sepeninggal Maha Patih Gajah Mada. Lalu,
kerajaan Demak yang memperlihatkan persaingan antara Joko Tingkir dengan Haryo
Penangsang, ada juga Kerajaan Banten yang memicu Sultan Haji merebut tahta dan
kekuasaan dengan ayahnya sendiri yaitu Sultan Ageng Tirtoyoso. Hal menarik lainnya
pada fase zaman kerajaan ini adalah mulai terbangunnya watak opurtunisme bangsa
Indonesia. Salah satu contohnya adalah posisi orang suruhan dalam kerajaan, atau yang
lebih dikenal dengan “abdi dalem”.

Abdi dalem dalam sisi kekuasaan zaman ini, cenderung selalu bersikap manis untuk
menarik simpati raja atau sultan. Hal tersebut pula yang menjadi embrio lahirnya
kalangan opurtunis yang pada akhirnya juga memiliki potensi jiwa yang korup yang
begitu besar dalamtatanan pemerintahan kita dikmudian hari.

2. Fase Zaman Penjajahan

Pada zaman penjajahan, praktek korupsi telah mulai masuk dan meluas ke dalam
sistem budaya sosial-politik bangsa kita. Budaya korupsi telah dibangun oleh para
penjajah colonial (terutama oleh Belanda) selama 350 tahun. Budaya korupsi ini
berkembang dikalangan tokoh-tokoh lokal yang sengaja dijadikan badut politik oleh
penjajah untuk menjalankan daerah adiministratif tertentu, semisal demang (lurah),
tumenggung (setingkat kabupaten atau provinsi), dan pejabat-pejabat lainnya yang
notabene merupakan orang-orang suruhan penjajah Belanda untuk menjaga dan
mengawasi daerah territorial tertentu.

Mereka yang diangkat dan dipekerjakan oleh Belanda untuk memanen upeti atau
pajak dari rakyat, digunakan oleh penjajah Belanda untuk memperkaya diri dengan
menghisap hak dan kehidupan rakyat Indonesia. Sepintas, cerita-cerita film semisal Si
Pitung, Jaka Sembung, Samson & Delila, dll, sangat cocok untuk menggambarkan situasi
masyarakat Indonesia.

3. Fase Zaman Modern

Seperti yang telah diketahui, pada saat sekarang ini banyak terdapat penyalahgunaan
kekuasaan oleh para pejabat-pejabat yang ada di Indonesia hanya untuk kepentingan
pribadi, keluarga ataupun kelompoknya tanpa memikirkan orang yang ada dibawahnya.

2.3 Dampak Masif Korupsi

1. Dampak Korupsi terhadap Ekonomi

Korupsi memiliki berbagai efek penghancuran yang hebat (an enermous destruction
effects) terhadap orang miskin, dengan dua dampak yang saling bertaut satu sama lain.
Pertama, dampak langsung yang dirasakan oleh orang miskin yakni semakin mahalnya
harga jasa berbagai pelayanan publik, rendahnya kualitas pelayanan, dan juga sering
terjadinya

pembatasan akses terhadap berbagai pelayanan vital seperti air, kesehatan, dan
pendidikan. Kedua, dampak tidak langsung terhadap orang miskin yakni pengalihan
sumber daya milik publik untuk kepentingan pribadi dan kelompok, yang seharusnya
diperuntukkan guna kemajuan sektor sosial dan orang miskin, melalui pembatasan
pembangunan. Dampak yang tidak langsung ini umumnya memiliki pengaruh atas
langgengnya sebuah kemiskinan.

Secara sederhana penduduk miskin di wilayah Indonesia dapat dikategorikan dalam


dua kategori, yakni :

1. Kemiskinan kronis (chronic poverty) atau kemiskinan struktural yang bersifat terus
menerus;

2. Kemiskinan sementara (transient poverty), yaitu kemiskinan yang indikasinya adalah


menurunnya pendapatan (income) masyarakat untuk sementara waktu akibat perubahan
yang terjadi, semisal terjadinya krisis moneter. Mengingat adanya kemiskinan struktural,
maka adalah naif jika kita beranggapan bahwa virus kemiskinan yang menjangkit di
tubuh masyarakat adalah buah dari budaya malas dan etos kerja yang rendah (culture of
poverty). William Ryan, seorang sosiolog ahli kemiskinan, menyatakan bahwa kemiskinan
bukanlah akibat dari berkurangnya semangat wiraswasta, tidak memiliki hasrat
berprestasi, fatalis. Pendekatan ini dapat disebut sebagai blaming the victim (menyalahkan
korban).

Pada tahun 2000-2001, the Partnership for Governanve Reform in Indonesia andthe
World Bank telah melaksanakan proyek “Corruption and the Porr”. Proyek ini memotret
wilayah permukiman kumuh di Makassar, Yogyakarta, dan Jakarta. Tujuannya ingin
menjelaskan bagaimana korupsi mempengaruhi kemiskinan kota. Dengan
mengaplikasikan suatu metode the Participatory Corruption assessment (PCA), di setiap
lokasi penelitian, tim proyek melakukan diskusi bersama 30-40 orang miskin mengenai
pengalaman mereka bersentuhan dengan korupsi. Kegiatan ini juga diikuti dengan
wawancara perseorangan secara mendalam untuk mengetahui dimana dan bagaimana
korupsi memiliki pengaruh atas diri mereka. Sebuah wawasan dan pemahaman yang
holistik tentang pengaruh korupsi terhadap kehidupan sosial orang miskin pun didapat.

Para partisipan program PCA ini mengidentifikasi empat risiko tinggi korupsi, yakni
:

1.Ongkos finansial (financial cost)

Korupsi telah menggerogoti budget ketat yang tersedia dan meletakkan beban yang lebih
berat ke pundak orang miskin dibandingkan dengan si kaya.

2. Modal manusia (human capital)

Korupsi merintangi akses pada efektivitas jasa pelayanan sosial termasuk sekolah,
pelayanan kesehatan, skema subsidi makanan, pengumpulan sampah, yang kesemuanya
berpengaruh pada kesehatan orang miskin dan keahliannya.
3. Kehancuran moral (moral decay)

Korupsi merupakan pengingkaran dan pelanggaran atas hukum yang berlaku (the rule
law) untuk meneguhkan suatu budaya korupsi (culture of corruption)

4. Hancurnya modal sosial (loss of social capital)

Korupsi mengikis kepercayaan dan memberangus hubungan serta memporakporandakan


kohesifitas komunitas.

2. Dampak Sosial dan kemiskinan masyarakat

Korupsi tidak diragukan dalam menyuburkan berbagai jenis kejahatan dalam


masyarakat.

1.Menurut Alatas, melalui praktik korupsi, sindikat kejahatan atau penjahat perseorangan
dapat leluasa melanggar hukum, menyusupi berbagai oraganisasi negara dan mencapai
kehormatan. Di India, para penyelundup yang populer sukses menyusup ke dalam tubuh
partai dan memangku jabatan penting. Bahkan, di Amerika Serikat, melalui suap, polisi
korup menyediakan proteksi kepada organisasi-organisasi kejahatan dengan
pemerintahan yang korup. Semakin tinggi tingkat korupsi, semakin besar pula kejahatan.

2. Menurut Transparensy International, terdapat pertalian erat antara jumlah korupsi


dan jumlah kejahatan. Rasionalnya, ketika angka korupsi meningkat, maka angka
kejahatan yang terjadi juga meningkat. Sebaliknya, ketika angka korupsi berhasil
dikurangi, maka kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum (law enforcement)
juga meningkat. Jadi bisa dikatakan, mengurangi korupsi dapat juga (secara tidak
langsung) mengurangi kejahatan lain dalam masyarakat.

3. Soerjono Soekanto menyatakan bahwa penegakan hukum di suatu negara selain


tergantung dari hukum itu sendiri, profesionalisme aparat, sarana dan prasarana, juga
tergantung pada kesadaran hukum masyarakat. Memang secara ideal, angka kejahatan
akan berkurang jika timbul kesadaran masyarakat (marginal detterence). Kondisi ini
hanya terwujud jika tingkat kesadaran hukum dan kesejahteraan masyarakat sudah
memadai.

3. Dampak terhadap politik dan Demokrasi

Negara kita sering disebut bureaucratic polity. Birokrasi pemerintah merupakan


sebuah kekuatan besar yang sangat berpengaruh terhadap sendi-sendi kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Selain itu, birokrasi pemerintah juga merupakan garda
depan yang berhubungan dengan pelayanan umum kepada masyarakat. Namun di sisi
lain, birokrasi sebagai pelaku roda pemerintahan merupakan kelompok yang rentan
terhadap jerat korupsi.
Korupsi melemahkan birokrasi sebagai tulang punggung negara. Sudah menjadi
rahasia umum bahwa birokrasi di tanah air seolah menjunjung tinggi pameo “jika bisa
dibuat sulit, mengapa harus dipermudah”. Semakin tidak efisien birokrasi bekerja,
semakin besar pembiayaan tidak sah atas institusi negara ini. Sikap masa bodoh birokrat
pun akan melahirkan berbagai masalah yang tidak terhitung banyaknya. Singkatnya,
korupsi menumbuhkan ketidakefisienan yang menyeluruh di dalam birokrasi.

Korupsi dalam birokrasi dapat dikategorikan dalam dua kecenderungan umum :


yang menjangkiti masyarakat dan yang dilakukan di kalangan mereka sendiri. Korupsi
tidak saja terbatas pada transaksi yang korup yang dilakukan dengan sengaja oleh dua
pihak atau lebih, melainkan juga meliputi berbagai akibat dari perilaku yang korup, homo
venalis.

Transparency International (TI), sebagai lembaga internasional yang bergerak dalam


upaya antikorupsi, membagi kegiatan korupsi di sektor publik ke dalam dua jenis, yaitu :

1.Korupsi administratif

Secara administratif, korupsi bisa dilakukan “sesuai dengan hukum”, yaitu meminta
imbalan atas pekerjaan yang seharusnya memang dilakukan, serta korupsi yang
“bertentangan dengan hukum” yaitu meminta imbalan uang untuk melakukan pekerjaan
yang sebenarnya dilarang untuk dilakukan. Di tanah air, jenis korupsi administratif
berwujud uang pelicin dalam mengurus berbagai surat-surat, seperti Kartu Tanda
Penduduk (KTP), Surat Ijin Mengemudi (SIM), akte lahir, dan paspor agar prosesnya
lebih cepat. Padahal, seharusnya tanpa uang pelicin surat-surat ini memang harus diproses
dengan cepat.

2. Korupsi politik

Jenis korupsi politik muncul dalam bentuk “uang damai”. Misalnya, uang yang diberikan
dalam kasus pelanggaran lalu lintas agar si pelanggar tidak perlu ke pengadilan.

Manajemen kerja birokrasi yang efisien sungguh merupakan barang yang langka di tanah
air. Menurut HS. Dillon, birokrasi hanya dapat digerakkan oleh politikus yang
berkeahlian dalam bidangnya. Bukan sekedar pejabat yang direkrut dari kalangan profesi
atau akademikus tanpa pengalaman dan pemahaman tentang kerumitan birokrasi.

4. Dampak terhadap briokrasi Pemerintahan

Korupsi, tidak diragukan, menciptakan dampak negatif terhadap kinerja suatu sistem
politik atau pemerintahan.

1.Pertama, korupsi mengganggu kinerja sistem politik yang berlaku. Pada dasarnya, isu
korupsi lebih sering bersifat personal. Namun, dalam manifestasinya yang lebih luas,
dampak korupsi tidak saja bersifat personal, melainkan juga dapat mencoreng kredibilitas
organisasi tempat si koruptor bekerja. Pada tataran tertentu, imbasnya dapat bersifat
sosial. Korupsi yang berdampak sosial sering bersifat samar, dibandingkan dengan
dampak korupsi terhadap organisasi yang lebih nyata.

2. Kedua, publik cenderung meragukan citra dan kredibilitas suatu lembaga yang diduga
terkait dengan tindak korupsi.

3. Ketiga, lembaga politik diperalat untuk menopang terwujudnya berbagai kepentingan


pribadi dan kelompok. Ini mengandung arti bahwa lembaga politik telah dikorupsi untuk
kepentingan yang sempit (vested interest). Sering terdengar tuduhan umum dari kalangan
anti-neoliberalis bahwa lembaga multinasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB),
IF, dan Bank Dunia adalah perpanjangan kepentingan kaum kapitalis dan para hegemoni
global yang ingin mencaplok politik dunia di satu tangan raksasa. Tuduhan seperti ini
sangat mungkin menimpa pejabat publik yang memperalat suatu lembaga politik untuk
kepentingan pribadi dan kelompoknya. Dalam kasus seperti ini, kehadiran masyarkat sipil
yang berdaya dan supremasi hukum yang kuat dapat meminimalisir terjadinya praktik
korupsi yang merajalela di masyarakat.

Sementara itu, dampak korupsi yang menghambat berjalannya fungsi pemerintah,


sebagai pengampu kebijakan negara, dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Korupsi menghambat peran negara dalam pengaturan alokasi,


2. Korupsi menghambat negara melakukan pemerataan akses dan aset,
3. Korupsi juga memperlemah peran pemerintah dalam menjaga stabilitas ekonomi dan
politik.

Dengan demikian, suatu pemerintahan yang terlanda wabah korupsi akan


mengabaikan tuntutan pemerintahan yang layak. Menurut Wang An Shih, koruptor
sering mengabaikan kewajibannya oleh karena perhatiannya tergerus untuk kegiatan
korupsi semata-mata. Hal ini dapat mencapai titik yang membuat orang tersebut
kehilangan sensitifitasnya dan akhirnya menimbulkan bencana bagi rakyat.

5. Dampak terhadap kerusakan lingkungan

Korupsi yang merajalela di lingkungan pemerintah akan menurunkan kredibilitas


pemerintah yang berkuasa. Ia meruntuhkan kepercayaan masyarakat terhadap berbagai
tindakan pemerintah. Jika suatu pemerintah tidak lagi mampu memberi pelayanan
terbaik bagi warganya, maka rasa hormat rakyat dengan sendirinya akan luntur. Jika
pemerintahan justru memakmurkan praktik korupsi, maka lenyap pula unsur hormat
dan trust (kepercayaan) masyarakat kepada pemerintahan. Karenanya, praktik korupsi
yang kronis menimbulkan demoralisasi di kalangan masyarakat.

2.4 Gambaran umum tentang korupsi di Indonesia

Korupsi di Indonsia dimulai sejak era Orde Lama sekitar tahun 1960-an bahkan sangat
mungkin pada tahun-tahun sebelumnya. Pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 24
Prp 1960 yang diikuti dengan dilaksanakannya “Operasi Budhi” dan Pembentukan Tim
Pemberantasan Korupsi berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 228 Tahun 1967 yang
dipimpin langsung oleh Jaksa Agung, belum membuahkan hasil nyata.

Pada era Orde Baru, muncul Undang-Undang Nomor3 Tahun 1971 dengan “Operasi
Tertib”yang dilakukan Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban
(Kopkamtib), namun dengan kemajuan iptek, modus operandi korupsi semakin canggih
dan rumit sehingga Undang-Undang tersebut gagal dilaksanakan. Selanjutnya dikeluarkan
kembali Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999.

Upaya-upaya hukum yang telah dilakukan pemerintah sebenarnya sudah cukup banyak
dan sistematis. Namun korupsi di Indonesia semakin banyak sejak akhir 1997 saat negara
mengalami krisis politik, sosial, kepemimpinan, dan kepercayaan yang pada akhirnya
menjadi krisis multidimensi. Gerakan reformasi yang menumbangkan rezim Orde Baru
menuntut antara lain ditegakkannya supremasi hukum dan pemberantasan Korupsi,
Kolusi & Nepotisme (KKN). Tuntutan tersebut akhirnya dituangkan di dalam Ketetapan
MPR Nomor IV/MPR/1999 & Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penye-
lenggaraan Negara yang Bersih & Bebas dari KKN.

Menurut UU. No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, ada tiga
puluh jenis tindakan yang bisa dikategorikan sebagai tindak korupsi. Namun secara
ringkas tindakan-tindakan itu bisa dikelompokkan menjadi:

1. Kerugian keuntungan Negara


2. Suap-menyuap (istilah lain : sogokan atau pelicin)
3. Penggelapan dalam jabatan
4. Pemerasan
5. Perbuatan curang
6. Benturan kepentingan dalam pengadaan
7. Gratifikasi (istilah lain : pemberian hadiah).

2.5 Fenomena Korupsi Di Indonesia

Fenomena umum yang biasanya terjadi di negara berkembang contohnya Indonesia ialah:

1. Proses modernisasi belum ditunjang oleh kemampuan sumber daya manusia pada
lembaga-lembaga politik yang ada.
2. Institusi-institusi politik yang ada masih lemah disebabkan oleh mudahnya “ok-
num” lembaga tersebut dipengaruhi oleh kekuatan bisnis/ekonomi, sosial, keaga-
maan, kedaerahan, kesukuan, dan profesi serta kekuatan asing lainnya.
3. Selalu muncul kelompok sosial baru yang ingin berpolitik, namun sebenarnya
banyak di antara mereka yang tidak mampu.
4. Mereka hanya ingin memuaskan ambisi dan kepentingan pribadinya dengan dalih
“kepentingan rakyat”.

Sebagai akibatnya, terjadilah runtutan peristiwa sebagai berikut :


1. Partai politik sering inkonsisten, artinya pendirian dan ideologinya sering beru-
bah-ubah sesuai dengan kepentingan politik saat itu.
2. Muncul pemimpin yang mengedepankan kepentingan pribadi daripada kepenting-
an umum.
3. Sebagai oknum pemimpin politik, partisipan dan kelompoknya berlomba-lomba
mencari keuntungan materil dengan mengabaikan kebutuhan rakyat.
4. Terjadi erosi loyalitas kepada negara karena menonjolkan pemupukan harta dan
kekuasaan. Dimulailah pola tingkah para korup.
5. Sumber kekuasaan dan ekonomi mulai terkonsentrasi pada beberapa kelompok
kecil yang mengusainya saja. Derita dan kemiskinan tetap ada pada kelompok
masyarakat besar (rakyat).
6. Lembaga-lembaga politik digunakan sebagai dwi aliansi, yaitu sebagai sektor di
bidang politik dan ekonomi-bisnis.
7. Kesempatan korupsi lebih meningkat seiring dengan semakin meningkatnya ja-
batan dan hirarki politik kekuasaan.

2.6 Kebijakan Pemerintah Dalam Pemberantasan Korupsi

Mewujudkan keseriusan pemerintah dalam upaya memberantas korupsi, Telah di


keluarkan berbagai kebijakan. Di awali dengan penetapan anti korupsi sedunia oleh PBB
pada tanggal 9 Desember 2004, Presiden susilo Budiyono telah mengeluarkan instruksi
Presiden Nomor 5tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, yang
menginstruksikan secara khusus Kepada Jalsa Agung Dan kapolri:

1. Mengoptimalkan upaya – upaya penyidikan/Penuntutan terhadap tindak pidana


korupsi untuk menghukum pelaku dan menelamatkan uang negara.
2. Mencegan & memberikan sanksi tegas terhadap penyalah gunaan wewenang yg di
lakukan oleh jaksa (Penuntut Umum)/ Anggota polri dalam rangka penegakan
hukum.
3. Meningkatkan Kerjasama antara kejaksaan dgn kepolisian Negara RI, selain
denagan BPKP,PPATK,dan intitusi Negara yang terkait denagn upaya penegakan
hukum dan pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi

Kebijakan selanjutnya adalah menetapkan Rencana aksi nasional Pemberantasan Korupsi


(RAN-PK) 2004-2009. Langkag – langkah pencegahan dalam RAN-PK di prioritaskan
pada :

1. Mendesain ulang layanan publik .


2. Memperkuat transparasi, pengawasan, dan sanksi pada kegiatan pemerintah yg
berhubungan Ekonomi dan sumber daya manusia.
3. Meningkatkan pemberdayaan pangkat – pangkat pendukung dalam pencegahan
korupsi.

2.7 Peran Serta Pemerintah Dalam Memberantas Korupsi:


Partisipasi dan dukungan dari masyarakat sangat dibutuhkan dalam mengawali upaya-
upaya pemerintah melalui KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan aparat hukum
lain. KPK yang ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi untuk mengatasi, menanggulangi, dan
memberan-tas korupsi, merupakan komisi independen yang diharapkan mampu menjadi
“martir” bagi para pelaku tindak KKN.

Adapun agenda KPK adalah sebagai berikut :

1. Membangun kultur yang mendukung pemberantasan korupsi.


2. Mendorong pemerintah melakukan reformasi public sector dengan
mewujudkan good governance.
3. Membangun kepercayaan masyarakat.
4. Mewujudkan keberhasilan penindakan terhadap pelaku korupsi besar.
5. Memacu aparat hukum lain untuk memberantas korupsi.

2.8 Peran serta mayarakat dalam upaya pemberantasan korupsi:

Bentuk – bentuk peran serta mayarakat dalam pemberantasan tindak pidana korupsi
menurut UU No. 31 tahun 1999 antara lain adalah SBB :

1. Hak Mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan tindak


pidana korupsi
2. Hak untuk memperoleh layanan dalam mencari, memperoleh, dan memberikan
informasi adanya dugaan telah tindak pidana korupsi kepada penegak hukum
3. Hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kpada penegak
hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi
4. Hak memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporan yg di berikan kepada
penegak hukum waktu paling lama 30 hari
5. Hak untuk memperoleh perlindungan hukum
6. Penghargaan pemerintah kepada mayarakat

2.9 Upaya yang dapat ditempuh dalam pemberantasan korupsi:

Ada beberapa upaya yang dapat ditempuh dalam memberantas tindak korupsi di Indone-
sia, antara lain sebagai berikut :

1.Upaya Pencegahan (Preventif)

a) Menanamkan semangat nasional yang positif dengan mengutamakan pengabdian pada


bangsa dan negara melalui pendidikan formal, informal dan agama.

b) Melakukan penerimaan pegawai berdasarkan prinsip keterampilan teknis.

c) Para pejabat dihimbau untuk mematuhi pola hidup sederhana dan memiliki tang-gung
jawab yang tinggi.
d) Para pegawai selalu diusahakan kesejahteraan yang memadai dan ada jaminan masa
tua.

e) Menciptakan aparatur pemerintahan yang jujur dan disiplin kerja yang tinggi.

f) Sistem keuangan dikelola oleh para pejabat yang memiliki tanggung jawab etis tinggi
dan dibarengi sistem kontrol yang efisien.

g) Melakukan pencatatan ulang terhadap kekayaan pejabat yang mencolok.

h) Berusaha melakukan reorganisasi dan rasionalisasi organisasi pemerintahan mela-lui


penyederhanaan jumlah departemen beserta jawatan di bawahnya.

2.Upaya Penindakan (Kuratif):

Upaya penindakan, yaitu dilakukan kepada mereka yang terbukti melanggar dengan dibe-
rikan peringatan, dilakukan pemecatan tidak terhormat dan dihukum pidana. Beberapa
contoh penindakan yang dilakukan oleh KPK :

a) Dugaan korupsi dalam pengadaan Helikopter jenis MI-2 Merk Ple Rostov Rusia milik
Pemda NAD (2004).

b) Menahan Konsul Jenderal RI di Johor Baru, Malaysia, EM. Ia diduga melekukan


pungutan liar dalam pengurusan dokumen keimigrasian.

c) Dugaan korupsi dalam Proyek Program Pengadaan Busway pada Pemda DKI Jakarta
(2004).

d) Dugaan penyalahgunaan jabatan dalam pembelian tanah yang merugikan keuang-an


negara Rp 10 milyar lebih (2004).

e) Dugaan korupsi pada penyalahgunaan fasilitas preshipment dan placement deposito


dari BI kepada PT Texmaco Group melalui BNI (2004).

f) Kasus korupsi dan penyuapan anggota KPU kepada tim audit BPK (2005).

g) Kasus penyuapan panitera Pengadilan Tinggi Jakarta (2005).

h) Kasus penyuapan Hakim Agung MA dalam perkara Probosutedjo.

i) Menetapkan seorang bupati di Kalimantan Timur sebagai tersangka dalam kasus


korupsi Bandara Loa Kolu yang diperkirakan merugikan negara sebesar Rp 15,9 miliar
(2004).

j) Kasus korupsi di KBRI Malaysia (2005).


3.Upaya Edukasi Masyarakat/Mahasiswa:

a) Memiliki tanggung jawab guna melakukan partisipasi politik dan kontrol sosial terkait
dengan kepentingan publik.

b) Tidak bersikap apatis dan acuh tak acuh.

c) Melakukan kontrol sosial pada setiap kebijakan mulai dari pemerintahan desa hingga
ke tingkat pusat/nasional.

d) Membuka wawasan seluas-luasnya pemahaman tentang penyelenggaraan pemerintahan


negara dan aspek-aspek hukumnya.

e) Mampu memposisikan diri sebagai subjek pembangunan dan berperan aktif dalam
setiap pengambilan keputusan untuk kepentingan masyarakat luas

4. Upaya Edukasi LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat):

a) Indonesia Corruption Watch (ICW) adalah organisasi non-pemerintah yang mengawasi


dan melaporkan kepada publik mengenai korupsi di Indonesia dan terdiri dari
sekumpulan orang yang memiliki komitmen untuk memberantas korupsi melalui usaha
pemberdayaan rakyat untuk terlibat melawan praktik korupsi. ICW la-hir di Jakarta pd
tgl 21 Juni 1998 di tengah-tengah gerakan reformasi yang meng-hendaki pemerintahan
pasca-Soeharto yg bebas korupsi.

b) Transparency International (TI) adalah organisasi internasional yang bertujuan


memerangi korupsi politik dan didirikan di Jerman sebagai organisasi nirlaba sekarang
menjadi organisasi non-pemerintah yang bergerak menuju organisasi yang demokratik.
Publikasi tahunan oleh TI yang terkenal adalah Laporan Korupsi Global. Survei TI
Indonesia yang membentuk Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia 2004 menyatakan
bahwa Jakarta sebagai kota terkorup di Indonesia, disusul Surabaya, Medan, Semarang
dan Batam. Sedangkan survei TI pada 2005, Indonesia berada di posisi keenam negara
terkorup di dunia. IPK Indonesia adalah 2,2 sejajar dengan Azerbaijan, Kamerun,
Etiopia, Irak, Libya dan Usbekistan, serta hanya lebih baik dari Kongo, Kenya, Pakistan,
Paraguay, Somalia, Sudan, Angola, Nigeria, Haiti & Myanmar. Sedangkan Islandia adalah
negara terbebas dari korupsi.

2.10 Kendala-Kendala Yang Dihadapi Dalam Pemberantasan Korupsi

Korupsi dapat terjadi di negara maju maupun negara berkembang seperti Indonesia.
Adapun hasil analisis penulis dari beberapa teori dan kejadian di lapangan, ternyata
hambatan/kendala-kendala yang dihadapi Bangsa Indonesia dalam meredam korupsi
antara lain adalah :

1. Penegakan hukum yang tidak konsisten dan cenderung setengah-setengah.


2. Struktur birokrasi yang berorientasi ke atas, termasuk perbaikan birokrasi yang
cenderung terjebak perbaikan renumerasi tanpa membenahi struktur dan kultur.
3. Kurang optimalnya fungsi komponen-komponen pengawas atau pengontrol,
sehingga tidak ada check and balance.
4. Banyaknya celah/lubang-lubang yang dapat dimasuki tindakan korupsi pada sistem
politik dan sistem administrasi negara Indonesia.
5. Kesulitan dalam menempatkan atau merumuskan perkara, sehingga dari contoh-
contoh kasus yang terjadi para pelaku korupsi begitu gampang mengelak dari
tuduhan yang diajukan oleh jaksa.
6. Taktik-taktik koruptor untuk mengelabui aparat pemeriksa, masyarakat, dan
negara yang semakin canggih.
7. Kurang kokohnya landasan moral untuk mengendalikan diri dalam menjalankan
amanah yang diemban.

2.11 Faktor Pendorong Terjadinya Korupsi di Indonesia

1. Konsentrasi kekuasan di pengambil keputusan yang tidak bertanggung jawab


langsung kepada rakyat, seperti yang sering terlihat di rezim-rezim yang
bukan demokratik.
2. Gaji yang masih rendah, kurang sempurnanya peraturan perundang-undangan,
administrasi yang lamban dan sebagainya.
3. Sikap mental para pegawai yang ingin cepat kaya dengan cara yang haram, tidak
ada kesadaran bernegara, tidak ada pengetahuan pada bidang pekerjaan yang
dilakukan oleh pejabat pemerintah.
4. Kurangnya transparansi di pengambilan keputusan pemerintah
5. Kampanye-kampanye politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih besar dari
pendanaan politik yang normal.
6. Proyek yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar.
7. Lingkungan tertutup yang mementingkan diri sendiri dan jaringan “teman lama”.
8. Lemahnya ketertiban hukum.
9. Lemahnya profesi hukum.

2.12 Nilai dan Prinsip Anti Korupsi

Pada dasarnya korupsi terjadi karena adanya faktor internal (niat) dan faktor
eksternal (kesempatan). Niat lebih terkait dengan faktor individu yang meliputi prilaku
dan nilai-nilai yang dianut, sedangkan kesempatan terkait dengan sistem yang berlaku.
Upaya pencegahan korupsi dapat dimulai dengan menanamkan nilai-nilai anti korupsi
pada semua individu.” Setidaknya ada sembilan nilai-nilai anti korupsi yang penting untuk
ditanamkan pada semua orang, yaitu :

1. Kejujuran
2. Kepedulian
3. Kemandirian
4. Kedisiplinan
5. Tanggung jawab
6. Kerja Keras,
7. Sederhana,
8. Keberanian, dan
9. Keadilan.

2.13 Peran dan keterlibatan Mahasiswa dalam Gerakan Anti Korupsi

Mahasiswa mempunyai potensi besar untuk menjadi agen perubahan dan motor
penggerak dalam gerakan anti korupsi.

Peran mahasiswa dalam pemberantasan korupsi:

1.Menjaga diri dan komunitas mahasiswa bersih dari korupsi dan perilaku koruptif.

2.Membangun dan memelihara gerakan anti korupsi.

Adapun upaya-upaya yang bisa dilakukan oleh mahasiswa dalam pemberantasan


korupsi adalah:

a. Menciptakan lingkungan bebas dari korupsi di kampus.

Hal ini terutama dimulai dari kesadaran masing-masing mahasiswa yaitu menanamkan
kepada diri mereka sendiri bahwa mereka tidak boleh melakukan tindakan korupsi
walaupun itu hanya tindakan sederhana, misalnya terlambat datang ke kampus,
menitipkan absen kepada teman jika tidak masuk atau memberikan uang suap kepada
para pihak pengurus beasiswa dan macam-macam tindakan lainnya. Memang hal tersebut
kelihatan sepele tetapi berdampak fatal pada pola pikir dan dikhawatirkan akan menjadi
kebiasaan bahkan yang lebih parah adalah menjadi sebuah karakter.

Selain kesadaran pada masing-masing mahasiswa maka mereka juga harus


memperhatikan kebijakan internal kampus agar dikritisi sehingga tidak memberikan
peluang kepada pihak-pihak yang ingin mendapatkan keuntungan melalui korupsi.
Misalnya ketika penerimaan mahasiswa baru mengenai biaya yang diestimasikan dari
pihak kampus kepada calon mahasiswa maka perlu bagi mahasiswa untuk
mempertanyakan dan menuntut sebuah transparasi dan jaminan yang jelas dan hal
lainnya. Jadi posisi mahasiswa di sini adalah sebagai pengontrol kebijakan internal
universitas. Dengan adanya kesadaran serta komitmen dari diri sendiri dan sebagai pihak
pengontrol kebijakan internal kampus maka bisa menekan jumlah pelaku korupsi.
Upaya lain untuk menciptakan lingkungan bebas dari korupsi di lingkungan kampus
adalah mahasiswa bisa membuat koperasi atau kantin jujur. Tindakan ini diharapkan
agar lebih mengetahui secara jelas signifikansi resiko korupsi di lingkungan kampus.

Mahasiswa juga bisa berinisiatif membentuk organisasi atau komunitas intra kampus yang
berprinsip pada upaya memberantas tindakan korupsi. Organisasi atau komunitas
tersebut diharapkan bisa menjadi wadah mengadakan diskusi atau seminar mengenai
bahaya korupsi. Selain itu organisasi atau komunitas ini mampu menjadi alat pengontrol
terhadap kebijakan internal kampus.

b. Memberikan pendidikan kepada masyarakat tentang bahaya melakukan korupsi.

Memberikan penyuluha serta menghimbau agar masyarakat ikut serta dalam


menindaklanjuti (berperan aktif) dalam memberantas tindakan korupsi yang terjadi di
sekitar lingkungan mereka. Selain itu, masyarakat dituntut lebih kritis terhadap kebijakan
pemerintah yang dirasa kurang relevan. Maka masyarakat sadar bahwa korupsi memang
harus dilawan dan dimusnahkan dengan mengerahkan kekuatan secara massif, artinya
bukan hanya pemerintah saja melainakan seluruh lapisan masyarakat.

c. Menjadi alat pengontrol terhadap kebijakan pemerintah.

Mahasiswa selain sebagai agen perubahan juga bertindak sebagai agen pengontrol dalam
pemerintahan. Kebijakan pemerintah sangat perlu untuk dikontrol dan dikritisi jika
dirasa kebijakan tersebut tidak memberikan dampak positif pada keadilan dan
kesejahteraan masyarakat dan semakin memperburuk kondisi masyarakat. Misalnya
dengan melakukan demo untuk menekan pemerintah atau melakukan jajak pendapat
untuk memperoleh hasil negosiasi yang terbaik.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Korupsi merupakan tindakan buruk yang dilakukan oleh aparatur birokrasi serta orang-
orang yang berkompeten dengan birokrasi. Korupsi dapat bersumber dari kelemahan-
kelemahan yang terdapat pada sistem politik dan sistem administrasi negara dengan
birokrasi sebagai prangkat pokoknya.

Keburukan hukum merupakan penyebab lain meluasnya korupsi. Seperti halnya delik-
delik hukum yang lain, delik hukum yang menyangkut korupsi di Indonesia masih begitu
rentan terhadap upaya pejabat-pejabat tertentu untuk membelokkan hukum menurut
kepentingannya. Dalam realita di lapangan, banyak kasus untuk menangani tindak pidana
korupsi yang sudah diperkarakan bahkan terdakwapun sudah divonis oleh hakim, tetapi
selalu bebas dari hukuman. Itulah sebabnya kalau hukuman yang diterapkan tidak
drastis, upaya pemberantasan korupsi dapat dipastikan gagal.

Meski demikian, pemberantasan korupsi jangan menajadi “jalan tak ada ujung”,
melainkan “jalan itu harus lebih dekat ke ujung tujuan”. Upaya-upaya untuk mengatasi
persoalan korupsi dapat ditinjau dari struktur atau sistem sosial, dari segi yuridis,
maupun segi etika atau akhlak manusia.
3.2 Saran

1. Perlu dikaji lebih dalam lagi tentang teori upaya pemberantasan korupsi di
Indonesia agar mendapat informasi yang lebih akurat.
2. Diharapkan para pembaca setelah membaca makalah ini mampu
mengaplikasikannya di dalam kehidupan sehari-hari.
3. Memiliki sifat takut dalam melakukan korupsi.
4. Jangan menghancurkan orang lain demi kepentingan pribadi.
5. Berusaha bersikap jujur didalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
6. Mengetahui dampak terjadinya korupsi.
7. Memiliki pendidikan yang kuat apalagi dalam pemberantasan korupsi.
8. Menegakkan hukum secara adil dan konsisten sesuai dengan peraturan perundang-
undangan dan norma-norma lainnya yang berlaku.
9. Adanya penjabaran rumusan perundang-undangan yang jelas, sehingga tidak
menyebabkan kekaburan atau perbedaan persepsi diantara para penegak hukum
dalam menangani kasus korupsi.
10. Semua elemen (aparatur negara, masyarakat, akademisi, wartawan) harus memiliki
idealisme, keberanian untuk mengungkap penyimpangan-penyimpangan secara
objektif, jujur, kritis terhadap tatanan yang ada disertai dengan keyakinan penuh
terhadap prinsip-prinsip keadilan.
11. Melakukan pembinaan mental dan moral manusia melalui khotbah-khotbah,
ceramah atau penyuluhan di bidang keagamaan, etika dan hukum. Karena
bagaimanapun juga baiknya suatu sistem, jika memang individu-individu di
dalamnya tidak dijiwai oleh nilai-nilai kejujuran dan harkat kemanusiaan, niscaya
sistem tersebut akan dapat disalahgunakan, diselewengkan atau dikorup.

DAFTAR PUSTAKA

 Gie. 2002. Pemberantasan Korupsi Untuk Meraih Kemandirian, Kemakmuran,


Kesejahteraan dan Keadilan.
 Mochtar. 2009. “Efek Treadmill” Pemberantasan Korupsi : Kompas
 UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
 Strategi pencegahan & penegakan hukum Tindak Pidana Korupsi
(Chaerudin,SH.,MH. Syafudin Ahmad Dinar,SH.,MH. Syarif Fadillah,SH.,MH.)
 Modus Operandi Pelanggaran Keppres No. 80 tahun 2003 dari Perspektif KPK
 Budiyanto, Drs. MM. 2006. Pendidikan Kewarganegaraan untuk SMA Kelas
X. Jakarta: Erlangga
 Drs.Joko Budi santoso. Pendidikan kewarganegaraan untuk SMK Kelas X
 Hamzah jur andi,(2005), pemberantasan korupsi, Jakarta,PT Raja Grafindo
Persada
 Dikoro wirdjono projo,(2005),tindak pidana tertentu di Indonesia, Jakarta,PT Raja
Grafindo Persada
 Komisi Pemberantasan Korupsi (2008), Survei Persepsi Masyarakat Terhadap
KPK dan Korupsi Tahun 2008

Anda mungkin juga menyukai