Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN KASUS

DEMAM TIFOID

Pembimbing :
Dr. Adri Rivai, Sp.PD

Disusun Oleh :
Nur Fatia Rahmawati 2012730072

KEPANITERAAN KLINIK
STASE ILMU PENYAKIT DALAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
RSIJ CEMPAKA PUTIH
2018

1
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat dan Rahmat-Nya pula saya
dapat menyelesaikan laporan kasus ini. Penulisan laporan kasus mengenai “Demam Tifoid” ini
merupakan bagian dari tugas Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Penyakit Dalam di Rumah Sakit Islam
Jakarta Cempaka Putih.

Ucapan terima kasih saya kepada: dr. Adri Rivai, Sp.PD selaku pembimbing yang telah
memberikan arahan hingga terselesaikan penulisan laporan kasus ini, dan kepada semua pihak yang
telah membantu dalam penulisan Referat ini.

Saya menyadari laporan kasus ini masih banyak kekurangan, untuk itu saya mohon kritik
maupun saran yang bersifat membangun. Sebagai penutup semoga kiranya laporan kasus ini dapat
bermanfaat bagi kita khususnya dan kepada dunia kesehatan pada umumnya.

Wasalammualaikum Wr. Wb

Jakarta, Aril 2018

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................... 2


DAFTAR ISI.............................................................................................................................. 3
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................................... 4
BAB II STATUS PASIEN......................................................................................................... 5
Identitas Pasien ....................................................................................................................... 5
Anamnesis .............................................................................................................................. 5
Pemeriksaan Fisik .................................................................................................................. 6
Pemeriksaan Penunjang.......................................................................................................... 8
Resume .................................................................................................................................. 9
Masalah .................................................................................................................................. 9
Assessment .......................................................................................................................... 10
Follow Up ............................................................................................................................. 11
BAB III TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................ 12
Definisi ................................................................................................................................ 12
Epidemiologi ....................................................................................................................... 12
Etiologi ................................................................................................................................ 14
Cara Penularan ..................................................................................................................... 15
Patogenesis .......................................................................................................................... 16
Gambaran Klinis .................................................................................................................. 17
Diagnosis .............................................................................................................................. 18
Tatalaksana .......................................................................................................................... 20
Komplikasi .......................................................................................................................... 24
Pencegahan .......................................................................................................................... 25
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 27
BAB I PENDAHULUAN

Demam tifoid adalah suatu penyakit sistemik yang ditandai oleh demam dan nyeri
abdomen serta disebabkan oleh bakteri S. typhi atau S. paratyphi.

Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang dijumpai di seluruh dunia, secara luas di
daerah tropis dan subtropis terutama di daerah dengan kualitas sumber air yang tidak memadai

3
dengan standar higienis dan sanitasi yang rendah yang mana di Indonesia dijumpai dalam
keadaan endemik.

Dari laporan World Health Organization (WHO) pada tahun 2003, terdapat 17 juta kasus
demam tifoid per tahun di dunia dengan jumlah kematian mencapai 600.000 kematian. Angka
kejadian penyakit demam tifoid di daerah endemis berkisar antara 45 per 100.000 penduduk
per tahun sampai 1.000 per 100.000 penduduk per tahun.

Demam tifoid terutama ditemukan di negara sedang berkembang dengan kepadatan


penduduk tinggi, serta kesehatan lingkungan yang tidak memenuhi syarat.

Demam tifoid erat hubungannya dengan lingkungan, terutama lingkungan yang tidak
memenuhi syarat kesehatan seperti penyediaan air minum yang tidak memenuhi syarat
kesehatan dan sanitasi lingkungan yang buruk. Insiden demam tifoid yang tinggi berkaitan
dengan sanitasi yang kurang dan tidak adanya akses ke air minum bersih. Di daerah endemik,
demam enterik lebih sering dijumpai di daerah perkotaan daripada dipedesaan dan pada anak
serta remaja. Faktor risiko mencakup air atau es yang tercemar, banjir, makanan atau minuman
yang dibeli dari pedagang pinggir jalan, buah dan sayuran mentah yang ditanam dikebun yang
disiram dengan air seloka, orang serumah yang sakit, tidak mencuci tangan dan tidak ada akses
ke toilet serta bukti-bukti riwayat infeksi Helicobacter pylori.

4
BAB II STATUS PASIEN

A. IDENTITAS PASIEN

Nama : Nn. N
Usia : 15 tahun
TTL : Jakarta, 15 September 2003
Alamat : Senen
Pekerjaan : Pelajar
Tanggal masuk : 09 April 2018
No. RM : 00993492

B. ANAMNESIS

Keluhan Utama

Demam sejak 3 hari SMRS

Riwayat penyakit sekarang

Pasien datang ke IGD RSIJ Cempaka Putih dengan keluhan demam sejak 3 hari SMRS.
Demam dirasakan hilang timbul. Saat pagi sampai sore demam turun namun tubuh masih terasa
hangat, saat malam demam mulai tinggi disertai menggigil. Pasien juga merasa mual, dan
sempat muntah ± 3x/hari. Muntah berisi makanan. 2 hari terakhir pasien belum BAB. Pasien
juga kurang nafsu makan. Nyeri perut, perut kembung, sering sendawa disangkal.

Pasien kerap merasa lemas dan pusing berputar seperti melayang beberapa hari terakhir.
Mimisan, gusi berdarah, muntah darah, batuk darah serta timbul bercak merah pada kulit
disangkal. BAB cair, BAB berdarah, BAB hitam disangkal. Pasien mengaku sedang menstruasi
sejak 4 hari SMRS. Menstruasi memanjang disangkal.

Riwayat Penyakit Dahulu

 Pasien belum pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya


 Pasien memiliki riwayat asma sejak kecil dan sering kambuh bila kelelahan
 Riwayat hipertensi, DM, Penyakit jantung, pengobatan TB disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga

5
 Tidak ada anggota keluarg yang mengalami keluhan yang sama
 Riwayat hipertensi, DM, Penyakit jantung, pengobatan TB pada keluarga disangkal

Riwayat Pengobatan

Pasien sudah berobat ke puskesmas 1 hari yang lalu, namun belum membaik.

Riwayat alergi

Alergi seafood => gatal

Riwayat Psikososial

Pasien sehari-hari selalu jajan sembarangan di sekolah. Pasien lebih suka makan
makanan luar dibanding makanan rumah. Pasien tidak suka makan daging. Lebih suka
mengkonsumsi telur, sayur dan jajanan luar.

C. PEMERIKSAAN FISIK
 Keadaan umum : Tampak sakit sedang
 Kesadaran : Kompos Mentis
 TTV :
 Tekanan darah : 100/70 mmHg
 Nadi : 66 x/menit
 Respirasi : 20 x/menit
 Suhu : 38,5o C
 Antropometri :
 BB : 54 kg
 TB : 155 cm
 IMT : (normoweight)
 Status generalis :
 Kepala : Normocephal
 Mata : Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-)
 Hidung : Septum deviasi (-), sekret (-/-), epistaksis (-/-)
 Telinga : Normotia, secret (-/-)
 Mulut : Bibir pucat, mukosa bibir kering, faring hiperemis (-), lidah
kotor (+)
 Leher : Pembesaran KGB (-). Permbesaran tiroid (-)

6
 Thoraks :
Pulmo
- Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris, Retraksi dinding dada (-),
- Palpasi : Vokal fremitus kedua paru simetris
- Perkusi : Sonor di seluruh lapangan paru.
- Auskultasi : Vesikuler (+/+), Wheezing (-/-), Ronkhi (-/-),
Jantung
- Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
- Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
- Perkusi : Batas atas → ICS II linea parasternalis dextra
Batas kiri →ICS V 1 jari medial linea midclavicularis sinistra
Batas kanan → ICS IV linea parasternalis dextra
- Auskultasi : Bunyi jantung I dan II murni, reguler, Murmur (-), Gallop (-)
 Abdomen
- Inspeksi : Cembung, distensi Abdomen (-), luka operasi (-)
- Auskultasi : Bising usus (+)
- Palpasi : Nyeri tekan epigastrium (+) , Hepatomegali (-), Ballotemen
ginjal (-/-)
- Perkusi : Timpani di seluruh kuadran abdomen
 Extremitas
- Atas :
Kanan : Dingin, edema (-), CRT <2 detik (+)
Kiri : Dingin, edema (-), CRT <2 detik (+)
- Bawah :
Kanan : Dingin, edema (-), CRT <2 detik (+)
Kiri : Dingin, edema (-), CRT <2 detik (+)

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Pemeriksaan Laboratorium
Laboratorium tanggal 09/04/2018 jam 10.57

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal


Hematologi

7
Hemoglobin 5,9 g/dL (↓) 12 - 16 g/dL
3 3
Jumlah Leukosit 4,6 x 10 /l (↑) 5,00 – 10,00 x 10 /l
Hematokrit 21,7 % 37-47 %
3 3
Trombosit 440 x 10 /l 150-450 x 10 /l
6 6
Eritrosit 3,98 x 10 /l 4,00-5,00 x 10 /l
Tes Widal
Typhi O positif 1/320 0-1/160
Paratyphi AO negatif 0-1/160
Paratyphi BO positif 1/160 0-1/160
Paratyphi CO negatif 0-1/160
Typhi H positif 1/640 0-1/160
Paratyphi AH negatif
Paratyphi BH negatif
Paratyphi CH negaif

E. RESUME

Nn. N 15 th, febris sejak 3 hari SMRS. Suhu naik perlahan. Suhu naik turun. Suhu naik
terutama malam hari. Terdapat keluhan nausea dan vomitus dengan frekuensi 3x/hari. Pasien
belum defekasi 2 hari terakhir. Sefalgia (+), malaise (+). Os sedang menstruasi sejak 4 hari
SMRS. Os tidak suka mengkonsumsi daging. Os lebih sering mengkonsumsi makanan luar.

Keadaan umum : sakit sedang. Kesadaran: komposmentis. Status gizi normoweight.


Tanda tanda vital: TD: 100/70 mmHg, HR: 66x/m, RR: 20x/m, S: 38,5oC.

Status generalis : konjungtiva anemis bilateral, bibir pucat, lidah kotor, akral dingin, CRT
sulit dinilai.

Laboratorium: Darah rutin: Hb= 5,9 g/dL Widal : S. Typhi O= + 1/320, S. Typhi H= +
1/640, S. Paratyphi BO= + 1/160

F. PROBLEM
 Demam tifoid

8
 Anemia

G. ASSESSMENT
 Demam tifoid
S : Demam sejak 3 hari SMRS, hilang timbul, pagi-sore demam turun, malam
demam tinggi lagi, meriang, pusing, dan mual sampai muntah, belum BAB
sejak 2 hari SMRS, tidak nafsu makan.
O : Tekanan darah : 100/70 mmHg
Nadi : 66 x/menit
Respirasi : 20 x/menit
Suhu : 38,5o C,
Lidah kotor (+)
Tes Widal : S. Typhi O= + 1/320, S. Typhi H= + 1/640, S. Paratyphi BO= +
1/160
A : Demam tifoid
P : Rencana pemeriksaan :
- Tes widal ulang
- Biakan darah atau feses
Rencana terapi :
- Bed rest
- Infus RL
- Diet rendah serat, bubur lunak (tim)
- Paracetamol tab 3 x 500 mg
- Ranitidin 2 x 2 mg IV
- Ondancentron 3 x 4 mg IV
- Kloramfenikol 4 x 500 mg
 Anemia
S : Lemas, pusing berputar seerti melayang. Os sedang menstruasi sejak 4 hari
SMRS. Os tidak suka mengkonsumsi daging
O : Tekanan darah : 100/70 mmHg
Nadi : 66 x/menit
Respirasi : 20 x/menit

9
Suhu : 38,5o C
Laboratorium:
Hb: 5,9 g/dL
A : Anemia
P : Rencana pemeriksaan :
Hb serial, morfologi darah tepi, pemeriksaan status besi (Fe serum, TIBC,
transferrin, Free Erythrocyte Protoporphyrin(FEP), ferritin), Indeks eritrosit
(MCH, MCV, MCHC)
Rencana terapi :
 Bed rest
 Infus Asering
 Transfusi PRC 500cc

10
BAB III TINJAUAN PUSTAKA

DEMAM TIFOID

A. DEFINISI

Demam tifoid adalah suatu penyakit sistemik yang ditandai oleh demam dan nyeri
abdomen serta disebabkan oleh bakteri S. typhi atau S. paratyphi.

Demam tifoid masih merupakan penyakit endemic di Indonesia. Kelompok penyakit


menular ini merupakan penyakit yang mudah menular dan dapat menyerang banyak orang
sehingga dapat menimbulkan wabah.

Demam tifoid (Tifus abdominalis, enteric fever) ialah penyakit infeksi akut yang
biasanya terdapat pada saluran cerna dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai
gangguan pada saluran pencernaan dengan atau tanpa gangguan kesadaran (Astuti, 2013).

Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut pada usus halus yang
disebabkan oleh Salmonella enterica serotype typhi (Salmonella typhi) (Widodo, 2006).

Beberapa terminologi lain yang erat kaitannya adalah demam paratifoid dan demam
enterik. Demam paratifoid secara patologik maupun klinis adalah sama dengan demam tifoid
namun biasanya lebih ringan, penyakit ini disebabkan oleh spesies Salmonella enteriditis,
sedangkan demam enterik dipakai pada demam tifoid maupun demam paratifoid (Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, 2008).

B. EPIDEMILOGI

Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang dijumpai di seluruh dunia, secara luas di
daerah tropis dan subtropis terutama di daerah dengan kualitas sumber air yang tidak memadai
dengan standar higienis dan sanitasi yang rendah yang mana di Indonesia dijumpai dalam
keadaan endemik.

Dari laporan World Health Organization (WHO) pada tahun 2003, terdapat 17 juta kasus
demam tifoid per tahun di dunia dengan jumlah kematian mencapai 600.000 kematian dengan
Case Fatality Rate (CFR = 3,5%). Angka kejadian penyakit demam tifoid di daerah endemis
berkisar antara 45 per 100.000 penduduk per tahun sampai 1.000 per 100.000 penduduk per
tahun.

11
Demam tifoid terutama ditemukan di negara sedang berkembang dengan kepadatan
penduduk tinggi, serta kesehatan lingkungan yang tidak memenuhi syarat.

Demam tifoid merupakan penyakit yang tersebar di seluruh dunia. Pada tahun 2000,
angka kejadian demam tifoid di Amerika Latin 53 per 100.000 penduduk dan di Asia Tenggara
110 per 100.000 penduduk (Harahap, 2011). Data WHO tahun 2003 memperkirakan terdapat
sekitar 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian
tiap tahun (Pramitasari, 2013).

Angka kejadian demam tifoid di Eropa yaitu 3 per 100.000 penduduk, di Afrika yaitu 50
per 100.000 penduduk dan di Asia yaitu 274 per 100.000 penduduk. Pada tahun 2005, angka
kejadian demam tifoid di Dhaka berjumlah 390 per 100.000 penduduk (Harahap, 2011).

Di Indonesia, demam tifoid dapat ditemukan sepanjang tahun, di Jakarta Utara pada
tahun 2001, angka kejadian demam tifoid berjumlah 680 per 100.000 penduduk, dan pada
tahun 2002 meningkat menjadi 1.426 per 100.000 penduduk.

Berdasarkan Data Surveilans tahun 2007, angka kejadian demam tifoid tahun 2007
berjumlah sangat tinggi yaitu sebesar 110,7 per 100.000 penduduk. Propinsi Lampung
merupakan propinsi di seluruh Indonesia yang merupakan insiden demam tifoid yang tertinggi
sebesar 344,7 per 100.000 penduduk.

Demam tifoid erat hubungannya dengan lingkungan, terutama lingkungan yang tidak
memenuhi syarat kesehatan seperti penyediaan air minum yang tidak memenuhi syarat
kesehatan dan sanitasi lingkungan yang buruk. Insiden demam tifoid yang tinggi berkaitan
dengan sanitasi yang kurang dan tidak adanya akses ke air minum bersih. Di daerah endemik,
demam enterik lebih sering dijumpai di daerah perkotaan daripada dipedesaan dan pada anak
serta remaja. Faktor risiko mencakup air atau es yang tercemar, banjir, makanan atau minuman
yang dibeli dari pedagang pinggir jalan, buah dan sayuran mentah yang ditanam dikebun yang
disiram dengan air seloka, orang serumah yang sakit, tidak mencuci tangan dan tidak ada akses
ke toilet serta bukti-bukti riwayat infeksi Helicobacter pylori.

C. ETIOLOGI

12
Penyakit ini disebabkan oleh infeksi bakteri Salmonella typhosa/ Eberthella typhosa/
Salmonella typhi yang merupakan bakteri gram negatif, bergerak dengan rambut getar dan
tidak menghasilkan spora. Bakteri ini dapat tumbuh pada semua media dan pada media yang
selektif, bakteri ini memfermentasi glukosa dan manosa, tetapi tidak dapat memfermentasi
laktosa. Waktu inkubasi berkisar tiga hari sampai satu bulan.

Sumber penularan utama demam tifoid adalah penderita itu sendiri dan karier yang dapat
mengeluarkan berjuta-juta bakteri S. typhi dalam tinja, dan tinja inilah yang menjadi sumber
penularan. Bakteri ini dapat hidup baik sekali pada suhu tubuh manusia maupun yang sedikit
lebih rendah, serta mati pada suhu 70o C ataupun oleh antiseptik.

Bakteri ini dapat hidup sampai beberapa minggu di alam bebas seperti di dalam air, es,
sampah, dan debu. Bakteri ini dapat mati dengan pemanasan (suhu 60o C) selama 15 – 20 menit,
pasteurisasi, pendidihan, dan khlorinisasi.

S. typhi mempunyai beberapa komponen antigen, yaitu:

1. Antigen O (Antigen Somatik), yaitu terletak pada lapisan luar dari tubuh bakteri.
Bagian ini mempunyai struktur kimia lipopolisakarida atau disebut juga endotoksin.
Antigen ini tahan terhadap panas dan alkohol tetapi tidak tahan terhadap formaldehid.

2. Antigen H (Antigen Flagella) yang terletak pada flagella, fimbriae atau pili dari bakteri.
Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu protein dan tahan terhadap formaldehid
tetapi tidak tahan terhadap panas alkohol.

3. Antigen Vi yang terletak pada kapsul (envelope) dari bakteri yang dapat melindungi
bakteri terhadap fagositosis (Harahap, 2011). Selain itu, S. typhi juga dapat
menghambat proses aglutinasi antigen O oleh anti O serum. Antigen Vi berhubungan
dengan daya invasif bakteri dan efektivitas vaksin (Putra, 2012). Ketiga macam antigen
tersebut di dalam tubuh penderita akan menimbulkan pula pembentukan 3 macam
antibodi yang lazim disebut aglutinin (Harahap, 2011).

4. Outer Membrane Protein (OMP) merupakan bagian dari dinding sel terluar yang
terletak di luar membran sitoplasma dan lapisan peptidoglikan yang membatasi sel
dengan lingkungan sekitarnya. OMP berfungsi sebagai barier fisik yang
mengendalikan masuknya cairan ke dalam membran sitoplasma, selain itu juga

13
berfungsi sebagai reseptor untuk bakteriofag dan bakteriosin yang sebagian besar terdiri
dari protein urin, berperan pada patogenesis demam tifoid dan merupakan antigen yang
penting dalam mekanisme responimun penjamu. Sedangkan protein non purin hingga
kini fungsinya belum diketahui pasti (Putra, 2012).

D. CARA PENULARAN

Infeksi dapat ditularkan dengan cara menelan makanan atau minuman yang
terkontaminasi dengan tinja (WHO, 2003). Selain itu, penularan dapat terjadi juga dengan
kontak langsung jari tangan yang terkontaminasi tinja, urin, sekret saluran nafas, atau dengan
pus penderita yang terinfeksi.

Penularan S. typhi juga dapat terjadi melalui transmisi transplasental dari seorang ibu
hamil yang berada dalam bakterimia kepada bayinya. Sebagian besar penularan terjadi melalui
makanan/minuman yang tercemar oleh bakteri di tinja atau urin penderita atau karier. Beberapa
kondisi kehidupan manusia yang sangat berperan dalam penularan adalah:

 Higiene perorangan yang rendah, seperti budaya cuci tangan yang tidak terbiasa.

 Higiene makanan dan minuman yang rendah, seperti mencuci makanan dengan air
yang terkontaminasi, makanan yang dihinggapi lalat.

 Sanitasi lingkungan yang kumuh, dimana pengelolaan air limbah, kotoran, dan
sampah tidak memenuhi syarat-syarat kesehatan.

 Penyediaan air bersih kepada warga yang tidak memadai.

 Jamban keluarga yang tidak memenuhi syarat.

 Belum membudaya program imunisasi untuk tifoid (Menteri Kesehatan Republik


Indonesia, 2006).

Penderita demam tifoid merupakan sumber utama infeksi yangselalu mengeluarkan


mikroorganisme penyebab penyakit baik ketika ia sedang sakit, maupun yang sedang dalam
penyembuhan. Pada masa penyembuhan, penderita umumnya masih mengandung bibit
penyakit di dalam kandung empedu dan ginjal. Karier demam tifoid adalah seseorang yang
kotorannya (tinja atau urin) mengandung S. typhi setelah satu tahun pasca demam tifoid, tanpa
disertai gejala klinis. Pada penderita demam tifoid yang telah sembuh setelah 2 – 3 bulan masih
dapat ditemukan bakteri S. typhi di tinja atau urin. Penderita ini disebut karier pasca
penyembuhan.

14
E. PATOGENESIS

Bakteri Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi masuk ke dalam tubuh manusia
melalui makanan yang terkontaminasi bakteri. Sebagian bakteri dimusnahkan dalam lambung,
sebagian lolos masuk ke dalam usus, dan selanjuntnya berkembang biak. Di usus terjadi
produksi IgA sekretorik sebagai imunitas humoral lokal yang berfungsi untuk mencegah
melekatnya bakteri pada mukosa usus. Sedangkan untuk imunitas humoral sistemik, diproduksi
IgM dan IgG untuk memudahkan fagositosis bakteri oleh makrofag. Imunitas seluler sendiri
berfungsi untuk membunuh bakteri intraseluler.

Bila respons imunitas humoral mukosa IgA usus kurang baik, maka bakteri akan
menembus sel-sel epitel terutama sel M dan selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propria
bakteri berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Bakteri
dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plaque peyeri
ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesentrika.

Melalui duktus torasikus, bakteri yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam
sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang asimtomatik) dan menyebar ke
seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini bakteri
meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid
dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteremia yang kedua
kalinya dan disertai dengan tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik. Di dalam hati,
bakteri masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan bersama cairan empedu
diekskresikan secara intermiten ke dalam lumen usus. Sebagian bakteri dikeluarkan melalui
feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama
terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis
bakteri Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi sistemik seperti demam,
malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskular, gangguan mental, dan
koagulasi.

Kelainan utama terjadi di ileum terminal dan plaque peyer yang hiperplasia (minggu
pertama), nekrosis (minggu kedua), dan ulserasi (minggu ketiga) serta bila sembuh tanpa
adanya pembentukan jaringan parut. Sifat ulkus berbentuk bulat lonjong sejajar dengan sumbu
panjang usus dan ulkus ini dapat menyebabkan perdarahan bahkan perforasi.

F. GAMBARAN KLINIS

15
Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala- gejala klinis yang timbul
sangat bervariasi dari ringan sampai berat, dari asimtomatik hingga gambaran penyakit yang
khas disertai komplikasi hingga kematian.

Pada minggu pertama, gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala serupa
dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot,
anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk, dan
epistaksis. Pada orang dewasa, umumnya konstipasi dijumpai pada awal penyakit. Pada
pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat. Sifat demam pada demam tifoid
adalah meningkat perlahan-lahan dan terutama pada sore hingga malam hari.

Dalam minggu kedua, gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardi relatif
(bradikardi relatif adalah peningkatan suhu 1o C tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8 kali
per menit), lidah yang berselaput (kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta tremor),
hepatomegali, splenomegali, meteorismus, dan gangguan kesadaran (somnolen, stupor, koma,
delirium, atau psikosis).

Demam pada demam tifoid umumnya berangsur-angsur naik selama minggu pertama
(suhu berkisar 39-40o C), terutama pada sore dan malam hari (febris remiten). Pada minggu
kedua dan ketiga, demam terus-menerus tinggi dan (febris kontinyu) kemudian turun secara
lisis. Demam tidak hilang dengan antipiretik, tidak menggigil, tidak berkeringat, dan kadang
disertai epistaksis.

Tanda dan gejala yang tidak spesifik membuat diagnosis klinis demam tifoid menjadi
sulit. Kultur darah adalah metode diagnosis standar yang hasilnya positif 60-80 % pada pasien
tifoid. Sensitivitas dari kultur darah lebih tinggi pada minggu pertama sakit. Kultur sumsum
tulang lebih sensitif hasilnya 80-95% pada pasien tifoid. Pada kultur feses, hasilnya positif 30%
pada pasien dengan akut demam tifoid.

G. DIAGNOSIS

Penegakan diagnosis sedini mungkin akan sangat bermanfaat untuk menentukan terapi
yang tepat dan mencegah komplikasi. Penegetahuan gambaran klinis penyakit ini sangat

16
penting untuk mendeteksi secara dini. Walaupun pada waktu tertentu diperlukan pemeriksaan
tambahan untuk membantu penegakan diagnosis, seperti yang dijelaskan di atas.Sindroma
klinis adalah kumpulan gejala-gejala demam tifoid. Diantara gejala klinis yang sering
ditemukan pada tifoid yaitu: demam, sakit kepala, kelemahan, nausea, nyeri abdomen,
anoreksia, muntah, gangguan gastrointestinal, insomnia, hepatomegali, splenomegali,
penurunan kesadaran, bradikardi relative, kesadaran berkabut, dan feses berdarah.

Pada pemeriksaan darah perifer lengkap sering ditemukan leucopenia (± 3000-


8000/mm³), dapat pula terjadi kadar leukosit normal atau leukositosis. Leukositosis dapat
terjadi walaupun tanpa disertai infeksi sekunder. Selain itu, dapat ditemukan pula anemia
ringan dan trombositopenia. Pada pemeriksaan penunjang hitung jenis leukosit dapat terjadi
aneosinofilia maupun limfopenia. Laju endap darah pada demam tifoid dapat meningkat.
Terjadinya leucopenia akibat depresi sumsum tulang oleh endotoksin dan mediator endogen
yang ada. Diperkirakan kejadian leucopenia 25 %, namun banyak laporan bahwa dewasa ini
hitung leukosit kebanyakan dalam batas normal atau leukositosis ringan.

Terjadinya trombositopenia berhubungan dengan produksi yang menurun dan destruksi


yang meningkat oleh sel-sel RES. Sedangkan anemia juga disebabkan peroduksi hemoglobin
yang menurun dan adanya perdarahan intestinal yang tak nyata (occult bleeding). Perlu
diwaspadai bila terjadi penurunan hemoglobin secara akut pada minggu ke 3-4, karena bisa
disebabkan oleh perdarahan hebat dalam abdomen.

SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi akan kembali menjadi normal setelah
sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus.

a. Biakan Salmonella typhi


Specimen untuk biakan dapat diambil dari darah, sumsum tulang, feses, dan urin.
Spesimen darah diambil pada minggu I sakit saat demam tinggi. Spesimen feses dan
urin pada minggu ke II dan minggu-minggu selanjutnya. Pembiakan memerlukan waktu
kurang lebih 5-7 hari. Bila laporan hasil biakan menyatakan “basil salmonella tumbuh”,
maka penderita sudah pasti mengidap demam tifoid. Spesimen ditanam dalam biakan
empedu. Sensitifitas tes ini rendah, dapat disebabkan oleh beberapa hal: pasien telah
dapat antibiotik sebelumnya, waktu pengambilan spesimen tidak tepat, volume darah
yang diambil kurang, darah menggumpal, dll. Spesimen darah dari sumsum tulang
mempunyai sensitifitas yang lebih tinggi.
b. Serologis Widal
17
Tes serologis widal adalah reaksi antara antigen dengan aglutinin yang merupakan
antibody spesifik terhadap komponen basil salmonella di dalam darah manusia. Prinsip
tesnya adalah terjadinya reaksi aglutinasi antara antigen dan aglutinin yang dideteksi
yakni aglutinin O dan H.
Aglutinin O mulai dibentuk pada akhir minggu pertama demam sampai puncaknya pada
minggu ke 3-5. Aglutinin ini dapat bertahan sampa lama 6-12 bulan. Aglutinin H
mencapai puncak lebih lambat, pada minggu ke 4-6 dan menetap dalam waktu yang
lebih lama, sampai 2 tahun kemudian.
Interpretasi Reaksi Widal :
 Batas titer yang dijadikan diagnosis, hanya berdasarkan kesepakatan atau
perjanjian pada suatu daerah, dan berlaku untuk daerah tersebut. Kebanyakan
pendapat bahwa titer O 1/320 sudah menyokong kuat diagnosis demam tifoid.
 Reaksi widal negative tidak menyingkirkan diagnosis tifoid.
 Diagnosis demam tifoid dianggap diagnosis pasti adalah bila didapatkan
kenaikan titer 4 kali lipat pada pemeriksaan ulang dengan interval 5-7 hari. Perlu
diingat bahwa banyak faktor yang mempengaruhi reaksi widal sehingga
mendatangkan hasil yang keliru baik negative palsu atau positif palsu. Hasil tes
negative palsu seperti pada keadaan pembentukan anti bodi yang rendah yang
dapat ditemukan pada keadaan-keadaan gizi jelek, konsumsi obat-obat
imunosupresif, penyakit agammaglobuilinemia, leukemia, karsinoma lanjut, dll.
Hasil tes positif palsu dapat dijumpai pada keadaan pasca vaksinasi, mengalami
infeski sub klinis beberapa waktu yang lalu, aglutinasi silang, dll.
c. Uji TUBEX
Uji TUBEX merupakan uji semi-kuantitatif kolometrik yang cepat (beberapa menit)
dan mudah untuk dikerjakan. Uji ini mendeteksi antibodi anti-S.typhi O9 pada serum
pasien, dengan cara menghambat ikatan antara IgM anti-O9 yang terkonjugasi pada
partikel latex yang berwarna dengan lipopolisakarida S.typhi yang terkonjugasi pada
partikel magnetik latex. Hasil postif uji Tubex ini menunjukkan terdapat infeksi
Salmonella serogroup D walaupun tidak secara spesifik merujuk pada S.typhi. infeksi
oleh S.paratyphi akan memberikan hasil negatif. Sensitivitas uji ini sebesar 75-80%,
dan spesifisitas sebesar 75-90%.
Interpretasi hasil uji Tubex :
Skor Interpretasi Keterangan

18
<2 Negatif Tidak menunjukkan infeksi tifoid akut
Pengukuran tidak dapat disimpulkan. Ulangi
3 Borderline pengujian, apabila masih meragukan lakukan
pengulangan beberapa hari kemudian.
4-5 Positif Menunjukkan infeksi tifoid aktif
>6 Positif Indikasi kuat infeksi tifoid
d. Uji Typhidot
Uji typhidot dapat mendeteksi antibodi IgM dan IgG yang terdapat pada protein
membran luar Salmonella typhi. Hasil postif pada uji typhidot didapatkan 2-3 hari
setelah infeksi dan dapat mengidentifikasi secara spesifik antibodi IgM dan IgG
terhadap antigen S.typhi seberat 50 kD. Sensitivitas uji ini sebesar 98%, spesifisitas
sebesar 76,6% dan efisiensi uji sebesar 84%.
e. Enzim transaminase
Peradangan pada sel-sel hati menyebabkan enzim-enzim transaminase (SGOT, SGPT)
sering ditemukan meningkat. Banyak pendapat bahwa hal ini disebabkan karena banyak
faktor, seperti pengaruh endotoksin, mekanisme imun dan obat-obatan. Bila proses
peradangan makin berat maka tes fungsi hati lainnya akan terganggu, seperti bilirubin
akan meningkat, albumin akan menurun, dll. Secara klinis bila tes fungsi hati terganggu
dan disertai ikterus dan hepatomegali disebut hepatitis tifosa atau hepatitis salmonella.
f. Lipase dan amylase
Basil tahan salmonella sampai menginvasi pancreas, dapat menimbulkan pancreatitis,
maka enzim lipase dna amylase akan meningkat.

H. TATALAKSANA

Terapi pada demam tifoid adalah untuk mencapai keadaan bebas demam dan gejala,
mencegah komplikasi, dan menghindari kematian. Eradikasi total bakteri untuk mencegah
kekambuhan dan keadaan karier merupakan hal yang penting untuk dilakukan. Trilogi
penatalaksanaan demam tifoid yang dimaksud, yaitu :

1. Istirahat dan perawatan.

Tirah baring dengan perawatan sepenunhnya di tempat seperti makan, minum,


mandi, buang air kecil, dan buang air besar akan membantu dan mempercepat masa
penyembuhan. Dalam perawatan, perlu dijaga kebersihan tempat tidur, pakaian, dan

19
perlengkapan yang dipakai. Posisi pasien perlu diawasi untuk mencegah dekubitus dan
penumonia.

2. Diet dan terapi penunjang.

Dengan tujuan mengembalikan rasa nyaman dan kesehatan pasien secara optimal.
Hal-hal yang harus diperhatikan, di antaranya:
a. Cairan
Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun parenteral.
Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada komplikasi,
penurunan kesadaran serta pada pasien yang sulit makan. Dosis parenteral sesuai
dengan kebutuhan harian. Bila ada komplikasi dosis cairan disesuaikan dengan
kebutuan. Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal.
b. Diet
Diet harus mengandung kalori dan protein yang cukup. Sebaiknya rendah selulose
untuk mencegah komplikasi, perdarahan dan perforasi. Diet diklasifikasikan atas :
diet cair, bubur lunak (tim), dan nasi biasa bila keadaan penderita membaik, diet
dapat dimulai dengan diet padat atau tim. Namun bila penderita dengan klinis berat
sebaiknya dimulai dengan bubur atau diet cair yang selanjutnya dirubah secara
bertahap sampai padat sesuai dengan tingkat kesembuhan penderita.
c. Terapi simptomatikDapat diberikan dengan pertimbangan untuk perbaikan
keadaan umum penderita :
- Antipiretik diberikan untuk kenyamanan penderita, terutama untuk anak-
anak
- Antiemetik diperlukan bila penderita muntah-muntah berat

3. Pemberian antimikroba

Antimikroba yang sering digunakan adalah Kloramfenikol, Tiamfenikol,


Kotrimoksazol, Ampisilin dan Amoksisilin, Sefalosporin Generasi Ketiga, Golongan
fluorokuinolon, dan Kortikosteroid. Antibiotik golongan fluoroquinolone
(ciprofloxacin, ofloxacin, dan pefloxacin) merupakan terapi yang efektif untuk demam
tifoid yang disebabkan isolat tidak resisten terhadap fluoroquinolone dengan angka
kesembuhan klinis sebesar 98%, waktu penurunan demam 4 hari, dan angka
kekambuhan dan fecal karier kurang dari 2%. Fluoroquinolone memiliki penetrasi ke

20
jaringan yang sangat baik, dapat membunuh S. typhi intraseluler di dalam
monosit/makrofag, serta mencapai kadar yang tinggi dalam kandung empedu
dibandingkan antibiotik lain.

Pada demam tifoid, obat pilihan yang digunakan dibagi menjadi lini pertama dan
lini kedua. Kloramfenikol, kotrimosazol, dan amoksisilin/ampisilin adalah obat demam
tifoid lini pertama. Lini kedua adalah kuinolon (tidak dianjurkan untuk anak dibawah
18 tahun), sefiksim, dan ceftriaxone.

Kloramfenikol dengan dosis 4 x 500 mg per hari dapat diberikan secara oral
maupun intravena, diberikan sampai dengan 7 hari bebas panas. Kloramfenikol bekerja
dengan mengikat unit ribosom dari bakteri salmonella, menghambat pertumbuhannya
dengan menghambat sintesis protein. Sementara kerugian penggunaan kloramfenikol
adalah angka kekambuhan yang tinggi (5-7%), penggunaan jangka panjang (14 hari),
dan seringkali menyebabkan timbulnya karier.

Tiamfenikol, dosis dan efektifitasnya pada demam tofoid sama dengan


kloramfenikol yaitu 4 x 500 mg, dan demam rata-rata menurun pada hari ke-5 sampai
ke-6. 19 Komplikasi hematologi seperti kemungkinan terjadinya anemia aplastik lebih
rendah dibandingkan dengan kloramfenikol.

Ampisillin dan Amoksisilin, kemampuan untuk menurunkan demam lebih rendah


dibandingkan kloramfenikol, dengan dosis 50-150 mg/kgBB selama 2 minggu.

Trimetroprim-sulfamethoxazole, (TMPSMZ) dapat digunakan secara oral atau


intravena pada dewasa pada dosis 160 mg TMP ditambah 800 mg SMZ dua kali tiap
hari pada dewasa.

Sefalosforin Generasi Ketiga, yaitu ceftriaxonedengan dosis 3- 4 gram dalam


dekstrosa 100 cc diberikan selama ½ jam perinfus sekali sehari, diberikan selama 3-5
hari.

Golongan Flurokuinolon (norfloksasin, siprofloksasin). Secara relatif obat –


obatan golongan ini tidak mahal, dapat ditoleransi dengan baik, dan lebih efektif
dibandingkan obat – obatan lini pertama sebelumnya (kloramfenikol, ampisilin,
amoksisilin dan trimethoprimsulfamethoxazole). Flurokuinolon memiliki kemampuan

21
untuk menembus jaringan yang baik, sehingga mampu membunuh S.thypi yang berada
dalam stadium statis dalam monosit/makrofag dan dapat mencapai level obat yang lebih
tinggi dalam kantung empedu dibanding dengan obat yang lain. Obat golongan ini
mampu memberikan respon terapeutik yang cepat, seperti menurunkan keluhan panas
dan gejala lain dalam 3 sampai 5 hari. Penggunaan obat golongan flurokuinolon juga
dapat menurunkan kemungkinan kejadian karier pasca pengobatan.

Kombinasi 2 antibiotik atau lebih diindikasikan pada keadaan tertentu seperti


toksik tifoid, peritonitis atau perforasi, serta syok septik. Pada wanita hamil,
kloramfenikol tidak dianjurkan pada trimester ke-3 karena menyebabkan partus
prematur, kematian fetus intrauterin, dan grey syndrome pada neonatus. Tiamfenikol
tidak dianjurkan pada trimester pertama karena memiliki efek teratogenik. Obat yang
dianjurkan adalah ampisilin, amoksisilin, dan ceftriaxone.

Obat dan Dosis Antimikroba untuk Demam Tifoid (Kemenkes,2006)

Antibiotik Dosis Kelebihan


Kloramfenikol  Dewasa : 4 x 500 mg  Merupakan obat yang paling lama
(2 gr)/ hari selama 14 digunakan dan dikenal paling efektif
hari. terhadap demam tifoid.
 Anak :  Murah, dapat diberikan peroral, dan
50-100
mg/kgBB/hari sensitivitas masih tinggi.
maksimal 2  Pemberian PO/IV
gr,
diberikan selama 10-  Tidak diberikan bila leukosit
14 hari. 3
<2000/mm
Ceftriaxone  Dewasa: 2-4gr/hari  Cepat menurunkan suhu, lama
selama 3 -5 hari. pemberian pendek dan dapat dosis
 Anak : 80 tunggal serta cukup aman untuk anak.
mg/kgBB/hari dosis  Pemberian IV
tunggal selama 5 hari.
Ampisilin dan  Dewasa: 3-4gr/hari  Aman untuk penderita hamil.
amoksisilin selama 14 hari.  Sering dikombinasi dengan
 Anak : 100 kloramfenikol untuk pasien kritis
mg/kgBB/hari dosis  Tidak mahal.
tunggal selama 10  Pemberian PO/IV
hari.
TMP-SMX  Dewasa: 2 x (160-
(kotrimoksazol) 800) selama 2
minggu.

22
 Anak : TMP 6-10
mg/kgBB/hari atau
SMX 30-50
mg/kgBB/hari selama
10 hari.
Quinolon  Siprofloksasin: 2 x  Pefloksasin dan fleroksasin lebih cepat
500 mg selama satu dalam menurunkan suhu.
minggu  Efektif dalam mencegah relaps dan
 Ofloksasin: 2 x (200- karier.
400) mg selama satu  Pemberian peroral
minggu  Anak: tidak dianjurkan karena efek
 Pefloksasin: 1 x 400 samping pada pertumbuhan tulang.
mg selama satu
minggu
 Fleroksasin: 1 x 400
mg selama satu
minggu
Cefixime Anak : 15-20  Aman untuk anak.
mg/kgBB/hari selama  Pemberian peroral.
10 hari dibagi menjadi  Efektif
2 dosis.
Tiamfenikol  Dewasa: 4x500 mg  Dapat untuk anak dan dewasa.
 Anak : 50  Dilaporkan sensitif pada beberapa
mg/kgBB/hari selama daerah.
5-7 hari bebas panas

I. KOMPLIKASI

Komplikasi yang dapat terjadi, antara lain adalah (Widodo, 2006):

1. Intestinal
a. Perdarahan intestinal
Pada plague peyeri usus yang terinfeksi dapat terbentuk tukak/ luka berbentuk
lonjong dan memanjang terhadap sumbu usus. Bila luka menembus lumen usus dan
mengenai pembuluh darah, maka terjadi perdarahan. Selanjutnya bila tukak
menembus dinding usus maka perforasi dapat terjadi. Selain karena faktor luka,
perdarahan juga dapat terjadi karena gangguan koagulasi darah atau gabungan kedua
faktor.
b. Perforasi usus

23
Hal ini biasanya timbul pada minggu ketiga, namun dapat pula terjadi pada minggu
pertama dengan keluhan nyeri perut yang hebat terutama di daerah kuadran kanan
bawah yang kemudian menyebar ke seluruh perut dan disertai dengan tanda-tanda
ileus. Bising usus melemah dan terkadang pekak hati tidak ditemukan karena ada
udara bebas di abdomen. Tanda perforasi lainnya adalah nadi cepat, tekanan darah
turun, dan bahkan dapat terjadinya syok.
c. Peritonitis dapat menyertai perforasi atau tanpa perforasi dengan gejala abdomen
akut yaitu nyeri perut yang hebat, dinding abdomen tegang dan nyeri pada tekanan.

2. Ekstra-intestinal

Hal ini dapat terjadi karena lokalisasi peradangan akibat sepsis (bakteremia) yaitu
meningitis, kolesistitis, ensefelopati dan lain-lain. Dehidrasi dan asidosis dapat timbul
akibat masukan makanan yang kurang (Hasibuan, 2009). Komplikasi hematologi
berupa trombositopenia, peningkatan prothrombin time, peningkatan partial
thromboplastine time, peningkatan fibrin degradation products sampai koagulasi
intravaskular diseminata (KID) dapat ditemukan pada kebanyakan pasien demam tifoid
(Widodo, 2006).

J. PENCEGAHAN

Secara umum, untuk memperkecil kemungkinan tercemar S. typhi, maka setiap individu
harus memperhatikan kualitas makanan dan minuman yang mereka konsumsi. S. typhi akan
mati dalam air yang dipanaskan setinggi 57oC dalam beberapa menit atau dengan prose
iodinasi/ klorinasi. Vaksinasi atau imunisasi memberikan pendidikan kesehatan dan
pemeriksaan kesehatan secara berkala terhadap penyaji makanan baik pada industri makanan
maupun restoran dapat berpengaruh terhadap penurunan angka kejadian demam tifoid
(Soedarno, Garna, Hadinegoro, 2012).

Pencegahan primer dapat dilakukan dengan cara imunisasi dengan vaksin yang dibuat
dari strain Salmonella typhi yang dilemahkan, mengkonsumsi makanan sehat, memberikan
pendidikan kesehatan untuk menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat dengan budaya cuci
tangan yang benar dan memakai sabun, meningkatkan higiene makanan dan minuman, dan
perbaikan sanitasi lingkungan. Di Indonesia terdapat tiga jenis vaksin tifoid, yaitu:

1. Vaksin oral Ty 21 a Vivotif Berna

24
2. Vaksin parenteral sel utuh
3. Vaksin polisakarida Typhin Vi Aventis Pasteur Merrieux.

Pencegahan sekunder dilakukan dengan mendiagnosa penyakit secara dini dan


mengadakan pengobatan yang cepat dan tepat.

Pencegahan tersier adalah upaya yang dilakukan untuk mengurangi keparahan akibat
komplikasi. Apabila telah sembuh sebaiknya tetap menerapkan pola hidup sehat dan pada
penderita carier perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium pasca penyembuhan (Harahap,
2011).

Pencegahan demam tifoid melalui gerakan nasional sangat diperlukan karena akan
berdampak cukup besar terhadap penurunan kesakitan dan kematian akibat demam tifoid.
Tindakan preventif dan kontrol penularan kasus luar biasa (KLB) demam tifoid mencakup
banyak aspek, mulai dari segi bakteri S. typhi sebagai agen penyakit dan faktor pejamu (host)
serta faktor lingkungan (Widodo, 2006).

Secara garis besar, terdapat tiga strategi pokok untuk memutuskan transmisi tifoid, yaitu
(Widodo. 2006).:

1. Identifikasi dan eradikasi S. typhi baik pada kasus demam tifoid maupun kasus karier
tifoid. Pelaksanaanya dapat dilakukan secara aktif dengan mendatangi sasaran dan pasif
dengan menunggu bila ada penerimaan pegawai di suatu instansi. Sasaran aktif lebih
diutamakan pada populasi tertentu seperti pengelola sarana makanan/ minuman.
Sasaran lainnya adalah yang terkait dengan pelayanan masyarakat, yaitu petugas
kesehatan, petugas kebersihan, dan lainnya.

2. Pencegahan transmisi langsung dari pasien yang terinfeksi S. typhi akut maupun karier.
Kegiatan ini dilakukan di rumah sakit, klinik, maupun di rumah dan lingkungan sekitar
orang yang telah diketahui pengidap bakteri S. typhi.

3. Proteksi pada orang yang berisiko terinfeksi dapat dilakukan dengan cara vaksinasi
tifoid di daerah endemik maupun hiperendemik

DAFTAR PUSTAKA

25
1. Fauci, A.S., et al. 2013. Demam Enterik (Tifoid) Dalam Harrison Gastroentero &
Hepatologi. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
2. Widodo, D. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Ed 5. Jakarta: Interna
Publishing
3. Astuti, O.R. 2013. Demam Tifoid. Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah
Surakarta.
4. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Millenium Development Goals
2015. Jakarta.
5. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2012. Profil Kesehatan Indonesia tahun
2011.
6. Koasih, E.N. 1984. Pemeriksaan Laboratorium Klinik. Penerbit Alumni, Bandung. Hal
66
7. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2006. Pedoman Pengendalian Demam Tifoid.
8. Pawitro, E. 2000. Ilmu Penyakit Anak Diagnosa dan Penatalaksanaan Buku Penerbit
EGC. Jakarta
9. Rampengan. 2005. Demam tifoid Dalam: Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak Ed 2.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
10. Soewando, E.S. 2002. Seri Penyakit Tropik Infeksi; Perkembangan Terkini Dalam
Pengelolaan Beberapa Penyakit Tropik Infeksi. Penerbit Airlangga University Press.

26

Anda mungkin juga menyukai