Anda di halaman 1dari 17

PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-7

Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, 30 – 31 Oktober 2014

P4O-03

LINGKUNGAN PENGENDAPAN DAN DINAMIKA SEDIMENTASI


FORMASI MUARAENIM BERDASARKAN LITOFASIES DI DAERAH
SEKAYU, SUMATERA SELATAN
Sugeng S Surjono1*, Ario Geger1
1
Departemen Teknik Geologi FT UGM. Jl. Grafika No. 2. Kampus UGM, 55283,
*Email: sugengssurjono@ugm.ac.id; sugengssurjono@gmail.com
Diterima 20 November 2014

Abstrak
Formasi Muaraenim di daerah Sekayu, Propinsi Sumatera Selatan merupakan bagian dari pengisi
Depresi Palembang Tengah, Subcekungan Palembang Selatan, Cekungan Sumatera Selatan. Di daerah
ini, Formasi Muaraenim tersingkap di permukaan sebagai bagian Antiklinorium Sepintun. Analisis
litofasies dan parasekuen dari lima jalur pengukuran stratigrafi pada Formasi Muaraenim menunjukkan
bahwa Formasi Muaraenim di daerah ini diendapkan pada suatu zona transisi dengan pola suksesi
batuan sedimen retrogradasi hingga progradasi dengan lingkungan pengendapan delta. Data
paleontologi mengindikasikan batuan sedimen ini diendapkan selama Miosen Akhir. Suksesi batuan
sedimen umumnya didominasi oleh batupasir berselingan dengan serpih, yang terkadang dijumpai
sisipan batubara. Beberapa struktur sedimen dengan struktur trough cross bedding, amalgamasi
batupasir, yang berselingan dengan laminasi serpih dan batulumpur yang tebal serta kehadiran
beberapa layer gambut sampai batubara mengindikasikan lingkungan pengendapan di upper sampai
lower delta plain. Singkapan ini secara vertikal dijumpai berulang-ulang, yang mengindikasikan bahwa
dinamika sedimentasi yang terjadi selama kurun waktu itu adalah pada upper delta plain sampai lower
delta plain dengan beberapa layer menunjukkan endapan di daerah estuarine.

Kata kunci: Muaraenim, Sekayu, Litofasies, Upper dan Lower delta plain.

Pendahuluan
Cekungan Sumatera Selatan merupakan salah satu cekungan yang terbukti menghasilkan
minyak dan gas bumi. Beberapa perusahaan terus melakukan eksplorasi dan pengembangan
untuk mendapatkan peluang baru dan peningkatan produksi pada cekungan yang sudah ada.
Formasi Muaraenim yang selama ini menjadi target kedua dari suatu ekplorasi setelah Formasi
Talangakar dan Baturaja, perlu mendapat perhatian khusus (Muksin et al., 2012). Untuk
mendapatkan gambaran bawah permukaan pada Formasi Muaraenim, kajian mengenai
lingkungan pengendapan dan dinamikan sedimentasi akan memberikan kontribusi yang
berarti.
Lingkungan pengendapan didefinisikan sebagai suatu kondisi dengan parameter fisik,
kimia dan biologi tertentu yang berhubungan dengan suatu unit geomorfik yang memiliki
geometri dan ukuran tertentu dimana sedimen dapat diendapkan (Boggs, 2006). Untuk
penentuan lingkungan pengendapan, studi litofasies merupakan salah satu cara yang selama ini
banyak diterapkan oleh para peneliti, baik menggunakan data permukaan maupun data bawah
permukaan. Menurut Selley (2000), ada lima parameter pada stusi litofasies yang dapat

640
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-7
Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, 30 – 31 Oktober 2014

digunakan untuk menentukan lingkungan pengendapan, yaitu geometri, litologi, struktur


sedimen, pola arus purba, dan fosil.
Daerah Sekayu (Gambar 1) menjadi pilihan karena pada daerah ini sekarang sedang
dijadikan sebagai target studi eksplorasi oleh beberapa perusahaan minyak dan gas, baik
conventional maupun unconventional (Misal Kesumajana et al., 2010; Arso, 2011; Fitrianto, et
al., 2012; Muksin et al., 2012), sehingga diharapkan studi ini dapat memberi manfaat untuk
mendukung kegiatan semacam itu di daerah ini. Pengamatan singkapan di permukaan dari
Formasi Muaraenim dilakukan di daerah Sekayu, Propinsi Sumatera Selatan. Terdapat 5 jalur
pengukuran stratigrafi yang dilakukan yang terbagi menjadi 6 litofasies yang menunjukkan
suatu suksesi retrogradasi-progradasi dari lingkungan deltaik. Pembagian fasies dibedakan
berdasarkan aspek litologi dan struktur sedimen yang terlihat di lapangan.

Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder yang dianalisis dengan pengamatan
laboratorium dan pengolahan data dengan software ArcGIS dan CorrelDraw untuk
mendukung interpretasi hasil analisis. Data primer berupa data data stratigrafi terukur hasil
dari pengukuran di permukaan dan sampel batuan untuk analisis petrografi dan paleontologi.
Data sekunder, berupa data geologi regional dan peneliti pendahulu yang diperoleh dari
publikasi di jurnal maupun proceeding pertemuan ilmiah.
Setelah melakukan kajian pustaka terkait geologi daerah penelitian dan metode yang akan
diterapkan, langkah selanjutnya pada penelitian ini adalah dengan mengambil data permukaan
dilapangan utamanya dengan membuat stratigrafi terukur pada jalur-jalur yang sudah
direncanakan. Analisis paleontologi dan petrografi dilakukan untuk deskripsi rinci litologi dan
interpretasi litologi daerah telitian. Seluruh data lapangan digabungkan dan disintesakan
bersama untuk menjelaskan lingkungan pengendapan dan dinamika sedimentasi pada daerah
Sekayu dan sekitarnya.

Geologi Regional
Mengacu kepada De Coaster (1974) dan Ginger & Fielding, (2005) daerah penelitian masuk
dalam Sub-cekungan Palembang Tengah, Cekungan Sumatera Selatan. Area ini secara umum
terbentuk oleh horst dan half graben yang merupakan bagian dari Central Palembang
Depression yang dibatasi deep basin centres di bagian barat laut dan horst block pada bagian
timur-tenggara. Struktur yang berkembang di daerah penelitian merupakan bagian dari
antiklinorium Sepintun dan kompleks sesar di daerah barat daya Bingin Teluk (Suwarna dkk.,
1992; Ginger & Fielding, 2005). Antiklinorium sepintun mempunyai arah umum Barat Laut –
Tenggara, sedangkan sesar daerah Bingin Teluk berarah dominan barat laut- tenggara dan
sedikit berarah barat-timur (Gambar 2).
Struktur ini terbentuk oleh aktifitas tektonik pada jaman Plio Pleistosen (De Coster, 1974)
dan terpotong oleh sesar geser dengan arah timur laut-barat daya yang merupakan proses akhir
rangkaian tektonik yang terjadi di daerah penelitan. Secara regional stratigrafi penyusun
daerah penelitian dibagi menjadi delapan formasi, yaitu: batuan basement pre-tersier, Formasi
Lahat, Formasi Talang Akar, Formasi Batu Raja, Formasi Gumai, Formasi Air Benakat,
Formasi Muaraenim, Formasi Kasai. Stratigrafi permukaan yang menyusun daerah penelitian
menurut Sukardi (1999 dalam Tobing, 2007) dibagi menjadi empat formasi yaitu Formasi Air
Benakat, Formasi Muaraenim, Formasi Kasai, dan endapan Aluvial. Formasi Muaraenim yang
menjadi objek penelitian secara regional diendapkan pada fase sagging Cekungan Sumatera

641
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-7
Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, 30 – 31 Oktober 2014

Selatan. Tinggian Lampung dan pengangkatan Bukit Barisan menjadi suplai sedimen utama
dari formasi ini (LKFT UGM, 2013).

Litofasies
Pengukuran jalur stratigrafi daerah penelitian dibagi menjadi tiga jalur utama yaitu jalur
Lubuk Napal, jalur Tebing Tinggi dan jalur Babat. Jalur Lubuk Napal dibagi menjadi tiga jalur
pengukuran yaitu jalur Lubuk Napal A, jalur Lubuk Napal B dan jalur Lubuk Napal C, Jalur
Tebing Tinggi hanya satu jalur, sedangkan jalur Babat dibagi menjadi dua, yaitu jalur Babat A
dan jalur Babat B. Setiap jalur pengukuran mencerminkan fasies yang berbeda. Deskripsi dan
interpretasai mengenai litofacies berikut ini mengacu kepada Walker (1984), Selley (1985) dan
Miall (1996).
Menurut Selley (1985) fasies adalah suatu masa batuan sedimen yang dapat didefinisikan
dan dibedakan dari batuan lainnya berdasarkan geometri, litologi, struktur sedimen, arah arus
purba dan fosil. Fasies sedimen mencirikan lingkungan pengendapannya, karena proses
pengendapan batuan sedimen pada suatu lingkungan dikontrol oleh faktor fisika, kimia dan
biologi yang berbeda. Dengan demikian, studi fasies pada dasarnya dapat digunakan untuk
melakukan interpretasi lingkungan pengendapan dimana batuan tersebut terbentuk
sebagaimana hubungan sebab akibat antara proses (dengan kontrol faktor fisika, kimia dan
biologi) dengan produknya yang digambarkan oleh Selley (1985). Selain itu variabel seperti
cuaca, iklim, suhu dan kedalaman akan dapat mengubah tatanan lingkungan pengendapan.

Litofasies Lubuk Napal A


Jalur Lubuk Napal A didominasi perselingan serpih dengan sisipan batubara dan batupasir.
Jalur ini dibagi menjadi 6 litofasies, yaitu Fasies batubara, Fasies serpih sisipan oksida besi,
Fasies batubara sisipan batupasir, Fasies serpih sisipan oksida besi, Fasies batupasir sisipan
oksida besi,dan Fasies serpih sisipan serpih karbonan (Gambar 3). Serpih memiliki ketebalan
20 – 25 m dengan ciri berwarna abu-abu kemerah-merahan dengan kondisi lapuk sedang dan
komposisi berupa material sedimen ukuran lanau-lempung, pada beberapa tempat dijumpai
serpih berwarna hitam dan bersifat karbonan. Sisipan batubara pada fasies ini memiliki
ketebalan 2 – 4 m dengan ciri berwarna hitam, kilap kaca, ukuran butir lanau – lempung.
Sisipan Batupasir memiliki ketebalan 3 - 5 m dengan ciri berwarna abu - abu kemerah-
merahan, ukuran butir pasir halus-pasir sedang, tingkat kebundaran subrounded, sortasi buruk,
kemas matrix supported, terdapat struktur laminasi. Komposisi: kuarsa, feldspar, dan material
sedimen ukuran pasir halus dan terdapat sisipan oksida besi setebal 10 - 30 cm. Hasil sayatan
petrografi yang diambil dari jalur ini adalah Lithic-wacke, greywacke, dan lithic arkose.

Litofasies Lubuk Napal B


Jalur Lubuk Napal B didominasi perselingan serpih dan batupasir dengan sisipan batubara.
Jalur ini dibagi menjadi 3 litofasies, yaitu Fasies batubara sisipan batupasir, Fasies serpih
sisipan serpih karbonan, dan Fasies batupasir gradasional sisipan serpih (Gambar 4). Serpih
memiliki ketebalan 3 - 5 m dengan ciri berwarna abu-abu kemerah merahan kondisi lapuk
sedang dan komposisi berupa material sedimen ukuran lanau-lempung, pada beberapa tempat
berwarna hitam gelap dan bersifat karbonan. Batupasir memilki ketebalan 7 - 9 m dengan ciri
berwarna abu - abu kemerah-merahan, ukuran butir pasir halus-pasir kasar, tingkat kebundaran
subrounded, sortasi baik, kemas grain supported, terdapat struktur crossbed dan gradasi

642
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-7
Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, 30 – 31 Oktober 2014

normal pada bagian atas. Komposisi : kuarsa, feldspar, litik dan material sedimen ukuran pasir
halus. Sisipan batubara memiliki ketebalan 2 - 4 m dengan ciri berwarna hitam,kompak, kilap
lemak dan ukuran butir lanau-lempung. Hasil sayatan petrografi yang diambil dari jalur ini
adalah Lithic-wacke, greywacke, dan lithic arkose.

Litofasies Lubuk Napal C


Jalur Lubuk Napal C didominasi batupasir dengan sedikit sisipan serpih dan batubara. Jalur ini
dibagi menjadi 3 litofasies, yaitu Fasies batubara, Fasies batupasir gradasi terbalik sisipan
serpih dan Fasies batupasir masif (Gambar 5). Batupasir memilki ketebalan 2 - 5 m dengan ciri
berwarna abu - abu kecoklat-coklatan, kondisi sangat lapuk,bersifat loose ukuran butir pasir
halus-pasir sedang, tingkat kebundaran subrounded, sortasi baik pada bagian bawah dan buruk
pada bagian atas, kemas matrix supported, terdapat struktur gradasi terbalik pada bagian
bawah. Komposisi : kuarsa, feldspar, litik dan material sedimen ukuran pasir halus. Serpih
memiliki ketebalan 0,5 - 1 m dengan ciri berwarna abu-abu kecoklat-coklatan kondisi lapuk
sedang dan komposisi berupa material sedimen ukuran lanau-lempung. Batubara memiliki
ketebalan 1 - 3 m dengan ciri berwarna hitam dan kompak dan kilap lemak. Hasil sayatan
petrografi yang diambil dari jalur ini adalah lithic arkose.

Litofasies Tebing Tinggi


Jalur Tebing Tinggi didominasi perselingan serpih dan batupasir. Jalur ini dibagi menjadi 3
litofasies, yaitu Fasies perselingan batupasir dan serpih, Fasies batupasir gradasi terbalik
sisipan serpih dan Fasies serpih sisipan batupasir (Gambar 6). Serpih memiliki ketebalan 4 - 8
m dengan ciri berwarna abu-abu kecoklat-coklatan, kondisi lapuk sedang dan komposisi
berupa material sedimen ukuran lanau-lempung, Batupasir memilki ketebalan 3 - 9 m dengan
ciri berwarna abu - abu kemerah-merahan pada beberapa bagian berwarna putih dan kecoklat-
coklatan , ukuran butir pasir halus-pasir kasar pada beberapa bagian batupasir bersifat
lempungan. Tingkat kebundaran subrounded - subangular, sortasi buruk, kemas matrix
supported, terdapat struktur gradasi terbalik pada bagian atas. Komposisi : kuarsa, feldspar,
litik dan material sedimen ukuran pasir halus. Hasil sayatan petrografi yang diambil dari jalur
ini adalah greywacke.

Litofasies Babat A
Jalur Babat A didominasi perselingan serpih dan batupasir. Jalur ini dibagi menjadi 2
litofasies, yaitu Fasies perselingan serpih dan batupasir dan Fasies serpih sisipan batupasir
(Gambar 7). Serpih memiliki ketebalan 3 - 4 m dengan ciri berwarna putih kemerah merahan
sebagian coklat kemerah-merahan, kondisi lapuk sedang, ukuran butir lempung - lanau dan
komposisi berupa material sedimen ukuran lempung-lanau. Batupasir memilki ketebalan 1 -
3,5 m dengan ciri berwarna abu - abu kemerah-merahan, ukuran butir pasir halus-pasir sedang,
tingkat kebundaran subrounded, sortasi buruk, kemas matrix supported, . Komposisi : kuarsa,
feldspar, litik dan material sedimen ukuran pasir halus. Hasil sayatan petrografi yang diambil
dari jalur ini adalah quartzwacke.

Litofasies Babat B
Jalur Babat B didominasi perselingan serpih dengan sisipan batupasir. Jalur ini hanya terdapat
1 litofasies yaitu Fasies serpih sisipan batupasir (Gambar 8). Serpih memiliki ketebalan 1 - 4

643
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-7
Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, 30 – 31 Oktober 2014

m dengan ciri berwarna putih kemerah merahan, ukuran butir lempung - lanau dan komposisi
berupa material sedimen ukuran lempung-lanau. Terdapat sisipan oksida besi yang tipis 10 cm
pada bagian tengah. Pada serpih bagian tengah bersifat karbonan dengan warna yang lebih
gelap. Batupasir memiliki ketebalan 1 - 2 m menyisip diantara serpih dengan ciri berwarna abu
- abu kemerah-merahan, ukuran butir pasir halus-pasir sedang, tingkat kebundaran subangular,
sortasi buruk, kemas matrix supported. Komposisi: feldspar dan material sedimen ukuran
pasir halus. Hasil sayatan petrografi yang diambil dari jalur ini adalah quartzwacke.

Lingkungan Pengendapan
Walker (1984) mempelajari hubungan penting diantara fasies dan lingkungan pengendapan
yang dikenal sebagai Hukum Walther. Konsep ini dikembangkan oleh Busch (1971) yang
mendefinisikan genetic increment dan genetic sequence. Genetic increment adalah masa
batuan sedimen dengan fasies atau sub-fasies yang secara genetik berhubungan satu dengan
yang lain. Contoh dari genetic increment ini dapat berupa sekuen tunggal progradasi delta
dengan anggota deposit berupa prodelta, delta slope, dan delta front. Miall (1996)
memperkenalkan konsep asosiasi fasies yaitu beberapa fasies dalam berbagai kombinasi yang
mempunyai kenampakan khas hasil pengendapan suatu lingkungan pengendapan. Metode ini
perlu diterapkan karena sangat sedikit single fasies yang bisa digunakan untuk menentukan
lingkungan pengendapan yang spesifik. Penentuan umur Formasi Muara Enim mengacu pada
Tobing (2007) dan LKFT UGM (2013) yaitu Miosen Tengah sampai Miosen Atas. Sampel
yang diambil di daerah penelitian tidak mendapati adanya fosil foraminifera, yang
kemungkinan disebabkan sedikitnya pengaruh marine pada Formasi Muara Enim di daerah
penelitian.
Berdasarkan dari asosiasi fasies yang ada, jalur Lubuk Napal A memiliki lingkungan
pengendapan delta plain. Hal ini dicirikan oleh terbentuknya lapisan batubara yang dapat
terbentuk dari akumulasi gambut dan mengalami penimbunan. Endapan serpih yang tebal
mengindikasikan lingkungan delta plain pada interdistributary area yang terbentuk dari energi
yang rendah (Walker, 1984). Serpih karbonan bisa terbentuk dari endapan rawa yang dalam
hal ini adalah interdistributary area yang memiliki kedalaman yang dalam sehingga dapat
menghasilkan endapan serpih karbonan. Lingkungan ini tidak dipengaruhi air laut melainkan
dari sungai distributary channel delta (Allen & Chambers, 1998). Hal ini dapat dilihat dari
terbentuknya sisipan batupasir yang diinterpretasikan terbentuk dari endapan crevasse splay
akibat sungai yang banjir pada masa itu.
Jalur Lubuk Napal B memiliki asosiasi fasises yang mencirikan lingkungan Lower Delta
Plain. Hal ini dicirikan oleh adanya lapisan batubara pada bagian bawah, namun semakin ke
atas endapan yang terbentuk semakin mengkasar, yaitu batu pasir. Hal ini diinterpretasikan
endapan delta plain yang masih mendapat pengaruh air laut (Allen & Chambers, 1998).
Sisipan batupasir diantara serpih mengindikasikan endapan crevasse splay yang terjadi saat
sungai mengalami pembanjiran sehingga deposit sedimen yang lebih kasar terendapkan
diantara serpih yang telah terbentuk. Struktur gradasi normal yang ada pada batupasir pada
bagian atas mengindikasikan pengaruh air laut transgresi – regresi sehingga menyebabkan
perulangan gradasi pada bagian atas. Jalur Lubuk Napal C memiliki lingkungan pengendapan
Delta Front. Lingkungan ini dicirikan oleh asosiasi fasies batubara-batupasir gradasi terbalik-
batupasir massif (Allen & Chambers, 1998). Batubara yang terbentuk pada bagian bawah
diinterpretasikan terbentuk saat lingkungan ini masih delta plain yang tidak dipengaruhi air
laut. Endapan batupasir yang terbentuk diatasnya berasal dari endapan mouth bar yang sedikit

644
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-7
Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, 30 – 31 Oktober 2014

dipengaruhi oleh air laut karena terbentuknya endapan batupasir masif mencirikan energi
pengendapan yang stabil (Allen & Chambers, 1998). Jadi dapat disimpulkan jalur Lubuk
Napal A – B – C secara lateral memiliki perubahan lingkungan pengendapan Delta Plain –
Lower Delta Plain – Delta Front (mouth bar).
Jalur Tebing Tinggi memiliki asosiasi fasies yang mencirikan lingkungan Delta Front.
Endapan batupasir masif yang tebal, dan adanya sisipan serpih mengindikasikan fase
transgresif – regresif dari air laut sehingga menghasilkan endapan ini (Allen & Chambers,
1998). Perubahan energi pengendapan juga terekam dari struktur gradasi terbalik yang ada
pada bagian tengah fasies ini. Perubahan dari batupasir gradasi terbalik kemudian menjadi
serpih mengindikasikan adanya hydraulic jump atau perubahan energi secara mendadak
(Selley,2000). Diperkirakan energi pengendapan serta suplai sedimen dari batupasir saat
mencapai puncaknya kemudian diintervensi secara mendadak oleh kenaikan muka air laut
(fase transgresif) yang tidak lama hingga endapan serpih yang terbentuk setebal 2 – 4 m.
Endapan batupasir di atas serpih yang cukup tebal diinterpretasikan sebagai fase regresif dari
lingkungan ini untuk waktu yang cukup lama (Allen & Chambers, 1998). Jalur Babat A
memiliki asosiasi fasies yang mencirikan lingkungan Delta Front. Sama seperti pada jalur
Tebing Tinggi, namun pada jalur Babat A ini batupasir yang terbentuk lebih tipis dibanding
pada jalur Tebing Tinggi. Hal ini mengindikasikan pengaruh air laut dari fase regresif –
transgresif membentuk endapan di jalur ini. Selain itu pada bagian bawah dengan kedudukan
yang sejajar dijumpai batubara yang memiliki ketebalan 1 – 3 m yang terbentuk dari endapan
gambut di sekitar delta front ini (Allen & Chambers, 1998). Jalur Babat B memiliki asosiasi
fasies Lower Delta Plain yang dicirikan oleh endapan batupasir pada bagian bawah dan serpih
pada bagian atas. Batupasir tipis pada bagian bawah ini diperkirakan berasal dari endapan
pasir yang terjadi saat fase regresif. Serpih yang terbentuk bagian atas sebagian adalah
karbonan yang mencirikan delta plain pada bagian interdistributary area (Allen & Chambers,
1998).

Dinamika Sedimentasi
Dinamika sedimentasi secara lateral dapat dilihat dari korelasi pada Gambar 9. Secara
vertikal, Jalur Lubuk Napal A memiliki energi pengendapan yang rendah dengan suplai
sedimen yang relatif stabil dan dicirikan oleh endapan yang menghalus ke atas. Jalur Lubuk
Napal B memiliki energi pengendapan yang semakin ke atas semakin bertambah dengan
suplai sedimen yang juga bertambah, dicirikan oleh pola mengkasar ke atas. Jalur Lubuk
Napal C memiliki energi pengendapan yang relatif tinggi dan cenderung stabil dengan suplai
sedimen yang tetap. Dicirikan oleh pola mengkasar ke atas kemudian terbentuk batupasir yang
tight. Jalur Babat A memiliki energi pengendapan yang berubah-ubah yang dicirikan oleh
perselingan serpih – batupasir. Jalur Tebing Tinggi hampir mirip dengan jalur Babat A, namun
endapan yang terbentuk lebih tebal dengan variasi energi yang tinggi sehingga terbentuk
perselingan serpih – batupasir. Secara umum jalur ini memiliki pola mengkasar ke atas namun
pada bagian atas kembali menghalus. Secara lateral, perubahan lingkungan pengendapan dari
arah barat laut – tenggara (Lubuk Napal – Tebing Tinggi – Babat) adalah Delta Plain – Delta
Front – Shoreface secara gradual. Pola sedimentasi didominasi pola mengkasar ke atas yang
menunjukkan seri regresi, prograding delta (Allen & Chambers, 1998). Sedimen penyusun
mengalami perubahan dari serpih hingga batupasir yang menunjukkan ukuran butir yang
semakin kasar. Proses transportasi relatif seragam (subrounded – subangular) menunjukkan

645
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-7
Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, 30 – 31 Oktober 2014

proses sedimentasi yang belum jauh dari sumber. Perubahan ukuran butir juga menunjukkan
suplai sedimen yang semakin melimpah ke arah barat laut (Gambar 10).

Kesimpulan
Antiklinorium Sepintun di daerah peneltian telah menyingkap formasi Muaraenim di sisi
tenggara dan barat laut Formasi Air Benakat. Litologi Formasi Muaraenim di daerah penelitian
tersusun oleh serpih, batupasir, dan sedikit batubara. Asosiasi fasies dari litologi yang
tersingkap di permukaan tersebut menunjukkan lingkungan pengendapan berupa Delta Plain –
Shoreface di daerah Lubuk Napal dan Delta Plain – Delta Front di daerah Tebing Tinggi dan
Babat. Secara umum Formasi Muaraenim dari bagian bawah ke atas mengalami suksesi
mengkasar ke atas, menunjukkan seri regresi pada lingkungan delta plain, delta front-
shoreface.
Secara lateral, dari Lubuk Napal - Sepntun (Barat Laut) menuju ke Bingin Teluk - Babat
(Tenggara) lingkungan pengendapan berubah dari Delta Plain menjadi delta front-Shoreface.
Berdasarkan perkembangan tersebut, maka disimpulan bawah arah sedimentasi selama Miosen
Atas bergerak dari relatif Barat Laut (daerah proksimal) menuju Tenggara (distal).

Daftar Pustaka
Allen, G.P & Chambers, J.L.C., 1998, Sedimentation in modern and Miocene Mahakam Delta,
Indonesian Petroleum Association, 236p.
Arso, S.W., 2011, Kandungan gas metana batubara daerah Nibung, Kabupaten Musi Rawas,
Provinsi Sumatera Selatan, Bulletin Sumber Daya Geologi, Vol. 6. No.1., pp. 41-49.
Boggs, S, Jr., 2006, Principles os sedimentology and stratigraphy, 4th Ed. Pearson Prentice
Hall, New Jersey, 662p.
Boyd, J.D., & Peacock, S.G., 1986, Sedimentological Analysis of A Miocene Deltaic Systems:
Air Benakat and Muaraenim Formations, Central Merangin Block, South Sumatra,
Proceeding Indonesia Petroleum Association – 15th Annual Convention & Exhibition, pp.
245-258.
Busch, D.A., 1971, Genetic units in delta prospecting. Bull. American Association of
Petroleum Geologists, 55, 1137-1154.
De Coaster, 1974, The Geology of the Central and South Sumatera Basin, Proceeding
Indonesia Petroleum Association – 3rd Annual Convention. pp.77-105.
Gafoer, S., Burhan, G., Purnomo, J., 1995, Peta Geologi Lembar Palembang Sumatera
Selatan, Puslitbang Geologi dan IAGI Pusat, Bandung.
Fitrianto, T., Saputra, H.N., Syam, B & Herupurwanto, A., 2012, The origin, distribution and
prediction of CO2 in South Sumatera, a case study: Jabung Block and Surrounding Area,
Proceeding Indonesia Petroleum Association – 36th Annual Convention, IPA12-G-025.
Ginger, D. & Fielding, K., 2005, The petroleum system and future potential of the South
Sumatra Basin. Proceeding Indonesia Petroleum Association – 13th Annual Convention &
Exhibition. pp.67-75.
Hartanto, K., Widianto, E. & Safrizal, 1991, Hydrocarbon Prospect Related to the Local
Unconformities of The Kuang Area, South Sumatra Basin, Proceeding Indonesia
Petroleum Association – 20th Annual Convention. IPA 91-11.09.
Kesumajana, A.H.P., Noeradi, D., Sapiie, B & Priono, A., 2010, Proceeding Indonesia
Petroleum Association – 34th Annual Convention, IPA10-G-147.

646
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-7
Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, 30 – 31 Oktober 2014

Lembaga Kerjasama Fakultas Teknik (LKFT) UGM, 2013, Reservoir and source rock study of
Merangin III Area, Final Report to Cooper Energy Merangin III Ltd, Tidak diterbitkan.
Miall, A., (1996), The geology of fluvial deposits: Sedimentary facies, basin analysis and
petroleum geology, Springer, Toronto, 582p.
Muksin, N., Yusme, D., Waren, R., Werdaya, A & Djuheni, D., 2012, Regional Depositional
environment model of Muara Enim Formation and its significant implication for CBM
prospectivity in South Sumatra Basin, Indonesia, AAPG International Convention and
Exhibiton, Singapore, 16-19 September 2012, Article #80272.
Selley, R.C., 1985, Ancient Sedimentary Environments, 3rd edition, Chapman and Hall,
London, 317p.
Selley, R. C., 2000, Applied sedimentology, 2nd Ed. Academic Press, San Francisco, 523p.
Suwarna, N., Suharsono, Gafoer, S., Amin, T.C., Kusnama & Hermanto, B., 1992, Peta
Geologi Lembar Sarolangun, Sumatera, Puslitbang Geologi dan IAGI Pusat, Bandung.
Tobing, S.M., 2007, Survei Pendahuluan Potensi Gas Dalam Batubara Daerah Tamiang
Kabupaten Musi Banyuasin, propinsi Sumatera Selatan, Proceeding Pemaparan Hasil
Kegiatan Lapangan dan Non Lapangan, Pusat Sumber Daya Geologi.
Walker, R.G., 1984, General introduction: facies, facies sequences and facies models, in
Walker, R.G., ed., Facies models, 2nd ed., Geological Association of Canada, Geoscience
Canada Reprint Series 1, p. 1-9.

647
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-7
Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, 30 – 31 Oktober 2014

Gambar 1. Lokasi Penelitian terletak di daerah Kabupaten Sekayu, sekitar 100 Km sebelah
barat kota Jambi. Lubuk Napal, Sepintun, Bingin dan Babat adalah nama desa dan kecamatan.

Gambar 2. Struktur Geologi daerah Penelitian Suwarna dkk., (1992). Struktur utama berupa
anticlinorium berarah Barat Laut-Tenggara yang terpotong oleh beberapa sesar turun dan
mendatan. Litologi utama yang tersingkap adalah Formasi Air Benakat (hijau muda), Muara
enim (hijau tua) dan Kasai (merah muda).

648
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-7
Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, 30 – 31 Oktober 2014

Gambar 3. Litofasies dan interpretasi lingkungan pengendapan jalur Lubuk Napal A

649
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-7
Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, 30 – 31 Oktober 2014

Gambar 4. Litofasies dan interpretasi lingkungan pengendapan jalur Lubuk Napal B

650
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-7
Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, 30 – 31 Oktober 2014

Gambar 5. Litofasies dan interpretasi lingkungan pengendapan jalur Lubuk Napal C

651
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-7
Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, 30 – 31 Oktober 2014

Gambar 6. Litofasies dan interpretasi lingkungan pengendapan jalur Tebing Tinggi

652
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-7
Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, 30 – 31 Oktober 2014

Gambar 7. Litofasies dan interpretasi lingkungan pengendapan jalur Babat A

653
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-7
Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, 30 – 31 Oktober 2014

Gambar 8. Litofasies dan interpretasi lingkungan pengendapan jalur Babat B

654
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-7
Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, 30 – 31 Oktober 2014

Gambar 9. Korelasi jalur Lubuk Napal – Babat – Tebing Tinggi, dengan persebaran batubara
sebagai marker bed. Suksesi di atas batubara umumnya berupa perselingan batupasir dengan
sisipan serpih, sedangkan di bagian bawah berupa perselingan serpih dengan sisipan pasir
tipis.

655
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-7
Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, 30 – 31 Oktober 2014

Gambar 10. Lingkungan Pengendapan dan Litofasies tiap jalur. Menunjukkan bahwa satuan
batuan di daerah penelitian umumnya berkisar antara delta plain sampai delta front, yang
suksesi keatas menunjukkan fase progradasi dan retrogradasi.

656

Anda mungkin juga menyukai