Anda di halaman 1dari 30

I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) mendorong


peningkatan produksi pulp dan kertas tanah air dari bahan baku tumbuhan tidak
berkayu atau nonwood. Selain memiliki potensi bahan baku tumbuhan tidak
berkayu yang cukup besar, pemanfaatan bahan baku tumbuhan tidak berkayu juga
diharapkan meningkatkan posisi Indonesia pada urutan produsen pulp dan kertas
dunia. Selama ini industri kertas dan pulp sering diidentikkan dengan industri
yang merusak hutan. Pemakaian bahan baku bukan tumbuhan tidak berkayu untuk
pulp dan kertas menawarkan solusi yang baik.
Bahan baku tumbuhan tidak berkayu sudah banyak diteliti didalam bidang
produksi pulp dan kertas. Selama ini, kebanyakan kertas seni dibuat menggunakan
bahan baku tumbuhan tidak berkayu yang dianggap sebagai gulma atau limbah
tanaman yang tidak digunakan lagi. Menurut Purnawan et al (2012) bahwa hasil
penelitian dengan menggunakan ampas tebu sebagai bahan alternatif pembuat
kertas dekorasi menggunakan metode organosolv dengan pelarut organik
diperoleh bahwa semakin besar jumlah etanol (larutan pemasak) ampas tebu yang
diperoleh semakin halus dan lunak. Menurut hasil penelitian Prabawati et al
(2008) bahwa merang dan pelepah pohon pisang dapat dimanfaatkan sebagai
bahan alternatif pembuatan kertas yang ramah lingkungan dan kertas yang
dihasilkan dari kedua bahan tersebut mempunyai keungulan yang terletak pada
corak dan warnanya yang khas. Pemanfaatan serat eceng gondok sebagai bahan
baku kertas juga telah dilakukan, batang eceng gondok yang telah mengalami
proses pulping dicampur dengan limbah kertas (Gunawan, 2007). Sundari et.al
(2012) telah melakukan chemical treatment gondok menggunakan sodium chlorite
hydroxide pada proses pulping mechanical treatment serat yang sudah diolah
dengan cara kimia dihaluskan ukuran submicron. Sedangkan menurut Syamsu et
al (2012) selulosa micobial dari nata de cassava dapat dikombinasikan dengan
sabut kelapa untuk dijadikan sebagai bahan baku kertas.

1
Pulp dan kertas dibuat dari serat tumbuhan yang mengandung selulosa,
lignin, pektin, tanin, xylan, mannan, gum, dan zat karbohidrat lainnya. Zat yang
diperlukan dalam proses pembuatan pulp dan kertas hanyalah selulosa, karena
selulosa mampu membentuk ikatan hidrogen yang kuat bersama air selulosa harus
dipisahkan dari senyawa lainnya supaya pulp menghasilkan kualitas dan daya
tahan yang baik. Proses pemisahan ini memerlukan suatu larutan pemasak.
Berdasarkan larutan pemasaknya, ada 3 jenis proses yaitu pulping kraft, soda, dan
sulfit. Larutan pemasak yang paling umum digunakan adalah NaOH. Dari proses
ini dihasilkan produk samping yang berupa cairan bewarna hitam. Cairan ini
adalah limbah black liquor. Black liquor ini banyak mengandung lignin dan
sangat berbahaya bagi ekosistem perairan jika langsung dibuang ke perairan
(Gunawan D, 2013).
Komposisi bahan kimia yang terkandung dalam Black Liquor adalah
NaOH, Na2S, Na2CO3, Na2SO3, Na2SO4, dan Na2S2O3 (Thomas M, 1989) dan
juga masih mengandung bahan total belerang tereduksi (TRS) yang tidak
menguap. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Econotech bahwa didalam
Black Liquor terdapat logam-logam yang diantaranya merupakan logam
berbahaya antara lain : Timbal, Besi, Mangan, Nikel, Zink, Cadmium, Chromium,
Cobalt, Tembaga dan Arsen. Keberadaan logam-logam tersebut jika melewati
ambang batas maka dapat mencemari lingkungan. Logam yang terdapat didalam
black liquord terdapat dari tanaman yang menyerap unsur hara tanah dalam
jumlah yang berbeda, keberadaan unsur-unsur ini juga beragam didalam tanah
oleh karena itu tanaman sangat membutuhkan unsur-unsur hara tersebut yang
menjadi sumber logam yang terdapat didalam tanaman tersebut.
Limbah cair pulp kertas merupakan salah satu penyebab kerusakan
lingkungan karena karakteristik limbahnya yang memiliki nilai BOD/ COD
(kebutuhan oksigen dalam menguraikan senyawa biologi dan kimia) yang sangat
tinggi. Apabila limbah cair tersebut dibuang ke perairan akan mengakibatkan
kematian ikan dan biota air lainnya. Selain itu limbah cair industri kertas
menimbulkan bau busuk, sedangkan bahan kimia yang terikut dalam limbah cair
tersebut menimbulkan gangguan pernafasan bagi penduduk yang tinggal di sekitar

2
saluran pembuangan limbah, bahkan tercium sampai beratus – ratus meter dari
tempat tersebut (Rini, 2002).
Berdasarkan uraian di atas perlu dilakukan penelitian tentang kandungan
logam Fe,Cu, dan Zn yang terdapat pada kandungan black liquor dari proses
puping soda untuk dapat mengetah ui kadar dan bahanya terhadap lingkungan.

1.2 Tujuan Penelitian


Adapun tujuan dari penelitan ini adalah untuk menganalisis kadar logam
Ferrum (Fe), Zink (Zn) dan Cuprum (Cu) yang terdapat dalam Black Liquor dari
pulping soda dari eceng gondok, purun tikus dan pisang abaka.

1.3 Manfaat Penelitian


1. Memberikan informasi tentang kadar logam Ferrum (Fe), Zink (Zn) dan
Cuprum (Cu)yang terdapat pada Black Liquor
2. Memberikan informasi kepada masyarakat seberapa besar kadar logam
Ferrum (Fe), Zink (Zn) dan Cuprum (Cu) tersebut dapat mengganggu
terhadap lingkungan sekitar.

3
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Eceng Gondok ( Eichornia crassipes)


2.1.1 Gambaran Umum Eceng Gondok ( Eichornia crassipes)
Eceng gondok termasuk kedalam famili Pontederiaceae. Tanaman ini
memiliki bunga yang indah berwarna ungu muda (lila). Daunnya berbentuk bulat
telur dan berwarna hijau segar serta mengkilat bila diterpa sinar matahari. Daun –
daun tersebut ditopang oleh tangkai berbentuk silinder memanjang yang kadang –
kadang mencapai 1 meter dengan diameter 1- 2 centimeter. Tangkai daunnya
berisi serat yang kuat dan lemas serta mengandung banyak air. Eceng gondok
tumbuh mengapung diatas permukaan air, tumbuh dengan menghisap air dan
menguapkannya kembali melalui tanaman yang tertimpa sinar matahari melalui
proses evaporasi. Eceng gondok selama hidupnya senantiasa diperlukan sinar
matahari (Aniek,2003). Morfologi eceng gondok ditampilkan pada gambar 2.1

Gambar 2.1 Tumbuhan Eceng Gondok (Sumber foto : Dokumen pribadi 2018).
Eceng Gondok hidup di perairan tawar yang menyerap nutrien untuk
pertumbuhannya. Penyerapan nutrien dalam jumlah besar mengakibatkan Eceng
Gondok tersebut menyerap limbah cair, N- nitrat, logam-logam peneliti mencoba
melakukan studi terhadap tumbuhan tersebut dalam upaya mengkaji kemampuan
dan limbah organik lainnya atau bahkan senyawa racun di dalam limbah
tersebut (Djenar dan Budiastuti, 2008).

4
Eceng gondok dapat menurunkan kadar BOD, Partikel suspensi secara
biokimiawi (berlangsung agak lambat) dan mampu menyerap logam – logam
berat seperti Cr, Pb, Hg, Cd, Cu, Fe, Mn, Zn dengan baik, kemampuan menyerap
logam eceng gondok lebih tinggi pada umur muda dari pada umur tua
(Widianto,1997).

2.1.2 Klasifikasi Eceng Gondok ( Eichornia crassipes)

Klasifikasi eceng gondok menurut VAN Steenis, (1978) adalah sebagai


berikut :
Kingdom : Plantae
Sub kingdom : Tracheobionta
Super Divisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Liliopsida
Ordo : Alismatales
Famili : Butomaceae
Genus : Eichornia
Spesies : Eichornia crassipes solms

2.1.3 Kandungan Kima Eceng Gondok


Komposisi kimia eceng gondok tergantung pada kandungan unsur hara
tempatnya tumbuh, dan sifat daya serap tanaman tersebut. Eceng gondok
mempunyai sifat – sifat yang baik antara lain dapat menyerap logam – logam
berat, senyawa sulfida, selain itu mengandung protein lebih dari 11,5% dan
mengandung selulosa yang lebih tinggi dari non selulosanya seperti
lignin,abu,lemak dan zat – zat lain (Forth,2008).
Hasil analisa kimia dari eceng gondok dalam keadaan segar diperoleh
bahan organik 36,59%, C-organik 21,23%, N total 0,28%, P total 0,0011% dan K
total 0,016% (Wardini,2008). Sedangkan menurut Rochyati (1998) kandungan
kimia pada tangkai eceng gondok segar adalah 92,6% air, 0,44% abu, 2,09% serat
kasar, 0,17% karbohidrat, 0,35% lemak, 0,16% protein, 0,52 fosfor, 0,42%
kalium, 0,26% klorida dan 2,22% alkanoid. Pada keadaan kering eceng gondok

5
mempunyai kandungan 64,51% selulosa, 15,61% pentosa, 5,56% silika, 12% abu
dan 7,69 lignin. Tingginya kandungan selulosa dan lignin pada eceng gondok
dapat menyebabkan bahan tersebut sulit terdekomposisi secara alami.

2.2 Purun Tikus (Eleocharis dulcis)


2.2.1 Gambaran Umum Purun Tikus (Eleocharis dulcis)
Purun tikus (Eleocharis dulcis) adalah tanaman khas daerah rawa yang
memiliki batang tegak, tidak bercabang, warna abu-abu hingga hijau mengkilat
dengan panjang 50-200 cm dan ketebalan 2-8 mm, daun mengecil sampai ke
bagian basal, pelepah tipis seperti membran, ujungnya asimetris, berwarna cokelat
kemerahan. Purun tikus dapat dimanfaatkan sebagai bahan kerajinan tangan
berupa tas, tikar dan lebih banyak lagi dan juga dapat menjaga tanaman para
petani dari serangan hama serangga. Morfologi purun tikus dapat dilihat pada
gambar 2.2

Gambar 2.2 Tumbuhan Purun Tikus (Sumber foto : Dokumen pribadi, 2018)
Priyatmadi et al. (2006) menyatakan, vegetasi purun tikus dapat tumbuh
pada tanah dengan pH 3 dan kandungan aluminium dapat ditukar (Al dd) 5,35
me/100 g, kandungan sulfat larut (SO4 2-) tinggi (0,90 me/100 g), dan kandungan
besi larut (Fe2+) 1,017 ppm. Dengan demikian dapat dikatakan purun tikus
mampu tumbuh pada kondisi tanah yang buruk
Purun tikus merupakan tanaman perangkap bagi penggerek batang padi
putih dan habitat beberapa jenis musuh alami, seperti predator dan parasitoid
(Asikin et al. 2001). Hama penggerek batang padi putih banyak meletakkan
telurnya pada batang bagian atas purun tikus. Fungsi lainnya adalah sebagai
sumber bahan organik dan biofilter yang mampu menyerap unsur beracun atau

6
logam berat seperti besi (Fe), sulfur (S), merkuri (Hg), timbal (Pb), dan kadmium
(Cd) (Asikin dan Thamrin 2011).

2.2.2 Klasifikasi Purun Tikus


Klasifikasi purun tikus menurut Steenis (2003) adalah sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Superdivisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Liliopsida
Subkelas : Commelinidae
Ordo : Cyperales
Famili : Cyperaceae
Genus : Eleocharis
Spesies : Eleocharis dulcis (Burm.f.) Trinius ex

2.2.3 Kandungan Kimia Purun Tikus


Kandungan kimia tanaman purun tikus diperoleh dengan menyerbukkan
tanaman tersebut dan dihaluskan sampai dengan ukuran 40-60 mesh kemudian
analisis kadar air, ekstraktif, lignin dan selulosa dilakukan sesuai dengan
prosedur. Data yang diperoleh dari analisis kandungan kimia tanaman purun
tikus adalah 92,68% kadar air, 9,53% ekstraktif dalam alkohol – benzen,
26,4%lignin, 32,62% selulosa dan 31,45% kelarutan dalam NaOH (Sunardi &
Istikowati, W.T, 2012).

2.3 Pisang Abaka ( Musa textilis Nee)


2.3.1 Gambaran Umum Pisang Abaka ( Musa textilis Nee)
Abaca (Musa textillis Nee) adalah tumbuhan yang termasuk dalam famili
Musaceae yang berasal dari Filipina yang telah dikenal dan telah dikembangkan
sejak tahun 1519 (Wibowo, 1998). Abaka merupakan salah satu spesies pisang
yang tidak diambil buahnya tetapi seratnya. Keunggulan serat abaka dibandingkan
serat dari tanaman lainnya adalah dalam hal kekuatannya dan kegunaannya yang

7
beragam sebagai bahan baku dari berbagai produk, diantaranya sebagai bahan
baku tali kapal, tekstil, pembungkus teh celup, pembungkus tembakau, jok kursi
serta kerajinan tangan (Hilman dan Mathius 2001).
Pisang abaka memiliki tinggi antara 2,20-4,15 m atau bahkan lebih tinggi
dari 4 m. Garis tengah pangkal batang antara 10-26 cm. Panjang tangkai daunnya
yaitu berukuran 33-36 cm. Ukuran helai daun cukup besar yaitu panjang antara
112-250 cm dan lebar daun antara 42-68 cm. Abaka mulai berbunga pada umur
sekitar 2 tahun. Panjang buah 6-68 cm dengan lebar 2-2,75 cm dan panjang
tangkai buah antara 1-1,5 cm (Hilman dan Nurita, 2001). Morfologi tumbuhan
pisang abaka ditampilkan pada gambar 2.3

Gambar 2.3 Tumbuhan pisang abaka (Sumber foto : Dokumen pribadi, 2018).

2.3.2 Klasifikasi Pisang Abaka


Klasifikasi pisang abaka menurut Rukmana (1999) adalah sebagai
berikut :
Divisi : Spermatophyta (tumbuhan berbiji)
Subdivisi : Angiospermae (berbiji tertutup)
Ordo : Scitaminae
Famili : Musaceae
Subfamili : Muscoideae
Genus : Musa
Spesies : Musa Textilis Nee

8
2.3.3 Kandungan Kimia Pisang Abaka
Kandungan kimia yang terdapat pada pisang abaka untuk selulosa sebesar
56,32%, lignin sebesar 8,93%, holoselulosa sebesar 61,31%, dan zat ekstraktif
larut dalam air dingin 13,36%, air panas 21%, NaOH 1% sebesar 42,23% dan
alkohol benzena 3,95% (Muladi,2001).

2.4 Komponen Kimia Kayu


Pengetahuan tentang komponen kimia di dalam kayu mempunyai arti
penting karena dapat menentukan sifat dan kegunaan sesuatu jenis kayu. Dari sifat
kimia dapat diduga ketahanan kayu terhadap serangan makhluk perusak kayu.
Selain itu dengan menyimak komponen kimia dan serat kayu, kita dapat
merencanakan tindakan-tindakan teknologi dalam rangka memperbaiki sifat-sifat
dan kualitas produk, dapat pula menentukan sifat pengerjaan dan pengolahan
kayu, sehingga didapat hasil maksimal. Komponen kimia kayu sangat bervariasi
karena dipengaruhi oleh faktor tempat tumbuh, iklim dan letaknya didalam batang
atau cabang (Dumanauw, 2001).
Menurut Soenardi (1976), bahwa komponen kimia pada kayu maupun non
kayu adalah zat penyusun yang dibentuk selama pertumbuhan. Komponen kimia
didalam kayu maupun non kayu dibedakan atas komponen yang terikat didalam
dinding sel dan komponen bebas yang mengisi rongga sel. Komponen kimia kayu
maupun non kayu yang berada didalam dinding sel meliputi karbohidrat seperti
selulosa, hemiselulosa dan asam uronik dan lignin. Sedangkan komponen kimia
kayu maupun non kayu yang terdapat didalam rongga sel yaitu zat - zat ekstraktif.

2.4.1 Selulosa
Selulosa merupakan serat-serat panjang yang bersama hemiselulosa,
pektin, dan protein membentuk struktur jaringan yang memperkuat dinding sel
tanaman. (Winardo, 1997). Menurut Macdonald dan Franklin (1969)
menyebutkan bahwa selulosa adalah senyawa organik yang terdapat paling
banyak di dunia dan merupakan bagian dari kayu dan tumbuhan tingkat tinggi
lainnya. Ditambahkan oleh Lee et al. (2009) yang menerangkan bahwa Selulosa
adalah polimer dari rantai unit α-D-1-4 anhidroglukosa (C6H12O6)n, sebanyak 40-

9
60 % yang terdapat dalam dinding sel pada tumbuhan berkayu. Beberapa ciri-ciri
dari struktur selulosa yang berdasarkan pada karakteristik kimia yang dimiliki
adalah dapat mengembang dalam air, berbentuk kristalin, adanya kelompok
fungsional yang spesifik dan dapat bereaksi dengan enzim selulolitik (Sierra et al.,
2007).
Kadar selulosa didalam serat kayu maupun non kayu dapat digunakan
untuk menafsir besarnya rendemen pulp dan kertas yang dihasilkan ( Soenardi,
1997). Menurut Fengel dan Wegener (1995), bahwa selulosa merupakan bahan
dasar dari banyak produksi teknologi (kertas, film, serat, aditif dan sebagainya),
dan karena itu diisolasi terutama dari serat pembuatan pulp dalam skala besar.
Gambar struktur kimia selulosa ditampilkan pada gambar 2.4

Gambar 2.4. Struktur Kimia Selulosa (Ibrahim, 1998).

2.4.2 Hemiselulosa
Hemiselulosa merupakan polimer amorf yang berasosiasi dengan selulosa
dan lignin. Sifatnya mudah mengalami depolimerisasi, hidrolisis oleh asam, basa,
mudah larut air. Memiliki ikatan dengan lignin lebih kuat dari pada ikatan dengan
selulosa dan mudah mengikat air. Kadar hemiselulosa berbeda pada jenis kayu
daun jarum dan kayu daun lebar (Achmadi, 1990).
Kandungan hemiselulosa didalam biomassa lignoselulosa berkisar antara
11% hingga 37% (berat kering tanur). Hemiselulosa lebih mudah dihidrolisis
daripada selulosa, tetapi gula C-5 lebih sulit difermentasi menjadi etanol daripada
gula C-6 (Isroi, 2008).
Hemiselulosa terdapat bersama-sama dengan selulosa dan lignin dalam
dinding sel terutama dalam daerah amorf dan juga dalam lamela tengah. Bila

10
lignin dikeluarkan dari dalam serat seperti pada proses pulping, maka serpihan
serat masih tetap utuh untuk mikrostrukturnya hal tersebut disebabkan adanya
hemiselulosa dalam lamela tengah dimana mengika sel-sel tersebut. Dengan
proses perebusan atau penguaian serat maka sel-sel baru dapat dipisahkan satu
sama lain. Hemiselulosa yang masih tertinggal didalam pulp memegang peranan
penting dalam ikatan antar serat pada pembuatan kertas (Jemi,2003). Struktur
unit-unit penyusun hemiselulosa ditampilkan pada gambar 2.5

Gambar 2.5 Struktur unit-unit penyusun hemiselulosa (Ibrahim, 1998).

2.4.3 Lignin
Lignin adalah suatu polimer yang kompleks dengan berat molekul tinggi,
tersusun atas unit-unit fenilpropana. Lignin sangat stabil dan sukar dirubah dan
mempunyai bentuk yang bermacam-macam, sehingga susunan lignin yang pasti
dalam kayu tetap tidak menentu. Lignin terdapat diantara sel-sel dan didalam
dinding sel. Lignin sangat erat hubungannya dengan selulosa dan berfungsi untuk
memberikan ketegaran pada sel. Lignin juga berpengaruh dalam memperkecil
perubahan dimensi sehubungan dengan perubahan kandungan air kayu dan
mempertinggi sifat ketahanan kayu terhadap serangan cendawan dan serangga
(Haygreen dan Bowyer 1989).
Menurut Rosamah (1995), bahwa semakin tinggi kandungan lignin maka
kebutuhan bahan kimia semakin tinggi selain itu semakin kandungan lignin

11
mengakibatkan warna pulp yang dihasilkan menjadi lebih gelap. Karena didalam
pulp masih mengandung sisa lignin. Dan pulp yang masih mengandung sisa lignin
yang tinggi akan sukar digiling sehingga membutuhkan waktu yang lama dan
kertas yang dihasilkan mempunyai kekuatan rendah. Hal ini didukung oleh
Soenardi ( 1976) bahwa semakin rendah kadar lignin pada pulp maka semakin
besar kekuatan ikatan antar seratnya. Struktur lignin dari softwood ditampilkan
pada gambar 2.5

Gambar 2.5 Struktur lignin dari softwood (Perez et al., 2002).

2.4.4 Zat Ekstraktif


Menurut Achmadi (1990), selain selulosa, hemiselulosa dan lignin,
komponen kimia lainnya yang terdapat dalam kayu adalah substansi yang biasa
disebut dengan zat ekstraktif. Zat ekstraktif biasanya berada di dalam pori-pori
dan dinding sel tanaman berkayu dalam jumlah yang sedikit. Zat ekstraktif
tersebut tidak semuanya bisa larut dalam pelerut kimia, hal ini disebabkan karena
adanya struktur lain dalam zat ekstraktif tersebut seperti mineral atau getah yang
mempunyai derajat kondensasi yang tinggi.
Zat ekstraktif umumnya adalah zat yang mudah larut dalam pelarut seperti
eter, alkohol, bensin dan air. Persentase zat ekstraktif ini rata-rata 3-8% dari berat
kayu kering tanur. Termasuk di dalamnya minyak-minyakan, resin, lilin, lemak,
tannin, gula pati dan zat warna. Zat ekstraktif ini merupakan bagian struktur

12
dinding sel, tetapi terdapat dalam rongga sel. Dalam arti yang sempit, zat
ekstraktif merupakan senyawa-senyawa yang larut dalam pelarut organik dan
dalam pengertian ini, nama zat ekstraktif digunakan dalam analisis kayu (Fengel
dan Wegener, 1995).
Dumanaw (2003) menyatakan bahwa zat ekstraktif memiliki peranan
dalam kayu karena dapat mempengaruhi sifat keawetan, warna, bau dan rasa
sesuatu jenis kayu, dapat digunakan untuk mengenal sesuatu jenis kayu, dapat
digunakan sebagai bahan industri, dapat menyulitkan dalam pengerjaan dan
mengakibatkan kerusakan pada alat-alat pertukangan. Zat ekstraktif yang bersifat
racun menyebabkan ketahanan terhadap pelapukan kayu. Hal ini dibuktikan
bahwa ekstrak dari kayu gubal pada pohon yang sama. Serta ketahanan terhadap
pelapukan kayu teras akan berkurang jika diekstraksi dengan air panas atau
dengan pelarut organik (Syafii et al, 1987).
Komponen unsur- unsur kimia dalam kayu adalah : a. Karbohidrat 50% b.
Hidrogen 6% 20 c. Nitrogen 0,04 – 0,1% d. Abu 0,2 – 0,5% e. Sisanya oksigen
Selain komponen–komponen diatas kayu juga mengandung zat – zat mineral,
diantaranya ; Ca, Mg, Si, Fe dan K (Dumanauw, 2001).
a. Besi (Fe)
Logam besi (Fe) sebenarnya adalah mineral yang dibutuhkan tubuh untuk
pembentukan hemoglobin, terdapat pada buah, sayuran, serta suplemen makanan
(Pratama et al, 2012). Pada tanaman lamun besi merupakan bagian dari enzim
tertentu dan protein yang berfungsi sebagai pembawa elektron pada fase terang
fotosintesis dan respirasi (Tahril et al, 2011).
Kelebihan zat Fe bisa menyebabkan keracunan dengan gejala muntah,
diare dan kerusakan usus. Zat Fe dapat terkumpul dalam tubuh jika seseorang
mendapatkan terapi dalam jumlah yang berlebih atau dalam waktu yang terlalu
lama, menerima beberapa transfusi darah dan menderita alkoholisme menahun.
Hemokromatosis merupakan penyakit kelebihan zat Fe yang diserap. Zat Fe
dalam dosis besar dapat merusak dinding usus yang sering menyebabkan
kematian. Debu zat Fe juga dapat diakumulasi di dalam alveoli dan menyebabkan
berkurangnya fungsi paru-paru (Juli, 1996).

13
a. Tembaga (Cu)
Tembaga (Cu) merupakan logam transisi golongan IB yang memiliki
nomor atom 29 dan berat atom 63,55 g/mol. Tembaga dalam bentuk logam
memiliki warna kemerah-merahan, namun lebih sering ditemukan dalam bentuk
berikatan dengan ion-ion lain seperti sulfat sehingga memiliki warna yang
berbeda dari logam tembaga murni. Senyawa tersebut biasa digunakan dalam
bidang industri, misalnya untuk pewarnaan tekstil, untuk penyepuhan, pelapisan,
dan pembilasan pada industri perak. Selain itu, tembaga sulfat pentahidrat juga
marak digunakan dalam bidang pertanian dan peternakan, yaitu sebagai fungisida,
algasida, pupuk Cu, dan sebagai zat pengatur pertumbuhan untuk babi (Alloway,
1995).
Logam Cu termasuk logam berat essensial, jadi meskipun beracun tetapi
sangat dibutuhkan manusia dalam jumlah yang kecil. Toksisitas yang dimiliki Cu
baru akan bekerja bila telah masuk ke dalam tubuh organisme dalam jumlah yang
besar atau melebihi nilai toleransi organisme terkait (Palar, 1994). Connel dan
Miller (1995) menyatakan bahwa Cu merupakan logam essensial yang jika berada
dalam konsentrasi rendah dapat merangsang pertumbuhan organisme sedangkan
dalam konsetrasi yang tinggi dapat menjadi penghambat. Selanjutnya oleh Palar
(1994) dinyatakan bahwa biota perairan sangat peka terhadap kelebihan Cu dalam
perairan sebagai tempat hidupnya.
Gejala yang timbul pada manusia yang keracunan Cu akut adalah:mual,
muntah, sakit perut, hemolisis, netrofisis, kejang, dan akhirnya mati.Pada
keracunan kronis, Cu tertimbun dalam hati dan menyebabkan hemolisis.
Hemolisis terjadi karena tertimbunnya H2O2 dalam sel darah merah sehingga
terjadi oksidasi dari lapisan sel yang mengakibatkan sel menjadi pecah. Defisiensi
suhu dapat menyebabkan anemia dan pertumbuhan terhambat (Darmono, 2005).

14
b. Seng (Zn)
Seng merupakan kofaktor yang dapat meningkatkan lebih dari 70 macam
enzim yang mempunyai fungsi khusus pada organ mata, hati, ginjal, otot, kulit,
tulang, dan organ reproduksi laki-laki seperti karbonik-anhidrase dalam sel darah
merah serta karboksi peptidase dan dehidrogenase dalam hati. Seng juga berperan
penting dalam sistem kekebalan dan terbukti bahwa seng merupakan mediator
potensial pertahanan tubuh terhadap infeksi. Limfo-penia, konsentrasi dan fungsi
limfosit T dan B menurun, menurunnya fungsi lekosit seringkali ditemukan pada
penderita defisiensi seng (Shankar AH dan Prasad AS., 1998).
Kekurangan seng dapat pula mengganggu imunitas dan menghambat
penyerapan zat besi dalam tubuh. Seng juga berperan dalam mencegah diare dan
akumulasi kolesterol dalam pembuluh darah, serta meningkatkan kesuburan dan
produksi testosteron yaitu hormon yang berperan penting dalam menghasilkan
sperma. Seng dalam kesehatan penting sebagai penangkal radikal bebas
(antioksidan) (Welch dan Graham, 2004), namun kandungan mineral dalam
produk pertanian, khususnya beras masih lebih rendah dari kebutuhan yang
dianjurkan.

2.5 Proses Pulping


2.5.1 Pengertian Pulp dan Pulping
Pulp merupakan hasil pemisahan serat kayu atau bahkan berserat lain
yang mengandung legnoselulosa. Pembuatan pulp didefinisikan sebagai proses
mengubah bahan baku berselulosa menjadi berserat. Pulp atau yang disebut
dengan bubur kertas merupakan bahan pembuatan kertas.Kertas adalah bahan
yang tipis dan rata, yang dihasilkan dengan kompresi serat yang berasal dari
pulp, yang mengandung selulosa dan hemiselulosa. (Casey, 1980).
Pulp didapatkan melalui suatu proses yang disebut dengan proses pulping.
Menurut Sjȍstrȍm (1995), bahwa proses pulping merupakan pemisahan serat dari
bahan berserat selulosa dengan atau tidak menghilangkan lignin dari bahan-bahan
bukan selulosa lainnya dengan cara mekanis, kimia dan semi kimia dalam bentuk
pulp. Sedangkan menurut Soenardi (1976) proses pulping erupan suatu cara untuk

15
memisahkan serat-serat dan material lainnya yang terikat bersama-sama pada
tanaman sehingga diperoleh bubur kertas.

2.5.2 Proses Pulping Soda Dingin


Proses ini dikenalkan oleh C. Watt dan H. Burges pada tahun 1850.
pada proses ini sistem pemasakan menggunakan senyawa alkali yaitu
natrium hidroksida (NaOH) sebagai larutan pemasak di kolom bertekanan,
dengan perbandingan 4 : 1 dari jumlah kayu yang digunakan. Kemudian larutan
pemasak bekas dipekatkan dengan proses penguapan (evaporasi).
Proses pulping dengan menggunakan metode soda dingin mrmpunyai
keuntungan yang anttara lain :
1. Prosesnya sangat sederhana
2. Rendemen yang diperoleh relatif tinggi.
3. Dapat diterapkan pada bermacam – macam jenis kayu maupun non kayu
(Roehjati & William, 1997).
Adapun kelemahan dari proses soda dingin ini adalah mempunyai derajat
putih yang rendah dan serat kurang seragam jika penetrasi larutan kedalam serpih
kurang menyeluruh. Proses pulping soda dingin ini pada dasarnya adalah
merupakan perendaman serpih-serpih chip didalam larutan Natrium Hidroksida
(NaOH) pada kondisi kamar sebelum mengalami fiberisasi secara mekanis
( Rusnani,1989).

2.6 Lindi Hitam (Black Liquor)


Lindi hitam merupakan campuran yang sangat kompleks yang
mengandung sejumlah besar komponen dengan struktur dan susunan yang
berbeda. Bahan organik dalam lindi hitam yang dihasilkan setelah pembuatan
pulp pada dasarnya terdiri dari lignin dan produk-produk degradasi karbohidrat
disamping bagian-bagian kecil ekstraktif dan produk-produk reaksinya
Lindi hitam secara potensial dapat mencemari lingkungan. Rudatin (1989)
menyatakan dari 15.000 ton pulp berat kering dari proses kraft dan sulfit netral,
akan dihasilkan limbah yang berbentuk lindi hitam sekitar 130.000 ton dengan
konsistensi 18% berat padatan per berat larutan. Oleh karena tingginya produksi

16
lindi hitam dalam proses pulping, maka perlu diupayakan penanganan dan
pemanfaatannya, karena larutan sisa pemasak merupakan limbah cair yang dapat
membahayakan kestabilan lingkungan. Menurut Santoso et al. (2001), lindi hitam
(black liquor) merupakan sumber pencemaran lingkungan yang potensial. Hal ini
disebabkan oleh adanya beberapa senyawa kimia seperti metil merkaptan dan
hidrogen sulfida yang bersifat racun. Dipihak lain, berbagai jenis produk yang
bermanfaat dapat dihasilkan dari isolasi dan pemisahan komponen yang terdapat
dalam larutan sisa pemasak tersebut
Beberapa senyawa kimia anorganik yang terdapat dalam Black Liquor
adalah : Natrium hidroksida (NaOH), Natrium sulfida (Na2S), Natrium karbonat
(Na2CO3), Natrium sulfat (Na2SO4), Natrium hiosulfat (Na2S2O3), Natrium
klorida (NaCl) (Thomas, M, 1989) Didalam black liquor juga terdapat logam-
logam yang bersumber dari kayu yang digunakan, diantaranya : Timbal, Besi,
Zink, Kadmium, Mangan, Cobalt, dan lain-lain. Logam-logam ini juga akan
berbahaya jika kadarnya terlalu tinggi dan dapat mencemari lingkungan. Black
liquor dapat berperan penting dalam industri pulp, karena dapat didaur ulang
menjadi lindi hijau dimana poada recovery boiler diasup oleh natrium sulfat
(Na2SO4) agar kekurangan SO4-2. (TPL,2002)

2.7 Spektrofotometri Serapan Atom


Spektrometer Serapan Atom (SSA) adalah suatu alat yang digunakan pada
metode analisis untuk penentuan unsur-unsur logam dan metalloid yang
pengukurannya berdasarkan penyerapan cahaya dengan panjang gelombang
tertentu oleh atom logam dalam keadaan bebas (Skoog et al., 2002). Khopkar
(1990) menyatakan bahwa metode serapan sangatlah spesifik, logam-logam yang
membentuk campuran komplek dapat dianalisa, selain itu tidak selalu diperlukan
sumber energi yang besar.
a) Cara Kerja AAS
1. Sumber sinar yang berupa tabung katoda berongga (Hollow Chatode Lamp)
menghasilkan sinar monokromatis yang mempunyai beberapa garis resonansi.

17
2. Sampel diubah fasenya dari larutan menjadi uap atom bebas didalam atmosfir
dengan nyala api yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar dengan
oksigen.
3. Monokromator akan mengisolasi salah satu garis resonansi yang berasal dari
sumber sinar.
4. Energi sinar dari monokromator akan diubah menjadi energi listrik dalam
detektor.
5. Energi listrik dari detektor inilah yang akan menggerakkan jarum dan
mengeluarkan grafik.
6. Sistem pembacaan akan menampilkan data yang dapat dibaca dari grafik.
b) Kelebihan dan Kekurangan AAS
Adapun kelebihan AAS adalah kepekaan yang tinggi, sistem yang relatif
mudah, dapat memilih temperatur yang dikehendaki, dan dari satu larutan dapat
diuji berbagai senyawa logam. Sedangkan kekurangan dari sistem ini ialah hanya
dapat digunakan untuk larutan dengan konsentrasi yang sangat rendah, sistem
atomisasi tidak mampu mengatomkan secara langsung sampel yang padat. Skema
spektrometer serapan atom ditampilkan pada gambar 2.7

Gambar 2.7. Skema Spektrometer Serapan Atom


Keterangan : A. Sumber Radiasi B. Burner C. Monokromator D. Detektor E.
Amplifier F. Display (Readout)

18
III. METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu


Proses pembuatan black liquor dari pulping soda dingin dilakukan di
Laboratorium Teknologi Hasil Hutan Jurusan Kehutanan UPR dan pengujian
kandungan logam black liquor menggunakan Atomic Absorption
Spectrophotometer (AAS) di Laboratorium Analitik UPR. Waktu penelitian
selama tiga bulan terhitung mulai bulan April-Juni 2018. Kegiatan ini meliputi
persiapan bahan baku, pembuatan pulping, pengambilan black liquor dari proses
pulping, penelitian logam dan penyusunan hasil penelitian.

3.2 Alat dan Bahan


Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah gelas ukur 1000 ml,
pengaduk, saringan, Spektrofotometer Serapan Atom, labu takar, erlenmeyer,
desikator, oven, neraca analitik, corong, hot plate, kertas saring. Bahan yang
digunakan adalah aquades, NaOH, HNO3, sampel purun tikus, pisang abaka dan
eceng gondok.

3.3 Persiapan Sampel


Proses persiapan sampel pada penelitian ini dijelaskan pada anak sub bab
berikut:
3.3.1. Eceng gondok
Eceng gondok diambil dari sekitaran sungai kahayan kota Palangka Raya
Kalimantan Tengah. Bagian eceng gondok yang digunakan yaitu batangnya.
Batang eceng gondok yang telah diambil dibersihkan, dikupas dan dipotong
berbentuk chips dengan panjang 2 cm dan tebal 0,5 cm.

3.3.2 Purun Tikus


Purun tikus diambil dari desa Kereng Bangkirai Kelurahan Pahandut Kota
Palangka Raya Kalimantan Tengah. Purun tikus yang diambil bagian batangnya,

19
kemudian batang purun tikus dibersihkan dan dipotong berbentuk chips dengan
panjang 2 cm dan lebar 1 cm.
3.3.3 Pisang Abaka
Pisang abaka diambil dari Jl. Kapten Piere Tendean (Pahandut Seberang)
Kelurahan Pahandut Kota Palangka Raya Kalimantan Tengah. Pisang abaka yang
diambil bagian batangnya, kemudian batang Pisang abaka dibersihkan dan
dipotong berbentuk chips dengan panjang 2 cm dan lebar 1 cm.

3.4 Prosedur Penelitian


Prosedur penelitian ini dijelaskan pada anak sub bab berikut:
3.4.1 Pengukuran MF Chip
Pengukuran MF Chip dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. Chip ditimbang sebanyak 3 gram dan dimasukkan kedalam gelas ukur
yang sudah dioven selama 1 jam. Oven chip tersebut selama 2 jam
sebanyak 12 kali/ konstan.
b. Setelah itu dimasukkan kedalam desikator selama 15 menit dan ditimbang.
c. Untuk mendapatkan faktor kelembaban (MF) chip dihitung dengan metode
Zellcheming Merk blatt : I.1/1949 1 dengan rumus :

a
𝑀𝐹 𝑐ℎ𝑖𝑝 =
b

Keterangan :
a = Berat chip OD (g) b = Berat chip awal (g)

3.4.2 Proses Pulping


Chip yang telah dibersihkan dan dipotong direndam kedalam NaOH.
Konsentrasi NaOH yang digunakan adalah 0%, 5%, 10%, 20%, 30% dan 40%.
Waktu perendaman adalah 24 jam ( satu hari), rasio pemasakan. Setelah chip
direndam kemudian chip disaring untuk mendapatkan black liquor sesuai
konsentrasi pemasakannya.

20
3.4.3 Analisis logam yang terdapat pada black liquor
Mengacu kepada prosedur Elisa (2007).
a. Preparasi Sampel
1. Sampel ditimbang sebanyak 5,019 gram lalu dimasukkan kedalam
erlenmeyer kemudian ditambah 25 ml HNO3(p).
2. Kemudian dipanaskan diatas hot plate selama 2 jam lalu didinginkan.
3. Sampel yang telah dingin lalu disaring dengan kertas saring.
4. Destilat yang diperoleh dimasukan kedalam labu takar 50 ml dan
ditambahkan aquades sampai tanda batas
b. Penentuan Konsentrasi Cu, Fe dan Zn Dalam Sampel Dengan Spektrofotometer
Serapan Atom
1. Filtrat hasil destruksi ini diatur pH-nya 3-4 dengan pH meter
2. Kemudian filtrat hasil destruksi ini dianalisa kadar ion logam Cu, Fe dan Zn
nya dengan alat Spektrofotometer Serapan Atom

3.4.5 Analisis Data


Data hasil penelitian yang diperoleh selanjutnya dirata-ratakan dan
dihitung pada tiap perlakuan dengan rumus sebagai berikut :

∑X
𝑋̅ =
n

Keterangan :
𝑋̅ = Rata-Rata Data
∑X = Jumlah Data
n = Banyak Data
Untuk mempermudah analisa data tersebut, data disusun dalam bentuk
tabel dan grafik. Sebelum data dimasukkan kedalam persamaan regresi, data
terlebih dahulu dianalisis menggunakan Koefisien Variasi dengan rumus sebagai
berikut (Supranto,1992) :

21
#
𝑛
1 (∑𝑛𝐼=𝑖 𝑥 )2
𝑆𝐷 = √ {∑ 𝑥 2 −
𝑛 𝑛
𝐼=𝑖

𝑆𝐷
𝐾𝑉 = 𝑋 100%
𝑋̅

Keterangan :
KV = Koevisien Variasi (%)
SD = Standar Deviasi
𝑥̅ = rata-rata contoh uji
n = Jumlah contoh uji
Untuk mengetahui hubungan atau pengaruh perlakuan tersebut digunakan
analisis regresi linier. Persamaan yang digunakan terhadap kecenderungan data
yang diperoleh adalah sebagai berikut (Prajitno, 1981) :

Y = a + bx

Keterangan :
Y = variabel terikat
X = variabel bebas
a = nilai perpotongan pada sumbu
b = kenaikan/penurunan nilai y untuk setiap pengamatan x
Koefisien a dan b diperoleh dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

( y )(  X 2 ) ( X )( XY )
a
n( X 2 )   X 
2

n( XY ) ( X )( Y )


b
n( X 2 )   X 
2

22
Bagan alur pikir identifikasi kandungan logam di black liquor pulping
soda dari beberapa tumbuhan tidak berkayu disajikan pada Gambar 3.1

Bahan Baku

Pembersihan,pemotongan
dan penjemuran

Konsentrasi NaOH,
Perebusan selama 24
0%, 5%, 10%, 20%,
jam ( 1 hari)
30%, dan 40%

Chip Larutan sisa perendaman


( Black Liquor)

Preparasi
sampel

Residu Filtrat

Pengujian logam
dengan SSA

Hasil

23
Gambar 3.1 Alur Pikir Penelitian
DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, S. S. 1990. Kimia Kayu. Departemen Pendidikan dan Kebudayan


Direktorat Jenderal pendidikan Tinggi Pusat Universitas Ilmu Hayat IPB.
Bogor.

Alloway B.J 1995. Heavy Metals in Soils. Chapman & Hall. London .

Aniek, S. 2003. Kerajinan Tangan Enceng Gondok. Jawa Tengah. Balai


Pengembangan Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda (BPPLSP).

Asikin, S., M. Thamrin, dan A. Budiman. 2001. Purun tikus Eleocharis dulcis
(Burm. F.) Henschell sebagai agensia pengendali hama penggerek batang
padi putih dan konservasi musuh alami di lahan rawa pasang surut.
Prosiding Simposium Keanekaragaman Hayati dan Sistem Produksi
Pertanian, Cipayung, 16−18 November 2000. Perhimpunan Entomologi
Indonesia, Bogor.

Asikin, S. dan M. Thamrin. 2011. Penggerek batang padi putih dan


pengendaliannya di lahan pasang surut. Makalah disampaikan pada
Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia, Universitas
Padjadjaran, Bandung, 16−17 Februari 2011.

Casey, J. P. 1980. Pulp and Paper, Chemistry and Chemical Technology, Volume
I. New York : Interscience Publisher Inc.

Connel dan Miller, 1995, Kimia dan Etoksikologi Pencemaran, diterjemahkan


oleh Koestoer, S., hal. 419, Indonesia University Press, Jakarta.

Darmono. 2005. Komplikasi Diabetes Mellitus. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta

24
Djenar, NS dan Budiastuti, H., (2008), Absorpsi Polutan Amoniak Di Dalam Air
Tanah Dengan Memanfaatkan Tanaman Eceng Gondok (Eichhornia
crassipes), Jurnal Spektrum Teknologi Vol. 15 No. 2 Oktober 2008.

Dumanauw, J. F. 2001. Mengenal Kayu. Yogyakarta: Kanisius.

Elisa. 2007. Penentuan Kadar Logam Kadmium ( Cd ) Dan Logam Zinkum ( Zn )


Dalam Black Liquor Pada Industri Pulp Proses Kraft Dari Toba Pulp
Lestari Dengan Metode Spektrofotometri Serapan Atom ( Ssa). Medan.
Universitas Sumatera Utara.

Fengel, D. dan Wegener, G. 1995. Kayu: Kimia, Ultrastruktur, Reaksi-Reaksi.


Terjemahan Hardjono Sastrohamidjojo. Yogyakarta. Gadjah Mada.
University Press.

Forth dalam Muhtar Ahmad. 2008. Penggunaan Tanaman Enceng Gondok


Sebagai Pre-Treatmen Pengolahan Air Minum Pada Air Selokan Mataram.
Tugas Akhir Strata-1 Teknik Lingkungan:Tugas Akhir tidak diterbitkan.
Yogyakarta: UII.

Gunawan, Denny. 2013. “Pengolahan Limbah Black Liquor dengan Recovery


Boiler”. Scientific Article. Volume 1, No.1.

Gunawan, P. dan Sahwalita. 2007. Pengolahan Eceng Gondok sebagai Bahan


Baku Kertas Seni. Balai Litbang Kehutanan Sumatera, Medan

Haygreen JG, JL Bowyer. 1989. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu : Suatu Pengantar.
Sutjipto A. Hadikusuma, penerjemah. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press. Terjemahan dari : Forest Products and Wood Science,
An Introduction.

Hilman I, dan NT Mathius. 2001. Budi Daya Dan Prospek Pengembangan Abaka.
Jakarta. Penebar Swadaya.

25
Ibrahim, M. 1998. Clean Fractionation of Biomass – Steam Explosion and
Extraction. Faculty of The Virginia Polytechnic Institute and State
University.

Isroi. 2008. KOMPOS. Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia,


Bogor.

Jemi, R. 2003. Sifat Fisika Mekanika Pulp Dan Kertas Jenis Kayu Kambalitan
Rawa (Polyalthia jenkensii (HK. F. Et Thomas) Katiau (Ganua
Montleyana Pierre) Dan Tabulus (Litsea Sp). Tesis. Program Pasca
Sarjana Universitas Mulawarman. Samarinda. (Tidak Dipublikasikan)

Juli, S. 1996. Kesehatan Lingkungan. Universitas Gajah Mada. Yogyajarta.

Khopkar, S.M. 1990. Konsep Dasar Kimia Analitik. Cetakan Pertama. Universitas
Indonesia. Jakarta.

Lee, S. Et al. 2009. A Review of Case-based Learning Practies in an Online


MBA Program : A Program-level Case Study. Educational Technoogy &
Society.

Mc Donald, R.G. dan J.N. Franklin. 1969. The Pulping Wood. 2nd. Mc Graw-Hill
Book Company. New York. 2(1):50–62.

Muladi, S. Prof. Dr. Ir. 2001. Pemanfaatan Abaca (Batang Pisang Hutan), Tandan
Kosong Sawit, Eceng Gondok Dan Batang Kenaf Sebagai Bahan Baku
Industri Kertas Uang, Kertas Koran, Tissue, Karton/Kardus, Papan
Partikel Dan MDF. Ketua Lembaga Penelitian Universitas Mulawarman.
Samarinda.

Palar, H. 1994. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. Rineka Cipta. Jakarta.

Perez, J., J. Munoz-Dorado, T. de is Rubia, and J. Martinez. 2002. Biodegradation


and biological treatments of cellulose, hemicellulose and lignin. An
overview. Int Microbiology.

26
Prajitno, D. 1981. Analisa Regresi – Kolerasi Untuk Penelitian Pertanian. Penerbit
Liberty. Yogyakarta.

Pratama, G. A., Pribadi, R., & Maslukah, L. (2012). Kandungan logam berat Pb
dan Fe pada air, sedimen, dan kerang hijau (Perna viridis) di sungai Tapak
kelurahan Tugurejo kecamatan Tugu Kota Semarang. J. of Marine
Research. 1(1):133-137.

Priyatmadi, B.J., Mahbub, Syaifuddin, dan Muslikin. 2006. Adaptasi Tanaman


terhadap Sifat Kimia Tanah Sulfat Masam di Kalimantan Selatan.
Kalimantan Scientiae. Universitas Lambung Mangkurat, Banjarbaru.

PT. TPL. 2002. Energy (Steam dan Liquor). Parmaksian: Learning and
Development Centre.

Purnawan C, Hilmiyana D, Wantini, Fatmawati E. 2012. Pemanfaatan Limbah


Ampas Tebu untuk Pembuatan Kertas Dekorasi dengan Metode
Organosolv. J. EKOSAINS 5(2):2

Rini, Daru S. 2002. Minimasi Limbah dalam Industry Pulp dan Paper. Lembaga
Kajian Ekologi dan konservasi Lahan Basah

Rochyati. 1988. Peranan bahan organik dalam meningkatkan efisiensi penggunaan


pupuk dan produktivitas tanah. hlm. 161-180. Dalam Prosiding Lokakarya

Roehjati dan William. 1997. Pulp Rendemen Tinggi Albizzia Falcataria dan
Pemutihannya Dengan Hidrogen Peroxida. Berita Selulosa. Tahun XIII
No. 4. Balai Besar Selulosa. Bandung (Hal 7).

Rosamah, E. 1995. Teknologi Pulp Dan Kertas, Proses Pulping Mekanis Dan
Semi Kimia. Fakultas Kehutanan. Universitas Mulawarman. Samarinda.
(Hal 3 ; 6).

Rudatin, S. 1989. Potensi dan Prospek Pemanfaatan Lignin dari Limbah Industri
Pulp dan Kertas di Indonesia. Berita Selulosa (25) 1 : 14-17. Departemen
Perindustrian RI. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industri
Selulosa. Bandung.

27
Rukmana, H. R. 1999. Usaha Tani Pisang. Penerbit Kansius. Yogyakarta.

Rusnani. 1989. Studi Tentang Pulping Kayu Albizzia falcataria Dengan


Menggunakan Metode Soda Diingin. Skripsi. Fakultas Kehutanan.
Universitas Mulawarman. Samarinda. (Tidak dipublikasikan) ( Hal 6; 8;
16; 36; 38; 42; 44)

Santoso, A. S. Ruhendi, S. S. Achmadi, dan Y. S. Hadi. 2001. Kualitas Kopolimer


Lignin Fenol Formaldehida sebagai Perekat Kayu Lapis. Majalah Polimer
Indonesia (4) 1 & 2. Pusat penelitian Fisika-LIPI. Bandung.

Shankar AH., Prasad AS., 1998, Zinc and immune function: the biological basis
of altered resistance to infection in American Journal Clinical
Nutrition;68:447- 463.

Skoog et al. 2002. Fundamentals of Analytical Chemistry. Eight Edition. Canada:


Thomson Learning.

Sjostrom, E. 1995. Kimia Kayu: Dasar – dasar dan Penggunaan. Jilid 2.


Yogyakarta: Universitas Gajah Mada Press.

Soenardi. 1976. Sifat-Sifat Kimia Kayu. Fakultas Kehutanan. Universitas Gadjah


Mada . Yogyakarta

Soenardi. 1997. Ilmu Kayu. Yayasan Pembina Fakultas Kehutanan, Universitas


Gadjah Mada. Yogyakarta.

Steenis, S.C.G.G.J. 2003. Flora. Pradnya Para-mitha, Jakarta.


Sunardi dan Istikowati, T.W., 2012. Analisis Kandungan Kimia Dan Sifat Serat
Tanaman Purun Tikus (Eleocharis Dulcis) Asal Kalimantan Selatan.
Bioscientiae. Vol-9, No-2, Hal 15-25.

Sundari, M. Thiripura, and A. Ramesh. 2012. “Isolation and Characterization of


Cellulose Nanofiber from the Aquatic Weed Waterhyacinth-Eichhornia
Crassipes”, Carbohydrate Polymers, 87. 1701-1705.

28
Supranto, J. 1992. Statistik Teori dan Aplikasi. Penerbit Erlangga. Jakarta.

Susy Yunita dan Abdul Gani Jaya. 2008. Pemanfaatan Sekam Padi dan Pelepah
Pohon Pisang sebagai Bahan Alternatif Pembuat Kertas Berkualitas.
Aplikasia, Jurnal Aplikasi llmu-ilmu Agama, Vol. IX, No. 1 Juni 2008:44-
56.

Syafii W, Samejima M, Yoshimoto T. 1987. The role of extractives in decay


resistance of Ulin wood (Eusideroxylon zwageri T. et B.). Bulletin Tokyo
University Forestry.

Syamsu, K., Puspitasari, R., Roliadi, H. 2012. Penggunaan Selulosa Mikrobial


dari Nata De Cassava dan Sabut Kelapa Sebagai Pensubtitusi Selulosa
Kayu dalam Pembuatan Kertas. E-Jurnal Agroindustri Indonesia

Tahril, Taba, P., Nafie, L. N., & Noor, A. (2011). Analisis besi dalam ekosistem
lamun dan hubungannya dengan sifat fisikokimia perairan pantai
kabupaten Donggala. Jurnal Natur Indonesia, 13(2), 105-111.

Thomas, M. Grace. 1989. Pulp and Paper Manufacture, Third Edition .USA: The

join Text Book Comitte of The Paper Industry.

VAN Steenis. 1978. Flora of Java. Leiden : E.J.B

Wardini. 2008. Analisis Kandungan Nutrisi pada Eceng Gondok (Eichhornia


crassipes (Mart.) Solms) sebagai Bahan Pakan Alternatif bagi Ternak.

Welch, R.M., and R.D. Graham. 2004. Breeding for micronutrients in staple food
crops from a human nutrition perspective. J. Exp. Bot., 55(396):353-364.

Wibowo, A. 1998. Abaca (Musa Textillis Nee) Penghasil Serat. Duta Rimba
XXIV(222):31-37.

Widianto. L.S, 1997, The Effect Of Heavy Metal On The Growth Of


WaterHyacinth, Bogor: Proceed Syimposium on Pest Seameo-Biotrop.

29
Winarno, F.G., 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Gamedia Pustaka Utama, Jakarta.

\\

30

Anda mungkin juga menyukai