Anda di halaman 1dari 38

Tugas Jurnal

STUDI KLINIS UVEITIS ANTERIOR DI RUMAH SAKIT


PEDESAAN

Disusun oleh :

Hamdan Muhammad
1102013120

Pembimbing :
Dr. Nasrudin, Sp.M

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN YARSI – RSUD PASAR REBO
JAKARTA

STUDI KLINIS UVEITIS ANTERIOR DI RUMAH SAKIT PEDESAAN

0
Kata Kunci Pencarian:
Uveitis, anterior uveitis, blunt trauma, nongranulomatous inflammation

Dipilih Jurnal dengan Judul Asli :


A Clinical Study of Anterior Uveitis in a Rural Hospital

Oleh :
Dr. Anitha S Maiya, Dr.Sundip Shenoy

Dimuat di :
OSR Journal of Dental and Medical Sciences, Maret 2014, Volume 13 (3): 55-59

Diunduh di :
www.iosrjournals.org, pada tanggal 17 Februari 2018

ABSTRAK

1
Latar Belakang: Uveitis adalah penyakit inflamasi intraokular kompleks yang dihasilkan
dari beberapa etiologi. Uveitis anterior adalah bentuk paling umum dari uveitis dan umumnya
terjadi pada dewasa muda. Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi berbagai gejala,
etiologi dan komplikasi dari uveitis anterior di penduduk pedesaan.

Metode: sebuah studi klinis prospektif dilakukan di Departemen Oftalmologi,


Adichunchanagiri Institute of Medical Sciences, B.G.Nagara. Dilakukan pemeriksaan pada
semua pasien berusia antara 20-80 tahun dengan uveitis anterior. Evaluasi mata yang
komprehensif diikuti pemeriksaan laboratorium yang relevan dilakukan untuk menentukan
etiologinya. Pasien diberikan pengobatan yang tidak spesifik dan spesifik yang sesuai dan
dilihat perkembangannya. Respon terhadap pengobatan dan komplikasi yang berkembang
selama penelitian dicatat.

Hasil: Anterior uveitis terjadi paling sering pada kelompok usia 30-40 tahun (35%). Sebagian
besar kasus mengalami radang nongranulomatosa (95%) dan etiologi tetap tidak diketahui
pada 40% kasus. Kebanyakan penyebab umum adalah trauma tumpul (20%) diikuti oleh
uveitis pakolitk (15%). Kebanyakan kasus memberikan respon yang baik dengan
penangganan secara medis.

Kesimpulan: Dalam sebagian besar kasus, etiologi uveitis anterior tetap belum ditentukan.
Diperlukan pemeriksaan yang baik berdasarkan usia, sejarah dan hasil pemeriksaan fisik
diperlukan untuk mendapatkan diagnosis akhir. Pengobatan yang tepat dan lebih cepat
memberikan hasil penyembuhan visual yang baik. Pemantauan rutin diperlukan untuk deteksi
dini mata dan komplikasi sistemik yang mungkin terjadi karena uveitis atau pengobatannya.

DEFINISI OPERASIONAL

No. Variabel Definisi Operasional


1. Uveitis Anterior Uveitis anterior adalah infl
2
amasi di iris dan badan siliar.
2. Granulomatosa Proses radang kronik yang
khas terdiri dari sel-sel
makrofag yang trakumulasi
dan teraktifasi, yang sering
mengembang menyerupai
sel epitel.
3. Slit Lamp Peralatan yang terdiri dari
sumber cahaya intensitas
tinggi yang dapat difokuskan
untuk bersinar lembaran
tipis cahaya ke bola mata.

3
METODE

Bentuk Penelitian:

Sebuah studi klinis prospektif dilakukan di Departemen Ophthalmology,


AdichunchanagiriInstitute of Medical Sciences, B.G.Nagara setelah mendapat izin dari
Komite Etik Kelembagaan.

Prosedur Penelitian:

Kriteria inklusi:

 Pasien berusia antara 20 sampai 80 tahun yang secara klinis didiagnosis dengan
uveitis anterior masuk dalam penelitian setelah menyatakan persetujuan dari informed
consent.

Kriteria ekslusi:
 Uveitis anterior dengan luka tembus mata, ulkus kornea, luka operasi intraokular baru
dan yang berhubungan dengan intermediet, posterior atau panuveitis merupakan tidak
termasuk dalam subjek penelitian.

Pemeriksaan:
Sebuah proforma klinis standar yang digunakan dalam semua kasus, termasuk rincian
data mata dan sejarah sistemik, penilaian ketajaman visual menggunakan grafik Snellen,
temuan klinis, pemeriksaan laboratorium dan diagnosis etiologi final. Semua pasien
menjalani pemeriksaan mata yang komprehensif yang meliputi penilaian ketajaman visual,
pemeriksaan secara rinci dengan slit lamp, pengukuran TIO (dengan Goldmann Applanation
Tonometer) dan pemeriksaan segmenposterior.
Peradangan dianggap akut apabila gejala yang timbul kurang dari 3 bulan, kronis
jika selama lebih dari 3 bulan dan berulang jika pasien memiliki dua atau peradangan yang
lebih lama yang dipisahkan dengan waktu bebas penyakit.

Pemeriksaan Penunjang:
Diagnosis banding lain dibuat dalam setiap kasus dan dilakukan pemeriksaan
laboratorium yang sesuai. Dilakukan pemeriksaan total dan diferensial jumlah sel darah,
sedimentasi eritrosit, kadar guladarah, tes urin dan pemeriksaan tinja, tes Mantoux dan

4
serologi untuk Toxoplasmosis, Sifilis, HIV, faktor rheumatoid dilakukan dalam semua kasus.
X-ray dada, lutut dan sendi lumbosakral juga dilakukan. Investigasi lain seperti HLA-B27,
ANA dan tingkat enzim angiotensin-converting dilakukan bila diperlukan.
Etiologidiagnosis akhir dibuat berdasarkan riwayat penyakit, gambaran klinis,
pemeriksaan laboratorium dan evaluasi sistemik oleh spesialisasi medis lainnya.

Pengobatan:
Semua pasien diobati dengan steroid topikal (prednisolon asetat 1% atau
fluorometholone) dan sikloplegik topikal (atropin salep mata atau homatropin tetes mata).
Penggunaan steroid dititrasi sesuai dengan tingkat keparahan dari uveitis dan secara bertahap
disesuai dengan respon klinis.
Terapi khusus (misalnya. antiviral sistemik) diberi bila etiologi diketahui. Sistemik
dan / atau steroid periokular diberikan untuk kasus yang parah dan yang tidak cukup
merespon dengan terapi topikal. Pasien dengan inflamasi lensa yang menjalani operasi
katarak setelah peradangan cukup dikontrol secara medis. Pasien dengan glaukoma sekunder
ditangani secara medis dengan T.Acetazolamide 250mg TID untuk 3-5 hari dan Timolol 0,5%
tetes mata BID.
Semua pasien dilihat perkembangannya dan respon terhadap pengobatan dan
komplikasi dicatat.

Hasil Penelitian:
Sebanyak 20 pasien dengan uveitis anterior berusia antara 20-80 tahun yang dipelajari
dan pengamatan berikut dibuat:
Tabel 1. Distribusi usia dalam kasus.
Usia (tahun) Jumlah pasien Presentase
21-30 1 5
31-40 7 35
41-50 1 5
51-60 4 29
61-70 5 25
71-80 2 10

Tabel 2. Distribusi jenis kelamin, gejala, waktu terjadi, lateralisasi dan jenis peradangan.
Jumlah kasus Presentase
Distribusi jenis kelamin
Pria 12 60
Wanita 8 40
5
Gejala umum uveitis anterior
Mata merah 16 80
Nyeri 16 80
Berair 9 45
Penurunan penglihatan 10 50
Waktu terjadi
Akut 16 80
Kronik 3 15
Berulang 1 5
Lateralisasi Uveitis anterior
Unilateral 19 95
Bilateral 1 5

Dalam studi ini, 16 pasien (80%) mengalami radang nongranulomatous dan 4 pasien
(20%) memiliki radangan granulomatosa. Dari 4 kasus uveitis granulomatosa, 2 adalah
karena Herpes zosteroftalmikus dan 2 yang terdeteksi menjadi penyakit sekunder dari
tuberculosis.

Tabel 3. Distribusi etiologi dalam kasus.


Etiologi Jumlah kasus Presentasi
Idiopatik 8 40
Trauma tumpul 4 20
Fakolitik 3 15
Herpes zoster optalmikus 2 10
Tuberkulosis 2 10
Iridosiklitis dengan artritis 1 5

Dalam penelitian ini, seluruh pasien berjumlah 20 orang diobati dengan steroid topikal
dan sikloplegik. Dua pasien memerlukan steroid sistemik (kedua pasien memiliki uveitis
fakolitk dan memiliki peradangan parah pasca operasi). Dua pasien Herpes zoster diobati
dengan Acyclovir oral selama 10 hari. Dua pasien dengan glaukoma sekunder merespons
obat antiglaucoma topikal dan tidak memerlukan pembedahan intervensi. Tiga kasus uveitis
fakolitik menjalani operasi katarak dengan sayatan kecil dengan implantasi lensa intraokular
posterior.

6
Gambar 1. Endapan keratik berukuran kecil sampai besar di jaringan endotel kornea pada
uveitis anterior non granulomatosa.

Gambar 2. Endapan keratik mutton fat besar di uveitis anteriorgranulomatosa.

7
Gambar 3. Sinekia posterior persisten.

Gambar 4.Uveitis fakolitik.

8
DISKUSI

2.1. ANATOMI DAN FISIOLOGI

Uvea merupakan lapisan vaskular di dalam bola mata yang terdiri dari iris, korpus
siliar, dan koroid. Bagian ini dilindungi oleh kornea dan sklera. Uvea ikut memasok
darah ke retina. Uvea dibagi menjadi 2 bagian yaitu uvea anterior yang terdiri dari iris
dan badan siliar dan uvea posterior yaitu koroid (Wijana, 1993; Vaughan et al, 2000).
Dalam tulisan ini hanya dibahas mengenai uvea anterior saja.
1. Iris
Iris adalah perpanjangan korpus siliare ke anterior. Iris berupa permukaan
pipih dengan apertura bulat di tengahnya yang disebut dengan pupil. Iris terletak
bersambungan dengan permukaan anterior lensa, yang memisahkan kamera okuli
anterior dan kamera okuli posterior, yang masing-masing berisi humor aqueus. Di
dalam stroma iris terdapat sfingter dan otot-otot dilator (Wijana,2013; Voughan et
al,2010).
Secara histologis terdiri dari stroma yang jarang dan diantaranya terdapat
lekukan-lekukan di permukaan anterior yang berjalan radier yang dinamakan
kripta. Di dalam stroma terdapat sel pigmen yang bercabang, banyak pembuluh
darah dan serabut saraf. Di permukaan anterior ditutupi oleh
endotel, terkecuali pada kripta, di mana pembuluh darah pada stroma dapat
berhubungan langsung dengan kamera okuli anterior. Di bagian posterior dilapisi
oleh dua lapisan epitel, yang merupakan lanjutan epitel pigmen retina. Warna dari
iris tergantung dari sel-sel pigmen yang bercabang yang terdapat di dalam stroma
yang jumlahnya dapat berubah-ubah dan juga epitel pigmen yang jumlahnya tetap
(Wijana,2013).
Ada 2 otot yang ada di dalam iris antara lain otot sfingter pupil (M.
sphincter pupillae) yang berjalan sirkuler, yang terletak di dalam dekat pupil dan
dipersarafi oleh saraf parasimpatis (N. III), dan otot dilatator pupil (M. dilatator
pupillae) yang berjalan radier dari akar iris ke pupil, terletak di bagian posterior
stroma dan disarafi oleh saraf simpatis (Wijana, 2013)
Pasokan darah ke iris berasal dari circulux major iris. Kapiler-kapiler iris
memiliki lapisan endotel yang tak berlubang sehingga normalnya tidak

9
membocorkan fluoresin yang disuntikkan secara intravena. Persyarafan iris
adalah melalui serat-serat nervus siliare (Voughan, 2010).
Iris mengendalikan banyaknya cahaya yang masuk ke dalam mata. Ukuran
pupil pada prinsipnya ditentukan oleh keseimbangan antara konstriksi akibat
aktivitas parasimpatik yang dihantarkan melalui nervus kranialis III dan dilatasi
yang ditimbulkan oleh aktifitas simpatik (Voughan, 2010).
Cahaya yang mengenai mata diterima oleh sel-sel batang dan kerucut di
retina, diteruskan oleh N. II ke kiasma optikum, radiasio optika, setinggi korpus
genikulatum lateral, serat pupilomotor melepaskan diri ke brachium kolikulus
superior, ke midbrain, komisura posterior di daerah pretektalis, kemudian
mengadakan semidikusasi dan keduanya menuju ke nucleus Edinger Westphal di
kedua sisi. Dari sini keluar saraf eferen (saraf parasimpatis) yang memasuki N.
III, ke ganglion siliaris, serat saraf postganglioner melalui Nn. siliaris brevis
(Wijana,2013).
Menurut Wijana (2013), bila seseorang melihat suatu objek pada jarak
dekat, maka terjadi trias akomodasi yaitu:
 Kontraksi dari otot siliaris yang berguna agar zonula Zinii mengendor, lensa
dapat mencembung, sehingga cahaya yang datang dapat difokuskan ke retina.
 Konstriksi dari otot rektus internus, sehingga timbul konvergensi dan mata
tertuju pada benda itu.

 Konstriksi otot konstriksi pupil dan timbullah miosis, supaya cahaya yang
masuk tak berlebih, dan terlihat dengan jelas.

2. Korpus Siliaris
Pada potongan melintang korpus siliare secara kasar berbentuk cincin
segitiga yang membentang ke depan dari ujung anterior khoroid ke pangkal iris (±
6mm). Terdiri dari dua zona, yaitu zona anterior dengan permukaan berjonjot
lekuk dan menonjol yang disebut dengan pars pikata (± 2mm), dan zona posterior
yang datar dengan permukaan licin disebut pars plana (± 4mm). Processus siliaris
ini berasal dari pars plikata. Processus siliaris ini terutama terbentuk dari kapiler-
kapiler dan vena yang bermuara ke vene-vena vorteks. Kapiler-kapilernya besar
dan berlobang-lobang sehingga membocorkan fluoresin yang disuntikkan secara
intravena. Ada dua lapis epitel siliaris: satu lapisan tanpa pigmen di sebelah
dalam, yang merupakan perluasan neuroretina ke anterior, dan lapisan berpigmen

10
di sebelah luar, yang merupakan perluasan lapisan epitel pigmen retina. Prosessus
siliaris dan epitel siliaris pembungkusnya berfungsi sebagai pembentuk humor
aquaeus (Voughan, 2010; Ghozie, 2012).
Korpus siliaris mengandung otot polos yang tersusun longitudinal, sirkular,
dan radial. Otot-otot ini berfungsi untuk menarik dan mengendorkan serabut
zonula Zinni, yang menghasilkan perubahan tegangan pada kapsul lensa.
Ketegangan kapsul lensa yang berubah akan menyesuaikan kekuatan lensa mata
sesuai dengan jarak benda yang dilihat agar bayangannya tepat di retina (Ghozie,
2012).
Procesus siliaris mengandung terutama pembuluh kapiler dan venanya yang
menumpahkan darahnya ke luar melalui vena vorticosa. Kapilernya besar dan
mudah dirembesi larutan suntikan fluresin. Pars plana terdiri atas selapis tipis otot
siliaris dan pembuluh siliar yang diselimuti epitel siliar. Serabut zonula berorigo
di lekukan dari procesus siliaris (Ghozie, 2010).
Pembuluh darah dibadan siliar berasal dari sirkulus iridis mayor, sedang
syaraf sensoris berasal dari syaraf siliaris (Voughan, 2010; Ghozie, 2012).

2.2. DEFINISI UVEITIS ANTERIOR

Uveitis anterior merupakan peradangan iris dan bagian depan korpus siliare (pars
plikata), kadang-kadang menyertai peradangan bagian belakang bola mata, kornea dan
sklera (Ardy, 2013)
Menurut American Optometric Association (AOA) tahun 2014, uveitis anterior
adalah suatu proses inflamasi intraokular dari bagian uvea anterior hingga pertengahan
vitreus. Penyakit ini dihubungkan dengan trauma bola mata, dan juga karena berbagai
penyakit sistemik seperti juvenile rheumatoid, artritis, ankylosing spondilitis, Sindrom
Reiter, sarcoidosis, herpes zoster, dan sifilis.
2.3. EPIDEMIOLOGI

Di Indonesia belum ada data yang akurat mengenai jumlah kasus uveitis . Di
Amerika Serikat ditemukan angka kejadian uveitis anterior adalah 8-12 orang dari
100.000 penduduk per tahun. Insidensinya meningkat pada usia 20-50 tahun dan paling
banyak pada usia sekitar 30-an (Sjamsoe, 2013; AOA, 2014)
Menurut AOA (2014), berdasarkan etiologinya ada beberapa faktor resiko yang
menyertai kejadian uveitis anterior antara lain, penderita toxoplasmosis dan yang
berhubungan dengan hewan perantara toxoplasma. Beberapa penyakit menular seksual

11
juga meningkatkan angka kejadian uveitis anterior seperti sifilis, HIV, dan sindroma
Reiter.
2.4. KLASIFIKASI

Berdasarkan spesifitas penyebabnya uveitis anterior dapat dibagi atas uveitis


infeksius, uveitis non infeksius, dan uveitis tanpa penyebab yang jelas. Uveitis
infeksius dapat disebabkan oleh bakteri, jamur, dan virus. Uveitis non infeksius dapat
disebabkan oleh agen non spesifik (endotoksin dan mediator peradangan lainnya), agen
spesifik pada mata (oftalia simpatika, uveitis imbas lensa), dan penyakit sistemik
seperti Behcet, sarkoidosis, sindroma Reiter, dll (Sjamsoe,2013).
Berdasarkan asalnya uveitis anterior dibedakan menjadi, uveitis eksogen dan
uveitis endogen. Uveitis eksogen pada umumnya dikarenakan oleh trauma, operasi
intra okuler, ataupun iatrogenik. Sedangkan uveitis endogen dapat disebabkan oleh
fokal infeksi di organ lain maupun reaksi autoimun
Secara klinis (menurut cara timbul dan lama perjalanan penyakitnya) uveitis
anterior dibedakan menjadi uveitis anterior akut dan uveitis anterior kronis.
Uveitis anterior akut biasanya timbulnya mendadak dan perjalanan penyakitnya kurang
dari 5 minggu. Sedangkan yang kronik mulainya berangsur-angsur, dan perjalanan
penyakitnya dapat berbulan-bulan maupun tahunan (Ardy, 2013).
Klasifikasi uveitis anterior berdasarkan patologi anatominya terdiri dari tipe
granulomatosa dan non granulomatosa. Tipe granulomatosa infiltratnya terdiri dari
sel epiteloid dan makrofag. Sedangkan tipe non granulomatosa infiltratnya terdiri dari
sel plasma dan limfosit (Ardy,2013).
Klasifikasi uveitis anterior berdasarkan ICD-9-CM dibagi atas:
a. Uveitis anterior akut
 Uveitis anterior traumatik
 Uveitis anterior idiopatik
 Uveitis berhubungan dengan HLA-B27
 Sindrom Behcet
 Uveitis anterior terinduksi lensa
 Sindrom Masquerade
b. Uveitis anterior kronis
 Juvenile rheumatoid arthritis
 Uveitis anterior dengan uveitis posterior primer
 Fuchs’ heterocromic iridocyclitis

2.5. ETIOLOGI

12
Penyebab terjadinya uveitis anterior dibagi menjadi beberapa golongan antara
lain: autoimun, infeksi, keganasan, dan lain-lain. Penyebab autoimun terdiri dari:
artritis Rhematoid juvenile, spondilitis ankilosa, sindrom Reiter, kolitis ulseratif, uveitis
terinduksi-lensa, sarkoidosis, penyakit crohn, psoriasis. Penyebab infeksi terdiri dari:
sipilis, tuberkulosis, lepra, herpes zooster, hepes simpleks, onkoserkiasis, adenovirus.
Untuk penyebab keganasan terdiri dari: sindrom masquerada, retinoblastoma, leukemia,
limfoma, melanoma maligna. Sedangkan yang lainnya berasal dari: iridopati, uveitis
traumatika, ablatio retina, gout, dan krisis glaukomatosiklitik (Voughan, 2010).
Selain itu menurut Rosenbaum (2016) etiologi dari uveitis anterior digolongkan
menurut agen penyebab infeksi, seperti dalam tabel berikut:

Tabel 1. Etiologi uveitis anterior menurut golongkan agen penyebab infeksi


BACTERIAL/
SPIROCHETAL VIRAL FUNGAL PARASITIC
 Atypical  Cytome  Aspergillosi  Acanthamo
mycobacteria galovirus s eba

 Brucellosis  Epstein  Blastomyco  Cystercerco


-Barr sis sis
 Cat scratch
disease  Herpes  Candidiasis  Onchocerci
simplex asis
 Leprosy  Coccidioido
 Herpes -mycosis  Pneumocyst
 Leptospirosis
zoster is carinii
 Cryptococc
 Lyme disease
 Human osis  Toxocariasi
 Propionibacter T cell s
 Histoplasm
ium leukemia
osis  Toxoplasmo
 Syphilis virus
sis
 Sporotricho
 Tuberculosis  Mumps
sis
 Rubeol
 Whipple's
a
disease
 Vaccini
a

13
 HIV-1

 West
Nile virus

Masih menurut Rosenbaum (2016) beberapa penyakit sistemik dapat


berhubungan dengan uveitis, penyakit-penyakit tersebut diantaranya adalah:
 Spondyloarthritides
 Crohn's disease

 Sarcoidosis

 Behcet's disease

 Hypersensitivity reactions

 Tubulointerstitial nephritis

 Juvenile rheumatoid arthritis

 Kawasaki disease, multiple sclerosis, and relapsing polychondritis

 Multiple sclerosis

 Relapsing polychondritis

 Sjögren's syndrome

 Systemic lupus erythematosus

 Systemic vasculitis

 Granulomatous angiitis of the central nervous

 Vogt-Koyanagi-Harada syndrome

 AIDS

 Blau syndrome

Uveitis anterior juga dapat disebabkan oleh infeksi fokal seperti: gigi, telinga,
hidung, tenggorokan, traktus urogenitalis, traktus digestivus, kulit, dan lain-lain.

14
Trauma perforata dan oftalmia simpatika juga dapat menyebabkan uveitis anterior
(Wijana, 2013)

2.6. PATOFISIOLOGI

Peradangan traktus uvealis banyak penyebabnya dan dapat mengenai satu atau
ketiga bagian secara bersamaan. Bentuk uveitis paling sering terjadi adalah uveitis
anterior akut (iritis), umumnya unilateral dan ditandai dengan adanya riwayat sakit,
fotopobia dan penglihatan kabur, mata merah, dan pupil kecil serta ireguler.
Penyakit peradangan traktus uvealis umumnya unilateral, biasanya terjadi pada
orang dewasa dan usia pertengahan. Pada kebanyakan kasus penyebabnya tidak
diketahui. Berdasarkan patologi dapat dibedakan dua jenis besar uveitis: yang non-
granulomatosa (lebih umum) dan granulomatosa.
Uveitis non-granulomatosa terutama timbul di bagian anterior traktus ini, yaitu
iris dan korpus siliaris. Terdapat reaksi radang, dengan terlihatnya infiltrat sel-sel
limfosit dan sel plasma dengan jumlah cukup banyak dan sedikit mononuklear. Pada
kasus berat dapat terbentuk bekuan fibrin besar atau hipopion di kamera okuli anterior
(Vaughan, 2010).
Badan siliar berfungsi sebagai pembentuk cairan bilik mata (humor aqueus) yang
memberi makanan kepada lensa dan kornea. Dengan adanya peradangan di iris dan
badan siliar, maka timbullah hiperemi yang aktif, pembuluh darah melebar,
pembentukan cairan bertambah, sehingga dapat menyebabkan glaukoma sekunder.
Selain oleh cairan bilik mata, dinding pembuluh darah dapat juga dilalui oleh sel darah
putih, sel darah merah, dan eksudat yang akan mengakibatkan tekanan osmosis cairan
bilik mata bertambah dan dapat mengakibatkan glaukoma. Cairan dengan lain-lainya
ini, dari bilik mata belakang melalui celah antar lensa iris, dan pupil ke kamera okuli
anterior. Di kamera okuli anterior, oleh karena iris banyak mengandung pembuluh
darah, maka suhunya meningkat dan berat jenis cairan berkurang, sehingga cairan akan
bergerak ke atas. Di daerah kornea karena tidak mengandung pembuluh darah, suhu
menurun dan berat jenis cairan bertambah, sehingga di sini cairan akan bergerak ke
bawah. Sambil turun sel-sel radang dan fibrin dapat melekat pada endotel kornea,
membentuk keratik presipitat yang dari depan tampak sebagai segitiga dengan endapan
yang makin ke bawah semakin besar. Di sudut kamera okuli anterior cairan melalui

15
trabekula masuk ke dalam kanalis Schlemn untuk menuju ke pembuluh darah episklera.
Bila keluar masuknya cairan ini masih seimbang maka tekanan mata akan berada pada
batas normal 15-20 mmHg. Sel radang dan fibrin dapat pula menyumbat sudut kamera
okuli anterior, sehingga alirannya terhambat dan terjadilah glaukoma sekunder.
Galukoma juga bisa terjadi akibat trabekula yang meradang atau sakit (Wijana,2013)
Elemen darah dapat berkumpul di kamera okuli anteror dan timbullah hifema
(bila banyak mengandung sel darah merah) dan hipopion (yang terkumpul banyak
mengandung sel darah putihnya). Elemen-elemen radang yang mengandung fibrin yang
menempel pada pupil dapat juga menagalami organisasi, sehingga melekatkan ujung
iris pada lensa. Perlekatan ini disebut sinekia posterior. Bila seluruh iris menempel pada
lensa, disebut seklusio pupil sehingga cairan yang dari kamera okuli posterior tidak
dapat melalui pupil untuk masuk ke kamera okuli anterior, iris terdorong ke depan,
disebut iris bombe dan menyebabkan sudut kamera okuli anterior menyempit, dan
timbullah glaukoma sekunder. Perlekatan-perlekatan iris pada lens menyebabkan
bentuk pupil tidak teratur. Pupil dapat pula diisi oleh sel-sel radang yang menyebabkan
organisasi jaringan dan terjadi oklusi pupil. Peradangan badan siliar dapat pula
menyebabkan kekeruhan pada badan kaca, yang tampak seperti kekeruhan karena debu.
Dengan adanya peradangan ini maka metabolisme pada lensa terganggu dan dapat
mengakibatkan katarak. Pada kasus yang sudah lanjut, kekeruhan badan kaca pun dapat
mengakibtakan organisasi jaringan yang tampak sebagai membrana yang terdiri dari
jaringan ikat dengan neurovaskularisasi dari retina yang disebut retinitis proloferans.
Pada kasus yang lebih lanjut lagi dapat mengakibatkan ablasi retina (Wijana, 2013).

2.7. GAMBARAN KLINIS


A. Gejala Subyektif

Gejala subyektif uveitis anterior dapat berupa rasa nyeri, fotofobia , lakrimasi,
dan mata kabur. Masing-masing gejala akan dijelaskan di bawah ini : (Ardy, 2013 ;
Gunawan, 2013 )
1. Nyeri
 Uveitis anterior akut
Nyeri disebabkan oleh iritasi saraf siliar bila melihat cahaya dan penekanan
saraf siliar bila melihat dekat. Sifat nyeri menetap atau hilang timbul.
Lokalisasi nyeri bola mata, daerah orbita dan kraniofasial. Nyeri ini disebut
juga nyeri trigeminal. Intensitas nyeri tergantung hiperemi iridosiliar dan

16
peradangan uvea serta ambang nyeri pada penderita, sehingga sulit
menentukan derajat nyeri.
 Uveitis anterior kronik
Nyeri jarang dirasakan oleh penderita, kecuali telah terbentuk keratopati
bulosa akibat glaukoma sekunder

2. Fotofobia dan lakrimasi


 Uveitis anterior akut dan subakut
Ditandai dengan blefarospasmus. Fotofobia disebabkan spasmus siliar dan
kelainan kornea bukan karena sensitif terhadap cahaya. Derajat 3+–4+
blefarospasmus menetap, ringan 1+–2+ bila disinari dengan sinar yang kuat
baru timbul bleforaspasmus. Lakrimasi disebabkan oleh iritasi saraf pada
kornea dan siliar, jadi berhubungan erat dengan fotofobia.
 Uveitis anterior kronik
Gejala subyektif ini hampir tak ada atau ringan.

3. Kabur
Derajat kekaburan bervariasi mulai dari ringan sedang, berat, atau hilang timbul,
tergantung penyebab.
 Uveitis anterior akut
Disebabkan oleh pengendapan fibrin, edema kornea, kekeruhan akuos, dan
badan kaca depan karena eksudasi sel radang dan fibrin.
 Uveitis anterior residif atau kronis
Disebabkan oleh kekeruhan lensa, badan kaca, dan kelainan kornea seperti
edema, lipatan Descemet, vesikel epitel dan keratopati. Edema kornea akibat
glaukoma sekunder dapat mengalami kalsifikasi. Pada infeksi herpes simpleks
terdapat edema menetap disertai neovaskularisasi stroma perifer dan pannus
kornea.

B. Gejala Obyektif

Pemeriksaan dilakukan dengan lampu celah, oftalmoskopik direk dan indirek,


bila diperlukan angiografi fluoresen atau ultrasonografi. Menurut Ardy (2013) pada
pemeriksaan akan ditemukan hasil di bawah ini:
1. Hiperemi
Pemeriksaan dilakukan dengan iluminasi fokal dalam ruang gelap. Merupakan
gambaran bendungan pembuluh darah sekitar kornea atau limbus. Gambaran
merupakan hiperemi pembuluh darah siliar 360 sekitar limbus, berwarna ungu.
 Uveitis anterior akut

17
Merupakan tanda patognomonik dan gejala dini. Bila hebat hiperemi dapat
meluas sampai pembuluh darah konjungtiva.
 Uveitis anterior hiperakut
Selain dari hiperemi dapat disertai gambaran skleritis dan keratitis
marginalis. Hiperemi sekitar kornea disebabkan oleh peradangan pada
pembuluh darah siliar depan dengan refleks aksonal dapat difusi ke
pembuluh darah badan siliar. Hubungan derajat hiperemi dengan kelainan
kornea mengikuti pembagian Hogan (1959).
Derajat 0 : Hiperemi sekitar kornea dan kelainan kornea tidak
ada.
Derajat 1 : Hiperemi sekitar kornea dan edema kornea ringan.
Derajat 2 : Hiperemi sekitar kornea jelas dan difus, disertai
Hiperemipembuluh darah episklera dan konjungtiva.
Edema stroma dan epitel kornea difus dengan lipatan
membran Descemet.
Derajat 3 : Hiperemi hebat sekitar kornea disertai hiperemi difus
episklera dan konjungtiva. Edema difus stroma dan
epitel kornea, lipatan Descemet, vaskularisasi perifer
disertai permulaan fibrosis daerah tertentu stroma
kornea.
Derajat 4 : Injeksi kornea, hiperemi pembuluh darah
konjungtiva,kemosis. Edema hebat stroma, keratitis
bulosa dan vaskularisasi perifer.
2. Perubahan kornea
 Keratik presipitat

Terjadi karena pengendapan agregasi sel radang dalam bilik mata depan
pada endotel kornea akibat aliran konveksi akuos humor, gaya berat dan
perbedaan potensial listrik endotel kornea. Lokalisasi dapat di bagian
tengah dan bawah dan juga difus.
Keratik presipitat dapat dibedakan :
 Baru dan lama :
- baru bundar dan berwarna putih.
- lama mengkerut, berpigmen, lebih jernih.
 Jenis sel :

18
- lekosit berinti banyak kemampuan aglutinasi rendah, halus
keabuan.
- limfosit kemampuan aglutinasi sedang membentuk kelompok kecil
bulat batas tegas, putih.
- makrofag kemampuan aglutinasi tinggi tambahan lagi sifat
fagositosis membentuk kelompok lebih besar dikenal sebagai
mutton fat.
 Ukuran dan jumlah sel :
- halus dan banyak terdapat pada iritis dan iridosiklitis akut,
retinitis/koroiditis, uveitis intermedia. Uveitis anterior akut dengan
etiologi penyakit sendi dan infeksi fokal.
- kecil dan hanya beberapa, terdapat pada Sindrom Posner-
Schlossman.
- mutton fat keabuan dan agak basah. Terdapat pada uveitis
granulomatosa disebabkan oleh tuberkulosis, sifilis, lepra, Vogt-
Koyanagi-Harada dan simpatik oftalmia. Juga ditemui padauveitis
non granulomatosa akut dan kronik yang berat. Mutton fat
dibentuk oleh makrofag yang bengkak oleh bahan fagositosis dan
set epiteloid berkelompok atau bersatu membentuk kelompok
besar. Pada permulaan hanya beberapa dengan ukuran cukup besar
karena hidratasi dan tiga dimensi, lonjong batas tidak teratur.
Bertambah lama membesar, menipis dan berpigmen akibat
fagositosis pigmen uvea, dengan membentuk daerah jernih
padaendotel kornea. Pengendapan Mutton fat sulit mengecil dan
sering menimbulkan perubahan endotel kornea
gambaranmerupakan gelang keruh di tengah karena pengendapan
pigmendan sisa hialin sel.

3. Kelainan kornea
 Uveitis anterior akut
Keratitis dapat bersamaan dengan keratouveitis dengan etiologi
tuberkulosis, sifilis, lepra, herpes simpleks, herpes zoster atau reaksi uvea
sekunder terhadap kelainan kornea.
 Uveitis anterior kronik
Edema kornea disebabkan oleh perubahan endotel dan membran
Descemet dan neovaskularisasi kornea.
Gambaran edema kornea berupa lipatan Descemet dan vesikel pada epitel
kornea. Harus dibedakan dari keratitis profunda misalnya keratitis

19
disciformis dengan edema menetap, neovaskularisasi stroma perifer dan
pannus.
Keratopati band akibat tekanan bola mata meninggi dan iridosiklitis pada
anak.
4. Kekeruhan bilik mata
Kekeruhan dalam bilik mata depan dapat disebabkan oleh meningkatnya kadar
protein, sel, dan fibrin.
5. Efek tyndal
Efek tyndal menunjukkan ada atau menetapnya peradangan dalam bola mata
 Uveitis anterior akut
Kenaikan jumlah sel dalam bilik depan mata sebanding dengan derajat
peradangan dan penurunan jumlah sel sesuai dengan penyembuhan pada
pengobatan uveitis anterior.
 Uveitis anterior kronik
Terdapat efek Tyndall menetap dengan beberapa sel menunjukkan telah
terjadi perubahan dalam permeabilitas pembuluh darah iris.
Bila terjadi peningkatan efek Tyndall disertai dengan eksudasi sel
menunjukkan adanya eksaserbasi peradangan.
6. Sel
Sel radang berasal dari iris dan badan siliar. Pengamatan sel akan terganggu
bila efek Tyndall hebat. Pemeriksaan dilakukan dengan lampu celah dalam
ruangan gelap dengan celah 1 mm dan tinggi celah 3 mm dengan sudut 45.
Dapat dibedakan sel yang terdapat dalam bilik mata depan.
Jenis sel :
- limfosit dan sel plasma bulat, mengkilap putih keabuan.
- makrofag lebih besar, wama tergantung bahan yang difagositosis.
- sel darah berwarna merah.
- pigmen kecil dan coklat.

7. Fibrin
Dalam humor akuos berupa gelatin dengan sel, berbentuk benang atau
bercabang, wama kuning muda, jarang mengendap pada kornea.
Terdapat pada iridosiklitis akut dan berat karena eksudasi fibrin ke dalam bilik
depan mata (iritis plastik).
8. Hipopion
Merupakan pengendapan sel radang pada sudut bilik mata depan bawah.
Pengendapan terjadi bila derajat sel dalam bilik depan lebih dari 4+.
Hipopion dapat ditemui pada uveitis anterior hiperakut dengan sebutan sel
lekosit berinti banyak, biasanya karena rematik, juga pada penyakit Behcet,
dan fakoanafilaktik.

20
Hipopion harus dibedakan dari pseudohipopion yang disebutkan juga
kelompok sindrom masquerade. Untuk membedakan harus dilakukan
pemeriksaan dengan pupil yang telah dilebarkan dengan midriatik. Sindrom
Masquerade disebabkan oleh iridoskisis, atrofi iris esensial, limfoma maligna,
leukemi, sarkoma sel retikulum, retinoblastoma, pseudoeksfoliatif dan tumor
metastasis.
9. Hiperemi iris
Merupakan gejala bendungan pada pembuluh darah iris. Edema dan eksudasi
pada stroma iris, keadaan ini dipermudah karena iris kaya dengan pembuluh
darah sehingga struktur iris normal hilang dan gambaran iris kusam coklat
keabuan.
Gambaran bendungan dan pelebaran pembuluh darah iris kadang-kadang tidak
terlihat karma ditutupi oleh eksudasi sel.
Gambaran hiperemi ini harus dibedakan dari rubeosis iridis dengan gambaran
hiperemi radial tanpa percabangan abnormal.

10. Miosis pupil


Pupil mengecil karena edema dan pembengkakan stroma iris karena iritasi
akibat peradangan langsung pada sfingter pupil. Reaksi pupil terhadap cahaya
lambat disertai nyeri.
11. Nodul iris
Nodul tidak sesuai karena pengendapan agregasi sel dalam stroma tidak selalu
menimbulkan kerusakan jaringan. Dibentuk oleh limfosit, sel plasma dan
jarang makrofag. Dapat ditemui pada iritis atau iridosiklitis kronik. Nodul iris
tidak selalu menunjukkan peradangan granulomatosa.
12. Nodul Koeppe
Lokalisasi pinggir pupil, banyak, menimbul, bundar, ukuran kecil, jernih,
warna putih keabuan. Proses lama nodul Koeppe mengalami pigmentasi baik
pada permukaan atau lebih dalam merupakan hiasan dari iris.
13. Nodul Busacca
Merupakan agregasi sel yang terjadi pada stroma iris nodul Koeppe, terlihat
sebagai benjolan putih pada permukaan depan iris. Juga dapat ditemui bentuk
kelompok dalam liang setelah mengalami organisasi dan hialinisasi. Nodul
Busacca merupakan tanda uveitis anterior granulomatosa.
14. Granuloma iris
Lebih jarang ditemukan dibandingkan dengan nodul iris. Granuloma iris
merupakan kelainan spesifik pada peradangan granulomatosa seperti
tuberkulosis, lepra dan lain-lain. Ukuran lebih besar dari kelainan pada iris
lain. Terdapat hanya tunggal, tebal padat, menimbul, warna merah kabur,
21
dengan vaskularisasi dan menetap. Bila granuloma hilang akan meninggalkan
parut karena proses hialinisasi dan atrofi jaringan.
15. Sinekia iris
Merupakan perlengkapan iris dengan struktur yang berdekatan pada uveitis
anterior karena eksudasi fibrin dan pigmen, kemudian mengalami proses
organisasi sel radang dan fibrosis iris.
 Sinekia posterior
Merupakan perlengketan iris dengan kapsul depan lensa. Perlengketan
dapat berbentuk benang atau dengan dasar luas dan tebal. Bila luas akan
menutupi pupil, dengan pemberian midriatika akan berbentuk bunga.
Bila eksudasi fibrin membentuk sinekia seperti cincin, bila seklusi
sempurna akan memblokade pupil (iris bombe). Kelainan ini dapat
dijumpai pada uveitis granulomatosa atau nongranulomatosa, lebih
sering bentuk akut dan subakut, dengan fibrin cukup banyak. Ditemui
juga pada bentuk residif bila efek Tyndall berat.
 Uveitis anterior akut
Belum terjadi proses organisasi, sehingga sinekia posterior lebih
mudah lepas dengan midriatika, dengan meninggalkan jejak pigmen
sedikit banyak pada kapsul depan lensa.
 Uveitis anterior kronik
Sinekia posterior dibentuk oleh jaringan fibrotik keabuan tanpa
distorsi pupil tetapi dengan perubahan pinggir pupil.
 Sinekia anterior
Perlengketan iris dengan sudut irido-kornea, jelas terlihat dengan
gonioskopi. Sinekia anterior timbul karena pada permulaan blok pupil
sehingga akar iris maju ke depan menghalangi pengeluaran akuos,
edema dan pembengkakan pada dasar iris, sehingga setelah terjadi
organisasi dan eksudasi pada sudut iridokornea menarik iris ke arah
sudut.
Sinekia anterior bukan merupakan gambaran dini dan determinan uveitis
anterior, tetapi merupakan penyulit peradangan kronik dalam bilik depan
mata.
16. Oklusi pupil
Ditandai dengan adanya blok pupil oleh seklusi dengan membran radang pada
pinggir pupil.
 Uveitis anterior akut
Eksudasi protein dalam bilik depan mata disertai tarikan hebat daerah pupil.
 Uveitis anterior kronik

22
Proses organisasi sehingga membran radang berubah menjadi membran
fibrotik dengan neovaskularisasi.
Pada kasus yang berat karena kontraksi dan retraksi membran fibrovaskular
dapat menyebabkan eversi epitel pigmen sehingga terjadi ektropion uvea.

17. Atrofi iris


Merupakan degenerasi tingkat stroma dan epitel pigmen belakang.
Pada uveitis anterior kronik atau eksaserbasi akut terlihat derajat tertentu dari
bendungan dan hiperemi stroma, sehingga iris kehilangan struktur normal,
karena mengalami fibrosis karena hilang dan homogenisasi struktur iris berupa
depigmentasi.Atrofi iris dapat difus, bintik atau sektoral. Atrofi iris sektoral
terdapat pada iridosiklitis akut disebabkan oleh virus, terutama herpetik.
18. Kista iris
Jarang dilaporkan pada uveitis anterior. Penyebab ialah kecelakaan, bedah
mata dan insufisiensi vaskular. Kista iris melibatkan stroma yang dilapisi epitel
seperti pada epitel kornea.Pada beberapa keadaan, epitel yang melapisi kista
keratinisasi sehingga lesi diisi oleh bahan keratin, yang terlihat seperti mutiara.
19. Perubahan sel lensa
Dikenal 3 bentuk perubahan pada lensa akibat uveitis anterior, yaitu:
pengendapan set radang, pigmen dan kekeruhan lensa.
 Pengendapan sel radang
Akibat eksudasi ke dalam akuos di atas kapsul lensa terjadi pengendapan
pada kapsul lensa. Pada pemeriksaan lampu celah ditemui kekeruhan kecil
putih keabuan, bulat, menimbul, tersendiri atau berkelompok pada
permukaan lensa.
 Pengendapanpigmen
Bila terdapat kelompok pigmen yang besar pada permukaan kapsul depan
lensa, menunjukkan bekas sinekia posterior yangtelah lepas. Sinekia
posterior yang meny,erupai lubang pupil disebut cincin dari Vossius.
 Perubahan kejernihan lensa
Kekeruhan lensa disebabkan oleh toksik metabolik akibat peradangan
uvea dan proses degenerasi-proliferatif karena pembentukan sinekia
posterior. Luas kekeruhan tergantung pada tingkat perlengketan lensa-iris,
hebat dan lamanya penyakit.Akibat perlengketan iris terjadi pencairan
serat.
Pada uveitis anterior kronik terjadi perubahan degeneratif di depan kapsul
depan dan subkapsul belakang. Predileksi daerah sentral menunjukkan

23
telah timbul reaksi hipersensitivitas daerah lensa tersebut terhadap stimuli
toksik metabolik. Kekeruhan subkapsul belakang dapat disebabkan
pemberian kortikosteroid lokal atau sistemik.Kekeruhan lensa (katarak)
sering merupakan penyulit uveitis anterior kronik atau residif. Reaksi
radang pada uveitis anterior lebih sering mempercepat kekeruhan pada
katarak senilis.
20. Perubahan dalam badan kaca
Kekeruhan badan kaca timbul karena pengelompokan sel, eksudat fibrin dan
sisa kolagen, di depan atau belakang, difus, berbentuk debu, benang, menetap
atau bergerak. Agregasi terutama oleh sel limfosit, plasma dan makrofag.
Iridosiklitis dapat dibedakan dari iritis dengan ditemui sel dan kekeruhan di
ruang belakang lensa dan badan kaca depan akibat eksudasi badan siliar.
 Uveitis serosa, ditemukan sebukan halus, kekeruhan putih keabuan.
 Uveitis plastik ditemukan lembaran keabuan atau membranasiklitik di
belakang lensa.
Kekeruhan badan kaca tidak berkurang melainkan akan bertambah. Bila lebih
banyak sel melekat terlihat penebalan benda kaca dan terpisah.
Pada kasus uveitis anterior residif dan kronik tidak terkontrol, akan mengalami
regresi dan pemecahan jaringan kolagen, pencairan dan retraksi, sehingga
mengakibatkan lepas badan kaca. Efek Tyndall dan set dalam ruang belakang
badan kaca akibat masuknya eksudasi radang melalui hialod belakang yang
rusak. Badan kaca yang mengalami kerusakan akan membentuk perlengkctan
dan kekeruhan bersama set radang dan membentuk eksudat berupa salju,
tipikal pada uveitis intermedia, dan posterior. Kekeruhan ini akan bertambah
membundar, keabuan, mengkilap bergerak di atas badan kaca perifer.
Pada uveitis anterior tidak begitu berat, terjadi perubahan bagian depan badan
kaca, tetapi dapat meluas ke seluruh badan kaca dan setelah mengalami proses
regresi organisasi dapat menimbulkan penyulit vitreo-retina.
21. Perubahan tekanan bola mata
Tekanan bola mata pada uveitis anterior dapat rendah (hipotoni), normal atau
meningkat (hipertoni).
a. Hipotoni
 Uveitis anterior akut
Hipotoni timbul karena sekresi badan siliar berkurang karena
peradangan.
 Uveitis anterior kronik
Hipotoni menetap karena perubahan badan siliar dan dapat
mengakibatkan atrofi bola mata.
b. Normotensi

24
Menunjukkan berkurangnya peradangan dan perbaikan bilik depan mata.
c. Hipertoni
Hipertoni dini ditemui pada uveitis hipertensif akibat blok pupil dan sudut
irido-kornea oleh sel radang dan fibrin yang menyumbat saluran Schlemm
dan trabekula. Hipertoni dijumpai juga pada uveitis disebabkan oleh virus
herpes simpleks, zoster dan sindrom Posner Schlossman.

Tabel 2. Perbedaan Uveitis Granulomatosadan Non Granulomatosa

Non granulomatosa Granulomatosa

Onset Akut Tersembunyi

Sakit Nyata Tak ada atau ringan

Fotofobia Nyata Ringan

Penglihatan kabur Sedang Nyata

Merah Nyata Ringan


sirkumkorneal

Presipitat keratik Putih halus Kelabu besar

Kecil dan tak tratur Kecil dan tak teratur


Pupil
(bervariasi)

Sinekia posterior Kadang-kadang Kadang-kadang

Nodul iris Kadang-kadang Kadang-kadang

Uvea anterior Uvea anterior dan


Tempat
posterior

Perjalanan Akut Menahun

Rekurensi Sering Kadang-kadang

(Vaughan, 2010)
2.8. PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Pemeriksaan laboratorium yang mendalam umumnya tidak diperlukan untuk


uveitis anterior, apalagi untuk tipe non-granulomatosa. Tes kulit terhadap tuberkulosis
dan histoplasmosis dapat berguna demikian juga antibodi terhadap toksoplasmosis.
25
Berdasarkan tes-tes ini dan gambaran kliniknya, seringkali dapat ditegakkan diagnosa
etiologinya. (Vaughan, 2010)
Beberapa pemeriksaan laboratorium yang dapat mendukung dalam penegakan
diagnosa dan etiologi adalah radiografi thorak dan fluorescent treponemal antibody
absorption (FTA-ABS). Berikut adalah pemeriksaan dan indikasi pada penegakan
diagnosa dan etiologi uveitis anterior menurut George (2017) dan AOA (2014):
 Radiografi thorak untuk Sarkoidosis dan TB
 Tes darah rutin untuk membedakan penyebab bakteri atau virus dan mengetahui
keganasan seperti limfoma dan leukimia.
 FTA-ABS test untuk Sifilis
 VRDL untuk sifilis
 Purified protein derivative (PPD) test untuk TB
 Angiotensin-converting enzyme (ACE) test untuk Sarkoidosis
 Antinuclear antibody (ANA) untuk SLE dan juvenile rheumatoid arthritis.
 HLA-B27 typing untuk ankylosing spondilytis, sindrom Reiter, inflammantory
bowel disease, psoriasis artritis, sindrom Behcet.
 Gallium scan untuk Sarkoidosis
 Anergy evaluation untuk Sarkoidosis
 Toxoplasmosis enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)
 MRI pada kepala akan membantu dalam penegakan cases of intraocular (CNS)
lymphoma.
 Pada pasien dengan indikasi sarkoidosis dan pada pemeriksaan radiografi thorak
negatif, pemeriksaan CT thorak untuk mengetahui hilar adenopathy.

2.9. DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding uvetis anterior menurut Vaughan (2010) antara lain:


b. Konjungtivitis: penglihatan tidak kabur, respon pupil normal, ada tahi mata dan
umumnya tidak ada sakit, fotofobia, atau injeksi siliaris.
c. Keratitis atau keratokunjungtivitis: penglihatan dapat kabur dan ada rasa sakit dan
fotofobia. Beberapa penyebab keratitis seperti herpes simpleks dan herpes zooster
dapat menyertai uveitis anterior sebenarnya.
d. Glaukoma akut: pupil melebar, tidak ada sinekia posterior, dan korneanya beruap.
e. Setelah serangan berulang kali,uveitis non-granulomatosa dapat menunjukkan ciri
uveitis granulomatosa

2.10. TERAPI

Tujuan terapi uveitis anterior menurut AOA (2014), antara lain:


a. Mengembalikan tajam penglihatan,
b. Mengurangi rasa nyeri di mata,

26
c. Mengeliminasi peradangan atau penyebab peradangan,
d. Mencegah terjadinya sinekia iris,
e. Mengendalikan tekanan intraokular.
Sedangkan prinsip pengobatan uveitis menurut Sjamsoe (2013) antara lain:
a. Menekan peradangan,
b. Mengeliminir agen penyebab,

c. Menghindari efek samping obat yang merugikan pada mata dan organ tubuh di
luar mata.

Pada refrat ini akan dibahas terapi spesifik dan terapi non spesifik untuk uveitis
anterior menurut Sjamsoe (2013).
1. Terapi Non Spesifik
Tiga jenis obat yang digunakan sebagai terapi non spesifik pada uveitis yaitu
midriatik-sikloplegik, kortikosteroid, dan imunosupresan.
a. Midriatik-sikloplegik
Semua sikloplegik merupakan agen antagonis kolinergik yang bekerja dengan
menghambat neurotransmiter pada reseptor sfingter iris dan korpus silier. Pada
pengobatan uveitis anterior sikloplegik bekerja dengan 3 cara yaitu:
 Mengurangi nyeri karena imobilisasi iris
 Mencegah adesi iris ke kapsula lensa anterior (sinekia posterior), yang
dapat meningkatkan tekanan intraokular dan menyebabkan glaukoma
sekunder.
 Menyetabilkan blood-aqueous barrier dan mencegah terjadinya flare.
Agen sikloplegik yang digunakan dalam terapi uveitis anterior menurut AOA
(2014) antara lain:
- Atropine 0,5%, 1%, 2%
- Homatropin 2%, 5%
- Scopolamine 0,25%
- Cyclopentolate 0,5%, 1%, 2%.

b. Kortikosteroid
Semua orang setuju bahwa kortikosteroid merupakan terapi non spesifik yang
bermanfaat pada uveitis. Efek samping baik topikal maupun sistemik telah kita
ketahui, akan tetapi tidak ada salahnya diingatkan kembali tentang cara kerja
variasi efek anti inflamasi, efek samping dan potensi preparat steroid yang
dipakai dalam pengobatan uveitis. Pengobatan peradangan intra okular dengan

27
kortikosteroid dimulai pada tahun 50-an. Ada 2 cara pengobatan kortikosteroid
pada uveitis:
 Lokal : Tetes mata, dan injeksi peri okular
Pengobatan uveitis anterior dengan steroid dan midriatik sikloplegik lokal
adalah paling logis dan efektif. Dosis maksimal dapat dicapai dengan efek
samping yang minimal. Dan apabilaterjadi komplikasi, maka obat ini dapat
segera distop.
- Tetes mata
Efek terapeutik kortikosteroid topikal pada mata dipengaruhi oleh sifat
kornea sebagai sawar terhadap penetrasi obat topikal ke dalam mata,
sehingga daya tembus obat topikal akan tergantung pada:
a. Konsentrasi dan frekuensi pemberian
Makin tinggi konsentrasi obat dan makin sering frekuensi
pemakaiannya, maka makin tinggi pula efek antiinflamasinya.
b. Jenis kortikosteroid
Peradangan pada kornea bagian dalam dan uveitis diberikan preparat
dexametason, betametason dan prednisolon karena penetrasi intra
okular baik, sedangkan preparat medryson, fluorometolon dan
hidrokortison hanya dipakai pada peradangan pada palpebra,
konjungtiva dan kornea superfisial.
c. Jenis pelarut yang dipakai
Kornea terdiri dari 3 lapisan yang berperan pada penetrasi obat
topikal mata yaitu, epitel yang terdiri dari 5 lapis sel, stroma, endotel
yang terdiri dari selapis sel. Lapisan epitel dan endotel lebih mudah
ditembus oleh obat yang mudah larut dalam lemak sedangkan
stroma akan lebih mudah ditembus oleh obat yang larut dalam air.
Maka secara ideal obat dengan daya tembus kornea yang baik harus
dapat larut dalam lemak maupun air (biphasic). Obat-obat
kortikosteroid topikal dalam larutan alkohol dan asetat bersifat
biphasic.
d. Bentuk larutan
Kortikosteroid tetes mata dapat berbentuk solutio dan suspensi.
Keuntungan bentuk suspensi adalah penetrasi intra okular lebih baik
daripada bentuk solutio karena bersifat biphasic, tapi kerugiannya
bentuk suspensi ini memerlukan pengocokan terlebih dahulu
sebelum dipakai.

28
Pemakaian steroid tetes mata akan mengakibatkan
komplikasiseperti: glaukoma, katarak, penebalan kornea, aktivasi
infeksi, midriasis pupil, pseudoptosis dan lain-lain.
- Injeksi peri-okular

Dapat diberikan dalam bentuk long acting berupa Depo maupun bentuk
short acting berupa solutio. Keuntungan injeksi peri-okular adalah
dicapainya efek anti peradangan secara maksimal di mata dengan efek
samping sistemik yang minimal.

Indikasi injeksi peri-okular adalah :


1. Apabila pasien tidak responsif terhadap pengobatan tetes mata, maka
injeksi peri-okular dapat dianjurkan.
2. Uveitis unilateral.
3. Pre operasi pada pasien yang akan dilakukan operasi mata.
4. Anak-anak.
5. Komplikasi edema sistoid makula pada pars planitis.

Penyuntikan steroid peri-okular merupakan kontra indikasi pada uveitis


infeksi (toxoplasmosis) dan skleritis.

Lokasi injeksi peri-okular :


a) Sub-konjungtiva dan sub-tenon anterior
Pemakaian sub-konjungtiva/sub-tenon steroid repository
(triamcinolone acetonide 40 mg, atau. methyl prednisolone acetate
20 mg) efektif pada peradangan kronis segmen anterior bola mata.
Keuntungan injeksi sub-konjungtiva dan sub-tenon adalah dapat
mencapai dosis efektif dalam 1 kali pemberian pada jaringan
intraokular selama 2–4 minggu sehingga tidak membutuhkan
pemberian obat yang berkali-kali seperti pemberian topikal tetes
mata. Untuk kasus uveitis anterior berat dapat dipakai dexametason
2–4 mg.
b) Injeksi sub-tenon posterior dan retro-bulbar
Cara ini dipergunakan pada peradangan segmen posterior (sklera,
koroid, retina dan saraf optik).
Komplikasi injeksi peri-okular :
1) Perforasi bola mata.
2) Injeksi yang berulang menyebabkan proptosis, fibrosis
otot ektra okular dan katarak sub-kapsular posterior.
3) Glaukoma yang persisten terhadap pengobatan,
terutama dalam bentuk Depo di mana dibutuhkan
29
tindakan bedah untuk mengangkat steroid tersebut dari
bola mata.
4) Astrofi lemak sub-dermal pada teknik injeksi via
palpebra.
 Sistemik
Pengobatan kortikosteroid bertujuan mengurangi cacat akibat peradangan
dan perpanjangan periode remisi. Banyak dipakai preparat prednison
dengan dosis awal antara 1–2 mg/kg BB/hari, yang selanjutnya diturunkan
perlahan selang sehari (alternating single dose). Dosis prednison diturunkan
sebesar 20% dosis awal selama 2 minggu pengobatan, sedangkan preparat
prednison dan dexametaxon dosis diturunkan tiap 1 mg dari dosis awal
selama 2 minggu. Pada uveitis kronis dan anak-anak bisa terjadi komplikasi
serius seperti supresi kelenjar adrenal dan gangguan pertumbuhan badan,
maka diberikan dengan cara alternating single dose.
Indikasi kortikosteroid sistemik :
- Uveitis posterior
- Uveitis bilateral
- Edema makula
- Uveitis anterior kronik (JRA, Reiter)
- Kelainan sistemik yang memerlukan terapi steroid sistemik
Pemakaian kortikosteroid dalam jangka waktu yang lama akan terjadi efek
samping yang tidak diingini seperti Sindrom Cushing, hipertensi, Diabetes
mellitus, osteoporosis, tukak lambung, infeksi, hambatan pertumbuhan
anak, hirsutisme, dan lain-lain.
c. Imunosupresan
 Sitostatika
Pengobatan sitostatika digunakan pada uveitis kronis yang refrakter
terhadap steroid. Di RSCM telah dipakai preparat klorambusil 0,1–0,2
mg/kg BB/hari, dosis klorambusil ini dipertahankan selama 2–3 bulan
lalu diturunkan sampai 5–8 mg selama 3 bulan dan dosis maintenance
kurang dari 5 mg/hari, sampai 6–12 bulan. Selain itu juga dipakai
preparat Kolkhisindosis 0,5 mg–1 mg/peroral/2 kali/hari. Dosis letak
adalah 7 mg/hari. Selama terapi sitostatika kita hams bekerja sama
dengan Internist atau Hematologist. Sebagai patokan kita hams
mengontrol darah tepi, yaitu lekosit harus lebih dari 3000/mm3 dan
trombosit lebih dari 100.000/mm3 selama dalam pengobatan.
Preparat sitostatika ini menekan respons imun lebih spesifik
dibandingkan kortikosteroid, tetapi pengobatan sitostatika ini
mempunyai risiko terjadinya diskrasia darah, alopesia, gangguan

30
gastrointestinal, sistitis hemoragik, azoospermia, infeksi oportunistik,
keganasan dan kerusakan kromosom.
Indikasi sitostatika:
- Pengobatan steroid inefektif atau intolerable
- Penyakit Behcet
-Oftalmia simpatika
-Uveitis pada JRA (Juvenile rheumatoid arthritis)
Kontra indikasi sitostatika :
- Uveitis dengan etiologi infeksi
- Bila tidak ada :
 Internist/hematologist
 Fasilitas monitoring sumsum tulang
 Fasilitas penanganan efek samping akut
 Siklosporin A
Siklosporin A (CsA) adalah salah satu obat imunosupresan yang relatif
baik yang tidak menimbulkan efek samping terlalu berat dan bekerja
lebih selektif terhadap sel limfosit T tanpa menekan seluruh imunitas
tubuh; pada pemakaian kortikosteroid dan sitostatik akan terjadi
penekanan dari sebagian besar sistem imunitas, seperti menghambat
fungsi sel makrofag, sel monosit dan sel neutrofil. Selain itu CsA tidak
menyebabkan depresi sumsum tulang dan tidak mengakibatkan efek
mutagenik seperti obat sitostatika. Mekanisme kerja siklosporin A dalam
respons imun adalah spesifik dengan:
- Menekan secara langsung sel T helper subsets dan menekan secara
umum produksi limfokin-limfokin (IL-2, interferon, MAF, MIF).
Secara umum CsA tidal( menghambat fungsi sel B.
- Produksi sel B sitotoksik dihambat oleh CsA dengan blocking
sintensis IL-2.
- Secara tidak langsung mengganggu aktivitas sel NK (natural killer
cell) dengan menekan produksi interferon, di mana interferon dalam
mempercepat proses pematangan dan sitolitik sel NK.
- Populasi makrofag dan monosit tidak dipengaruhi oleh CsA sehingga
tidak mempengaruhi efek fagositosis, processing antigen dan
elaborasi IL-1.
2. Terapi Spesifik
a. Toxoplasmosis
Pengobatan anti toxoplasma yang paling ideal adalah terapi kombinasi.
- Sulfadiazin atau trisulfa
Dosis 4 kali 0.5–1 gr/hari selama 3–6 minggu.
- Pirimetamin
Dosis awal 75–100 mg pada hari pertama, selanjutnya 2 kali 25 mg/hari
selama 3–6 minggu.
31
- Trimethoprim-sulfamethoxazol (Bactrim®)
Dosis 2 kali 2 tablet Bactrim® selama 4–6 minggu. Preparat sulfa
mencegah konversi asam paraaminobenzoat menjadi asam folat. Preparat
pirimetamin bekerja menghambat terbentuknya tetrahidrofolat. Asam
folat dibutuhkan oleh organisme toxoplasma untuk metabolisme karbon.
Pada pemakaian pirimetamin dapat terjadi depresi sumsum tulang, maka
kontrol darah tepi tiap minggu, apabila trombosit diindikasi penghentian
terapi. Untuk mencegah depresi sumsum tulang diberikan preparat tablet
asam folinat 5 mg tiap 2 hari.
- Klindamisin
Sebagai pengganti pirimetamin, yang bekerja sinergik dengan preparat
sulfa. Secara invivo pada experimen obat ini dapat menghancurkan kista
toxoplasma pada jaringan retina. Dosis: 3 kali 150–300 mg/hari/oral.
Pemberian sub-konjungtiva klindamisin 50 mg dilaporkan memberi hasil
baik.
- Spiramisin
Diberikan pada wanita hamil dan anak-anak karena efek samping yang
minimal. Obat ini kurang efektif dalam mencegah rekurensi.
- Minosiklin
Dosis 1–2 kapsul sehari selama 4–6 minggu.
- Fotokoagulasi dengan laser apabila tidak ada respon terapi
medikamentosa.

b. Infeksi virus
1. Herpes simplex :
Pada keratouveitis Herpes simplex diberikan topikal antivirus seperti
asiklovir dan sikloplegik. Apabila epitel kornea intact/sembuh maka dapat
diberikan topikal steroid bersama antivirus. Diberikan juga asiklovir 5 kali
200 mg/hari selama 2–3 minggu yang kemudian diturunkan 2 atau 3
tablet/hari. Pada kasus retinitis Herpes simplex dan ARN (Acute retinal
necrosis) diberikan asiklovir intravena dengan dosis awal 5 mg/kgBB/kali
yang dapat diberikan 3 kali per hari.
2. Herpes zoster
Diberikan asiklovir 5 kali 400 mg pada keadaan akut selama 10–14 hari.
Kortikosteroid sistemik diberikan pada orang tua untuk mencegah terjadi
post herpetic neuralgia. Pada uveitis anterior diberikan steroid dan
sikloplegik topikal.
3. Sitomegalovirus

32
DHPG (Gancyclovir) 5 mg/kgBB/dalam 2 kali pemberian intravena.
Foscarnet: 20 mg/kgBB/perinfus.Menurut Wiyana (1993), selama
pemberian obat harus diperhatikan beberapa hal diantaranya:
- Berat badan. Bila berat badan naik dengan cepat berarti ada penumpukan
air, karena adanya Na retensi, makanya pada pemberian kortekosteroid
yang lama harus disertai pemberian KCl.
- Tensi darah harus diperiksa setiap hari
- Pemeriksaan kadar K, Na dalam darah
- Pemeriksaan kadar gula dalam darah, harus dilakukan satu kali dalam
setiap minggu
- Adanya mimpi buruk, merupakan tanda adanya psikose.
Berhasil tidaknya pengobatan tergantung oleh daya tahan tubuh serta
adanya virulensi dari faktor penyebab iridosiklitis. Oleh karenanya
pemberian kortikosteroid tidak akan berhasil apabila tidak disertai
pengobatan penyebabnya. Keadaan umum diperbaiki untuk memperbaiki
daya tahan tubuh. Istirahat di tempat tidur, terlindung dari cahaya, tidak
boleh membaca, dilarang minum alkohol (dapat menyebabkan hiperemi),
memakan makanan yang mudah dicerna, dan memakai kaca mata hitam.
Selain itu jangan lupa memeriksa bagian-bagian tubuh yang lain seperti:
gigi, telinga, hidung, tenggorokan, traktus urogenitalis, traktus digestivus,
kulit, dan bagian lain. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui penyebab dan
juga mengobati penyebab tersebut (Wijana, 1993).

2.11. KOMPLIKASI

Ada empat komplikasi utama uveitis anterior antara lain: katarak, glaukoma,
band keratopathy, dan cystoid macular edema (CME) (AOA,2014).
Katarak subcapular posterior merupakan salah satu komplikasi dari pengobatan
uveitis anterior berupa penggunaan kortikosteroid topikal jangka panjang (AOA,
2014).
Glaukoma sekunder yang terjadi dapat disebabkan oleh beberapa mekanisme,
antara lain: (AOA, 2014)
a. Gangguan sirkulasi humor aqueous karena tersumbat oleh sel radang
b. Sinekia posterior memungkinkan humor aqueous terkumpul di belakang iris.

c. Sinekia anterior peripheral prograsif menutup sudut bilik mata

33
d. Cortikosteroid topikal yang digunakan pada terapi dapat meningkatkan tekanan
intra okular

e. Rubeosis iridis menyebabkan neovaskular glaukoma

Band keratopathi terjadi pada uveitis yang lama. Terjadi karena penumpukan
kalsium pada kornea anterior (AOA, 2014).

Edema kistoid makuler dapat terjadi pada uveitis anterior yang lama. CME
mungkin disebabkan karena penurunan kadar prostaglandin (AOA, 2014)

2.12. PROGNOSIS

Dengan pengobatan, serangan uveitis non-granulomatosa umumnya


berlangsung beberapa hari sampai minggu dan sering kambuh. Uveitis granulomatosa
berlangsung berbulan-bulan sampai tahunan, kadang-kadang dengan remisi dan
eksaserbasi, dan dapat menimbulkan kerusakan permanen dengan penurunan
penglihatan yang nyata. Prognosis bagi lesi korioretinal perifer lokal jauh lebih baik,
sering sembuh tanpa gangguan penglihatan yang berarti (Vaughan, 2010)

PEMBAHASAN

Penelitian ini dilakukan di Departemen Ophthalmology, Adichunchanagiri


InstitutIlmu medis, B.G.Nagara dan 20 kasus uveitis anterior dipelajari.

Insiden tinggi terdapat pada kelompok usia 31-40 tahun (35%) diikuti oleh kelompok
usia 61-70 tahun (25%). Berdasarkan penelitian ditemukan bahwa laki-laki yang terkena
lebih banyak (60%) dibandingkan dengan perempuan (40%). Dalam studi oleh Rathinam SR,
61,3% adalah laki-laki dan 38,7% perempuan [2]. Dalam studi oleh Alezandro Rodriguez et
al,distribusi jenis kelamin adalah 38,9% laki-laki dan 61,1% perempuan [13]. Gejala yang
paling umum yang ada pada pasien adalah mata merah dan nyeri (80% dari pasien).
Presentasi yang paling umum adalah iridosiklitis akut (80% dari pasien) diikuti oleh
iridosiklitis kronis (dalam 15%pasien). Uveitis anterior berulang hanya terdapat pada satu
pasien yang terdeteksi positif untukantigen HLAB27dan saat ini sedang dalam pengobatan
imunosupresan. Dalam studi oleh Rathinam SR et al, 71,9% kasusmemiliki uveitis anterior
akut, 24,3% adalah kronis dan 3,8% yang berulang uveitis anterior [2]. Sebagian besarpasien

34
memiliki unilateral uveitis anterior (95% dari pasien) tanpa predileksi signifikan baik untuk
mata kanan ataumata kiri. Hal ini sesuai dengan studi oleh Rathinam SR et al di mana
mayoritas (85,3%) memiliki anterior unilateraluveitis. Sebagian besar kasus mengalami
radang nongranulomatous yang sesuai dengan dua lainnya sebelumnyaStudi [2,13]

Tabel 4. Perbandigan faktor etiologi dari studi sekarang dan beberapa studi lain.
Studi Rathinam SR [2] Singh et al [14] Henderly et al[15]
Etiologi sekarang (%) [n=5028] (%) [n=607] (%) [n=167]
Idiopatik 40 44.6 61.3 43.52
Trauma tumpul 20 7.7 - 2.52
Fakolitik 15 3.5 - -
HZO 15 8.6 1.8 8.99
Tuberkulosis 10 4 7.9 -
Iridosiklitis 5 7.1 - -

Dalam penelitian ini, sebagian besar kasus yang idiopatik sesuai dengan studi yang
lain. Trauma tumpul merukapan penyebab paling umum dari uveitis anterior diikuti oleh
uveitis fakolitik. Hal ini mungkindijelaskan oleh fakta bahwa populasi pertanian pedesaan
memiliki predileksi lebih besar untuk trauma.
Ketajaman visual pada presentasi kurang dari 6/12 di sekitar 50% dari pasien yang
membaik setelah pengobatan untuk> 6/9 di 80% dari kasus-kasus ini. Ketajaman visual
meningkat hanya sedikit pada pasien yang memiliki edema makula.
Semua pasien diobati secara medis dan merespon baik terhadap pengobatan, hanya 3
pasien yang memerlukan pembedahanintervensi dalam bentuk operasi katarak. Beberapa
pasien mangkir. Rata-rata tindak lanjut periodeadalah sekitar 2 bulan.

KESIMPULAN
Uveitis anterior adalah penyakit progresif dengan komplikasi yang berpotensi
menyebabkan kebutaan dan gejala sisa. Etiologinya bervariasi dan masih belum diketahui di
sebagian besar kasus. Dalam semua kasus uveitis anterior, posterioruveitis harus disingkirkan
berdasarkan hasil evaluasi segmen posterior secara menyeluruh. Evaluasi sistemik yang rinci
dalam inikasus ini penting, karena uveitis anterior mungkin merupakan manifestasi awal dari
penyakit sistemik yang mendasari.
Menggunakan standar penyelidikan laboratorium dapat menyebabkan keterlambatan
dalam diagnosis dan memberikan pengeluaran yang berlebihan. Beberapa penyelidikan
mungkin tidak terjangkau atau tersedia untuk penduduk pedesaan. Metode yang lebih dapat

35
diterima yaitu mempertimbangkan faktor-faktor seperti usia, jenis kelamin, riwayat penyakit,
temuan klinis kemudian baru mengusulkan untuk menggunakan pemeriksaan laboratorium
yang sesuai.
Diagnosis dini dan pengobatan yang tepat memberi hasil visual yang baik. Kronisitas
dan keterlambatan dalam terapi meningkatkan risiko visual dengan komplikasi yang
mengancam.

36
DAFAR PUSTAKA

American Optometric Association, 2014, Anterior Uveitis, dalam Optometric Clinical


Practice Guideline, American Optometric Association, St. Louis
Ardy, H., 2013, Diagnosis Etiologik Uveitis Anterior, dalam Cermin Dunia Kedokteran no
87. sept 2013, Majalah Cermin Dunia Kedokteran, Jakarta: 47-54
Ghozie, M., 2012, Kornea, Uvea, dan Lensa, dalam Hand Book of Ophtalmology, Yogyakarta
Hodge, W. G., 2010, Traktus Uvealis & Sklera, dalam Vaughan, D. G., Asbury, T. dan
Riodan, P., Oftalmologi Umum, Widya Medika, Jakarta : 155-174
Riodan, P., 2010, Anatomi & Embriologi Mata, dalam Vaughan, D. G., Asbury, T. dan
Riodan, P., Oftalmologi Umum, Widya Medika, Jakarta : 1-29
Rosenbaum, J,T, 2017, Up to Date: Canada, http://www.uptodate.com
Sjamsoe, S., 2013, Penatalaksanaan Uveitis, dalam Cermin Dunia Kedokteran no 87. sept
1993, Majalah Cermin Dunia Kedokteran, Jakarta: 55-58
Suhardjo dan Gunawan, S., 2013. Gambaran Klinis Uveitis Anterior Akuta pada HLA-B27
positif, FK UGM, Yogyakarta
Wijana, N., 2013, Uvea, dalam Ilmu Penyakit Mata, Abadi Tegal, Jakarta: 126-153

37

Anda mungkin juga menyukai