Anda di halaman 1dari 18

JOURNAL READING

PENGATURAN DOSIS ANTIBIOTIK DALAM SINDROMA


KEGAGALAN FUNGSI MULTIORGAN

(ANTIBIOTIK DOSING IN MULTIPLE ORGAN DYSFUNCTION


SYNDROME)

TUGAS KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI

NAMA : DICKSON

NIM : 406172005

PEMBIMBING : dr. I GUSTI NYOMAN PANJI PUTU GAWA,


Sp. An-KIC

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS


TARUMANAGARA

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH RAA SOEWONDO PATI

PATI

2018
Abstrak

Judul : Pengaturan Dosis pada Kasus Sindroma Disfungsi Multi Organ

Marta Uldemolins, PharmD; Jason A. Roberts, PhD, Bpharm (Hons); Jeffrey


Lipman, MD, and Jordi Rello, MD, PhD

Pemberian terapi antibiotik awal dan wajar menjadi kesuksesan dalam


pengobatan kasus syok sepsis, beberapa data digunakan untuk menjadi panduan
dalam mengoptimisasi dosis antibiotik pada pasien yang memiliki penyakit kritis
seperti kegagalan fungsi organ. Telah kita ketahui bahwa penyakit ini menyebabkan
perubahan pada fisiologi dari pasien, tetapi efeknya pada variasi dari
farmakokinetik belum ditelaah dengan baik. Tujuan dari artikel ini adalah untuk
menyimpulkan perubahan atau variasi dari farmakokinetik dan farmakodinamik
yang disebabkan oleh penyakit tersebut dan menyediakan rekomendasi dosis untuk
antibiotik pada pasien dengan penyakit ini. Temuan utama dari artikel ini adalah
adanya 2 parameter dengan signifikan yang besar pada pasien dengan kegagalan
fungsi organ yaitu distribusi volume obat dan clearance. Peningkatan distribusi
volume obat dan kadar obat dalam plasma kurang dari seharusnya pada hari pertama
terapi menunjukkan adanya perubahan pada klinis pasien dan penyakitnya.
Penurunan clearance obat merupakan hal yang biasa dan dapat menimbulkan
toksisitas obat. Dapat disimpulkan bahwa pemberian dosis antibiotik yang tinggi
pada 24 jam pertama terapi dapat meningkatkan distribusi volume antibiotik.
Setelah itu, penyesuaian dosis dapat dilihat dari clearance obat dan disesuaikan
dengan derajat disfungsi organ.

Univ. Tarumanagara – RSUD RAA Soewondo Pati 1


Pengobatan pada infeksi berat tetap menjadi tantangan untuk para klinisi, walaupun
penggunaan antibiotik sudah dilakukan berpuluh tahun. Ada dua fenomena yang
menyebabkan pentingnya meningkatkan kerja dari obat antiobiotik yang saat ini
ada dan memperpanjang lama efektif obat tersebut. Pertama, peningkatan angka
kejadian resistensi bakteri terhadap antibiotik, dan kedua, kurang efektifnya
antibiotik dengan mekanisme kerja yang baru. Salah satu cara meningkatkan
optimisasi antibiotik adalah meningkatkan dosis pemberian antibiotik, karena
dicurigai penyebab berkurang fungsi obat disebabkan karena dosis yang tidak
sesuai, hasil klinis dan peningkatan resistensi bakteri. Dari segi perspektif klinis,
pemberian dosis optimal pada awal terapi untuk pasien sakit berat menunjukkan
adanya penurunan angka kematian. Perubahan fisiologi dan farmakokinetik dalam
pemberian antibiotik untuk pasien sepsis telah ditelaah sebelumnya, sedangkan
masih banyak absen dari panduan dosis antibiotik pada pasien dengan kegagalan
fungsi organ dimana keparahan penyakit lebih tinggi dan terapi antibiotik yang
efektif sangat penting untuk hasil klinis. Tujuan dari artikel ini adalah menelaah
dan menggunakan contoh dari literatur untuk menjadi kunci konsep, untuk memberi
efek pada farmakokinetik dan farmakodinamik obat dan menyediakan rekomendasi
pengobatan untuk pasien kritis dengan kegagalan fungsi organ.

Strategi Pencarian dan Seleksi Kriteria

Data diidentifikasi menggunakan pencarian sistematik dalam PubMed (1966-


Oktober 2010), mencari artikel original yang mengevaluasi variasi dari
farmakokinetik dan farmakokinetik/farmakodinamik pada kasus kegagalan fungsi
organ. Kata kunci yang dipakai adalah “sepsis” atau “systemic inflammation
response syndrome” atau “septic shock” atau “multiple organ failure” dan
“antibacterial agents” atau “antibiotics” dan “pharmacokinetics” atau
“pharmacodynamics” dan “critically ill patient” atau “intensive care unit” atau
“critical care”. Ditemukan 167 artikel, dimana hanya 48 yang memiliki hubungan
relevan untuk pasien penyakit kritis dengan kegagalan fungsi organ. Beberapa
artikel juga diidentifikasi melalui pencarian ekstensif dari penulis.

Univ. Tarumanagara – RSUD RAA Soewondo Pati 2


Gambaran Fisikokimia, Farmakokinetik dan Farmakodinamik Antibiotik

Dalam istilah “antibiotik”, terdapat banyak variasi senyawa-senyawa kimia


yang memiliki perbedaan karakteristik dalam mekanisme kerja dan fisikokimia,
farmakokinetik, dan farmakodinamik. Keunikan dari setiap kelas membuat studi
independen menjadi penting untuk mengetahui karakteristik akurat dari aktivitas
antibiotik.

Fisikokimia

Klasifikasi kimia yang berguna dan sederhana untuk antibiotik adalah


afinitasnya terhadap air. Obat yang bersifat hidrofilik terdistribusi secara dominan
didalam intravaskular dan cairan interstitial tetapi tidak mampu untuk melewat
membran lipid sel secara pasif sehingga tidak dapat menembus kedalam intraseluler
dalam konsentrasi yang cukup. Oleh karena itu, volume distribusi obat tersebut
sama dengan cairan ekstraseluler dan biasanya korespond pada angka diantara
0,1L/kg dan 0,3 L/kg. Sedangkan obat-obat lipfilik dapat menembus membran lipid
sehingga terdistribusi secara intraseluler kedalam jaringan lemak. Oleh karena itu,
volume distribusi dari obat lipofilik tergantung pada banyaknya jaringan adiposa
yang merupakan proporsional dari berat badan total. Terdapat beberapa
pengecualian dimana pendekatan ini digunakan, contohnya, pada pasien dengan
peningaktan massa otot, jaringan otot memiliki sifat hidrofilik yang tinggi dan
menyebabkann volume distribusi obat lipofilik menjadi berkurang.

Farmakokinetik

Farmakokinetik adalah studi tentang interrelasi antara dosis obat dan variasi
konsentrasi dalam plasma dan jaringan. Parameter-parameter farmakokinetik yang
paling relevan adalah:

 Konsentrasi puncak tercapai setelah dosis tunggal (Cmax)


 Volume distribution (Vd) : Volume cairan yang memiliki total dosis obat yang
masuk pada konsentrasi yang sama dengan plasma
 Clearance (CL) : kuantifikasi dari kehilangan obat yang irreversible dari
tubuh akibat metabolisme dan ekskresi

Univ. Tarumanagara – RSUD RAA Soewondo Pati 3


 Eliminasi paruh waktu obat : waktu yang dibutuhkan untuk konsentrasi
plasma mencapai setengah
 Protein terikat : proporsi obat yang terikat dengan protein plasma
 Area Under Curve (AUC0-24) : area total dibawah kurva konsentrasi dari jam
0-24

Farmakodinamik dan FK/FD

Farmakodinamik adalah studi tentang hubungan antara konsentrasi obat dan


efek. Pendekatan FK/FD untuk menimbulkan hubungan antara dosis dan efek
farmakologikal. Gambar 1 menunjukkan hubungan antara farmakokinetik,
farmakodinamik dan FK/FD. Antibiotik dapat dikategorikan menjadi 3 kelas
berbeda tergantung dari FK/FD yang berasosiasi dengan optimal aktivitas kerjanya.

 Antibiotik time-dependent : aktivitas optimal tercapai ketika konsentrasi


plasma tidak terikat terjaga diatas minimum inhibitory concentration (MIC)
dari bakteri untuk fraksi dari interval dosis
 Antibiotik concentration-dependent : aktivitas optimal yang berkorelasi
dengan Cmax , dikuantifikasi antara ratio Cmax dengan MIC bakteri
(Cmax/MIC)
 Antibiotik concentration-dependent with time dependence : rasio antara
AUC0-24 yang belum terikat dengan MIC bakteri (ƒAUC0-24/MIC)
berkorelasi dengan aktivitas optimal

Gambar 1. Interrelasi antara farmakokinetik, farmakodinamik, dan


farmakokinetik/farmakodinamik

Univ. Tarumanagara – RSUD RAA Soewondo Pati 4


Patofisiologi Kegagalan Fungsi Organ (MODS) dan Efek pada Vd dan CL
Obat

MODS yang berhubungan dengan sepsis didefinisikan sebagai perburukan


fungsi organ akibat infeksi berat dimana homeostasis tidak dapat terjaga tanpa
intervensi, biasanya meliputi dua atau lebih sistem organ. Endotoksin memiliki efek
kaskade pada produksi molekul endogen yang bekerja pada endotelium vaskular,
menyebabkan vasodilatasi dan perembesan cairan dan protein ke ruang
ekstraselular secara transkapiler. Sepsis diketahui menyebabkan disfungsi
miokardial. Perubahan hemodinamik menyebabkan hipoperfusi jaringan yang
disebabkan sepsis, berefek pada farmakokinetik. Antibiotik adalah kelompok obat
dengan farmakodinamik “bisu” (efek farmakologik dari obat tidak bekerja langsung
setelah pemberian), sehingga tidak memungkinkan untuk mengases kapan
konsentrasi terapetik obat tercapai pada fase awal terapi. Oleh karena itu,
pertimbangan pada skenario seperti ini adalah merubah farmakokinetik dan
pengaturan dosis yang diperlukan untuk mencapai individualisasi pada terapi
antibiotik.

Hipoperfusi Jaringan

Pada fase awal syok sepsis (warm shock), arteri dilatasi, penurunan resistensi
arterial perifer dan menyebabkan peningkatan refleks dalam cardiac output. Setelah
itu, syok sepsis mulai muncul, meliputi penurunan cardiac output dan tekanan
darah. Perubahan aliran darah yang dimediasi sepsis mungkin memiliki efek
penting pada penghantaran obat ke jaringan.

Pada fase warm shock, hipoperfusi organ vital (otak, paru-paru) terjadi,
sedangkan jaringan perifer dan organ nonvital masih menerima aliran darah tinggi
sebagai konsekuensi dari vasodilatasi perifer dan peningkatan kerja jantung.
Hipoperfusi organ vital dapat menyebabkan penghantaran antibiotik kurang
optimal dan subterapik pada jaringan target pada fase awal infeksi pada infeksi vital
organ (contohnya infeksi saluran pernapasan). Kurangnya data dari farmakokinetik
yang spesifik menarget pada efek distribusi obat pada warm shock dan
membutuhkan penelitian lebih lanjut pada area ini.

Univ. Tarumanagara – RSUD RAA Soewondo Pati 5


Hipoperfusi jaringan perifer dapat terjadi pada fase kedua syok sepsis sebagai
hasil dari usaha tubuh untuk meningkatkan perfusi ke organ vital. Dikarenakan
jaringan perifer sering menjadi sumber dari infeksi, hipoperfusi dapat menyebabkan
kegagalan menjaga konsentasi terapetik pada daerah infeksi. Skenario yang sama
dapat terlihat pada pasien dengan peningkatan cairan, kebocoran kapiler dan edema.
Pada kasus ini, walaupun terjadi peningkatan pergerakan plasma dan solutes
(antibiotik hidrofilik) ke ruangan ekstravaskular, konsentrasi obat pada area target
bisa berkurang karena efek dilusi. Pendekatan alternatif pada pemberian obat
seperti perpanjangan waktu infus atau infus yang terus menerus, telah menunjukkan
bahwa konsentrasi antibiotik di jaringan lebih banyak tercapai untuk antibiotik
time-dependent dan dapat dipertimbangkan untuk mengobati infeksi pada bakteri
yang lemah. Simulasi Monte Carlo dapat digunakan untuk membandingkan
pencapaian target FK/FD relatif untuk pendeketan dosis untuk antibiotik, terutama
antibiotik time-dependent. Analisis ini menunjukkan secara konsisten bahwa infus
yang diperpanjang (>3 jam) atau infus antibiotik time-dependent yang terus
menerus dapat menyebabkan FK/FD tercapai lebih baik dibandingkan infus
intermittent (≤30 menit). Simulasi Monte Carlo juga dapat digunakan untuk
menunjukkan efek dari disfungsi renal terhadap pencapaian FK/FD dari target.
Gambar 2 diadaptasi dari Robert er al dan mendeskripsikan bahwa pemberian dosis
meropenem yang sama pada disfungsi renal yang berbeda-beda dalam
menimbulkan pencapaian FK/FD target yang berbeda. Penggunaan dari infus yang
diperlama atau terus-menerus dalam konteks ini dapat menimbulkan peningkatan
pencapaian FK/FD target.

Disfungsi Renal

Beberapa faktor dapat menimbulkan acute kidney injuri (AKI) pada pasien
penyakit kritis. Identifikasi awal pada AKI dan asesmen yang akurat pada fungsi
renal penting untuk pengaturan dosis harian dari antibiotik hidrofilik. Estimasi dari
creatinine clearance (CrCL) sebagai pengganti dari glomerual filtration rate (GFR)
menggunakan formula seperti Cockroft-Gault dan modified diet in renal disease
(MDRD) harus terintepretasi dengan hatihati pada pasien penyakit kritis. Hal ini
dikarenakan walaupun telah terdokumentasi dengan baik secara klinis pada
populasi pasien yang spesifik (pasien dengan penyakit ginjal kronis), tetapi belum

Univ. Tarumanagara – RSUD RAA Soewondo Pati 6


tervalidasi pada pasien penyakit kritis. Dikarenakan konsentrasi plasma kreatinin
dapat bervariasi oleh alasan selain fungsi renal pada pasien ini (cachexia akibat
imobilitas) dan pada keadaan stabil (jarang), formula ini dapat menimbulkan
inakurasi dari estimasi GFR dan menyebabkan pengaturan dosis menjadi tidak baik.
Jika memungkinkan, disarankan untuk memakai CrCL urin 8, 12, atau 24 jam untuk
mengukur GFR pada pasien penyakit kritis.

Ketika menggunakan CrCl urin, rekomendasi dosis dalam informasi produk


untuk GFR yang terhitung oleh MDRD atau Cockroft-Gault dapat dipakai. Isu
utama disini bukan perubahan clearance obat yang berhubungan dengan GFR yang
menjadi masalah, tetapi bagaimana penghitungan GFR. Jika GFR tidak terhitung
secara akurat, maka pengaturan dosis apapun menjadi kurang optimal.

Gambar 2. Variasi efek dari disfungsi renal pada pencapaian


farmakokinetik/farmakodinamik target untuk dosis meropenem yang sama. Contoh ini
menjelaskan bahwa kemungkinan pencapaian target (ƒT>MIC) untuk meropenem yang
dimasukkan secara bolus intermiten (diinfus dalam 5 menit), pada pasien berumur 50 tahun
dan 70kg berat badan dengan kreatinin 50, 100, 200, dan 300 mmol/L. Cr = konsentrasi
kreatinin plasma; ƒ T>MIC = waktu dibagi dengan konsentrasi inhibisi minimum; MIC =
konsentrasi inhibisi minimum. Diadaptasi dengan perizinan dari Oxford University Press
dari Roberts et al.

Univ. Tarumanagara – RSUD RAA Soewondo Pati 7


Disfungsi Hati

Penyebab yang sering menyebabkan gagal hati pada pasien penyakit krits
adalah cholestasis akibat infeksi dan trauma hepatoseluler, dimana terjadi respon
terhadap toksin bakteri dan ke toksis itu sendiri. Pada kasus pertama, toksin bakteri
dan sitokin yang dilepas dapat menimbulkan pengambilan dan sekresi empedu dari
hepatosit, menyebabkan jaundice. Pada kasus kedua, endotoksin dan bakteri
difagositosis oleh sel Kupffer yang melepaskan beberapa molekul hepatotoksik,
menyebabkan kerusakan sel. Asesmen pada derajat disfungsi hepar dalam gagal
hati akut biasanya bersifat klinis dan meliputi tanda dan gejala seperti peningkatan
enzim hati, bilirubin, atau ammonia dan penurunan konsentrasi protein yang
diproduksi hati (albumin, α1-acid glycoprotein, faktor koagulasi). Disfungsi hepar
dapat mengganggu metabolisme sehingga menimbulkan akumulasi dari antibiotik
yang dibersihkan melalu hepar. Berkurangnya produksi albumin dan α1-
acidglycoprotein yang berasal dari hati juga dapat mengganggu farmakokinetik dari
antibiotik yang bersifat mengikat protein tinggi.

Albumin adalah pembawa obat paling banyak dalam aliran darah. Interaksi
obat-protein berlangsung cepat dan dinamik, dan ekuilibrium tergantung pada
konsentrasi dari kedua zat. Pada keadaan hipoalbuminemia, molukel obat yang
tidak terikat dapat terdistribusi dari darah ke jaringan dalam jumlah besar
dibandingkan dengan pengikatan protein dalam keadaan normal; secara
farmakokinetik, ini disebut sebagai Vd besar.

Selain itu, penanganan klinis dari gagal hati berat meliputi terapi penggantian
renal and penggunaan kolom adsorben untuk menghilangkan amonia yang
berlebihan dan produk sisa lainnya dalam darah. Efek tambahan dari intervensi
tersebut dan ekskresi antibiotik secara renal harus diperhitungkan ketika
menggunakan antibiotik hidrofilik.

OPTIMISASI DOSIS AWAL ANTIBIOTIK DALAM KEGAGALAN


FUNGSI ORGAN

Gangguan farmako yang disebabkan oleh kegagalan fungsi organ harus


dipertimbangkan ketika meresepkan antibiotik pada pasien penyakit kritis. Pada

Univ. Tarumanagara – RSUD RAA Soewondo Pati 8


fase awal sepsis, peningkatan Vd dan CL merupakan hal biasa, dan dosis harus
disesuaikan, dimana telah dikonfirmasi oleh 2 studi terbaru. Studi pertama, oleh
Robert et al, adalah evaluasi pengawasan obat terapetik β-lactam pada pasien
penyakit kritis, termasuk pasien kegagalan fungsi organ, ditemukan bahwa ~70%
pasien tidak mencapai konsentrasi antibiotik yang wajar, dengan 50,4% dan 23,7%
dosis ditinggikan dan diturunkan, pada fase awal terapi. Kedua adalah studi
multicenter oleh Taccone et al menunjukkan bahwa dosis awal konvensional pada
beberapa β-lactam yang sering dipakai pada pasien penyakit kritis tidak cukup
untuk mencapai target FK/FD pada hari pertama terapi. Pada studi ini, hanya 28%
pasien dengan ceftazidine, 16% dengan cefepime, and 44% dengan
piperacillin/tazobactam mencapai target FK/FD pada hari pertama terapi. Penulis
menemukan bahwa 40% pasien menggunakan piperacillin/tazobactam memiliki
konsentrasi plasma kurang dari 4 kali MIC dalam waktu 90 menit setelah diberikan.

Hasil dari kedua studi ini kemungkinan disebabkan oleh peningkatan Vd pada
pasien-pasien ini. Penting untuk dicatat bahwa studi dari Taccone et al, 27% pasien
yang memiliki AKI, walaupun telah diberikan dosis awal standar non-AKI,
kebanyakan hanya mencapai konsentrasi suboptimal. Sebaliknya, studi oleh
Roberts et al, 19% pasien yang memiliki AKI (dengan atau tanpa memerlukan
dialisis), dan pada hari kedua, 5,72% dari pasien ini memerlukan pengurangan
dosis. Data dari kedua studi menyarankan bahwa dosis antibiotik awal harus
diperhitungkan untuk meningkatkan Vd pada pasien penyakit kritis dengan
kegagalan fungsi organ. Oleh karena itu, dosis yang lebih tinggi dari standar dapat
dipertimbangkan pada fase awal terapi. Konsep ini akan disebutkan dalam artikel
sebagai dosis “front-loaded” dan diterapkan pada obat hidrofilik dimana Vd
meningkat secara drastis pada skenario ini. Konsep tersebut didemonstrasikan oleh
Marik yang menunjuukan bahwa peningkatan dua kali lipat pada Vd amikacin pada
pasien penyakit kritis dengan infeksi gram negatif. Perubahan farmakokinetik ini
akan berefek pada pencapaian konsentrasi maksimum (Cmax/MIC ≥) secara
signifikan. Penelitian terbaru juga mendukung pemberian dosis “front-loaded”
untuk aminoglikosida (25mg/kgBB pada amikacin) pada terapi hari pertama untuk
kasus sepsis dan syok sepsis.

Univ. Tarumanagara – RSUD RAA Soewondo Pati 9


Untuk obat lipofilik, dosis “front-loaded” berdasarkan berat badan total
sebaiknya dipertimbangkan pada pasien dengan proporsi jaringan lemak yang
tinggi untuk mencapai konsentrasi terapik. Prinsip ini sama seperti ketika
memasukkan dosis obat seperti amiodaron dan fenitoin. Pada penemuan lebih
lanjut, ditemukan bahwa Vd obat antibiotik hidrofilik bertambah pada pasien obese
dikarenakan adanya peningkatan cairan interstitial, jaringan ikat, massa otot pada
obesitas. Oleh karena itu, obesitas harus menjadi faktor sebagai pertimbangan
ketika memberikan dosis awal. Pada konteks ini, penggunaan rumus untuk
menghitung berat badan kurus sebaiknya digunakan.

OPTIMISASI DOSIS PEMELIHARAAN ANTIBIOTIK PADA


KEGAGALAN FUNGSI ORGAN

Pemeliharaan dosis harus dipandu oleh CL obat. Efek pada CL antibiotik


dapat bervariasi tergantung pada gangguan sistem organ akibat kegagalan fungsi
organ. Sistem organ paling relevan yang dapat berefek pada farmakokinetik
(biasanya sistem ginjal dan hati) akan dipertimbangkan secara individual. Tabel 1
memberikan prinsip umum untuk dosis pemeliharaan pada kegagalan ginjal, hati,
dan RRT. Tabel 2 memberikan panduan untuk obat spesifik dalam skenario ini.
Gambar ke 3 menyimpulkan skenario yang dapat membuat perubahan
farmakokinetik pada kegagalan fungsi organ.

Disfungsi Renal

Pada umumnya, antibiotik hidrofilik dibersihkan melewati ginjal dengan


filtrasi glomerular dan sekresi tubular. CL yang menurun dari obat terlihat jelas
pada disfunsi renal, sehingga pengurangan dosis atau interval dosis yang terlalu
panjang dibutuhkan untuk mencegah akumulasi obat dan toksisitas. Pengaturan
dosis untuk mencegah toksisitas sangat relevan pada antibiotik dengan jendela
terapi yang kecil, seperti glikopeptid dan aminoglikosida, dapat memproduksi
nefrotoksik, sehingga akumulasinya dapat menyebabkan kerusakan pada ginjal dan
menyebabkan akumulasi semakin bertambah.

Ketika menurunkan dosis, penting untuk dipertimbangkan farmakodinamik


antiobiotik untuk memastikan target tetap tercapai. Misalnya, pengurangan dosis

Univ. Tarumanagara – RSUD RAA Soewondo Pati 10


yang wajar pada antibiotik time-dependent adalah mengurangi dosis dibandingkan
frekuensi dari pemberian obat sebagai strategi untuk menjaga ƒT/MIC
(rekomendasi dosis dari meropenem untuk estimasi GFR <15 mL/menit adalah
dosis ”front-loaded” sebanyak 1000 mg untuk menciptakan konsentrasi terapetik
yang diikuti oleh pemeliharaan dosis 500mg setiap 12 jam untuk optimisasi ƒT/MIC
berkelanjutan tanpa toksisitas). Untuk obat concentration-dependent, seperti
aminoglikosida, dianjutkan untuk memperpanjang interval antara dosis
dibandingkan mengurangi dosis sehingga konsentrasi puncak tercapai untuk
pembunuhan bakteri yang optimal.

Meski dengan rekomendasi secara teori, ketidakpastian selalu muncul ketika


meresepkan antibiotik pada pasien dengan kegagalan fungsi organ karena fungsi
organ bersifat fluktuasi setiap hari dalam masa terapi. TDM / therapeutic drug
monitoring merupakan alat yang sangat berguna untuk titrasi dosis antibiotik pada
kasus kegagalan fungsi organ. TDM digunakan secara luas dengan aminoglikosida,
dan glikopeptid untuk memastikan pencapaian yang wajar dan meminimalisir
kejadian toksisitas. Tetapi, potensial dan kegunaan TDM sebagai strategi untuk
mengoptimalkan dosis antibiotik untuk β-lactam (kelas antibiotik yang sering
diresepkan) belum dikonfirmasi. Penelitian terbaru telah mengases kegunaannya
dengan kelompok pasien penyakit kritis yang besar. Roberts et al menunjukkan
bahwa pada fase pemeliharaan terapi, banyak pasien dengan disfungsi renal
memerlukan dosis kurang karena tingginya konsentrasi (sekitar 10 kali lipat MIC),
walaupun telah dilakukan pengaturan dosis empirik. Beberapa pasien lain dengan
gagal ginjal atau pada RRT menunjukkan konsentrasi suboptimal pada pengaturan
dosis, membuktikan bahwa konsentrasi tidak tergantung pada fungsi ginjal secara
eksklusif tetapi juga oleh faktor-faktor lainnya.

Renal Replacement Therapy

Seiring berkurangnya fungsi ginjal, produk sis akan berakumulasi, dan


penggunaan RRT dapat dipertimbangkan. Penentu utama CL pada RRT adalah
modalitas dan pengaturan resep. Hemodialisis, hemodiafiltrasi, dan dialisis
peritoneal memiliki mekanisme yang berbeda dalam membuang sisa metabolisme
dan memiliki efek yang berbeda pada setiap obat yang dibersihkan. Faktor lain yang

Univ. Tarumanagara – RSUD RAA Soewondo Pati 11


menentukan rasio ekstraksi adalah berat molekju obat (obat dengan berat molukel
yang lebih besar daripada pori-pori pada membran filter tidak dapat dibuang),
afinitas obat untuk adsorpsi filter, meskipun cairan pengganti diberikan pada saat
prefilter atau post filter, dan rasio ultrafiltrasi. Implikasi dari RRT pada pemberian
dosis obat telah ditelaah baru-baru ini, dan diskusi lanjutan diperlukan, tetapi tabel
1 memberikan beberapa rekomendasi pada pemberian dosis untuk RRT.

Disfungsi Hepar

Gangguan hati dapat memberikan efek CL untuk kedua obat lipofilik dan
hidrofilik secara signifikan. Obat lipofilik mungkin mengalami metabolisme dalam
hati untuk meningkatkan hidrofilisitas dari senyawa. CL melalui hepar tergantung
pada aliran darah hepatik dan pembersihan intrinsik (derajat aktivitas enzimatik).
Oleh karena itu, dua jenis pada skenario ini dapat disimpulkan. CL pada obat-obat
yang diekstraksi tinggi (lidocaine), berkorelasi dengan aliran darah hepatik,
sedangkan obat yang diekstrasi lebih rendah, CL ditentukan oleh CL intrinsik dan
derajat pengikatan protein (nitromidazole, fluoquinolon). Kegagalan hepatik dapat
menimbulkan modifikasi pada kedua faktor, menyebabkan eliminasi obat yang
berkurang, akumulasi dan potensial toksisitas. Sebagai contoh, pada gagal hati,
oksidasi metronidazole oleh mikroson dapat berkurang karena berkurangnya
ekspresi enzim dan aktivitas enzimatik, menyebabkan toksisitas yang berpotensial,
meliputi kejang dan neuropati perifer.

Obat lain mungkin dapat dibersihkan melalui ekskresi empedu, dimana


mungkin juga akan berkurang secara substansial pada gangguan hepatik
(tigecycline). Sebuah studi membandingkan pasien dengan tiga derajat gagal hati
menemukan bahwa CL tigecycline berkurang 55%, dan eliminasi paruh waktu
memanjang sebanyak 43% pada pasien dengan gangguan hati berat. Pada konteks
ini, pengurangan dosis disarankan untuk menghindari toksisitas.

Berkurangnya sintesis albumin dan α1-acid glycoprotein dalam disfungsi


liver, bersama dengan distribusi transkapiler protein karena kebocoran kapiler,
mungkin dapat mengganggu farmakokinetic dari antibiotik yang banyak mengikat
protein. Hipoalbuminemia menyebabkan peningkatan yang signifikan pada Vd dan
CL obat seperti ceftriaxone (85%-95% ikatan protein), ertapenem (85%-95%),

Univ. Tarumanagara – RSUD RAA Soewondo Pati 12


flucloxacillin (95%), dan teicoplanin (90%-95%). Oleh sebab itu, dosis “front-
loaded” dapat dipertimbangkan ketika meresepkan obat-obat tersebut pada pasien
penyakit kritis dengan kegagalan fungsi organ dan hipoalbuminemia. Rekomendasi
dosis awal untuk antibiotik hidrofilik yang gampang terikat (Tabel 2) berguna pada
skenario ini. Pemeliharaan dosis sebaiknya dipandu menggunakan derajat fungsi
organ dan dalam konteks ini, jalur eliminasi utama dari obat, jika memungkinkan,
dipandu oleh TDM. Berkurangnya konsentrasi plasma α1-acid glycoprotein
meningkatkan Vd eritromisin secara substansial (73%-81%), sedangkan CL
menurunkan sebanyak 60% pada keadaan gangguan metabolisme. Antibiotik lain
yang mengikat secara substansial pada protein termasuk timethoprim dan
lincosamides.

Sebagai pertimbangan untuk disfungsi organ, penting untuk dicatat bahwa


pasien penyakit kritis dapat muncul dengan penyakit atau komorbitas dasar seperti
disfungsi ginjal kronis dan hepatik, tidak berhubungan dengan sepsis. Pada kasus
ini, telah disebutkan bahwa prinsip untuk pemberian dosis awal dan pemeliharaan
sebaiknya diterapkan. Pengaturan dosis sebaiknya selalu dibuat berdasarkan derajat
fungsi organ dan estimasi level dari Vd obat dan CL pada pasien, meskipun ada
disfungsi yang sudah ada. Disfungsi yang sudah ada sebaiknya dipertimbangkan
sebagai panduan untuk level fungsi organ pada fase pemeliharaan pada terapi.

Univ. Tarumanagara – RSUD RAA Soewondo Pati 13


Univ. Tarumanagara – RSUD RAA Soewondo Pati 14
Univ. Tarumanagara – RSUD RAA Soewondo Pati 15
Univ. Tarumanagara – RSUD RAA Soewondo Pati 16
Gambar 3. Skenario klinis yang memiliki kemungkinan untuk mengganggu FK
dari antibiotik pada kegagalan fungsi organ

KESIMPULAN

Pemberian dosis antibiotik yang wajar pada kegagalan fungsi organ bersifat
kompleks dan tergantung pada beberapa obat dan faktor yang berhubungan dengan
pasien. Pertimbangan untuk fisikokimia dan karakteristik farmakodinamik dan
gangguan yang berhubungan dengan penyakit dalam farmakokinetik penting untuk
pengaturan regimen dosis sehingga menghindari dosis suboptimal. Ada dua fase
penting pada dalam terapi antibiotik untuk kegagalan fungsi organ. Pada hari
pertama terapi, dosis “front-loaded” diperlukan dan harus dipandu menggunakan
Vd yang diprediksi, dimana meningkat pada pasien penyakit kritis meskipun
mengalami gangguan fungsi organ. Dari hari kedua dan seterusnya, dosis
pemeliharaan harus diatur dengan CL yang diasosiasi dengan disfungsi organ.
Syarat untuk pengaturan dosis untuk antibiotik sebaiknya dipertimbangkan secara
individual tergantung pada sistem organ yang mengalami kegagalan dan jalur CL
obat. Dikarenakan oleh banyak variasi dari fungsi organ ketika sepsis, TDM
sebaiknya dipertimbangkan sebagai alat yang berguna untuk mengatur dosis
individual dan memastikan pencapaian yang wajar dari antibiotik. Penelitian lebih
lanjut pada pengaturan dosis untuk kegagalan fungsi organ diperlukan untuk
meningkatkan kualitas pelayanan pasien dan hasil pada populasi ini.

Univ. Tarumanagara – RSUD RAA Soewondo Pati 17

Anda mungkin juga menyukai