NAMA : DICKSON
NIM : 406172005
PATI
2018
Abstrak
Fisikokimia
Farmakokinetik
Farmakokinetik adalah studi tentang interrelasi antara dosis obat dan variasi
konsentrasi dalam plasma dan jaringan. Parameter-parameter farmakokinetik yang
paling relevan adalah:
Hipoperfusi Jaringan
Pada fase awal syok sepsis (warm shock), arteri dilatasi, penurunan resistensi
arterial perifer dan menyebabkan peningkatan refleks dalam cardiac output. Setelah
itu, syok sepsis mulai muncul, meliputi penurunan cardiac output dan tekanan
darah. Perubahan aliran darah yang dimediasi sepsis mungkin memiliki efek
penting pada penghantaran obat ke jaringan.
Pada fase warm shock, hipoperfusi organ vital (otak, paru-paru) terjadi,
sedangkan jaringan perifer dan organ nonvital masih menerima aliran darah tinggi
sebagai konsekuensi dari vasodilatasi perifer dan peningkatan kerja jantung.
Hipoperfusi organ vital dapat menyebabkan penghantaran antibiotik kurang
optimal dan subterapik pada jaringan target pada fase awal infeksi pada infeksi vital
organ (contohnya infeksi saluran pernapasan). Kurangnya data dari farmakokinetik
yang spesifik menarget pada efek distribusi obat pada warm shock dan
membutuhkan penelitian lebih lanjut pada area ini.
Disfungsi Renal
Beberapa faktor dapat menimbulkan acute kidney injuri (AKI) pada pasien
penyakit kritis. Identifikasi awal pada AKI dan asesmen yang akurat pada fungsi
renal penting untuk pengaturan dosis harian dari antibiotik hidrofilik. Estimasi dari
creatinine clearance (CrCL) sebagai pengganti dari glomerual filtration rate (GFR)
menggunakan formula seperti Cockroft-Gault dan modified diet in renal disease
(MDRD) harus terintepretasi dengan hatihati pada pasien penyakit kritis. Hal ini
dikarenakan walaupun telah terdokumentasi dengan baik secara klinis pada
populasi pasien yang spesifik (pasien dengan penyakit ginjal kronis), tetapi belum
Penyebab yang sering menyebabkan gagal hati pada pasien penyakit krits
adalah cholestasis akibat infeksi dan trauma hepatoseluler, dimana terjadi respon
terhadap toksin bakteri dan ke toksis itu sendiri. Pada kasus pertama, toksin bakteri
dan sitokin yang dilepas dapat menimbulkan pengambilan dan sekresi empedu dari
hepatosit, menyebabkan jaundice. Pada kasus kedua, endotoksin dan bakteri
difagositosis oleh sel Kupffer yang melepaskan beberapa molekul hepatotoksik,
menyebabkan kerusakan sel. Asesmen pada derajat disfungsi hepar dalam gagal
hati akut biasanya bersifat klinis dan meliputi tanda dan gejala seperti peningkatan
enzim hati, bilirubin, atau ammonia dan penurunan konsentrasi protein yang
diproduksi hati (albumin, α1-acid glycoprotein, faktor koagulasi). Disfungsi hepar
dapat mengganggu metabolisme sehingga menimbulkan akumulasi dari antibiotik
yang dibersihkan melalu hepar. Berkurangnya produksi albumin dan α1-
acidglycoprotein yang berasal dari hati juga dapat mengganggu farmakokinetik dari
antibiotik yang bersifat mengikat protein tinggi.
Albumin adalah pembawa obat paling banyak dalam aliran darah. Interaksi
obat-protein berlangsung cepat dan dinamik, dan ekuilibrium tergantung pada
konsentrasi dari kedua zat. Pada keadaan hipoalbuminemia, molukel obat yang
tidak terikat dapat terdistribusi dari darah ke jaringan dalam jumlah besar
dibandingkan dengan pengikatan protein dalam keadaan normal; secara
farmakokinetik, ini disebut sebagai Vd besar.
Selain itu, penanganan klinis dari gagal hati berat meliputi terapi penggantian
renal and penggunaan kolom adsorben untuk menghilangkan amonia yang
berlebihan dan produk sisa lainnya dalam darah. Efek tambahan dari intervensi
tersebut dan ekskresi antibiotik secara renal harus diperhitungkan ketika
menggunakan antibiotik hidrofilik.
Hasil dari kedua studi ini kemungkinan disebabkan oleh peningkatan Vd pada
pasien-pasien ini. Penting untuk dicatat bahwa studi dari Taccone et al, 27% pasien
yang memiliki AKI, walaupun telah diberikan dosis awal standar non-AKI,
kebanyakan hanya mencapai konsentrasi suboptimal. Sebaliknya, studi oleh
Roberts et al, 19% pasien yang memiliki AKI (dengan atau tanpa memerlukan
dialisis), dan pada hari kedua, 5,72% dari pasien ini memerlukan pengurangan
dosis. Data dari kedua studi menyarankan bahwa dosis antibiotik awal harus
diperhitungkan untuk meningkatkan Vd pada pasien penyakit kritis dengan
kegagalan fungsi organ. Oleh karena itu, dosis yang lebih tinggi dari standar dapat
dipertimbangkan pada fase awal terapi. Konsep ini akan disebutkan dalam artikel
sebagai dosis “front-loaded” dan diterapkan pada obat hidrofilik dimana Vd
meningkat secara drastis pada skenario ini. Konsep tersebut didemonstrasikan oleh
Marik yang menunjuukan bahwa peningkatan dua kali lipat pada Vd amikacin pada
pasien penyakit kritis dengan infeksi gram negatif. Perubahan farmakokinetik ini
akan berefek pada pencapaian konsentrasi maksimum (Cmax/MIC ≥) secara
signifikan. Penelitian terbaru juga mendukung pemberian dosis “front-loaded”
untuk aminoglikosida (25mg/kgBB pada amikacin) pada terapi hari pertama untuk
kasus sepsis dan syok sepsis.
Disfungsi Renal
Disfungsi Hepar
Gangguan hati dapat memberikan efek CL untuk kedua obat lipofilik dan
hidrofilik secara signifikan. Obat lipofilik mungkin mengalami metabolisme dalam
hati untuk meningkatkan hidrofilisitas dari senyawa. CL melalui hepar tergantung
pada aliran darah hepatik dan pembersihan intrinsik (derajat aktivitas enzimatik).
Oleh karena itu, dua jenis pada skenario ini dapat disimpulkan. CL pada obat-obat
yang diekstraksi tinggi (lidocaine), berkorelasi dengan aliran darah hepatik,
sedangkan obat yang diekstrasi lebih rendah, CL ditentukan oleh CL intrinsik dan
derajat pengikatan protein (nitromidazole, fluoquinolon). Kegagalan hepatik dapat
menimbulkan modifikasi pada kedua faktor, menyebabkan eliminasi obat yang
berkurang, akumulasi dan potensial toksisitas. Sebagai contoh, pada gagal hati,
oksidasi metronidazole oleh mikroson dapat berkurang karena berkurangnya
ekspresi enzim dan aktivitas enzimatik, menyebabkan toksisitas yang berpotensial,
meliputi kejang dan neuropati perifer.
KESIMPULAN
Pemberian dosis antibiotik yang wajar pada kegagalan fungsi organ bersifat
kompleks dan tergantung pada beberapa obat dan faktor yang berhubungan dengan
pasien. Pertimbangan untuk fisikokimia dan karakteristik farmakodinamik dan
gangguan yang berhubungan dengan penyakit dalam farmakokinetik penting untuk
pengaturan regimen dosis sehingga menghindari dosis suboptimal. Ada dua fase
penting pada dalam terapi antibiotik untuk kegagalan fungsi organ. Pada hari
pertama terapi, dosis “front-loaded” diperlukan dan harus dipandu menggunakan
Vd yang diprediksi, dimana meningkat pada pasien penyakit kritis meskipun
mengalami gangguan fungsi organ. Dari hari kedua dan seterusnya, dosis
pemeliharaan harus diatur dengan CL yang diasosiasi dengan disfungsi organ.
Syarat untuk pengaturan dosis untuk antibiotik sebaiknya dipertimbangkan secara
individual tergantung pada sistem organ yang mengalami kegagalan dan jalur CL
obat. Dikarenakan oleh banyak variasi dari fungsi organ ketika sepsis, TDM
sebaiknya dipertimbangkan sebagai alat yang berguna untuk mengatur dosis
individual dan memastikan pencapaian yang wajar dari antibiotik. Penelitian lebih
lanjut pada pengaturan dosis untuk kegagalan fungsi organ diperlukan untuk
meningkatkan kualitas pelayanan pasien dan hasil pada populasi ini.